Beranda blog Halaman 546

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 48-50

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 48

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah yang mengajar Isa pengetahuan menulis dan ilmu yang benar menggerakkan kemauan seseorang untuk mengerjakan amal-amal yang bermanfaat, serta Allah memberi kepadanya kemampuan untuk memahami Taurat dan segala rahasia hukum-hukumnya. Almasih mengetahui segala rahasia hukum, kemudian menjelaskan kepada kaumnya. Juga Allah mengajarkan kepada Isa a.s., Injil yang Dia wahyukan kepadanya.

Ayat 49

Allah menjadikan Isa sebagai seorang rasul kepada Bani Israil. Allah mengutus Isa kepada Bani Israil agar mengatakan kepada mereka bahwa kedatangannya membawa beberapa tanda yang besar yakni “mukjizat” kepada mereka sebagai penguat risalahnya. Mukjizat-mukjizat itu di antaranya:

Pertama: Nabi Isa dapat membuat dari tanah sesuatu yang berbentuk burung dan setelah ditiupnya lalu menjadi burung yang hidup seperti burung biasa, dengan izin Allah. Sebenarnya Allah-lah yang menciptakan hidup dalam tubuh burung itu, dengan kekuasaan-Nya ketika Isa meniupnya, untuk menjadikan mukjizat bagi kenabiannya.

Diriwayatkan, bahwa ketika Isa a.s. menyatakan dirinya seorang nabi dan menampakkan mukjizatnya, Bani Israil meminta kepadanya untuk membuat kelelawar. Maka ia mengambil tanah, lalu membentuknya sebagai seekor kelelawar dan ditiupnya. Maka terbanglah kelelawar itu di angkasa. Kelelawar itu terbang selama orang itu masih dapat melihatnya, dan ketika sudah tidak tampak lagi oleh mata mereka, kelelawar itu jatuh ke bumi dan mati.

Hal ini sangat berbeda dengan kejadian makhluk-makhluk Allah lainnya. Sudah menjadi sunatullah bahwa mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi-Nya pada waktu umatnya meminta dan menjadikan iman mereka tergantung kepada mukjizat itu. Maka jika kaum Isa, meminta yang demikian kepadanya, Allah pun memberikannya.

Kedua: Isa a.s. dapat mengobati penyakit buta dan sopak, padahal kedua penyakit itu adalah penyakit yang sukar diobati oleh para tabib di masa itu meskipun ketabiban pada masa Isa sudah maju.

Telah menjadi sunatullah pula, bahwa mukjizat para nabi berupa sesuatu yang sangat terkenal pada zamannya. Umpamanya kepada Musa, diberikan tongkat yang dapat menjadi ular dan menelan semua ular-ular ahli sihir. Orang Mesir pada waktu itu terkenal sekali keahlian mereka dalam ilmu sihir.

Kepada Isa a.s., Allah memberi mukjizat dari jenis ketabiban yang melebihi kesanggupan para tabib zaman itu, padahal mereka sudah mempunyai keahlian yang tinggi. Demikian pula kepada Nabi Muhammad saw, diberi mukjizat yaitu Alquran, karena yang dibangga-banggakan mereka pada masa itu ialah kesusasteraan.

Ketiga: Beliau dapat menghidupkan orang mati, atas izin Allah. Banyak riwayat menerangkan bahwa Isa menghidupkan orang yang telah mati. Di antaranya menghidupkan seorang anak perempuan sebelum dikubur dan menghidupkan Ya’azir sebelum busuk tubuhnya. Tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa ia menghidupkan mayat yang sudah menjadi tulang belulang.

Keempat: Isa a.s. dapat mengabarkan apa yang dimakan dan apa yang disimpan orang di rumahnya.

Perbedaan antara perkabaran gaib yang disampaikan oleh Isa a.s. dengan perkabaran ahli nujum dan dukun-dukun yang kadang-kadang tepat kadang-kadang tidak, ialah tukang nujum dan dukun-dukun itu mengungkapkan sesuatu dengan jalan memperhatikan sebab-sebab yang memungkinkannya mengetahui sesuatu itu.

Tidak demikian perkabaran yang disampaikan oleh Nabi Isa serta oleh para nabi dan para rasul. Mereka ini tidak mencari atau berusaha mencari sebab-sebab dan tidak pula melakukan tipu daya, melainkan semata-mata pemberitahuan yang disampaikan Allah swt kepada mereka.

Demikianlah mukjizat-mukjizat Nabi Isa yang disaksikan oleh Bani Israil. Sesungguhnya pada mukjizat-mukjizat itu terdapat petunjuk-petunjuk bagi mereka untuk membenarkan kerasulan dan kenabian Isa. Terdapat pula pada mukjizat-mukjizat itu pelajaran untuk dipikirkan dan ditarik kesimpulannya, yaitu bahwa Isa a.s. berkata benar terhadap mereka.

Mereka pun mengetahui apa yang diserukan Isa itu adalah benar perintah dari Allah swt. Jika mereka membenarkan ayat-ayat Allah, mengakui ke Esaan-Nya dan percaya kepada Nabi Musa dan Taurat yang dibawanya, tentulah mereka beriman pula kepada Nabi Isa a.s.

Ayat 50

Nabi Isa datang kepada Bani Israil untuk membenarkan Kitab Taurat yang ada pada mereka, mengakui dan menguatkannya. Bukan mengganti atau menyalahkan hukum-hukumnya, kecuali meringankan beberapa hukum untuk penganutnya, yang sebelumnya dirasakan sebagai suatu beban yang amat berat bagi mereka. Karena itu Isa a.s. berkata, “Aku menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan atasmu”, yakni sebagian makanan yang pernah diharamkan atas mereka yang disebabkan oleh kezaliman dan banyaknya permintaan mereka. Lalu oleh Isa, dihalalkan kembali sebagaimana diterangkan Allah dalam Alquran.

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ  

Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. (an-Nisa′/4:160)

Di antara makanan yang dihalalkan kembali itu ialah: ikan, daging unta, lemak, juga dihalalkan kembali bekerja pada hari Sabat. Nabi Isa juga menjelaskan persoalan-persoalan yang menjadi perselisihan mereka, seperti diterangkan dalam Alquran.

وَلِاُبَيِّنَ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِيْ تَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ

… Dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu perselisihkan, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (az-Zukhruf/43: 63)

Kemudian Nabi Isa mengulangi keterangan ayat lalu, katanya, “Aku datang kepadamu dengan membawa mukjizat-mukjizat dari Tuhan kamu”. Mukjizat itu menjadi saksi atas kebenaran risalah yang dibawanya seperti yang telah disebutkan, yaitu menciptakan burung, menyembuhkan penyakit buta sejak kecil dan penyakit kusta, menghidupkan orang mati, serta memberitahukan hal-hal yang tersembunyi dan lain-lain sebagainya. Karena dia datang membawa mukjizat yang jelas, ayat-ayat yang terang, maka dia pun berseru kepada kaumnya agar takut kepada Allah tidak menentang-Nya, serta menaati segala apa yang diajarkan kepada mereka.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 47

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Maryam mengarahkan kata-katanya kepada Allah yang telah mengutus Jibril, yaitu, “bagaimana aku akan memperoleh seorang putra, padahal aku tidak bersuami. Apakah kejadian yang demikian itu dengan perkawinan dahulu, ataukah dengan kodrat Allah semata-mata”.

Mungkin maksud kata-kata Maryam itu untuk menyatakan kekagumannya pada kekuasaan Allah dan memandang hal itu sebagai suatu mukjizat yang besar. Allah menjelaskan bahwa kelahiran demikian akan terjadi bilamana Allah menghendaki-Nya, Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Jika Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka hanya cukup berkata kepadanya “jadilah engkau”, lalu jadilah dia.

Allah menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya, termasuk menciptakan hal-hal yang ajaib, yang menyimpang dari kebiasaan seperti menciptakan anak tanpa ayah. Bahkan Nabi Adam telah diciptakan-Nya tanpa ayah dan ibu.

Ayat di atas memberikan inspirasi kepada manusia untuk belajar, menuntut ilmu dan meneliti, akan tetapi hasil atau keluaran dari penelitian tidak selalu dapat diterapkan atau dipakai. Hal ini tergantung pada pengkajian yang melandaskan pada asas manfaat bagi manusia dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum dalam agama Islam.

Sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka hasil penelitian dapat dipakai atau diterapkan dalam masyarakat. Ilmu genetika, misalnya, sebagaimana cabang ilmu lainnya didorong oleh Islam untuk didalami. Namun apabila di dalam penelitiannya ada bagian yang mengarah pada pelanggaran hukum Islam, penerapannya harus dipertimbangkan kembali.

Demikian halnya dengan ilmu genetika. Apabila arah suatu penelitian sudah masuk ke daerah yang “rawan” tersebut, ada baiknya dilakukan evaluasi untuk mengambil keputusan untuk meneruskan atau menghen-tikannya, atau membelokkan arah penelitian ke arah yang lebih mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi manusia.

Persepsi tentang cloning terdapat bermacam-macam pendapat. Cloning bukanlah penciptaan. Apabila dilihat secara cermat, apa yang dilakukan dalam kegiatan cloning hanyalah menghancurkan inti sel dari indung telur dan menggantikannya dengan inti sel dari individu donor. Inti sel dapat diambil sel somatic (somatic cells), dan tidak harus dari sel reproduksi (reproductive cells). Proses ini akan menghasilkan anakan yang identik dengan individu donor. Semuanya dilakukan pada jenis yang sama.

Apabila cloning dipandang sebagai gambaran dari kepercayaan Islam mengenai “dilahirkan kembali”, maka hal itu tidak benar, karena dalam ayat di bawah ini jelas, bahwa “kelahiran kembali” manusia dikendalikan oleh Allah swt. Allah berfirman:

“Dan Dialah yang memulai penciptaan kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (ar-Rum/30: 27).

Pandangan Islam tentang ilmu genetika, dapat dicontohkan dalam ayat di bawah:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fussilat/41: 53)

Ayat tersebut menjadi inspirasi manusia untuk berusaha “membaca” gennya sendiri. Ini dalam rangka usahanya untuk mengenali dirinya sendiri dan bersyukur kepada Allah swt. Dengan membaca pemetaan genetika, kita akan mengetahui mengenai antara lain, ada atau tidaknya penyakit turunan. Dengan demikian, ilmu ini akan memberikan kontribusi kepada kesehatan manusia dalam usahanya mencegah timbulnya penyakit tertentu dan cara penanggulangannya.

Akan tetapi, apabila dalam perjalanan pengungkapan ilmu pengetahuan, kemudian bercabang kepada sesuatu yang cenderung merugikan manusia, maka Islam akan menolaknya. Cloning manusia misalnya, Islam dengan tegas menolaknya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan mengenai alasan penolakan Islam terhadap cloning manusia, antara lain:

  1. Manusia diciptakan Allah dalam bentuknya yang paling sempurna, dan lebih tinggi dari mahluk lainnya. Ayat di bawah ini mengatakan demikian:

“Dan sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas banyak dari mahluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (al-Isra’/17: 70)

Dengan melakukan cloning pada dirinya sendiri, maka manusia sudah merendahkan dirinya sendiri di depan mahluk ciptaan Allah lainnya. Semuanya kembali terserah kepada diri kita sendiri.

2. Cloning bertentangan dengan keanekaragaman ciptaan. Allah menciptakan alam semesta dengan dasar keanekaragaman. Sedangkan cloning manusia didasarkan pada keseragaman dengan cara menduplikasi semua karakter dari manusia yang menjadi donor. Keseragaman, misalnya dalam rupa dan fisik, akan sangat mengganggu kegiatan hidup sehari-hari. Misal, dalam satu kelas, semua muridnya adalah hasil cloning dari individu yang sama. Apabila salah satu murid melakukan kesalahan, sangat sulit bagi si guru untuk menciri mana anak yang salah, karena rupa dan fisik semua murid persis sama.

3. Apabila cloning manusia diijinkan, bagaimana kita harus mengatur hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antara individu hasil cloning dengan individu donor. Apakah keduanya dapat disebutkan sebagai adik-kakak, atau anak-ayah, atau mereka berdua adalah dirinya sendiri? Situasi ini akan sangat membingungkan semua orang. Bahkan mungkin saja situasi ini akan menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada saat ini.

4. Cloning bertentangan dengan pola hukum alam yang menyatakan bahwa setiap ciptaan terdiri atas pasangan-pasangan sebagaimana diuraikan pada Surah az-Zariyat/51 ayat 49 (“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengerti.”). Cloning mengingkari ayat ini, karena bayi tidak dihasilkan dari pertemuan sperma dan indung telur. Yang diperlukan dalam cloning hanyalah satu orang (apakah laki-laki atau perempuan saja) sebagai donor.

5. Hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak akan terjadi. Sedangkan hubungan ini sangat penting dalam membentuk karakter si anak.

Dari sedikit daftar di atas, dapat dilihat bahwa terlalu banyak hukum alam yang akan dilanggar apabila cloning manusia diijinkan. Masih banyak ilmu pengetahuan lain yang perlu diungkapkan guna mendukung kesejahteraan perikehidupan manusia.

Demikianlah penggambaran kodrat Allah serta kepastian kehendak-Nya. Gambaran tentang kecepatan terwujudnya apa yang dikehendaki oleh Allah tanpa batas waktu dan tanpa ada faktor penyebab, diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَمَآ اَمْرُنَآ اِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ ۢبِالْبَصَرِ  

Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.(al-Qamar/54: 50)

Apa yang diperintahkan pasti segera terjadi. Perintah seperti itu dinamai perintah takw³n. Orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah, tidak membenarkan Isa dilahirkan dengan tidak berayah, karena pikiran mereka hanya terbatas kepada kejadian-kejadian yang biasa saja.

Mereka tidak menyadari bagaimana terjadinya alam semesta ini, sedang mereka pun tidak mempunyai suatu dalil ‘aqli yang memustahilkan kejadian seorang anak tanpa ayah. Setiap hari kita menyaksikan kejadian-kejadian yang luar biasa yang disangka tidak mungkin terjadi. Ada di antaranya yang mempunyai sebab yang sudah diketahui, lalu dinamai penemuan baru. Ada pula yang tidak diketahui sebab-sebabnya lalu dinamai penyimpangan alam dari hukumnya.

Orang mukmin berkeyakinan bahwa sesuatu yang terjadi tidak menurut sebab yang biasa, membuktikan kekuasaan Allah dan bahwa sebab-sebab bagi terjadinya sesuatu tidak selamanya harus sesuai dengan pertimbangan akal. Generasi sekarang telah melihat dan menyaksikan adanya kejadian-kejadian yang aneh dan luar biasa. Hal seperti itu jika dilihat oleh orang-orang dahulu, tentulah mereka akan menganggapnya sebagai suatu perbuatan sihir, atau perbuatan jin. Mereka itu tidak berusaha mencari alasan dalam mengingkari sesuatu kejadian yang ia sendiri belum mengetahui sebab-sebabnya.

Para filosof dan ilmuwan zaman sekarang menetapkan bahwa mungkin terjadi suatu binatang lahir dari sesuatu yang bukan binatang. Maka kalau demikian halnya, jika ada seekor binatang lahir dari seekor binatang lain yang berbeda macamnya, adalah sangat mungkin dan masuk akal.

(Tafsir Kemenag)

Perbedaan Makna Kata Birr dan Ihsan

0
Hakikat Makna Kata Birr
Hakikat Makna Kata Birr credit: mbvssghsd.wordpress.com

Kata Ihsan dan kata Birr memiliki makna yang sangat dekat satu sama lain antara keduanya. Hanya saja kata Ihsan memiliki makna yang lebih sempit daripada makna kata Birr. Dilihat dari penggunaannya di dalam Alquran maupun hadis Rasulullah saw, kata Ihsan mengandung arti kebaikan yang lebih dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap makhluk Allah atau terhadap Tuhannya pada waktu tertentu, tidak dilakukan secara terus menerus.

Ihsan terhadap dirinya dilakukan oleh seseorang apabila dia memberikan kebaikan yang lebih bagi dirinya dalam segala hal. Seperti dia memberikan hak yang lebih bagi dirinya, dalam makanan, minuman, atau istirahatnya. Ihsan seseorang terhadap orang lain ialah kebaikan yang lebih yang diberikannya kepada orang lain dalam berbagai hal. Misalnya memberikan ongkos/upah yang lebih dari pada ongkos/upah yang seharusnya diberikan kepada orang lain.

Ihsan seseorang kepada makhluk Allah ialah memberikan kebaikan yang lebih kepada makhluk-makhluk Allah yang ada di sekitarnya, seperti memberikan hak hidup yang sesuai dengan kudratnya. Ihsan seseorang terhadap Tuhannya ialah kebaikan yang lebih yang dilakukan oleh seseorang lebih dari hal-hal yang diwajibkan oleh Allah swt kepadanya, seperti berzikir (dzikrullah), bertasbih, dan bertahmid kepada-Nya.

Adapun kata Birr dalam konteks penggunaannya menunjukkan arti “kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa mengenal waktu dan tempat.” Kebaikan dalam bentuk Birr itu dapat dilakukan oleh seseorang kepada sesamanya, dan dapat pula dilakukan oleh Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya. Yang menjadi inti dalam kata “birr” itu adalah kebaikan yang secara terus-menerus terjadi atau dilakukan tanpa batas waktu dan tempat.

Birr atau kebaikan yang dilakukan seseorang terhadap kedua orang tuanya adalah kebaikan yang terus-menerus, tanpa batas waktu dan tempat, dilakukan oleh seseorang terhadap kedua orang tuanya. Seorang anak harus melakukan Birr (kebaikan) terhadap kedua orang tuanya, baik pada saat kedua orang tuanya berkemampuan maupun pada saat mereka tidak berkemampuan, baik pada saat mereka masih sehat mapupun pada saat mereka sakit, baik pada saat mereka masih hidup maupun setelah mereka meninggal dunia.

Birr (kebaikan) seorang anak terhadap kedua orang tuanya tidak ada batas waktu dan tempat. Bukanlah sebuah Birr (kebaikan) bagi seorang anak, jika terbatas oleh suatu waktu atau tempat. Kebaikan seorang anak yang terbatas dengan waktu dan tempat disebut Ihsan.

Birr itu juga dilakukan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya dan semua makhluk-Nya, tanpa kecuali. Di dunia ini Allah memberikan “birr”-Nya kepada semua manusia tanpa membedakan status dan kedudukan mereka. Allah senantiasa memberi “birr”-Nya kepada semua manusia, yang beriman maupun yang kafir, yang taat maupun yang maksiat kepada-Nya, yang dekat kepada-Nya maupun yang jauh daripada-Nya, yang kuat maupun yang lemah.

Allah juga memberikan “birr”-Nya kepada orang yang beriman dan beramal saleh kepada-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah memberikan hukuman (azab) kepada orang kafir di akhirat kelak karena manusia tidak membalas kebaikan (“birr”) yang telah diberikan Allah kepada-Nya.

“Birr” (kebaikan) Allah tidak hanya terbatas kepada umat manusia, tetapi juga kebaikan Allah dalam bentuk “birr” itu juga diberikan Allah kepada seluruh makhluk-Nya yang ada di bumi ini, merasa kepada semua makhluk-Nya, baik makhluk-Nya yang ada di darat maupun yang ada di laut, baik yang ada di permukaan bumi maupun yang ada di langit, baik kepada hewan maupun kepadfa tumbuh-tumbuhan.

Semua makhluk Allah, baik manusia maupun manusia, mendapatkan kebaikan (“birr”) dari Allah tanpa batas waktu dan tempat. Oleh sebab itulah, maka Allah disebut al-BarrU (الْبَرُّ), yang berarti “Allah yang Maha Memberi kebaikan yang terbatas kepada semua makhluk-Nya).

Demikian perbedaan makna antara kata Ihsan dan kata Birr. Semoga uraian ini dapat menambah wawasan kita. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 45-46

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 45

Di dalam ayat ini Allah mengingatkan Nabi Muhammad, terhadap cerita Maryam di kala Jibril datang kepadanya, membawa kabar gembira kepadanya bahwa dia akan melahirkan seorang putra yang saleh. Ketika Jibril menyampaikan kabar gembira itu Allah telah memilihnya, menyucikannya untuk tetap beribadah kepada Allah dan selalu bersyukur kepada-Nya. Yang dimaksud dengan malaikat di sini ialah Jibril, sebagaimana di dalam firman Allah:

فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُوْنِهِمْ حِجَابًاۗ فَاَرْسَلْنَآ اِلَيْهَا رُوْحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا 

“… lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.” (Maryam/19: 17)

Isa disebut dengan “kalimat Allah”, sebagai pemberitahuan tentang proses penciptaannya yang berlainan dengan kejadian manusia biasa. Isa a.s. dinamai al-Masih, sedang Almasih itu adalah gelar raja, karena kata Almasih dalam Taurat dan Injil berarti “yang disapu atau yang diminyaki”.

Menyapu dan meminyaki itu adalah suatu ketentuan dalam adat istiadat mereka bahwa siapa yang telah disapu dengan minyak suci oleh kepala agama, maka dia sudah menjadi suci pula, cakap untuk memegang kerajaan, memiliki ilmu pengetahuan dan kekuasaan, lagi mendapat berkah. Di sini Allah, menunjukkan bahwa Isa, senantiasa mendapat berkah walaupun belum pernah disapu dengan minyak suci itu.

Ada pula yang mengatakan bahwa nama Isa berasal dari kata Yunani “yasu”, artinya “yang diselamatkan yang terpilih”. Para nabi dahulu telah menerangkan bahwa akan datang seorang al-Masih, dia seorang raja yang akan mengembalikan kekuasaan Bani Israil yang telah hilang.

Maka ketika Isa lahir dan dinamai al-Masih, segolongan mereka beriman kepadanya. Orang-orang Yahudi yang mengingkarinya berpendapat bahwa yang dijanjikan itu belum datang. Dia dinamakan Ibnu Maryam (putra Maryam) untuk memberi pengertian bahwa Isa lahir tanpa ayah karena itulah ia dinisbatkan kepada ibunya.

Isa a.s. mempunyai kedudukan yang terkemuka di dunia, karena dia mendapat tempat di hati orang-orang mukmin serta dihormati.

Perbaikan-perbaikan yang ditinggalkan Isa tetap membekas di kemudian hari. Kebesarannya jauh lebih nyata daripada kebesaran para penguasa atau raja-raja sebab orang-orang menghormati para penguasa dan raja itu adalah untuk menghindarkan diri dari penyiksaan mereka, karena takut terhadap kezaliman mereka, atau untuk mengambil muka agar diberi kedudukan duniawi.

Kebesaran yang demikian ini adalah kemegahan semu belaka, tanpa ada bekasnya sedikit pun di dalam jiwa, bahkan mungkin menimbulkan kebencian. Selain dari itu, Isa mempunyai kebesaran di akhirat, yaitu kedudukan dan kemuliaan yang tinggi, karena beliau senantiasa dekat kepada Allah.

Ayat 46

Isa telah berbicara dengan manusia ketika masih kecil dalam ayunannya untuk menjelaskan kebersihan ibunya dari tuduhan yang dilemparkan kepadanya, dan untuk menjadi bukti atas kenabiannya. Isa juga berbicara dengan manusia ketika dia sudah dewasa yakni sesudah Allah mengangkatnya menjadi rasul dan menurunkan wahyu kepadanya, untuk menyampaikan perintah dan larangan-larangan-Nya kepada manusia.

Beliau tergolong ke dalam orang-orang yang saleh yang telah diberi nikmat oleh Allah yakni para nabi-nabi, para sidiqin dan para syuhada’.

(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 41-44

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 41

Setelah Zakaria mendengar jawaban itu dari Malaikat Jibril maka dia berkata, “Tuhanku berilah aku suatu tanda bahwa istriku akan hamil”.

Menurut al-Hasan al-Basri, Nabi Zakaria bertanya demikian adalah untuk segera memperoleh kegembiraan hatinya atau untuk menyambut nikmat dengan syukur, tanpa menunggu sampai anak itu lahir.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa tanda istrinya sudah mengandung adalah dia sendiri tidak berbicara dengan orang lain selama tiga hari, kecuali dengan mempergunakan isyarat tangan, kepala dan lain-lainnya, dan beliau berzikir dan bertasbih kepada Allah. Allah menyuruh Zakaria tidak berbicara selama tiga hari, agar seluruh waktunya digunakan untuk zikir dan bertasbih kepada-Nya, sebagai pernyataan syukur yang hakiki.

Menurut al-Qurtubi, sebagian mufasir mengatakan bahwa tiga hari Zakaria menjadi bisu itu adalah sebagai hukuman Allah terhadapnya, karena dia meminta pertanda kepada malaikat sehabis percakapan mereka.

Di akhir ayat ini Allah memerintahkan kepada Zakaria agar tetap ingat kepada Allah dan berzikir sebanyak-banyaknya pada waktu pagi dan petang hari, sebagai tanda syukur kepada-Nya.

Ayat 42

Ayat ini kembali menceritakan keluarga Imran, sesudah ayat yang lalu menceritakan hal ihwal keluarga Zakaria yang juga termasuk keluarga Imran. Dalam ayat ini Allah mengingatkan Nabi Muhammad saw, tentang peristiwa yang dialami oleh Maryam ketika dia didatangi oleh Malaikat Jibril (Maryam/19: 19-21). Pembicaraan Jibril dan Maryam di sini bukanlah seperti pembicaraan Jibril dengan nabi-nabi, yang merupakan penyampaian wahyu Allah kepada mereka melainkan sebagai pembicaraan malaikat dengan wali-wali Allah, yang berupa ilham.

Ungkapan rasa syukur Maryam kepada Allah dengan ibadah dan ketaatannya yang tidak putus-putusnya, menambah terpeliharanya kemuliaan dan kesempurnaan diri pribadinya, serta menambah jauhnya dari segala sifat yang tidak baik. Karena itu wajar bila Maryam memperoleh ilham dari Allah melalui Jibril sebagai penghormatan atas dirinya.

Jibril menandaskan bahwa Allah telah memilih Maryam untuk berkhidmat di Baitulmakdis, dan membersihkan dia dari keaiban lahir dan batin, serta menentukannya untuk melahirkan seorang nabi meskipun dia tidak pernah dijamah oleh seorang lelaki. Allah mengistimewakan Maryam atas semua perempuan di masanya. Sabda Rasul saw:

خَيْرُ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ اَرْبَعٌ: مَرْيَمُ وَاٰسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَخَدِيْجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدْ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ

(رواه البخاري ومسلم عن هشام بن حاكم)

Perempuan terbaik di dunia ini adalah empat orang: Maryam binti Imran, Asiyah istri Fir’aun, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Hisyam bin Hakim)

Ayat 43

Allah mewajibkan kepada Maryam untuk taat kepada-Nya sebagai tanda syukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya, dengan firman-Nya yang artinya, “Taatilah hai Maryam Tuhanmu, bersujudlah, dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku”’. Yang dimaksud dengan “sujud” di sini adalah sujud seperti sujud dalam salat dan dimaksudkan dengan “ruku” ialah salat itu sendiri. Ayat ini memerintahkan kepada Maryam agar melakukan salat berjamaah bersama-sama orang lain.

Salat menurut pengertian orang Yahudi waktu itu ialah: doa atau bersujud. Sujud dengan meletakkan dahi ke tanah atau ke lantai itu salat mereka, semua ibadah yang dilakukan Maryam bertempat di mihrab.

Ayat 44

Ayat ini ditutup dengan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad bahwa cerita itu termasuk cerita yang belum diketahuinya, sedang hal itu sesuai dengan isi Kitab Taurat.

Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa apa yang telah dikisahkan, yaitu kisah Maryam dan Zakaria adalah kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi Muhammad saw, atau keluarganya, dan tidak pula Muhammad pernah membacanya dalam suatu kitab, serta tidak pula diajarkan oleh seorang guru. Itulah wahyu, yang diturunkan Allah kepadanya dengan perantara Ruhul-Amin, untuk menjadi bukti atas kebenaran kenabiannya, dan untuk mematahkan hujjah (argumentasi) orang yang mengingkarinya.

Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Nabi Muhammad, belum ada dan tentu saja tidak menyaksikan mereka ketika mengadakan undian di antara Zakaria dengan mereka, untuk menetapkan siapa yang akan mengasuh Maryam.

Nabi Muhammad saw tidak hadir dalam perselisihan mereka untuk mengasuh Maryam. Mereka terpaksa mengadakan undian untuk menyelesai-kan perselisihan itu. Mereka yang berselisih adalah orang-orang terkemuka yakni para pendeta mereka. Perselisihan itu semata-mata didorong oleh keinginan yang besar untuk mengasuh dan memelihara Maryam. Boleh jadi keinginan ini disebabkan karena bapaknya yaitu Imran adalah pemimpin mereka, sehingga mereka mengharapkan akan mendapatkan berkah dari tugas mengasuh Maryam.

Boleh jadi pula disebabkan mereka mengetahui dalam kitab-kitab agama, bahwasanya kelak akan terjadi peristiwa besar bagi Maryam dan putranya. Atau mungkin disebabkan mereka berpendapat bahwa mengasuh bayi perempuan itu adalah suatu kewajiban agama, karena bayi itu dinazarkan untuk mengabdi di Baitulmakdis.

Ayat ini diletakkan sesudah menerangkan kisah Maryam tersebut, adalah untuk menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membaca cerita keluarga Imran (Bani Israil), karena beliau seorang ummiLagi pula beliau tidak pernah mendengar dari seseorang sebab beliau juga hidup waktu itu di tengah-tengah orang yang ummi.

Tidak ada jalan bagi Nabi, untuk mengetahui seluk beluk cerita ini kecuali dengan jalan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, atau dengan jalan wahyu. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri adalah suatu hal yang mustahil, karena peristiwa itu terjadi pada zaman sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. Kalau demikian tentulah Nabi Muhammad mengetahuinya dengan jalan wahyu.

Para Ahli Kitab yang mengingkari Alquran mengatakan bahwa isi Alquran yang sesuai dengan isi Kitab mereka itu adalah berasal dari kitab mereka, sedang yang bertentangan dengan isi kitab mereka itu mereka katakan tidak benar. Isi Alquran yang tidak terdapat dalam Kitab mereka juga dianggap tidak benar. Sikap demikian itu hanyalah karena sifat sombong dan sifat permusuhan mereka.

Kaum Muslimin meyakini bahwa segala yang diterangkan Alquran adalah benar. Karena cukup dalil-dalil yang membuktikan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi. Ayat Alquran yang bertentangan dengan kitab-kitab terdahulu dipandang sebagai koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang terdapat pada kitab-kitab itu, karena sudah diubah-ubah atau tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan umat.

(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 36-40

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 36

Ayat ini menegaskan kemuliaan putri yang dilahirkan, dan menolak persangkaan bahwa bayi perempuan yang dilahirkan lebih rendah martabatnya daripada bayi laki-laki seperti yang diharapkan oleh istri Imran.

Setelah istri Imran menyadari kenyataan anaknya itu perempuan, dan meyakini adanya hikmah dan rahasia di balik kenyataan ini, maka dia menyatakan bahwa bayi itu akan diberi nama Maryam. Dia tidak akan menarik kembali apa yang telah dinazarkan untuk menyerahkan anaknya berkhidmat di Baitulmakdis, walaupun bayi itu perempuan dan menurut anggapannya tidak pantas untuk menjaga Baitulmakdis, namun dia akan menjadi seorang abdi Tuhan yang khusyuk.

Istri Imran memohon agar Allah menjaga dan melindungi bayinya dari godaan setan yang mungkin menjauhkannya dari kebajikan. Mengenai hal ini, Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:

كُلُّ بَنِيْ اٰدَمَ يَمَسُّهُ الشَّيْطَانُ يَوْمَ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ اِلاَّ مَرْيَمَ وَابْنَهَا

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Tiap-tiap anak cucu Adam yang dilahirkan dijamah oleh setan pada waktu kelahirannya kecuali Maryam dan putranya”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Ayat 37

Allah menerima Maryam sebagai nazar disebabkan permohonan ibunya. Allah meridainya untuk menjadi orang yang semata-mata beribadah dan barkhidmat di Baitulmakdis walaupun Maryam masih kecil dan hanya seorang perempuan. Padahal orang yang dikhususkan untuk berkhidmat di Baitulmakdis biasanya laki-laki yang akil balig dan sanggup melaksanakan pengkhidmatan. Allah juga memelihara dan mendidiknya serta mem-besarkannya dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan yang diberikan Allah kepada Maryam, meliputi pendidikan rohani dan jasmani. Maka dia menjadi orang yang berbadan sehat dan kuat serta berbudi baik, bersih rohani dan jasmaninya. Allah telah pula menjadikan Nabi Zakaria sebagai pengasuh dan pelindungnya.

Diriwayatkan bahwa ibunya menjemput dan membawanya ke masjid, lalu meletakkannya di depan rahib-rahib yang ada di sana. Dia berkata, “Ambillah olehmu anak yang kunazarkan ini”. Maka mereka saling memperebutkan bayi itu, karena dia adalah putri dari pemimpin mereka. Masing-masing ingin menjadi pengasuhnya. Nabi Zakaria kemudian berkata, “Aku lebih berhak mengasuhnya, karena bibinya adalah istriku”. Tetapi mereka menolak kecuali jika ditentukan dengan undian.

Maka pergilah mereka ke sungai Yordan, melepaskan anak panah mereka masing-masing ke sungai, dengan maksud siapa yang anak panahnya dapat bertahan terhadap arus air sungai dan dapat cepat naik, maka dialah yang berhak mengasuh bayi Maryam. Ternyata kemudian anak panah Nabi Zakarialah yang dapat bertahan dan timbul meluncur di permukaan air, sedang anak panah yang lainnya hanyut tenggelam dibawa arus. Maka dalam undian itu, Nabi Zakaria yang menang dan Maryam segera diserahkan kepadanya untuk dipelihara dan dididik di bawah asuhan bibinya sendiri.

Manakala Maryam sudah mulai dewasa, dia telah mulai beribadah di mihrab. Tiap kali Nabi Zakaria masuk ke dalam mihrab, ia dapati di sana makanan dan bermacam buah-buahan yang tidak ada pada waktu itu karena belum datang musimnya. Zakaria pernah menanyakan kepada Maryam tentang buah-buahan itu dari mana dia peroleh padahal saat itu musim kemarau. Maka Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.”

Kisah tersebut dikemukakan untuk meneguhkan kenabian Muhammad saw, dan mengalihkan pikiran Ahli Kitab yang membatasi karunia kenabian pada keturunan Bani Israil saja. Juga untuk mengoreksi pendapat orang musyrik Arab yang menolak kenabian Muhammad saw. karena menganggap dia hanya manusia seperti mereka.

Allah telah menjadikan Adam sebagai orang pilihan dan khalifah di atas bumi, serta menjadikan Nuh sebagai orang pilihan dan bapak yang kedua dari umat manusia dan kemudian memilih Ibrahim serta keluarganya untuk menjadi manusia pilihan dan pembimbing manusia.

Orang Arab dan para Ahli Kitab mengetahui hal itu, tetapi orang musyrik Arab menyombongkan diri sebagai keturunan Ismail dan pemeluk agama Ibrahim, dan Ahli Kitab menyombongkan diri atas terpilihnya keluarga Imran dari keturunan Bani Israil cucu Nabi Ibrahim. Banyak orang Arab maupun ahli Kitab mengetahui bahwa Allah telah memilih mereka semata-mata hanyalah atas kehendak-Nya, sebagai karunia dan kemurahan-Nya.

Maka apakah yang menghalangi Allah untuk menjadikan Muhammad orang pilihan di atas bumi ini, sebagaimana Allah memilih mereka juga? Allah memilih siapa pun yang Dia kehendaki di antara makhluk-Nya. Allah telah memilih Muhammad saw serta menjadikannya sebagai pemimpin bagi umat manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik, dan kebodohan, kepada cahaya kebenaran dan keimanan. Tidak seorang pun dari keluarga Ibrahim dan Imran lebih besar pengaruhnya daripada Muhammad saw.

Ayat 38

Pada ayat yang lalu telah diceritakan perihal keluarga Imran, maka pada ayat ini dipaparkan cerita seputar keluarga Zakaria, di antara keduanya terjalin hubungan yang sangat erat, dalam rangka mengemukakan keutamaan keluarga Imran. Tatkala Zakaria melihat kemuliaan dan martabat yang begitu tinggi pada Maryam di hadapan Allah, timbullah keinginannya untuk mempunyai seorang anak serupa dengan Maryam dalam kecerdasan dan kemuliaannya di sisi Allah.

Walaupun Zakaria mengetahui bahwa istrinya adalah seorang perempuan yang mandul dan sudah tua, namun dia tetap mengharapkan anugerah dari Allah. Di dalam mihrab tempat Maryam beribadah, Zakaria memanjatkan doa kepada Allah, semoga Dia berkenan menganugerahkan kepadanya seorang keturunan yang saleh, dan taat mengabdi kepada Allah. Doa yang timbul dari lubuk hati yang tulus dan penuh kepercayaan kepada kasih sayang Allah yang Maha Mendengar dan memperkenankan segala doa, maka segera doanya dikabulkan Allah.

Ayat 39

Ketika Zakaria masih berdiri di mihrab, dan baru selesai berdoa, datanglah kepadanya Malaikat Jibril memberitahukan bahwa Allah akan menganugerahkan kepadanya seorang anak laki-laki bernama Yahya.

Yahya kelak yang akan membenarkan nabi yang diciptakan oleh Allah, yang lahir tidak seperti bayi-bayi yang lain, dengan melalui ibu dan bapak, yaitu Nabi Isa. Yahya adalah seorang nabi yang memimpin kaumnya ke arah kemuliaan dan kebahagiaan. Nabi yang menjauhkan dirinya dari nafsu dan syahwat, karena semata-mata mengabdi kepada Allah. Dia adalah seorang nabi yang lahir dari keturunan yang mulia yakni nabi-nabi ¡alaw±tull±hi ‘alaihim.

Diriwayatkan bahwa Nabi Yahya sewaktu masih kanak-kanak, pernah berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengajaknya bermain. Beliau berkata, “Aku diciptakan bukan untuk bermain-main”.

Ayat 40

Setelah Zakaria yakin akan kebenaran kabar gembira itu, mulailah dia merasa heran terhadap kemungkinan kelahiran anak dari dirinya yang sudah tua. Meluncurlah kata-kata dari lidahnya, “Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku akan mendapat anak laki-laki, sedang umurku sudah tua dan istrikupun mandul”.

Allah berfirman dan firman-Nya disampaikan oleh malaikat, “Demikianlah Allah melaksanakan apa-apa yang Dia kehendaki. Apabila Allah menghendaki sesuatu, Allah mengadakan sebabnya atau Dia menjadikannya dengan tidak melalui sebab-sebab yang biasa. Tidak ada suatupun terjadi tanpa kehendak-Nya. Segala perkara terletak pada kekuasaan-Nya. Tidak patut pertanyaan tentang bagaimana caranya Allah menjadikannya, karena pikiran manusia tidak akan dapat mengetahuinya.

Perintah untuk Berdamai dalam Perspektif Al Quran

0
garuda di genggaman

Strategi untuk mempertahankan keutuhan negara, salah satunya adalah dengan menumbuhkan nuansa kedamaian antar masyarakat. Oleh karenanya, pada setiap konflik, baik perang atau tindakan anarkis lainnya, jalan perdamaian harus diupayakan. Mengenai hal ini, Allah telah berfirman dalam QS. Al-Anfal ayat 61:

وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Anfal (8) : 61)

Menurut Imam Ismail Ibnu Kathir ayat di atas menerangkan bahwa jika dalam suatu pertempuran, salah satu pihak ingin mengajukan damai atau gencatan senjata, maka harus menerima hal tersebut.

Redaksi al-Silm pada ayat di atas memiliki makna keselamatan (al-Musalamah) dan perbaikan (al-Mushalahah). Ayat ini berkaitan erat dengan peristiwa Hudaybiyah ketika terjadi perundingan antara kaum Muslim dengan kaum Quraisy yang terjadi di Hudaybiyah. Kaum Quraisy meminta kepada Rasulullah Saw. untuk melakukan gencatan senjata juga berdamai selama 6 tahun.

Walaupun isi perjanjian tersebut merugikan kaum Muslim, namun Rasulullah Saw. tetap mematuhi isi perjanjian tersebut demi kemaslahatan umat. Masih menurut Ibnu Kathir dengan mengutip pendapat ‘Abd Allah bin Abbas, Mujahid, Zayd ibn Aslam dan Qatadah bahwa ayat di atas telah dinasakh (dibatalkan) dengan ayat lain sebagai berikut:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Surat At-Taubah ayat 29)

Keberadaan ayat tersebut dikarenakan pada surat At-Taubah terdapat perintah untuk memerangi orang-orang kafir yang telah memerangi Rasulullah Saw. Akan tetapi, jika musuh meminta damai sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Hudaybiyah, maka kaum Muslim harus menerima tawaran tersebut. (Ismail ibn Kathir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Jilid 4, hal. 84)

Akan tetapi menurut Imam al-Mawardi  mengutip pendapat al-Hasan, Qatadah dan bin Zayd bahwa secara umum surat Al-Anfal ayat 61 ini telah dinasakh dengan surat At-Taubah ayat 5 sebagai berikut

فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”(QS. At-Taubah ayat 5)

Kemudian masih menurut Imam al-Mawardi, ayat 61 ini dikhususkan bagi Ahlul Kitab yang melaksanakan pembayaran jizyah. Maksudnya, kaum Non-Muslim tersebut menginginkan hidup damai dengan kaum Muslim, sehingga jaminannya dengan membayar pajak atau jizyah terhadap penguasa Muslim.

Selain itu, ayat di atas menjelaskan jika ada sekelompok yang memerangi Islam, lalu musuh menyerah juga meminta damai, maka harus diterima. Apalagi musuh tersebut menyatakan diri masuk Islam, maka tidak boleh diperangi meskipun hanya secara lahiriah saja. (‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi, an-Nukat wal ‘Uyun Tafsiril Mawardi, Juz 2, Hal. 331)

Pada redaksi selanjutnya terdapata redaksi Wa Tawakkal ‘Ala Allah (Dan bertawakallah kepada Allah) menurut Imam Ibn Jarir al-Tabari bahwa hal tersebut merupakan perintah kepada Nabi Muhammad Saw.. untuk menyerahkan semua urusan kepada Allah Swt. Dialah dzat yang Maha agung yang melindungi hamba-Nya dari hal berbahaya.

Penutup ayat terdapat redaksi Innahu Huwa as-Sami’ al-‘Alim (Sungguh Dia maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Redaksi ini memiliki maksud bahwa Allah Swt. Maha Mendengar apa yang diucapkan oleh Hamba-Nya baik secara lahir maupun batin. Begitu juga jika dikaitkan dalam konteks perang. Ketika musuh meminta untuk mengadakan perjanjian damai, bisa saja secara lahir mereka menerima perdamaian, namun secara batin tidak dapat diketahui oleh manusia dan hanya Allah lah yang Maha mengetahui pikiran dan isi hati manusia. Maka disinilah maksud dari redaksi al-‘Alim atau yang Maha Mengetahui khususnya sesuatu yang tersembunyi. (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta`wilil Ayil Qur`an, Jilid 4, Hal. 60-61)

Dengan demikian Allah Swt. mengajarkan kepada kita agar menyerukan perdamaian dalam konteks perang. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Perang hanyalah sarana penghancur peradaban dan kehidupan, maka perdamaian merupakan langkah utama dalam membangun kehidupan. Wallahu a’lam.

Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran….

0
Saya tidak ingin berkata bahwa apa yang saya sampaikan ini nasihat dari saya, kita mestinya saling nasihat menasihati, tetapi juga apa yang saya sampaikan ini adalah nasihat dari para pakar, orang tua kita dalam konteks Alquran.
Kepada semua yang ingin mempelajari Alquran…

Pertama, hormatilah Alquran. Menghormatinya karena dia kalamullah, dia firman-firman Allah. Ketika membacanya kita dituntut untuk Nastanthiq al-Qur’an (minta Alquran yang berbicara). Ini berarti bahwa kita memohon agar Allah berbicara kepada kita. Seperti ungkapan ‘Kalau anda ingin berbicara dengan Allah, berdoalah. Siapa yang ingin Allah berbicara kepadanya, bacalah Alquran’. Jadi, hormati dia sebagai kalamullah.

Selanjutnya, hormati dia karena dia adalah Qur’an. Ada perbedaan pendapat ulama tentang asal kata Qur’an, pendapat yang populer mengatakan bahwa kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata قَرَأَ (membaca) yang diakhiri oleh alif dan nun, قُرْأنًا . Akhiran alif dan nun (dibaca –an) itu dalam bahasa Arab antara lain menunjukkan kesempurnaan. Demikian ini berarti Qur’an adalah bacaan yang sempurna. Sedemikian sempurnanya sehingga ia mudah dibaca, mudah dipahami bagi orang yang akan paham, mudah dipahami dan dapat dijangkau oleh semua orang, baik cerdik maupun biasa-biasa saja, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qamar وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ (Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?)

Dia adalah bacaan sempurna, karena itu dia dibaca oleh anak kecil dan orang tua, orang yang mengerti artinya maupun tidak mengerti artinya. Bahkan mereka yang membaca tanpa mengerti artinya itu biasanya lebih baik bacaannya daripada yang mengerti artinya. Bacaan sempurna, karena bisa dihafal dengan begitu mudah, dari belakang ke depan, dari depan ke belakang, dan juga dihitung huruf-hurufnya.

Tidak ada bacaan yang sesempurna itu. Tidak ada satu bacaan yang diatur tata cara membacanya melalui satu ilmu khusus yaitu ilmu tajwid. Tidak ada satu bacaan yang ditafsirkan maknanya, dikemukakan kesan-kesan yang ditimbulkannya seperti al-Qur’an. Ini adalah bacaan sempurna, yang terpelihara, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga terpelihara dalam berbagai bentuk, termasuk hafalan dari para penghafal. Jadi, agungkan dia karena dia kalamullah dan karena dia Qur’an.

Karena dia kalamullah dan Qur’an, maka anggaplah dia turun kepada anda. Oleh karena itu, kalau ada kalimat pertanyaan maka jawablah, kalau ada kalimat yang mengandung permohonan, maka ikutlah bermohon, kalau memohon pada perlindungan, mohonlan perlindungan, hormatlah kepadanya, ada adab at-tilawah (adab membaca), dan sebagainya.

Kedua, Bersahabatlah dengan Alquran. Ketika membaca, ketika menafsirkan jangan menggerutu. Bersahabatlah, semakin bersahabat anda dengan Alquran, semakin banyak rahasianya yang akan disampaikan kepada anda, baik melalui pemikiran dan upaya anda maupun melalui pengilhaman Allah kepada anda. Seorang yang bersahabat dengan orang lain tidak akan segan menyampaikan rahasia-rahasianya. Dan kalau tidak bersahabat, ia tidak akan menyampaikan rahasianya. Jadi, kalau ingin memperoleh penafsiran yang baik dan benar, bersahabatlah!

Ketiga, Alquran adalah ma’dubatullah (hidangan Allah). Bermacam-macam hidangannya. Jangan bertengkar kalau ada seseorang yang mengambil kopi dan anda mengambil teh, selama itu terhidang. Hormati semua pendapat walaupun anda tidak sependapat dengan dia, selama dia mengambil dari hidangan ilahi.

Memang Alquran hammalatun lil wujuh, bisa melahirkan aneka pendapat yang kesemuanya bisa benar, karena itu jangan saling mempersalahkan walaupun anda berbeda penafsiran dengan orang lain selama penafsiran itu diambil dari teks-teks Alquran.

Oleh karena itu, hormati pendahulu. Boleh jadi anda berpikir bahwa pendapat mereka salah. Itu dari sisi tinjauan anda masa kini, tapi boleh jadi tinjauan masa lalu ketika para ulama itu hidup, pendapat atau penafsiran merekalah yang benar. Di sini ada uraian Abbas Mahmud Al Aqqad “memang seandainya mereka hidp di masa kita, boleh jadi mereka mengubah pendapatnya, karena ada perkembangan ilmu, adanya perbedaan budaya, tetapi kendati kita berbeda dengan mereka, mereka telah berjasa memberi tuntunan kepada masyarakatnya yang mengantar mereka melaksanakan tuntunan-tuntunan agama.” Jadi, hormatilah mereka.

Keempat, jangan menafsirkan Alquran dengan kira-kira, karena anda akan salah. Memang kita tidak bisa menafsirkan Alquran dan mengatakan bahwa penafsiran kita pasti benar. Ada yang pasti benar kalau argumentasi yang digunakan banyak yang mendukung. Seperti itu yang dikatakan Qat’iyy ad-dilalah (petunjuk kandungannya jelas), akan tetapi penafsiran pada umumnya masih dhanniy ad-dilalah (petunjuk tentang kandungannya masih belum jelas). Meskipun demikian, dhanniy di sini berbeda dengan kira-kira. Anda boleh menafsirkan Alquran, tetapi harus punya pijakan yang kuat walaupun belum sampai tingkat keyakinan. Tafsirkan Alquran berdasarkan dhan, bukan berdasarkan syak. Jangan malu berkata saya tidak tahu, karena orang yang lebih pandai dari saya dan anda, orang yang lebih pandai dari Imam Syafii dan Imam malik, lebih pandai dari At Tabari atau Ibnu Katsir tidak malu berkata saya tidak tahu. Sayyidina Umar RA. ketika membaca ayat وَفَاكِهَةً وَأَبًّا ia tidak tahu apa arti أَبًّا, maka ia berkata ‘sudah yang penting ini berbicara tentang anugerah Allah, saya tidak tahu, saya tidak akan menafsirkan.’

Kelima, kalau Alquran adalah ma’dubatullah, aneka makanan sudah tersedia di sana, maka jangan bawa makanan pribadi anda ke tengah hidangan Allah, akan tersinggung sang Tuan rumah. Maksudnya, jangan bawa ide anda untuk dibenarkan oleh Alquran, jangan paksakan ide anda dengan mengatas namakan Alquran, jangan mencari pembenaran dari Alquran terhadap ide-ide anda, tetapi carilah kebenaran itu melalui Alquran walau dengan mengorbankan pendapat anda, karena pendapat anda itu adalah pendapat yang belum didukung oleh firman-firman Allah.

(Pesan dan nasihat ini disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab pada acara launching website tafsiralquran.id) Semoga kita istiqamah menjalankan pesan dan nasihat beliau. Amin

Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

0
ilustrasi akibat ulah berkomentar tanpa ilmu (medanindonesia.com)

Pada dasarnya setiap manusia dilarang sembarangan berbicara dan berbuat sesuatu tanpa didasari ilmu dan kebenaran informasi. Tidak semua yang terdengar di telinga, terlintas di benak fikiran, dan semua yang sampai kepada kita harus kita terima. karena dalam retorika berbicara, termasuk etikanya adalah tidaklah semua yang diketahui itu harus disampaikan (sekalipun benar), dan setiap perkataan itu mempunyai maqam (tempat) masing-masing. Apalagi sesuatu yang tidak jelas kebenaranya.

Munculnya fenomena di tengah masyarakat, yakni maraknya orang-orang yang gercep men-share berita viral sekaligus memberi komentar di media sosial, yang mana tidak jarang komentar-komentar tersebut adalah komentar yang bukan bersumber dari ahlinya, sebetulnya hal itu hanya akan memperkeruh suasana saja.

Allah swt. telah berfirman di dalam QS. al-Israa’: [36]

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa terkait makna La Taqfu pada ayat di atas, sebagian ulama ahli ta’wil memaknainya: ‘janganlan berbicara sesuatu yang tidak kamu ketahui’. Sebagian lainnya mengartikan, ‘janganlah menuduh seseorang atas sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya.

Dan penduduk Kufah berpendapat bahwa asal kata القفو adalah القيافة،  yang mempunyai makna ‘mengikuti jejak’. Namun dari beberapa pendapat di atas, makna yang paling utama adalah yang pertama, karena makna tersebut yang sering dipakai oleh bangsa Arab. (Tafsir at-Thabari,  jilid 17 hlm. 448 )

Dalam menjelaskan ayat di atas al-Maraghi memberi komentar tentang pentingnya ayat tersebut  untuk dijadikan prinsip hidup:

وذلك دستور شامل لكثير من شؤون الحياة، ومن ثم قال المفسرون فيه أقوالا كثيرة

“Dan demikian adalah pedoman yang mencakup banyak aspek dalam kehidupan, maka dari itu para mufassir banyak memberikan pendapat-pendapatnya pada ayat ini”. (Tafsir al-Maraghi, jilid 15. Hlm. 45)

Apa Bahaya Berkomentar Tanpa Ilmu?

Pada Jumlah (susunan) kedua dari ayat di atas merupakan peringatan bagi siapa pun yang berbicara dan menyikapi sesuatu di luar batas pengetahuannya atau tanpa berdasar ilmu. Hal ini merupakan suatu kedzaliman yang tentu akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Yaitu pertanggungjawaban yang amat berat, karena sekecil apapun kejahatan akan dapat diketahui. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. al-Zalzalah [99]: 7-8).

Selain itu, menurut al-Ghazali, perselisihan di tengah masyarakat dipicu oleh banyaknya komentar-komentar orang yang bukan ahlinya. Akibanya dunia menjadi gaduh dan bising.

لأجل الجهال كثر الخلاف بين الناس لو سكت من لا يدري لقل الخلاف بين الخلق

“Karena orang-orang dungulah maka terjadi banyak kontroversi di antara manusia, seandainya orang-orang yang tidah berilmu berhenti bicara, niscaya akan berkurang pertentangan antar sesama.” (al-Ghazali, Faishal at-Tafriqah baina Islam wa Zandaah, hlm. 37)

Padahal sejatinya manusia berada dalam keterbatasan, dan mustahil menguasai semua bidang keilmuan. Seperti orang yang ahli bidang ekonomi belum tentu ahli pandai bidang kedokteran, orang yang ahli bidang politik belum tentu pandai bidang agama. Begitu pula sebaliknya.

Namun akhir-akhir ini sering dijumpai orang-orang yang mendadak ahli di semua permasalahan, karena semangat ekspresi yang tinggi, tapi tidak seimbang dengan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya. Lebih-lebih di era serba medsos saat ini, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk men-share dan berkomentar tanpa batatasan. Sehingga, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kesadaran diri sendiri akan kapasitas masing-masing.

Sebagai pengguna medsos, hendaknya kita berhati-hati ketika men-share dan mengomentari berita. Rasulullah saw. telah memberi label dusta kepada siapa pun yang menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya, karena bisa jadi informasi yang disampaikan hoax.

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع

“cukcuplah seseorang dikatakan pendusta bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar”. (HR. Muslim)

Tafsir Tarbawi: Beruntunglah Bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya

0
republika

Orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah swt sebagaimana yang dilukiskan dalam firman-Nya (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11). Dalam pengertian yang lebih luas, orang yang berilmu adalah mereka yang menjadi pakar di bidangnya.

Fenomena the death of expertise (matinya kepakaran) di era disrupsi teknologi menjadi hal yang tak terbantahkan. Karenanya Al-Qur’an menyoroti hal ini sebagaimana dalam firman-Nya di bawah ini (Q.S. al-Baqarah [2]: 5) dan Rasul saw pun telah mewanti-wanti bahwa suatu perkara jika tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Baqarah [2]: 5)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 5

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan kata ulaaika dengan al-muttashifuna bima taqaddama (orang-orang yang memiliki ciri-ciri terdahulu) yakni mereka yang beriman kepada hal yang gaib, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah swt, dan yakin adanya kehidupan akhirat.

Sedangkan redaksi ‘ala hudan dimaknai sebagai nur wa bayan wa bashirah (cahaya, bukti yang nyata dan penglihatan). Maksudnya adakah mereka yang mendapat cahaya kebenaran dan petunjuk dari Allah swt. Dan redaksi wa ulaika humul muflihun, dimaknai dengan mereka lah orang-orang yang beruntung di mana memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan.

Lain halnya dengan Ibnu Katsir, al-Qurthuby memiliki penafsiran berbeda. Ia mengkhususkan penafsiran pada redaksi muflihun di situ. Muflihun menurutnya berasal dari kata falah, bermakna syaqqun wa qath’un (membelah dan memotong). Sebab muflih (petani) membelah dan memotong tanah untuk bercocok tanam. Dalam konteks ayat ini, muflihun diartikan sebagai qad qatha’a al-masha’iba hatta naala mathulubuhu (memotong atau membelah kesukaran sehingga mendapatkan apa yang dicarinya).

Dalam Tafsir Jalalain misalnya, sifat muflihun (orang-orang yang beruntung) telah disebutkan pada ayat sebelumnya (Q.S. al-Baqarah ayat 3-4). Sedangkan mereka yang beruntung pada ayat ini adalah mereka yang mendapat surga dan selamat dari api neraka. Al-Baghawy menambahkan, bahwa kata hudan bermakna kebenaran, keterangan, dan hujjah yang nyata. Sedangkan al-muflihun berasal dari kata al-falah yang berarti al-baqa’ (kekal).

Artinya, mereka kekal dalam kenikmatan yang abadi. Adapun makna dasar al-falah adalah al-qath’u dan al-syaqqu, yang berarti putus atau pecah. Dari sini kemudian petani disebut sebagai al-falah karena petani selalu membelah tanah dan memotong semak belukar guna bercocok tanam.

Keberuntungan Bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya

Ayat di atas menyiratkan satu pesan yang sekaligus dapat dimaknai bahwa beruntung lah mereka yang menjadi pakar atau ahli di bidangnya. Menjadi pakar memang tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Ada beberapa tahapan yang harus ia tempuh untuk mendapat predikat sebagai seorang pakar yang mempunyai otoritas berbicara tentang suatu ilmu yang dikuasainya.

Di era disrupsi dan pandemi ini, kepakaran adalah menjadi hal yang urgent. Bagaimana tidak, misalnya dalam urusan wabah covid-19, dokter yang mempunyai otoritas untuk berbicara kesehatan sangat diperlukan dalam hal ini. Begitu pula ulama yang ‘alim sangat dibutuhkan untuk berbicara dan mendakwahkan kepada masyarakat dalam hal keagamaan.

Dalam hal ini saya ingin menyatakan, orang yang menjadi pakar dalam keilmuan tertentu, baik pakar kesehatan, ekonomi, pendidikan, olahraga dan lainnya itulah sesungguhnya yang disebut dalam ayat ini sebagai muflihun, orang-orang yang beruntung mendapat petunjuk dari-Nya, surga-Nya bersiap untuk menyambutnya kelak dan berbagai benefit lain yang ia dapatkan. Wallahu A’lam.