Beranda blog Halaman 542

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 197-200

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 197

Orang mukmin tidak perlu cemas, tidak perlu berkecil hati melihat kemewahan yang diperoleh orang kafir, musuh Tuhan itu, karena yang demikian adalah kesenangan yang tidak banyak berarti dibanding dengan pahala dan kesenangan yang disediakan untuk orang mukmin di akhirat nanti. Nabi Muhammad bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِى اْلاٰخِرَةِ اِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ اَحَدُكُُمْ اُصْبُعَهُ فِى الْيَمِّ

(رواه مسلم)

“Perbandingan hidup di dunia dengan hidup di akhirat hanyalah seperti jari tangan seseorang yang dimasukkan di dalam laut.” (Riwayat Muslim).

Air yang menempel di jari, itulah dunia, dan air laut itulah akhirat. Hidup di dunia hanya sementara, karena mereka bersenang-senang hanya selama hidup saja, kemudian setelah meninggal, mereka akan ditempatkan di tempat yang seburuk-buruknya.

Ayat 198

Berbeda dengan kaum kafir yang akan ditempatkan di dalam neraka, maka di akhirat nanti orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang mengamalkan perintah-perintah Allah, meninggalkan segala larangan-Nya, akan ditempatkan di dalam surga, kekal untuk selama-lamanya.

Alangkah bahagianya mereka, karena apa yang di sisi Allah itu adalah yang sebaik-baiknya bagi orang yang berbakti. Jauh lebih baik daripada kesenangan dan kemewahan yang dirasakan orang-orang kafir di dunia, karena sifatnya terbatas, yaitu selama hidup di dunia saja. Rasulullah memberi contoh nyata seperti yang disampaikan Umar bin al-Khattab r.a. berkata:

جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاِذَا هُوَ فِيْ مَشْرَبَةٍ وَاِنَّهُ لَعَلَى حَصِيْرٍ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَهُ  شَيْءٌ. وَتَحْتَ رَأْسِهِ وِسَادَةٌ مِنْ اُدْمٍ حَشْوُهَا لِيْفٌ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ فَرْطٌ مَصْبُوْرٌ وَعِنْدَ رَأْسِهِ اُهَبٌ مُعَلَّقَةٌ. فَرَأَيْتُ اَثَرَ الْحَصِيْرِ فِيْ جَنْبَيْهِ فَبَكَيْتُ فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمْ فِيْهِ، وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، فَقَالَ: اَمَا تَرْضَى اَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلاٰخِرَةُ؟

(رواه البخاري ومسلم)

“Saya berkunjung kepada Rasulullah saw, waktu itu beliau berada dalam sebuah ruangan, tidur di atas tikar yang tidak beralas. Di bawah kepalanya bantal dari kulit kambing yang diisi dengan sabut. Pada kedua kakinya daun penyamak terkumpul. Di alas kepalanya, kulit kambing tergantung. Saya melihat bekas tikar pada dua lambungnya, maka saya menangis. Beliau berkata, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, Kisra dan Kaisar selalu di dalam kesenangan, kemewahan dan serba cukup dan Engkau adalah Rasulullah dan dalam keadaan begini?” Rasulullah menjawab, “Apakah Engkau tidak senang, bahwa dunia ini bagi mereka dan akhirat bagi kita” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Ayat 199

Jabir bin Abdullah, Anas, Ibnu Abbas, Qatadah dan al-Hasan berkata bahwa ayat ini diturunkan tentang an-Najasyi, raja bangsa Habasyi yang telah masuk Islam ketika meninggal. Malaikat Jibril memberitahu Nabi saw, maka Nabi berkata kepada sahabatnya, “Marilah kita (salat gaib) untuk an-Najasyi itu.”  Sebagian sahabat dengan penuh keheranan bertanya, “Kenapa kami disuruh salat untuk orang kafir di negeri Habsyi?” Maka turunlah ayat ini.

Tidaklah semua Ahli Kitab itu menyimpang dari ajaran Allah, berkhianat, mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tetapi ada sebagian dari mereka seperti an-Najasyi, Abdullah bin Salam dan lain-lain, mempunyai sejarah gemilang dalam hidupnya.

Mereka benar-benar beriman kepada Allah, percaya kepada Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah saw, begitu pula kitab-kitab samawi yang diturunkan kepada nabi-nabi, mereka taat dan rendah diri kepada Allah, tidak menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, maksudnya tidak menyembunyikan apa yang mereka ketahui tentang kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul.

Mereka adalah Ahli Kitab yang baik dan lurus, baik ia Yahudi maupun ia Nasrani. Mereka akan memperoleh pahala di sisi Tuhan sebagaimana yang telah dijanjikan dengan firman-Nya:

اُولٰۤىِٕكَ يُؤْتَوْنَ اَجْرَهُمْ مَّرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوْ

Mereka itu diberi pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Alquran) disebabkan kesabaran mereka, …. (al-Qasas/28:54)

Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya karena segala sesuatunya diketahui-Nya dengan jelas, baik pahala yang akan diberikan-Nya maupun orang yang berhak menerimanya.

Ayat 200

Setelah membicarakan berbagai macam hikmah dan hukum sejak awal surah ini, maka untuk menjaga dan memantapkan pelaksanaan hal-hal tersebut, surah ini (Ali ‘Imran) ditutup dengan anjuran agar orang beriman, sabar dan tabah melakukan segala macam perintah Allah, mengatasi semua gangguan dan cobaan, menghindari segala larangan-Nya, terutama bersabar dan tabah menghadapi lawan-lawan dan musuh agama. Jangan sampai musuh-musuh agama itu lebih sabar dan tabah dari kita sehingga kemenangan berada di pihak mereka.

Hendaklah orang mukmin selalu bersiap siaga dengan segala macam cara dan upaya, berjihad, menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan mengurangi kewibawaan dan kemurnian serta keagungan agama Islam. Dan sebagai sari patinya orang mukmin dianjurkan agar benar-benar bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa di mana saja mereka berada, karena dengan bekal takwa itulah segala sesuatu dapat dilaksanakan dengan baik, diberkahi, dan diridai oleh Allah swt.

Demikianlah, barang siapa di antara orang-orang yang beriman melaksanakan 4 macam anjuran tersebut, pasti akan mendapat kemenangan dan kebahagiaan, di dunia dan di akhirat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 192-196

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 192

Ya Allah, Ya Tuhan kami, kami mohon dengan penuh khusyuk dan rendah hati, agar kami ini benar-benar dijauhkan dari api neraka, api yang akan membakar hangus orang-orang yang angkuh dan sombong di dunia ini, yang tidak mau menerima yang hak dan benar yang datang dari Engkau Pencipta seluruh alam.

Kami tahu bahwa orang-orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh telah Engkau hinakan karena kezaliman dan kekafiran yang telah mereka lakukan di dunia ini. Mereka terus-menerus merasakan siksa neraka itu, karena tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim dan kafir itu seorang penolong pun, yang dapat mengeluarkan mereka dari kepedihan siksa yang dialaminya.

Ayat 193

Setelah mengucapkan doa yang didasarkan kepada tafakur dan renungan tentang alam dan segala keajaibannya seperti tersebut di atas, maka disusul lagi dengan doa yang menggambarkan perhatian pada panggilan yang didengarnya. Ya Allah kami telah mendengar seruan Rasul-Mu, yang menyeru agar kami beriman kepada-Mu dan membenarkan firman-Mu, maka segera kami beriman, melakukan segala perintah-Mu, menjauhi segala larangan-Mu, sesuai dengan anjuran yang dibawa oleh Rasul-Mu.

Oleh karena itu ampunilah dosa-dosa yang telah kami lakukan dan hapuskanlah dari kami dosa-dosa kecil yang pernah kami perbuat, serta matikanlah kami di dalam keadaan husnul-khatimah, bersama-sama dengan orang-orang baik yang banyak berbuat kebajikan.

Ayat 194

Ya Tuhan kami! Kami telah melaksanakan segala perintah-Mu. Kami selalu mengingat-Mu setiap waktu dan setiap keadaan. Kami telah memenuhi seruan Rasul-Mu. Oleh karena itu, ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami apa-apa yang telah Engkau janjikan dengan perantaraan rasul-rasul. Engkau telah menjanjikan kekuasaan di dunia ini dengan firman Engkau:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, ….(an-Nur/24:55)

Engkau telah menjanjikan kemenangan dan pertolongan bagi orang yang taat dan menjunjung tinggi agama Engkau, dengan firman-Mu:

 اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ

…. Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu ….. (Muhammad/47:7)

Kemudian dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَعَدَ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,… (at-Taubah/9:72)

Hal-hal tersebut di atas merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat yang sangat kami harapkan dan jangan sekali-kali Engkau hinakan kami pada hari kiamat sesuai dengan firman Engkau:

يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ

… Pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya… (at-Tahrim/66:8)

Semua ini kami mohon dengan segala kerendahan hati, untuk memantapkan pengamalan kami atas segala perintah-Mu, karena dengan demikian kami akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan bukan sekali-kali tidak ragu atas segala janji-Mu, karena kami percaya dengan penuh keyakinan bahwa Engkau tidak akan menyalahi janji sedikit pun.

Ayat 195

Ummi Salamah pernah berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak mendengar Allah menyebut-nyebut perempuan sedikit pun yang berkenaan dengan hijrah.” Maka turunlah ayat ini. Atas ketekunan mereka beramal baik, penuh dengan keikhlasan yang dibarengi doa yang sungguh-sungguh, maka Allah memperkenankan permohonan mereka.

Dijelaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seseorang yang taat dan tidak akan membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam memberi pahala dan balasan, karena kedua jenis ini satu sama lain turun menurunkan, perempuan berasal dari laki-laki dan begitu juga sebaliknya.

Oleh karena itu barang siapa hijrah, baik laki-laki maupun perempuan, diusir dari kampung halamannya, disiksa karena ia tekun di jalan Allah, memerangi musuh-musuh Allah yang akhirnya mati syahid, tewas di medan perang, pasti Allah akan menghapuskan segala kesalahannya, mengampuni dosanya dan pasti pula akan masukkan ke dalam surga, merupakan pahala dan balasan dari Dia, sebagai perwujudan doa dari permohonan yang diperkenankan-Nya. Alangkah berbahagia mereka, memperoleh pahala dan balasan dari Allah, karena memang pahala dan balasan yang sebaik-baiknya ialah yang datang dari Allah swt.

Ayat 196

Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw namun dimaksudkan pula untuk umatnya, sebagaimana kita lihat banyak ayat yang menurut bunyinya ditujukan kepada Nabi saw, tetapi pada hakikatnya ditujukan pula kepada semua pengikutnya. Nabi Muhammad saw selama hidupnya tidak pernah teperdaya oleh bujukan dan tipuan siapa pun, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah, ia berkata, “Demi Allah mereka tidak pernah berhasil memperdayakan Nabi saw sampai beliau wafat.”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kaum Muslimin tidak boleh teperdaya oleh kehidupan mewah orang-orang kafir yang tujuan hidupnya hanyalah mencari kekayaan dunia semata.

Kaum Muslimin hendaklah tabah dan sabar menghadapi hal yang seperti ini dan tetap berjuang untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ  ٧٧

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (al-Qasas/28:77)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 189-191

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 189

Kerajaan langit dan bumi dikuasai Allah, diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, tidaklah sulit bagi-Nya memberikan pertolongan dan memenangkan kaum Muslimin atas  Ahli Kitab dan para musyrikin yang menyakiti mereka dengan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan.

Ayat 190

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw berkata: “Wahai Aisyah, saya pada malam ini beribadah kepada Allah.” Jawab Aisyah r.a. “Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya.” Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu, tidak jauh dari tempatnya lalu salat.

Pada waktu salat beliau menangis sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Alquran yang dibacanya. Setelah salat beliau duduk memuji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.

Setelah Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya, “Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Nabi menjawab, “Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah telah menurunkan ayat kepadaku. Selanjutnya beliau berkata, “Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan kandungan artinya.”

Memikirkan pergantian siang dan malam, mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sabaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan kekuasaan penciptanya bagi orang-orang yang berakal.

Memikirkan terciptanya langit dan bumi, pergantian siang dan malam secara teratur dengan menghasilkan waktu-waktu tertentu bagi kehidupan manusia merupakan satu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual beriman. Mereka diharapkan dapat menjelaskan secara akademik fenomena alam itu, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan semua fenomena itu dengan sia-sia.

Ayat 191

Salah satu ciri khas bagi orang berakal yang merupakan sifat khusus manusia dan kelengkapan ini dinilai sebagai makhluk yang memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yaitu apabila ia memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, ia selalu menggambarkan kebesaran Allah, mengingat dan mengenang kebijaksanaan, keutamaan dan banyaknya nikmat Allah kepadanya.

Ia selalu mengingat Allah di setiap waktu dan keadaan, baik pada waktu ia berdiri, duduk atau berbaring. Tidak ada satu waktu dan keadaan dibiarkan berlalu begitu saja, kecuali diisi dan digunakannya untuk memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Memikirkan keajaiban-keajaiban yang terdapat di dalamnya, yang menggambarkan kesempurnaan alam dan kekuasaan Allah.

Dengan berulang-ulang direnungkan hal-hal tersebut secara mendalam, sesuai dengan sabda Nabi saw, “Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah, dan  jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan hakikat penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak akan dapat mencapai hakikat Zat-Nya.

Akhirnya setiap orang yang berakal akan mengambil kesimpulan dan berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan tujuan tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat. Mahasuci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan-bukan yang ditujukan kepada Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-orang yang tidak beriman.

Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, sungguh merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang terus menerus menjadi obyek penelitian umat manusia, sejak awal lahirnya peradaban manusia.

Dalam beberapa surah, antara lain Surah al-A’rāf/7 ayat 54, disebutkan bahwa penciptaan langit dan bumi berlangsung dalam waktu enam masa (lihat pula Telaah Ilmiah Surah al-A’rāf/7:54).

Begitu kompleksnya penciptaan langit dan bumi yang berlangsung dalam enam masa telah dijelaskan oleh Dr.Achmad Marconi (lihat: Bagaimana Alam Semesta Diciptakan, Pendekatan Alquran dan Sains Modern, Pustaka Jaya, 2003) sebagai berikut: Kata ayyam adalah bentuk jamak dari yaum. Kata yaum dalam arti sehari-hari dipakai untuk menunjukkan keadaan terangnya siang, ditafsirkan sebagai masa.

Sedang bentuk jamaknya: ayyam, dapat berarti beberapa hari dan bahkan dapat berarti waktu yang lama’. Dilihat dari penggunaan kata ayyam pada ayat di atas menunjukkan sifat relatif waktu dengan memperbandingkan waktu manusia dengan waktu yang berlaku bagi gerak energi-materi alam semesta. Oleh Abdullah Yusuf Ali, (The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary,1934), kata yaum (bentuk tunggal dari ayyam) disetarakan dengan kata dalam bahasa Inggris age atau aeon.

Oleh Abdus Su’ud, ahli tafsir abad ke-16, kata yaum disetarakan dengan pengertian “peristiwa” atau naubat. Lebih tepat bila kata yaum diterjemahkan sebagai “tahap” atau periode  atau masa. Dengan demikian kalimat fi sittati ayyam dalam ayat-54 Surah al-A’rāf/7 di atas, tepat untuk diterjemahkan sebagai dalam enam masa.

Marconi (2003) menjelaskan keenam masa tersebut adalah: Masa Pertama, Sejak Dentuman Besar’ (Big Bang) dari Singularity, sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce), ruang-waktu mulai memisah. Namun Kontinuum Ruang-Waktu yang lahir masih berujud samar-samar, di mana energi-materi dan ruang-waktu tidak jelas bedanya. Masa Kedua, massa terbentuknya inflasi Jagad Raya, namun Jagad Raya ini masih belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos).

Gaya Nuklir-Kuat memisahkan diri dari Gaya Elektro-Lemah, serta mulai terbentuknya materi-materi fundamental: quarks, antiquarks, dsb. Jagad Raya mulai mengembang. Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini. Gaya Nuklir-Lemah mulai terpisah dari Gaya Elektromagnetik. Inti-inti atom seperti proton, netron, dan meson tersusun dari quark-quark ini. Masa ini dikenal sebagai masa pembentukan inti-inti atom (Nucleosyntheses).

Ruang, waktu serta materi dan energi, mulai terlihat terpisah. Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk, namun masih dalam keadaan bebas, belum terikat oleh inti-atom untuk membentuk atom yang stabil. Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan Jagad Raya, terus mengembang dan mulai nampak transparan. Masa Keenam, Jagad raya terus mengembang, atom-atom mulai membentuk aggregat menjadi molekul-molekul, makro-molekul, kemudian membentuk proto-galaksi, galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata surya-tata surya, dan planet-planet.

Demikian pula silih bergantinya malam dan siang, merupakan fenomena yang sangat kompleks. Fenomena ini melibatkan rotasi bumi (yaitu bumi berputar pada sumbunya), seraya mengelilingi matahari dengan sumbu bumi miring. Dalam fenomena fisika bumi berkitar (precession) mengelilingi matahari. Jadi silih bergantinya malam dan siang terjadi karena adanya gerakan rotasi bumi yang berkitar mengelilingi sebuah bintang, yaitu matahari.

Karena gerakannya miring, gerakan perkitaran bumi mengelilingi matahari juga memberikan dampak musim yang berbeda-beda, tergantung dari posisi tempat di bumi terhadap matahari. Selain itu rotasi bumi dalam berkitar mengelilingi matahari, distabilkan oleh bulan yang berputar mengelilingi bumi, dalam istilah astronomi, bulan memberikan rotational dynamic stability pada rotasi bumi yang berkitar mengelilingi matahari.

Planet-planet lain yang juga mengelilingi matahari, memberikan pula rotational dinamic stability kepada perkitaran bumi terhadap matahari, Subhanallah! Terbukti bahwa eksistensi bulan sangat diperlukan agar precession (perkitaran) bumi pada sumbunya stabil. Bulan memberikan kestabilan dalam dimensi waktu 10-100 tahun, sedang Venus dan Mars memberikan kestabilan dalam dimensi waktu 100-500 tahun. Sedang planet Jupiter dan Saturnus, juga ikut memberikan rotational dynamic stability terhadap bumi kita ini, selain juga bertindak sebagai shield (perisai) bagi bumi terhadap hamburan meteor yang akan membentur bumi (komunikasi personal dengan Prof. Dr. Ir. Said D. Jenie, pakar Mekanika Benda Langit ITB)(lihat juga Telaah Ilmiah Surah al-An’ām, ayat 96).

Jelaslah, begitu kompleksnya fenomena ciptaan Allah swt. tentang Penciptaan Langit dan Bumi, serta silih bergantinya malam dan siang ini. Hanya para ilmuwan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta tawadu’, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang disebut sebagai Ulil Albāb pada ayat di atas. Penciptaan Langit dan Bumi sangat kompleks, dan baru sedikit yang diketahui manusia tentang itu. Silih bergantinya malam pun juga sangat kompleks.

Dalam era modern ini, ilmu pengetahuan telah mampu menyingkap bahwa bulan, planet Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus, semuanya memberikan pengaruh berupa rotational dynamic stability  pada rotasi bumi dalam berkitar mengelilingi matahari itu. Mereka inilah (para ulil albāb) yang sampai kepada kesimpulan: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

0
Cinta tanah air
Cinta tanah air

Cinta tanah air masih sering diperdebatkan. khususnya ketika momen menjelang peringatan kemerdekaan atau hari-hari besar nasional.

Surat Al-Baqarah ayat 144 biasanya dibicarakan dalam konteks pemindahan arah kiblat, dari yang sebelumnya umat Islam menghadap Baitul Maqdis kemudian beralih ke Masjidil Haram. Selain itu ia juga dirujuk sebagai salah satu dalil adanya sistem naskh (revisi) dalam Alquran. Padahal ada sisi lain dari ayat ini yang tidak kalah penting yang jarang dikupas, yakni isyarat bahwa cinta tanah air itu merupakan fitrah manusia. Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang meyakini bahwa cinta tanah air, nasionalisme dan patriotisme terhadap negara adalah sebuah keniscayaan yang patut diinternalisasi pada diri setiap insan, namun masih ada sebagian kelompok yang menolak hal tersebut.

Mereka beranggapan cinta tanah air dan nasionalisme merupakan bentuk ‘ashabiyyah (fanatisme) di zaman modern yang dikecam oleh Islam. Islam menurut mereka menghendaki persaudaraan berdasarkan agama (ukhuwwah Islamiyyah), bukan berdasarkan region tertentu (ukhuwwah wataniyyah), sebab hal tersebut akan menjadikan umat Islam terkotak-kotak dan tidak dapat bersatu dalam bingkai khilafah Islamiyyah.

Benarkah Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya?

Salah seorang pentolan organisasi transnasional ini bahkan pernah mengatakan bahwa membela nasionalisme tidak ada dalilnya. Ia tidak lebih hanya sebuah produk budaya Barat yang tidak sejalan dengan tradisi Islam. Namun apakah benar demikian adanya? Untuk itu mari kita perhatikan ayat 144 dari Surat Al-Baqarah berikut ini:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil mengomentari terkait konteks turunnya ayat ini. Ketika Nabi Muhammad Saw masih di Mekah katanya, beliau salat menghadap Ka’bah. Namun setelah beliau hijrah ke Madinah, Allah Swt memerintahkan kiblat dialihkan ke Baitul Maqdis. Tujuannya supaya dapat menarik simpati orang-orang Yahudi Madinah yang juga menghadap tempat suci tersebut. Baca juga: Tafsir QS al-Baqarah 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Meski demikian, Nabi Muhammad Saw. lebih senang apabila kiblat umat Islam kembali ke Masjidil Haram, sebab ia merupakan kiblat kakeknya, Nabi Ibrahim as. Nabi Muhammad segan memohon hal ini kepada Allah Swt, meski ia telah mencurahkan kegundahannya kepada Malaikat Jibril. Ia senantiasa menengadahkan pandangannya ke arah langit, berharap Allah berkenan mengabulkan keinginan yang ia pendam di dalam hatinya.

Berselang 16 bulan lamanya barulah Allah Swt memberikan jawaban. Melalui ayat di atas, kiblat umat Islam dikembalikan semula ke arah Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.

Demikianlah bagaimana kecintaan Nabi Muhammad Saw. kepada tanah airnya mendorong beliau ‘menegosiasi’ perkara kiblat salat. Secara naluriah seseorang senantiasa akan ingin melihat negaranya maju. Meski sedang merantau di negeri jauh, kecintaannya akan tanah kelahiran tidak akan pernah luntur.

Ar-Razi dalam tafsirnya menyebut salah satu alasan Nabi Muhammad Saw memohon peralihan kiblat adalah keinginan beliau supaya Masjidil Haram mendapatkan kemuliaan lebih dibandingkan masjid lain. Sebab Masjidil Haram berdiri di tempat di mana Nabi Muhammad Saw lahir dan tumbuh.

Menurut ar-Razi keinginan Nabi tersebut bukanlah hal buruk. Nabi hanya mengikuti tabiat kemanusiaannya, terlebih beliau tidak mengucapkan kemauannya secara langsung kepada Allah Swt. Ini dikuatkan dengan adanya redaksi tardaha di ayat yang bermakna, kiblat yang engkau sukai, yang hatimu condong kepadanya.

Diriwayatkan ketika Nabi Muhammad Saw. bersama Abu Bakar as-Siddiq dalam perjalanan hijrah menuju Kota Madinah, beliau terhenti di daerah Juhaifah. Beliau tiba-tiba rindu dengan kota kelahirannya, Mekah dan khawatir tidak dapat kembali lagi ke sana. Akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril as. demi menenangkan hati beliau dengan membawa wahyu QS. Al-Qasas: 85 berikut:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ مَن جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.

Berdasarkan ayat ini, mufassir asal Turki yang bernama Ismail Haqi dalam tafsirnya, Ruhul Bayan dengan tegas mengungkap bahwa cinta tanah air sebagian dari iman (hubbul watan minal iman). Ungkapan inilah yang kemudian digaungkan para ulama kita dahulu untuk membakar semangat pejuang kemerdekaan di bumi Indonesia.

Hadis Nabi tentang Cinta Tanah Air

Besarnya cinta Nabi Muhammad Saw kepada tanah airnya juga tergambarkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh beberapa mukharrij terkemuka di antaranya Imam Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah dan ad-Darimi. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allah, kamu adalah bumi Allah yang paling baik, dan paling dicintai-Nya, kalau bukan karena aku diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cinta tanah air merupakan fitrah yang melekat pada diri setiap insan. Ajaran Islam yang bersesuaian dengan fitrah kemanusiaan mengakui adanya hal tersebut. Islam tidak melarang tabiat dan fitrah manusia selama tidak menjerumuskannya kepada perbuatan yang diharamkan.

Sebagai muslim yang berbangsa dan bertanah air Indonesia, marilah kita memupuk semangat cinta tanah air dengan turut memajukan dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga mampu bersaing di kancah internasional.

Semoga momen HUT RI yang ke-75 yang sebentar lagi akan kita rayakan  menjadi momen kebangkitan bangsa Indonesia untuk kembali bangkit dari keterpurukan akibat pandemi yang sedang menimpa ini. Amin ya rabbal alamin. Salam merdeka!

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 183-188

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 183

Beberapa orang Yahudi antara lain Ka’ab bin Asyraf, Malik bin as-Saif, Finhas bin ‘Azura dan beberapa orang lagi, mendatangi Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Muhammad! Engkau mengaku Rasul Allah dan Allah telah mewahyukan kepadamu Kitab, sedang di dalam Kitab Taurat (Imamat ix) kami dilarang oleh Allah mempercayai seorang rasul, sebelum ia mendatangkan kepada kami korban yang dimakan api. Kalau itu dapat kamu buktikan, maka kami akan mempercayaimu.” Maka turunlah ayat ini. Demikianlah kata Ibnu Abbas r.a.

Pengakuan orang-orang Yahudi tersebut di atas, sebenarnya omong kosong belaka, karena andaikata Nabi Muhammad saw membuktikannya mereka tetap tidak akan percaya. Permintaan mereka itu hanyalah alasan yang dicari-cari untuk tidak mempercayai Rasulullah saw.

Untuk itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengatakan kedustaan mereka dengan kata-kata, “Telah datang kepadamu rasul-rasul sebelumku, seperti Zakaria, Yahya dan lainnya, membawa mukjizat-mukjizat yang menunjukkan kebenaran mereka atas kenabiannya, dan membawa apa-apa yang kamu usulkan seperti mendatangkan korban yang dimakan api yang memang mempunyai sifat khusus, yaitu membakar.

Karenanya pada masa lalu terdapat keyakinan bahwa api selalu dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai apakah kurban yang dipersembahkan diterima Tuhan atau tidak, bila terbakar berarti diterima, namun kamu tetap tidak percaya kepada mereka, bahkan membunuh mereka. Jadi dimana letak kebenaran kamu? Cobalah buktikan, jika kamu sungguh-sungguh orang yang benar.

Ayat 184

Kalau mereka masih juga tetap mendustakan kamu, sekalipun kamu telah menunjukkan mukjizat-mukjizat yang nyata dan Kitab yang membimbing ke jalan yang benar, maka janganlah engkau gusar dan cemas atas kekerasan hati dan kekufuran mereka.

Hal yang seperti itu telah dialami pula oleh rasul-rasul sebelummu. Mereka telah diberi apa yang telah diberikan kepada kamu seperti mukjizat-mukjizat yang nyata. Allah telah mendatangkan Suhuf, yaitu lembaran-lembaran yang berisi wahyu yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum kamu yang isinya mengandung hikmah dan juga telah mendatangkan Kitab yang memberikan penjelasan yang sempurna, berisi hukum syariat seperti Taurat, Injil dan Zabur. Mereka tetap sabar dan tabah menghadapi perbuatan yang menyakitkan hati dari orang-orang yang mengingkari mereka.

Ayat 185

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati dan di hari kiamat nanti disempurnakan balasan masing-masing yang baik dibalas dengan yang baik, yaitu surga dan yang buruk akan dibalas dengan yang buruk pula yaitu neraka, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

اَلْقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ اَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النَّارِ

(رواه الترمذي والطبراني)

Kubur itu merupakan taman dari taman-taman surga, atau merupakan jurang dari jurang-jurang neraka. (Riwayat at-Tirmizi dan at-Tabrani)

Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, dialah yang berbahagia. Untuk mencapai kebahagiaan di atas, baiklah kita perhatikan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

مَنْ أَحَبَّ اَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْيُدْرِكْهُ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاٰخِرِ وَلْيَأْتِ اِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ اَنْ يُؤْتَى اِلَيْهِ

(رواه أحمد)

“Siapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia mati di dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan agar ia berbuat kepada manusia seperti yang ia sukai diperbuat orang kepadanya.” (Riwayat Imam Ahmad)

Kehidupan di dunia ini tiada lain kecuali kesenangan yang memperdayakan. Kesenangan yang dirasakan di dunia ini berupa makanan, minuman, pangkat, kedudukan dan sebagainya, pada umumnya memperdayakan manusia. Disangkanya itulah kebahagiaan, maka tenggelamlah ia dan asyik dengan kenikmatan dunia. Padahal kalau manusia  kurang pandai mempergunakannya, maka kesenangan itu akan menjadi bencana yang menyebabkan kerugian di dunia dan di akhirat kelak mendapat azab yang pedih.

Ayat 186

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw dan pengikutnya akan mendapat ujian sebagaimana mereka telah diuji dengan kesulitan di Perang Uhud. Mereka akan diuji lagi mengenai harta dan dirinya. “Sesungguhnya kamu akan diuji mengenai hartamu dan dirimu.”

Kamu akan berkorban dengan hartamu menghadapi musuhmu untuk menjunjung tinggi derajat umatmu. Kamu akan meningkatkan perjuangan yang mengakibatkan hilangnya keluarga, teman-teman seperjuangan yang dicintai untuk membela yang hak. Kamu akan difitnah oleh orang yang diberi kitab dan orang yang mempersekutukan Allah. Kamu akan mendengar dari mereka hal-hal yang menyakitkan hati, mengganggu ketenteraman jiwa seperti fitnah zina yang dilancarkan oleh mereka terhadap Siti Aisyah.

Ia tertinggal dari rombongan Nabi saw ketika kembali dari satu peperangan, di suatu tempat karena mencari kalungnya yang hilang, kemudian datang Safwan bin Mu’attal menjemputnya. Orang-orang munafik menuduh Aisyah berzina dengan Safwan. Satu fitnah yang sangat memalukan, dan menggemparkan masyarakat Medinah pada waktu itu, peristiwa itu dikenal dengan hadisul ifki (kabar bohong).

Demikian hebat fitnah yang dilancarkan dan demikian banyak gangguan yang menyakitkan hati yang ditujukan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar menghadapinya dan menerimanya dengan penuh takwa, maka semuanya itu tidak akan mempunyai arti dan pengaruh sama sekali, dan sesungguhnya sabar dan takwa itu adalah urusan yang harus diutamakan.

Ayat 187

Allah telah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan perantaraan nabinya masing-masing, bahwa mereka akan menerangkan isi Kitab kepada manusia dengan menjelaskan arti yang terkandung di dalamnya latar belakang diturunkannya dan tidak ada yang disembunyikan. Tetapi apa yang terjadi?

Mereka tidak ada perhatian sama sekali tentang janji-janji tersebut, malah mereka melemparkan janji itu ke belakang, menyembunyikan keterangan tentang Nabi Muhammad saw yang jelas tercantum di dalam Kitab mereka, yakni Ulangan xviii.18: “Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.”

Sifat-sifat dalam perjanjian lama ini hanya terdapat pada Nabi Muhammad. Bd. Yohanes xv. 26 dan xvi. 7 (lihat juga as-Saff/61:6). Mereka menukar rida Allah yang abadi dengan harga dan nilai yang sedikit yaitu kedudukan yang tidak kekal dan merusak. Alangkah keliru dan buruknya penukaran yang mereka lakukan itu.

Ayat 188

Sifat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang oleh orang mukmin wajib dihindari, yaitu mereka selalu bergembira atas penyelewengan dan pengkhianatan yang dilakukannya. Mereka merasa bangga karena menganggap dirinya adalah tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin-pemimpin yang ditaati.

Mereka senang dipuji-puji bahwa mereka mengetahui secara mendalam semua isi Kitab, dan ahli dalam menafsirkannya, padahal mereka itu bukanlah ahlinya. Mereka berbuat demikian untuk mengalihkan perhatian orang-orang banyak dari kebenaran kepada apa yang dikehendaki pembesar-pembesar mereka dan orang awam walaupun salah.

Janganlah kaum Muslimin menyangka bahwa Ahli Kitab yang perbuatannya jelek dan mengelabui itu akan terlepas dari siksaan, bahkan mereka merasakan azab yang pedih. Kaum mukminin tidak perlu merasa sedih dan cemas atas penyelewengan mereka, tetapi hendaklah tetap menjelaskan yang hak dan jangan sekali-kali menyembunyikannya sedikit pun. Allah akan memenuhi apa yang menjadi keinginan kaum Muslimin dan melenyapkan hal-hal yang mungkar yang telah dilarang itu.

(Tafsir Kemenag)

Hakikat Makna Kata Birr dalam Al Quran

0
Hakikat Makna Kata Birr
Hakikat Makna Kata Birr credit: mbvssghsd.wordpress.com

Makna kata Ihsan seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya adalah “perbuatan baik yang lebih” yang dilakukan terhadap Tuhan, seseorang atau sesuatu. Ini berarti bahwa Ihsan itu mempunyai batasan makna dan implementasinya juga terbatas. Yang menjadi ciri Ihsan adalah adanya kelebihan kebaikan yang dilakukan. Kebaikan yang pas-pasan, dikategorikan sebagai amal saleh. Kedua kata ini sangat berbeda makna dengan kata Birr. Artikel ini akan membahas hakikat makna Birr dalam Al Quran.

Kata Birr, yang saya amati, baik dalam penggunaannya di dalam Alquran maupun di dalam hadis Nabi mempunyai konotasi yang sangat khusus. Hakikat makna kata Birr dapat kita telusuri dari penggunaannya. Kata ini hanya digunakan untuk menggambarkan kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang terhadap kedua orang tuanya dan terhadap Allah swt.

Kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dalam pengertian Birr, harus bersifat abadi, tidak terbatas oleh waktu, tidak terbatas oleh tempat dan tidak terbatas oleh jumlah, tidak terbatas oleh besar kecilnya sesuatu yang dilakukan.

Mengapa kata Birr itu hanya dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan yang abadi terhadap kedua orang tua? Jawabannya adalah bahwa kedua orang tua adalah manusia yang paling berjasa dalam mewujudkan anaknya untuk hidup di dunia ini.

Tidak ada satu pun manusia yang paling berjasa terhadap anak, kecuali kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang membuat anaknya ada. Kedua orangtuanya yang telah mengandungnya.

Kedua orang tuanya yang telah mengasuh dan membesarkannya. Kedua orang tuanya yang telah mendidiknya. Kedua orang tuanya yang telah melakukan segalanya untuk anaknya. Keduanya telah memberikan segalanya kepada anaknya tanpa batas waktu dan tempat, tanpa mengharap imbalan dan balas jasa, tidak hanya pada saat di dunia ini, tetapi juga setelah kematian anaknya.

Inilah rahasianya, mengapa seorang anak harus melakukan perbuatan Birr kepada kedua orang tuanya tanpa batas waktu dan tempat, tanpa batas jumlah dan sifat amalnya. Karena orang tua yang memberikan segalanya untuk anaknya. Oleh sebab itulah, maka Allah dan rasul-Nya memerintahkan kepada setiap anak untuk berbuat kebaikan dalam bentuk Birr kepada kedua tuanya. Hanya kepada kedua orang tuanya dari semua manusia yang ada di dunia ini yang dipatut diersembahkan perbuatan Birr. Kepada yang lain hanya dipersemabhakn perbuatan saleh, dan Ihsan.

Mengapa pula kata Birr itu hanya dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan yang abadi dari manusia terhadap Allah swt? Jawabannya adalah bahwa Allahlah yang telah menciptakan dari tidak ada menjadi ada, yang menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna.

Allah Swt yang telah memberikan jasad dan roh kepada mereka sehingga mereka bisa hidup. Tidak ada yang mampu mencipta manusia, kecuali Allah. Allah yang telah memberi segalanya kepada mereka, memberikan rahmat, memberi nikmat, memberi keberkahan, memberi rezeki, memberi pahala, dan memberi segalanya.

Inilah rahasianya, mengapa manusia harus melakukan perbuatan BIRR kepada Tuhannya, dalam bentuk ibadah dan taat kepadanya tanpa batas waktu dan tempat, tanpa batas jumlah dan sifat amalnya. Karena Allah yang memberikan segalanya untuk manusia tanpa batas waktu dan tempat, tanpa ada diskriminasi di antara manusia.

Dialah yang memberikan rahmat ketika manusia hidup di dunia ini dan Dia pulalah yang memberikan rahmat-Nya ketika di akhirat nanti. Oleh sebab itulah, maka Allah dan rasul-Nya memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan dalam bentuk Birr kepada Allah swt. Hanya kepada Allah, Zat yang dipatut diersembahkan perbuatan Birr, yang abadi.

Ingatlah saudara-saudaraku pesan Rasulullah saw berkaitan dengan perbuatan BIRR kepada kedua orang tua kita dan kepada Allah: “Seandainya tidak ada Tuhan yang kita sembah, maka yang kita sembah adalah kedua orang tua kita.” Maknanya adalah kita harus berbuat BIRR kepada kedua tua kita karena keduanya telah memberikan segalanya kepada kita sebagaimana kita berbuat Birr kepada Allah karena Dia telah memberikan kita segalanya.

Semoga kita menjadi anak yang mampu mewujudkan Birr itu kepada kedua orang tua kita karena kedua telah memberi kepada kita tanpa batas sebagaimana kita sebagai hamba Allah mampu mewujudkan Birr itu kepada Allah yang telah memberi kepada kita segalanya tanpa batas. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 177-182

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 177

Setelah Allah membuka kedok orang-orang yang membantu dan memihak orang-orang kafir yang menentang kaum Muslimin, dan menegaskan bahwa mereka pada hakikatnya menentang dan memerangi Allah, maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa hal itu juga berlaku untuk setiap orang yang lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan.

Mereka tidak memberi mudarat kepada Allah sedikitpun, dan bagi mereka azab yang pedih. Mereka tidak akan dapat melakukannya, karena Allah membela Islam. Justru mereka akan mendapat hukuman yang berat di akhirat.

Ayat 178

Janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa dibiarkannya mereka berumur panjang adalah baik bagi diri mereka. Tidaklah demikian halnya, kecuali kalau mereka bermartabat dan mengerjakan amal saleh yang akan menyucikan dan membersihkan mereka dari hal-hal yang keji dan sifat-sifat yang jelek.

Hal-hal yang semacam itulah yang akan bermanfaat bagi mereka dan bagi manusia lainnya. Tetapi kenyataannya, mereka tetap saja berbuat maksiat dan dosa. Dengan demikian mereka membinasakan diri mereka sendiri, sehingga mereka mendapat azab yang menghinakan.

Ayat 179

Salah satu sunatullah kepada hamba-Nya yang tidak dapat diubah-ubah ialah bahwa Dia tidak akan membiarkan orang-orang mukmin tetap di dalam kesulitan sebagaimana halnya pada Perang Uhud. Allah akan memisahkan orang-orang mukmin dari orang-orang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang mukmin dan memperkuat iman mereka.

Di dalam keadaan sulit dan susah, dapat dinilai dan dibedakan antara orang-orang yang kuat imannya dengan orang-orang yang lemah imannya. Kaum Muslimin diuji sampai di mana iman dan kesungguhan mereka menghadapi kaum kafir.

Setelah kaum Muslimin mengalami kesulitan dalam Perang Uhud karena dipukul mundur oleh musuh, dan mereka hampir-hampir patah semangat, di kala itulah diketahui bahwa di antara kaum Muslimin ada orang-orang munafik yang menyeleweng, berpihak kepada musuh. Orang-orang yang lemah imannya mengalami kebingungan. Berlainan halnya dengan orang-orang yang kuat imannya, kesulitan yang dihadapinya itu mendorong mereka untuk menambah kekuatan iman dan semangat mereka.

Hal-hal yang gaib dan hikmah yang tersembunyi dalam peristiwa ini, tidak diperlihatkan, kecuali kepada orang-orang tertentu, seperti kepada rasul yang telah dipilih oleh Allah. Di antara rasul-rasul, Nabi Muhammad saw. dipilih oleh Allah dengan memberikan keistimewaan kepadanya berupa pengetahuan untuk menanggapi isi hati manusia, sehingga dia dapat menentukan siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa pula yang munafik atau kafir.

عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ  ٢٦  اِلَّا مَنِ ارْتَضٰى مِنْ رَّسُوْلٍ فَاِنَّهٗ يَسْلُكُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ رَصَدًاۙ  ٢٧

Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.  (al-Jinn/72: 26-27)

Sesudah diterangkan celaan-celaan kaum munafikin atas kenabian Muhammad saw setelah Perang Uhud dan menjelaskan bahwa peristiwa Uhud itu banyak mengandung iktibar, maka orang-orang mukmin diperintahkan agar tetap beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan kepada Nabi Muhammad saw yang membenarkan rasul-rasul sebelumnya.

Jika mereka beriman kepadanya terutama mengenai hal-hal yang gaib dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi larangan-larangan-Nya, mematuhi segala perintah-perintah-Nya, maka mereka akan memperoleh pahala yang amat besar.

Di dalam Alquran sering disusulkan kata takwa sesudah kata iman sebagaimana halnya kata zakat sesudah kata salat. Itu menunjukkan bahwa iman itu barulah sempurna jika disertai dengan takwa, sebagaimana halnya salat barulah sempurna jika zakat dikeluarkan.

Ayat 180

Orang-orang yang telah diberi harta dan limpahan karunia oleh Allah kemudian mereka bakhil, tidak mau mengeluarkan kewajiban mengenai harta tersebut, seperti zakat dan lain-lain, adalah sangat tercela. Janganlah sekali-kali kebakhilan itu dianggap baik dan menguntungkan bagi mereka.

Harta benda dan kekayaan akan tetap utuh dan tidak kurang bila dinafkahkan di jalan Allah, bahkan akan bertambah dan diberkahi. Tetapi kebakhilan itu adalah suatu hal yang buruk dan merugikan mereka sendiri, karena harta yang tidak dinafkahkan itu akan dikalungkan di leher mereka kelak di hari kiamat sebagai azab dan siksaan yang amat berat, sebab harta benda yang dikalungkan itu akan berubah menjadi ular yang melilit mereka dengan kuat. Nabi Muhammad saw bersabda:

مَنْ اَتَاهُ الله ُمَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ شُجَاعًا اَقْرَعُ لَهُ زَبِيْـبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَقُوْلُ: اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلاَ هٰذِهِ اْلاٰيَةَ

(رواه البخاري والنسائي عن أبي هريرة)

Siapa yang telah diberi harta oleh Allah, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan diperlihatkan hartanya berupa ular sawah yang botak, mempunyai dua bintik hitam di atas kedua matanya, lalu dikalungkan kepadanya di hari Kiamat nanti. Ular itu membuka rahangnya dan berkata, “Saya ini adalah hartamu, saya ini adalah simpananmu,” kemudian Nabi membaca ayat ini. (Riwayat al-Bukhari dan al-Nasa’i dari Abu Hurairah)

Sebenarnya segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya sebagai titipan dan amanat. Sewaktu-waktu dapat dicabut dan dipindahkan ke tangan orang lain menurut kehendak-Nya. Jadi apakah alasan bagi mereka yang bakhil dan tidak mau mengeluarkan harta Allah untuk mencari rida-Nya? Apa saja yang dikerjakan seseorang, semuanya itu diketahui oleh Allah dan dibalas sesuai dengan amal dan niatnya. Nabi Muhammad saw bersabda:

اِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Bahwasanya amal itu tergantung dari niat, dan bahwasanya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin al-Khattab).

Ayat 181

Ketika turun wahyu Allah:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا

Barang siapa meminjami Allah (menginfakkan hartanya) dengan pinjaman yang baik …(al-Baqarah/2:245),

maka datanglah seorang Yahudi kepada Rasulullah saw dan berkata, “Apakah Tuhanmu fakir? Lalu meminta-minta kepada hamba-Nya agar diberi pinjaman? Kami ini adalah orang-orang yang kaya.” Maka turunlah ayat ini. Sesungguhnya Allah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allah fakir dan kami ini kaya.”

Dan percayalah bahwa kata-kata dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar itu akan dicatat, kemudian sebagai balasan, mereka akan diberi ganjaran azab yang setimpal. Pada waktu itulah Allah akan mengatakan kepada mereka, “Rasakanlah azab yang membakar ini sebagaimana pengikut-pengikut rasul telah merasakan pedihnya kata-katamu di dunia yang menusuk perasaan.”

Ayat 182

Azab yang pedih yang berlaku atas mereka (kaum Yahudi) adalah  akibat perbuatan mereka sendiri di dunia. Mereka mengatakan, bahwa Allah fakir. Mereka membunuh Nabi-nabi, melakukan perbuatan-perbuatan fasik, maksiat dan lain-lain.

Allah sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya. Allah memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai amal perbuatannya. Firman Allah

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ

Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). (ar-Rahman/55:60)

Kalau perbuatannya baik dibalas dengan surga, dan kalau perbuatannya buruk dibalas dengan neraka. Allah tidak akan memperlakukan orang yang berbuat maksiat sama dengan orang bertakwa, begitu juga orang-orang kafir tidak sama dengan orang  mukmin.

اَمْ حَسِبَ الَّذِيْنَ اجْتَرَحُوا السَّيِّاٰتِ اَنْ نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَوَاۤءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۗسَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ ࣖࣖ

Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya penilaian mereka itu. (al-Jasiyah/45:21)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 166-176

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 166

Kemenangan yang diperoleh tentara Islam dalam Perang Badar, karena izin dan pertolongan Allah. Kekalahan itu pada lahirnya merupakan nasib buruk, dan sebaliknya kemenangan  merupakan nasib baik bagi para syuhada serta pelajaran bagi  Muslimin. Allah berfirman:

مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ

Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. …. (an-Nisa’/4:79)

Adanya kemenangan dan kekalahan itu dalam permulaan peperangan baik bagi pasukan Muslimin maupun yang lain adalah suatu hal yang lumrah, tetapi pada akhirnya pasukan Muslimin yang akan menang. Yang demikian itu dimaksudkan antara lain, untuk menguji keteguhan iman dan ketabahan masing-masing agar orang-orang mukmin lebih tebal keimanannya sehingga dapat dibedakan dari umat yang lain.

Ayat 167

Demikian juga agar orang-orang munafik dapat diketahui kemunafikannya dengan nyata. Pada waktu Perang Uhud jumlah tentara Islam 1.000 orang kemudian ditengah jalan 300 orang yang tergolong munafikin di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay telah kembali ke Medinah. Maka Perang Uhud merupakan pemisah antara tentara yang benar-benar beriman dan yang setengah-setengah imannya, yakni golongan munafik.

Kaum munafikin pada waktu diajak berperang fi sabilillah menegakkan agama Allah, mempertahankan hak dan keadilan dan menolak kebatilan dan kemungkaran guna mencari rida Allah atau berperang untuk menjaga diri dan mempertahankan tanah tumpah darahnya, mereka menjawab, “Jika kami mengetahui bahwa kita dapat dan mampu berperang pasti kami mengikuti kaum Muslimin.”

Tetapi mereka menilai bahwa kaum Muslimin berperang pada waktu itu semata-mata menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Sebenarnya mereka lebih cenderung kepada kekafiran daripada keimanan dan apa yang mereka katakan bukan sebenarnya apa yang ada dalam hati mereka. Allah mengetahui kemunafikan yang mereka sembunyikan dalam hati mereka.

Ayat 168

Orang-orang munafik itu tidak ikut berperang dan berkata kepada teman-temannya yang telah terbunuh dalam Perang Uhud, “Sekiranya mereka mengikuti kami tinggal di Medinah saja tanpa ikut berperang, niscaya mereka tidak akan mati terbunuh.”

Katakanlah kepada mereka ya Muhammad, “Tolaklah kematian dirimu jika kamu benar.” Sebenarnya mereka tidak akan dapat menolak kematian meskipun mereka tinggal saja di rumah atau berlindung dalam suatu benteng yang kokoh. Pada waktunya orang pasti akan mati. Adapun sebab-sebab kematian mungkin berbeda-beda. Allah berfirman:

اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ

Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh… (an-Nisa’/4:78).

Ayat 169

Orang-orang yang telah terbunuh sebagai syuhada dalam perang fi sabilillah, janganlah dikira mereka mati, sebagaimana anggapan orang- orang munafik, tetapi mereka masih hidup di sisi Allah, mendapat rezeki dan nikmat yang berlimpah.

Bagaimana keadaan hidup mereka seterusnya, hanyalah Allah yang mengetahui. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Nabi saw bersabda

اَلشُّهَدَاءُ عَلَى بَارِقِ نَهْرٍ بِبَابِ الْجَنَّةِ فِي قُبَّةٍ خَضْرَاءَ يَخْرُجُ اِلَيْهِمْ رِزْقُهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ بُكْرَةً وَ عَشِيًّا

(رواه الحاكم واحمد والطبراني عن ابن عبّاس)

Para syuhada berada di tepi sungai dekat pintu surga, mereka berada dalam sebuah kubah yang hijau. Hidangan mereka keluar dari surga itu setiap pagi dan sore. (Riwayat al-Hakim, Ahmad dan at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas)

Para syuhada itu menikmati pemberian-pemberian Allah, mereka ingin mati syahid berulang kali. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw:

مَا مِنْ نَفْسٍ تَمُوْتُ لَهَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ يَسُرُّهَا اَنْ تُرْجَعَ اِلَى الدُّنْيَا اِلاَّ الشَّهِيْدُ فَاِنَّهُ يَسُرُّهُ اَنْ يُرْجَعَ اِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ مَرَّةً اُخْرَى مِمَّا يَرَى مِنْ فَضْلِ الشَّهَادَةِ

(رواه مسلم)

“Tidak ada seorang yang telah mati dan memperoleh kenikmatan di sisi Allah, kemudian ingin kembali ke dunia kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin dikembalikan ke dunia, kemudian mati syahid lagi. Hal itu karena besarnya keutamaan mati syahid..” (Riwayat Muslim)

Ayat 170

Para syuhada Perang Uhud setelah menikmati karunia Tuhan, mereka berkata, “Mudah-mudahan teman-teman kami mengetahui kenikmatan ini.” Kemudian dijawab oleh Allah, “Akulah yang menyampaikan hal ini kepada mereka.” Para syuhada itu bergembira atas nikmat dan kemurahan yang telah diberikan Allah kepada mereka.

Dan mereka berharap terhadap kawan-kawan mereka seperjuangan yang tidak gugur dalam perang fi sabilillah sekiranya mereka dapat pula memperoleh kemurahan dan nikmat Allah yang serupa dengan apa yang mereka peroleh. Bagi mereka ini tidak ada kekhawatiran dan kesusahan.

Ayat 171

Orang mukmin dan mujahidin bergembira atas nikmat dari Allah sebagai pahala amal mereka dan atas tambahan karunia yang lain. Sungguh Allah tidak akan mengurangi pahala yang telah ditentukan bagi para mukmin dan mujahidin.

Ayat 172

Orang mukmin memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya untuk tetap berada di jalan Allah meskipun mereka telah mendapat luka. Mereka yang berbuat baik dan takwa akan memperoleh pahala yang besar.

Ayat 173

Turunnya ayat ini berhubungan dengan Abu Sufyan panglima perang kaum musyrikin Mekah dan tentaranya, yang sudah kembali dari Perang Uhud. Mereka setelah sampai di suatu tempat bernama Ruha, mereka menyesal dan bermaksud akan kembali lagi untuk melanjutkan perang.

Berita ini sampai kepada Rasulullah, maka beliau memanggil kembali pasukan Muslimin untuk menghadapi Abu Sufyan dan tentaranya. Kata Rasulullah saw, “Jangan ada yang ikut perang hari ini kecuali mereka yang telah ikut kemarin, sedang tentara Islam pada waktu itu telah banyak yang luka-luka. Tapi akhirnya Allah swt menurunkan rasa takut pada hati kaum musyrikin dan selanjutnya mereka pulang kembali.

Para mujahidin ditakut-takuti oleh sebagian musuh (munafik), dengan menyatakan bahwa musuh telah menghimpun kekuatan baru guna menghadapi mereka. Tetapi para mujahidin tidak merasa gentar karena berita itu, bahkan bertambah imannya dan bertambah tinggi semangatnya untuk menghadapi musuh Allah itu dengan ucapan, “Allah tetap akan melindungi kami dan kepada Allah kami bertawakal.”

Ayat 174

Dengan keimanan dan tekad yang kuat itu akhirnya mereka dapat ke Medinah. Abu Sufyan dan tentaranya tidak jadi melakukan serangan terhadap mereka. Mereka sama sekali tidak mengalami panderitaan dan mereka tetap dalam keridaan Allah.

Ayat 175

Musuh-musuh yang munafik yang berusaha menakut-nakuti orang-orang mukmin merupakan setan yang mengajak teman-temannya agar jangan ikut berperang dan menakut-nakuti Muslimin dengan menyatakan bahwa jumlah musuh amat banyak dan mempunyai senjata lengkap. Allah memperingatkan agar para mujahidin itu jangan terpengaruh dan jangan ikut mereka, tetapi takutlah kepada Allah dan bersiaplah untuk berperang bersama Rasulullah saw jika kamu sekalian benar-benar beriman.

Ayat 176

Nabi Muhammad saw ketika melihat keadaan kaum Muslimin dalam Perang Uhud, beliau merasa sedih dan cemas. Ketika itulah ayat ini turun untuk menghibur Nabi saw, “Wahai Muhammad janganlah merasa sedih dan cemas, melihat perbuatan sebagian pengikutmu yang munafik yang bersama-sama orang kafir menghimpun segala usaha dan kekuatan untuk membela kekafiran. Pada hakikatnya bukanlah engkau yang diperangi dan dianiaya mereka, tetapi Allah-lah yang mereka perangi. Tentulah mereka tidak akan berdaya menentang Allah.”

Maksud mereka akan mencelakakan dan memberi mudarat kepada kaum Muslimin, tetapi pada hakikatnya mereka sendirilah yang celaka. Allah tidak akan memberikan ampunan kepada mereka di akhirat. Mereka akan mendapat azab yang amat pedih dan tidak terkira besarnya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat As-Shaffat Ayat 78-81: Terima Kasih Allah kepada Nabi Nuh

0
terima kasih kepada nabi nuh
terima kasih kepada nabi nuh

Berterima kasih mungkin merupakan hal yang remeh bagi sebagian orang. Tapi ternyata tidak semua orang dapat melakukannya dengan mudah, apalagi dengan ikhlas. kendati demikian, berterima kasih merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan sehingga harus diajarkan dan diteladankan mulai sejak dini.

Para Nabi termasuk Nabi Nuh dalam hal ini mengimplementasikan rasa terima kasih tersebut dengan pengorbanan yang luar biasa hebat. Nabi Nuh mengalami kesendirian yang panjang, dicemooh dan dihinakan oleh kaumnya. Perbuatannya sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt dianggapnya sebagai orang gila bahkan oleh anaknya sendiri. Maka Allah swt mengapresiasi dakwah dan segala pengorbanan Nabi Nuh. Hal ini termaktub dalam firmannya Q.S. al-Shaffat ayat 78-81:

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ

سَلٰمٌ عَلٰى نُوْحٍ فِى الْعٰلَمِيْنَ

اِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan Kami abadikan untuk Nuh (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. ”Kesejahteraan (Kami limpahkan) atas Nuh di seluruh alam.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang beriman” (Q.S. al-Shaffat [37]: 78-81)

Tafsir Ayat

Hamka menafsirkan ayat di atas bahwa Allah swt meninggalkan pujian yang baik terhadap Nabi Nuh. Maksudnya bahwa kisah bahtera Nabi Nuh menjadi pegangan dan bukti konkrit atas dakwahnya selama 950 tahun.

Selanjutnya, Allah swt mengapresiasi kerja keras Nabi Nuh dengan ungkapan salamun ‘ala nuh (salam sejahtera Kami limpahkan atas Nuh), ungkapan ini merupakan bentuk penghargaan yang tinggi kepada Nabi Nuh. Ia telah gigih, tabah, dan sabar dalam berjuang menegakkann syiar Islam. Dan ia selalu memohon pertolongan kepada Allah karena ia sadar bahwa manusia tidak akan berhasil dalam usahanya tanpa ada campur tangan dariNya. 

Baca juga: Tafsir QS. Ali Imran [3] ayat 14-15: Cintai Dia Sewajarnya, Cintai Tuhan Sepenuhnya

Penafsiran yang berbeda dikemukakan oleh Quraish Shihah menyatakan bentuk selamat atas Nabi Nuh adalah terhindar dari segala yang tercela dan berbahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan dan menakutkan seseorang pada tempat tertentu.

Penggunaan kata nakirah pada salam yakni tidak memakai alif dan lam untuk menggambarkan betapa besar dan banyaknya keselamatan dan kedamaian yang diterima Nabi Nuh. Dalam hal ini Allah mengucapkan selamat, salam sejahtera kepada Nabi Nuh atas jasanya yang sangat besar dalam mensyiarkan ajaran tauhid.

Senada dengan Shihab, Ibn Katsir memaparkan bahwa bentuk salam tersebut adalah buah baginya atas tutur kata dan kesabaran yang baik di kalangan sesudahnya (umat Nabi Muhammad saw). Ibn Abbas berkata yadzkuru bikhair (sebutan baik bagi Nabi Nuh).

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

Mujahid berkata sebutan yang baik di kalangan semua nabi. Qatadah dan Al-Saddi berkata bahwa Allah swt mengabadikan bagi Nuh pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Al-Dhahhak mengatakan pujian yang baik. Sedangkan pada ayat ke-81, sesungguhnya Nabi Nuh adalah pribadi yang al-mushaddiqin (membenarkan), al-muwahhidin (yang mengesakan), dan al-muqinin (meyakini kebesaranNya).

Hikmah Terima Kasih Allah terhadap Nabi Nuh

Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa Allah swt tak segan untuk berterima kasih dan menambah nikmat kepada hambaNya tanpa pandang bulu mulai level Nabi hingga kita sebagai manusia biasa. Jikalau Allah Swt. sebagai Tuhan kita semua tak malu untuk berterima kasih kepada hamba-Nya apalagi kita sebagai manusia yang tak memiliki kedudukan istimewa yang patut diunggulkan justru semakin membuat kita harus dan membiasakan diri untuk berterima kasih kepada sesama.

Oleh karenanya, perbuatan terima kasih yang dilukiskan Allah swt kepada Nabi Nuh tidak diberikan secara cuma-cuma alias gratis, Ia memberikan tantangan yang tidak mudah bahkan tersulit, tetapi Ia juga melimpahkan kenikmatan yang tiada tara bagi mereka yang berhasil melakukannya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 161-165

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 161

Dalam Perang Badar ada selembar selimut merah dari barang rampasan hilang sebelum dibagi-bagi. Sebagian dari orang munafik mengatakan bahwa selimut itu mungkin diambil oleh Rasulullah saw atau pasukan pemanah.

Tidak pantas dan tidak mungkin Rasulullah saw berbuat khianat mengambil barang gan³mah (rampasan dalam peperangan). Hal itu bertentangan dengan sifat-sifat kemaksuman Nabi (terpeliharanya dari perbuatan yang tercela), akhlaknya yang tinggi yang menjadi contoh utama.

Barang siapa berbuat khianat serupa itu maka ia pada hari kiamat akan datang membawa barang hasil pengkhianatannya dan tidak akan disembunyikannya. Setiap orang akan menerima balasan atas amal perbuatannya baik atau buruk, dan dalam hal balasan itu ia tidak akan teraniaya. Seperti orang yang berbuat baik dikurangi pahalanya atau orang yang berbuat buruk ditambah siksaannya.

Yang dimaksud dengan gulul pada ayat 161 ialah mengambil secara sembunyi-sembunyi milik orang banyak. Jadi pengambilan itu sifatnya semacam mencuri. Seorang rasul sifatnya antara lain amanah, dapat dipercaya. Karena itu sangat tidak mungkin Rasulullah saw berbuat gulul bahkan dalam masalah gulul ini Rasulullah saw pernah bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! مَنْ عَمِلَ لَنَا مِنْكُمْ عَمَلاً فَكَتَمَ مَخِيْطًا فَمَا فَوْقَهُ فَهُوَ غُلٌّ يَأْتِي بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

(رواه مسلم)

“Wahai sekalian manusia! Barang siapa di antaramu mengerjakan sesuatu untuk kita, kemudian ia menyembunyikan sehelai barang jahitan atau lebih dari itu, maka perbuatan itu gulul (korupsi) harus dipertanggungjawabkan nanti pada hari Kiamat.” (Riwayat Muslim)

Umar bin Khattab pernah meriwayatkan:

عَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ اَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا: فُلاَنٌ شَهِيْدٌ وَفُلاَنٌ شَهِيْدٌ حَتَّى مَرُّوْا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوْا: فُلاَنٌ شَهِيْدٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَلاَّ اِنِّي رَأَيْتُهُ فِى النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا اَوْ عَبَاءَةٍٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَاابْنَ الْخَطَّابِ اِذْهَبْ فَنَادِ فِى النَّاسِ اِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ الْمُؤْمِنُوْنَ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَنَادَيْتُ اِلاَّ اِنَّهُ لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلاَّ الْمُؤْمِنُوْنَ

(رواه مسلم)

“Dari Umar bin al-Khattab berkata, “Setelah selesai perang Khaibar beberapa sahabat menghadap Rasulullah saw seraya mengatakan, Si A mati syahid, si B mati syahid sampai mereka menyebut si C mati syahid. Rasul menjawab, “Tidak, saya lihat si C ada di neraka, karena ia mencuri selimut atau sehelai baju.” Kemudian Rasul bersabda, Hai Umar pergilah engkau lalu umumkan kepada orang banyak bahwa si C tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang mukmin. Umar berkata, lalu aku keluar, maka aku menyeru, ketahuilah bahwa si C tidak akan masuk surga kecuali orang-orang mukmin.” (Riwayat Muslim).

Ayat 162

Orang yang mencari keridaan Allah dengan beribadah dan beramal saleh tidak sama dengan orang yang memperoleh murka Allah, karena berbuat maksiat, melanggar larangan-larangan-Nya dan meninggalkan kewajibannya. Orang yang memperoleh murka Allah itu tempatnya di neraka jahanam, dan itu adalah tempat kembali yang terjelek.

Dalam Alquran banyak terdapat ayat yang dirangkaikan menyebut dua golongan yang berbeda yang memang sifat-sifat mereka berbeda dan berlawanan misalnya ayat:

۞ اَفَمَنْ يَّعْلَمُ اَنَّمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ اَعْمٰ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? … (ar-Ra’d/13:19).

اَفَمَنْ وَّعَدْنٰهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيْهِ كَمَنْ مَّتَّعْنٰهُ مَتَاعَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا

Maka apakah sama orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu dia memperolehnya, dengan orang yang Kami berikan kepadanya kesenangan hidup duniawi…(al-Qasas/28:61)

Kedua golongan itu masing-masing mempunyai tingkatan, karena pada hari Kiamat nanti yang merupakan hari pembalasan, kedua golongan itu akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Orang yang banyak berbuat baik akan tinggi tingkatannya dan orang yang banyak kejahatannya akan berada di tingkat yang paling rendah.

Tingkatan golongan manusia yang tertinggi biasa disebut ar-rafiul ala, yaitu tingkat yang dicapai oleh Nabi Muhammad saw, dan yang terendah disebut ad-darkul asfal. Hal ini dijelaskan dalam Alquran bahwa manusia di sisi Allah apakah ia baik ataukah jelek, adalah bertingkat-tingkat kebaikan dan kejelekannya. Allah Maha Mengetahui akan tingkat-tingkat amal perbuatan mereka dan memberi balasan sesuai dengan amal perbuatan masing-masing.

Ayat 163

Segenap makhluk Allah yang tampak dibagi kepada 3 macam jenis, ialah jenis nabatat  (tumbuh-tumbuhan), jenis hayawanat (binatang) dan jenis jamadat (benda-benda mati).

Jenis nabatat  ialah jenis tumbuh-tumbuhan baik yang tumbuh pada tanah atau air maupun yang tumbuh di tempat-tempat lain, misalnya pada dahan atau batang-batang kayu. Jenis hayawanat ialah jenis makhluk yang hidup bernyawa. Jenis jamadat ialah selain dari jenis nabatat dan hayawanat. Makhluk jenis hayawanat ada yang untuk kepentingan hidupnya dikaruniai akal dan pengertian, misalnya manusia dan ada yang tidak ialah jenis nabatat. Manusia semestinya dengan mempergunakan akal pikiran dan pengertiannya dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang mudarat.

Kemudian ia dapat memilih mana yang baik untuk kemaslahatan dirinya. Tetapi karena manusia itu juga diberi hawa nafsu, bila ia tidak pandai-pandai mengendalikannya, akan lebih banyak mengajak kepada keburukan dan kejahatan. Oleh karena itu jika manusia dalam mengarungi bahtera hidup dan kehidupannya tanpa pimpinan dan tuntunan seorang rasul, maka akan mengalami kekacauan, kerusakan dan kehancuran.

Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah Nabi Adam. Artinya: setiap zaman fatrah (zaman vakum antara seorang rasul dengan rasul sesudahnya) manusia di bumi ini selalu mengalami kekacauan, keributan dan kehancuran, maka diutusnya seorang rasul adalah merupakan nikmat dan kebahagiaan bagi masyarakat manusia.

Ayat 164

Allah benar-benar memberi keuntungan dan nikmat kepada semua orang mukmin umumnya dan kepada orang-orang yang beriman bersama-sama Rasulullah khususnya, karena Allah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka mudah memahami tutur katanya dan dapat menyaksikan tingkah lakunya untuk diikuti dan dicontoh amal-amal perbuatannya.

Nabi Muhammad langsung membacakan ayat-ayat kebesaran Allah menyucikan mereka dalam amal dan iktikad, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Adapun yang dimaksud al-Kitab adalah suatu kompendium semua pengetahuan yang diwahyukan (revealed knowledge), sedangkan al-Hikmah adalah mencakup semua pengetahuan perolehan (acquired knowledge).

Jika dihubungkan dengan keberadaan kalam dan falsafah, maka kalam lebih berat ke al-Kitab sedangkan falsafah lebih berat ke al-Hikmah, meskipun kedua-duanya mengagungkan satu dengan lainnya dengan tingkat keserasian tertentu yang tinggi. Keduanya bertemu dalam kesamaan iman dan kedalaman rasa keagamaan.

Ayat 165

Ayat ini masih ada hubungannya dengan ayat tentang kisah Perang Uhud. Pada waktu Perang Uhud 70 dari pasukan Muslimin gugur sebagai syuhada. Di antara mereka ada yang berkata dari manakah dan sebab apakah kita mengalami musibah sedemikian besar? Sedangkan pasukan Muslimin pada Perang Badar telah memperoleh kemenangan besar dengan menjadikan musuh lari kocar-kacir dan dapat menewaskan 70 orang musuh dan menawan 70 orang lagi.

Terhadap pertanyaan itu Rasulullah dapat perintah untuk menjawab bahwa malapetaka itu adalah karena kesalahan mereka sendiri. Pasukan pemanah oleh Rasulullah diperintahkan bertahan di atas bukit dan tidak boleh meninggalkannya sebelum ada perintah dari beliau. Tetapi mereka telah melanggar perintah itu dan turun meninggalkan bukit untuk ikut mengambil barang ganimah. Dari atas bukit yang ditinggalkan pasukan pemanah itulah musuh menyerbu tentara Islam, sehingga akhirnya mereka mengalami kekalahan. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

(Tafsir Kemenag)