BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiTafsir Tarbawi: Lima Kecerdasan Emosi yang harus dimiliki oleh Guru

Tafsir Tarbawi: Lima Kecerdasan Emosi yang harus dimiliki oleh Guru

Penting bagi seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang stabil agar mampu mengendalikan dan menahan emosi, dan berbagai hal yang tidak diinginkan. Dalam kurikulum Indonesia, kecerdasan semacam ini disebut dengan kompetensi kepribadian. Artikel ini akan mengulas lima kecerdasan emosi (emotional intelligence) yang harus dimiliki oleh seorang guru dan juga siswa dengan melandaskannya pada ayat-ayat Al-Quran.

Mampu Mengenali Diri

Kecerdasan emosi yang pertama adalah mampu mengenali dirinya. Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menyebutnya dengan self-awareness (kesadaran diri). Self Awareness adalah kemampuan mengenali dan memahami mood, emosi, dan dorongan jiwa serta efeknya pada orang lain. Di samping itu, ia mengerti emosi-emosi yang bermain di dalam dirinya. Perintah untuk mengenali diri ini termaktub dalam firman-Nya,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik. (Q.S. al-Hasyr [59]: 19)

Melupakan Allah menyebabkan manusia melupakan kesadaran dirinya serta menjadikannya masuk ke dalam golongan orang-orang yang fasik. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh para ulama,

ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Makna mengenali diri adalah mengenal karakter, kedirian, dan dorongan jiwa serta efeknya pada orang lain. Dalam konteks guru, ia harus sadar betul apa yang seharusnya ia lakukan, kesadaran akan pentingnya memaknai hidup, dan kesadaran akan berbagai karakter peserta didik yang ia didik. Hal ini menjadi modal dasar bagi pendidik. Fenomena sebagian pendidik yang kedapatan berperilaku tidak senonoh (baca: asusila) dan kekerasan, adalah menjadi bukti betapa rendah kemampuannya dalam mengenali dirinya.

Mampu Mengendalikan Diri

Daniel Goleman menyebutnya dengan self-regulation. Self-regulation ialah kemampuan mengontrol dan mengarahkan emosi dan dorongan jiwa yang negatif dan merusak. Sebagai misal, saya itu kalau bertemu dengan tipikal orang temperamen, bikin naik darah atau suka emosi, maka harus saya kontrol.

Selain itu, tidak mencari-cari alasan untuk menutupi hal negatif. Ia selalu mencari alasan yang negatif untuk diubah menjadi positif. Justru, bukan mengubah yang negatif menjadi positif. Misalnya, guru kesulitan untuk mencari alternatif metode yang lain dan terbatasnya sarana prasana sehingga tidak kondusif pembelajarannya. Padahal, sebenarnya ia malas. Untuk menutupi rasa malasnya, ia mencari-cari alasan yang tidak-tidak.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Tiga Jenjang Belajar dalam Menuntut Ilmu

Bagi pelajar, misalnya, dalam satu waktu ia dihinggapi rasa malas. Lalu ia mencari-cari alasan, “oh aku tidak bisa ngaji kok, belum khatam Al-Quran, belum lancar, dan sebagainya. Yang sebenarnya terjadi adalah ia tidak mau mengubah yang negatif menjadi positif, ia hanya mencari-cari alasan saja untuk mengkambinghitamkan alasan tadi.

Dalam Islam, mengontrol diri disebut dengan mujahadah an-nafs. Kontrol diri sama halnya dengan pengendalian nafsu, emosi, dan segala tingkah laku yang dapat menimbulkan efek negatif kepada diri sendiri maupun orang lain. Atau istilah Jawa menyebutnya dengan “sing waras ngalah”.

Perintah untuk mampu mengendalikan diri sejatinya telah diutarakan dalam firman-Nya,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)

Selain itu, Nabi saw juga bersabda,

وقال ابن مسعود قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قُلْنَا الَّذِي لَا تَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنِ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغضب

Ibnu Mas’ud berkata, Nabi bertanya, ‘Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?’ Kami menjawab, ‘Dia yang tidak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.’ Nabi menimpali, ‘Bukan demikian, akan tetapi yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah’.” (HR Muslim)

Memiliki Motivasi yang Kuat

Ketiga adalah guru harus memiliki motivasi yang kuat. Motivasi adalah kemampuan melakukan sesuatu dari dalam, bukan dorongan dari luar. Juga, semangat untuk melakukan sesuatu tanpa imbalan atau pamrih. Setiap sesuatu yang ia kerjakan, tidak mesti harus diukur dengan imbalan atau untung rugi semata. Prinsip sederhananya adalah kalau itu baik dan bermanfaat, harus dikerjakan apapun kondisinya, apakah ia harus memaksa dirinya dan lain sebagainya.

Motivasi ini penting dimiliki seorang guru karena ia berada di garda terdepan dalam mendidik dan berinteraksi dengan siswa. Tidak sedikit siswa yang tidak memiliki motivasi untuk belajar, maka di sinilah peran guru. Allah swt sendiri sudah menyatakan di dalam Al-Quran bahwa janganlah kamu merasa lemah, bersedih hati maupun berputus asa dari rahmat-Ku sebagaimana dalam Surat Ali Imran ayat 139 dan Surat Yusuf 87 di bawah ini.

وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin. (Q.S. Ali Imran [3]: 139)

وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir. (Q.S. Yusuf [12]: 87)

Memiliki Empati

Yang keempat adalah guru harus memiliki rasa empati. Empati adalah kemampuan memahami emosi orang lain atau rasa peduli. Dalam bahasa lain disebut transposisi, kemampuan kita berposisi di depan orang lain. Misalnya, andai kata saya yang berada di posisi itu, mungkin saya akan stress dan banyak pikiran.

Bagi seorang guru, memiliki rasa empati adalah suatu keniscayaan. Guru tidak boleh sembarangan menjustifikasi perbuatan peserta didik hanya karena masuk terlambat, misalnya, melainkan ia harus melakukan pendekatan kemanusiaan yang baik. Misalnya, kamu kenapa terlambat? Berangkat pakai apa? Kemarin tidur jam berapa sehingga terlambat? Dan pendekatan-pendekatan lainnya yang mengutamakan aspek kemanusiaan, bukan represif dan hukuman oriented.

Artinya, guru harus bijak dalam memahami kondisi peserta didiknya. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ

Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. Al-Maidah [5]: 2)

Makna tolong-menolong di sini, menurut hemat kami, adalah mampu memahami kondisi orang lain dan memiliki rasa peduli yang tinggi.

Menjalin Hubungan Sosial Yang Baik

Yang kelima adalah guru wajib memiliki kemampuan sosial yang baik, mudah bergaul, menyenangkan, dan menjadi sosok yang inspiratif untuk peserta didiknya. Goleman menyebutnya dengan social skills, kemampuan menata hubungan atau membangun jaringan dengan orang lain. Mudah bergaul, dan mudah diterima di mana-mana sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu (Q.S. An-Nisa [4]: 1).

Baca Juga: Tiga Niat dalam Menuntut Ilmu

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa tidak diciptakan melalui proses evolusi hayati seperti makhluk hidup lainnya, tetapi diciptakan secara khusus seorang diri, lalu diciptakanlah pasangannya dari dirinya. Mekanismenya tidak dapat dijelaskan secara sains. Selanjutnya, barulah anak-anaknya lahir dari proses biologis secara berpasangan-pasangan sesuai kehendak-Nya. Kemudian, ia diminta oleh Allah untuk memelihara hubungan kekeluargaan yang baik

Hubungan kekeluargaan di sini juga bermakna hubungan sosial kepada orang lain. Dalam konteks guru adalah peserta didik. Jika guru sudah mampu membangun komunikasi yang positif dengan peserta didik, sudah menjadi sosok yang selalu dirindukan, menyenangkan dan inspiratif, maka pengajaran dan pendidikan yang diberikan kepada mereka akan lebih mudah dikarenakan pendekatan yang ia lakukan adalah pendekatan berbasis kemanusiaan, bukan hirarki kekuasaan.

Di sinilah lima kecerdasan emosi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar layak digugu dan ditiru. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....