BerandaTafsir Al QuranMenafsirkan Birra’yi, Alasan Antara Yang Terlarang Dan Tidak Terlarang

Menafsirkan Birra’yi, Alasan Antara Yang Terlarang Dan Tidak Terlarang

Menafsirkan birra’yi atau dikenal dengan menafsirkan Al-Quran hanya dengan akal pikiran semata, disebut sebagai cara menafsirkan Al-Quran yang dilarang oleh Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam. Hanya saja, kadang banyak menyalah fahami bagaimana praktik menafsirkan birra’yi yang dilarang tersebut. Banyak yang memahami bahwa menafsirkan birra’yi sebagai tindakan menafsirkan Al-Quran dengan akal pikiran dan tanpa disertai keterangan penafsiran dari Nabi dan sahabat.

Sebuah pertanyaan sederhana, apakah menjelaskan sebuah ayat dengan akal pikiran tanpa adanya keterangan nabi atau sahabat, apakah juga termasuk menafsirkan birra’yi yang dilarang? dan apakah bila seorang ahli bahasa, ahli kimia atau ahli fisika menjelaskan sebuah ayat dari Al-Quran sesuai dengan bidang mereka masing-masing tanpa menyinggung keterangan tafsir nabi atau sahabat, sudah bisa dipastikan keterangan mereka disebut menafsirkan birra’yi yang dilarang?


Baca juga: Idgham Mutamatsilain: Pengertian, Pembagian, dan Contohnya dalam al-Quran


Hadis Larangan Menafsirkan Birra’yi

Larangan menafsirkan birra’yi termuat dalam hadis hasan yang diriwatkan dari sahabat Ibn Abbas sebagai berikut:

« مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ »

Siapa yang berbicara mengenai Al-Qur’an dengan pikirannya, maka persiapkan tempatnya di neraka (HR. At-Tirmidzi).

Dalam riwayat lain yang sahih dan juga diriwayatkan lewat sahabat Ibn ‘Abbas nabi bersabda:

« مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».

Siapa yang berbicara mengenai Al-Qur’an dengan tanpa pengetahuan, maka persiapkan tempatnya di neraka (HR. At-Tirmidzi).

Imam Al-Munawi dalam Faidul Qadir menjelaskan mengenai hadis pertama di atas, bahwa maksud dari “berbicara mengenai Al-Qur’an” adalah bertindak memberi tafsir atau menafsiri Al-Qur’an. Sedang maksud dari “dengan pikirannya” adalah tanpa adanya pengetahuan mengenai Bahasa Arab dan ragam penggunaanya (Faidul Qadir/1/172).


Baca juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran


Sedang Al-Mubarakfuri mengartikan “dengan pikirannya” sebagai hanya berdasar keinginan serta akal pikirannya, tanpa terlebih dahulu mempelajari penjelasan para tokoh ahli bahasa yang berkesesuaian dengan syariat Islam. Padahal persoalan yang dibahas hanya bisa diketahui hanya dengan mengutip keterangan orang lain. Hal ini seperti pembahasan tentang sebab turunnya ayat, adanya nasakh mansukh, dan selainnya.

Menafsirkan Birra’yi Yang Dilarang Dan Yang Tidak Dilarang Menurut Ulama’

Sekilas melihat larangan menafsirkan birra’yi di dalam hadis atas seakan akan-akan menafsiri Al-Qur’an dengan akal pikiran adalah mutlak dilarang. Sehingga mutlak diperlukan mengutip keterangan Nabi atau sahabat mengenai suatu ayat. Namun berdasar keterangan syarah hadis yang disampaikan oleh Al-Munawi dan Al-Mubarakfuri dapat difahami, bahwa larangan tersebut tidak soal apakah menggunakan pikiran serta tidak adanya keterangan nabi dan sahabat, namun muncul apabila ada unsur “abai” terhadap pengetahuan gramatikal arab, keterangan para pakar tafsir dan ketentuan syariat. Hal ini memunculkan kesimpulan adanya menafsirkan birra’yi yang tidak dilarang.


Baca juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya


Sayyid Muhammad ibn Alawi Al-Maliki dalam Faidul Qadir syarah Nahjut Taisir menguraikan panjang lebar mengenai mana menafsirkan birra’yi yang dilarang, dan mana yang tidak. Ia mengutip keterangan beberapa ulama’ yang menyatakan bahwa maksud menafsirkan birra’yi yang dilarang antara lain:

  1. Menafsirkan ayat sementara si penafsir tidak menguasai ilmu yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-qur’an.
  2. Menafsirkan ayat-ayat mutasyabih, yang maknanya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.
  3. Menafsirkan suatu ayat berdasar dasar keyakinan yang keliru, sehingga bukannya menjelaskan hasil penafsiran secara apa adanya, tapi digiring ke keyakinan keliru tersebut.
  4. Menafsirkan sesuatu dengan memastikan bahwa tafsir itulah yang Allah maksud, padahal tidak ada dasar yang mendukungnya.
  5. Menafsirkan berdasar anggapan diri atau hawa nafsu pribadi semata

Sedang yang termasuk menafsirkan birra’yi yang tidak dilarang adalah, sebagaimana ahli bahasa Arab menguraikan berbagai unsur kebahasaan Al-Qur’an dan ahli fiqih menjelaskan unsur fikih dalam Al-Qur’an. Penjelasan mereka berdua, meski seakan-akan lebih banyak menggunakan akal pikiran dan jarang mengutip keterangan nabi dan para sahabat mengenai tafsir, tapi tidak termasuk Tafsir Birra’yi yang dilarang.

Sebab sebenarnya apa yang mereka sampaikan adalah hasil olahan berbagai sumber, termasuk dari keterangan nabi dan para sahabat. Sehingga tak tepat bila disebut hanya mengandalkan akal pikiran semata (Faidul Khobir/28). wallahu a’lam []

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...