Beranda blog Halaman 541

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 36

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Mengabdi dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah.

Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya. Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus.

Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan Allah dalam Alquran. Allah berfirman:

وَيَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُوْلُوْنَ هٰٓؤُلَاۤءِ شُفَعَاۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗقُلْ اَتُنَبِّـُٔوْنَ اللّٰهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِۗ سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ  

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, ”Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” Katakanlah, ”Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?” Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu. (Yµnus/10:18)

Ada pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan mereka. Allah berfirman:

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ  

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31)

Orang musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.

Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah saw bersabda:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ اَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: الله ُوَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ اَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلاَ يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَلاَّ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

(رواه البخاري ومسلم)

 Dari Mu’az bin Jabal, Rasulullah saw bersabda, “Ya Mu’az, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah berkata, “Hak Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Alqur’an yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ 

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.  (Luqman/31:14).

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra’/17:23)

Berbuat baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya. Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman:

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ  ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ 

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (Luqman/31:15)

Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak kecil.

Perintah agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan, karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah maupun karena yang lainnya.

Kalau seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh rumah tangga itu.

Rumah tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab banyak terdapat perintah Allah di dalam Alquran yang menyuruh berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa perikemanusiaan.

Anak yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke sehari.

Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat ditingkatkan.

Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.

Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.

Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu beragama lain. Nabi Muhammad saw pernah melayat anak tetangganya yang beragama Yahudi.

Ibnu Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya, “Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi itu?” Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

(رواه البخاري عن ابن عمر)

 Malaikat Jibril tidak henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga.  (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar)

Banyak hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاٰخِرِ فَلْيُحْسِنْ اِلَى جَارِهِ

(رواه البخاري ومسلم  عن ابي هريرة)

 Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetanggannya  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْجِيْرَانُ ثَلاَثٌ، جَارٌ لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ وَهُوَ اَدْنَى الْجِيْرَانِ حَقًّا، وَجَارٌ لَهُ حَقَّانِ وَجَارٌ لَهُ ثَلاَثَةُ حُقُوْقٍ وَهُوَ اَفْضَلُ الْجِيْرَانِ حَقًّا، فَاَمَّا الْجَارُ الَّذِيْ لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَجَارٌ مُشْرِكٌ لاَ رَحِمَ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ، وَاَمَّا الْجَارُ الَّذِيْ لَهُ حَقَّانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ لَهُ حَقُّ اْلاِسْلاَمِ وَحَقُّ الْجِوَارِ، وَاَمَّا الْجَارُ الَّذِيْ لَهُ ثَلاَثَةُ حُقُوْقٍ فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُوْ رَحِمٍ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ اْلاِسْلاَمِ وَحَقُّ الرَّحِمِ

(رواه ابو بكر البزار)

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata,  Rasulullah saw bersabda, “Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga yang haknya  paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang  ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim dan hak sebagai famili.” (Riwayat Abµ Bakar al-Bazzar).

وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِيْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

 Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.  Rasulullah ditanya orang,  siapa ya Rasulullah?  Rasulullah menjawab, “Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman tetangganya.  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abµ Hurairah)

Rasulullah saw bersabda:

يَا اَبَا ذَرٍّ! اِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

(رواه مسلم عن أبي ذر)

 Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah kuahnya, kemudian berilah tetanggamu.  (Riwayat Muslim dari Abµ Zarr)

Yang dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan dalam Islam.

Berbuat baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.

Berbuat baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya, kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya, sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.

Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.

Banyak hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya, Rasulullah saw bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، فَقَالَ رَجُلٌ: اِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ اَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ: اِنَّ الله َجَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ اَلْكِبَرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

(رواه أبو داود والترمذي عن ابن مسعود)

 Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun sedikit.” Berkata seorang sabahat, “Seseorang itu ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus.” Berkata Rasulullah saw,  “Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan. Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang lain.” (Riwayat Abµ Dawud, Tirmizi dari Ibnu Mas’ud)

Apakah yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.

(Tafsir Kemenag)

Apa Makna Kata Walidayn? Berikut Penjelasannya …

0
Perbedaan Makna
Makna Kata Walidayn credit: www.almuheet.net

Secara bahasa makna kata walidayn (وَالِدَيْنِ) adalah bentuk ganda (mutsanna) dari kata wālid (وَالِدٌ). Kata wālid (وَالِدٌ) adalah bentuk tunggal laki-laki, yang berarti “seorang orang tua laki-laki, yaitu seorang ayah.” Bentuk gandanya adalah wālidān-i (وَالِدَانِ) atau wālidayn (وَالِدَيْنِ), yang berarti “dua orang tua laki-laki, dua ayah.” Bentuk jamaknya adalah wālidūn-a (وَالِدُوْنَ) atau wālidīn-a (وَالِدِيْنَ), yang berarti “orang-orang tua laki-laki, ayah-ayah.”

Bentuk mu’annats (perempuan) dari kata wālid (وَالِدٌ) adalah wālidah (وَالِدَةٌ), yang berarti “seorang orang tua perempuan, yaitu seorang ibu.” Bentuk gandanya adalah wālidatān-i (وَالِدَتَانِ) atau wālidatayn (وَالِدَتيْنِ), yang berarti “dua orang tua perempuan, dua orang ibu.” Jamaknya adalah wālidāt-un (وَالِدَاتٌ) yang berarti “orang-orang tua perempuan, ibu-ibu.”

Kata di atas adalah bentuk isim fa’il (kata yang menunjuk pelaku, yang melakukan pekerjaan) dari kata kerja walada (وَلَدَ). Kata kerja وَلَدَ berarti “melahirkan, mengasuh, dan membesarkan.” Dari makna kata kerja ini dapat diketahui bahwa kata wālid (وَالِدٌ) berarti “seseorang yang melahirkan, mengasuh, dan membesarkan.” Kata walidayn (وَالِدَيْنِ) dalam bentuk ganda bebarti “dua orang yang melahirkan, dua orang yang mengasuh, dan dua orang yang membesarkan.” Dari kata kerja ini pula terbentuk kata-kata yang lain, seperti walad (وَلَدٌ), yang berarti “anak.” Jamaknya adalah awlaad (أولاد).

Jadi, hakikat makna kata walidayn (وَالِدَيْنِ) yang dikaitkan dengan kata birr (بر) dalam istilah بِرُّ الْوَالِدَيْنَ itu adalah “dua orang, ayah dan ibu, yang melahirkan dari kandungan ke alam dunia, lalu mengasuhnya dari suatu masa hingga masa yang lain, dan membesarkan dari kecil hingga masa tertentu.” Jadi, yang ditekankan pada kata wālidayn (وَالِدَيْنِ) itu adalah usaha dan upaya yang telah dilakukan oleh kedua orang tua, ayah dan ibu, yang telah melahirkan, yang telah mengasuh, dan telah membesar seorang anak. Jadi, wālidayn (وَالِدَيْنِ) dalam pengertian ini adalah khusus, yaitu kedua orang tua, ayah dan ibu kandung.

(Baca juga: Hakikat Makna Birr dalam Al Quran)

Selain dari pengertian di atas, kata walidayn (وَالِدَيْنِ), yang merupakan bentuk ganda dari kata wālid (وَالِدٌ), juga digunakan untuk makna yang bersifat umum, dengan pengertian-pengertian sebagai berikut:

  1. Kedua orang tua yang tidak melahirkannya, tetapi mengasuhnya, dan membesarkannya (ayah atau ibu asuh).
  2.  Kedua orang tua yang tidak melahirkannya, tetapi mengasuhnya dan membesarkannya (ayah tiri dan ibu tiri).
  3. Kedua orang tua yang tidak melahirkannya, tetapi megasuhnya dan mendidiknya sehingga menjadi manusia yang terdirik (ibu dan ayah yang mendidik, seperti guru, dosen, pembimbing, promotor, dll.)

Dapat disimpulkan bahwa makna kata walidayn (وَالِدَيْنِ) mencakup 1) kedua orang tua kandung, yang telah melahirkan, mengasuh, membesarkan, dan mendidiknya hingga menjadi dewasa atau 2) kedua orang yang dipandang sebagai orang tua, yang meskipun tidak melahirkannya, tetapi telah berjasa dalam mengasuh, mendidik, dan membesarkannya hingga menjadi manusia dewasa, manusia yang berilmu, manusia berakhlak mulia, dan manusia yang terdidik.

Oleh sebab itu, Anda berkewajiban untuk berbuat baik tanpa batas, kepada siapa saja yang telah berjasa kepada Anda dalam melahirkan, mengasuh, membesarkan, mendidik, mengajar, membimbing sehingga Anda menjadi manusia dewasa, terdidik, dan bermanfaat. Sebab, tanpa mereka, Anda tidak akan pernah menjadi apa-apa.

Demikian hakikat makna makna kata kata walidayn (وَالِدَيْنِ) dalam konteks birrul-wālidayn (بِرٌّ الْوَالِدَيْنِ). Semoga bermanfaat. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid

0
Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid
Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid

Sewaktu Alquran diturunkan di abad ke-7 H, perempuan haid dianggap kotor. Alquran membela perempuan dengan ayat-ayatnya. Secara khusus, terdapat dalam Q.S Al Baqarah ayat 222. Artikel ini akan menguraikan tentang tuntunan Al-Quran memperlakukan perempuan haid. Allah SWT berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ  قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri. (terjemah Kemenag)

Dalam Tafsir Ayat Al Ahkam, M. Ali As Shabuniy menceritakan latar belakang turunnya ayat ini. diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Nabi ditanya tentang status perempuan yang sedang haid, dan cara memperlakukannya. Karena kebiasaan orang Yahudi ketika keluarga perempuan mereka sedang haid mereka akan menghindari perempuan tersebut. Mereka mejauhinya tidak makan dan minum bersama mereka. Mereka juga tidak mau serumah dengan perempuan haid apalagi tidur dengannya. Di riwayat yang lain, dikatakan bahwa menyentuh perempuan yang sedang haid maka seketika itu dihukumi najis.

Ketika dikonfirmasi terhadap Nabi, berdasar ayat ini Nabi diminta menjawab bahwa haid adalah adza. As Shabuniy mengartikan adza tersebut dengan qadzr (kotoran), karena baunya yang menyengat dan faktor najisnya. Az Zuhaili juga sama, memaknainya dengan qadzr (kotoran), meski penjelasannya tidak sama dengan As Shabuniy. Sementara itu, M. Quraish Shihab menafsirkan adza dengan gangguan.  Disebut gangguan karena keluarnya darah haid mengakibatkan gangguan bagi perempuan baik fisik maupun psikis.

Gangguan fisik misalnya rasa sakit yang melilit perut, karena terjadi kontraksi rahim. Sakit perut ini beda dengan sakit perut biasanya yang disebabkan sakit maag dan masuk angin. Selain sakit perut, perempuan yang sedang haid kebanyakan juga sakit punggung bagian bawah, yang tentu berbeda dengan sakit punggung dalam kondisi di luar haid. Bahkan ada pula yang ketika datang bulan, semua badannya terasa sakit disertai demam, lemas, muntah-muntah dan ada yang sampai pingsan, sehingga ia tidak bisa beraktifitas sperti biasanya. Sedangkan gangguan psikis biasanya terjadi pada emosi yang tidak stabil, faktor hormonal yang berubah menyebabkan emosi tidak tentu. (Baca juga: Tafsir Surat An-Nur ayat 33: Al-Quran Menghapus Praktik Perdagangan Perempuan)

Gangguan seperti di atas sedikit banyak akan mempengaruhi komunikasi perempuan tersebut dengan orang di sekitarnya, terlebih suaminya. Kemudian, bagaimana tuntunan Al-Quran memperlakukan perempuan haid ini?

Jawabannya dapat kita temukan dalam lanjutan ayat tersebut, Fa’tazilun Nisa’a Fil Mahidh (Jauhilah istri yang sedang haid). Perintah jauhi yang seperti apa yang dimaksud oleh ayat ini?

Meski tidak sama dalam memaknai haid, tiga mufassir di atas satu suara mengatakan bahwa yang dimaksud jauhi di sini adalah dengan tidak melaksanakan hubungan seksual, bukan hal yang lainnya. Perempuan yang sedang haid bukan sesuatu yang menjijikkan sehingga harus dihindari ketika makan, minum, tidur atau bahkan sekadar berbicara dengan mereka. Pun bukan najis, sehingga ketika menyentuhnya saja akan dihukumi najis pula seperti pemahaman orang-orang Yahudi.

Hal ini diperjelas oleh hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Ketika ia ditanya tentang apa saja yang diperbolehkan bagi suami dari istri yang sedang haid? Aisyah menjawab, semuanya boleh, apapun boleh, kecuali jima’ (berhubungan seksual). Dasar ini juga dipegangi oleh Imam Syafii. 

Haid memang terjadi hanya pada perempuan, sakit atau gangguan yang dialami akibat haid pun dirasakan dan dialami oleh perempuan. Tapi bukan berarti laki-laki tidak dapat memahami dan mengerti masalah ini. Sebagai sesama manusia, masalah ini juga harus menjadi perhatian laki-laki sebagaimana khitab awal dari ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu tuntunan Alquran kepada para suami ketika istri mereka haid.

Mengganggap perempuan haid sebagai najis, kotoran yang menjijikkan dan sesuatu yang harus dijauhi tentu akan menambah gangguan psikis seorang perempuan haid. Ketika perempuan haid sudah menanggung semua gangguan dan sakit pada fisik dan psikisnya, laki-laki dapat memahaminya, setidaknya dengan tidak menambah sakitnya.

Wallahu A’lam.

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 32-35

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 32

Orang yang beriman tidak boleh merasa iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah, karena Allah telah mengatur alam ini sedemikian rupa terjalin dengan hubungan yang rapi. Manusia pun tidak sama jenis kemampuannya, sehingga masing-masing memiliki keistimewaan dan kelebihan. Bukan saja antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antar sesama laki-laki atau sesama perempuan.

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa laki-laki mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, demikian juga perempuan mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, sesuai dengan usaha dan kemampuan mereka masing-masing.

Oleh karena itu orang dilarang iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah. Akan tetapi ia hendaknya memohon kepada Allah disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh agar Allah melimpahkan pula karunia-Nya yang lebih banyak tanpa iri hati kepada orang lain. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik tentang permohonan yang dipanjatkan kepada-Nya, maupun tentang apa yang lebih sesuai diberikan kepada hamba-Nya.

Setiap orang yang merasa tidak senang terhadap karunia yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, atau ia ingin agar karunia itu hilang atau berpindah dari tangan orang yang memperolehnya, maka hal itu adalah iri hati yang dilarang dalam ayat ini. Tetapi apabila seseorang ingin memiliki sesuatu seperti yang dimiliki orang lain, atau ingin kaya seperti kekayaan orang lain menurut pendapat yang termasyhur, hal demikian tidaklah termasuk iri hati yang terlarang.

Ayat 33

Secara umum ayat ini menerangkan bahwa semua ahli waris baik ibu bapak dan karib kerabat maupun orang-orang yang terikat dengan sumpah setia, harus mendapat bagian dari harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing.

Ada beberapa hal yang harus disebutkan di sini, antara lain:

  1. Kata mawalia yang diterjemahkan dengan ahli waris adalah bentuk jamak dari maul± yang mengandung banyak arti, antara lain:
  2. Tuan yang memerdekakan hamba sahaya (budak).
  3. Hamba sahaya yang dimerdekakan.
  4. Ahli waris asabah atau bukan.
  5. Asabah ialah ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan, setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang mempunyai bagian tertentu atau berhak menerima semua harta warisan apabila tidak ada ahli waris yang lain.

Yang paling tepat maksud dari kata mawalia dalam ayat ini adalah “ahli waris asabah” sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

اَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس)

”Berikanlah harta warisan itu kepada masing-masing yang berhak. Adapun sisanya berikanlah kepada laki-laki karib kerabat yang terdekat.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas).Dan sabda Rasulullah :

جَاءَتِ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاِبْنَتَيْهَا مِنْ سَعْدٍ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ قُتِلَ اَبُوْهُمَا مَعَكَ فِي اُحُدٍ شَهِيْدًا وَاِنَّ عَمَّهُمَا اَخَذَ مَالَهُمَا فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالاً وَلاَ تُنْكَحَانِ إِلاَّ بِمَالٍ فَقَالَ: يَقْضِي الله ُفِي ذٰلِكَ، فَنَزَلَتْ اٰيَةُ الْمِيْرَاثِ، فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَى عَمِّهِمَا فَقَالَ: اَعْطِ ابْنَتَيْ سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ وَاُمَّهُمَا الثُّمُنَ وَمَا بِقِيَ فَهُوَ لَكَ

(رواه الخمسة الاّ النسائي)

“Janda Sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah saw bersama  dua orang anak perempuan dari Sa’ad, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah! Ini dua orang anak perempuan dari Sa’ad bin Rabi’ yang mati syahid sewaktu perang Uhud bersama-sama dengan engkau. Dan sesungguhnya paman dua anak ini telah mengambil semua harta peninggalan ayah mereka, sehingga tidak ada yang tersisa. Kedua anak ini tidak akan dapat kawin, kecuali jika mempunyai harta.” Rasulullah menjawab, “Allah akan memberikan penjelasan hukumnya pada persoalan ini.” Kemudian turunlah ayat mawaris (tentang warisan), lalu Rasulullah memanggil paman anak perempuan Sa’ad dan berkata, “Berikanlah 2/3 kepada kedua anak perempuan Sa’ad, seperdelapan untuk ibu mereka, dan apa yang masih tinggal itulah untukmu.” (Riwayat Abµ Dawud, at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam ayat ini hendaklah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Barang siapa yang tidak melaksanakannya atau menyimpang dari hukum-hukum tersebut, maka ia telah melanggar ketentuan Allah dan akan mendapat balasan atas pelanggaran itu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya. Menurut pendapat yang terkuat, bahwa sumpah setia yang pernah terjadi pada masa Nabi (permulaan Islam) yang mengakibatkan hubungan waris mewarisi antara mereka yang mengadakan sumpah setia, kemudian hal itu dinasakh hukumnya.

Ayat 34

Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.

Menurut riwayat Hasan al-Basri:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَشْكُوْ اَنَّ زَوْجَهَا لَطَمَهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْقِصَاصُ  فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ …

(رواه الحسن البصري عن مقاتل)

“Seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah saw, bahwa suaminya telah memukulnya. Rasulullah saw bersabda,  Ia akan dikenakan hukum kisas. Maka Allah menurunkan ayat Ar-Rijālu qawwāmµna ‘alā an-nisā’…” (Riwayat al-Hasan al-Basri dari Muqatil)

Diriwayatkan pula bahwa perempuan itu kembali ke rumahnya dan suaminya tidak mendapat hukuman kisas sebagai balasan terhadap tindakannya, karena ayat ini membolehkan memukul istri yang tidak taat kepada suaminya, dengan tujuan mendidik dan mengingatkannya.

Yang dimaksud dengan istri yang saleh dalam ayat ini ialah istri yang disifatkan dalam sabda Rasulullah saw:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي اِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِكَ وَنَفْسِهاَ

(رواه ابن جرير والبيهقي عن أبي هريرة)

“Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia memelihara hartamu dan menjaga dirinya.” (Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abµ Hurairah).

Inilah yang dinamakan istri yang saleh, sedang yang selalu membangkang, yaitu meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami untuk hal-hal yang tidak penting, dinamakan istri yang nusyµz (yang tidak taat).

Bagaimana seharusnya suami berlaku terhadap istri yang tidak taat kepadanya (nusyµz), yaitu menasihatinya dengan baik. Kalau nasihat itu tidak berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan kalau tidak berubah juga, barulah memukulnya dengan pukulan yang enteng yang tidak mengenai muka dan tidak meninggalkan bekas.

Setelah itu para suami diberi peringatan, bila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. karena Allah Maha Mengetahui dan Mahabesar.

(35) Jika kamu khawatir akan terjadi syiqaq (persengketaan) antara suami istri, sesudah melakukan usaha-usaha tersebut di atas, maka kirimlah seorang hakam (perantara, wasit, juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Kedua hakam itu dikirim oleh yang berwajib atau oleh suami istri, atau oleh keluarga suami istri.

Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri, dan boleh dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan keduanya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari keluarga suami istri yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu dan lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.

Jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara kedua suami istri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari suami istri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 27-31

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 27

Allah memberi ampunan kepada mereka dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, agar mereka menyucikan dan membersihkan diri mereka lahir batin, meskipun orang-orang yang mengikuti syahwat dan hawa nafsunya, selalu berpaling dari jalan yang lurus, dan menarik orang mukmin agar ikut terjerumus bersama mereka ke lembah kesesatan, karena dengan melaksanakan perintah Allah dan menaatinya akan tercapailah apa yang dikehendakinya untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka.

Allah melarang menikahi perempuan-perempuan yang tersebut pada ayat 22, 23 dan 24 karena menikahi perempuan-perempuan tersebut akan mengakibatkan kerusakan di masyarakat dan mengacaubalaukan hubungan nasab dan hubungan keluarga, sedang keluarga adalah tulang punggung kebahagiaan masyarakat. Perempuan-perempuan selain mereka boleh dinikahi untuk memelihara kelanjutan keturunan, menghindarkan masyarakat dari kekacauan dan terperosok ke dalam jurang perzinaan dan lain sebagainya.

Ayat 28

Allah menghendaki keringanan bagi kaum Muslimin, karena itu membolehkan mereka yang kurang sanggup memberi belanja kepada perempuan merdeka untuk menikahi seorang hamba sahaya. Allah memberitahukan pula bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Oleh karenanya hendaklah kaum Muslimin menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan pelanggaran, seperti berzina dan lain sebagainya.

Ini semua dalam rangka membentengi manusia dari pengaruh setan dan hawa nafsu yang dapat menjerumuskannya. Manusia harus menyadari kelemahan dirinya, karena itu perlu membentengi diri dengan iman yang kuat dan perlu mengetahui tuntunan Allah dan cara-cara mengatasi godaan hawa nafsunya.

Ayat 29

Ayat ini melarang mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar kerelaan bersama.

Menurut ulama tafsir, larangan memakan harta orang lain dalam ayat ini mengandung pengertian yang luas dan dalam, antara lain:

  1. Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat.
  2. Hak milik pribadi, jika memenuhi nisabnya, wajib dikeluarkan zakatnya dan kewajiban lainnya untuk kepentingan agama, negara dan sebagainya.
  3. Sekalipun seseorang mempunyai harta yang banyak dan banyak pula orang yang memerlukannya dari golongan-golongan yang berhak menerima zakatnya, tetapi harta orang itu tidak boleh diambil begitu saja tanpa seizin pemiliknya atau tanpa menurut prosedur yang sah.

Mencari harta dibolehkan dengan cara berniaga atau berjual beli dengan dasar kerelaan kedua belah pihak tanpa suatu paksaan. Karena jual beli yang dilakukan secara paksa tidak sah walaupun ada bayaran atau penggantinya. Dalam upaya mendapatkan kekayaan tidak boleh ada unsur zalim kepada orang lain, baik individu atau masyarakat. Tindakan memperoleh harta secara batil, misalnya mencuri, riba, berjudi, korupsi, menipu, berbuat curang, mengurangi timbangan, suap-menyuap, dan sebagainya.

Selanjutnya Allah melarang membunuh diri. Menurut bunyi ayat, yang dilarang dalam ayat ini ialah membunuh diri sendiri, tetapi yang dimaksud ialah membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain. Membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, sebab setiap orang yang membunuh akan dibunuh, sesuai dengan hukum kisas.

Dilarang bunuh diri karena perbuatan itu termasuk perbuatan putus asa, dan orang yang melakukannya adalah orang yang tidak percaya kepada rahmat dan pertolongan Allah.

Kemudian ayat 29 ini diakhiri dengan penjelasan bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman memakan harta dengan cara yang batil dan membunuh orang lain, atau bunuh diri. Itu adalah karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya demi kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Ayat 30

Ayat ini memberikan peringatan kepada orang yang melanggar hak orang lain dan menganiayanya, dengan memasukkannya ke dalam api neraka, yang demikian itu sangat mudah bagi Allah, karena tidak ada sesuatu yang dapat membantah, merintangi atau menghalang-halangi-Nya.

Ayat 31

Perintah dalam ayat ini meminta agar orang yang beriman menjauhi dan meninggalkan semua pekerjaan yang berakibat dosa besar. Meninggalkan semua dosa besar itu bukan saja sekedar menghindarkan diri dari siksa-Nya, tetapi juga merupakan suatu amal kebajikan yang dapat menghapuskan dosa kecil yang telah diperbuat. Tindakan meninggalkan dosa besar bukanlah masalah yang ringan dan sederhana.

Seseorang yang mampu menahan diri dari berbuat dosa besar pada saat peluangnya ada, berarti ia memiliki kadar keimanan yang teguh, sekaligus kesabaran yang kukuh. Orang seperti ini dijanjikan Allah masuk surga.

Mengenai apa yang dianggap sebagai dosa besar para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda karena adanya beberapa hadis, di antaranya Rasulullah saw bersabda:

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ! قَالُوْا: وَمَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ الله ُإِلاَّ بِالْحَقِّ وَالسِّحْرُ وَاَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَاَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحَفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Jauhilah tujuh macam perbuatan yang membahayakan. Para sahabat  bertanya, “Apakah itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Mempersekutukan Allah, membunuh diri seseorang yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, sihir, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan peperangan pada waktu pertempuran dan menuduh berzina terhadap perempuan-perernpuan mukmin yang terhormat.” (Riwayat al-Bukh±r³ dan Muslim dari Abµ Hurairah)

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ وَقَالَ: أَلاَ وَ قَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ فَمَا يَزَالُ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي بحرة)

“Maukah aku kabarkan kepadamu tentang dosa-dosa yang paling besar?” Kami menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah berkata, “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Ketika itu Rasulullah sedang bertelekan, kemudian beliau duduk lalu berkata “Ketahuilah, juga berkata bohong, dan saksi palsu.” Beliau senantiasa mengulang-ulang perkataannya itu sehingga kami mengatakan, “Kiranya Rasulullah saw diam.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bahrah)

Ibnu Abbas sewaktu ditanya,  Apakah dosa-dosa besar itu hanya 7 macam saja?” Beliau menjawab dengan ringkas, “Hampir tujuh puluh macam banyaknya. Bila dosa-dosa kecil terus-menerus dikerjakan, dia akan menjadi dosa besar dan dosa-dosa besar akan hapus bila yang mengerjakannya bertobat dan meminta ampun.

Menurut keterangan al-Barizi yang dinukil oleh al-Alusi, dia mengatakan, “Bahwa dosa besar itu ialah setiap dosa yang disertai dengan ancaman hukuman had (hukuman siksa di dunia) atau disertai dengan laknat yang dinyatakan dengan jelas di dalam Alquran atau hadis.

Demikian pengertian tentang dosa-dosa besar dan macam-macamnya. Selain dari itu adalah dosa-dosa kecil. Kemudian dalam ayat ini Allah menjanjikan kelak akan memberikan tempat yang mulia yaitu surga, bagi orang yang menjauhi (meninggalkan) dosa-dosa besar itu.

(Tafsir Kemenag)

Dua Bentuk Apresiasi dalam Pendidikan Islam

0
apresiasi dalam pendidikan
apresiasi dalam pendidikan

Pemberian apresiasi dalam dunia pendidikan Islam adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Sekecil apapun apresiasi yang diberikan akan berdampak pada motivasi belajar dan kemajuan perkembangan peserta didik. Tidak jarang kita lihat masih ada fenomena pendidik yang pelit untuk memberikannya. Padahal Allah swt berfirman secara gamblang tidak segan memberikan apresiasi yang begitu besar pada hamba-Nya yang bertakwa. Apresiasi ini Allah swt tuangkan dalam firman-Nya di bawah ini:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَغُضُّوْنَ اَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ امْتَحَنَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوٰىۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (Q.S. al-Hujurat [49]: 3)

Tafsir Surah al-Hujurat Ayat 3

Dalam Tafsir Kemenag RI dan Tafsir Ibnu Katsir memaparkan hadis riwayat Mujahid bahwa ia pernah berkirim surat kepada khalifah Umar. 

Mujahid bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada seorang laki-laki yang tidak suka akan kemaksiatan dan tidak mengerjakannya. Sedangkan yang satu lebih cenderung kepada kemaksiatan, akan tetapi ia tidak mengerjakannya. Manakah di antara kedua orang itu yang paling baik?”

Umar meresponnya melalui tulisan pula, “Sesungguhnya orang yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan. tetapi ia tidak mengerjakannya, maka mereka itulah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah agar bertakwa. Baginya ampunan dan pahala yang besar”

Adapun Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini menganjurkan kepada orang-orang mukmin agar merendahkan suaranya di hadapan Nabi saw. Pada kalimat littaqwa bermakna ketakwaan itu harus diasah sehingga menjadi mumpuni dan benar-benar meresap ke dalam hatinya.

Quraish Shihab menjelaskan dampak positif bagi mereka yang mengindahkan tuntunan ayat ini. Baginya adalah ampunan yang luas atas kesalahannya dan pahala yang besar atas ketaatannya. Allah berfirman sembari mengukuhkan firman-Nya dengan redaksi, “Sesungguhnya”. Bahwa, “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa merendahkan suaranya di sisi Rasulullah saw, didorong oleh motivasi penghormatan dan pengagungan terhadap Beliau saw.

Mereka itulah sungguh tinggi kedudukannya merupakan orang-orang yang telah diuji hati mereka dengan cara dibersihkan dan disucikan. Hal ini agar menjadi wadah tempat bersemayamnya takwa sehingga ia memiliki potensi besar terhindar dari fitnah duniawi.

Dua Bentuk Apresiasi dalam Pendidikan Islam

Dalam dunia pendidikan Islam, apresiasi penting untuk diterapkan demi kemajuan perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Pada kesempatan ini saya akan mengulasnya lebih dalam kandungan ayat ini yang tersirat dalam dua kalimat, yakni maghfirah (ampunan) dan ajrun (pahala).

Kedua kata tersebut bermakna ampunan Allah atas hamba-Nya yang berbuat salah dan pahala bagi siapa saja atas ketaatannya. Apabila dikaitkan dengan konteks pendidikan Islam, kedua kata ini masuk kategori penguatan atau apresiasi.

Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons baik bersifat verbal maupun non verbal. Ia merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku pendidik terhadap tingkah laku peserta didik. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi atau umpan balik (feedback) bagi si penerima (peserta didik) atas perbuatannya sebagai suatu tindakan pujian atau koreksi.

Dalam proses belajar mengajar terutama pendidikan Islam, pemberian penguatan sangat dianjurkan diberikan kepada peserta didik. Sebab dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Pemberian pujian baik dalam bentuk verbal misalnya ucapan “kamu excellent, pekerjaanmu bagus”.

Atau bisa juga non verbal “senyuman atas pekerjaannya di papan tulis, memberikan dua jempol terhadap siswa”. Ataupun koreksi misalnya “pekerjaanmu bagus, tapi kurang rapi ataukah kamu sangat pintar, tapi lain kali tetap rendah hati yaa.”

Kedua hal seperti ini mutlak harus dilakukan demi kemajuan perkembangan potensi peserta didik ke depannya.

Fenomena yang terjadi adalah mahalnya pendidik mengeluarkan pujian bagi peserta didik yang berprestasi. Dan sebaliknya, overacting dengan cara menerapkan sistem hukuman atau korektif berlebihan.

Dalam perspektif psikologi pendidikan, pujian kepada peserta didik bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun ironisnya, cara tersebut kian jarang dilakukan. Hendaknya para pendidik tidak pelit untuk sekadar memberikan apresiasi sekecil apapun bentuknya. Sebab peserta didik akan selalu mengingat dan meneladani apa yang dilakukan oleh gurunya. Wallahu A’lam.

Dua Faktor Pemicu Bias Penafsiran Ayat Relasi Gender

0
ARTIKULA.ID

Penafsiran ayat-ayat relasi gender menghasilkan beberapa kesimpulan berbeda. salah satunya adalah cenderung mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan, sementara pihak yang lain menolak adanya kesetaraan. Perselisihan ini muncul tidak secara tiba-tiba, tetapi ada faktor yang memicu terjadinya perbedaan tersebut.

Menurut Adnan Gunawan dalam Women and The Glorious Qur’an, setidaknya, terdapat dua faktor yang menjadi pemicu, yakni; faktor bahasa dan non-bahasa.

Faktor Non-Bahasa

Pertama, adanya bias metodologi tafsir. Dua metodologi tafsir, yakni tahlili/tajzi’i dan maudhu’i (tematik) memiliki perbedaan hasil penafsiran yang sangat signifikan. Karakteristik tahlili yang dalam penerarapannya menghasilkan tafsir Al Quran secara parsial berdasarkan urutan mushaf utsmani menjadikan metodologi ini terkesan atomistik.

Hal ini jauh berbeda dengan metodologi maudu’i yang menurut Quraish Shihab, diartikan dengan metode tafsir yang berorientasi pada satu topik. Kemudian menginventarisir ayat-ayat tentang topik itu untuk digali nilai universalnya.

Dengan langkah ini, akan menghasilkan tafsir yang holistik, karena telah melalui proses penelusuran topik itu di seluruh ayat yang berkesinambungan lalu menemukan ide pokok/maksud umum dari ayat-ayat itu.

Perbedaan penerapan dua metodologi tersebut dapat kita lihat misalnya, pada firman Allah QS. An-Nisa’ ayat 3 tentang poligami. Bila menggunakan metodologi tahlili, maka akan memunculkan kesimpulan kompensasi berupa poligami.

Lain halnya bila memakai metodologi maudhu’i, yang akan melahirkan hasil akhir berupa larangan berbuat tidak adil.

Kedua, adanya bias pada literatur Fiqh. Fiqh yang seharusnya menjadi perangkat hukum Islam yang fleksibel, sesuai dengan kultur dan pengalaman masing-masing kelompok masyarakat pada praktiknya terasa rigid, karena diasumsikan sebagai suatu aturan yang fundamental dan tidak bisa diubah.

Hal ini misalnya dapat kita jumpai di sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, yang fanatik pada fiqh empat madzhab (Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah). Menurut mereka, 4 madzhab itulah yang benar. Padahal, tidak ada satu pun dari pendiri madzhab itu yang mendeklarasikan ajarannya sebagai ajaran mutlak di daerah tertentu.

Bias-bias penerapan Fiqh yang tidak lagi fleksibel memicu berbedaan tafsir ayat relasi gender. Para pemegang otoritas keagamaan yang tidak melakukan pengembangan fiqh, akan menerapkan pranata fiqh berdasarkan literatur jadul, sehingga kebijakannya kurang relevan dengan situasi aktual.

Ketiga, pengaruh kisah Isra’iliyyat. Banyak dari kisah Isra’iliyyat yang bersinggungan dengan relasi laki-laki dan perempuan mengindikasikan bahwa perempuan adalah kaum marginal.  Misalnya, tentang asal penciptaan perempuan.

Adnan Gunawan melampirkan beberapa kisah Israi’iliyyat tentang asal mula perempuan. Di antara kisah itu; perempuan adalah makhluk kedua, keberadaannya hanya pelengkap laki-laki, dan perempuan penyebab manusia diusir dari surga.

Kisah Isra’iliyyat di atas bertentangan dengan dakwah Nabi, yang sarat akan egaliterianisme, toleransi, dan kesetaraan. Menurut Al-Hilali dan David S Power, penggantian Nama Yatsrib menjadi al-Madinah al-Munawwarah adalah karena kota itu dihuni beragam agama dan suku.

Nabi Muhammad juga berhasil menjunjung martabat perempuan yang semula hina di masa Jahiliyyah. Ia bahkan sukses menunjukkan kesetaraan posisi antara laki-laki dan perempuan di ranah sosial, mulai dari pengusaha, politisi, hingga menjadi prajurit di medan perang.

Faktor Bahasa

Pertama, perbedaan dalam dan memahami diksi. Penafsiran yang bervariasi kerap timbul dari perbedaan pemahaman pembaca terhadap suatu diksi dalam Al Quran. Sebagai contoh senderhana, pemahaman firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah ayat 6 tentang hal yang membatalkan wudhu. Berangkat dari perbedaan pemahaman diksi aw laamasatumunnisa’, lahirlah beragam penafsiran.

Menurut Imam Syafi’i, diksi tersebut berarti menyentuh lawan jenis yang bukan mahram secara mutlak. Sementara itu, menurut Imam Malik, berarti menyentuh lawan jenis dengan adanya hasrat seksual.

Berbeda dengan dua penafsiran sebelumnya, Imam Abu Hanifah tidak mengartikan diksi tersebut dengan menyentuh, melainkan melakukan hubungan badan.

Kedua, bias pada rujukan kata ganti (dhamir). Misalnya, pada penafsiran QS. An-Nisa’ ayat 1 yang menuai kontroversi. Rujukan dari kata ganti ha’ pada frasa minha zawjaha menjadi pemicunya. Menurut sebagian mufassir klasik seperti az-Zamakhsyari, kata ganti ha’ kembali pada nafsin wahidah yang diartikan dengan Adam.

Sementara itu, beberapa mufassir seperti Abu Muslim ash-Ashfahani, menyatakan bahwa kata ganti ha’ kembali pada nafsin wahidah, yang ia artikan sebagai jenis yang tunggal. Perbedaan ini berimplikasi pada pemahaman muasal laki-laki dan perempuan, apakah dari satu jenis yang sama seperti pendapat kedua, atau perempuan dari tulang rusuk laki-laki seperti pendapat pertama.

Ketiga, perbedaan qira’at. Cara baca Al Quran yang bervariasi juga dapat berimplikasi pada perbedaan pemahaman terhadap ayat relasi gender. Misalnya, pada QS. Al-Baqarah ayat 222, tentang waktu suci bagi perempuan yang telah usai menstruasi.

Diksi “yathurn” yang menjadi kata kunci memiliki dua variasi qira’at. Pertama, dibaca dengan tashdid, yang berimplikasi pada pehaman bahwa status suci dari hadas bagi perempuan yang mesntruasi ialah ketika sudah mandi besar. Kedua, dibaca tanpa tashdid, yang berimplikasi pada pemahaman bahwa status suci dari hadas ialah ketika darah menstruasi telah berhenti.

Keempat, bias pada struktur bahasa dan kamus Bahasa Arab. Bias yang ditimbulkan oleh struktur Bahasa Arab dapat dijumpai pada kata qawwamuna dalam QS. An-Nisa’ ayat 34. Al-Hilali dan Yusuf Ali menafsirkan kata itu dengan penjaga.

Lain halnya dengan Tafsir Departemen Agama, yang mengartikannya dengan pemimpin (laki-laki merupakan pemimpin perempuan). Hal ini menunjukkan, struktur Bahasa Arab yang memiliki banyak makna, berimplikasi pada kontradiksi pemaknaan ayat relasi gender.

Di sisi lain, Kamus Bahasa Arab yang cenderung mengidentikkan kekuatan atau hal-hal positif lainnya pada laki-laki, juga turut mempengaruhi penafsiran ayat relasi gender. Sebut saja, Kamus Lisanul Arab, salah satu kamus babon Bahasa Arab.

Di dalamnya, diksi imam (diksi yang menunjukkan kepemimpinan dan otoritas), yang bahkan dijelaskan sebanyak 3 halaman tidak memiliki bentuk feminin. Begitu pula diksi khilafah (pemimpin), meski secara redaksi berbentuk feminin, kamus Lisanul Arab justru menegaskan bahwa khilafah menjadi istilah untuk laki-laki saja.

Parahnya lagi, di beberapa tempat, diksi yang mengarah pada perempuan dikonotasikan dengan kerendahan. Misalnya, kata al-untsa, derivasi dari antsa diartikan dengan “lemah dan lembut”.

Sedangkan kata adz-dzakar diidentikan dengan kekuatan, seperti rajulun zakarun (laki-laki kuat lagi berani), atau matharun zakarun (hujan lebat). Inilah yang kemudian mengantarkan kita pada pehamanan bahwa perempuan itu makhluk yang lemah, sementara laki-laki kuat dan berani.

Dua faktor yang kompleks itu masih menjadi PR besar bagi kita untuk menghilangkan kekaburan pemahaman ayat relasi gender. Sekaligus, membangkitkan kembali ruh kesetaraan, keadilan, dan toleransi yang dahulu telah diajarkan oleh Nabi. Wallahua’lam[]

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 24-26

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 24

Kata al-muhsanat di dalam Alquran mempunyai empat pengertian, yaitu:

  1. Perempuan yang bersuami, itulah yang dimaksud dalam ayat ini.

فَاِذَآ اُحْصِنَّ

…Apabila mereka telah bersuami… (an-Nisa’/4:25).

  1. Perempuan yang merdeka, seperti yang tercantum dalam firman Allah:

وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ

Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki.…(an-Nisa’/4:25)

  1. Perempuan yang terpelihara akhlaknya, seperti dalam firman Allah:

مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ

Perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina (an-Nisa’/4:25)

  1. Perempuan-perempuan Muslimah. Dengan demikian dibolehkan seorang Muslim menikahi seorang perempuan tawanan perang yang sudah menjadi budaknya, walaupun ia masih bersuami, karena hubungan perkawinannya dengan suaminya yang dahulu sudah putus, sebab dia ditawan tanpa suaminya dan suaminya berada di daerah musuh, dengan syarat perempuan itu sudah haid satu kali untuk membuktikan kekosongan rahimnya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa suaminya tidak ikut tertawan bersama dia. Jika ditawan bersama-sama perempuan itu, maka tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi pada zaman sekarang. (lihat tafsir an-Nisā’/4: 3)

Dihalalkan bagi kaum Muslimin mencari perempuan dengan harta mereka untuk dinikahi, dengan maksud mendirikan rumah tangga yang bahagia, memelihara keturunan yang baru dan bukan untuk berzina. Maka kepada istri-istri yang telah kamu campuri itu, berikanlah kepada mereka maharnya yang sempurna sebagai suatu kewajiban dengan niat menjaga kehormatan dan sekali-kali tidak berniat untuk membuat perzinaan.

Maskawin yang diberikan bukanlah semata-mata imbalan dari laki-laki atau kerelaan perempuan untuk menjadi istrinya, tetapi juga sebagai tanda cinta dan keikhlasan. Oleh karena itu dalam ayat lain (an-Nisa’/4:4) disebutkan mahar itu sebagai suatu pemberian. Bila terjadi perbedaan antara jumlah mahar yang dijanjikan dengan yang diberikan, maka tidak mengapa bila pihak istri merelakan sebagian mahar itu. Allah mengetahui niat baik yang terkandung dalam hati masing-masing. Maka berikanlah mahar mereka yang telah disepakati itu dengan sukarela. Mahar wajib dibayar sebelum akad nikah atau sebelum bercampur, bahkan menurut mazhab Hanafi wajib dibayar asal mereka berdua telah berkhalwat (mengasingkan diri dalam sebuah tempat yang tertutup.

Ayat 25

Dari permulaan surah an-Nisā’ sampai ayat 25 diperlihatkan gambaran kehidupan transisi masa jahiliyah dengan masa permulaan Islam. Pertama, soal pemilikan harta anak yatim oleh kerabat dari pihak bapak, kedua, laki-laki yang dapat mengawini perempuan dalam jumlah istri yang  tanpa batas dibatasi menjadi empat istri, dan ketiga, masalah keluarga dan perbudakan, terutama budak perempuan.

Waktu itu perbudakan yang sudah melembaga di seluruh dunia, tidak terkecuali di Semenanjung Arab masa jahiliyah, memang sangat subur. Secara bertahap semua penyakit masyarakat ini harus diubah, dan inilah yang sudah dimulai pada masa permulaan Islam, seperti yang dapat kita lihat dalam ayat-ayat di atas.

Alquran telah merekam peristiwa-peristiwa yang berlaku waktu itu, dan ini perlu, karena ajaran Islam dalam masalah ini menghapus perbudakan dalam bentuk apa pun (2: 177, 9: 60), dicontohkan oleh Nabi yang telah membebaskan budak-budak yang ada padanya, oleh Abu Bakar as-Siddiq yang telah membeli 7 orang budak dari tuannya lalu dibebaskan sebagai orang merdeka, termasuk Bilal (lihat tafsir 92: 17-18). Dalam zakat, asnaf  ke-5 penerimaan zakat dapat digunakan untuk memerdekakan budak.

Menikah dengan seorang perempuan yang merdeka, menuntut syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak suami, seperti memberi mahar, nafkah dan sebagainya. Maka jika seseorang tidak mempunyai biaya dan nafkah yang cukup untuk menikahi seorang perempuan merdeka yang beriman, maka dia dibolehkan menikahi hamba sahaya yang beriman.

Orang yang menikah dengan hamba sahaya biasanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik di dalam masyarakat, bahkan tidak jarang mendapat ejekan dan cemoohan. Apabila orang yang menikah dengan hamba sahaya memperlakukan dengan baik serta sabar menahan cemoohan dan ejekan, selama dia melayarkan bahtera rumah tangganya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Semua ketentuan ini sebagai lanjutan ayat sebelumnya, tidak lepas dari peristiwa perang yang terjadi waktu itu dengan segala akibatnya sehingga tawanan-tawanan perang dalam hal tertentu dapat dijadikan budak belian dan hamba sahaya, seperti yang sudah menjadi ketentuan dunia waktu itu. Apa yang telah direkam dalam Alquran memperlihatkan kepada kita betapa buruknya kondisi masyarakat itu, masyarakat jahiliyah.

Selain hamba sahaya yang sudah melembaga begitu mendalam dalam masyarakat, ditambah lagi dengan ketentuan, bahwa setiap tawanan perang harus menjadi budak baru. Secara berangsur masalah sosial demikian yang sudah dianggap wajar dalam masyarakat harus diubah.

Dalam hal ini perubahan tentu tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap. Salah satunya dengan cara menebus atau membeli budak-budak itu lalu dimerdekakan, dan orang beriman harus berusaha untuk itu, seperti yang sudah ditentukan dalam Alquran tersebut di atas. Dengan demikian segala macam kelas sosial, terutama perbudakan harus dihapus, dan martabat manusia harus dikembalikan kepada fitrahnya. Manusia dilihat hanya dari ketakwaannya (49: 13). Dalam masyarakat Muslim tidak boleh ada perbudakan, termasuk penjajahan.

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk menetapkan hukum nikah mut‘ah, yaitu menikahi seorang perempuan dengan batas waktu tertentu seperti sehari, seminggu, sebulan atau lebih yang tujuannya untuk bersenang-senang. Pada permulaan Islam diperbolehkan atau diberi kelonggaran oleh Nabi saw melakukannya. Beliau mula-mula memberi kelonggaran kepada sahabat-sahabatnya yang pergi berperang di jalan Allah untuk nikah dengan batas waktu tertentu, karena dikhawatirkan mereka jatuh ke dalam perzinaan, sebab telah berpisah sekian lama dengan keluarganya. Kelonggaran itu termasuk :

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan. ”Kemudian nikah mut’ah itu diharamkan, berdasarkan hadis-hadis sahih yang menjelaskan haramnya nikah mut’ah itu sampai hari kiamat. Khalifah Umar pun pernah menyinggung soal haramnya mut’ah pada pidatonya di atas mimbar, dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.

Ayat 26

Ayat ini menerangkan kepada kaum Muslimin apa yang belum jelas baginya dan memberinya petunjuk ke jalan yang ditempuh oleh para nabi dan salihin sebelumnya, yaitu hukum yang tersebut dalam ayat 19, 20 dan 21 di antaranya yang mengenai hubungan rumah tangga di antara suami-istri, seperti bergaul dengan istri dengan cara yang sebaik-baiknya dan mahar istri yang dicerai tidak boleh diambil kembali karena mahar itu sudah menjadi hak penuh istri yang dicerai. Jika mereka mengikuti petunjuk Allah itu, dengan melaksanakan perintah-Nya dan berbuat amal kebajikan, niscaya amal itu dapat menghapus dosa-dosanya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah al-Hadid Ayat 25: Fungsi Besi bagi Kehidupan Manusia

0
fungsi besi
fungsi besi bagi kehidupan manusia

Sudah jamak kita ketahui bersama bahwa besi beserta kandungannya telah berkontribusi bagi kehidupan manusia. Material bangunan, hingga kandungan zat besi di dalamnya. Secara khusus Allah swt menyebutkan fungsi besi bagi kehidupan manusia dalam firman-Nya di  bawah ini,

لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ ࣖ

Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (Surat al-Hadid (57) : 25)

Imam Isma’il ibn Kathir menerangkan pangkal ayat yakni Laqad Arsalna Rusulana Bi al-Bayyinat (Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata) maksudnya adalah Allah Swt. mengutus para Rasul-Nya dengan berbagai macam bukti nyata seperti mukjizat yang dimiliki, argumentasi juga dalil-dalil yang bersifat pasti (Qath’i). Baca juga: Manusia itu Hamba yang Merdeka, Begini Penjelasannya dalam Al Quran

Wa Anzalna Ma’ahum al-Kitab Wa al-Mizan Li Yaquma Bi al-Qist (dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil) maksudnya unntuk memperkuat bukti kebenaran, maka Allah Swt. menurunkan kitab suci serta neraca yang dalam hal ini sebagai sarana untuk menegakkan keadilan. Pendapat ini dinukil oleh Imam Ibn Kathir dari Imam Mujahid dan Imam Qatadah.

Lalu berkaitan dengan hal ini tujuan Allah Swt. menurunkan setiap Rasul kepada hamba-Nya untuk dapat menegakkan keadilan di tengah masyarakat yang dihadapi oleh setiap utusan-Nya. Karena itu Imam ibn Kathir mengaitkan ayat ini dengan ayat berikut

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (al-An’am (6) : 115)

Wa Anzalna al-Hadid Fih Ba`sun Syadid Wa Manafi’ Li al-Nas (Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia) sebagaimana pendapat Imam ibn Kathir bahwa besi diciptakan untuk berfungsi sebagai senjata. Ketika Dakwah Nabi Saw. di Mekah ditolak oleh kaum Musyrik, lalu terdapat perintah berhijrah bagi Nabi Saw. dan kaum Muslim ke Madinah.

Ketika di tempat Hijrah, terdapat perintah memerangi kaum Musyrik, maka besi yang memiliki kelebihan berupa kekuatan yang hebat dipergunakan sebagai bahan dasar pembuatan senjata seperti pedang, panah, tombak maupun tameng. Selain untuk alat bersenjata, besi juga bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari seperti bahan untuk membuat alat penjepit atau tang juga peralatan rumah tangga serta alat untuk memasak.

Wa Liya’lama Allah Man Yanshuruhu Wa Rusulahu Bi al-Ghayb (dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya) maksudnya adalah kegunaan besi tersebut hendaknya bermanfaat bagi kehidupan juga perjuangan menegakkan agama. Sehingga Kaum Muslim dapat menang melawan musuh tidak lepas dari kehendak Allah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Isma’il ibn ‘Umar ibn Kathir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, Jilid 8, hal. 27-28)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 23

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Perempuan lain yang juga haram dinikahi terdiri dari:

  1. Dari segi nasab (keturunan)
  2. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya ke atas.
  3. Anak, termasuk cucu dan seterusnya ke bawah.
  4. Saudara perempuan, baik sekandung, sebapak atau seibu saja.
  5. Saudara perempuan dari bapak maupun dari ibu.
  6. Kemenakan perempuan baik dari saudara laki-laki atau dari saudara perempuan.
  7. Dari segi penyusuan:
  8. Ibu yang menyusui (ibu susuan).
  9. Saudara-saudara perempuan sesusuan.

c . Dan selanjutnya perempuan-perempuan yang haram dikawini karena senasab haram pula dikawini karena sesusuan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ. متفق عليه

“Diharamkan karena susuan apa yang diharamkan karena nasab.” (Hadis Muttafaq ‘alaih).

Dapat ditambahkan di sini masalah berapa kali menyusu yang dapat mengharamkan perkawinan itu ada beberapa pendapat:

  1. Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Hasan, az-Zuhri, Qatadah, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa tidak ada ukuran yang tertentu untuk mengharamkan pernikahan. Banyak atau sedikit asal sudah diketahui dengan jelas anak itu menyusu, maka sudah cukup menjadikan ia anak susuan. Pendapat ini mereka ambil berdasarkan zahir ayat yang tidak menyebutkan tentang batasan susuan.
  2. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa batasan penyusuan tersebut adalah minimal tiga kali menyusu barulah menjadi anak susuan. Ini didasarkan pada suatu riwayat yang artinya: “Sekali atau dua kali menyusu tidaklah mengharamkan.”
  3. Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa ukurannya adalah paling sedikit lima kali menyusu.

Demikian juga tentang berapakah batas umur si anak yang menyusu itu, dalam hal ini para ulama mempunyai pendapat:

  1. Umur si anak tidak boleh lebih dari dua tahun. Pendapat ini diambil berdasarkan firman Allah:

۞ وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna… (al-Baqarah/2: 233)

Juga sabda Rasulullah saw yang artinya, “Tidak dianggap sepersususan kecuali pada umur dua tahun” (Riwayat Ibnu Abbas). Pendapat ini dipegang oleh Umar, Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, Syafi‘i, Ahmad, Abu Yusuf dan Muhammad.

  1. Batasan umur adalah sebelum datang masa menyapih (berhenti menyusu). Jika si anak sudah disapih walau belum cukup umur dua tahun tidak lagi dianggap anak susuan. Sebaliknya umurnya telah lebih dari dua tahun tapi belum disapih, maka jika dia disusukan, tetaplah berlaku hukum sepersusuan. Pendapat ini dipegang oleh az-Zuhri, Hasan, Qatadah dan salah satu dari riwayat Ibnu Abbas.
  2. Dari segi perkawinan:
  3. Ibu dari istri (mertua) dan seterusnya ke atas.
  4. Anak dari istri (anak tiri) yang ibunya telah dicampuri, dan seterusnya ke bawah.
  5. Istri anak (menantu) dan seterusnya ke bawah seperti istri cucu.

Perlu dicatat dalam mengharamkan menikahi anak tiri, disebutkan “yang dalam pemeliharaanmu,” bukanlah berarti bahwa yang di luar pemeliharaannya boleh dinikahi. Hal ini disebut hanyalah karena menurut kebiasaan saja yaitu perempuan yang kawin lagi sedang ia mempunyai anak yang masih dalam pemeliharaannya biasanya suami yang baru itulah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dan memeliharanya. Kemudian ditambahkan apabila si ibu belum dicampuri lalu diceraikan maka diperbolehkan menikahi anak tiri tersebut.

  1. Diharamkan juga menikahi perempuan karena adanya suatu sebab dengan pengertian apabila hilang sebab tersebut maka hilang pula keharamannya, yaitu seperti menghimpun (mempermadukan) dua orang bersaudara. Demikian pula mempermadukan seseorang dengan bibinya. Yang terakhir ini berdasarkan hadis Rasulullah saw.

عَنَ اَبِيْ هُرَيْرَةَ  اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ

 وَعَمَّاتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.

(رواه البخارى)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tidak  boleh menghimpun antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ayah) dan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara perempuan ibu).”  (Riwayat al-Bukhāri)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama fikih membuat satu kaidah yaitu, haram mengumpulkan (mempermadukan) antara dua orang perempuan yang mempunyai hubungan kerabat (senasab dan sesusuan), andaikata salah seorang diantaranya laki-laki, maka haram pernikahan antara keduanya, seperti mengumpulkan antara seorang perempuan dengan cucunya. Dengan demikian boleh mengumpulkan (mempermadukan) antara seorang perempuan dengan anak tiri perempuan itu, karena hubungan antara keduanya bukan hubungan kerabat atau sesusuan, tetapi hubungan semenda saja.

Hukum ini berlaku sejak ayat ini diturunkan dan apa yang telah diperbuat sebelum turunnya ketentuan ini dapat dimaafkan. Kemudian ayat itu menutup ketentuan yang diberikannya ini dengan menerangkan sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi ampun. Dia memberikan ampunan atas perbuatan yang salah yang pernah dikerjakan hamba-Nya pada masa-masa sebelum datangnya syariat Islam, dan juga memberi ampunan kepada hamba-Nya yang segera bertobat apabila berbuat sesuatu tindakan yang salah.

Ayat di atas menyatakan mengenai kepatutan dan hal-hal yang secara biologis tidak baik dilakukan dalam memilih pasangan dalam perkawinan.  Dalam hal kepatutan, dengan jelas dikatakan bahwa tidak patut seorang laki-laki menikahi saudara sesusuan, ibu susu, mertua, anak tiri, maupun dua saudara pada saat yang sama.  Sedangkan mengenai perkawinan di antara keluarga (inbreed – misal saudara perempuan, bibi, dan keponakan) juga dilarang karena akan menimbulkan keturunan yang tidak baik.  Mengenai hal kedua ini, penjelasannya adalah demikian.

Allah menetapkan siapa yang boleh dikawini dan siapa juga yang tidak boleh dikawini sebagaimana disebutkan dalam Surah an-Nisā’/4: 22.

Saudara-saudara laki-laki dan perempuan (juga saudara-saudara tiri laki-laki dan perempuan, dsb. dilarang oleh hukum untuk menikah diantara mereka karena anak-anak mereka memiliki resiko tinggi yang tak dapat diterima yaitu menjadi cacat. Semakin dekat kekerabatan orangtua, semakin mungkin keturunannya akan menjadi cacat.

Hubungan sumbang (incest) adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga atau  kekerabatan yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosioantropologis daripada biologis (bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.

Hubungan sumbang diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa ‘sifat lemah’ dari kedua “orang tua” pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.

Ada suatu alasan genetis yang kuat bagi hukum-hukum tersebut yang mudah untuk dipahami. Setiap orang memiliki dua set gen, ada sekitar 130,000 pasang yang menentukan bagaimana seseorang terbentuk dan berfungsi. Setiap orang mewarisi satu gen dari setiap pasang milik masing-masing orangtua. Sayangnya, gen-gen sekarang mengandung banyak kesalahan, dan kesalahan-kesalahan ini muncul dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, beberapa orang membiarkan rambutnya tumbuh menutupi telinga mereka untuk menyembunyikan kenyataan bahwa satu telinga lebih rendah dari yang satunya — atau mungkin hidung seseorang terletak tidak benar-benar di tengah mukanya, atau rahang seseorang agak sedikit tidak berbentuk — dan sebagainya.

Semakin jauh kekerabatan orangtua, semakin mungkin mereka akan memiliki kesalahan-kesalahan berbeda dalam gen-gen mereka.Anak-anak, yang mewarisi satu set gen dari setiap orangtuanya, sepertinya akan berakhir dengan memiliki sepasang gen yang mengandung maksimum satu gen buruk dalam setiap pasangnya. Gen yang baik cenderung menolak yang buruk sehingga suatu kelainan (yang serius, tentu saja) tidak terjadi.

Namun, semakin dekat hubungan kekerabatan dua orang, semakin mungkin mereka mendapatkan kesalahan-kesalahan (kelemahan) yang sama dalam gen-gen mereka, karena semua itu diwarisi dari orangtua yang sama. Karena itu, seorang saudara lelaki dan seorang saudara perempuan sepertinya lebih mungkin memiliki kesalahan yang sama dalam gen mereka. Seorang anak hasil dari perpaduan hubungan saudara kandung seperti itu dapat mewarisi gen buruk yang sama pada sepasang gen yang sama dari keduanya, berakibat dua salinan buruk dari gen dan kerusakan yang serius.

Secara sosial, hubungan sumbang dapat disebabkan, antara lain, oleh ruangan dalam rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi psikososial yang kurang sehat pada individu yang terlibat. Beberapa kebudayaan mentoleransi hubungan sumbang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti politik atau kemurnian ras.

Akibat hal-hal tadi, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam (fiqih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.

(Tafsir Kemenag)