BerandaBeritaTGB: Turats Wajib Diapresiasi, Tapi Tak Boleh Dikultuskan

TGB: Turats Wajib Diapresiasi, Tapi Tak Boleh Dikultuskan

Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi menjadi salah satu pembicara di acara webinar peringatan milad ke-2 tafsiralquran.id pada Senin (18/4). Di acara bertajuk “Alquran dan Perdamaian Dunia: Mengulik Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Ayat Peperangan” ini, beliau menyampaikan tiga poin utama. Salah satunya tentang bagaimana seharusnya kita menempatkan turats dalam kajian keislaman hari ini.

Turats merupakan interpretasi para ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang terabadikan dalam ribuan bahkan jutaan karya tulis. Karya-karya tersebut dibaca, dipelajari, dan dirujuk sebagai khazanah pengetahuan bagi generasi setelahnya.

Turats merupakan warisan yang sangat berharga dalam sejarah umat Islam. Kita harus mengapresiasi usaha keras para pendahulu dalam memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan dengan senantiasa mengkaji dan memelihara warisan ini sepanjang zaman.

Namun, turats bukanlah Alquran maupun hadis yang wajib diikuti sepenuhnya. Ia tetaplah hasil buah pikir manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan serba keterbatasan. Sangat mungkin terjadi suatu pemahaman keagamaan di masa tertentu dianggap yang terbaik dan paling tepat dalam memecahkan permasalahan umat misalnya, tapi di masa-masa setelahnya kurang relevan dengan perkembangan zaman.

Oleh karena itu, TGB mengingatkan kembali posisi Al-Azhar al-Syarif sebagai institusi pengetahuan keislaman paling berpengaruh saat ini dalam memandang turats.

Beliau yang juga adalah ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia bercerita, dua tahun lalu Al-Azhar mengadakan konferensi internasional tentang pembaruan pemikiran keagamaan. Ketika itu, Syekh Al-Azhar mewakili akademisi kampus tersebut dengan tegas mengatakan, “Kami mengapresiasi turats, tapi tidak mengultuskannya.”

Prinsip ini penting disuarakan kembali, sebab masih banyak masyarakat muslim yang terlalu terpaku pada turats. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan misalnya, jika sudah pernah dijawab oleh ulama sebelumnya, mereka cenderung menganggap itu sebagai jawaban final.

Pendapat salaf tidak lagi ditelaah ulang. Seperti ada perasaan segan untuk mengkritisinya, atau bahkan sudah dianggap bagian dari agama itu sendiri yang tidak boleh dipertanyakan. Padahal, para ulama terdahulu sudah biasa berbeda pendapat dan saling mengkritik, bahkan terhadap pendapat gurunya sendiri.

TGB kemudian mencontohkan konsep pembagian negara menjadi darul Islam (teritori Islam) dan darul harb (teritori perang) yang tercatat dalam kitab-kitab turats. Menurutnya, konsep itu perlu ditelaah ulang dan tidak wajib ditelan mentah-mentah. Sebab, bagaimana pun juga, apa yang tertulis di suatu zaman merupakan cermin dari realitas yang ada pada zaman tersebut.

Konsep darul Islam dan darul harb berkenaan dengan lanskap sosial-politik keagamaan pada suatu masa yang sangat berbeda dengan konteks masa kini. Para cendekiawan muslim masa kinilah yang bertugas memperbarui dan merumuskan kembali konsep-konsep tersebut.

TGB pribadi berpendapat bahwa status negara-negara di dunia sekarang lebih cocok disebut darul ‘ahd (teritori perjanjian). Dalam artian, negara-negara yang ada sekarang ini secara umum sudah diatur oleh perjanjian satu sama lain. Mulai dari perjajian bilateral, multilateral, hingga dalam cakupan yang lebih luas seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh karena itu, TGB menilai pembagian darul Islam dan darul harb sudah tidak relevan lagi.

Baca juga: Menelaah Kembali Konsep Darul Islam dan Darul Harb

Poin lainnya yang beliau sampaikan adalah terkait dengan konsep jihad yang menurutnya salah satu konsep Islam yang paling banyak dibajak oleh orang-orang yang memiliki tendensi destruktif. Bahkan, konsep jihad menjadi konsep utama kelompok-kelompok radikal untuk menjustifikasi perbuatan mereka. Padahal jihad hakikatnya merupakan konsep yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, kajian tentang apa konsep jihad yang sebenarnya itu sangat diperlukan.

Terakhir, beliau mengingatkan bahwa pembicaraan tentang jihad tidak terlepas dari beberapa konsep kunci lainnya yang satu sama saling terkait, seperti konsep al-muwatanah (berwarganegara), al-tasamuh (toleransi), al-hurriyyah (kebebasan), dan lain sebagainya. Dengan membahas konsep-konsep kunci ini secara menyeluruh, akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan akan terlihat jelas nantinya nilai-nilai humanisme Islam dalam seluruh aspek ajarannya.

Demikian catatan pendek materi yang disampaikan TGB dalam webinar “Alquran dan Kedamaian Dunia”. Semoga ini dapat mencerahkan kita, terutama terkait bagaimana menempatkan turats sesuai porsinya dan bagaimana menanggapi penyelewengan ajaran Islam oleh kelompok-kelompok radikal.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Albaqarah [2]: 30 Tidak Muat Tendensi Politis

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...