Salah satu karakter yang dimiliki Alquran adalah koherensi. Setiap narasi di dalam Alquran selalu memiliki hubungan logis dan selaras antarbagiannya. Koherensi di sini lebih dimaksudkan pada aspek isi atau pesan yang hendak disampaikan, bukan aspek bentuk dari sebuah karya sastra. Koherensi ini yang jamak diisyaratkan oleh Gus Baha’ dalam beberapa kali kesempatan pengajiannya.
Salah satu contoh dari koherensi pesan Alquran ini terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 159-160,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ ما أَنْزَلْنا مِنَ الْبَيِّناتِ وَالْهُدى مِنْ بَعْدِ ما بَيَّنّاهُ لِلنّاسِ فِي الْكِتابِ أُولئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاّعِنُونَ. إِلاَّ الَّذِينَ تابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Alquran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat. Kecuali orang-orang yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan(-nya). Mereka itulah yang Aku terima tobatnya. Akulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Mahal al-syahid dari koherensi Alquran dalam dua ayat ini terletak pada redaksi tabyin (bayyanu) dalam ayat 160 yang menjadi hubungan logis dan keselarasan dari redaksi katm (yaktumuna).
Dalam pengajiannya, Gus Baha’ menjelaskan bahwa seseorang yang hendak bertobat haruslah melakukan kebalikan dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Dalam dua ayat ini, tobat mereka yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk dari Allah adalah dengan memberikan penjelasan atas apa yang telah mereka sembunyikan.
Baca juga: Mengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Alquran
Selain dalam konteks hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, koherensi pesan Alquran juga berlaku dalam hubungan horizontal antarsesama umat manusia. Dalam konteks sosial bermasyarakat, koherensi itu muncul dalam rangka menjaga keharmonisan di antara sesama. Di antara ayat Alquran yang berisi pesan tersebut adalah surah An-Nisa’ [4] ayat 114,
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْواهُمْ إِلاّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ اِبْتِغاءَ مَرْضاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
“Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar.”
Konteks sosial dalam ayat tersebut dapat dipahami dari kata al-najwa yang secara harfiah berarti pembicaraan rahasia sebagaimana diterjemahkan Qur’an Kemenag. Dalam sebagian bahasa pemaknaan pesantren Jawa, kata najwa diartikan sebagai bebisik atau pembicaraan lirih yang umumnya terjadi antara dua pihak saja.
Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Alquran karya Hamiduddin Farahi
Namun demikian, Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir-nya menyebutkan bahwa kata najwa dapat dipahami sebagai aktivitas pembicaraan umum, bukan rahasia, seperti dalam majelis bersama. Sehingga kata najwa diartikan dengan makna kata al-tahadduts dan al-kalam.
Penyebutan kata najwa secara eksplisit sendiri disebabkan lekatnya unsur kemaksiatan dan keburukan yang terjadi tatkala berbincang secara sirr atau rahasia. Dan umumnya, najwa adalah perbicangan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan yang seringkali berisi pembicaraan atas keburukan orang lain.
Nilai keselarasan dan hubungan logis dalam ayat 114 tersebut dapat dilihat dari dua aspek: 1) rangkaian istitsna’ yang menjadi jawaban atas klausul pertama yang disebutkan dalam ayat (ketiadaan kebaikan), dan 2) bagian akhir ayat yang berisi pesan sekaligus konklusi ayat.
Baca juga: Kajian Korelasi ayat Alquran Persepektif Neal Robinson dan Raymond Farrin
Untuk aspek yang pertama, koherensi ayatnya dalam dilihat dari penjelasan berikut, bahwa sebuah perbincangan, entah itu dilakukan secara sirr atau terbuka berjamaah, tidak akan memiliki nilai kebaikan kecuali di dalamnya berisi perintah bersedekah, kebaikan, dan pembicaraan yang mengarah pada perdamaian di antara manusia.
Ketiga perintah ini merupakan alternatif aktivitas sosial yang seharusnya dapat menjadi kontra narasi dari kelaziman najwa. Sedekah dimaksudkan sebagai pengentasan kemiskinan dan peningkatan strata sosial. Perintah kebaikan yang diredaksikan dengan ma‘ruf merujuk pada ‘urf yang berarti adat dan kebiasaan yang dianggap baik dan legal secara syariat. Sedangkan ishlah menjadi counter langsung dari kelaziman najwa.
Jika rangkaian istitsna’ ini hanya untuk menghindarkan dari keharaman, mestinya dapat berisi hal-hal lain, seperti membicarakan urusan bisnis dan pekerjaan. Namun nyatanya tidak demikian.
Baca juga: Penafsiran Strukturalis Semiotik Surah Al-Kahfi: 5 Model Manusia
Sedangkan aspek kedua, koherensi ayat dapat terlihat dari pesan dan konklusi ayat, dimaksudkan sebagai basis landasan teologis yang jika ditelisik lebih jauh juga berkaitan dengan ranah sosial. Bahwa alternatif-alterntaif yang disebutkan sebelumnya sangat mungkin dilakukan dengan niatan yang tidak tulus, melainkan sebatas pencitraan semata yang diharapkan manfaatnya akan kembali kepada pelaku. Tidak demikian.
Alternatif-alternatif tersebut hendaknya dilakukan dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai teologis, yang secara sosial dapat diukur melalui tingkat ketulusan sehingga memperoleh pahala yang sangat besar. Dalam konteks sosial, pahala di sini dapat diartikan sebagai keharmonisan hubungan yang terjalin di antara sesama.
Dari sini dapat dipahami bahwa salah satu karakter pembelajaran Alquran adalah dengan menitikberatkan unsur koherensi, terutama koherensi pesan Alquran. Hal ini yang agaknya menjadi salah satu bentuk i‘jaz lughawiy (mukjizat kebahasaan) dari Alquran karena unsur keselarasan dan keserasian (tanasuq) yang dimiliki. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []