Satu kelaziman dalam mushaf kuno Nusantara adalah penulisan ayat Alquran yang menggunakan rasm (gaya tulis) campuran, imla’iy dan ‘utsmaniy. Rasm imla’iy adalah gaya penulisan berdasarkan kaidah penulisan konvensional, sedangkan rasm ‘utsmaniy adalah gaya penulisan yang berdasarkan mushaf Khalifah Usman bin Affan.
Belum diketahui dengan jelas apa alasan yang menyebabkan penggunaan rasm campuran ini. Namun demikian, Mustopa dalam kajiannya yang berjudul Beberapa Aspek Penggunaan Rasm dan Tanda Tajwid pada Mushaf Kuno Lingga menduga bahwa ini ada kaitannya dengan proses islamisasi di Nusantara. Pengenalan Islam terhadap masyarakat pribumi tidak memungkinkan adanya penerapan rasm ‘utsmaniy.
Meski begitu, tidak serta merta semua mushaf kuno yang ada saat itu “sepi” dari model penulisan rasm ‘utsmaniy. Beberapa hasil kajian telah banyak yang memberikan informasi penggunaan rasm ‘utsmaniy dalam mushaf kuno, meski tidak secara menyeluruh. Salah satu di antaranya adalah kajian yang dilakukan oleh Anton Zaelani dan Enang Sudrajat pada mushaf Bali yang berjudul Mushaf Alquran Kuno di Bali.
Kajian terhadap 12 mushaf kuno peninggalan Suku Bugis tersebut mengklaim penggunaan rasm ‘utsmaniy dalam 11 dari total seluruh mushaf yang ada. Sementara satu mushaf sisanya menggunakan rasm campuran. Setelah membaca hasil kajian Zaelani dan Sudrajat ini, penulis menganggap bahwa klaim yang diberikan agaknya “terlalu berani”. Hal ini dikarenakan beberapa model penulisan dalam mushaf yang ada, yang mestinya ditulis mengikuti rasm ‘utsmaniy, nyatanya juga ditulis mengikuti rasm imla’iy.
Dalam beberapa gambar perbandingan yang ditunjukkan, penulisan kata yang mengikuti bentuk jama‘ mudzakar salim (jamak laki-laki reguler) dan dlamir na (kata ganti orang pertama jamak) tampak masih menggunakan (itsbat) huruf alif. Sementara dalam rasm ‘utsmaniy, kaidahnya adalah dengan membuang (hadzf) alif. Maka menurut hemat penulis, rasm dalam mushaf kuno secara umum terkategorikan dalam rasm campuran, sampai benar-benar dilakukan kajian menyeluruh dan bukan sekadar sampling.
Lain halnya dengan yang penulis jumpai dalam Mushaf Blawong koleksi masyarakat Gogodalem. Pada dua naskah yang ada, berkode BRI 83 dan BRI 84, penulis menjumpai adanya indikasi perhatian terhadap penulisan rasm. Tepatnya pada penulisan kata dawud (داوود-داود).
Baca juga: Mengenal Mushaf Alquran Blawong Gogodalem (Bagian 2)
Dalam kaidah rasm, baik yang mengikuti mazhab Abu ‘Amr Al-Daniy (w. 444 H.) ataupun Abu Dawud (w. 496 H.), penulisan kata dawud ditulis dengan menggunakan satu wawu, yang dalam mushaf modern saat ini umumnya ditambahkan dengan wawu kecil sebagai penanda bacaan madd atau panjang. Penulisan dengan wawu kecil ini dapat dilihat pada Mushaf Madinah cetakan Mujamma‘ Malik Fahd dan Mushaf Jamahiriyyah Libya.
Pada Mushaf Blawong berkode BRI 83, penulisan kata dawud memang tetap ditulis dengan dua wawu sebagaimana penulisan imla’iy. Namun demikian, wawu yang kedua ditulis dengan menggunakan tinta berwarna merah yang menunjukkan adanya rubrikasi atau sesuatu yang dianggap penting. Penulis menduga bahwa hal itu ada kaitannya dengan model penulisan rasm.
Dugaan ini didasarkan pada penulisan kata yang sama, dawud, dari mushaf yang berbeda dalam satu koleksi yang sama, yakni dari Mushaf Blawong berkode BRI 84. Penelusuran yang dilakukan mendapati adanya empat penulisan kata dawud yang diberikan catatan keterangan pada bagian pias (pinggir halaman) pada Surah Al-Maidah [5] ayat 78, Surah Al-Anbiya’ [21] ayat 78, Surah An-Naml [27] ayat 15, dan Surah Saba’ [34] ayat 10. Di sana tertulis
بواو و(ا)حد في الرسم وقرئ بواوين *داوود*
“Dengan satu wawu dalam rasm(penulisan)-nya dan dibaca dengan dua wawu -daawuud-”
Hal ini sangat menarik karena tanda tertentu atau bahkan catatan mengenai rasm dijumpai dalam penulisan kata yang sama. Yang lebih menarik juga adalah adanya keterangan spesifik dengan redaksi ‘fi al-rasm’ (dalam penulisan ini) yang merupakan diksi khusus yang digunakan dalam kajian rasm Alquran. Hal ini mengindikasikan adanya perhatian penyalin mushaf di era tersebut terhadap kajian rasm sebagai asas penulisan Alquran. Dari sini pula dapat disimpulkan bahwa kajian rasm di masa itu, yakni sekitar awal abad ke-19, (Baca selengkapnya dalam Belajar Skeptis dari Ali Akbar) telah dilakukan oleh para penyalin atau bahkan pemerhati Alquran.
Memang penulis tidak mengingkari bahwa dalam dua Mushaf Blawong di atas, BRI 83 dan BRI 84, masih banyak penulisan yang tidak mengacu kaidah rasm ‘utsmaniy. Namun dengan ditemukannya catatan dan rubrikasi pada naskah, dapat memberikan informasi seputar perkembangan kajian rasm di Nusantara. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya