Dalam dunia Islam, mufasir Al-Quran masih didominasi oleh laki-laki. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, sangat jarang ditemui ulama bahkan mufasir perempuan. Hal itu tentu mempengaruhi pemahaman umat Islam yang misoginis terhadap teks-teks Al-Quran. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh KH Husein Muhammad dalam buku Islam Tradisional yang Terus Bergerak, akan bermunculan generasi pesantren yang berpikiran progresif, termasuk dalam isu gender. Dan benar, Indonesia hari ini memiliki beberapa mufasir perempuan yang sangat gigih memperjuangkan keadilan gender, salah satunya adalah Badriyah Fayumi.
Profil singkat Badriyah Fayumi
Badriyah Fayumi dilahirkan di Pati, Bumi Mina Tani, Jawa Tengah, tanggal 5 Agustus 1971 dari pasangan ibu bernama Yuhandis dan ayahnya Fayumi. Pemberian nama belakang Fayumi ini dinisbatkan dari nama ayahnya. Sejak dari kecil ia dididik dalam tradisi pesantren oleh kedua orang tuanya bersama 5 saudaranya yang lain. Selain itu, ia menjalani pendidikan formal dan juga nyantri di Pesantren Mathaliul Falah, Kajen, Pati, asuhan KH Sahal Mahfud. Menurut keterangan Yafie Helmi dalam buku ‘Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia’, selama menjalani pendidikan, Badriyah selalu tercatat sebagai siswa terbaik di kelasnya.
Selesai nyantri dan pendidikan menengah, Badriyah melanjutkan studi sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Ushuluddin. Ia lulus pada tahun 1995, dengan meraih prestasi sarjana terbak. Tamat dari IAIN, Badriyah melanjutkan studi masternya di Universtas Al-Azhar, Mesir, dengan mengambil knsentrasi tafsir Al-Qur’an. Kemudian, sekembalinya dari pendidikannya di Mesir, ia menempuh studi pascasarjananya di kampus pertamanya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan setelah menyelesaikan pendidikannya, ia diangkat menjadi staf pengajar di almamaternya tersebut (1997-2004). Namun, aktivitas Badriyah sendiri setelah itu lebih banyak ke arah gerakan, politik, dan dakwah. Hingga sekarang, ia masih menjadi Pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits di Bekasi.
Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik
Muslimah pejuang keadilan gender: dari gerakan, politik, hingga KUPI
Jika dilihat perjalanan karirnya, Badriyah Fayumi memang memiliki hobi dan minat berorganisasi. Sebuah langkah yang tepat pula, melalui pergerakan dan organisasinya itu ia berjuang membawa misi mulia Islam yaitu keadlan gender dan kesetaraan untuk para perempuan. Sejak mahasiswa ia sudah aktif berorganisasi hingga pernah menjabat Ketua KOPRI tahun 1993. Selepasnya di level aktivis mahasiswa, Badriyah Fayumi memutuskan melanjutkan perjuangannya dengan menceburkan diri ke ranah politik dengan masuk PKB. Kemudian, di tahun 2004-2009, ia terpilih menjadi anggota DPR RI, yang bekerja di komisi 8, bagian agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. Syarat kuota 30 persen untuk perempuan dalam struktur legislatif dan partai politik salah satunya juga merupakan hasil perjuangannya kala itu ketika pembahasan legislasi DPR.
Perjuangan Badriyah ternyata tak cukup sebatas di politik saja, tapi ia juga merambah ke gerakan sosial dan masyarakat. Ia mendirikan Yayasan Mahasina pada tahun 2005 yang berusaha mengembangkan semangat akhawah (persaudaraan), ta’awun (tolong menolong), dan tasamuh (toleransi). Kemudian di tahun 2009, ia turut memprakarsai pendirian Alimat, sebuah gerakan kesetaraan dan keadilan keluarga Indonesia, yang bertujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga perspektif Islam. Gerakan ini didirikan pada tanggal 12 Mei 2009 di Jakarta oleh sejumlah aktivis dari Komnas Perempuan, Fatayat NU, Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Fahmina-Institute dan lain-lain. Pada periode kepengurusan 2015-2020, ia dipercaya untuk memimpin organisasi tersebut.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’la Ayat 14-15: Idul Fitri sebagai Momentum Manusia yang Beruntung
Selain aktivitas sebagaimana disebut di atas, Badriyah juga ditunjuk sebagai staf ahli Ibu Negara RI (2000-2001), menjadi komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2010-2014, dan mendapatkan amanat di Badan Wakaf Indonesia. Kemudian, di awal tahun 2017, ia dan kawan-kawannya sesama aktivis Islam pejuang kesetaraan dan moderasi berhasil dengan sukses menyelenggarakan even besar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon. Kegiatan ini bisa dikatakan menjadi puncak perjuangan Badriyah Fayumi dan kawan-kawannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Hal ini selain karena sebuah prestasi Indonesia bahwa KUPI merupakan kegiatan pertama di tanah air maupun dunia, adanya KUPI menandai tongak awal penyebaran paham adil gender yang lebih luas, serta wahana perkaderan ulama-ulama perempuan selanjutnya.
Menjadi mufasir perempuan sebagai jalan perjuangan kesetaraan
Perjuangan mewujudkan iklim kesetaraan gender tidaklah mudah. Meski berbagai jalur organisasi, gerakan, hingga politik telah ditempuh oleh Badriyah Fayumi, namun jika dogma ajaran yang patriarkis masih tertanam dalam pikiran umat Islam, maka hal itu justru menyulitkan perjuangan. Oleh karena itu Badriyah tergerak memecah dogma patriarkis tersebut melalu jantung teologis umat Islam, yaitu menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Quran dengan perspektif gender yang lebih ramah. Badriyah mengambil jalan menjadi seorang mufasir Al-Quran perempuan.
Menjadi penafsir Al-Quran tentu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena membutuhkan keahlian ilmu di bidang Al-Quran dan berbagai perangkat ilmu yang berkaitan, dan Badriyah Fayumi telah memenuhinya. Terlahir dengan ayah seorang ulama dalam iklim pesantren membuat Badriyah telah mengakrabi ilmu agama dan Al-Quran sejak kecil. Secara pendidikan pun, Badriyah memiliki beberapa background yaitu pernah nyantri dengan KH Sahal Mahfudz, belajar di IAIN, dan juga Al-Azhar Mesir. Hal ini menjadikan Badriyah mampu memadukan keilmuan tradisional Islam klasik dan modern sehingga menghasilkan interpretasi Al-Quran yang holistik dan relevan.
Baca juga: Qiraah Mubadalah: Pembacaan Nash Berbasis Keadilan Gender
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kantjasungkana dalalm buku Dari Inspirasi Menjadi Harapan Perempuan Muslim Indonesia, Badriyah menggunakan pendekatan historis dan kontekstual dalam menginterpretasikan Al-Quran. Beberapa reinterpretasi Al-Quran oleh Badriyah antara lain: QS An-Nisa’ [4]: 34 tentang pendisiplinan perempuan yang tidak patuh; QS An-Nisa’ [4]: 11 tentang warisan perempuan setengah laki-laki; QS An-Nisa’ [4]: 19 tentang poligami; QS Al-Baqarah [1]: 233 tentang tanggung jawab kepada orang tua; QS Al-a’raf [7]: 26 tentang batasan aurat; QS Al-Ahzab [33]: 59 perihal hijab; QS Al-Hujurat [49]: 13 tentang kesetaraan.
Tulisan-tulisannya atas tafsir Al-Quran maupun pemikirannya tentang keadilan gender ini banyak tersebar dalam artikel maupun terkodifikasi dalam satu buku seperti Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam; Dari Harta Gono Gini Hingga Izin Poligami; Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda; dan lain-lain. Semua perjuangannya itu tentu saja ia lakukan untuk menggaungkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam.