BerandaUlumul QuranSkenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Pewahyuan Alquran merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Lebih dari sekadar kitab suci, Alquran yaitu mukjizat yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan intelektual. Pewahyuannya tidak terjadi secara kebetulan atau tanpa perencanaan, tetapi melalui skenario ilahi yang menunjukkan kebijaksanaan Allah.

Pewahyuan Alquran: Kebijaksanaan di Balik Pewahyuan Bertahap

Allah menurunkan Alquran secara bertahap selama 23 tahun. Hikmah dari pewahyuan bertahap ini tertuang dalam firman-Nya: “Dan Alquran itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya secara bertahap.”(Q.S. al-Isra: 106).

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, pewahyuan bertahap ini mempermudah umat Islam memahami, menghafal, dan mengamalkan ajaran Alquran. Proses ini juga membantu memperkuat hati Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi berbagai tantangan.

Skenario ini mencerminkan perhatian Allah terhadap kondisi manusia, yang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan perubahan besar dalam kehidupan spiritual dan sosial mereka. Pendapat ini didukung oleh Imam al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Alquran yang menegaskan bahwa pewahyuan bertahap memungkinkan umat Islam membangun pemahaman yang mendalam dan bertahap pula. Ini menunjukkan bahwa Allah sebagai “al-Hakim” (Yang Maha Bijaksana) menyusun pewahyuan sesuai kebutuhan umat manusia.

Baca juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Alquran turun dalam situasi sosial tertentu untuk memberikan solusi atas masalah yang dihadapi umat Islam. Sebagai contoh, pengharaman khamr dilakukan secara bertahap. Awalnya, Allah hanya menyebutkan bahwa khamr memiliki manfaat dan mudarat: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”(QS Al-Baqarah: 219).

Kemudian larangan diperkuat saat Allah melarang umat Islam mendekati salat dalam keadaan mabuk (Q.S. an-Nisa: 43). Akhirnya, khamr diharamkan sepenuhnya melalui Q.S. al-Maidah: 90. Pendekatan bertahap ini menunjukkan bahwa skenario Allah tidak memaksa tetapi mendidik umat Islam untuk meninggalkan kebiasaan buruk dengan cara yang manusiawi.

Menurut ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi, skenario ini adalah bentuk rahmat Allah yang memperhatikan keterbatasan manusia. Proses bertahap ini menjadi contoh metodologi reformasi sosial yang efektif.

Allah menurunkan wahyu pada momen-momen kritis untuk memperkuat hati Rasulullah saw. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw. dicemooh oleh kaum Quraisy yang menyebutnya tidak akan memiliki penerus. Allah kemudian menurunkan surah al-Kautsar.: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Q.S Al-Kautsar: 1–3).

Ayat ini tidak hanya memberikan penghiburan tetapi juga menunjukkan optimisme tentang masa depan dakwah Islam. Dalam tafsirnya, Imam Fakhruddin ar-Razi menegaskan bahwa ayat ini adalah bukti bahwa Allah selalu hadir untuk mendukung utusan-Nya.

Lebih jauh, Syed Naquib al-Attas, seorang ulama modern, mengaitkan turunnya Alquran dengan konsep ketuhanan yang personal. Menurutnya, pewahyuan Alquran sebagai tanda bahwa Allah berkomunikasi langsung dengan manusia, menyampaikan solusi konkret terhadap persoalan yang mereka hadapi.

Baca Juga: Alasan Alquran Turun Secara Gradual

Skenario Pendidikan Ilahi: Alquran sebagai Kitab yang Hidup

Proses pewahyuan bertahap menciptakan sistem pendidikan unik yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai tarbiyah ilahiyah. Alquran tidak hanya mengajarkan tentang teologi tetapi juga membangun fondasi akhlak dan sistem sosial.

Sebagai contoh, surah An-Nur: 27–28 yang mengajarkan etika berkunjung ke rumah orang lain: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”

Ayat-ayat seperti ini menunjukkan bahwa Alquran tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah tetapi juga hubungan antarindividu. Dalam tafsir modern, Muhammad Asad menjelaskan bahwa ayat ini adalah contoh bagaimana Alquran membangun peradaban melalui etika sosial.

Skenario Tuhan di balik pewahyuan Alquran juga menunjukkan bahwa kitab ini relevan sepanjang zaman. Allah berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah kebenaran.”(Q.S. Fussilat: 53).

Dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menekankan bahwa ayat ini adalah janji bahwa mukjizat Alquran tidak hanya terletak pada teksnya tetapi juga dalam cara ia terus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.

Baca Juga: Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?

Terakhir, skenario Tuhan di balik pewahyuan Alquran juga menunjukkan bahwa kitab ini adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk masyarakat Arab pada masa Nabi.

Terkait hal ini, Allah berfirman: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah).”(QS Al-Baqarah: 185).

Pendekatan universal ini dijelaskan oleh ulama modern seperti Fazlur Rahman, yang menyatakan bahwa Alquran tidak hanya menjawab masalah spesifik tetapi juga menyediakan prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks.

Turunnya Alquran yang dirasa sebagai skenario Tuhan yang penuh kebijaksanaan, mengajarkan kita bahwa Allah adalah “al-Alim” (Maha Mengetahui) yang memahami kebutuhan manusia di setiap zaman.

Pewahyuan bertahap, konteks sosial, dan relevansi universalitas Alquran membuktikan bahwa kitab ini adalah mukjizat agung yang dirancang untuk menjadi panduan hidup yang abadi. Turunnya Alquran bukanlah peristiwa yang terjadi secara acak, melainkan skenario Tuhan yang penuh dengan hikmah, perencanaan, dan tujuan tertentu.

Proses pewahyuan yang bertahap, kontekstual dengan peristiwa sosial, serta dampak positif dari pola ini merupakan bukti nyata dari kebijaksanaan ilahi. Sebagai umat Islam, memahami skenario ini dapat memperkuat keyakinan kita bahwa Alquran adalah mukjizat yang relevan sepanjang zaman dan tidak ada kecacatan sedikit pun yang berhasil dibuktikan oleh peneliti. Wallahu A’lam.

Fariha Akmaliatu Sholihah
Fariha Akmaliatu Sholihah
Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,Institut Agama Islam Negeri Kudus
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang "laut yang...