Beranda blog Halaman 545

Unsur-Unsur dan Dimensi-Dimensi Perbuatan Ihsan

0
annaja7.net

Saya awali uraian ini dengan menyampaikan unsur-unsur dan dimensi-dimensi perbuatan Ihsan. Ihsan itu memiliki 3 unsur, yaitu: Pertama, Muhsin, adalah orang yang melakukan perbuatan Ihsan. Agar perbuatan perbuatan Ihsan yang dilakukan menjadi sempurna dan diterima oleh Allah sebagai kebaikan, maka Muhsin harus ikhlas.

Kedua, Muhsan Bih, adalah perbuatan Ihsan yang diberikan oleh Muhsin kepada pihak yang menerima Ihsan, baik dalam bentuk materi, seperti uang, makanan, minuman, atau dalam bentuk nonmateri, seperti ucapan salam, nasehat, ilmu yang diajarkan, atau jasa. Ketiga, Muhsan Ilaihi, adalah pihak yang menerima perbuatan IHSAN, seperti kedua orang tua, guru, fakir, dan miskin. Dengan demikian, perbuatan IHSAN tidak akan terjadi apabila ketiga unsur itu tidak terpenuhi.

Setiap Ihsan yang dilakukan oleh Muhsin memiliki empat dimensi pokok. Dimensi ini berkaitan dengan hubungan antara Muhsin dengan Muhsan Ilaihi. Seseorang yang melakukan perbuatan IHSAN adalah pelaku IHSAN (MUHSIN), sedangkan pihak-pihak yang menerima perbuatan IHSAN Anda adalah objek IHSAN (MUHSAN ILAIHI). Semua IHSAN yang dilakukan oleh seseorang dalam empat dimensi itu akan kembali kepada diri pelaku IHSAN (MUHSIN) itu.

Keempat dimensi pokok IHSAN itu adalah sebagai berikut: Pertama, dimensi untuk DIRI ANDA SENDIRI, yaitu perbuatan IHSAN yang dilakukan oleh Anda untuk kemaslahatan Anda dan untuk kebaikan diri Anda. Hasil dari perbuatan IHSAN Anda itu akan kembali kepada diri Anda.

Kedua, dimensi untuk SESAMA MANUSIA, yaitu perbuatan IHSAN ditujukan kepada orang lain, seperti kepada kedua orang tua Anda, kepada guru Anda, kepada isteri Anda, kepada teman Anda, dan kepada siapa pun. Hasil dari perbuatan IHSAN Anda itu akan kembali kepada diri Anda.

Ketiga, dimensi untuk MAKHLUK ALLAH YANG LAIN, yaitu perbuatan IHSAN yang dilakukan oleh Anda kepada makhluk Allah yang lain, seperti kepada hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang ada di sekitar Anda. Hasil dari perbuatan IHSAN Anda itu akan kembali kepada diri Anda.

Keempat, dimensi untuk ALLAH, yaitu perbuatan IHSAN yang Anda lakukan yang ditujukan untuk Allah sebagai Tuhan Anda, seperli melakukan ibadah-ibadah kepada Allah, baik ibadah wajib, maupun ibadah sunnat. Hasil dari ibadah-ibadah Anda itu akan kembali kepada Anda.

Ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan ihsan yang Anda lakukan, dalam 4 dimensi itu, maka hasilnya akan tetap kembali kepada Anda. Jadi, semua amal IHSAN yang Anda lakukan, apa pun dimensinya, pasti Anda mendapatkan hasilnya, yaitu pahala dan ganjaran dari Allah swt.

Kemudian bagaimana contoh perbuatan Ihsan? Saya dapat memberikan beberapa contoh perbuatan IHSAN. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, jika Anda telah melakukan amal-amal wajib yang telah diwajibkan oleh Allah kepada Anda, misalnya kewajiban salat fardu, kewajiban puasa, kewajiban zakat, dan kewajiban haji, maka Anda telah menunaikan tugas dan kewajiban Anda. Ini bahagian dari amal baik (saleh) Anda kepada Allah, dan juga merupakan IHSAN Anda kepada Allah. Hasil dari amal IHSAN Anda ini akan kembali kepada Anda dengan menerima pahala dari Allah. Oleh sebab itu, menunaikan semua kewajiban adalah perbuatan baik Anda kepada Allah dan perbuatan IHSAN Anda untuk diri Anda. Jika Anda tidak menunaikan kewajiban Anda, maka Anda zalim terhadap Allah.

Kedua, jika Anda telah melakukan amal-amal sunnat yang dianjurkan kepada Anda untuk dilakukan, seperti melaksanakan salah sunnat rawatib sebelum dan sesudah salat fardu, dan semua amal sunnat yang lain, maka Anda telah melakukan suatu perbuatn IHSAN untuk diri Anda, bukan untuk siapa-siapa. Orang yang tidak pernah melakukan ibadah-ibadah sunnat, adalah orang yang tidak berbuat ihsan untuk dirinya. Orang seperti ini adalah orang yang paling pelit untuk dirinya. Jika Anda tidak melakukan amal sunat, maka Anda tidak memiliki IHSAN kepada Allah. Anda pun tidak akan mendapatkan pahalanya.

Ketiga, kita tahu bahwa kewajiban zakat harta itu adalah 2,5% dari harta kita yang disimpan selama setahun. Jika Anda mengeluarkan 2,5% dari harta itu, maka Anda baru menunaikan kewajiban Anda, dan ini adalah IHSAN Anda kepada Allah. Jika Anda mengeluarkan 3% dari harta Anda, maka Anda sudah menunaikan lebih dari kewajiban Anda. Maka nilai 0,5% yang Anda keluarkan itu adalah IHSAN Anda untuk diri Anda. Jika Anda tidak mengeluarkan zakat 2,5%, maka Anda telah zalim kepada Allah. Jika Anda tidak mengeluarkan lebih dari kewajiban Anda, maka Anda tidak melakukan perbuatan IHSAN untuk diri Anda. Anda pun tidak akan mendapatkan hasil/pahalanya.

Keempat, kalau Anda naik Taksi dari suatu tempat ke suatu tujuan Anda, lalu sewa Taksi yang terlihat di Argometer sebanyak Rp 200 ribu rupiah. Lalu Anda membayar sejumlah itu, maka Anda baru membayar kewajiban Anda kepada Sopir Taksi itu. Jika Anda menambah Rp 10 ribu rupiah dari jumlah itu, maka yang Rp 10 ribu adalah IHSAN Anda kepada Sopir Taksi. Hasil/pahala dari IHSAN Anda itu akan kembali kepada diri Anda. Jika Anda membayar sewa taksi itu kurang dari Rp 200 ribu, maka Anda telah berbuat zalim kepada Sopir Taksi itu. Jika Anda tidak membayar lebih dari Rp 200 ribu, maka Anda tidak berbuat IHSAN kepadanya. Anda pun tidak akan mendapatkan pahalanya.

Kelima, kalau Anda memiliki pembantu dan Anda menggajinya setiap bulan sebanyak Rp 2 juta, lalu Anda membayarnya sesuai dengan gajinya itu, maka Anda baru menunaikan kewajiban Anda. Belum ada IHSAN Anda. Kalau Anda menambah RP 100 ribu dari gajinya itu sehingga dia terima sebanyak Rp 2,1 juta, maka yang Rp 100 ribu itu adalah IHSAN Anda kepadanya. Jika Anda membayar gajinya kurang dari Rp 2 juta, maka Anda telah berbuat zalim kepada pembantu Anda. Jika Anda tidak memberikan tambahan dari gajinya, maka Anda tidak berbuat IHSAN kepadanya. Anda pun tidak akan mendapatkan pahalanya.

Karena itulah, maka Ihsan itu disebut “PERBUATAN BAIK YANG LEBIH.” Kalau Anda melakukan perbuatan yang pas-pasan sesuai dengan ketentuan atau kewajiban Anda, maka Anda baru berbuat baik (salih), belum berbuat IHSAN. Kalau Anda memberikan lebih dari ketentuan/kewajiban Anda, baru Anda berbuat IHSAN. Begitu banyak lapangan perbuatan IHSAN yang dapat Anda lakukan dalam kehidupan ini. Selamat ber-IHSAN

Demikian dimensi-dimensi dan beberapa contoh perbuatan Ihsan. Semoga uraian ini dapat menambah wawasan kita dan kita mampu mengamalkannya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 81-83

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 81

Allah telah mengambil perjanjian dari para nabi bilamana datang seorang rasul yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, mereka akan beriman kepada rasul dan akan menolongnya, mereka akan mempercayainya, meskipun mereka sendiri telah diberi Kitab dan diberi pula hikmah, mereka tetap akan mempercayai dan mendukungnya. Hal itu disebabkan karena maksud dari diutusnya nabi-nabi dan rasul-rasul itu adalah satu, yaitu menyampaikan ajaran Allah. Oleh karena itu para rasul itu harus saling menolong.

Di samping itu, apabila syariat yang datang kemudian membawa ketentuan-ketentuan yang mengubah atau menghapuskan ketentuan-ketentuan dari syariat yang lalu, tentu harus diterima, karena ajaran yang berhubungan dengan pokok-pokok agama yang berhubungan dengan keimanan dan ketuhanan yang dibawa para nabi itu adalah sama. Tetapi yang berhubungan dengan syariat (hukum) seperti hukum pidana dan hukum perdata pada masing-masing agama dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat.

Yang dimaksud dengan “Nabi Muhammad saw membenarkan rasul-rasul terdahulu dan kitab-kitab yang dibawanya”, ialah membenarkan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul itu dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, dan bukanlah berarti bahwa Muhammad saw membenarkan seluruh isi kitab-kitab itu sebagai yang terdapat sekarang.

Di dalam ayat ini terdapat isyarat yang kuat bahwa tidak semestinya agama itu menjadi sumber permusuhan dan kebencian, seperti yang telah dilakukan oleh Ahli Kitab yang memusuhi Muhammad, sehingga mereka sukar diajak kembali kepada prinsip yang sama, bahkan mereka merintangi, menentang dan mengingkari ajakannya.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa andaikata Ahli Kitab itu mau memahami dan memikirkan segi persamaan prinsip yang dibawa oleh para nabi, tentulah mereka dapat menerima dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta membenarkan syariat-Nya, sesuai dengan janji yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa, yaitu bahwa setiap datang seorang nabi sesudah mereka, yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, mereka akan mempercayainya.

Jika orang Yahudi dan Nasrani percaya kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, tentu mereka percaya pula pada apa yang telah dipercayai oleh kedua nabi itu. Selanjutnya diterangkan bahwa janji nabi-nabi yang telah disepakati bersama itu telah disaksikan oleh masing-masing pihak, dan Allah menjadi saksi pula atas ikrar mereka itu.

Ayat 82

Barangsiapa yang berpaling dari perjanjian yang telah diikrarkan itu, mereka orang-orang yang fasik. Yang dimaksud dengan orang-orang yang berpaling ialah orang Yahudi yang berada di masa Rasulullah. Mereka ini tidak mempercayai kenabian Muhammad saw yang berarti mereka tidak mempercayai perjanjian yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa. Mereka mengetahui perjanjian yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa, dan mengetahui isinya, akan tetapi mereka tidak melaksanakannya. Karena itulah mereka dinamakan orang-orang fasik.

Ayat 83

Allah tidak membenarkan sikap Ahli Kitab, bahkan mencelanya karena mereka itu menyeleweng dari kebenaran, setelah kebenaran itu tampak jelas bagi mereka dan mereka tidak mau memeluk agama Islam yang datang dari Allah. Allah swt menegur mereka mengapa mereka berbuat demikian, padahal semua langit dan bumi tunduk kepada Allah secara sukarela dan takluk kepada ketentuan-Nya.

Secara ringkas dapat diterangkan bahwa orang Yahudi itu tidak percaya kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad saw, padahal nabi-nabi mereka mempercayai Nabi Muhammad saw, yang akan datang kemudian. Dengan tidak percaya kepada Nabi Muhammad berarti mereka tidak percaya kepada nabi-nabi mereka sendiri; dan berarti mereka mencari agama selain Islam. Sikap mereka itu dicela oleh Allah karena apa saja yang ada di langit dan di bumi ini semuanya tunduk dan patuh kepada Allah mengapa mereka tidak berbuat demikian?

Kemudian Allah menjelaskan bahwa kepada Allah kembali semua makhluk, baik orang Yahudi, orang Nasrani, maupun umat-umat selain mereka. Pada saat itulah mereka akan diberi balasan, sesuai dengan perbuatan mereka di dunia.

Di dalam ayat ini terdapat ancaman keras bagi orang-orang Ahli Kitab baik orang Yahudi maupun orang Nasrani, karena mereka telah menyeleweng dari kebenaran, serta tidak mau mengakui kenabian Muhammad saw.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 77-80

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 77

Mengenai sabab nuzul ayat ini dijelaskan dalam hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari dan ahli-ahli hadis yang lain bahwa al-Asy’ah bin Qais berkata, “Aku mempunyai perjanjian sewa tanah dengan seorang Yahudi lalu dia mengingkarinya. Sebab itu aku mengajukannya kepada Rasulullah saw.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Apakah engkau mempunyai bukti?” Aku berkata, “Tidak.” Sesudah itu Rasulullah berkata kepada Yahudi itu, “Bersumpahlah.” Lalu aku berkata, “Hai Rasulullah! Kalau begitu, ia akan bersumpah. (Dan kalau bersumpah) maka akan lenyaplah hartaku.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Dalam ayat ini dijelaskan berbagai akibat yang akan diderita oleh orang yang mengingkari janji Allah dan melanggar sumpah dengan harga atau imbalan yang murah.

Yang dimaksud dengan “janji Allah” dalam ayat ini ialah perintah Allah dan larangan-Nya yang disampaikan dengan perantaraan rasul yang disebutkan dalam kitab-kitab-Nya. Seperti berlaku benar, memenuhi janji yang telah dibuat, menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, menyembah Allah dengan tidak mempersekutukan-Nya, dan bertakwa kepada-Nya dalam semua urusan. Yang dimaksud dengan sumpah mereka ialah ikrar yang telah mereka ucapkan bahwa mereka akan selalu mengikuti kebenaran.

Yang dimaksud dengan “menukar janji Allah dengan harga yang sedikit” (murah) ialah mengingkari janji Allah dengan perbuatan duniawi yang dipandang lebih baik. Segala macam pengingkaran ini dipandang rendah atau tak bernilai sama sekali dibandingkan dengan nikmat yang akan diperoleh bila memenuhi janji Allah.

Adapun akibat yang akan diderita oleh mereka yang berani menukar janji Allah dengan nikmat dunia, ialah mereka tidak akan mendapat balasan sedikit pun berupa nikmat di akhirat yang berlimpah-limpah. Mereka tidak akan mendapat perhatian dari Allah pada hari kiamat, juga mereka tidak akan mendapat pengampunan dosa sedikit pun.

Menurut keterangan al-Qaffal bahwa yang dimaksud dengan firman Allah, “Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka”, ialah gambaran dari kemarahan Allah yang memuncak terhadap mereka. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa Allah mengancam dengan keras orang yang merusak perjanjian dan mengingkari janji. Mereka tidak akan memperoleh pahala di akhirat, mereka akan menderita siksaan yang pedih, mereka dibenci Allah dan tidak mendapat belas kasih-Nya lagi.

Ayat 78

Ayat ini menerangkan keadaan sekelompok Ahli Kitab yang lain, yaitu segolongan dari pendeta-pendeta mereka yang mengubah ayat-ayat Kitab (Taurat) dengan menambah lafaz-lafaznya atau menukar letak dan menghapus sebagian dari lafaz-lafaz itu, sehingga berubahlah pengertiannya yang asli. Mereka baca ayat-ayat yang telah diubah-ubahnya itu sebagai pembacaan ayat al-Kitab, agar pendengarnya mengira bahwa yang dibaca itu benar-benar ayat al-Kitab, padahal yang dibaca itu sebenarnya bukan datang dari Allah, tetapi buatan mereka sendiri.

Mereka mengetahui bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu adalah perbuatan yang salah, tetapi tetap juga mereka lakukan. Yang demikian itu disebabkan karena sifat ketakwaan mereka kepada Allah telah lenyap, dan mereka percaya bahwa Allah akan mengampuni apa saja dosa yang mereka kerjakan karena mereka orang yang beragama.

Perbuatan orang Yahudi yang sangat keji itu, menjadi pelajaran bagi umat Islam agar jangan sampai ada di antara umat Islam yang berkelakuan demikian, jangan sampai ada yang beritikad bahwa orang Islam itu pasti mendapat ampunan dari Allah betapa pun besarnya dosa yang mereka lakukan. Jangan pula ada di antara orang yang mengaku beragama Islam tetapi perbuatannya perbuatan orang kafir dan munafik, tidak mau mengerjakan ajaran Alquran dan sunah Rasul, dan tidak pula berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan Muslimin.

Ayat 79

Tidak mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi kitab oleh Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat menjadi nabi, kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri bukan menyembah Allah. Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu tentunya akan mengajak manusia mempelajari sifat-sifat Allah serta mempelajari hukum-hukum agama, dan memberikan contoh yang baik dalam hal menaati Allah dan beribadah kepada-Nya, serta mengajarkan Kitab kepada sekalian manusia.

Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah disebutkan, tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain menyembah dirinya, sebab dia adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu Allah yang harus disembah. Ditegaskan kepadanya adalah menyuruh manusia agar bertakwa kepada Allah, mengajarkan Al-Kitab dan melaksanakannya, hal itu telah ditegaskan oleh firman Allah:

قُلِ اللّٰهَ اَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهٗ دِيْنِيْۚ 

Katakanlah, ”Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (az-Zumar/39: 14)

Barang siapa menyuruh manusia menyembah dirinya, berarti ia mengakui bahwa Allah mempunyai sekutu yaitu dirinya sendiri. Barang siapa mempersekutukan Allah dengan lain-Nya, berarti ia telah menghilangkan kemurnian ibadah kepada Allah semata. Dengan hilangnya kemurnian ibadah berarti hilang pulalah arti ibadah.

اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ 

Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ”Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan… (az-Zumar/39: 3)

Begitu juga firman Allah yang menceritakan seruan Nabi Hud kepada kaumnya:

اَنْ لَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّا اللّٰهَ ۖاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ اَلِيْمٍ  

Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” (Hud/11: 26)

Semua nabi menyuruh manusia agar menyembah Allah:

۞ وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُه 

Dan kepada kaum Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, ”Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia.…. (Hud/11: 61)

Ayat 80

Tidak pantas bagi seorang manusia yang telah diberi wahyu oleh Allah, kemudian memerintahkan kepada manusia untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Hal itu seluruhnya tidak pernah dilakukan oleh para Nabi termasuk Nabi Muhammad saw. Yang pernah terjadi ialah orang-orang Arab menyembah malaikat.

Orang Yahudi menyembah Uzair dan orang-orang Nasrani menyembah Al-Masih, yang dianggap sebagai putra Tuhan. Semua tindakan ini bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi karena nabi-nabi itu semuanya menyuruh manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Anfal Ayat 62-63: Pentingnya Tawakkal saat Berseteru

0
QS. Al-Anfal ayat 62

Dalam setiap perseteruan pihak, musuh selalu saja ada yang ingin menyerang dari belakang atau ada yang mengompori untuk merusak komitmen perdamaian. Karena itulah sikap waspada perlu ditingkatkan dengan menyerahkan urusan kepada Allah Swt. Pada QS. Al-Anfal ayat 62, Allah Swt. berfirman:

وَاِنْ يُّرِيْدُوْٓا اَنْ يَّخْدَعُوْكَ فَاِنَّ حَسْبَكَ اللّٰهُ ۗهُوَ الَّذِيْٓ اَيَّدَكَ بِنَصْرِهٖ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَۙ

وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْۗ لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin,dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha perkasa, Maha bijaksana” (Qs. al-Anfal (8) : 62-63)

Tafsir Ayat

Wa In Yuridu An Yakhda’uka (Dan jika mereka hendak menipumu) maksudnya adalah apabila pihak musuh hendak mengadakan perdamaian, lalu memiliki maksud tersembunyi berupa mengelabui dan mengkhianati perjanjian damai, hendaklah orang-orang beriman mewaspadai hal tersebut. Selain dapat membahayakan kehidupan sosial hal ini dapat pula memantik permusuhan yang berkepanjangan. Karena itu diperlukan sikap waspada terhadap segala indikasi yang mengarah kepada pengkhianatan.

Akan tetapi, seorang beriman harus tetap menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. yang dijelaskan dalam redaksi Fa Inna Hasbaka Allah yang berarti maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu. Dengan ini Allah akan menguatkan hati orang beriman serta akan dilindungi dari segala macam serangan musuh baik yang Nampak maupun tersembunyi. Menurut Imam al-Tabari redaksi Wa Bi al-Mu`minin dalam ayat di atas adalah kaum Ansar. (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ul Bayan ‘An Ta`wil Ayil Qur`an, Juz 4, hal. 61)

Ayat selanjutnya pada redaksi pembuka yakni Wa Allafa Bayna Qulubihim yang berarti dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman) menurut Muhammad Tahir bin ‘Asyur adalah Allah mempersatukan hati orang-orang ‘Aus dan Khazraj setelah kedua kabilah tersebut menerima dakwah Nabi Muhammad Saw.

Sebelum Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, kedua kelompok tersebut kerap kali berseteru dan puncaknya terlibat dalam perang Bu’ath. Karena rahmat Allah Ta’ala mereka bersatu. Ibnu ‘asyur pun mengaitkan ayat di atas dengan firman Allah berikut :

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (Qs Ali ‘Imran (3) : 103)

Berdarsarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa atas rahmat Allah lah manusia dapat bersatu padu. Terlebih ketika sebelum adanya Dakwah Nabi Muhammad Saw. kepada penduduk Madinah yakni kaum Aus dan Khazraj, keduanya selalu terlibat dalam konflik antar kabilah yang tentunya merugikan kedua kabilah tersebut. Tak hanya hubungan sosial memburuk, nyawa pun tentunya menjadi taruhan.

Lalu Allah Swt. mempersatukan hati mereka melalui dakwah Nabi Saw. sehingga kedua kabilah tersebut menjadi kalangan yang loyal terhadap Dakwah Islam. Kemudian kabilah tersebut terkenal dengan sebutan kaum Anshar. (Muhammad Tahir ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir Wa al-Tanwir, Juz 10, hal. 62-64)

Menurut Imam At-Tabari meskipun seorang manusia menyumbangkan seluruh hartanya untuk mempersatukan umat manusia dalam suatu cita-cita, tanpa adanya Rahmat Allah Swt., maka hal tersebut tidak dapat terjadi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam redaksi Walakin Allah Allafa Baynahum yang berarti tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Maksud dari redaksi tersebut adalah Allah Swt. yang mempersatukan hati manusia dengan memberi petunjuk kepada manusia melalui perantara utusan-Nya. (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami` al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Juz 4, hal. 62)

Penutup ayat yakni Innahu ‘Azizun Hakim yang berarti Sungguh, Dia Maha perkasa, Maha bijaksana. Muhammad Husayn Tabataba’i menjelaskan bahwa Allah Swt. mempersatukan kaum Aus dan Khazraj merupakan rahmat dari-Nya serta merupakan hak prerogatif-Nya selaku dzat yang Maha Perkasa juga Maha Bijaksana.

Dengan demikian, dapat dipahami Allah lah yang Maha berkehendak terhadap segala sesuatu, maka manusia hendaknya tidak boleh menyombongkan diri di hadapan manusia lainnya. (Muhammad Husayn Tabata’i, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur`an, Juz 9, hal. 122-13). Wallahu A’lam.  

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 74-76

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 74

Rahmat Allah yang diberikan kepada nabi adalah suatu karunia Allah semata. Karunia Allah sangat luas dan rahmat-Nya merata pada setiap hamba-Nya. Tak ada seorang pun yang dapat mempengaruhi Allah dalam memberikan karunia itu. Maka Allah berhak untuk menambah rahmat dan karunia-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan keadilan-Nya, tidak seperti pendapat Ahli Kitab bahwa rahmat Allah dan karunia-Nya, untuk mereka saja.

Dengan demikian Allah mempunyai kekuasaan yang tak terbatas untuk mengutus nabi menurut kehendak-Nya. Jika Allah mengutus seorang nabi dari satu bangsa tertentu, hal itu semata-mata karena limpahan karunia dan rahmat-Nya semata.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa penilaian Allah terhadap seseorang pada dasarnya adalah sama. Tidak ada seorang pun yang melebihi orang lain kecuali dengan takwanya. Keutamaan itu hanyalah datang dari Allah yang diberikan kepada seseorang menurut kehendak-Nya.

Ayat 75

Dalam ayat ini diterangkan, bahwa di antara Ahli Kitab itu ada sekelompok manusia yang apabila mendapat kepercayaan diserahi harta yang banyak atau pun sedikit, mereka mengembalikannya sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tetapi ada pula di antara mereka yang apabila mendapat kepercayaan diserahi sejumlah harta sedikit saja mereka tidak mau mengembalikan kecuali apabila ditagih, baru mereka mau menyerahkannya setelah melalui proses pembuktian.

Hal ini menunjukkan bahwa di antara Ahli Kitab itu ada sekelompok orang yang pekerjaannya mempersulit Muslimin dan membuat tipu daya agar orang Islam tidak senang memeluk agamanya dan berbalik untuk mengikuti agama mereka. Di antara mereka ada pula sekelompok orang yang pekerjaannya memutarbalikkan hukum.

Mereka menghalalkan memakan harta orang lain dengan alasan bahwa: “Kitab Taurat melarang mengkhianati amanat terhadap saudara-saudara mereka seagama. Kalau pengkhianatan itu dilakukan terhadap bangsa lain mereka membolehkannya. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa Ahli Kitab dapat dibagi menjadi dua golongan:

  1. Ahli Kitab yang betul-betul berpegang pada kitab Taurat yang betul-betul bisa dipercaya. Sebagai contoh misalnya Abdullah bin Salam yang dititipi harta oleh Quraisy dalam jumlah besar kemudian harta itu dikembalikannya.
  2. Ahli Kitab yang tidak dapat dipercaya karena apabila mereka dititipi harta walaupun sedikit, mereka mengingkari dan tidak mau mengembalikannya lagi kecuali apabila dibuktikan dengan keterangan yang masuk akal atau apabila melalui proses pembuktian di muka pengadilan.;Sebagai contoh ialah Ka’ab bin al-Asyraf yang dititipi uang satu dinar oleh Quraisy kemudian dia mengingkari titipan itu.

Sebab-sebab mereka melakukan demikian, ialah karena mereka beranggapan tidak berdosa apabila mereka tidak menunaikan amanat terhadap seorang Muslim, karena mereka beranggapan bahwa tidak ada ancaman dan tidak ada dosa apabila mereka makan harta seorang Muslim dengan jalan yang batil.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa menurut pendapat mereka setiap orang selain bangsa Yahudi tidak akan diperhatikan Allah, bahkan mereka mendapat murka dari Allah. Oleh sebab itu harta mereka tidak akan mendapat perlindungan, dan mengambil harta mereka tidak dianggap sebagai dosa. Tidak diragukan lagi bahwa anggapan serupa ini termasuk pengingkaran, penipuan dan penghinaan terhadap agama.

Maksudnya mereka mengetahui dan menyadari bahwa mereka sengaja berdusta dalam hal itu, padahal mereka telah mengetahui bahwa dalam kitab Taurat tidak ada ketentuan sedikit pun yang membolehkan untuk menghianati orang Arab, dan memakan harta orang Islam secara tidak sah.

Sebenarnya mereka telah mengetahui hal itu, tetapi mereka tidak berpegang kepada kitab Taurat. Mereka lebih cenderung bertaklid kepada perkataan pemimpin agama mereka, dan menganggapnya sebagai ketentuan yang wajib mereka ikuti. Padahal pemimpin-pemimpin mereka itu mengemukakan pendapatnya mengenai hal-hal yang bersangkut paut dengan agama dengan menggunakan penakwilan dengan akal dan selera.

Mereka tidak segan-segan mengubah susunan kalimat asli Taurat untuk memperkuat pendapat mereka. Mereka mempertahankan pendapat itu dengan mencari-cari alasan yang dapat menguatkannya.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Munzir dari Sa‘id bin Jubair ia berkata: Setelah turun ayat 75 ini Rasulullah bersabda:

كَذَبَ اَعْدَاءُ اللهِ مَا مِنْ شَيْءٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ اِلاَّ وَهُوَ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ اِلاَّ اْلاَمَانَةَ فَاِنَّهَا مُؤَدَّاةٌ اِلَى الْبِرِّ وَالْفَاجِرِ

(رواه ابن منذر عن سعيد بن جبير)

Musuh-musuh Allah (orang-orang Yahudi) telah berdusta. Tidak ada suatu ketentuan di zaman jahiliah melainkan telah berada di bawah kedua telapak kakiku ini (telah dibatalkan) terkecuali amanat. Amanat ini diwajibkan kepada orang yang baik dan orang yang jahat. (Riwayat Ibnu Munzir dari Sa’id bin Jubair)

Ayat 76

Pendapat kalangan Bani Israil yang mengatakan bahwa tidak ada dosa bagi mereka apabila mereka melakukan kejahatan terhadap umat Islam disangkal. Kemudian Allah menegaskan agar setiap orang selalu menepati segala macam janji dan menunaikan amanah yang dipercayakan kepadanya.

Kalau ada orang yang meminjamkan harta kepadamu yang telah ditetapkan waktunya, atau ada orang yang menjual barang yang telah ditetapkan, atau ada orang yang menitipkan barang, hendaklah ditepati ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Hendaklah harta seseorang diberikan tepat pada waktunya tanpa menunggu tagihan atau menunggu sampai persoalan itu dibawa ke pengadilan. Demikianlah yang dikehendaki oleh ketentuan syariat.

Dalam ayat ini terdapat satu peringatan bahwa orang Yahudi itu tidak mau menepati janji semata-mata karena janjinya, tetapi mereka melihat dengan siapa mereka berjanji. Apabila mereka mengadakan perjanjian dengan Bani Israil mereka memandang wajib memenuhinya, tetapi apabila mereka mengadakan perjanjian dengan selain Bani Israil, mereka tidak memandang wajib memenuhinya.

Allah menyebutkan pahala orang yang menepati janjinya untuk memberikan pengertian bahwa menepati janji termasuk perbuatan yang diridai Allah dan orang yang menepati janji itu akan mendapat rahmat-Nya di dunia dan di akhirat.

Pada ayat ini dijelaskan bahwa prinsip agama yaitu menepati janji dan tidak mengingkarinya, serta memelihara diri dari berbuat maksiat adalah perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, dan patut mendapat limpahan kasih sayang-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran

0
pendekatan hermeneutika dalam penafsiran alquran (qureta.com)

Istilah hermeneutika kini menjadi naik daun bersamaan dengan ide dan pemikiran tokoh-tokoh kontemporer yang kian mencuat istilah hermeneutika ke tengah kehidupan masyarakat. Pendekatan Hermeneutika dianggap merupakan sebuah tawaran baru dalam dunia penafsiran Alquran. Tidak hanya pengaplikasiannya dalam menafsirkan Bible kala Yunani, kini keterlibatan hermeneutika meluas pada penafsiran kitab suci Al-Quran.

Pada umumnya, hermeneutika merupakan disiplin ilmu filsafat yang menitikberatkan pada permasalahan interpretasi terhadap makna teks. Seiring dengan berkembangnya daya keilmuan yang semakin spesifik, para ilmuan kontemporer membuat pendekatan model baru yang mengarakan hermeneutika kepada teks suci Al-Quran. Dalam artian, menjadikan sebuah metode penafsiran baru yang berusaha menyelami dalamnya makna Al-Quran dengan meninjau beberapa aspek yang melingkupi makna teks sentral tersebut, baik aspek pengarang, aspek pembaca dan aspek dari teks itu sendiri.

Pertanyannya, mengapa harus berfokus terhadap interpretasi teks?. Hans George Gadamer dalam karyanya yang berjudul Truth and Method menyatakan bahwa ‘That is why understanding is not merely a reproductive, but always a productive attitude as well’. Karena teks akan senantiasa memberikan nafas dengan kekayaan maknanya, dan pemaknaan teks akan selalu segar dan hidup seiring dengan peradaban manusia.

Berbicara mengenai hermeneutika Al-Quran, terdapat banyak tokoh yang turut menerapkan hermeneutika dalam upayanya menangkap makna Al-Quran. Muhammad Syahrur misalnya, melalui karya revolusionernya bertajuk al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’assirah tampil sebagai pendekatan Al-Quran yang cukup intensif, ia berupaya mendialogkan Al-Quran sesuai dengan konteks zaman yang dinamis. Meski tidak sedikit, yang mengganggap pemikirannya kontroversial. Namun, terlepas dari itu, Syahrur tidak luput menyerap pemikiran ilmuan luguistik klasik, seperti al-Farra, Abdul Qahir al-Jurjani, Ibnu Faris, Ja’far Dakk al-bab serta tokoh-tokoh lainnya.

Dalam praktiknya, Syahrur memang cenderung desensif dalam menanggapi problem turats (Produk tradisi keilmuan klasik), dengan alasan, pembacaan teks Al-Quran harus sesuai dengan konteks sosial yang terjadi saat ini, pun harus terlepas dari kungkungan sakralitas, stagnasi, dogmatik oleh perspektif terdahulu yang dianggap menghambat semangat zaman dalam kreatifitas berfikir. Baginya, dengan demikian Al-Quran selalu terbuka untuk di interpretasikan.

Tiga Model Teori Hermeneutika

Sebagai sebuah pendekatan metode penafsiran, sedikitnya terdapat tiga model yang melingkupi teori hermeneutika ini, di antaranya adalah;

Pertama, hermeneutika objektif. Pendekatan model ini berusaha memahami makna teks sebagaimana yang hendak pengarang sampaikan melalui teks-teks yang disampaikannya, karna dalam hal ini, hanya pengarang yang memiliki kuasa atas teks yang dimaksudkan. Sebab yang dimaksud teks menurut Schleiermacer, adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Model pertama ini, dikembangkan oleh beberapa tokoh klasik, diantaranya adalah Friedrick Schleiermacher, Emelio Betti dan Wilhelm Dilthey.

Kedua, hermeneutika subjektif. Pendekatan model kedua ini, berupaya memahami makna yang tercantum pada teks itu sendiri, bukan berdasar konteks masa lalu atau berdasarkan ide pengarang, melainkan isi dari teks secara mandiri. Pada model ini, teks bersifat lepas dari tradisinya sebelumnya asbal al-nuzul dan senantiasa memahami penafsiran konteks yang dibutuhkan saat ini. Dalam perkembangannya, model kedua ini dikembangkan oleh tokoh modern bernama Hans Georg Gadamer.

Ketiga, hermeneutika pembebasan. maksud dari hermeneutika ini adalah pemahaman terhadap teks yang bersifat subjektif, agar pada pemahamannya mampu memberikan penafsiran yang fungsional. Menurut pandangan tokoh model ketiga ini, hermeneutika tidak hanya berperan sebagai ilmu interpretasi atau sebuah metode pemahaman semata, melainkan lebih dari itu adalah aksi. Khususnya dalam ruang lingkup sosial, bagaimana Al-Quran memuat semangat pembebasan bagi manusia. Model ini turut dikembangkan oleh tokoh muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi dan Farid Esack.

Meninjau beberapa model diatas, ringkasnya terdapat tiga model hermeneutika yang berbeda. Model pertama, berupaya memahami makna asal dengan cara kembali kemasa lalu; kedua, berupaya memahami makna konteks saat ini dengan menyampingkan masa lalu; ketiga, memahami makna asal dalam konteks kekinian tanpa menepikan masa lalu.

Secara lebih luas, tokoh mufassir kontemporer telah melahirkan ragam corak penafsiran dengan mengaplikasikan pendekatan hermeneutika. Menurut tokoh kontemporer, Al-Quran bukanlah teks mati, sehingga memerlukan pemahaman makna teks yang selaras dengan konteks. Mengingat pada dasarnya teks dan makna tidak dapat berubah namun memerlukan interpretasi untuk menyesuaikannya.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 65-68

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 65

Allah mencela perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang selalu berselisih dalam hal kemurnian agama mereka masing-masing, karena mereka menganggap bahwa agama merekalah yang paling benar.

Ahli Kitab, orang-orang Yahudi dan Nasrani dikecam, mengapa mereka saling berselisih dan berbantah-bantah dalam persoalan agama nenek moyang mereka Nabi Ibrahim. Orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim beragama Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim memeluk agama Nasrani. Mereka berpendapat demikian karena Nabi Ibrahim itu dianggap sebagai lambang ketinggian martabat bagi masing-masing golongan.

Di dalam kitab mereka terdapat pujian terhadap Ibrahim a.s., baik dalam perjanjian lama maupun dalam perjanjuan baru, sebagaimana juga orang Quraisy memuliakan namanya, mereka pun mengakui bahwa agama merekalah yang sesuai dengan agama Ibrahim.

Menurut pernyataan Alquran, pengakuan mereka itu sedikit pun tidak beralasan, karena ajaran Ibrahim sedikit pun tidak membekas dalam upacara-upacara keagamaan mereka. Yang benar ialah Nabi Ibrahim itu memeluk agama yang sesuai dengan agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Ketentuan serupa ini telah diisyaratkan oleh firman Allah, bahwa Taurat dan Injil itu diturunkan oleh Allah sesudah datangnya Ibrahim. Logikanya karena kedua Kitab itu diturunkan sesudah Ibrahim, semestinya tidak akan terjadi perselisihan pendapat dan bantah membantah seperti itu. Perselisihan yang hebat itu menunjukkan ketidakbenaran alasan yang dikemukakan mereka, karena tidak mungkin yang datang terlebih dahulu itu mengikuti yang datang sesudahnya.

Itulah sebabnya maka Allah menegur mereka, “Apakah mereka itu tidak berpikir.” Hal ini menunjukkan bahwa andaikata mereka itu mau berpikir tentu tidak akan terjadi perbantahan seperti itu. Dalam hal ini terdapat isyarat yang kuat, yang menunjukkan kelemahan pikiran dan hujjah (argumentasi) mereka.

Mengenai sabab nuzul ayat ini Ibnu Ishak dan Ibnu Jarir telah mengemukakan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Orang Nasrani dari Najran dan beberapa pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Nabi Muhammad saw, kemudian mereka berselisih pendapat. Pendeta-pendeta itu berkata: Nabi Ibrahim tak memeluk agama kecuali agama Yahudi. Sedangkan orang Nasrani berkata: Nabi Ibrahim tak memeluk agama kecuali agama Nasrani.

Ayat 66

Memang sewajarnya orang-orang berbantahan tentang urusan Nabi Isa dan sewajarnya pula bila perbantahan mereka itu berdasarkan hal-hal yang mereka ketahui.

Tetapi ternyata di antara yang berbantahan itu ada yang terlibat pada persoalan yang berlebih-lebihan, hingga mengakui bahwa Nabi Isa itu tuhan, bahkan di antaranya ada yang sebaliknya, menuduhnya sebagai pembual dan pendusta. Demikian itu terjadi karena masing-masing pihak tidak mengetahui yang sebenarnya, sehingga masing-masing pihak tak dapat menghindarkan diri dari kesalahan.

Seterusnya Allah mencela orang Yahudi dan orang Nasrani yang berbantahan tentang agama Nabi Ibrahim, karena perbuatan itu tidak didasarkan pada alasan yang benar dan ilmu pengetahuan. Maka bukanlah lebih baik dan masuk akal apabila mereka itu mengikuti saja wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang memang betul-betul datang dari Allah yang mempunyai pengetahuan yang luas tak terbatas. Karena itu Allah menegaskan kepada mereka bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak nyata, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.

Hal ini menunjukkan adanya pengertian bahwa mengenai hal-hal yang bersifat gaib, seharusnyalah orang tidak memperdebatkan dan tidak membenarkannya kecuali yang telah diterangkan oleh wahyu. Dengan perkataan lain pengetahuan manusia dibatasi oleh ruang lingkup, waktu dan tempat, sedangkan pengetahuan Allah swt tidak terkait dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

Ayat 67

Allah memberikan ketegasan kepada orang yang berdebat siapa Nabi Ibrahim yang sebenarnya (an-Nisa′/4 :125). Ayat ini merupakan jawaban bagi perdebatan orang Yahudi dan Nasrani mengenai agama Nabi Ibrahim. Mereka masing-masing berpendapat bahwa Ibrahim menganut agama yang dipeluk mereka. Pendapat mereka itu sebenarnya adalah dusta karena tidak didasarkan pada bukti-bukti yang nyata.

Yang benar ialah keterangan yang didasarkan wahyu yang diyakini kaum Muslimin, karena umat Islam memeluk agama seperti agama yang dipeluk oleh Nabi Ibrahim dan agama Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Maka jelaslah bahwa Nabi Ibrahim itu tidak memeluk agama Nasrani dan tidak pula pemeluk agama Yahudi akan tetapi Nabi Ibrahim itu seorang yang taat kepada Allah, tetap berpegang kepada petunjuk Allah serta tunduk dan taat kepada segala yang diperintahkan-Nya.

Nabi Ibrahim tidak menganut kepercayaan musyrikin, yaitu kafir Quraisy dan suku Arab lainnya, yang menganggap diri mereka mengikuti agama Nabi Ibrahim. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang dimuliakan oleh segala pihak, baik orang-orang Yahudi, Nasrani ataupun musyrikin. Tetapi sayang pendapat mereka itu tidak benar, karena Nabi Ibrahim itu tidak beragama seperti agama mereka. Beliau adalah orang Muslim yang ikhlas kepada Allah, sedikit pun tidak pernah mempersekutukan-Nya.

Ayat 68

Orang yang paling berhak menjadi pendukung Nabi Ibrahim dan yang paling setia agamanya, bukanlah orang yang hanya mengaku bahwa Nabi Ibrahim memeluk agamanya, tetapi orang yang mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan meneruskan dakwahnya. Tentu saja orang itu adalah orang yang beragama tauhid dan dengan ikhlas melaksanakan agamanya.

Mereka haruslah orang orang yang berserah diri kepada Allah semata, jauh dari sifat-sifat syirik. Sifat-sifat serupa ini terdapat pada Nabi Muhammad saw, dan pengikut-pengikutnya. Mereka memeluk agama tauhid, sedikit pun tidak terdapat dalam agamanya ajaran-ajaran pemujaan terhadap pemimpin dan tidak membenarkan adanya perantara dalam hubungan rnanusia dengan Tuhan. Mereka itu ikhlas dan beramal semata-mata karena Allah tidak karena syirik dan ria.

Kesemuanya itu adalah inti ajaran Islam. Oleh sebab itu apabila ada agama yang tidak memiliki prinsip-prinsip tersebut maka agama itu jauh menyeleweng dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja.

Kemudian Allah menjanjikan bahwa Dia akan memberikan bantuan, kekuatan dan taufik kepada orang-orang mukmin karena Allah yang menguasai dan mengendalikan urusan mereka, dan memperbaiki keadaan mereka serta memberikan pahala sesuai dengan banyak sedikitnya mereka mengamalkan ajaran Islam.

(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 64

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, agar mengajak Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani untuk berdialog secara adil dalam mencari asas-asas persamaan dari ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, yaitu Taurat, Injil dan Alquran.

Kemudian Allah menjelaskan maksud ajakan itu yaitu agar mereka tidak menyembah selain Allah yang mempunyai kekuasaan yang mutlak, yang berhak menciptakan syariat dan berhak menghalalkan dan mengharamkan, serta tidak mempersekutukan-Nya.

Ayat ini mengandung: Tauhid Uluhiyah bagi Allah, yaitu keesaan Allah seperti tersebut dalam firman-Nya:

اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ

… bahwa kita tidak menyembah selain Allah … (Ali ‘Imran/3: 64)

Sifat Tauhid Rubµbiyah dalam firman-Nya yaitu keesaan dalam mengatur makhluk-Nya:

وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ;

…dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. …. (Ali ‘Imran/3: 64)

Ketentuan ini disepakati oleh semua orang, dan dapat dibuktikan, Ibrahim a.s. diutus Allah untuk membawa agama tauhid, begitu juga Nabi Musa seperti terdapat dalam kitab Taurat; Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Sesungguhnya Tuhan adalah sembahanmu, kamu tidak mempunyai sesembahan lain di sisi Ku, jangan kamu membuat pahatan patung, dan jangan membuat gambaran apa pun juga dari apa saja yang terdapat di langit dan di bumi, maupun yang terdapat di dalam air. Jangan kamu bersujud kepada patung-patung dan gambar-gambar serta jangan menghambakan diri kepadanya. Demikian juga Nabi Isa diutus Allah dengan membawa ajaran seperti itu.

Kemudian Nabi Muhammad saw sebagai Nabi penutup, beliau diutus dengan membawa ajaran yang sama. Di dalam Alquran terdapat firman Allah:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur…(al-Baqarah/2: 255).

Kesimpulan dari ajakan tersebut ialah: Muslimin dan Ahli Kitab sama-sama meyakini bahwa alam itu termasuk ciptaan Allah Yang Maha Esa. Dialah yang menciptakan dan mengurusnya dan Dialah yang mengutus para nabi kepada mereka, untuk menyampaikan keterangan-keterangan tentang perbuatan yang diridai dan yang tidak diridai-Nya.

Kemudian Nabi Muhammad mengajak Ahli Kitab agar bersepakat untuk menegakkan prinsip-prinsip agama, menolak hal yang meragukan, yang bertentangan dengan prinsip agama. Maka apabila orang Nasrani mendapatkan keterangan dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa seperti kata-kata “Putra Tuhan” hendaklah ditakwilkan dengan takwilan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh para nabi, karena kita semua tidak akan mendapatkan di antara perkataan para nabi yang bisa diartikan bahwa sesungguhnya Nabi Isa itu tuhan yang disembah. Kita juga tidak akan mendapatkan keterangan yang mengatakan bahwa Isa a.s. mengajak manusia untuk menyembah dirinya dan ibunya, melainkan Nabi Isa mengajak manusia untuk menyembah Allah Yang Esa dan dengan ikhlas beribadah kepada-Nya.

Pada mulanya, orang Yahudi beragama tauhid, kemudian terjadilah malapetaka bagi mereka, yaitu waktu mereka mengakui hukum apa saja yang ditetapkan pemimpin agama adalah sama kedudukannya dengan hukum yang datang dari Allah. Demikian juga orang-orang Nasrani menempuh jalan seperti orang-orang Yahudi.

Mereka menambahkan peleburan dosa dalam agamanya. Inilah yang menjadi problematik yang sangat membahayakan dalam masyarakat orang-orang Nasrani sehingga timbul penjualan surat aflat (surat penebusan dosa) dari gereja. Dengan jalan itu mereka dapat mengumpulkan uang yang banyak. Oleh sebab itu timbullah gerakan yang menuntut perbaikan. Kelompok ini terkenal dengan istilah protestan.

Diriwayatkan dari ‘Adi bin Hatim bahwa ia berkata, “Saya datang kepada Rasulullah saw, sedangkan di leherku terdapat kalung salib yang terbuat dari emas. Kemudian Rasulullah bersabda, “Hai ‘Adi, buanglah berhala itu dari lehermu”. Saya pun mendengar Nabi Muhammad membaca surah at-Taubah:

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ;

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, …. (at-Taubah/9: 31)

Kemudian ‘Adi berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mereka itu tidak menyembah pendeta-pendeta”. Kemudian Rasulullah bersabda, “Bukankah mereka menghalalkan dan mengharamkan bagi kamu lalu kamu berpegang saja pada perkataan mereka?” Kemudian ‘Adi menjawab, “Betul”. Lalu Nabi Muhammad bersabda, “Itu penyembahan terhadap pendeta-pendeta itu.”

Orang Yahudi dan orang Nasrani menolak dan membangkang; dan mereka tetap pada pendiriannya, yaitu menyembah selain Allah dan mempercayai adanya tuhan-tuhan di samping Allah, yang dijadikan perantara kepada Allah. Mereka taat pada ketentuan-ketentuan mereka, baik mengenai yang dihalalkan maupun yang diharamkan oleh pendeta-pendeta itu. Allah swt memerintahkan agar orang-orang Muslim mengatakan kepada mereka bahwa, kaum Muslimin hanya menyembah Allah dan hanya taat kepada-Nya semata-mata.

Dalam ayat ini terdapat sebuah ketentuan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan ibadah atau dengan halal dan haram, hanya ada di dalam Alquran dan Hadis, yang dijadikan pokok pegangan dalam menetapkannya, bukan pendeta pemimpin dan bukan pula pendapat ahli hukum yang kenamaan sekalipun. Sebab kalau demikian, tentulah hal itu akan menyebabkan adanya persekutuan dalam keesaan rububiyah dan penyimpangan dari petunjuk Alquran seperti tersebut dalam firman Allah:

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗوَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ   

Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih. (asy-Syura/42: 21)

Tersebut pula dalam firman Allah:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” … (an-Nahl/16: 116)

Adapun masalah yang tidak berkaitan langsung dengan akhirat dan ibadah, seperti urusan peradilan, dan urusan politik, Allah telah melimpahkan kekuasaan-Nya kepada manusia yang berilmu, seperti Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yaitu para ahli berbagai bidang dalam masyarakat. Maka apa yang ditetapkan mereka hendaklah ditaati selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama.

Ayat ini menjadi dasar dan pokok pegangan bagi dakwah Nabi saw untuk mengajak Ahli Kitab mempraktekkannya. Pada waktu Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam, seperti terdapat dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius dan Muqauqis dan Kisra Persia.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

0
larangan debat kusir
larangan debat kusir

Islam melarang debat kusir dengan orang yang tidak berilmu. Sebab debat kusir adalah debat tidak bermutu dan membuang energi secara sia-sia serta tidak bermanfaat. Ketika menyanggah argumennya dengan logis, rasional disertai bukti atau data yang valid dan kredibel, justru mereka menyerang pribadi personal bukan argumennya. Ini menunjukkan kejumudan dalam berfikir.

Maka, alangkah baiknya dan Islam melarang berdebat dengan kelompok seperti itu. Sebab tidak menemukan titik temu, justru permasalahan semakin runyam. Larangan debat kusir dengan orang yang tidak berilmu ini Allah swt sampaikan dalam firman-Nya di bawah ini,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (Q.S. al-Baqarah [2]: 6-7)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 6-7

Muhammad ‘Ali al-Shabuny menjelaskan kandungan ayat ke-6 dalam Shafwah at-Tafasir bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi saw seperti berdakwah dan memberi peringatan kepada mereka, bernilai sia-sia belaka. Mereka tetap tidak beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Bahkan dikatakan mereka bukan tidak mau beriman saja, lebih dari itu mereka tidak membenarkan atau tidak mengakui kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi saw, mereka juga tetap dalam kekafirannya.

Pada ayat selanjutnya (ayat ke-7), redaksi khatamallahu ‘ala qulubihim bermakna hati mereka keras sehingga nur atau cahaya Allah swt tidak berkenan masuk, dan mereka juga tidak ingin hati mereka mendapat cahaya-Nya. Mufassir yang lain mengatakan hati mereka terkunci, tertutup dan keras.

Sedangkan redaksi wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim, as-Shabuny menafsirkannya bahwa semua pendengaran dan penglihatan mereka tertutup, penglihatan mereka tidak mendapat petunjuk. Begitu pula pendengaran mereka tuli, dan tidak dapat digunakan untuk merenungi segala keagungan-Nya.

Hal senada juga disampaikan oleh al-Mahalli dan as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, bahwa orang-orang kafir (seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan selain keduanya) sama saja Nabi saw beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak beriman sebab Allah memang telah mengetahui mereka sehingga Nabi saw tidak perlu berharap akan keimanan mereka. Indzar (peringatan) di sini bermakna i’lam ma’a takhwif (penyampaian pesan atau kabar yang disertai kabar menakutkan).

Adapun pada ayat ke-7, hati, pendengaran dan penglihatan mereka tertutup dan terkunci dari cahaya kebenaran dan mereka mendapat azab yang qawiyyun da-imun (azab yang sangat berat dan mereka kekal di dalamnya).

Dalam tafsir yang lain misalnya Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaily menjelaskan makna kufrun secara bahasa adalah menutup atau menghalangi sesuatu. Maka yang disebut kafir di sini adalah mereka yang tertutup atau terhalang dari kebenaran dan nikmat Allah. Siapa saja yang tidak beriman kepada Alquran, niscaya ia kafir. Kafir adalah lawan dari iman.

Al-Baghawy menambahkan bahwa malam bisa disebut kafir karena malam menutupi cahaya lantara sifatnya yang gelap gulita. Petani pun juga bisa disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Sementara orang kafir menutupi kebenaran karena keingkarannya.

Ulama tafsir Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantany dalam at-Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil/ Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’anin Majid menyampaikan bahwa Allah swt menyebut kekufuran orang-orang kafir pada Q.S. al-Baqarah [2]: 6-7. Allah swt mencetak hati mereka sehingga cahaya keimanan dan kebenaran enggan masuk. Demikian pula hati, pendengaran, penglihatan mereka sama sekali tidak dapat mengambil manfaat atas kebenaran. Baca juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Imam Syafi’i pernah berkata sebagaimana dikutip dalam Mafahim Yajibu at-Tushahha karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, “Setiap kali berdebat dengan para intelektual, aku selalu menang. Namun, anehnya tiap kali berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tak berdaya.”

Lalu Imam Syafi’i memberi klarifikasi sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tawali Ta’sis karangan Ibnu Hajar bahwa ia tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan. Beliau juga pernah berkata,

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلاَّ أَحْبَبْتُ أَنْ يُوَفَّقَ وَيُسَدَّدَ وَيُعَانَ وَيَكُوْنَ عَلَيْهِ رِعَايَةٌ مِنَ اللهِ وَحِفْظٌ وَمَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلاَّ وَلَمْ أُبَالِ بَيَّنَ اللهُ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ أَوْ لِسَانِهِ

Tidakkah aku berdebat kecuali berharap agar lawan debatku diberi taufiq dan pertolongan serta dijaga oleh-Nya. Dan tidak pula aku berdebat kecuali aku tak menghiraukan apakah Allah menampakkan kebenaran lewat lisanku atau lisannya.

Ibnu Rajab memberi komentar atas ucapan beliau ini, “Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak mempunyai maksud dan tujuan kecuali menampakkan kebenaran, sekalipun melalui lisan lawan debatnya yang menyelisihinya.” (al-Farqu baina Nashihah wa Ta’yir)

Lantas bagaimana menghadapi lawan debat kusir seperti itu? Imam Syafi’i memberikan tips sebagai berikut,

Apabila orang bodoh mengajak berdiskusi denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam (tidak menanggapi), sebab tatkala kamu melayaninya, itu akan menyusahkan dirimu sendiri. Jika kamu berteman dengannya, ia akan selalu menyakiti hatimu.

Kemudian, ada orang yang bertanya kepada Imam Syafi’i, “lantas jika engkau ditantang oleh musuhmu, apakah engkau diam?” Imam Syafi’i menjawabnya,

Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya, sikap diam lah terhadap orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan. (Dikutip dari Diwan al-Syafi’i)

Kisah Imam Syafi’i dan kandungan ayat di atas memberikan pemahaman bahwa hindari debat kusir dengan orang yang memang tidak berniat untuk mencari benang merah penyelesaian suatu permasalahan. Berdebat dengan mereka hanya membuang-buang waktu dan melelahkan diri saja.

Dalam ayat di atas dilukiskan dengan redaksi khatamallahu ‘ala qulubihin wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim, mereka memang sudah terkunci dan tertutup hatinya, pendengaran dan penglihatannya dari cahaya petunjuk Allah swt.

Oleh karenanya, Islam melarang debat kusir dengan orang yang tidak berilmu sebab bagaimanapun jawaban yang diberikan, selogis dan serasional pun mereka tetap tidak menerimanya. Maka yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi ocehan receh mereka. Karena memang mereka berkehendak memancing di air keruh agar kita tersulut mengikuti alur mereka, maka hindari berdebat dengan kelompok tersebut. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 61-63

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 61

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad bila masih ada orang yang membantah kebenaran berita tentang kejadian Isa a.s., sesudah mendapat penjelasan hendaklah mereka diajak ber-mubahalah untuk membuktikan siapa yang benar dan berdoa agar Allah swt menjatuhkan laknat-Nya kepada orang yang berdusta. Mubahalah ini sebagai pencerminan dari kebenaran kepercayaan itu.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, agar mengundang keluarga masing-masing baik dari pihaknya maupun dari pihak mereka, yang terdiri dari anak-anak dan istri, untuk mengadakan mubahalah ini.

Di dalam ayat disebutkan lebih dahulu istri dan anak-anak nabi dalam mubahalah, karena seseorang lebih mengkhawatirkan diri keluarganya daripada dirinya sendiri. Hal ini mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad, percaya dengan penuh keyakinan bahwa bencana yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari mubahalah itu tidak akan menimpa keluarganya dan dirinya. Kemudian ayat ini dikenal sebagai ayat mubahalah.

Mengenai terjadinya ajakan mubahalah tersebut telah diriwayatkan melalui berbagai sumber, bahwa Nabi Muhammad, telah mengajak orang-orang Nasrani dari kota Najran di Yaman untuk mengadakan mubahalah, tetapi mereka menolak.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadis bahwa delegasi Najran yang dipimpin oleh al-‘Aqib dan as-Sayid mengunjungi Rasulullah. Kemudian beliau berkeinginan untuk mengadakan mubahalah (sumpah) dengan mereka. Maka salah seorang di antara mereka berkata kepada kaumnya, “Janganlah kamu ber-muhabalah dengan dia. Demi Allah apabila ia betul-betul seorang Nabi lalu dia ber-mubahalah dengan kita, niscaya kita tidak akan berbahagia selamanya, dan tidak akan ada generasi yang akan melanjutkan keturunan kita.”

Kemudian mereka berkata kepada Nabi, “Kami akan memberikan apa yang engkau minta sebab itu utuslah kepada kami seorang laki-laki, yang terpercaya.” Kemudian Nabi saw bersabda, “Berdirilah hai, Abµ ‘Ubaidah,” maka setelah ia berdiri Nabi pun bersabda, “Inilah orang yang terpercaya di kalangan umat ini.” (Riwayat al-Bukhāri dari Huzaifah).

Abu Nu’aim meriwayatkan pula sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas dalam kitab ad-Dala′il melalui sanad dari ‘Ata′ dari Ad-Dahak dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya delapan orang Nasrani dari penduduk Najran mendatangi Rasulullah. Di antara mereka terdapat ‘Aqib dan as-Sayid. Kemudian Allah menurunkan ayat ini. Lalu mereka berkata, “Beri tangguhlah kami tiga hari.”

Lalu mereka pergi kepada Bani Quraizah, Bani Nadir dan Bani Qainuqa dari kalangan orang-orang Yahudi. Kemudian mereka memberi isyarat untuk berdamai dan tidak mengadakan mubahalah dengan Nabi. Kemudian mereka berkata, “Dia adalah nabi yang telah diberitakan kedatangannya di dalam kitab Taurat.” Lalu mereka mengadakan perdamaian dengan Nabi saw dengan perjanjian membayar 1.000 potong pakaian pada bulan Safar dan 1.000 potong lagi disertai sejumlah uang pada bulan Rajab.

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw, telah mengajukan Ali, Fatimah dan kedua putra mereka (Hasan dan Husain) selain diri beliau sendiri, untuk bermuhabalah dan Nabi pun keluar bersama-sama mereka seraya bersabda, “Apabila saya berdoa hendaklak kamu membaca, Amin”.

Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadis dari Ja’far dari ayahnya, bahwa setelah ayat ini turun, Nabi membawa Abu Bakar bersama-sama anak-anaknya, Umar dan anak-anaknya dan Usman bersama anak-anaknya. Dapat dipahami dari ayat-ayat ini bahwa Nabi Muhammad, telah memerintahkan untuk mengundang orang-orang yang menentang hakikat kejadian Isa a.s. dari kalangan orang-orang Ahli Kitab untuk berkumpul baik laki-laki, perempuan atau pun anak-anak, dan juga Nabi mengumpulkan orang mukminin baik laki-laki, perempuan atau anak-anak. Mereka pun mengajak ber-mubahalah kepada Allah swt agar Dia melaknat orang-orang yang sengaja berdusta.

Ajakan Nabi saw untuk ber-mubahalah itu menunjukkan adanya keyakinan yang penuh terhadap kebenaran apa yang beliau katakan, sebaliknya keengganan orang-orang Nasrani dan Yahudi yang diajak untuk ber-mubahalah menunjukkan alasan dan kepalsuan kepercayan mereka.

Ayat 62

Kisah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tentang Nabi Isa itu, itulah yang benar, bukan pendapat orang Nasrani dan bukan pula pendapat orang Yahudi.

Tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah karena Allah yang menciptakan segala sesuatu dan tidak satu pun yang dapat menyamai-Nya. Di dalam ayat ini jelas terdapat suatu bantahan terhadap orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari oknum yang tiga.

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ

Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah yang ketiga dari yang tiga, … (al-Ma′idah/5: 73)

Kemudian Allah menegaskan lagi bahwa Allah-lah yang Mahaperkasa Yang Mahabijaksana, tak ada yang dapat menandingi-Nya.

Ayat 63

Apabila mereka menolak agama tauhid berarti mereka termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Mereka dianggap berpaling karena menolak untuk mengikuti dan membenarkan kerasulan Muhammad, dan tidak mau menerima keyakinan tentang keesaan Tuhan yang dibawa oleh beliau dan tidak berani mengabulkan ajakan mubahalah.

Allah Maha Mengetahui mental orang-orang yang membuat kerusakan dan mempunyai niat jahat yang mereka simpan dalam hati mereka.

(Tafsir Kemenag)