Beranda blog Halaman 544

Etika Menjadi Seorang Pebisnis dalam Membangun Kepercayaan

0
pebisnis menunjukkan laporan

Menjadi pengusaha atau pembisnis merupakan sebuah aktivitas yang tidak jauh dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan untuk menjadi seorang pebisnis Islam juga tidak meninggalkan yang namanya etika. Mempelajari etika bisnis dalam Islam sebelum berbisnis adalah suatu kewajiban. Etika dalam bisnis dibangun demi memperoleh sebuah kepercayaan.

Berikut kerangka untuk memperoleh semangat kepercayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Kepercayaan itu bisa diterima, setelah kita melakukan aksi. Dan aksi ini bisa berupa cara memandang dan berbicara, berperilaku, cara kerja.

Lantas bagaimana etika yang harus diterapkan dalam berbisnis, agar mampu menimbulkan kepercayaan?. Berikut Firman Allah surat al-Baqarah ayat 282 menjelaskan tentang etika dalam berbisnis:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 282

Ayat ini memang kategori ayat yang begitu panjang, dan kalimat يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ merupakan tanda nasihat Allah yang ditunjukkan kepada hambanya yang beriman. Menurut kitab Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu Katsir bahwa untuk orang-orang beriman, lakukanlah proses muamalah secara tidak tunai, hendaknya menulisnya. Tujuan ini untuk dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah, selain itu sungguh menguatkan bagi saksi, dengan begitu akan meninggalkan keraguan.

Kemudian kata وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ menjelaskan tentang adil. Maksudnya ialah ketika menuliskan proses muamalah, tidak boleh memihak kepada salah satu orang, harus sesuai dengan kesepakatan transaksi. Dengan menulis ini juga akan menambah validitas dalam berbisnis, sehingga sesame pengusaha pun bisa menaruh kepercayaan kepada pengusaha yang lainnya.

Meniru Konsep Bisnis Masa Sahabat Ali Bin Thalib

Sahabat sekaligus mantu dari Rasulullah SAW juga menerapkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 282. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib juga memaparkan tentang harta dan juga etika berhadapan dengan lawan bisnis. Ali sudah menuliskan tentang etika berbisnis dalam bukunya yang berjudul Najhul Balaghah, bahwa sebuah bisnis akan berhasil atau sukses apabila sumber daya manusia yang terlibat di dalam bisnis sangat berkompeten, karena ini nanti akan mempengaruhi  laju percepatan kepercayaan pada seorang pembisnis

Selain itu, Ali juga menegaskan bahwa untuk menjaga sebuah kepercayaan, pekerja harus melewati beberapa ujian sebelum terlibat dalam bisnis tersebut. Dan yang terpenting dalam setiap devisi harus ada yang namanya pembukuan. Ali menganalogikan layaknya orang berdoa saja tanpa bekerja, bagai memanah tanpa busur. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 118-122

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 118-122 ini secara garis bersar berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai larangan untuk menjalin hubungan dekat dengan orang-orang kafir. Kedua berbicara mengenai hasutan-hasutan yang dilakukan oleh orang-orang munafik kepada umat muslim agar tidak ikut berperang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 111-117


Ayat 118

Peringatan kepada orang mukmin agar jangan bergaul rapat dengan orang kafir yang telah nyata sifat-sifatnya yang buruk itu, jangan mempercayai mereka dan jangan menyerahkan urusan kaum Muslimin kepada mereka.

Ayat ini ditutup dengan ungkapan “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat kepada kamu agar kamu mengerti,” agar orang beriman benar-benar mengerti dan menyadari tentang sifat-sifat buruk orang kafir dan oleh sebab itu tidak sepantasnya mereka dijadikan teman dekat dalam pergaulan selama mereka itu bersikap buruk terhadap orang beriman.

Janganlah orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai teman  kepercayaan yang mempunyai sifat yang dinyatakan dalam ayat ini,  yaitu mereka :

  1. Senantiasa menyakiti dan merugikan Muslimin dan berusaha menghancurkan mereka.
  2. Menyatakan terang-terangan dengan lisan rasa amarah dan benci terhadap kaum Muslimin, mendustakan Nabi Muhammad saw dan Alquran dan menuduh umat Islam sebagai orang-orang yang bodoh dan fanatik.
  3. Kebencian dan kemarahan yang mereka ucapkan dengan lisan itu adalah amat sedikit sekali bila dibandingkan dengan kebencian dan kemarahan yang disembunyikan dalam hati mereka. Tetapi bila sifat-sifat itu telah berubah menjadi sifat-sifat yang baik atau mereka tidak lagi mempunyai sifat-sifat yang buruk terhadap kaum Muslimin, maka Allah tidak melarang untuk bergaul dengan mereka.

Firman Allah:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ   ٨  اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ   ٩

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim. (al-Mumtahanah/60:8-9)

Banyak ditemui dalam sejarah berbagai peristiwa penting yang terkait dengan Ahli Kitab, seperti pengkhianatan Yahudi Banu Qainuqa, Banu Nadir dan Banu Quraizah di Yasrib terhadap Nabi dan kaum Muslimin, sampai terjadinya Perang Khandaq. Kemudian kaum Nasrani yang membantu kaum Muslimin dalam perjuangan Islam seperti dalam penaklukan Spanyol dan pembebasan Mesir.

Mereka mengusir orang-orang Romawi dengan bantuan orang Qibti. Banyak pula di antara orang Nasrani yang diangkat sebagai pegawai pada kantor-kantor pemerintah pada masa Umar bin Khattab dan pada masa Daulah Umayah dan Abbasiah, bahkan ada di antara mereka yang diangkat menjadi duta mewakili pemerintah Islam.

Demikianlah Allah telah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kaum Muslimin agar diperhatikan dengan sebaik-baiknya, jangan terperosok ke dalam jurang kebinasaan karena kurang hati-hati dan tidak waspada ketika  berteman akrab dengan orang kafir itu.

Ayat 119

Ayat ini menambah penjelasan mengenai sebab-sebab mengapa orang-orang kafir itu tidak boleh dijadikan teman akrab yaitu:

  1. Mereka tidak menyukai kesuksesan kaum Muslimin dan menginginkan agar Muslimin selalu dalam kesulitan dan kesusahan, padahal mereka telah dianggap sebagai saudara dan kepada mereka telah diberikan hak yang sama dengan hak kaum Muslimin sendiri.
  2. Kaum Muslimin mempercayai semua Kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk membenci Ahli Kitab karena banyak di antara Muslimin yang sayang kepada mereka, bergaul secara baik dengan mereka. Tetapi mereka tidak juga menyenangi Muslimin bahkan tetap mempunyai keinginan untuk mencelakakan.
  3. Banyak di antara mereka yang munafik, apabila berhadapan dengan Muslimin mereka mengucapkan kata-kata manis seakan-akan benar-benar teman sejati, percaya kepada kebenaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tetapi bila mereka kembali kepada golongannya, mereka bersikap lain dan mengatakan dengan terang-terangan kebencian dan kemarahan mereka terhadap kaum Muslimin.

Mereka sampai menggigit jari karena iri melihat kaum Muslimin tetap bersatu, seia sekata, dan selalu berhasil dalam menghadapi musuh Islam.

Oleh sebab itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar dengan tegas mengatakan kepada mereka:

 مُوْتُوْا بِغَيْظِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ

… “Matilah kamu karena kemarahanmu itu!” Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (Ali ‘Imran/3:119)

Allah mengetahui segala niat yang tersimpan dalam hati kaum Muslimin yang mencintai orang-orang kafir itu sebagaimana Dia mengetahui pula keburukan hati orang-orang kafir. Maka Dia akan membalas kebaikan hati kaum Muslimin dengan balasan yang berlipat ganda dan akan membalas pula kejahatan orang kafir dengan balasan yang setimpal.


Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73


Ayat 120

Selain dari sifat-sifat yang tersebut di atas yang menyebabkan timbulnya larangan bagi kaum Muslimin mengambil mereka sebagai teman setia, dalam ayat ini disebutkan kembali sikap yang menggambarkan bagaimana jahatnya hati orang-orang kafir dan hebatnya sifat dengki yang bersemi dalam dada mereka. Allah berfirman:

اِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْۖ وَاِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا

Jika kamu memperoleh kebaikan, (niscaya) mereka bersedih hati, tetapi jika kamu tertimpa bencana, mereka bergembira karenanya.  (Ali ‘Imran/3:120)

Qatadah berkata dalam menjelaskan firman Allah ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Apabila orang-orang kafir itu melihat persatuan yang kukuh di kalangan kaum Muslimin dan mereka memperoleh kemenangan atas musuh-musuh Islam, mereka merasa dengki dan marah. Tetapi bila terdapat perpecahan dan perselisihan di kalangan Muslimin dan mereka mendapat kelemahan dalam suatu pertempuran, mereka merasa senang dan bahagia.

Memang sudah menjadi sunatullah, baik pada masa dahulu sampai masa sekarang maupun pada masa yang akan datang sampai hari kiamat, bila timbul di kalangan orang kafir seorang cendekiawan sebagai penantang agama Islam, Allah tetap akan membukakan kebohongannya, melumpuhkan hujahnya dan memperlihatkan cela dan aibnya.”

Karena itu Allah memerintahkan kepada umat Islam dalam menghadapi kelicikan dan niat jahat kaum kafir itu agar selalu bersifat sabar dan takwa serta tawakal kepada-Nya. Dengan demikian kelicikan mereka itu tidak akan membahayakan sedikitpun. Allah Maha Mengetahui segala tindak tanduk mereka.

Ayat 121

Orang-orang munafik telah menghasut kaum Muslimin agar jangan ikut berperang. Dalam perjalanan ke medan pertempuran mereka berhasil membawa kembali ke Medinah sepertiga dari tentara yang dipersiapkan untuk menghadapi kaum musyrikin. Berkat pertolongan Allah, ketabahan hati dan kesabaran menghadapi segala percobaan dan taat serta patuh menjalankan perintah Rasulullah saw yang telah membagi pasukan muslim menjadi beberapa bagian dan menempatkan mereka pada posisi-posisi yang strategis di medan perang. Sebagai buah ketaatan itu kaum Muslimin dapat terhindar dari kehancuran.

Ayat 122

Dalam suasana yang sulit dan tidak menguntungkan itu ada dua golongan di antara kaum Muslimin yang hampir patah semangatnya setelah mengetahui bahwa tiga ratus orang dari pasukan kaum Muslimin tidak mau ikut bertempur dan telah kembali ke Medinah. Mereka yang hampir patah semangatnya itu ialah Bani Salamah dari suku Khazraj dan Bani Harisah dari suku Aus masing-masing sayap kanan dan kiri.

Mereka terpengaruh oleh suasana yang amat mencemaskan dan merasa daripada dihancurkan oleh musuh yang demikian besar lebih baik mundur. Untunglah perasaan patah semangat itu tidak lama mempengaruhi mereka karena mereka adalah orang-orang yang penuh tawakal kepada Allah dan tetap berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bersabar dan bertakwa kepada-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 123-129


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 33: Al-Quran Menghapus Praktik Perdagangan Perempuan

0
perdagangan perempuan
perdagangan perempuan

Perdagangan perempuan dan prostitusi yang masih dijumpai hingga sekarang ini, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Praktik tersebut jelas sudah ada sejak zaman Jahiliah, baik terikat dengan paksaan ataupun tidak.

Praktik perdagangan perempuan jelas sangat menistakan perempuan sendiri. Manusia dengan jenis kelamin perempuan ialah yang paling banyak dirugikan dari langgengnya praktik prostitusi. Sehingga bukan sesuatu yang bisa disembunyikan lagi bahwa, sejak 14 abad lalu, Islam menentang keras adanya praktik perdagangan perempuan, sebagai pemuas lelaki semata.

Pada masa Jahiliah, seorang tuan memiliki kuasa penuh atas budak-budaknya. Bahkan sebagian dari mereka, jika ada yang memiliki budak perempuan, ia berhak memaksa budak melacurkan dirinya.

Tuannya pun mematok pajak dengan besaran semaunya, dengan waktu setoran sesuai keinginannya. Ketika Islam datang, Allah Swt. melarang semua orang untuk melakukan hal tersebut.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nur [24] ayat 33,

وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” [Q.S. An-Nur (24): 33]

Memang terdapat berbagai riwayat yang berbeda terkait latar belakang turunnya ayat tersebut. Akan tetapi para ahli tafsir secara tegas menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan perilaku Abdullah bin Ubay bin Salul. Meski sebagian kecil juga ada yang bersikukuh bahwa ayat tersebut berkenaan dengan perilaku Abdullah bin Aufa.

Merujuk penuturan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, Abdullah bin Ubay memiliki sejumlah budak perempuan yang dipaksa untuk menjadi pelacur. Hal itu dilakukannya semata-mata hanya untuk memperoleh tambahan kekayaan.

Oleh sebab itu, ia menetapkan tarif tertentu atas budaknya. Ketika salah seorang budak mengadu kepada Nabi, singkat cerita, kemudian diturunkanlah surah An-Nur ayat 33.

Keuntungan dunia yang diharapkan oleh para tuan (baca: mucikari), sebenarnya bukan hanya pajak atas upah dari pelacuran yang dilakukan oleh hamba sahayanya semata.

Perempuan yang dipaksa untuk berzina itu juga diharapkan dapat melahirkan seorang anak, yang kemudian anak itu dapat kembali diperjualbelikan oleh tuannya kepada orang lain.

Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam Al-Qurthubi menyebutkan satu riwayat, apabila seorang budak tadi ingin menebus anak yang dilahirkannya, maka ia dibebani syarat untuk memberikan seratus onta kepada tuannya.

Syarat yang dibebankan kepada budak itu memang sangat aneh, serta terkesan hanya jebakan saja.

Bagaimana mungkin seorang budak mampu menebus anaknya, apabila untuk menebus dirinya supaya dibebaskan saja tak kunjung mampu.

Bagaimana mungkin seorang budak mampu mempersembahkan seratus unta kepada tuannya, apabila untuk mencukupi kebutuhan hidupnya saja masih terjerat dalam perangkap tuannya.

Kemudian bagaimana status hukum bagi perempuan yang dipaksa tuannya untuk berzina, padahal sesungguhnya ia telah menolak karena ingin menjaga kesuciannya?

Dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, Imam Ibnu ‘Asyur menguraikan bahwa seseorang yang benar-benar “dipaksa”, maka ia akan diampuni. Makna zahir dari ayat sudah jelas, bahwa Allah Swt. ialah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (ghafurun rahimun). Sedangkan dosanya akan ditimpakan kepada orang yang memaksa.

Selain berdasar pada surah An-Nur ayat 33, simpulan ini juga didukung dengan sabda Rasulullah Saw., yang diceritakan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas;

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah membiarkan(mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan, lupa, dan keterpaksaan.” (H.R. Ibnu Majah & Baihaqi)

Menurut Syekh Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatihil Ghaib, konsekuensi tersebut dapat berlaku apabila perempuan yang dimaksud benar-benar tidak mampu untuk menolak paksaan.

Apabila perempuan itu tidak memulainya dengan penolakan, tidak menyertainya dengan pengingkaran bahwa hal tersebut salah, bahkan turut menikmati dengan kerelan hati, maka tidak ada bedanya ia dengan tuannya.

Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan bolehnya seorang hamba sahaya menuruti paksaan tuannya yaitu, apabila ia telah menerima ancaman-ancaman yang berbahaya bagi dirinya.

Imam Ahmad ash-Shawi, menyebutkan contoh ancaman tersebut dalam kitab Hasyiyah ash-Shawi, yakni seperti ancaman pembunuhan dan dihilangkannya anggota tubuhnya.

Terdapat juga suatu pelajaran yang berhubungan dalam hal menyebut atau memanggil orang lain, seperti yang dijelaskan oleh Imam Az-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf.

Yakni, meski pun konteks pemaksaan dalam ayat tersebut sebenarnya adalah budak yang dipaksa oleh tuannya, tetapi Allah Swt. tidak menyebut mereka dengan redaksi budak (‘abdun atau ‘abdah). Oleh Al-Qur’an, mereka disebut dengan redaksi “fatayat”, yang berarti para perempuan muda.

Berdasarkan uraian di atas, dapat semakin dimengerti bahwa Islam jelas memiliki visi untuk menghapuskan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan bagi perempuan.

Ketika pada masa Jahiliah perempuan dijadikan sebagai barang warisan, Islam memberikan keleluasaan bagi mereka untuk mendapatkan warisan.

Ketika perempuan tidak dianggap persaksiannya, Islam memberikan kesempatan bagi mereka untuk bersaksi.

Kemudian, ketika perempuan tidak bisa menolak dari “paksaan” melakukan zina, Allah menjanjikan ampunan bagi mereka, bahkan orang yang memaksalah yang dituntut untuk menanggung akibatnya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 111-117

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 111-117 ini berbicara mengenai ahli kitab, terkhusus berbicara mengenai ahli kitab dari kalangan Yahudi. Kebanyakan mereka dengki terhadap orang-orang muslim.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 101-110


Ayat 111

Ahli Kitab itu tidak membahayakan umat Islam, kecuali sekadar menyakiti hati dengan perkataan yang keji, atau dengan menjelek-jelekan sifat Nabi dan menjauhkan manusia dari agama Islam.

Segala usaha dan tipu daya mereka akan hilang tak berbekas ditelan oleh keteguhan iman dan ketabahan berjuang yang dimiliki oleh kaum Muslimin sebagaimana diungkapkan dalam ayat ini.

(1) “Mereka sekali-kali tidak akan mendatangkan mudarat kepada kamu selain gangguan-gangguan berupa celaan saja.” Mereka hanya mencaci, mencela, memburuk-burukkan Islam, mencoba menimbulkan keraguan dan mengumpat Nabi.

(2) “Dan jika mereka berperang dengan kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang.” Mereka tidak pernah berhasil menimbulkan kerugian besar di kalangan Muslimin.

(3) “Kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan,” untuk mencapai kemenangan. Memang belum pernah mereka mendapat kemenangan di dalam peperangan melawan Islam, meskipun mereka bersekutu dengan kaum musyrikin.

Ayat 112

Dengan kekafiran dan keingkaran para Ahli Kitab (Yahudi), serta tindak tanduk mereka yang keterlaluan memusuhi umat Islam dengan berbagai cara dan usaha, Allah menimpakan kehinaan kepada mereka di mana saja mereka berada, kecuali bila mereka tunduk dan patuh kepada peraturan dan hukum Allah dengan membayar jizyah, yaitu pajak untuk memperoleh jaminan keamanan (Habl min Allah) dan mereka memperoleh keamanan dari kaum muslimin (Habl min al-nas).

Tetapi hal ini tidak dapat mereka laksanakan dalam pergaulan mereka dengan Nabi dan para sahabatnya di Medinah, bahkan mereka selalu menentang dan berusaha melemahkan posisi kaum Muslimin dan tetap memusuhi Islam. Karena itu mereka mendapat kemurkaan Allah, ditimpa kehinaan dan terusir dari Medinah.

Ayat 113

Orang Yahudi adalah suatu kaum yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan buruk, antara lain mereka kafir kepada ayat-ayat Allah, membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, tetapi mereka semua tidak sama. Ada di antara mereka yang beriman, sekalipun kebanyakan di antaranya adalah orang-orang fasik.

Abdullah bin Salam, Sa’labah bin Sa’id, Usaid bin ‘Ubaid dan kawan-kawannya adalah orang-orang Yahudi dari Ahli Kitab yang menegakkan kebenaran dan keadilan, tidak menganiaya orang, memeluk agama Islam dan tidak melanggar perintah-perintah Allah.

Mereka membaca ayat-ayat Alquran dengan tekun dan penuh perhatian pada waktu malam yang diawali dengan terbenamnya matahari dan diakhiri dengan terbitnya fajar,  ketika orang tidur nyenyak, dan mereka juga sujud  mengadakan hubungan langsung dengan Allah swt.

Ayat 114

Mereka beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat dengan iman yang sungguh-sungguh, iman yang tidak dicampur dengan kemunafikan. Beriman kepada Allah berarti beriman pula kepada yang wajib diimani dan dipercayai, mencakup rukun iman seperti beriman kepada malaikat, para rasul, kitab-kitab samawi, qada dan qadar dan sebagainya.

Beriman kepada hari akhirat, berarti menjauhi segala macam maksiat, karena yakin apabila mereka berbuat maksiat di dunia mereka di azab di hari kemudian dan mereka mengadakan kebajikan karena mengharapkan pahala dan keridaan Allah.

Setelah mereka menyempurnakan diri dengan sifat-sifat dan amal perbuatan yang baik seperti tersebut di atas, mereka juga berusaha untuk menyelamatkan orang lain dari kesesatan, membimbing mereka kepada jalan kebaikan dengan amar makruf, dan mencegah mereka dari perbuatan yang dilarang agama dengan jalan nahi mungkar.

Selanjutnya mereka secara bersama-sama dan berlomba-lomba mengadakan pelbagai kebajikan. Oleh karena mereka telah memiliki sifat-sifat mulia dan amal baik seperti tersebut, Allah memasukkan mereka kepada golongan orang yang saleh.


Baca juga: Nabi Ibrahim Adalah Muslim, Bukan Yahudi ataupun Nasrani


Ayat 115

Orang-orang Yahudi yang masih fasik senantiasa mengadakan provokasi kepada teman-temannya yang sudah beriman dan masuk Islam, bahwa mereka akan rugi dengan imannya itu.

Sebagai jawaban dan bantahan atas perbuatan buruk mereka itu, ditegaskan bahwa kebajikan apa saja yang telah dikerjakan oleh mereka yang telah beriman, mereka tetap akan memperoleh pahala dari amal perbuatannya dan tidak akan dihalangi sedikit pun menerimanya.

Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa di antara mereka. Karenanya, amal perbuatan mereka tidak akan disia-siakan tetapi akan diberi pahala yang berlipat ganda.

Ayat 116

Ayat ini turun berkenaan dengan orang Yahudi dan kaum musyrik yang selalu mencerca dan menghina Nabi Muhammad saw, serta pengikut-pengikutnya. Mereka mengatakan, “Kalau Muhammad dan pengikut-pengikutnya memang orang yang benar dan dapat dipercaya, kenapa mereka selalu dalam kemiskinan dan kemelaratan, padahal kitalah yang kaya-kaya dan banyak anak.”

Mereka selalu membanggakan hal ini kepada orang-orang yang beriman dan mencoba menariknya agar berpihak kepada mereka dan kembali menganut agama nenek moyang mereka. Hal ini biasa dilakukan orang kafir pada masa dahulu terhadap nabi-nabi yang diutus Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ

Dan mereka berkata, ”Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.”  (Saba’/34:35)

Maka sebagai jawaban atas penghinaan dan tantangan itu diturunkanlah ayat ini yang menegaskan bahwa banyak harta dan anak tidak akan melepaskan mereka dari siksaan di akhirat kelak.

Ayat 117

Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan itu seperti angin dingin yang berhembus sangat kencang menghabiskan segala tanaman yang ditanam, sehingga pemiliknya tidak dapat memetik hasilnya walau sedikit pun. Meskipun pada lahirnya mereka telah menafkahkan hartanya untuk kepentingan umum seperti membangun benteng pertahanan, jembatan-jembatan, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit dan lain-lain dengan harapan yang besar bahwa kebaikan mereka itu akan mendapat ganjaran dari Allah dan dapat menolong mereka di akhirat nanti, namun harapan itu akan sia-sia belaka. Firman Allah:

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا

Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (al-Furqan/25:23).

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا

Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. (an-Nur/24:39)

Sebenarnya Allah tidak menganiaya orang kafir karena tidak memberi ganjaran bagi amal perbuatan mereka yang baik, tetapi mereka sendirilah yang menganiaya diri sendiri karena tidak mau beriman, padahal bukti-bukti telah banyak sekali di tangan mereka yang menunjukkan kebenaran dan kerasulan Nabi Muhammad saw.

Menurut kajian ilmiah, salah satu fenomena penting yang terjadi pada tanaman yang terkena hawa (angin) yang sangat dingin di antaranya adalah fenomena rusaknya sel-sel, terutama sel daun. Seperti telah umum diketahui bahwa kira-kira 70% dari kandungan sel adalah air. Ketika terkena hawa yang sangat dingin maka air di dalam sel membeku.

Apabila air sudah membeku maka terbentuklah kristal-kristal es yang volumenya lebih besar daripada air. Adanya pembekuan itu menyebabkan dinding-dinding sel hancur karena tergerus molekul-molekul air yang mengembang karena pembekuan. Kenampakan fenomena ini dari luar: daun terlihat menjadi kering seperti terbakar.  Fenomena ini seperti sering terjadi pada tanaman teh di pegunungan Jawa Barat yang dikenal dengan fenomena Ibun Bajra (Embun Api).

Perumpamaan harta yang dibelanjakan tidak sesuai dengan kehendak Allah, akan membawa kehancuran bagi pelakunya, seperti cairan sel yang menghancurkan dirinya sendiri ketika kena hawa dingin.

Dalam ayat di atas juga diperlihatkan akibat perubahan perilaku cuaca terhadap kehidupan, dalam hal ini tanaman pertanian. Secara biologis, suatu perubahan cuaca yang tidak biasa, misal kenaikan maupun penurunan suhu yang tajam, akan sangat mengganggu proses metabolisme tumbuhan. Akibatnya jelas, yaitu akan terjadi disfungsi dari berbagai organ yang ada yang mengakibatkan pertumbuhan yang tidak normal, atau tanaman akan mati.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 118-122


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 101-110

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 101

Mengapa kaum Muslimin mengingkari Allah dan mengikuti Ahli Kitab, padahal mereka telah mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan kepada mereka dan ayat-ayat itu adalah sumber petunjuk yang mengandung segala macam kebaikan dan selalu menganjurkan agar memelihara keimanan sedang Rasulullah sendiri masih berada di tengan-tengah mereka sebagai lambang kebenaran, kebajikan dan persaudaraan.

Maka pantaskah orang mukmin yang telah diberi anugerah oleh Allah sedemikian besar mengikuti segolongan orang yang sudah nyata sesat sebelumnya dan menyesatkan orang banyak dari jalan yang lurus? Karena itu hendaklah seorang mukmin berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian akan terpeliharalah mereka dan selalu berada dalam lingkungan hidayah-Nya, tidak akan sesat untuk selama-lamanya dan tidak akan merasa takut.

Ayat 102

Diserukan kepada kaum Muslimin terutama kaum Aus dan Khazraj agar mereka tetap di Medinah, beriman, bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dengan memenuhi segala kewajiban takwa. Dengan mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, secara keseluruhan, dan jangan mati, melainkan dalam keadaan memeluk agama Islam.

Ayat 103

Diingatkan hendaklah mereka berpegang teguh kepada Allah dan ajaran-Nya dan selalu mengingat nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Dahulu pada masa jahiliah mereka bermusuhan sehingga timbullah perang saudara beratus-ratus tahun lamanya, seperti perang antara kaum ‘Aus dan Khazraj.

Maka Allah telah mempersatukan hati mereka dengan datangnya Nabi Muhammad saw dan mereka telah masuk ke dalam agama Islam dengan berbondong-bondong. Allah telah mencabut dari hati mereka sifat dengki dan memadamkan dari mereka api permusuhan sehingga jadilah mereka orang-orang yang bersaudara dan saling mencintai menuju kebahagiaan bersama.

Juga karena kemusyrikan, mereka berada di tepi jurang neraka, hanya terhalang oleh maut saja. Tetapi Allah telah menyelamatkan mereka. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya, agar kaum Muslimin mendapat petunjuk dan mensyukuri nikmat agar nikmat itu terpelihara.

Ayat 104

Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bilamana tampak gejala-gejala perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar di antara umat Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar (maksiat). Dengan demikian umat Islam akan terpelihara dari perpecahan dan infiltrasi pihak manapun.

Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan, maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kukuh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan.

Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah. Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluknya.

Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga terwujud persatuan yang kukuh kuat. Dari persatuan yang kukuh kuat tersebut akan timbullah kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.

Ayat 105

Allah melarang umat Islam dari perpecahan, karena dengan perpecahan itu bagaimanapun kukuh dan kuat kedudukan suatu umat, pasti akan membawa kepada keruntuhan dan kehancuran. Karena itu Allah memperingatkan agar umat Islam tidak terjerumus ke jurang perpecahan.

Ayat 106

Ayat ini menggambarkan bagaimana kedua golongan tampak perbedaannya pada hari kiamat, yang pertama golongan mukmin wajahnya putih bersih bersinar. Yang kedua, golongan kafir dari Ahli Kitab dan munafik terlihat muram dan hitam mukanya karena melihat azab yang disediakan Allah untuknya.

Di samping mereka menerima azab yang menimpa badannya,  ditambah pula dengan cercaan dari Allah dengan ucapan, “Kenapa kamu kafir sesudah beriman? Karena itu rasakanlah azab Kami disebabkan kekafiranmu itu.”

Ayat 107

Adapun orang-orang mukmin, mereka berada dalam rahmat Allah yaitu surga yang penuh dengan nikmat dan kesenangan sehingga tampak tanda kebahagiaan pada mukanya yang putih bersih dan berseri-seri.

Ayat 108

“Itulah ayat-ayat Allah yang telah dibacakan dengan benar dan setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan tingkah lakunya di dunia, dan Allah sekali-kali tidak berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya sebab Dia Mahakaya dan Mahaadil, dapat melaksanakan kehendak-Nya yang sempurna tidak tergantung kepada siapa pun.”

Ayat 109

Di samping itu seluruh benda-benda alam, baik kategori  planet maupun bintang-bintang yang jumlahnya sangat banyak adalah kepunyaan Allah. Dia mempunyai wewenang sepenuhnya untuk mengatur segala isinya dengan kebijaksanaan tanpa harus mempertanggungjawabkan kepada siapa pun karena Dialah Maha Pencipta alam semesta dan kepada-Nya pula seluruh urusan akan dikembalikan.

Ayat 110

Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin agar tetap memelihara sifat-sifat utama itu dan agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi.

Umat yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa Nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya.

Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah-belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka.

Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat/49: 15)

Jadi ada dua syarat untuk menjadi umat terbaik di dunia, sebagaimana diterangkan dalam ayat ini, pertama, iman yang kuat dan, kedua, menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan dan tidak dipedulikan lagi, maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.

Ahli Kitab itu jika beriman tentulah lebih baik bagi mereka. Tetapi sedikit sekali di antara mereka yang beriman seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, dan kebanyakan mereka adalah orang fasik, tidak mau beriman, mereka percaya kepada sebagian kitab suci dan kafir kepada sebagiannya yang lain, atau mereka percaya kepada sebagian rasul seperti Musa dan Isa dan kafir kepada Nabi Muhammad saw.

(Tafsir Kemenag)

Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

0
membaca istighfar
membaca istighfar

Kosa kata merupakan bagian dari suatu bahasa, akan tetapi menariknya mengenal kosakata dapat diartikan ia sedang mencoba mengenali makhluk hidup. Begitulah ungkapan Prof. Quraish Shihab dalam sebuah pengantar buku Kosakata Keagamaan. Menurutnya, kosakata bagaikan makhluk hidup, maknanya selalu berkembang.

Begitu juga dengan kosakata bahasa arab dalam alquran yang kaya dengan makna atau substansinya. Salah satunya ialah kalimat Istighfar atau Astagfirullah al-‘Azim. Biasanya, Istighfar hanya diungkapkan ketika melakukan suatu kekhilafan ataupun kesalahan. Padahal, jika diusik lagi maknanya, ia sangat istimewa dan jarang orang rasakan nikmat ketika membacanya. Bagaimana kalimat Istighfar itu lahir? Apa makna dari ungkapan Astagfirullah al-Azim?

Makna  Istighfar dan al-Ghaffar

Kalimat Istigfar dari segi bahasa terambil dari akar kata Ghafara yang artinya menutup. Disisi lain, ada juga yang mengatakan ia berasal dari kata al-Ghafaru yaitu sejenis tumbuhan yang digunakan untuk mengobati luka. Kemudian, huruf Alif, Sin, dan Ta pada awal kalimat Istighfar dimaknai dengan “aku bermohon”. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa pendapat pertama mengandung arti memohon kepada Allah agar kiranya menutupi segala dosa yang telah ia perbuat. Sedangkan pendapat yang kedua, pemohon merasa menyesal atas semua dosanya dan berharap Allah mengampuni segala penyesalannya. Sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan jiwanya dan terhapus segala dosa-dosanya.

Mari kita simak. Ketika kita berdoa dan melafalkan Allahumma Ighfir Lii, sebenarnya bukan hanya diartikan “Yaa Allah ampunilah aku”.  Seperti halnya doa yang sering diucapkan setelah shalat:

اللهمّ اغفرلي ولوالديّ وارحمهما كما ربّياني صغيرًا

“Yaa Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku sayangilah mereka seperti halnya mereka merawatku sejak kecil.”

Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, beliau memiliki pandangan lain dalam memaknai kata Allohumma Ighfir Lii. Bahwa kalimat tersebut diartikannya dengan “Yaa Allah perbaikilah keadaanku”. Beliau juga mengutip  pendapat Imam al-Ghazali dalam mengartikan al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun).

Al-Ghaffar mengandung arti bahwa Dia (Allah) adalah yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Jadi, menurut Imam al-Ghazali, dengan sering membaca Istighfar, sejumlah keburukan akan ditutupiNya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengesampingkan siksanya di akhirat.

Tiga Hikmah dalam Membaca Istighfar Menurut Imam al-Ghazaly

Prof. Quraish Shihab mengutip perkataan Imam al-Ghazali dalam bukunya Kosakata Keagamaan, jika sering membaca Istighfar, Allah SWT akan menutupi hambanya dalam tiga hal, diantaranya:

Pertama, Allah akan menutupi sisi jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Dirinya akan ditutupi Allah dengan keindahan lahiriah.

Kedua, Allah akan menutupi bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang akan berperilaku buruk. Menurut Prof. Quraish, jika seseorang telah terbetik dalam hatinya melakukan kejahatan, dengki, penipuan, dan sebagainya maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Quraish Shihab juga melanjutkan bahwa Allah Swt tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, melainkan menutupi sekian banyak pengalaman tentang masa lalunya.

Ketiga, Dosa dan semua pelanggaran yang pernah ia lakukan dan membuat malu di khalayak umum akan ditutupi oleh Allah. Quraish Shihab memberikan sebuah nasihat bahwa bisa jadi ada sesuatu yang buruk pada pakaian atau hiasan, namun Allah menutupinya sehingga tak terlihat orang lain dan mungkin bisa membuatnya malu.

Demikian paparan makna dari bacaan Istighfar yang tak heran kalimat ini dianjurkan untuk membacanya sebanyak mungkin. para Ulama memiliki perbedaan pendapat tentang redaksi Istighfar ini. Namun, ulama menyatakan bahwa redaksi yang paling sempurna sampai digelari dengan Sayyidul Istigfar ialah redaksi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu:

 اللّهمّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji –Mu. Dan Aku berjanji kepada-Mu dengan semampuku. Aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat. Aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau.”

Wallohu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 96-100

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 96

Ayat ini merupakan jawaban terhadap orang Yahudi tentang pemindahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah. Orang Yahudi mengatakan bahwa berkiblat ke Baitulmakdis, telah dibenarkan oleh para nabi. Bahkan Nabi Ibrahim sendiri berkiblat ke sana. Tuduhan Yahudi itu dibantah dengan ayat 96 dan 97 ini.

Kedua ayat ini jelas menerangkan bahwa rumah pertama yang dijadikan tempat ibadah manusia dalam salat dan berdoa ialah Ka’bah yang ada di Mekah, yang didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail. Jadi Mekah dengan Ka’bahnya merupakan pusat rohani pertama yang ditetapkan bagi manusia.

Setelah Ka’bah baru dibangun Masjidilaqsa di Baitulmakdis beberapa ratus tahun kemudian oleh Nabi Sulaiman bin Daud. Oleh karena Ibrahim yang membangun Baitullah di Mekah, maka jelas bahwa Nabi Muhammad saw  mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. dan mengikuti pula kiblatnya dalam salat.

Nabi Ibrahim a.s. setelah mendirikan Ka’bah berdoa agar tempat di sekitarnya diberkahi oleh Allah:

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim/14:37)

Para sejarawan di bidang keagamaan, utamanya dari kalangan agama-agama monotheisme-ibrahimik, selalu mempertanyakan rumah ibadah yang manakah yang paling tua, apakah Haikal (Kuil) Sulaiman (Solomon Temple) yang dibangun oleh Nabi Sulaiman a.s. di Jerusalem, ataukah Baitullah yang ada di Mekah. Manakah yang lebih dulu? Ayat di atas menyatakan bahwa ‘rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang ada di Bakkah.

Nama kuno kota Mekah adalah Bakkah, dan ini telah disinggung dalam Kitab Zabur (Psalm, Mazmur), yang dapat dilihat pada the Old Testament, Psalm, 84: 5-6: “Blessed is the man whose strength is in Thee; in whose hearth are the ways of them who passing through the valley of Baca make it well” [“Rahmat (semoga) tercurah kepada seorang manusia, yang kekuatannya berada pada-Mu, yang di dalam hatinya ada jalan-jalan mereka yang berjalan melewati lembah Baka, membuatnya baik”].

Marting Lings (1986) dalam bukunya Muhammad, His life based on the earliest sources-, menyatakan bahwa Baca dalam Kitab Zabur di atas tidak lain adalah Bakkah yang tercantum dalam Surah Āli ‘Imrān/3 ayat 96 di atas.  Tarikh Nabi Daud a.s. adalah sekitar 900 tahun Sebelum Masehi, atau 2900 tahun yang lalu. Jadi Baka telah ada lebih dari 2900 tahun yang lalu, karena telah di singgung pada Kitab Nabi Daud a.s., Kitab Zabur di atas. Sedangkan Kuil Sulaiman, didirikan oleh putra Nabi Daud a.s., yaitu Nabi Sulaiman a.s. Jelas bahwa Baitullah di kota Baka lebih tua dibanding Kuil Sulaiman di Jerusalem.

Ayat 97

Suatu bukti lainnya bahwa Nabi Ibrahim-lah yang mendirikan kembali Ka’bah, adanya maqam Ibrahim di samping Baitullah, yaitu sebuah batu yang dipergunakan sebagai tempat berdiri oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika mendirikan Ka’bah bersama-sama dengan putranya Ismail a.s. Bekas telapak kakinya itu tetap ada dan dapat disaksikan sampai sekarang.

Barang siapa masuk ke tanah Mekah (daerah haram) terjamin keamanan dirinya dari bahaya musuh dan keamanan itu tidak hanya bagi manusia saja, tetapi juga binatang-binatangnya, tidak boleh diganggu dan pohon-pohonnya tidak boleh ditebang.

Setelah Nabi Ibrahim mendirikan kembali Ka’bah lalu beliau disuruh  Allah menyeru seluruh umat manusia agar mereka berziarah ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah haji ini dianjurkan oleh Nabi Ibrahim dan tetap dilaksanakan umat Islam sampai sekarang sebagai rukun Islam yang kelima. Setiap Muslim yang mampu diwajibkan menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup.

Barang siapa yang mengingkari kewajiban ibadah haji, maka ia termasuk golongan orang  kafir.

Ayat 98

Dengan ayat ini, para Ahli Kitab yang tetap tidak membenarkan kenabian Muhammad saw dicela padahal bukti-bukti atas kenabian itu sudah cukup banyak dan cukup jelas. Dengan keingkaran dan kekafiran itu mereka selalu berusaha memecah belah kaum Muslimin dan melemahkan posisi mereka.

Ayat 99

Ahli Kitab menginginkan agar agama Allah menyimpang dari tujuan yang benar dengan mengubah sifat-sifat Muhammad dan membuat-buat dusta kepada Allah, padahal mereka menanti-nantikan kenabian Muhammad saw di dalam hati kecil mereka sendiri. Allah mengutuk sifat dengki yang tersembunyi dalam dada para pemimpin Ahli Kitab. Allah sekali-kali tidak akan lengah tentang kepalsuan mereka.

Ayat 100

Orang beriman dilarang mengikuti segolongan Ahli Kitab karena mereka selalu mengadakan tipu muslihat terhadap kaum Muslimin. Bila kaum Muslimin mengikuti orang Yahudi, niscaya mereka akan terjerumus kembali ke dalam permusuhan dan kekafiran.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 135-140

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 135-140 ini berbicara mengenai dua hal utama. Pembahasan yang pertama adalah perintah untuk bertaubat. Kedua berbicara mengenai perintah untuk mengerjakan hal-hal baik. Terakhir berbicara mengenai perang Badar dan Uhud


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 130-133


Ayat 135

Orang yang mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri kemudian mereka segera meminta ampun kepada Allah dan tidak mengulangi lagi perbuatan itu.

Para mufasir membedakan antara perbuatan keji (fahisyah) dengan menganiaya diri sendiri (zulm). Mereka mengatakan, perbuatan keji ialah perbuatan yang bahayanya tidak saja menimpa orang yang berbuat dosa tetapi juga menimpa orang lain dan masyarakat. Menganiaya diri sendiri ialah berbuat dosa yang bahayanya hanya dirasakan oleh orang yang mengerjakan saja. Perbuatan keji seperti berzina, berjudi, memfitnah dan sebagainya. Perbuatan menganiaya diri sendiri seperti memakan makanan yang haram, memboroskan harta benda, menyia-nyiakannya dan sebagainya.

Mungkin seorang Muslim telanjur mengerjakan dosa besar karena kurang kuat imannya, karena godaan setan atau karena sebab-sebab lain, tetapi ia segera insaf dan menyesal atas perbuatannya kemudian ia memohon ampun kepada Allah dan bertobat dengan sebenar-benar tobat serta berjanji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakannya lagi. Maka Allah akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya karena Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun.

Bila seseorang berbuat dosa meskipun yang diperbuatnya itu bukan dosa besar tetapi mengerjakan terus menerus tanpa ada kesadaran hendak menghentikannya dan tidak ada penyesalan serta keinginan hendak bertobat kepada Allah, maka dosanya itu menjadi dosa besar. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ اْلاِسْتِغْفَارِ وَلاَ صَغِيْرَةَ مَعَ اْلاِصْرَارِ

(رواه الديلمي عن ابن عبّاس)

“Dosa besar tidak menjadi dosa besar bila segera meminta ampun (kepada Allah). Dan dosa kecil akan menjadi dosa besar bila selalu dikerjakan.” (Riwayat ad-Dailami dari Ibnu Abbas)

Meminta ampun kepada Allah bukan sekadar mengucapkan kalimat “Aku memohon ampunan kepada Allah”, tetapi harus disertai dengan penyesalan serta janji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakan dosa itu lagi. Inilah yang dinamakan tobat nasuha, tobat yang diterima oleh Allah.

Ayat 136

Demikianlah lima sifat di antara sifat-sifat orang yang bertakwa kepada Allah yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Setiap Muslim hendaknya berusaha agar terwujud di dalam dirinya kelima sifat itu dengan sempurna karena dengan memiliki sifat-sifat itu dia akan menjadi Muslim yang dapat memberi manfaat kepada dirinya sendiri dan dapat pula memberi manfaat kepada orang lain dan kepada masyarakat, nusa dan bangsanya.

Orang yang memiliki sifat-sifat itu akan dibalas Allah dengan mengampuni dosanya dan menempatkannya di akhirat kelak di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya dan  memang itulah ganjaran yang sebaik-baiknya bagi setiap orang yang beramal baik dan berusaha untuk memperbaiki dirinya, masyarakat dan umatnya.

Ayat 137

Sunah Allah atau sunatullah artinya ketentuan yang berlaku bahwa yang hak pada akhirnya akan menang dan yang batil akan kalah. Secara umum ayat ini masih dalam rangka uraian tentang Perang Uhud (yang dimulai dari ayat 121). Mengenai kejadian-kejadian yang penting dan sikap orang-orang kafir terhadap orang-orang mukmin yang berakhir dengan kemenangan orang-orang mukmin, berkat keimanan dan kesabaran dalam menghadapi segala macam bahaya dan rintangan untuk mempertahankan dan menegakkan kebenaran.

Sunatullah (ketentuan yang berlaku) terhadap makhluk-Nya yang berupa kejayaan atau kemunduran, tidak pernah berubah dan selalu terulang atau terjadi pada setiap umat yang berada pada sebab-sebab yang sama. Dengan demikian, semenjak umat-umat dahulu sebelum umat  Muhammad, tetap berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kita dituntun agar melakukan perjalanan dan penyelidikan di bumi, sehingga kita mengambil kesimpulan bahwa Allah dalam ketentuan-Nya telah mengaitkan antara sebab dengan musababnya.

Misalnya kalau seseorang ingin kaya, maka ia harus mengusahakan sebab-sebab yang bisa mendatangkan kekayaan. Kalau ingin menang dalam peperangan hendaklah dipersiapkan segala sebab untuk mendapatkan kemenangan, baik dari segi materinya maupun dari segi taktik dan sebagainya. Kalau ingin bahagia di dunia dan akhirat, perbuatlah sebab-sebab untuk memperolehnya, dan demikianlah seterusnya.

Ayat 137 ini menyuruh kita menyelidiki dan memperhatikan sebab-sebab diturunkannya azab kepada orang  yang mendustakan kebenaran.


Baca juga: Bertakwalah, Maka Allah Akan Mengajarimu!


Ayat 138

Apa yang tersebut pada ayat 137 adalah peringatan bagi semua manusia dan petunjuk serta pelajaran orang-orang bertakwa. Ulama tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah memperingatkan kaum Muslimin bahwa kekalahan mereka dalam Perang Uhud adalah pelajaran bagi umat Islam, dan berlakunya ketentuan sunah Allah.

Mereka menang dalam Perang Badar, karena mereka menjalankan dan mematuhi perintah Nabi. Dalam Perang Uhud pun mereka hampir saja memperoleh kemenangan tetapi oleh karena mereka lalai dan tidak lagi mematuhi perintah Nabi, akhirnya mereka terkepung dan diserang dari belakang oleh tentara musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya, sehingga gugurlah puluhan syuhada dari kaum Muslimin, dan Nabi sendiri menderita luka dan pecah salah satu giginya.

Ayat 139

Ayat ini menghendaki agar kaum Muslimin jangan bersifat lemah dan bersedih hati, meskipun mereka mengalami pukulan berat dan penderitaan yang cukup pahit dalam Perang Uhud, karena kalah atau menang dalam suatu peperangan adalah hal biasa yang termasuk dalam ketentuan Allah. Yang demikian itu hendaklah dijadikan pelajaran. Kaum Muslimin dalam peperangan sebenarnya mempunyai mental yang kuat dan semangat yang tinggi serta lebih unggul jika mereka benar-benar beriman.

Ayat 140

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kaum Muslimin jika menderita luka atau menemui ajalnya, maka orang kafir juga telah mengalami hal yang sama dalam Perang Badar. Demikianlah menang dan kalah dalam peperangan adalah hal yang dipergilirkan oleh Allah di antara manusia.

Kemenangan dan kekalahan, kejayaan dan kemunduran, merupakan keadaan yang silih berganti akan dialami setiap umat atau manusia. Karena itu mereka mestinya selalu dapat mengambil petunjuk dari keadaan ini, agar mereka mendapat pelajaran, dan agar Allah membedakan antara orang yang beriman dengan orang-orang kafir, dan juga memberikan kepada kaum Muslimin kebahagian mati syahid yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah, karena mereka rela mengorbankan jiwa raga demi membela kebenaran, dan Allah tidak menyukai orang yang berbuat zalim.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 141-145


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 91-95

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 91

Orang yang bergelimang dalam kekafiran dan terombang-ambing oleh perbuatan yang jahat, hingga ajal merenggut mereka, sedang mereka masih tetap dalam kekafirannya, sedikit pun mereka tidak akan diterima tebusannya, meskipun jumlah tebusan itu senilai dengan kekayaan emas seluruh isi bumi. Maksudnya ialah, andaikata mereka bersedekah dengan emas seberat isi bumi untuk dijadikan tebusan dosa yang telah mereka lakukan, maka pahalanya tidak akan mampu untuk menyelamatkannya dari siksaan neraka karena kekafiran melenyapkan amal kebaikan mereka.

Yang dihargai Allah pada hari akhirat hanyalah iman kepada Allah, dan hari akhir, serta amal saleh yang mendekatkan diri kepada Allah.

فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ مَأْوٰىكُمُ النَّارُۗ هِيَ مَوْلٰىكُمْۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan darimu maupun dari orang-orang kafir. Tempat kamu di neraka. Itulah tempat berlindungmu, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Hadid/57: 15)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada hari itu tidak ada jalan bagi mereka untuk menyelamatkan diri, baik dengan hartanya, maupun dengan pangkatnya. Segala urusan pada hari itu hanyalah didasarkan semata-mata pada kesucian jiwa, maka barang siapa yang memelihara kesucian jiwanya dengan iman dan amal saleh mereka itu akan berbahagia. Sebaliknya, barang siapa yang mengotorinya dengan kekafiran dan dengan amal yang jahat, ia akan merugi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Ayat 92

Seseorang tidak akan mencapai tingkat kebajikan di sisi Allah, sebelum ia dengan ikhlas menafkahkan harta yang dicintainya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan harta yang dicintai adalah harta yang kita cintai. Ayat ini erat hubungannya dengan firman Allah.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik … (al-Baqarah/2:267)

Setelah ayat ini diturunkan, para sahabat Nabi berlomba-lomba berbuat kebaikan. Di antaranya, Abu °al¥ah al-An¡āri, seorang hartawan di kalangan Ansar datang kepada Nabi saw memberikan sebidang kebun kurma yang sangat dicintainya untuk dinafkahkan di jalan Allah.

Pemberian itu diterima oleh Nabi dengan baik dan memuji keikhlasannya. Rasulullah menasihatkan agar harta itu dinafkahkan kepada karib kerabatnya, maka °al¥ah membagi-bagikannya kepada karib kerabatnya. Dengan demikian ia mendapat pahala sedekah dan pahala mempererat hubungan silaturrahmi dengan keluarganya. Setelah itu datang pula Umar bin al-Khattab menyerahkan sebidang kebunnya yang ada di Khaibar, Nabi saw menyuruh pula agar kebun itu tetap dipelihara, hanya hasil dari kebun itu merupakan wakaf dari Umar.

Ayat 93

Ayat ini menerangkan bahwa semua makanan dihalalkan kepada Bani Israil dan juga kepada Nabi Ibrahim, termasuk daging unta, seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama (Imamat xi:4), “Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak, atau yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu.” Hanya beberapa makanan saja yang diharamkan oleh Nabi Yakub sendiri terhadap dirinya disebabkan beliau menderita penyakit, dan itu semuanya terjadi sebelum diturunkan Kitab Taurat. Lalu ada beberapa macam makanan yang diharamkan kepada Bani Israil (lihat an-Nisa’/4:160, al-An’am/6:146 dan tafsirnya) sebagai hukuman dan pelajaran atas kezalimannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ

Dan kepada orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami  Mahabenar.  (al-An’am/6:146)

Demikian pula tercantum dalam Alquran:

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ   ١٦٠  وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا  ١٦١

Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka menjalankan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih. (an-Nisa’/4:160-161)

Jelaslah bahwa beberapa jenis makanan yang diharamkan kepada Bani Israil itu tidak diharamkan kepada pengikut syariat Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya sebelum Taurat diturunkan.

Dengan demikian batallah tuduhan mereka bahwa syariat Islam bertentangan dengan syariat Nabi Ibrahim karena menghalalkan makan daging unta. Mengharamkan sebagian makanan bagi Bani Israil adalah semata-mata sebagai hukuman karena mereka telah melanggar hukum-hukum Allah dan telah menganiaya diri sendiri. Hal ini juga tersebut dalam kitab Taurat, kitab mereka sendiri.

Oleh sebab itu Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah agar menentang mereka dengan mengatakan, “Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan Allah sebelum diturunkan Taurat, maka bawalah Taurat itu lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.” Ternyata mereka tidak berani menjawab tantangan ini dan tidak mau membuka Kitab Taurat, karena kalau mereka berani membuka Taurat tentulah kebohongan mereka akan terungkap dan tuduhan-tuduhan mereka terhadap agama Islam adalah palsu dan tidak beralasan.

Hal ini membuktikan pula kebenaran kenabian Muhammad saw, karena beliau dapat membantah tuduhan-tuduhan Bani Israil dengan isi Taurat itu sendiri, padahal beliau tidak pernah membacanya dan tidak pernah diberi kesempatan oleh orang Yahudi untuk mengetahui isinya.

Ayat 94

Jika orang-orang Yahudi itu masih berani mengada-adakan kebohongan terhadap Allah padahal kedok mereka sudah terbuka dan segala alasan yang mereka kemukakan telah nyata kebohongannya, dan Nabi Muhammad dengan bantuan wahyu dari Tuhannya telah mengetahui  sebagian dari isi kitab mereka, maka pastilah mereka termasuk orang-orang yang zalim.

Mereka bukan saja zalim terhadap diri sendiri karena tidak akan dipercayai lagi dan akan menerima hukuman dan siksaan Allah. Tetapi mereka juga zalim terhadap orang lain, karena dengan kejahatan itu mereka menyesatkan umat dari jalan yang benar dan menghalangi manusia terutama pengikut-pengikut mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw pembawa kebenaran dan sebagai rahmat bagi manusia seluruhnya.

Setiap orang yang berbuat seperti itu akan menemui kegagalan, akan menerima nasib yang buruk, akan dicap oleh masyarakat sebagai pembuat onar dan kekacauan dan akan dimurkai Allah serta mendapat siksa di akhirat.

Ayat 95

Allah memerintahkan Nabi Muhammad, agar mengatakan kepada orang Yahudi bahwa apa yang diberitahukan Allah kepadanya dengan perantaraan wahyu, tentang semua makanan yang  pada mulanya halal bagi Bani Israil sebelum Taurat diturunkan dan halal pula bagi umat-umat sebelum Nabi Musa. Memang ada beberapa jenis makanan yang diharamkan bagi mereka dalam Taurat sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka, semua itu adalah benar-benar datang dari Allah yang tak dapat disangkal kebenarannya, karena Dia Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.

Oleh karena itu, hendaklah orang Yahudi mengikuti ajaran Nabi Muhammad, karena agama yang dibawanya pada prinsipnya sama dengan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Dan janganlah mereka tetap mengharamkan daging unta dan susunya, sebab tidak ada larangan untuk makan dagingnya dan minum susunya, baik dalam syariat Nabi Ibrahim maupun dalam syariat nabi-nabi lainnya termasuk syariat Islam.

Apalagi Nabi Ibrahim itu bukanlah seorang musyrik dan agama yang dibawanya adalah agama tauhid yang murni seperti agama Islam. Tidak mempersekutukan Allah dan tidak menyembah selain Dia, bukan seperti golongan mereka (Yahudi) yang mengatakan, Uzair anak Allah dan bukan pula seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Isa anak Allah.

(Tafsir Kemenag)

Manusia itu Hamba yang Merdeka, Begini Penjelasannya dalam Al Quran

0

Judul di atas terlihat sedikit aneh, dua hal yang berlawanan jadi satu frasa, status hamba menandakan bahwa seseorang itu tidak bebas, terkekang dengan aturan dan perintah sang Tuan, tidak merdeka. Sebaliknya, orang yang merdeka tidak akan disebut hamba. Namun demikian, status tersebut ternyata dapat kita temukan dalam Alquran. Bagaimana maksudnya? simak penjelasan berikut.

Manusia sebagai Hamba

Manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. dan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Artinya manusia terlahir sebagai hamba yang harus patuh kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangannya. Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56). Dan frirman-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”” (Q.S Al-Baqarah: 30).

Sebagai hamba, manusia memiliki hak-hak melekat yang dikenal dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam deklarasi Universal HAM menurut PBB dikenal ada 30 hak asasi manusia dan nomor satunya adalah hak terlahir bebas dan mendapatkan perlakuan yang sama. Bebas hakikatnya bukan tanpa batas melainkan bebas yang memberikan hak pula kepada orang lain. (Kompas, 2018).

Manusia sebagai Mahluk yang Merdeka

Islam sudah lebih dahulu memberikan pandangan dan menegakan konsep HAM khususnya mengenai hak kebebasan kepada  manusia. Di antara ayat mengenai kemerdekaan adalah “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS. al-Baqarah: 256). Islam didakwahkan tidak berbasis paksaan. Islam tidak disebarkan dengan pedang melainkan dengan akhlak karimah. Berbagai peperangan yang terjadi di zaman nabi dan sahabat karena untuk mempertahankan diri ketika diserang oleh mereka yang tidak senang dengan dakwah nabi Saw. dan sahabatnya.

Dengan demikian jelas bahwa Islam adalah agama yang menjadikan hambanya pribadi yang merdeka. Namun, merdeka bukan berarti bebas tanpa batas karena kemerdekaan dalam Islam itu memiliki tiga aspek utama yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Kemerdekaan sesungguhnya manakala seseorang terbebas dari noda yang merusak akidah, syari’ah dan akhlak. Orang yang bebas tanpa batas tanpa memperdulikan ketiganya menurut Islam bukanlah merdeka, justru mereka sudah terjajah oleh nafsu dan tipu daya syaitan.

Pertama, kemerdekaan dalam akidah ketika seseorang merdeka dari kemusyrikan dan kekafiran. Ia memiliki tauhid yang kokoh dan keimanan yang mantap. Keimanan yang kokoh kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, hari kiamat, serta kepada qadha dan qadar.

Definisi iman yang masyhur menurut para ulama salaf diantaranya Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) adalah: “pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan”. Muslim merdeka tandanya terbebas dari menduakan Allah dan juga meniadakan Allah, malaikat-Nya, kitab-nya, hari kiamat, serta kepada qadha dan qadar dalam hidupnya.

Kedua, merdeka dalam bersyariat ketika muslim mampu beribadah, beramal, dan bermuamalah sesuai dengan syariat Islam yang benar berbasis tuntunan Alquran dan Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Karena syariat merupakan “suatu sistem atau aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, atau hubungan manusia dengan manusia”. Dalam aplikasinya, syariat muncul dalam berbagai produk fiqh yang dari zaman-ke zaman bisa jadi mengalami berbagai perubahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Merdeka dalam konteks ini adalah manakala seorang muslim mampu beribadah sesuai dengan madzhab fiqh yang dianut dan diyakininya. Dengan begitu, ia merdeka, tidak terkekang dengan satu pendapat, pun tidak melaksanakan ibadah berdasar kreasinya sendiri. Keadaan seperti ini, membuat potensi seseorang untuk merdeka dari kesalahan dalam melaksanakan ibadah, sah dalam beribadah, bahkan terhindar dari bid’ah dalam beribadah akan lebih besar. Demikian bula dalam praktik muamalah, dia berusaha menghindari riba, mendzalimi diri sendiri dan orang lain, serta terhindar dari hal-hal yang haram.

Ketiga, merdeka dalam berakhlak itu ketika muslim berakhlak mahmudah bukan akhlak madzmumah. Rasulullah juga diutus untuk memperbaiki akhlak, bahkan akhlak adalah kunci kesuksesan dakwahnya “Tidaklah aku diutus ke dunia kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia” (H.R. A Bazzar). Imam Ghazali memahami akhlak sebagai “sesuatu yang mengakar kuat dalam jiwa seseorang dan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa harus dipikir terlebih dahulu”.

Jadi akhlak itu sesuatu yang tertanam menjadi keyakinan bahkan sudah menjadi tabiatnya. Jika seorang muslim sudah berakhlak baik terbebas atau merdeka dari akhlak tercela maka ia sudah dikatakan hamba merdeka. Sumber akhlak seorang muslim Alquran dan sunnah, juga akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral namun yang sejalan dengan Alquran dan Sunnah.

Semoga indikator kemerdekaan muslim atau hamba Allah itu ada dalam diri kita. Namun demikian yang pertama merupakan pokok, sementara yang kedua dan ketiga merupakan implementasi lanjutan dari yang pertama. Hanya dengan ketiganya kita bisa dikategorikan hamba yang merdeka. Semoga. Wallah a’lam.