Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V versi daring diartikan sebagai; 1) rupa; gambar; gambaran; 2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk. Masih ada dua takrif lagi, namun dua takrif yang telah disebut saya kira cukup dan yang paling sesuai untuk memahami tajuk tulisan ini; citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.
Citra Nabi Muhammad
Selama ini kita jamak membaca citra Nabi Muhammad saw melalui kitab-kitab atau buku-buku Syamail yang berisi riwayat-riwayat orang yang menjumpai Nabi kala hidupnya. Masyhur Nabi Muhammad memiliki postur tubuh yang sedang; tinggi tapi tidak semampai, tidak juga pendek.
Dalam sebuah riwayat, Umar adalah di antara sahabat Nabi yang berbadan tinggi. Sedangkan Ibn Mas’ud, terkenang sebagai sahabat Nabi yang memiliki badan pendek. Namun ketika Nabi Muhammad berjalan bersama Sahabat Umar, Nabi tak kalah tingginya. Lalu ketika berjalan bersama Ibn Mas’ud, Nabi tak terlalu tinggi dibandingnya. Seperti itulah di antara citra fisik Nabi Muhammad yang kita temukan dalam hadis.
Kemudian kita juga kerap membaca, dan kita semua tahu, bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Quran. Begitu riwayat yang disampaikan Sayyidah Aisyah r.a. Dari kedua riwayat itu, kita cukup mendapati seperti apa citra Nabi Muhammad saw melalui hadis. Citra Nabi yang lain dapat dibaca lebih jauh dalam kitab-kitab klasik semisal al-Syamail al-Muhammadiyyah karya Imam al-Tirmizi, salah satu penulis kutubussittah.
Adalah Tarif Khalidi, seorang akademisi cum sejarawan muslim kebangsaan Palestina yang tinggal di Eropa. Ia banyak menulis sejarah. Images of Muhammad (2009) adalah karya Tarif yang belum lama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (2021), dengan judul kecil; Evolusi Citra Nabi Muhammad Sepanjang Sejarah. Karya lain, The Muslim Jesus, juga telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Indonesia (dengan judul yang sama) dan Arab (berjudul al-Injil bi Riwayat al-Muslimin (2015).
Images of Muhammad terbagi menjadi 10 bab, dibuka dengan bab pertama menguraikan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran. Menarik menyimak uraian Tarif dalam bab ini. Sebab selama ini, kita melulu mendapati citra Nabi Muhammad melalui hadis-hadis atau narasi-narasi dalam berbagai kitab Maulid Nabi semisal al-Barzanji. Setiap hari kita membaca al-Quran, namun kita masih samar bagaimana al-Quran “menggambarkan” citra Nabi Muhammad saw.
Baca juga: 3 Persamaan Menarik Antara Al-Qur’an dan Nabi Muhammad
Potret Manusia dalam Al-Quran
Lebih dulu, ini penting dipahami untuk mengantarkan kita ke bahasan citra Nabi, Tarif membahas potret Quranik kondisi jiwa dan watak manusia yang cenderung mirip konsep manusia modern ketimbang pra-modern; manusia itu ingkar, tak berteguh hati, tak sabar, plin-plan dan sembrono (hlm. 39). Potret itu kita temui dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 137 berikut.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًاۗ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kufur, kemudian beriman (lagi), kemudian kufur (lagi), lalu bertambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuninya dan tidak (pula) menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus).
Kita juga dapat menemukan potret Quranik lain manusia yang jika ditimpa nasib buruk, manusia lekas-lekas menyeru dan berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika memperoleh kenikmatan, ia ogah-ogahan bersyukur dan malah menjauhkan diri dari-Nya. Kita simak Fushshilat [41]: 51 berikut.
وَاِذَآ اَنْعَمْنَا عَلَى الْاِنْسَانِ اَعْرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِهٖۚ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُوْ دُعَاۤءٍ عَرِيْضٍ
Apabila Kami menganugerahkan kenikmatan kepada manusia, niscaya dia berpaling (tidak mensyukuri nikmat-Nya) dan menjauhkan diri (dari Allah dengan sombong), namun apabila kesusahan menimpanya, dia akan banyak berdoa.
Ada banyak lagi ayat yang menggambarkan citra manusia. Namun dari semuanya, Tarif menarik sebuah kesimpulan “..Manusia sebagai gugusan kontradiksi tak terkendali dan kaostis, tercabik-cabik dan tertipu oleh hawa nafsu dan keinginan, yang pada suatu waktu saling menyatu, dan pada kesempatan lain saling bertentangan,” (hlm. 41). Tarif menyebut potret tersebut sebenarnya tidak menyoroti manusia yang berdosa, tetapi manusia yang sembrono.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad
Konsep Suasana Al-Quran
Sekali lagi, sebelum mengemukakan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran, Tarif mengajak pembaca untuk mengamini empat konsep suara atau suasana prinsipil al-Quran. Sebab empat konsep tersebut kelak berpengaruh dalam membaca citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.
Siapa pun yang membaca al-Quran, tegas Tarif, akan jelas baginya al-Quran ditujukan kepada pembaca dalam berbagai petunjuk (konsep) suara, suasana atau musikal. Pertama, ada ayat-ayat al-Quran yang dimulai dengan suasana apokaliptik; penggambaran neraka dan surga secara dramatis; gambaran Akhir Zaman dan Hari Kiamat; pemandangan kosmik bintang-bintang, gunung-gunung, ombak laut yang berkecamuk, dan lain sebagainya. Kita dapat membaca hal itu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 berikut,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.
Ayat tersebut menegur dan meminta manusia untuk merenungkan segala fenomena alam dan meyakini Sang Pencipta alam semesta (hlm. 41).
Kedua, ayat-ayat yang memiliki suasana naratif seperti halnya ayat-ayat yang mengisahkan para nabi, raja, dan kaum-kaum sebelumnya yang telah binasa. Ayat-ayat ini, terang Tarif, dituturkan seolah telah dikenal baik dan akrab di telinga pendengarnya. Dan apa yang ditekankan dari ayat-ayat tersebut adalah pesan moral, bukan kisah itu sendiri (hlm. 42). Kita bisa simak ayat naratif ini dalam al-Qasas [28]: 76,
اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْ ۖوَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ
Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”
Ketiga, ayat-ayat yang memiliki suasana hukum (legal) atau homiletika. Ayat ini bicara pada kaum beriman dan tak beriman, kelompok masyarakat tertentu dan umum. Ayat-ayat ini kelak menjadi sumber hukum Islam tentang halal-haram (baca: fikih).
Keempat, ayat-ayat yang menggambarkan suasana komunikatif atau dialogis dalam al-Quran. Tarif menyebutnya suasana situatif (hlm. 42-43). Kita membaca suasana dialogis ini dalam al-Furqan [25]: 32,
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا
Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar).
Jika kita mengamini empat konsep yang digagas Tarif di atas, kita akan dapat memahami citra Nabi Muhammad yang dilukiskan al-Quran yang akan kita simak dalam artikel selanjutnya.
Baca juga: Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui