Muhammad Tahir Ibnu Asyur atau yang lebih akrab dikenal dengan Ibnu Asyur merupakan seorang ulama karismatik asal Tunisia yang ahli dalam berbagai bidang ilmu syariat (mutafannin fi al-‘ulum). Dua magnum opusnya yang menjadi rujukan paling otoritatif dalam bidang Ilmu Maqasid al-Syari’ah dan Ilmu Tafsir adalah Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah dan al-Tahrir wa al-Tanwir. Tak sebatas ahli dalam berbagai disiplin ilmu, akan tetapi pengabdiannya untuk masyarakat semasa hidupnya itu juga yang menyebabkan dia begitu dicintai dan masih terus dibanggakan oleh masyarakat Tunisia hingga saat ini. Foto-fotonya menghiasi dinding-dinding berbagai institusi perguruan tinggi, namanya abadi dan terus hidup menjelma menjadi sebuah gedung, institusi, dan organisasi hingga hari ini.
Ibn Asyur juga dijuluki sebagai tokoh pembaharu pada zamannya (mujaddid zamanihi). Gagasan-gagasannya kokoh dan berani. Dalam satu permasalahan tertentu, dia tidak ragu untuk menyelisihi pendapat mayoritas (jumhur ‘ulama) yang berlaku. Konon ide-ide reformisnya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Muhammad Abduh mengenai “wacana pembaharuan Islam” yang disebarkan secara berkala melalui media cetak “Urwatul Wutsqa”. Di antara karyanya yang memuat kritik-kritik yang cukup tajam dan berani adalah kitab Alaisa al-Subhu Biqarib. Kitab ini selesai ditulis saat usianya kurang lebih 28 tahun. Usia ketika Ibnu Asyur telah mencapai puncak dalam berbagai disiplin ilmu yang ditekuni.
Secara umum isi kitab ini adalah tentang gagasan reformasi pendidikan di dunia Arab Islam secara umum dan di Tunisia secara khusus, sebagaimana yang termaktub secara lengkap dalam judul kitab: Alaisa Subhu Biqarib, al-Ta’lim al-‘Arabi al-Islami, Dirasah Tarikhiyyah wa Ara’ al-Ishlahiyyah. Ibnu Asyur mengkritik berbagai sisi dalam dunia pendidikan yang sudah berlaku selama berabad-abad, mulai dari metode mengajar, kurikulum, guru, murid, kitab-kitab dan seterusnya. Sembari dia juga menawarkan solusi-solusi supaya dunia pendidikan Arab tidak jumud dan tertinggal. Tak hanya itu, di bagian-bagian akhir bukunya, Ibn Asyur melontarkan penyebab kemunduran berbagai disiplin ilmu keislaman, termasuk yang sangat menarik adalah kritiknya terhadap disiplin Ilmu Tafsir. Ada empat aspek penyebab mundurnya ilmu tafsir menurut Ibnu Asyur.
Pertama, Gemar menukil pendapat dan riwayat (Al-wali‘u bittauqif wa al-naql). Dalam kamus ma’ani ‘arabi ‘arabi kata “al-wali’u” atau “al-wala’u” bermakna syadid al-ta’alluq (sangat bergantung). Sedangkan yang dimaksud dengan tauqif atau naql disini ialah sebagaimana yang sudah maklum dipahami, yaitu riwayat-riwayat, baik itu hadis, perkataan tabiin atau tabi al-tabi’in. Ibnu Asyur mengatakan bahwa penyebab pertama kemunduran ilmu tafsir adalah karena para mufasir hanya puas dengan melakukan penukilan-penukilan riwayat dalam tafsirannya, tanpa ada usaha melakukan interpretasi atau pengoptimalan akal lebih jauh. Mereka sangat takut akan kesalahan, bahkan beranggapan bahwa salah dalam menafsirkan mengakibatkan kekufuran.
Baca Juga: Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid
Lebih lanjut Ibnu Asyur mengatakan, “Maka orang-orang (mufassir) akhirnya menolerir naql meskipun itu lemah atau dusta, sementara mereka menghindari ra’yu walaupun itu benar; karena mereka mengira apa yang menyelisihi naql adalah keluar dari apa yang dikehendaki Allah terhadap Alquran.”
Masih dalam masalah tauqif wa al-naql, Ibnu Asyur juga mengkritik para mufassir yang terlalu berlebihan dalam menggunakan piranti asbab al-nuzul untuk penafsiran. Terkadang mereka memasukkan begitu saja riwayat-riwayat yang palsu dan hadis-hadis yang tidak diketahui asal-usulnya. Men-takhsis ayat-ayat yang seharusnya tak perlu di-takhsis. Sehingga hal tersebut justru membuat makna al-Qur’an yang agung menjadi sempit. Bahkan terkadang memalingkan lafaz dari makna yang sebenarnya.
Kedua, lemah dalam bahasa dan balaghah (al-da’fu fi al-lughah wa al-balaghah). Dalam poin ini Ibnu Asyur ingin mengatakan bahwa seorang mufasir harus menguasai betul bahasa Arab dan balaghah. Sebab al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dengan nilai sastra yang sangat tinggi, maka selain dengan ilmu alat (nahwu dan sorof) tentunya dibutuhkan balaghah untuk menganalisis beragam macam makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an.
Menurut Ibnu Asyur, kesesatan terbesar adalah apa yang dilakukan oleh para kaum bathiniah, isma’iliyyah dan sufiyah yang mana mereka menyangka bahwa al-Qur’an adalah isyarat-isyarat (tanda-tanda), lalu mereka menfasirkan makna-makna al-Qur’an dengan isyarat-isyarat tersebut. Kemudian Ibnu Asyur melanjutkan dengan kalimat yang cukup keras “wa rama bihim jahluhum ila iftidahihim, fa fassaru ashya’an bi wajhi al-tafkik li al-lafdzi” (kebodohan mereka itu mengantarkan pada kecerobohan mereka, kemudian menafsirkan segalanya dengan bentuk melepaskan maknanya jauh dari lafadz).
Pada sebab kedua ini, kita bisa mengetahui bahwa Ibnu Asyur berada pada posisi menolak tafsir-tafsir sufi atau disebut dengan tafsir Isyari. Adz Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan beberapa tokoh pelopor tafsir isyari ini, diantaranya al-Tustari dengan tafsir al-Qur’an al-‘Adzimnya, al-Silmi dengan haqaiq al-tafsir nya, al-Syairazi dengan ‘arais al-bayannya dan Najmuddin Dayah dengan al-Ta’wilat al-Najmiyyahnya.
Ketiga, lemah dalam ilmu-ilmu yang menurut mereka (mufasir) jauh dari al-Qur’an, padahal ilmu tersebut sangat dibutuhkan guna mengetahui keagungan cakupan al-Qur’an. Seperti ilmu sejarah, falsafah ‘umran (istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Ibn Khaldun yang kemudian menjadi sebuah teori ilmu metodologi umum yang membahas tentang dasar-dasar peradaban dan dengannya bisa tercapai sebuah peradaban di bumi), agama-agama dan politik.
Baca Juga: Mengenal Asy-Syarbini dan Kitab Tafsir Sirajul Munir
Keempat, para mufasir keluar dari pembicaraan mengenai pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan pemahaman ayat, menuju ke masalah-masalah yang memiliki hubungan lemah atau bahkan tak ada hubungannya dengan pemahaman ayat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Fakhr al-Razi dalam Tafsir al-Kabir. Kritik ini disambut oleh para kritikus lain, hingga sering muncul isitilah yang familiar ditelinga para pemerhati tafsir, bahwa tafsir al-Razi ini “segala sesuatu ada didalamnya kecuali tafsir itu sendiri” (kullu syai’in fihi illa al-tafsir).
Itulah empat kritik tajam Ibnu Asyur terhadap perkembangan ilmu tafsir. Kurang lebih 60 tahun setelah kritik tajam tersebut, muncullah sebuah karya fenomenal Ibnu Asyur dalam bidang tafsir lengkap 30 juz berjudul Tahrir al-Ma’na al-Sadid wa Tanwir al-‘Aqli al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid yang lebih masyhur dengan al-Tahrir wa al-Tanwir, setelah melalui proses penulisan sangat panjang hingga memakan waktu hampir 40 tahun.
Dengan kehadiran kitab tafsir ini seolah Ibnu Asyur ingin menunjukkan bahwa dia tak hanya mampu mengkritik, namun juga mampu menghasilkan sebuah karya tafsir yang terbebas dari empat kritik yang telah disampaikan di atas. Dalam karyanya, dia tak ingin terjebak dalam lubang kritiknya sendiri, sehingga karyanya benar-benar berkontribusi dalam perkembangan ilmu tafsir. Wallahu a’lam