Alquran menggambarkan kisah Nabi Sulaiman yang cukup menarik dan dapat menjadi hikmah bagi generasi umat di masa kini dalam memaknai cinta. Kisah ini mengajarkan bahwa cinta terhadap perkara duniawi, seperti pasangan, anak-turun, harta-benda, ataupun keindahan alam, haruslah diiringi dengan kesadaran akan kebesaran Tuhan dan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah titipan-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman:
إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ (٣١) فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (٣٢) رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالأعْنَاقِ (٣٣)
(Ingatlah) ketika pada suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya, maka dia berkata, “sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam. Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku!” Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu. (Q.S. Shad: 31-33)
Baca Juga: Kurban Perasaan Nabi Sulaiman
Penjelasan Tafsir
Terdapat perbedaan pendapat di antara mufassirin dalam memaknai kata hubb (cinta) secara khusus dalam ayat tersebut. Seperti dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir bahwa hubb al-khair adalah kecintaan Nabi Sulaiman terhadap kuda yang berlebihan sampai lupa menunaikan shalat ashar hingga matahari terbenam. Karenanya, beliau mengusap-mengusap bukan dengan usapan biasa, melainkan mengusap dengan pedang. Yaitu, dipotong atau disembelih untuk kemudian dipersembahkan kepada Allah.
Bertolak belakang dengan penafsiran keduanya, Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (12/183) dan Imam Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid (2/317) menjelaskan pemaknaan secara bahasa, hubb al-khair, asalnya bermakna mencintai harta yang banyak.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat 30-40, Nabi Sulaiman mendapat limpahan nikmat dari Allah, seperti menjadi pewaris kerajaan dan kenabian. Dan di antara nikmat itu ada kemungkinan, Nabi Sulaiman menyebut kuda-kudanya sebagai al-khair (kebaikan), karena banyaknya kebaikan yang didapatkan dengan hewan tersebut.
Sebagaimana dalam syariat Nabi Muhammad, kuda merupakan hewan yang digunakan dalam peperangan di jalan Allah. Dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah ibnu Umar, Nabi saw. bersabda,
َ الْخَيْلُ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Ada kebaikan yang terikat pada gombak (jambak) kuda sampai hari kiamat. (HR. Bukhari)
Lebih lanjut dalam Tafsir al-Munir (12/184) dijelaskan bahwa Nabi Sulaiman mencintai kuda karena bentuk mencintai Allah. Karena dengan hewan tersebut, beliau bisa melaksanakan perintah Tuhannya dengan memeliharanya untuk kepentingan jihad. Nabi Sulaiman menyenanginya sebagai nikmat yang Allah titipkan berupa kuda-kuda berkualitas yang mampu berlari kencang untuk perlengkapan militer.
Syekh Mutawalli as-Sya’rawi (11/454) menambahkan bahwa cinta Nabi Sulaiman terhadap kuda bukan untuk pamer atau angkuh, seperti kebanyakan orang yang memeliharanya. Tetapi beliau mencintainya bersumber kepada kecintaannya kepada Allah yang memerintahkannya untuk berjihad di jalan-Nya. Dielus-elusnya kuda tersebut sebagai apresiasi dan penghormatan. Dikhususkan leher dan kaki karena ini bagian yang paling mulia bagi kuda, yaitu tepat mengikat tali dan alat lari atau angkut.
Baca Juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman
Pelajaran dari Kisah Nabi Sulaiman
Hikmah dari kisah Nabi Sulaiman di atas membuka sebuah cakrawala berpikir tentang konsep cinta yang sejati dalam islam. Sebuah tawaran cara berpikir dari Alquran tentang cara mencintai dunia melalui kisah sosok Nabi yang memiliki kerajaan megah dalam sejarah peradaban manusia.
Tidak ada yang salah dalam mencintai, sebab Allah yang menetapkan setiap rasa dan cinta dalam hati manusia untuk menyenangi hal-hal materi sebagaimana termaktub dalam surah Ali Imran ayat 14. Jika merujuk penjelasan tafsir dari ulama salaf dan khalaf di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa cinta dunia juga dapat menjadi landasan bertauhid kepada Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa cinta terhadap dunia tidak berarti cinta yang berlebihan atau menjadikannya tujuan utama hidup. Akan tetapi menggunakan dunia dengan bijaksana untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk kebaikan umat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu, barangkali persoalan bangsa yang sulit diberantas seperti kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan tindak kriminal lainnya, seringkali berakar dari kesalahan dalam memahami makna kehidupan duniawi. Ketika masyarakat terlalu terobsesi dengan pencapaian materi dan kesenangan semata, mereka cenderung melupakan nilai-nilai qurani.
Padahal, dalam Islam cinta terhadap manusia, harta, dan kekayaan tentu bukanlah cinta yang abadi. Sebab dunia ini hanyalah sementara dan merupakan ladang amal untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di akhirat. Karenanya, cinta pada perkara dunia tidak boleh berlebihan dan harus dirangkai dalam kerangka cinta kepada Allah.
Wallahu a’lam.[]