BerandaTafsir TematikMerayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan

Merayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan

Selamat idulfitri, mohon maaf lahir dan batin! Ucapan ini menggema dan bertebaran di berbagai tempat dan kesempatan. Sangat menarik bahwa momentum maaf-memaafkan lahir dan batin selalu disandingkan dengan ucapan selamat idulfitri. Menurut Quraish Shihab dalam Lentera Al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, memaafkan dan melapangkan adalah salah satu syarat bagi seseorang agar dapat mencapai predikat ‘aidin (orang yang kembali pada fitrah) dan faizin (orang yang beruntung) seraya menukil surah An-Nur ayat 22.

Selain surah An-Nur ayat 22, ada beberapa ayat lain yang juga menyinggung tentang perintah memaafkan. Meski sebenarnya maaf-memaafkan itu tidak butuh dalil, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang untuk melakukannya butuh motivasi. Semoga beberapa ayat Alquran yang menyinggung tentang perintah memaafkan yang dibahas dalam tulisan ini dapat menjadi motivasi kita untuk maaf-memaafkan.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

Memaafkan adalah pintu bagi kebaikan yang lain

Jangankan Allah, manusia saja senang dan selalu suka kepada orang yang selalu memaafkan. Memang tidak gampang untuk memaafkan kesalahan seseorang. Oleh karena itu, Allah mengingatkan hal tersebut dalam Alquran, salah satunya yaitu di surah an-Nur ayat 22. Kisah yang melatarbelakangi ayat ini turun populer di kalangan para mufasir seperti At-Thabari, As-Suyuthi, Al-Mahalli. Cerita terseلاut yaitu tentang kemarahan Abu Bakar As-Siddiq terhadap Misthah, salah seorang kerabatnya yang ikut menyebarkan fitnah perselingkuhan putrinya, Aisyah, yang membuat Abu Bakar tidak lagi membiayai sepupunya yang miskin tersebut.

Jika mengamati redaksi ayat 22 surah An-Nur, perintah yang ada di situ adalah memaafkan dan berlapang. Jika melihat dari kisah Abu Bakar di atas, maka permasalahannya adalah pada rasa marah yang masih terus dibawa, hanya dengan memaafkan dan lapang dada melupakan dan menutup kesalahan Misthah, dia akan kembali seperti semula, menjadi baik seperti biasanya, di antaranya tetap dengan bersedekah terhadap Misthah. Dengan demikian, jika dengan memaafkan, seseorang akan membuka pintu kebaikan yang lain bagi dirinya dan orang lain, maka tidak memafakan dan terus mengingat kesalahan, seseorang bisa menutup kebaikan untuk dirinya dan orang lain.

Baca Juga: Idulfitri Momentum Menguatkan Ketahanan Sosial

Orang yang memaafkan adalah manusia yang ideal

Kesimpulan ini berdasarkan pada kajian atas surah an-Nahl ayat 126. Para mufasir menjelaskan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan kekalahan Rasulullah saw. dan pasukannya pada perang uhud. Pada ayat itu disiratkan bahwa jika umat Islam mau membalas, maka silakan membalas dengan balasan yang sama dengan perlakuan yang ditimpakan kepada umat Islam. Namun jika umat Islam mau bersabar (tidak membalas), maka itulah yang lebih baik.

Berdasar pada ayat ini, Kiai Afifuddin Muhajir, cendekiawan muslim Indonesia di suatu kesempatan membagi model ajaran Islam menjadi dua, ideal dan standar. Ajaran Islam yang ideal tergambar pada ayat 126 surah An-Nahl di bagian redaksi ayat “…..Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” Sedang ajaran Islam standar terlihat pada bagian ayat “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu…”

Selain itu, petunjuk ayat ini juga dijadikan inspirasi oleh pakar usul fiqh untuk membagi tiga tipe manusia. Pertama yaitu manusia ideal. Manusia model yang pertama ini mempunyai karakter yanfa’ la yadurr (memberi manfaat dan tidak pernah memberi mudarat). Kedua, manusia standar yang mempunyai karakter la yanfa’ wa la yadurr (tidak memberi manfaat dan juga tidak memberi mudarat). Ketiga, manusia gombal yang mempunyai ciri-ciri yadurr wa la yanfa’ (memberi mudarat dan tidak memberi manfaat).

Adapun kaitan perihal memaafkan, mufasir seperti at-Thabari dan ats-Tsa’labi menafsirkan surah an-Nahl ayat 126 ini sebagai anjuran untuk lebih memaafkan orang-orang musyrik daripada membalasnya. Inilah kemudian yang disimpulkan oleh kiai Afifuddin Muhajir sebagai manusia yang ideal.

Baca Juuga: Menelisik Makna Idulfitri: Makna Ied dan Makna Fitri

Memaafkan adalah buah ketauhidan

Ketika menafsirkan surah al-A’raf ayat 199 “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh,” Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan bahwa walau redaksi ayat ini singkat, namun telah mencakup semua sisi budi pekerti yang luhur yang berkaitan dengan hubungan antar-manusia.

Satu lagi kesan yang didapat dari bagian akhir surah al-A’raf ini. Masih menurut Quraish Shihab, penempatan ayat tersebut, yakni setelah uraian tentang bukti-bukti keesaan Allah dan kecaman terhadap kemusyrikan mengesankan bahwa tauhid seharusnya membuahkan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur, termasuk kandungan dalam ayat ini adalah memaafkan. Demikian pula riwayat yang dinukil oleh At-Tabari, bahwa memaafkan adalah termasuk dari akhlak manusia.

Selamat idulfitri, mohon maaf lahir dan batin! Ja’alana Allah min al-aidin wa al-faizin. Amin

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...