Sekarang kita berada di penghujung bulan Safar, artinya tak lama lagi kita akan menyambut Rabiul Awal, bulan Sayyid Walad Adam, bulan di mana Nabi Muhammad dilahirkan ke alam dunia. Dan di antara permasalahan yang masih dipertentangkan adalah boleh-tidaknya merayakan peringatan lahirnya Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal.
Masyarakat Islam Jawa seringkali menyebut bulan Rabiul Awal ini dengan sebutan Sasi Mulud—yang diambil dari bentuk isim maf’ul walada; maulud. Pada bulan inilah umat muslim dunia merayakan peringatan lahirnya Rasulullah saw dengan gegap gempita selama satu bulan penuh.
Meski demikian, tak sedikit pula di antara umat Islam yang melarang perayaan tersebut dengan dalih bid’ah—tidak dilakukan di masa Nabi dan sahabat. Selain itu, al-Quran juga tidak menyebutkan dalil kebolehan perayaan tersebut. Benarkah demikian?
Dr. Alwi bin Ahmad bin Husain al-Idrus menjawab tuduhan tersebut dengan panjang dalam al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi fi Dhau’ Ayat al-Quran al-‘Adhim (2020), lengkap dengan dalil-dalil al-Quran serta penjelasannya, sesuai arti tajuknya “Perayaan Maulid Nabi dalam Ayat-ayat al-Quran al-‘Adhim.”
Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran
Sebelum ke inti topik, baiknya kita menyinggung sedikit cara penafsiran al-Quran di kalangan ulama. Telah maklum bahwa cara penafsiran al-Quran paling utama adalah dengan menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang lain. Ini sebagaimana yang Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah katakan;
“Jika ada seseorang bertanya apa cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran? Maka jawabannya adalah menafsirkan suatu ayat dengan ayat al-Quran yang lain. Itulah cara yang sahih untuk menafsirkan suatu ayat. Suatu ayat yang masih mujmal (umum) ditafsiri dengan ayat lain yang lebih terperinci. Jika tidak ditemukan ayat lain yang dapat menafsiri suatu ayat, maka tafsirilah dengan al-sunnah (hadis Nabi), sebab ia adalah penjelas bagi al-Quran.”
Imam Syafii juga mengetengahkan, “Setiap hukum yang diambil Rasulullah itu berasal dari apa yang beliau pahami dari al-Quran.” Hal tersebut diperkuat dengan dua ayat; al-Nisa’ [4]: 105 berikut,
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak, agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat.”
Dan al-Nahl [16]: 44;
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”
Akan tetapi, menafsirkan suatu ayat al-Quran dengan ayat yang lain itu tidak semudah menyandingkan ayat satu dengan yang lain. Ada banyak perangkat yang mesti dipelajari oleh seseorang untuk menafsirkan ayat dengan tafsiran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan ayat lainnya. Di antara perangkat tersebut adalah ulumul quran, ushul fiqh, bahasa, mantiq dan lain sebagainya.
Dan kita semestinya bersyukur karena sudah banyak referensi tafsir al-Quran yang ditulis oleh para ulama seperti kitab al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi fi Dhau’ Ayat al-Quran al-‘Adhim (2020) karya Dr. Alwi al-‘Idrus. Dalam kitab ini, setidaknya ada enam ayat al-Quran yang diambil Dr. Alwi al-‘Idrus sebagai dalil perayaan maulid Nabi. Kita akan membacanya satu-persatu sebagai berikut.
Baca juga: Inilah Potret Perayaan Maulid Nabi dalam Al-Quran
Dalil Pertama Maulid Nabi; QS. Yunus [10]: 58
Dalil pertama perayaan maulid adalah QS. Yunus [10]: 58 berikut,
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Kata al-rahmah pada ayat tersebut ditafsiri sebagai Nabi Muhammad saw, berdasarkan pada QS. al-Anbiya’ [21]: 107;
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya juga menukil riwayat Abu al-Syaikh dari Ibn Abbas, “Fadhal (anugerah) Allah adalah ilmu, dan rahmatNya adalah Muhammad saw, sebagaimana al-Anbiya’ ayat 107.”
Selain itu, Rasulullah sendiri juga menyebut beliau saw sebagai rahmat dalam hadis al-Darimi berikut. Ini sekaligus sebagai cara penafsiran kedua, yaitu ayat al-Quran ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi. Beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.”
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bahagia atas Nabi Muhammad saw adalah urusan ilahi, sedangkan merayakan maulid nabawi adalah wujud ekspresi kebahagiaan tersebut, dan itu boleh-boleh saja meski tidak dilakukan oleh para pendahulu.
Baca juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan
Pendapat Para Ulama
Di antara ulama yang yang membolehkan perayaan maulid nabawi adalah Imam Abi Syamah al-Maqdisi, Abu Zar’ah al-‘Iraqi, al-Hafiz Ibn al-Jazari, dan banyak lagi lainnya. Bahkan, Imam Bukhari dalam Sahih-nya meriwayatkan kisah Abu Lahab yang memerdekakan budak di hari kelahiran Nabi Muhammad sebagai ekspresi kebahagiaanya.
Semukabalah dengan hal itu, Al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami dalam Itmam al-Ni’mah al-Kubra ‘ala al-‘Alam menulis, “Jika Abu Laha b diringankan siksanya di hari Senin sebab bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad saw, kemudian sebagai ekspresi kebahagiaannya, ia memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, lalu bagaimana dengan seorang muslim yang bahagia atas kelahiran nabinya dengan segala bentuk ekspresi kebahagiaan sesuai kadar kecintaannya? tentu balasan Allah lebih dari itu!”
Wal akhir, senada dengan riwayat di atas, kita dapat menyimak syair gubahan al-Hafiz Syams al-Din Nashir al-Damasyqi berikut,
إِذَا كَانَ هَذَا كَافِر جَاءَ ذَمُّهُ * وَ تَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا
أَتٰي أَنَّهُ فِي يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ دَائِمًا * يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَ
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الّذِي طُوْلَ عُمْرِهِ * بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَ مَاتَ مُوَحِّدَا
Jika (Abu Lahab) yang kafir dan di-nash al-Quran masuk neraka selamanya saja diringankan siksanya setiap hari Senin sebab turut bahagia atas kelahiran Ahmad, lalu bagaimana dengan seorang hamba yang seumur hidupnya bahagia atas kelahiran Ahmad dan meninggal dalam keadaan mengesakan Allah?
Nantikan pembahasan berikutnya mengenai dalil maulid Nabi Muhammad dalam al-Quran di website tafsiralquran.id.
Baca juga: Tafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya