Beranda blog Halaman 543

Beda Derajat Orang yang Berilmu dan Tidak Berilmu

0
pendidikan Islam
pendidikan Islam

Agama Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sebagai agama ilmiah nan mulia, Islam sangat mendorong sekali umatnya menjadi orang yang berilmu, menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, terlebih seorang pendidik, guru, dosen, ustadz.

Bahkan mereka diklasifikasikan sebagai orang-orang yang ulul albab (orang yang berakal) dan beruntung baik di dunia maupun di akhirat. Derajat mereka tentu lebih tinggi bahkan tidak sama dengan mereka yang tidak berilmu, sebagaimana dalam firman-Nya surat az Zumar ayat 9;

اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar [39]: 9)

Tafsir Surat az-Zumar Ayat 9

Al-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan asbabun nuzul ayat ini, menurut Ibnu Abi Hatim dari penuturan Ibnu Umar, ayat ini berkenaan dengan sahabat Utsman bin Affan. Sementara Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari jalur al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, bahwa orang yang dimaksudkan ialah Ammar bin Yasir. Adapun menurut Juwaibir dari Ibnu Abbas yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir, dan Salim mantan budak Abu Huzaifah.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini menurut ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Firas, dari as-Sya’by, dari Masruq, dari Ibnu Mas’ud yang dimaksud kata al-qanit adalah orang yang selalu taat kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Penafsiran yang lain datang dari al-Baghawy, ia menyebut al-qanit dengan al-muqim ala ath-tha’ah (senantiasa dalam keadaan taat). Ibnu Umar mengatakan al-qunut bermakna qiraatul qur’an wa thulul qiyam (membaca Alquran dan panjang berdirinya (beribadah di tengah malam)).

Sedangkan Ibnu Abbas, al-Hasan, al-Saddi, dan Ibnu Zaid menafsiri redaksi ana al-lail ialah tengah malam, yakni waktu tengah-tengah malam (jauf al-lail). Berbeda dengan mereka, al-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah waktu malam yang terletak antara Magrib dan Isya’. Al-Hasan dan Qatadah menyebutkan waktu permulaan, pertengahan dan akhirnya.

Pada redaksi selanjutnya, yahdzarul aakhirata wa yarju rahmata rabbihi, Ibnu Katsir menafsirinya dengan dalam ibadahnya ia takut (khaaif) dan berharap (raja’) kepada Allah. Dan memang sepatutnya ibadah kepada-Nya dilakukan dengan seperti itu. Sedangkan al-Baghawy menafsirkan redaksi yahdzarul akhirah dengan yakhaful akhirah (takut kepada azab akhirat) dan yarju rahmata rabbihi seperti perbuatan yang dilakukan tanpa mengharap sesuatu alias tulus dan ikhlas.

Kalimat yang menyebut, “adakah sama orag yang tidak mengetahui dengan yang mengetahui?” Ulama ahli tafsir beragam dalam menafsirkan kalimat ini. Di antaranya, Abu Sa’ud al-‘Imady Muhammad bin Muhammad dalam Irsyad al-‘Aqli as-Salim ila Mazaya Kitab al-Karim mengatakan apakah sama orang-orang yang mengetahui hakikat segala sesuatu kemudian melakukan sesuatu sesuai pengetahuan yang dimilikinya sebagaimana orang yang bangun di tengah malam dibanding mereka yang tidak mengetahui hakikat sesuatu kemudian beramal dengan kebodohan dan kesesatan?

Maka, jawabannya jelas tidak sama. Sejalan dengan al-Imady, Ibnu Katsir mengatakan, apakah sama orang yang sebelumnya menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah?

Al-Zujaj memberikan pandangannya dalam Tafsir al-Qurthuby, bahwa tidak sama orang yang berada dalam ketaatan dengan mereka yang berada dalam kemaksiatan. Ia menambahkan tidak sama orang yang melakukan suatu amal yang didasari dengan ilmu dengan suatu amal yang dilakukan tanpa berdasar pada ilmu.

Maka, sesungguhnya orang yang mengetahui perbedaan di antara keduanya hanyalah orang yang mempunyai akal, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Pungkas ayat ini.

Beda Derajat Orang Berilmu dan Tidak Berilmu

Kedudukan orang yang berilmu, orang yang taat berbeda dengan mereka yang tidak berilmu (bodoh) dan berada dalam kemaksiatan. Ayat di atas menyiratkan bahwa orang yang menghabiskan waktunya untuk berbuat taat kepada Allah dengan berbagai bentuk ketaatann didasarkan pada ilmu tidak sama dengan mereka yang hanya menuruti hawa nafsunya. Mereka memiliki kedudukan lebih tinggi dan mulia ketimbang yang senantiasa berbuat kemaksiatan dalam hidupnya.

Mengutip Kiai Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta’allim menjelaskan selisih derajat ulama dibandingkan orang Muslim pada umumnya dengan mengutip sahabat Ibnu Abbas, “Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”

Ini belum dibandingkan dengan derajat orang yang senantiasa bermaksiat dan berada dalam kesesatan, tentu perbedaannya cukup signifikan. Sungguh, barang siapa yang beramal tanpa didasari dengan ilmu, maka tertolak. Semoga spirit pendidikan yang terkandung dalam ayat di atas, mampu kita praktikkan dengan menuntut ilmu sepanjang hayat serta pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.

Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

0
Alquran berbahasa arab
Alquran berbahasa arab

Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa bahasa Arab menjadi bahasa Al-Quran. apakah karena Rasulullah terlahir di Arab, dan Al-Quran merespons semua kejadian yang terjadi di Arab kala itu?. Benarkah hanya itu alasannya?. Mari kita ketahui lebih dalam lagi, melalui penjelasan berikut:

Al-Quran dikarunia kemukjizatan yang agung tiada tanding, salah satu mukjizat Al-Quran adalah sisi kebahasaannya. Ini berarti, cara untuk menarik makna dari pesan-pesan Al-Quran terletak pada pengetahuannya tentang bahasa Arab. Jika menerawang pada masa turunnya, ternyata keindahan balaghoh Al-Quran sendiri mencapai tingkatan yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Itu artinya, meski kosakata Al-Quran menggunakan bahsa Arab, namun sifat bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Quran berbeda dengan sifat bahasa Arab yang dikonsumsi oleh masyarakat Arab ketika turunnya Al-Quran. lantas, apa yang membedakan.

M.Quraish Shihab dalam karyanya menjelaskan, bahwa bahasa Arab yang di gunakan oleh manusia jelas berbeda dengan bahasa Al-Quran yang memuat kalimat-kalimat ilahi dengan ketelitian dan tingkat keindahan susastranya. Masyarakat Arab, menggunakan bahasa yang tersusun oleh manusia dengan ragam sifat-sifat mereka.

Meski pada masanya dikenal dengan kaya akan syair, namun kualitas sastranya berbeda-beda sesuai aneka sifat penyairnya, tidak menutup kemungkinan, teridentifikasi kobohongan yang ditolerir dalam kalimat si penyair.

Al-Quran, bukanlah syair, bukanlah kata mutiara, bukan pula puisi melainkan ayat-ayat mulia yang mampu menyentuh kalbu para pedengarnya. Ini terbukti, pada sejarah sahabat Umar bin Khattab ketika memeluk agama Islam. Sebelum Islam, sahabat Umar merupakan seorang yang keras, ditakuti penduduk Arab, dan memusuhi ajaran Rasulullah.

Namun dengan perantara keindahan ayat Al-Quran, ia memeluk Islam usai mendengar lantunan adik perempuannya saat membaca Al-Quran surah Thaha ayat 1-5. tidak dipungkiri, sayup-sayup bacaan Al-Quran melelehkan hati sabahat Umar, hingga membanting tekadnya untuk memeluk ajaran Rasulullah. Bahkan hingga masa saat ini, tidak sedikit orang memeluk islam karna tergerak hatinya ketika mendengar kalamullah Al-Quran.

Lebih dalam, seorang pakar bahasa Arab, Ustman Ibnu Jinni mengatakan, bahwa pemilihan huruf kosakata bahasa Arab yang tercantum dalam Al-Quran bukan merupakan suatu kebetulan, melainkan menyimpan kaidah falsafah tersendiri yang unik, luas lagi terperinci. Tata bahasa Arab pun sangat rasional, namun cukup rumit. Misalnya ketika berusaha manafsirkan firman Allah QS. al-A’raf 7: 172,

اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا

 “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.”

Dinukil dari kitab al-Burhan fi Ulumil Quran karya az-Zarkasyi. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jika kata balaa diganti dengan kata na’am maka penjawab akan berpotensi menjadi kafir. Mengapa demikian, karena na’am diperuntukukan untuk jawaban yang membenarkan suatu pertanyaan dari redaksi yang bersifat negatif ataupun positif.

Jika redaksi “Bukakah, aku Tuhan kamu” dijawab dengan na’am maka akan memiliki arti “Benar, Engkau bukan Tuhanku”. Berbeda ketika dijawab dengan kata balaa, kata ini digunakan untuk membenarkan hal positif dan menyangkal redaksi yang bersifat negatif, sebagaimana menyangkal kalimat bukankah, sehingga menjadi “Aku Tuhanmu”, dan jawaban balaa berarti “Iya, Engkau Tuhan kami”.

Melalui ketelitian inilah yang membedakan bahasa Arab dengan bahasa lainnya. Di samping itu, kekayaan bahasa Arab dan kedalamannya dalam Al-Quran menjadikan siapapun yang meragukannya tidak mampu menandingi kualitas kebahasaan Al-Quran. Ini merupakan bentuk keistimewaan bahasa Al-Quran. Bahkan Allah sendiri menantang dalam firmannya Q. Al-Baqarah [2]: 23,

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Jika kamu dalam keraguan menyangkut apa (Al-Quran) yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) maka buatlah yang hampir serupa dengannya dan ajaklah siapa pun selain Allah. Kalau memang kamu tidak percaya.

Memang tidak mudah mendalami bahasa Arab untuk dapat memahami makna Al-Quran, baik dalam keserasian dan keseimbangannya. Ini juga membuktikan bahwa Al-Quran bukanlah karangan Nabi Muammad secara pribadi, karena keistimewaan dan ketelitan redaksinya sangat diluar kemampuan, bahkan yang mendalami bahasa Arab pun belum tentu dapat merasakannya. Wallahu A’lam.

Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

0
menjaga amanah
menjaga amanah

Amanah merupakan salah satu sifat kenabian. Sungguh mulia tatkala manusia mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, kita tengah mengalami krisis amanah yang cukup akut. Betapa banyak disuguhkan pemberitaan jual beli jabatan, korupsi yang menggurita, guru atau siswa yang bertindak asusila, dan masih banyak lainnya.

Karenanya dalam Islam kita diajarkan bersikap amanah dan menjaga amanah itu dengan sangat baik. Tujuannya tak lain adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri sebagaimana yang disiratkan dalam firman-Nya di bawah ini,

فَانْطَلَقَا ۗحَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةِ ِۨاسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗقَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu. (Q.S. al-Kahfi [18]: 77)

Tafsir Surat al-Kahfi Ayat 77

Ayat ini menjelaskan kisah Nabi Musa dan Khidir a.s tatkala menyusuri perjalanan hingga tibalah pada satu daerah. Ibnu Katsir menceritakan bahwa Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa daerah tersebut adalah al-Ailah. Dalam sebuah hadits disebutkan,

حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ لِئَامًا

hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri yang kikir.

Di mana penduduk negeri itu kikir-kikir dan pelit. Disebut kikir karena tidak mau menjamu mereka (Nabi Musa dan Khidir) sehingga beliau berdua mendapat sebuah rumah yang hampir roboh. Makna iradah atau kehendak yang disandarkan kepada jidar (dinding) dalam ayat ini merupakan ungkapan isti’arah (kata pinjaman), sebab sejatinya pengertian iradah hanya dinisbahkan kepada makhluk yang bernyawa yakni al-mailu (kecenderungan). Inqidhadh bermakna al-suquth (runtuh/roboh).

Lalu Nabi Khidir menegakkan (memperbaiki) rumah yang hampir roboh itu. Dalam sebuah hadits terdahulu telah disebutkan bahwa Khidir menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya, yakni dengan mendorongnya sehingga tidak miring lagi. Hal ini merupakan sebuah kejadian yang menakjubkan. Saat itu juga Musa bertanya yang termaktub dalam ayat di atas, “Mengapa kau tak mengambil upah untuk itu?”. Dalam artian, sebab penduduk negeri itu tidak mau menjamu beliau berdua, maka selayaknya Nabi Khidir tidak mengerjakan hal itu secara cuma-cuma tanpa imbalan.

Perlu diketahui, menurut tradisi saat itu, tatkala seorang hartawan tidak mau berderma atau menjamu tamu, maka hal itu sangat dicela serta menunjukkan kerendahan akhlaknya. Dalam hal ini orang-orang Arab menyampaikan celaannya dengan perkataan yang sangat keras “Si fulan menolak tamu (mengusir) dari rumahnya.” Qatadah berkata, “seburuk-buruk negeri ia adalah yang penduduknya tidak suka menerima tamu dan tidak mau mengakui hak ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan kehabisan bekal).

Muhammad ‘Ali as-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menyampaikan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Keduanya (Musa dan Khidir) mencari makan atau jamuan, adapun penduduk negeri Ailah tidak memberikan makanan kepada keduanya yang dalam keadaan lapar, tidak menerima keduanya sebagai tamu, mereka menolak atas penamuan dan penjamuan keduanya.” Sehingga keduanya mendapati dinding rumah yang miring (haithan mailan) yang hampir roboh, lalu keduanya menegakkannya. Baca juga: Al-Quran Menghapus Praktik Perdagangan Perempuan

Berbeda dengan Ibnu Katsir dan al-Shabuny, al-Razy menjelaskan dalam tafsirnya at-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, Aku melihat dalam kitab-kitab hikayat, bahwa penduduk daerah yang didatangi Musa dan Khidir ketika mendengar turunnya ayat ini mereka merasa malu. Lantas, mendatangi Rasul saw dengan membawa emas dan berkata, Wahai Rasulullah, kami beli dengan emas ini agar engkau mengubah huruf “ba” menjadi “ta” sehingga bacaannya menjadi,

فَأَتَوْا أَنْ يُضَيِّفُوْهُمَا

Maksudnya “Para penduduk daerah itu datang untuk menjamu mereka”. Artinya kami (penduduk itu) menjamu mereka. Orang-orang itu berkata, “tujuan kami agar kesan sifat bakhil, pelit dan hina itu terlenyapkan dari kami.”

Mendengar itu, maka Rasul saw enggan melakukannya dan bersabda, “Sungguh mengubah satu titik ini menetapkan kebohongan pada kalam Allah.” Dan hal itu menetapkan kehinaan dalam sifat ketuhanan. Karenanya kita mengetahui bahwa mengubah satu titik dari alQuran dapat membatalkan sifat ketuhanan Allah dan kehambaan makhluk.”

Belajar Menjaga Amanah

Penafsiran di atas secara gamblang menegaskan, bahwa menjaga Al-Quran meskipun hanya satu titik sangat penting. Sebab mengubah sedikit saja redaksi kata dan tulisannya, akan mengubah makna dan penafsirannya sebagaimana mengubah huruf “ba” menjadi “ta” yang di mana makna awalnya “penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka” berubah “para penduduk itu datang untuk menjamu mereka”, sungguh sangat bertolak belakang.

Karenanya kita mengetahui, bahwa mengubah satu titik dari al-Quran menetapkan batalnya sifat ketuhanan Allah dan sifat kehambaan makhluk. Dari sini dapat difahami bahwa menjaga amanah itu sangat penting, terlebih jika berkaitan dengan khazanah ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan pentingnya menjaga amanah, dalam hadits riwayat Imam Bukhari dijelaskan,

إِذَا ضُيِعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Ketika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya

Tidak hanya seorang guru yang semestinya menjaga amanah, kita sebagai manusia biasa terlebih diamanahi jabatan sudah semestinya bersifat amanah dan dapat dipercaya, serta selalu menjaga sifat ini ajeg dan kontinyu. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 155-160

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 155

Sewaktu pertempuran yang menentukan dalam Perang Uhud ada sebagian dari Muslimin meninggalkan tempat pertahanan yang tidak boleh ditinggalkan terutama oleh barisan pemanah, tetapi mereka tinggalkan juga. Mereka merasa musuh sudah kalah sehingga mereka meninggalkan posisi dengan maksud untuk mendapatkan harta rampasan, akhirnya musuh menempati posisi mereka dan mereka kocar-kacir dan menderita karena serangan musuh yang bertubi-tubi.

Meskipun demikian akhirnya mereka sadar dan menyesali kesalahan mereka, maka Allah mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun dengan membebaskan mereka dari hukuman di akhirat.

Peperangan yang terjadi dalam sejarah Islam di masa Nabi, tak ada satu pun yang dimulai oleh Muslimin. Sikap Nabi dan para sahabat dalam hal ini hanya defensif, mempertahankan diri, bukan ofensif, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Alquran,  Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampoi batas. Sungguh Allah tidak menyukai mereka yang melampui batas  (al-Baqarah/2: 190). Tetapi bila pihak musuh mengajak damai, sambutlah segera (al-Anfal/8: 61).

Kita harus selalu siap menerima perdamaian jika kecenderungan ke arah perdamaian di pihak lain juga demikian. Tugas kita harus menjadi pelopor perdamaian, bukan menjadi pelopor peperangan. Tak ada faedahnya berperang hanya untuk berperang.

Begitulah yang terjadi dalam Perang Badar (Ali ‘Imran/3: 13, 123) pada bulan Ramadan tahun kedua setelah hijrah. Kemudian dalam Perang Ahzab (Perang Parit, al-Ahzab/33:9) sekitar tahun ke-5 setelah hijrah, Musyrikin Mekah dengan kekuatan 10.000 orang, dengan bantuan Yahudi yang berkhianat setelah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah. Tetapi mereka kemudian lari dan kembali ke Mekah membawa kegagalan besar. Lalu yang terakhir Perang Hunain tak lama setelah Pembebasan Mekah pada tahun ke-8.

Begitu juga dalam Perang Uhud (Ali ‘Imran/3:121) yang terjadi setahun setelah Perang Badar, pihak musuh yang datang jauh-jauh dari Mekah mau menyerang Medinah. Kedatangan mereka dengan kekuatan 3000 orang datang ke Medinah hendak membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar. Dalam perang inilah Muslimin dan Rasulullah mendapat cobaan berat.

Nabi Saw  bermusyawarah dengan para sahabatnya, seperti yang sudah menjadi cara hidup Nabi yang selalu bermusyawarah. Sebagian mereka ingin bertahan di dalam kota, dengan alasan musuh tidak mengenal seluk-beluk kota. Bila musuh sudah memasuki kota, akan kita kepung dan kita serang.

Rakyat juga akan menyerang dengan batu dari atap-atap rumah. Yang lain menghendaki menyongsong musuh di luar kota, sebab jika musuh sampai menginjakkan kaki ke kota Medinah, penduduk akan menjadi korban, dan mereka akan menganggap sudah mendapat kemenangan dan akan membuat mereka bertambah berani. Atas dasar keputusan dengan pertimbangan itu, kaum Muslimin berangkat ke luar kota di bawah pimpinan Rasulullah saw. Dalam perang ini tak ada yang menang dan tak ada yang kalah.

Dalam menghadapi ancaman tersebut, Rasulullah dengan pandangannya yang jauh, berani dan penuh tanggung jawab, segera memutuskan akan mengambil tempat di kaki Gunung Uhud, yang mengintari sebagian besar kota Medinah, sekitar tiga mil ke utara. Pada 7 Syawal tahun ketiga Hijri (Januari 625) waktu subuh, ia sudah mengadakan persiapan untuk menghadapi perang itu. Medinah terkenal dengan musim dinginnya yang luar biasa, tetapi prajurit Muslimin (700 sampai 1000 orang) subuh itu sudah siap.

Di sebelah selatan mereka terdapat lembah yang curam dengan aliran air yang deras, sedang lorong-lorong bukit di belakang mereka ditempati oleh 50 orang pasukan pemanah untuk mencegah serangan musuh dari belakang. Pihak musuh sudah bersiap-siap hendak menyerang tembok Medinah, sedang pasukan Muslimin berada di belakang mereka.

Pada mulanya pertempuran itu menguntungkan kaum Muslimin. Pihak musuh sudah porak-poranda, tetapi barisan pemanah Muslimin, yang tidak menaati perintah Nabi meninggalkan posnya. Mereka ikut mengejar dan memperebutkan rampasan perang.

Perintah itu ialah: Janganlah mengejar rampasan perang, dan jagalah disiplin kuat-kuat. Tidak sedikit musuh yang mati terbunuh, dan mereka sudah mulai mundur. Pada saat itu sebagian pasukan Muslimin, melanggar perintah, terus mengejar mereka karena tertarik oleh kemungkinan mendapatkan harta rampasan perang. Pihak musuh mengambil peluang yang telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah, dan ketika itulah terjadi pertempuran satu lawan satu yang amat sengit, yang menurut laporan banyak menguntungkan pihak musuh. Sahabat-sahabat dari kaum Ansar banyak yang terbunuh.

Tetapi mereka tidak kenal mundur. Dalam pertempuran ini Hamzah, paman Rasulullah dari pihak bapak, terbunuh sebagai syahid. Rasulullah sendiri juga mendapat luka-luka di bagian kepala dan muka, sebuah giginya tanggal. Kalau tidak karena keteguhan hati, keberanian dan ketenangannya, niscaya pihak Muslimin akan menderita kekalahan besar.

Meskipun Rasulullah dalam keadaan luka, begitu juga kaum Muslimin yang lain mengalami luka-luka, keesokan harinya mereka kembali ke medan pertempuran. Abu Sufyan dan pasukan Mekah-nya dengan hati-hati sekali segera menarik diri. Medinah dapat diselamatkan. Kaum Muslimin dapat belajar dari peristiwa ini: keimanan, kesetiaan dan ketabahan. (Diringkaskan dari Tafsir Alquran A. Yusuf Ali).

Ayat 156

Tentang semangat berjihad pada orang-orang yang beriman yang sudah tertanam, Allah melarang mereka menganut kepercayaan seperti kepercayaan orang-orang kafir yang berkata mengenai teman-temannya yang mati sewaktu dalam perjalanan atau berperang. “Kalau mereka, orang-orang mukmin itu tetap bersama kita, tidak pergi berperang, tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.”

Kepercayaan dan perkataan itu, bukan saja tidak benar, tetapi juga menimbulkan rasa penyesalan yang sangat dalam, padahal soal hidup dan mati adalah di tangan Allah. Dialah yang menghidupkan dan mematikan semua makhluk-makhluk-Nya menurut waktu, tempat dan sebab yang telah ditetapkan.

Ayat 157

Kemudian ayat itu menerangkan bahwa tidak ada hal yang perlu ditakuti oleh orang yang beriman apabila mereka berjihad di jalan Allah, kerena andaikata mereka gugur atau mati, niscaya mereka akan memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Itu adalah jauh lebih baik bagi mereka daripada harta rampasan perang atau kekayaan duniawi yang fana ini.

Ayat 158

Semua orang akan mati atau gugur dengan sebab apa saja, baik karena meninggal di dalam peperangan dalam bepergian atau di tempatnya sendiri. Mereka pasti akan dikembalikan kepada Allah dan akan diperhitungkan segala amal perbuatannya di akhirat nanti. Kalau jahat dibalas dengan siksa neraka dan kalau baik dibalas dengan masuk surga.

Oleh karena itu orang mukmin hendaklah memilih dan menempuh jalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, agar memperoleh ampunan dan rahmat-Nya. Untuk itu, janganlah seorang Muslim merasa enggan berjihad di jalan Allah, untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ayat 159

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam Perang Uhud sehingga menyebabkan kaum Muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Di samping itu Nabi Muhammad saw selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum Muslimin patuh melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad di jalan Allah dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum Muslimin selain Allah.

Ayat 160

Apabila Allah  hendak menolong pasukan Muslimin, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya sebagaimana Allah menolong pasukan Muslimin pada Perang Badar karena mereka berserah diri kepada Allah. Demikian pula apabila Allah hendak menghina atau hendak menimpakan malapetaka kepada mereka maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya, apa yang terjadi dalam Perang Uhud akibat kurang patuh dan tidak disiplin terhadap komando Rasul. Oleh karena itu, setiap mukmin hendaklah bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum Muslimin selain Allah.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 146-154

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 146

Allah kembali memberikan koreksi kepada sebagian pengikut Nabi Muhammad saw yang lemah dan tidak setia dalam Perang Uhud dengan mengemukakan keadaan umat nabi-nabi sebelumnya bahwa dalam jihad fisabilillah, semangat dan iman mereka tetap kuat, tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah di kala menderita bencana. Orang-orang semacam itulah yang dicintai Allah karena kesabarannya.

Ayat 147

Mereka di samping kesabaran dan ketabahan berjihad f³sab³lillāh bersama Nabi, tidak lupa mengadakan hubungan langsung dengan Allah swt dengan berdoa agar dosanya dan tindakan yang berlebih-lebihan diampuni oleh Tuhan, pendiriannya ditetapkan agar mereka dimenangkan terhadap orang-orang kafir.

Ayat 148

Oleh karena kesungguhan, keikhlasan, keteguhan iman dan kesabaran para pengikut nabi-nabi yang terdahulu dalam menghadapi segala macam penderitaan dalam memperjuangkan kebenaran di jalan Allah, maka Allah memberikan kepada mereka balasan dunia dan pahala yang setimpal di akhirat.

Ayat 149

Menurut Ali bin Abi Talib, ayat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa orang-orang mukmin ketika mendapat pukulan berat dalam Perang Uhud sehingga orang-orang munafik berkata kepada mereka, “Kembalilah kamu kepada saudara-saudara kamu dan masuklah agama mereka.” Dengan demikian yang dimaksud dengan orang-orang kafir dalam ayat ini ialah orang-orang munafik.

Ayat ini memperingatkan setiap orang beriman kepada Allah baik yang telah mengalami penderitaan dalam Perang Uhud maupun lainnya di setiap masa dan tempat, tetap selalu waspada agar tidak terperosok kepada sikap lemah, menyerah dan mengikuti bujukan berbisa dari orang-orang kafir, munafik Yahudi, karena akibatnya akan menimbulkan bahaya dan kerugian yang sangat besar.

Ayat 150

Kaum Muslimin agar taat kepada Allah  karena Dialah Pelindung mereka yang terbaik. Janganlah mereka mengikuti orang-orang kafir seperti Abµ Sufyān dan kawan-kawannya (pada waktu itu), atau orang-orang munafik seperti ‘Abdullāh bin Ubai atau orang-orang kafir dan munafik lainnya yang akan menyesatkan dan menjerumuskan mereka ke jurang yang sangat berbahaya.

Ayat 151

Bentuk pertolongan Allah yang diberikan kepada orang mukmin,  dengan membisikkan ke dalam hati orang  kafir rasa takut untuk melanjutkan peperangan, karena mereka mempersekutukan Allah. Tempat mereka neraka dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang zalim.

Memang bagaimanapun hebat dan gagah perkasanya seseorang, ia akan merasa lemah dan tidak dapat berbuat sesuatu, apabila ia telah dihinggapi oleh perasaan takut.

Ayat 152

Allah telah memenuhi segala apa yang telah dijanjikan kepada hambanya yang beriman, di mana mereka telah sampai kepada suatu tahap kemenangan dengan menghancurkan kekuatan musuh yang jauh lebih banyak jumlah dan persiapannya.

Tetapi karena mereka kurang sabar, kurang patuh dan kurang disiplin terhadap komando Muhammad yang memerintahkan agar setiap regu, terutama regu pemanah jangan meninggalkan tempatnya masing-masing sebelum ada perintah, tetapi banyak di antara mereka yang melanggarnya, bahkan mereka berselisih karena menghendaki harta dunia, yakni mengejar harta rampasan perang, maka terjadilah apa yang terjadi, musuh kembali menjadi kuat, karena telah merebut tempat-tempat strategis, akhirnya kaum Muslimin menjadi lemah, sehingga mengalami penderitaan disebabkan perbuatan dan tingkah laku mereka sendiri, sebagai ujian dari Allah terhadap keimanan, kesabaran dan kedisiplinan mereka.

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan apa yang telah terjadi dan mereka telah menyesali kesalahan-kesalahan itu, dan Allah telah mengampuni mereka, karena Allah selalu memberikan karunia-Nya kepada orang-orang mukmin.

Para ahli tafsir menguraikan apa yang dimaksud dengan janji Allah yang disebutkan dalam ayat ini sebagai berikut:

  1. Janji Allah akan menolong kaum mukminin dalam Perang Uhud dengan mengirimkan bala bantuan sebanyak lima ribu malaikat, kalau mereka sabar dan bertakwa.
  2. Janji Allah akan memberi kemenangan yang disampaikan oleh Nabi kepada regu pemanah selama mereka tidak meninggalkan tempatnya. Tetapi rupanya banyak yang meninggalkan tempat.
  3. Janji Allah akan menolong setiap orang mukmin yang bersabar dan bertakwa yang banyak disebutkan dalam beberapa ayat dan surah dalam Al-Qur’an;Kalau kita perhatikan tiga pendapat tersebut di atas, tidaklah bertentangan satu dengan yang lain, hanya tinjauannya dari segi yang berlainan. Pendapat yang pertama meninjau dari segi historisnya dan hubungan ayat 152 ini dengan ayat 125. Pendapat yang kedua meninjau dari segi kenyataan historis tentang pelanggaran mereka terhadap taktik perang, yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepada mereka, pendapat yang ketiga meninjau secara umum, karena di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjanjikan bantuan dan pertolongan kepada orang yang beriman, sabar dan bertakwa kepadanya.

Ayat 153

Kejadian-kejadian yang penting di barisan kaum Muslimin dalam Perang Uhud, yaitu: sebab-sebab kegagalan mereka, ketika sebagian besar dari mereka lari, sedang Rasul memanggil mereka dari belakang agar jangan berbuat demikian dan kembali ke pasukan masing-masing, tetapi mereka tidak mengindahkannya.

Oleh karena itu, mereka ditimpa penderitaan yang cukup berat. Kalau mereka sadari apa yang telah mereka perbuat pada waktu itu, tentulah mereka tidak akan bersedih hati atau heran, mengapa mereka menjadi gagal dalam Perang Uhud, Allah Maha Mengetahui semua apa yang akan mereka perbuat.

Ayat 154

Lanjutan peristiwa setelah mereka mengalami kesulitan dan penderitaan, maka Allah memberikan kepada segolongan mereka yang kuat iman dan kesabarannya perasaan kantuk untuk menenangkan mereka dari rasa ketakutan, lelah dan kegelisahan. Dengan demikian mereka dapat mengumpulkan kembali kekuatan mereka yang telah berkurang karena sengitnya pertempuran dan kehilangan semangat.

Sedang segolongan lainnya tidak menerima nikmat kantuk ini, yaitu golongan yang lemah imannya bahkan mereka tetap merasa takut dan gelisah. Ayat ini mengutarakan bahwa pengikut-pengikut Nabi setelah selesai peperangan terbagi atas dua golongan.

Pertama: Golongan yang menyadari bahwa terpukulnya mereka dalam Perang Uhud disebabkan kekeliruan mereka berupa kurangnya disiplin terhadap komando Rasulullah selaku komandan pertempuran. Mereka tetap yakin dan percaya pada pertolongan Allah berupa kemenangan bagi orang-orang yang beriman. Karena meskipun pada kali ini mereka mengalami malapetaka, namun Allah tetap akan membela orang-orang yang beriman. Golongan inilah yang memperoleh nikmat kantuk itu.

Kedua: Golongan yang lemah imannya karena diliputi rasa kekhawatiran  mereka belum begitu yakin kepada komando Rasulullah karena kemunafikan yang telah bersarang di hati mereka. Golongan kedua inilah yang menyangka yang bukan-bukan terhadap Allah dan Muhammad seperti sangkaan orang-orang jahiliah.

Antara lain mereka menyangka kalau Muhammad benar-benar seorang Nabi dan Rasul, tentu ia dan sahabatnya tidak akan kalah dalam Perang Uhud. Mereka berkata untuk melepaskan tanggung jawab, “Apakah kita ada hak campur tangan dalam urusan ini?” Katakanlah hai Muhammad, “Semua urusan ini adalah di tangan Allah.”

Mereka banyak menyembunyikan hal-hal yang tidak mereka lahirkan kepadamu, mereka berkata, “Sekiranya ada hak campur tangan pada kita, niscaya kita tidak akan dikalahkan di sini.” Tetapi katakanlah kepada mereka andaikata mereka berada di dalam rumah masing-masing dengan tidak ikut berperang, tetapi kalau sudah ditakdirkan akan mati di luar rumah, maka mereka pasti akan mati juga di tempat yang sudah ditentukan.

Semua kejadian ini adalah untuk menguji apa yang tersimpan di dalam dada kaum Muslimin dan untuk membersihkan hati mereka dari keraguan yang dibisikkan oleh setan, sehingga bertambah kuatlah keimanan dalam hati mereka. Allah Maha Mengetahui isi hati mereka.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 141-145

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 141

Peristiwa musibah kaum Muslimin pada Perang Uhud sesudah mereka menang dalam Perang Badar sebelumnya, adalah juga dimaksudkan untuk membedakan orang yang benar-benar beriman dari kaum munafik dan untuk membersihkan hati orang mukmin yang masih lemah, sehingga benar-benar menjadi orang yang ikhlas, bersih dari dosa.

Derajat keimanan seseorang itu masih tersamar, dan tidak jelas hakikatnya kecuali melalui ujian berat. Kalau ia lulus dalam ujian itu, maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang bersih dan suci, sebagaimana halnya emas, baru dapat diketahui keasliannya sesudah diasah, dibakar dan diuji dengan air keras.

Pasukan pemanah melanggar perintah Nabi saw dalam Perang Uhud dengan meninggalkan posnya di atas gunung, lalu turut memperebutkan harta rampasan. Karena itu pasukan Muslimin akhirnya terpukul mundur, dikocar-kacirkan oleh musuh. Peristiwa ini menjadi satu pelajaran bagi kaum Muslimin untuk menyadarkan mereka bahwa umat Islam diciptakan bukanlah untuk bermain-main, berfoya-foya, bermalas-malasan, menimbun kekayaan, melainkan harus bersungguh-sungguh beramal, menaati perintah Nabi saw dan tidak melanggarnya, apa pun yang akan terjadi.

Keikhlasan hati kaum Muslimin dan ketaatannya kepada perintah Nabi  dapat dibuktikan ketika terjadi perang Hamra’ul Asad sesudah terpukul dalam Perang Uhud. Nabi saw memerintahkan bahwa orang-orang yang dibolehkan ikut pada perang Hamra’ul Asad ialah orang-orang yang pernah ikut dalam Perang Uhud.

Mereka dengan segala senang hati mematuhi perintah Nabi dengan kemauan yang sungguh-sungguh dan ikhlas sekalipun di antara mereka masih ada yang mengalami luka-luka yang parah, hati yang sedih dan gelisah. Sebaliknya orang-orang kafir menderita kehancuran karena hati mereka kotor, masih bercokol di dalamnya sifat-sifat sombong dan takabur, akibat kemenangan yang diperolehnya.

Ayat 142

Ulama-ulama tafsir menerangkan bahwa setelah Nabi saw, mengetahui persiapan pihak Quraisy berupa pasukan yang berjumlah besar untuk menyerang kaum Muslimin sebagai balasan atas kekalahan mereka dalam Perang Badar, maka Nabi saw bermusyawarah dengan para sahabatnya, apakah mereka akan bertahan saja di kota Medinah ataukah akan keluar untuk bertempur di luar kota.

Meskipun Nabi  sendiri lebih condong untuk bertahan di kota Medinah, namun beliau mengikuti pendapat terbanyak yang menghendaki agar menyerang musuh di luar kota. Dengan demikian Rasulullah saw keluar kota ke bukit Uhud dengan pasukan sebanyak 1.000 orang untuk melawan orang Quraisy yang berjumlah lebih dari 3.000 orang. Pasukan Muslimin yang jauh lebih sedikit ini hampir memperoleh kemenangan, tetapi akhirnya suasana berbalik menjadi kegagalan disebabkan kurang sabar mematuhi perintah Rasulullah sebagai komandan dalam peperangan itu.

Banyak korban berguguran di sana-sini dan ada pula yang lari ketakutan. Nabi sendiri terdesak dan terancam, bahkan tersiar berita bahwa Nabi saw telah terbunuh. Yang terbunuh sebagai syuhada ialah para sahabatnya seperti Abu Dujanah, Talhah bin Ubaidillāh, Ummu Imarah dan lain-lain yang telah mengorbankan diri dan nyawa mereka sebagai perisai Rasulullah. Terbunuh juga dalam Perang Uhud, Hamzah bin Abdul Mutalib, paman Rasul yang dicintainya. Pada ayat 142, Allah mengatakan, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Ini adalah satu celaan dan koreksi Tuhan terhadap sebagian kaum Muslimin yang turut dalam Perang Uhud itu, yaitu kepada orang-orang yang semula ingin berperang dengan semangat berapi-api dan mendorong Rasulullah, agar keluar kota untuk memerangi pihak Quraisy dan jangan hanya bertahan di kota Medinah saja. Mereka dengan tegas menyatakan sanggup berbuat segala sesuatu untuk menghadapi musuh meskipun mereka akan mati seperti pahlawan-pahlawan Badar.

Tetapi nyatanya setelah mereka berada dalam suasana yang sulit dan keadaan gawat, bukan saja mereka kehilangan semangat dan tidak dapat melaksanakan apa yang tadinya mereka nyatakan kepada Rasulullah, bahkan kebanyakan dari mereka sudah kehilangan pegangan, terkecuali sebagian yang memang semangat tempur dan juangnya bernyala-nyala terus, karena keteguhan keyakinan dan keimanan yang tidak dapat digoyahkan oleh keadaan dan suasana apa pun juga. Mereka inilah pembela-pembela Rasulullah, pembela Islam dan kebenaran.

Ayat 143

Kaum Muslimin sebelum terjadi Perang Uhud berjanji akan mati syahid mengikuti jejak para syuhada Badar. Tetapi mereka tidak menepati janji itu ketika melihat dahsyatnya pertempuran. Sebagai puncak dari kesukaran yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam Perang Uhud, ialah tersiarnya berita Rasulullah telah terbunuh.

Ketika itu orang-orang yang lemah imannya ingin memperoleh jasa-jasa baik dari Abdullah bin Ubai, kepala kaum munafik di Medinah, agar dia berusaha mendapat perlindungan dari Abµ Sufyān, bahkan ada pula yang berteriak seraya berkata, “Kalau Muhammad sudah mati, marilah kita kembali saja kepada agama kita semula.”

Dalam keadaan kalut sahabat Nabi (Anas bin an-Nadar) berbicara, “Andaikata Muhammad telah terbunuh, maka Tuhan Muhammad tidak akan terbunuh. Untuk apa kamu hidup sesudah terbunuhnya Rasulullah? Marilah kita terus berperang, meskipun beliau telah mati.” Kemudian Anas bin an-Nadar berdoa meminta ampun kepada Tuhan karena perkataan orang-orang yang lemah iman itu, lalu ia mengambil pedangnya dan terus bertempur sehingga ia mati syahid.

Ayat 144

Muhammad hanyalah seorang Rasul Allah. Kalau dia mati terbunuh, maka itu adalah hal biasa sebagaimana telah terjadi pula pada nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya. Ada yang mati biasa dan ada yang terbunuh. Mengapa ada di antara kaum Muslimin yang murtad disebabkan mendengar berita Muhammad telah mati terbunuh?

Ketahuilah bahwa orang yang murtad tidak akan menimbulkan sesuatu mudarat kepada Allah. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Pengertian bersyukur biasa diartikan terima kasih. Berterima kasih dalam ayat ini bukanlah sekedar ucapan, tetapi dengan suatu perbuatan dan bukti yang nyata.

Bersyukur kepada manusia ialah berbuat baik kepadanya sebagai balas jasa, sedang bersyukur kepada Allah ialah berbakti kepada-Nya, sesuai dengan perintah-Nya. Di dalam menegakkan kebenaran, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang dengan penuh iman dan kesabaran dan rela menerima segala macam cobaan dan penderitaan. Orang-orang semacam inilah yang benar-benar bersyukur kepada Allah dan yang pasti akan mendapat balasan yang dijanjikan-Nya.

Ayat 145

Allah menyatakan, “Semua yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin-Nya, tepat pada waktunya sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya.” Artinya: persoalan mati itu hanya di tangan Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa atau di tangan musuh yang ditakuti. Ini merupakan teguran kepada orang-orang mukmin yang lari dari medan Perang Uhud karena takut mati, dan juga merupakan petunjuk bagi setiap umat Islam yang sedang berjuang di jalan Allah. Seterusnya Allah memberikan bimbingan kepada umat Islam bagaimana seharusnya berjuang di jalan Allah dengan firman-Nya:

وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَا

… Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu,…(Ali ‘Imran/3:145)

Ini berarti setiap orang Islam harus meluruskan dan membetulkan niatnya dalam melaksanakan setiap perjuangan. Kalau niatnya hanya sekedar untuk memperoleh balasan dunia, maka biar bagaimanapun besar perjuangannya, maka balasannya hanya sekedar yang bersifat dunia saja. Dan barang siapa yang niatnya untuk mendapat pahala akhirat, maka Allah akan membalasnya dengan pahala akhirat. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur yaitu orang-orang yang mematuhi perintah-Nya dan selalu mendampingi Nabi-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25

0

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ اِذَآ اَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُوْنَ  () وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ () وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ () وَمِنْ اٰيٰتِهٖ مَنَامُكُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاۤؤُكُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ () وَمِنْ اٰيٰتِهٖ يُرِيْكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَّطَمَعًا وَّيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَيُحْيٖ بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ () وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ تَقُوْمَ السَّمَاۤءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهٖۗ  ثُمَّ اِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةًۖ مِّنَ الْاَرْضِ اِذَآ اَنْتُمْ تَخْرُجُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (20) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (21) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui(22) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan (23) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Dia memperlihatkan kilat kepadamu untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti (24) Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur) (25)

Beberapa Tanda Kekuasaan Allah

‘Allah maha kuasa’. Untuk melihat dan mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah maka lihat dan renungkanlah ciptaan-ciptaannya, di saat itu kita akan menemukannya. Alquran telah merekam bukti-bukti kekuasaan Allah itu salah satunya dalam surat ar-Rum secara beriringan, yaitu ayat 20-25. Ada enam kehebatan Allah yang diinformasikan dalam ayat-ayat tersebut.

Pertama, penciptaan manusia. Kedua, mempersatukan pasangan suami istri. Ketiga, penciptaan langit dan bumi serta isinya yang beraneka ragam. Keempat, tidurnya manusia di malam dan siang hari yang dilanjutkan dengan usahanya mencari rezeki. Kelima, fenomena kilat dan hujan. Keenam, adanya hari kebangkitan (yawm al-ba’th).

Keenam bukti itu tidak lain adalah hal-hal yang sudah terbiasa ada di sekitar kita, di kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi sangat disayangkan hanya sedikit orang yang menyadarinya, terlebih yang dapat mengungkap rahasia di balik itu semua. Hal ini yang oleh Alquran diistilahkan dengan ‘kaum yang berpikir, orang-orang yang alim, kaum yang mendengarkan dan lainnya.

Ayat-ayat di atas memberikan informasi kepada kita bahwa Allah hadir dimana-mana. Melalui ayat-ayatNya di pentas alam raya, Allah menampakkan dzatNya dengan jelas (adh-Dhahir), tetapi secara bersamaan Dia juga al-Bathin, Yang tersembunyi hakikat, Zat dan SifatNya, bukan karena tidak jelas, namun karena terlalu jelas, sehingga mata biologi manusia tidak dapat menjangkaunya.

Keindahan alam yang sangat luar biasa, keserasian dan keharmonisannya mulai dari penciptaan manusia yang hanya dari tanah menjadi sosok makhluk yang gagah dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya (dibekali pengetahuan) yang tidak dimiliki oleh makhluk selainnya. Manusia yang awalnya hanya satu menjadi banyak dan beragam, ada manusia Arab, manusia Amerika, manusia Prancis, manusia Jerman, manusia Belanda, manusia Indonesia dan yang lainnya dengan disertai identitasnya masing-masing. Manusia tidak sendiri, ada makhluk lain di sekelilingnya yang ikut menemaninya dan mendukung keberlangsungan hidupnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Langit dan bumi sebagai tempat tinggal manusia sudah dilengkapi olehNya dengan berbagai hal yang sudah tersistem sedemikian rupa, ada daratan-lautan, ada gunung, hutan, gurun pasir dan yang lainnya. semuanya berdampingan dengan harmonis. Ada juga air, angin, kilat, petir, halilitar, guruh, batu, debu, bintang, planet, meteor dan seterusnya dengan masing-masing tugasnya, kadang hujan, kadang terik, kadang ada badai, gempa dan lainnya. Tidak terlewatkan pula adanya siang-malam, terang-gelap, terjaga-tidur, bergerak-diam, senang-sedih yang waktunya sudah disediakan sendiri-sendiri oleh Allah. Semua itu merupakan kerajaan dan kuasaNya yang menyadarkan kita bahwa dalil wujudnya terbentang dimana-mana.

Ajakan untuk Berpikir

Ayat-ayat ini hendaknya dipahami lebih filosofis lagi, ada apa dengan penyebutan semua ini, apa rahasia dibalik itu semua? Maka di sini Alquran tidak cukup hanya dibaca, tetapi juga direnungkan dan bahkan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Alquran hendaknya dibaca secara ma’nawiy, bukan sekadar harfiy. Qira’ah yang dilakukan tidak hanya bersifat ta’abbudiyah, melainkan pula istinbathiyah. Bukan pula at-taqlidiyah dan at-tarikhiyah, melainkan al-maqasidiyah.

Pembacaan secara filosofis ini diisyaratkan oleh kelompok ayat-ayat di atas dengan ujung ayat yang selalu menggunakan redaksi yang sangat identik dengan tugas dan fungsi akal juga panca indra. Sebut saja kalimat ‘sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir’ pada ayat 21, ‘sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang alim’ pada ayat 22, ‘sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti bagi kaum yang mendengarkan’ pada ayat 23, ‘sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal’ pada ujung ayat 24.

Pernyataan ini sekaligus menjadi seruan bagi manusia untuk berpikir, menggunakan akal pikirannya secara maksimal untuk mengungkap rahasia di balik tanda-tanda Allah yang sangat banyak itu. Bukankah yang ditandai itu lebih bernilai daripada tanda itu sendiri. Berpikir dengan media memandang, mengungkap serta menganalisis manifestasi ayat-ayat Allah adalah esensi dari agama itu sendiri. Padanan ayat di atas terdapat di banyak tempat dalam al-Qur’an. oleh karena seringnya al-Qur’an menyeru untuk berpikir, maka Jamal Albanna dalam A-‘Audah Ila al-Qur’an mengatakan bahwa metode Alquran adalah ajakan untuk berpikir.

Wallahu A’lam

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 134

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 134 berbicara mengenai beberapa sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 130-133


Ayat 134

Ayat ini langsung menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu: Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kesempitan (miskin), sesuai dengan kesanggupannya. Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah. Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah swt.

Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَرَدُّوا السَّائِلَ وَلَوْ بِظُلْفٍ مُحْرَقٍ

(رواه أحمد في مسنده)

“Peliharalah dirimu dari api neraka meskipun dengan menyedekahkan sepotong kurma, dan perkenankalah permintaan seorang peminta walaupun dengan memberikan sepotong kuku hewan yang dibakar.” (Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya). )

Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan. Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya. Allah berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.  (at-Talaq/65:7).

Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu. Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan.

Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Firman Allah:

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.… (al-Baqarah/2:276)

Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu. Jadi kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.

Kedua: Orang yang menahan amarahnya. Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan-tindakan kejam dan jahat sehingga apabila dia sadar pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu. Oleh karenanya bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu. Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.

Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya. Allah menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.


Baca juga: 


Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. Beliau berkata, “Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan.” Nabi Muhammad saw bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya.” Allah berfirman:

وَاِذَا مَا غَضِبُوْا هُمْ يَغْفِرُوْنَ ۚ

… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. (asy-Syµra/42:37).;Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.

Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.

Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.

Keempat: Orang yang berbuat baik. Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa maka di samping memaafkan kesalahan orang lain hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, “Allah berfirman:

وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ

… Dan orang-orang yang menahan amarahnya … (Ali ‘Imr±n/3:134)

”Ali bin Husain menjawab, “Aku telah menahan amarah itu.” Kemudian budak itu berkata pula, “Allah berfirman:

وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ

… Dan memaafkan (kesalahan) orang lain … (Ali ‘Imran/3:134)

”;Dijawab oleh Ali bin Husain, “Aku telah memaafkanmu.” Akhirnya budak, itu berkata lagi, “Allah berfirman:

وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

… Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali ‘Imran/3:134)

”Ali bin Husain menjawab, “Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu,” demi mencapai keridaan Allah.

Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad saw terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa, tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 135-140


(Tafsir Kemenag)

Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran

0
www.freepik.com created by articular

Covid-19 yang mulai melanda dunia akhir tahun 2019 membuat panik seluruh isi bumi. Manusia belum sepenuhnya mengenal makhluk Allah yang baru ini. Karena keterbatasan informasi tentang virus tersebut, berkembanglah informasi yang simpang siur tentangnya, para agamawan pun tidak ketinggalan turut berkomentar.

Sayangnya sebagian komentar agamawan tidak dalam proporsinya, dan telah melampaui bidang yang bukan keahliannya, termasuk pada isu medis. Dalam isu yang terkait agama pun beberapa perlu diluruskan semisal bahwa Covid-19 ini tentara tuhan, konspirasi komunis untuk menutup masjid, pemaksaan pemberlakuan syariat, dan lain-lain.

Dalam tulisan pendek ini, isu yang ingin diluruskan berkaitan dengan Covid-19 dan agama adalah upaya mempertentangkan ketakutan kepada Allah SWT dengan ketakutan terhadap selain-Nya. Hal ini guna menjawab pernyataan sebagian penceramah yang menolak mengikuti anjuran medis dengan dalih ketakutannya hanya kepada Allah, bukan pada virus atau penyakit.

Mengkontradiksikan ketakutan kepada Allah dan kepada virus tentu bukan dalam proporsi yang tepat, dan bisa menjatuhkan seseorang dalam fatalisme (jabariyah). Karena masing-masing seharusnya didudukkan dalam posisinya, sehingga seseorang tetap berdoa dan bertawakal namun setelah didahului ikhtiar. Renungkanlah beberapa peristiwa dalam Alquran berikut:

  1. Nabi SAW bersama para sahabat merasa ketakutan diserang musuh ketika melaksanakan salat dalam situasi perang, lalu diturunkanlah oleh Allah pelajaran mengenai tata cara salat jamaah untuk kondisi perang yang dinamakan dengan salat al-khawf (salat dalam keadaan takut). Dalam hal ini Alquran mengakomodir ketakutan terhadap musuh. Sebagaimana termaktub dalam Q.S An-Nisa ayat 102:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُم

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…” (QS al-Nisa [4]: 102)

  1. Rasulullah pernah bersembunyi beberapa kali dari kejaran musuh, termasuk pada saat hijrah ke Madinah, bersembunyi di Gua Tsur, sehingga Abu Bakar ketakutan sebelum akhirnya turun Q.S At-Taubah ayat 40:

إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ الله إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا  فَأَنزَلَ الله سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah [9]: 40).

  1. Nabi Ibrahim AS adalah manusia yang paling dicintai oleh Allah sehingga bergelar khalilullah. Meski begitu ia pernah bersiasat dan menghindari ancaman Namrud yang akan membunuhnya. Kisahnya tercatat dalam QS al-Anbiya [21] ayat 57-66.
  2. Nabi Musa AS termasuk nabi yang mendapat kategori ulul azmi (punya ketabahan luar biasa) dan mempunyai fisik yang sangat kuat. Meski begitu ia pernah lari hingga membelah lautan menghindari kejaran Firaun. Kisahnya ini tercatat dalam QS Thaha [20] ayat 77 dan QS al-Syu’ara [26] ayat 60-66.

Demikian beberapa kisah dari Alquran yang menunjukkan adanya ketakutan kepada Allah tidak dipertentangkan dengan ketakutan kepada makhluk. Karena keduanya harus ditempatkan dalam posisi dan kadarnya masing-masing yang tentu saja berbeda.

Alquran juga memerintahkan manusia untuk senantiasa berikhtiar dan menghindari sesuatu yang membahayakannya, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS al-Baqarah [2]: 195). Menghindari sesuatu yang membahayakan ini wajib hukumnya dalam agama, bahkan terdapat diskresi dalam persoalan ini (QS Ali Imron [3]: 28).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa di tengah pandemi Covid-19 ini kita harus senantiasa optimis berikhtiar dengan mengikuti anjuran medis. Kewaspadaan terhadap penyakit tidak bisa dihalangi dengan propaganda mempertentangkan ketakutan kepada Allah dan kepada penyakit, karena ketakutan terhadap selain Allah juga dialami dan diperagakan oleh para nabi sebagaimana tercatat dalam Alquran di atas. Ikhtiar dulu, tawakal kemudian, sebagaimana pesan Nabi, “I’qilha tsumma tawakkal ”.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 130-133

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 130-133 berbicara mengenai tata kelola harta yang baik dan benar secara agama dan sosial. Terkait dengan ayat 130 berbicara mengenai hukum harta riba. Selanjutnya bercerita mengenai larangan riba bagi muslim terkait harta riba.


Baca juga: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 123-129


Ayat 130

Ayat ini adalah yang pertama diturunkan tentang haramnya riba. Ayat-ayat mengenai haramnya riba dalam Surah al-Baqarah ayat 275, 276 dan 278 diturunkan sesudah ayat ini. Riba dalam ayat ini, ialah riba nas³’ah yang juga disebut riba jahiliah yang biasa dilakukan orang  pada masa itu.

Ibnu Jarir berkata, “bahwa yang dimaksud Allah dalam ayat ini ialah: Hai, orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda, sebagaimana kamu lakukan pada masa jahiliah sesudah kamu masuk Islam, padahal kamu telah diberi petunjuk oleh-Nya.” Pada masa itu bila seseorang meminjam uang sebagaimana  disepakati waktu meminjam, maka orang yang punya uang menuntut agar utang itu dilunasi menurut waktu yang dijanjikan.

Orang yang berutang (karena belum ada uang untuk membayar) meminta penangguhan dan menjanjikan akan membayar dengan tambahan yang ditentukan. Setiap kali pembayaran tertunda ditambah lagi bunganya. Inilah yang dinamakan riba berlipat ganda, dan Allah melarang, kaum Muslimin melakukan hal yang seperti itu.

Ar-Razi memberikan penjelasan sebagai berikut, “Bila seseorang berutang kepada orang lain sebesar seratus dirham dan telah tiba waktu membayar utang itu sedang orang yang berutang belum sanggup membayarnya, maka orang yang berpiutang membolehkan penangguhan pembayaran utang itu asal saja yang berutang mau menjadikan utangnya menjadi dua ratus dirham atau dua kali lipat.

Kemudian apabila tiba waktu pembayaran tersebut dan yang berutang belum juga sanggup membayarnya, maka pembayaran itu dapat ditangguhkan dengan ketentuan utangnya dilipatgandakan lagi, demikianlah seterusnya sehingga utang itu menjadi bertumpuk-tumpuk. Inilah yang dimaksud dengan kata “berlipat ganda” dalam firman Allah. Riba semacam ini dinamakan juga riba nasi’ah karena adanya penangguhan dalam pembayaran bukan tunai.

Selain riba nasi’ah ada pula riba yang dinamakan riba fadal yaitu menukar barang dengan barang yang sejenis sedang mutunya berlainan, umpamanya menukar 1 liter beras yang mutunya tinggi dengan 1½ liter beras yang bermutu rendah. Haramnya riba fadal ini, didasarkan pada hadis-hadis Rasul, dan hanya berlaku pada emas, perak dan makanan-makanan pokok, atau yang diistilahkan dengan “barang-barang ribawi.”

Karena beratnya hukum riba ini dan amat besar bahayanya maka Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menjauhi riba dan selalu memelihara diri dan bertakwa kepada Allah agar jangan terperosok ke dalamnya dan agar mereka dapat hidup berbahagia dan beruntung di dunia dan di akhirat.


Baca juga: Tidak Hanya Khamar, Pengharaman Riba dalam Al-Quran Juga Bertahap


Ayat 131

Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memelihara dan menjauhi perbuatan orang kafir yang tidak mempedulikan apakah harta yang mereka peroleh berasal dari sumber-sumber yang tidak  halal seperti riba, memeras kaum lemah, dan miskin dan sebagainya. Semua cara yang tidak halal itu akan membahayakan mereka di dunia dan membawa mereka ke neraka kelak.

Diterangkan oleh Imam Abu Hanifah, bahwa ayat ini mengandung ancaman yang sangat menakutkan, karena dalam ayat ini Allah mengancam kaum Muslimin akan memasukkan mereka ke dalam neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir bila mereka tidak memelihara diri dari perbuatan yang dilarang-Nya.

Ayat 132

Kemudian perintah tersebut diiringi dengan perintah agar kaum Muslimin selalu taat dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya karena dengan menaati Allah dan Rasul-Nya itulah mereka akan dapat limpahan rahmat-Nya dan dapat hidup berbahagia di dunia dan di akhirat.

Ayat 133

Allah menyuruh agar kaum Muslimin bersegera meminta ampun kepada-Nya bila sewaktu-waktu berbuat dosa dan maksiat, karena manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Seorang Muslim tidak akan mau mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi kadang-kadang karena kuatnya godaan dan tipu daya setan dia terjerumus ke dalam jurang maksiat, kemudian ketika sadar akan kesalahannya dan menyesal atas perbuatan itu dia lalu bertobat dan mohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya. Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Bila seorang Muslim selalu menaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya  dan  segera bertobat bila jatuh ke jurang dosa

dan maksiat, maka Allah akan mengampuni dosanya dan akan memasukkannya nanti di akhirat ke dalam surga yang amat luas sebagai balasan atas amal yang telah dikerjakannya di dunia yaitu surga yang disediakan-Nya untuk orang yang bertakwa.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 134


(Tafsir Kemenag)