Tsamud adalah nama suatu kabilah yang dikenal sebagai umat Nabi Shalih. Dinamakan Tsamud karena diambil dari nama salah satu nenek moyang mereka yang bernama Tsamud, saudara Judais. Keduanya adalah anak Abir bin Iram bin Sam bin Nuh as. Mereka merupakan bangsa Arab al’Aribah, yakni penduduk asli dari Jazirah Arab yang tinggal di daerah bebatuan antara Hijaz dan Tabuk.
Periode kehidupan kaum Tsamud adalah setelah priode kehidupan kaum ‘Ad. Disebutkan bahwa kaum Tsamud memiliki kebiasaan peribadahan yang sama dengan kaum ‘Ad, yakni menyembah berhala. Karena alasan inilah kemudian Allah mengutus seorang nabi yang berasal dari kalangan mereka, yaitu seorang hamba, nabi dan Rasul Allah Swt: Shalih as.
Nabi Shalih as merupakan keturunan generasi kesembilan dari Nabi Nuh as. Silsilah lengkap beliau adalah Shalih bin ‘Ubaid bin Masih bin ‘Ubaid bin Hajir bin Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nuh as. Beliau diperintahkan Allah untuk menyeru kaumnya kepada ketauhidan dan memerintahkan mereka untuk meninggalkan berhala-berhala yang selama ini disembah (Kisah Para Nabi dan Rasul: 163).
Kisah ini Allah sebutkan dalam QS. Hud [11]: 61, “Dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Dakwah nabi Shalih kemudian direspon secara negatif oleh mayoritas kaum Tsamud dan hanya sebagian dari mereka yang menerima dakwah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menyakiti nabi Shalih, baik perkataan maupun perbuat. Mereka menuduh nabi Nuh telah menyeleweng dari ajaran nenek moyang, padahal ia adalah seseorang yang akan diharapkan menjadi pemuka kaum Tsamud karena kecerdasan dan kesempurnaan pribadinya.
Baca Juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran
Selanjutnya, mereka mempertanyakan keabsahan agama yang dibawa nabi Shalih. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.” (QS. Hud [11]: 62)
Nabi Shalih menjawab dan memverifikasi keabsahan agama yang dibawanya, “Wahai kaumku! Terangkanlah kepadaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapa yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya? Maka kamu hanya akan menambah kerugian kepadaku.” (QS. Hud [11]: 63)
Ini merupakan bentuk kelembutan nabi Shalih terhadap kaum Tsamud dalam berdialog sekalipun mereka telah meragukan keabsahan agama yang dibawanya. Beliau memberi pengertian dengan mengajak mereka berfikir secara filosofis tentang dampak yang akan mereka terima karena menolak beriman. Namun mereka malah berkata, “Sungguh, engkau hanyalah termasuk orang yang kena sihir. “ (QS. asy-Syu’ara [26]: 153)
Kemudian Allah mengeluarkan seekor unta betina dari sebongkah batu kepada kaum Tsamud sebagai bukti kebenaran dakwah nabi Shalih. Firman Allah, “…Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih.” (QS. al-A’raf [7]: 73)
Pada mulanya, kaum Tsamud terkesima dan percaya terhadap ajaran yang dibawa nabi Shalih pasca melihat bukti dan tandas kekuasaan Allah Swt. Mereka sepakat membiarkan unta betina tersebut hidup di tengah-tengah mereka dan mereka mau berbagi sumber air. Agar air dapat dinikmati secara adil, nabi Shalih kemudian membagi waktu pengambilannya. Ia berkata, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 155)
Setelah kondisi seperti ini berlangsung lama, para pembesar Tsamud merasa bahwa unta betina tersebut mengganggu kepentingan mereka. Akibat hasutan-hasutan dan keserakan, mereka kemudian memutuskan untuk menyembelih unta tersebut agar kepentingan mereka tidak terusik. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.” (QS. al-A’raf [7]: 77)\
Mendengar tantangan kaumnya terhadap Allah Swt, nabi Shalih lantas menjawab, “Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud [11]: 65). Ketika nabi Shalih mengatakan hal itu, kaum Tsamud tidak percaya, bahkan mereka berniat untuk membunuh beliau beserta keluarganya melalui penyergapan tiba-tiba di malam hari. Namun Allah menggagalkan rencana mereka tersebut dengan cara melempari batu kepada para penyergap.
Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka
Ketika hari yang dijanjikan tiba, pada saat matahari terbit muncul suara kencang dari langit dan terjadi gempa bumi. Hal tersebut memporak-porandakan peradaban kaum Tsamud dan membuat nyawa-nyawa melayang. Tidak ada yang tersisa kecuali serpihan bangunan, dan kesunyian. Pada saat itu, penduduk Tsamud menjadi jasad-jasad tak bernyawa dan tak bergerak lagi. Hal ini terjadi akibat keingkaran dan pembangkangan yang mereka lakukan (Kisah Para Nabi dan Rasul: 163-180).
Kisah Nabi Shalih, unta dan kaum Tsamud di atas selain memberi pelajaran tentang akibat dari pembangkangan, kekufuran dan penentangan kepada Allah berupa azab yang pedih, itu juga memberikan isyarat pelestarian alam kepada pembaca Al-Qur’an. Unta betina adalah personifikasi dari bumi yang harus dilestarikan dan jangan diutak-atik dengan berbagai tindakan manusia yang dapat berakibat pada kerusakan.
Selanjutnya, pembagian waktu pengambilan air sumur juga merupakan gambaran peringatan langsung kepada manusia bahwa bumi dan seisinya tidak hanya diperuntukkan bagi mereka. Manusia harus bersinergi dengan alam, berbagi sumber daya tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan yang merupakan makhluk Allah Swt. Wallahu a’lam.