BerandaUlumul Quran'Membaca' Alquran bersama Ziauddin Sardar

‘Membaca’ Alquran bersama Ziauddin Sardar

Ziuaddin Sardar merupakan seorang muslim dengan banyak profesi dan identitas. Ia lahir di Pakistan pada 31 Oktober 1951. Kemudian, pindah ke Hackney, London Timur tahun 1961 bersama kedua orang tuanya. Selain sebagai seorang akademisi, ia juga seorang jurnalis. Maka tidak heran jika ia memiliki beberapa karya.

Dalam beberapa karyanya, Sardar memiliki ketertarikan tersendiri dalam mengkaji Alquran dan tafsirnya. Minatnya dalam kepenulisan ini dimulai pada tahun 1998 ketika ia bergabung dalam organisasi FOSIS (Federasi of Student Islamic Societies), yakni majalah dengan nama The Muslim. Pada saat itu proyek yang dikerjakan adalah menerbitkan serial tafsir Sayyid Qutb, Fii Dzilalil Qur’an, secara berkala. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 37)

Baca Juga: Memahami Kepemilikan dan Pergeseran Otoritas Penafsiran Al-Quran Menurut Ziauddin Sardar

Selain itu, Sardar juga menulis di sebuah blog dengan nama The Guardian yang diluncurkan pada tahun 2008. Artikel-artikel yang dimuat ditujukan untuk kalangan umum, baik itu muslim maupun non-muslim. Blog ini sebenarnya difungsikan untuk berita harian Inggris. Namun, Sardar memanfaatkan blog tersebut untuk mengembangkan pemahaman Alquran di zaman sekarang, dengan menyajikan kajian yang lebih sistematis, kolektif, dan elaboratif, namun menggunakan gaya penulisan yang santai. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 16)

Dari artikel-artikel yang dimuat di blog tersebut akhirnya dijadikan sebuah buku dengan judul Reading The Qur’an; The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam. 

Deskripsi Karya

Buku tersebut diterbitkan oleh Oxford University Press pada 2011. Sedangkan dalam versi bahasa Indonesia-nya mulai diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta pada 2014. Namun, dalam terjemahan tersebut ada satu sub bab yang tidak ditampilkan, yakni Homosexuality.

Buku ini memuat empat klasifikasi pembahasan, yakni bagian pertama terdiri dari 5 poin pembahasan yang menjelaskan tentang gaya bahasa, struktur dan watak Alquran. Serta, bagaimana pembacaan dan penafsiran Alquran secara konvensional.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Bagian kedua terdiri dari 22 poin pembahasan yang menyajikan ulasan-ulasan dalam surat al-Fatihah dan al-Baqarah yang terdiri dari tema-tema pembahasan.

Pada bagian ketiga, terdiri dari 13 poin pembahasan. Sardar memusatkan
kajiannya pada tema-tema besar dalam Alquran, serta mengungkap bagaimana Alquran berbicara tentang kebenaran dan pluralitas hingga etika dan moral.

Sedangkan pada bagian keempat, terdiri dari 12 poin pembahasan yang berisi pembahasan isu-isu kontemporer, mulai dari pembahasan syariat hingga seni, musik dan imajinasi. Dalam bagian ini pula, Sardar berupaya menggali ayat-ayat Alquran untuk mengungkapkan kedudukan Alquran serta maknanya yang relevan atas isu tersebut.

Metode Penafsiran

Dalam bukunya tersebut, Sardar menggunakan metode tafsir maudhu‘i,
yakni metode tafsir yang mengarah pada tema tertentu dengan menghimpun ayat-ayat yang sejalan dengan tema yang diteliti.

Baca Juga: Mengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

Menurut penulis, Sardar telah mengimplementasikan dua jenis tafsir maudhu‘i, yakni maudhu‘i surat dan maudhu‘i konsep. Penerapan maudhu‘i surat dilihat dari tafsiran surat al-Fatihah dan al-Baqarah, sedangkan maudhu‘i konsep meliputi penafsiran makna pada tema yang sudah ditentukan, semisal kekuasaan, politik, hijab, dan seterusnya. (Miatul Qudsia, Considering the Moral Value of the Verse of Riba)

Ngaji Qur’an di Zaman Kiwari

Saat berinteraksi dengan Alquran, Sardar tidak hanya menuliskan bagaimana Alquran berbicara soal isu-isu terkini, namun ia juga menuliskan bagaimana pengalamannya berinteraksi dengan Alquran.

Lebih jauh, tujuan Sardar menulis tentang kealquranan ini adalah untuk
memahami apa dan bagaimana Alquran di abad 21. Menurutnya, ini bukan hal yang mudah untuk memahami Alquran di zaman sekarang. (Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, 16)

Dalam menafsirkan Alquran, ia menegaskan bahwa telah memadukan berbagai metode dan pendekatan. Langkah awal yang dilakukan adalah membaca terjemahan Alquran. Kemudian, memahami makna dari sebagain
frasa dan istilah kunci Alquran untuk dicari relevansinya dengan zaman
sekarang.

Kemudian, Sardar menggunakan teknik penafsiran ayat per ayat. Di saat itu pula, ia mulai menganalisis dari sudut pandang kontekstual, hermeneutika, teori sastra hingga semiotik. (Sardar, Ngaji Quran, 22)

Menurutnya, ada dua langkah yang membedakan antara dirinya dengan yang lain. Selain menggunakan 2 langkah tafsiran klasik yakni memahami konteks Alquran dan konteks yang berkaitan dengan Nabi Saw, ia juga menambahkan data konteks sejarah dan konteks kekinian.

Sedangkan untuk rujukannya, Sardar mengacu pada karya-karya para pemikir progresif ataupun referensi klasik yang berbahasa Inggris. Di samping itu, Sardar juga menggunakan rujukan darri al-Kitab. (Taufan Anggoro, Tafsir Alquran…, 205)

Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Secara metodologisnya, jika menelaah pada gagasan Sardar terkait
penggalian konteks kekinian, maka sedikit banyak ada kesamaan dengan Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed. Selain itu, juga ada pengaruh dari Farid Esack yang terkenal dengan tawaran hermeneutika pembebasannya. Ia pun sering mengutip pendapat dari mereka. (Anggoro, Tafsir Alquran…, 216)

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

konsep kesetaraan ras dalam Alquran

Konsep Kesetaraan Ras dalam Alquran

0
Di zaman teknologi yang telah berkembang pesat, manusia dengan situasi sosialnya masih saja berkutat dengan diskursus yang berulang bahkan seperti sebelum datangnya Islam. Beberapa...