Salah satu fakta penting berkaitan dengan iman atas qadla dan qadar Allah adalah bahwa keduanya mencakup hal-hal buruk (syarr) di samping hal yang baik (khair). Iman-yang berarti tashdiq atau pembenaran-terhadap keduanya juga berarti membenarkan fragmen turunannya: bahwa kebaikan dan keburukan adalah datang dari Allah subhanahu wa ta‘ala.
Namun demikian, dalam konteks formal keseharian, mungkinkah menisbatkan keburukan kepada Allah? Pertanyaan ini lah yang ingin dijawab dari tulisan singkat ini.
Di antara elemen penting yang menjadi bagian dari penjelasan iman terhadap qadla dan qadar adalah memahami esensi keimanan serta mengaplikasikannya dengan benar. Aplikasi ini mencakup poin etika dan bias pembicaraan hakikat keduanya. Hal ini dikarenakan Allah “terlanjur” berfirman dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 78,
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ
“Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah.”
Letterlijk ayat ini menyebutkan bahwa sah-sah saja menisbatkan keburukan kepada Allah. Toh memang Dia, Zat yang menciptakan segalanya (Al-Khaliq), tapi benarkah demikian?
Syaikh Nawawi Banten dalam ulasannya terhadap qadla dan qadar dalam Kasyifah al-Saja menyiratkan adanya keharusan pembacaan menyeluruh terhadap Alquran, yang dalam dunia tafsir disebut dengan maudlu’i dan atau al-ayah bi al-ayah. Pembacaan ini dilakukan usai melakukan penghimpunan terhadap ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema.
Dalam pembacaan yang dilakukan Syaikh Nawawi, ayat di atas hanya berlaku dalam pembicaraan yang berkaitan dengan hakikat dan bukan dalam konteks formal keseharian. Aspek hakikat di sini dimaksudkan pemahaman esensial dari iman itu sendiri, bahwa memang kebaikan dan keburukan berasal dari Allah. Namun, dalam konteks formal keseharian, aspek yang dikedepankan adalah kelaikan yang menjadi unsur utama dalam etika.
Lantas bagaimana beretika dalam konteks iman terhadap qadla dan qadar secara benar?
Baca juga: Ketika Kaum Sufi Berinteraksi dengan Alquran
Pada lanjutan elaborasinya, Syaikh Nawawi menghimpun setidaknya tujuh ayat yang menyiratkan etika dalam beriman terhadap qadla dan qadar. Ketujuh ayat tersebut adalah
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ
“Kebaikan (nikmat) apa pun yang kamu peroleh (berasal) dari Allah, sedangkan keburukan (bencana) apa pun yang menimpamu itu disebabkan oleh (kesalahan) dirimu sendiri” (4: 79)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ
“Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri” (42: 30)
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
“Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa” (18: 82)
فَأَرَدْتُّ أَنْ أَعِيْبَهَا
“Maka, aku bermaksud membuatnya cacat” (18: 79)
الَّذِيْ خَلَقَنِيْ فَهُوَ يَهْدِيْنِ. وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِيْ وَيَسْقِيْنِ. وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“(Allah) yang telah menciptakanku. Maka, Dia (pula) yang memberi petunjuk kepadaku. Dia (pula) yang memberiku makan dan minum. Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (26: 78-80)
Tujuh ayat ini memberikan gambaran relasi yang terbentuk antara kebaikan dan keburukan dengan otoritas penyebabnya. Ayat pertama dan kedua secara eksplisit menggunakan redaksi kebaikan dan keburukan. Kebaikan disandarkan kepada Allah dan keburukan kepada makhluk-Nya. Sementara lima ayat sisanya memanivestasikan masing-masing kebaikan dan keburukan dalam aktivitas yang lebih konkrit: pendewasaan; perusakan kapal; penciptaan; pemberian petunjuk, makanan, minuman dan kesembuhan; serta penyakit.
Dari keseluruhan relasi yang ada, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setiap kebaikan-dengan berbagai manivestasinya-akan disandarkan kepada Allah. Sedangkan setiap keburukan–juga dengan berbagai manivestasinya-akan disandarkan kepada makhluk atas tindak perilakunya.
Isyarat penisbatan keburukan kepada makhluk dalam konteks formal keseharian seperti yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Khidir dalam dhawuh keduanya yang muncul dalam situasi perbincangan formal keseharian, bukan mengenai esensi dan hakikat. Sehingga ayat yang menjelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dikhususkan (takhshish) pada pembicaraan hakikat semata.
Elaborasi Syaikh Nawawi ini juga didukung dengan isyarat yang cukup sharih dari potongan hadis panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (206-261 H.) yang berbunyi,
وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
“Tidaklah keburukan itu kepada-Mu”
Yang oleh beliau diartikan dengan,
(وَالشَّرُّ) لَايُضَافُ إِلَى اللهِ تَأَدُّبًا
“Etikanya, keburukan tidaklah disandarkan kepada Allah”
Oleh karenanya, meskipun benar segala sesuatu-baik dan buruk-berasal dari Allah, tetapi etikanya tidak diperkenankan menisbatkan keburukan kepada-Nya. Kecuali dalam pembicaraan mengenai hakikat dan esensi segala sesuatu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berdoa Meminta Kematian