Beranda blog Halaman 547

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 56-60

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 56

Allah menerangkan bahwa orang-orang Yahudi yang mendustakan Nabi Muhammad akan disiksa dengan siksaan yang pedih baik di dunia maupun di akhirat.

Siksaan dunia yang akan menimpa mereka ialah, mereka akan dibunuh dan ditawan serta dikuasai oleh bangsa-bangsa lain. Sedang siksaan akhirat ialah siksaan Allah di hari pembalasan yang sangat pedih. Pada waktu itu mereka tidak akan mendapatkan pertolongan dari siapa pun.

Ayat 57

Allah, menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang yang melakukan amal saleh, adalah orang yang membenarkan Nabi Muhammad serta mengakui kenabiannya, mengakui Kitab yang dibawanya (Alquran), mengamalkan segala perintah Allah, serta meninggalkan semua larangan-Nya. Allah akan menyempurnakan pahala mereka, tanpa ada kekurangan sedikit pun.

Selanjutnya dijelaskan bahwa orang yang mempunyai sifat sebaliknya, berarti mereka telah menganiaya diri sendiri, mereka tidak dicintai Allah dan akan mendapat siksaan yang sangat pedih.

Ayat 58

Allah menerangkan bahwa berita yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, tentang Nabi Isa, Maryam, Zakaria dan putranya Yahya, dan kisah-kisah orang-orang kaum Hawariyµn dan orang Yahudi dari keturunan Israil, itulah kisah yang benar dan sebagai koreksi terhadap berbagai kepercayaan yang tersiar di kalangan Ahli Kitab pada waktu itu.

Dalam kisah ini terdapat berbagai macam teladan dan butir-butir hikmah yang sangat berharga, sehingga orang yang beriman dapat mengambil petunjuk daripadanya dan memahami syariat Allah serta prinsip-prinsip tentang kehidupan bermasyarakat.

Dalam kisah tersebut terdapat bukti-bukti yang nyata yang menolak pendapat utusan-utusan Nasrani dari penduduk Najran dan pendapat orang-orang Yahudi yang mendustakan risalah Muhammad, dan kebenaran agama yang dibawanya.

Ayat 59

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan kedatangan utusan Nasrani Najran yang berkata kepada Rasulullah saw, “Mengapa engkau mencela Nabi kami?” Rasulullah bersabda, ”Apakah yang telah saya katakan?” Mereka menjawab, “Engkau berkata bahwasanya Isa adalah seorang hamba Allah”. Nabi Muhammad bersabda, “Ya, benar dia adalah seorang hamba Allah, rasul dan kalimat-Nya yang telah disampaikan kepada Maryam, seorang perawan suci.”

Kemudian mereka menjadi marah dan berkata, “Pernahkah engkau melihat manusia dilahirkan tanpa ayah? Maka apabila engkau benar tunjukkanlah kepada kami contohnya.” Lalu Allah menurunkan ayat ini.

Pada ayat ini dijelaskan bahwa sebenarnya kejadian Isa yang menakjubkan itu adalah seperti penciptaan Adam, yang dijadikan dari tanah, keduanya diciptakan Allah dengan cara yang lain dari penciptaan manusia biasa. Segi persamaan itu ialah Isa diciptakan tanpa ayah, dan Adam diciptakan tanpa ayah dan tanpa ibu.

Keingkaran orang terhadap kejadian Isa tanpa ayah, sedang ia mengakui kejadian Adam tanpa ibu dan bapak, termasuk sesuatu yang bertentangan dengan logika.

Allah menciptakan Adam sebagai manusia dengan memberi roh ke dalam jasadnya, semata-mata karena kehendak-Nya dan bila Allah berfirman: “Jadilah maka jadilah ia.” (Ali Imran/3: 59) pada ayat yang lain Allah berfirman :

 ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَ

… Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. … (al-Mu′minun/23: 14).

  

Ayat di atas (59) merupakan satu rangkaian dengan dua ayat berikutnya, turun pada tahun perutusan, tahun ke-10 Hijri.

Ayat 60

Dimaksud dengan “Itulah yang benar yang datang dari Tuhan” ialah bahwa apa yang telah diberitakan Allah kepada Muhammad saw, tentang Nabi Isa dan Maryam itulah yang benar bukan apa yang telah dikatakan oleh orang-orang Nasrani bahwa Al-Masih adalah putra Tuhan; dan bukan pula seperti anggapan orang-orang Yahudi bahwa Nabi Isa itu hasil perzinaan antara Maryam dengan Yusuf an-Najjar (Yusuf tukang kayu atau Yusuf adik Eli). Dengan demikian Muslimin telah mendapat pengetahuan yang meyakinkan mengenai Isa dan Maryam.

Larangan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad agar tidak ragu, padahal tidak mungkin terjadi bahwa Nabi Muhammad akan ragu terhadap ayat Allah. Hal ini mempunyai dua pengertian:

  1. Bahwasanya Nabi Muhammad pada saat mendengar ayat ini bertambah keyakinannya dan ia merasa puas dengan keyakinannya itu.
  2. Kalau Nabi Muhammad yang mempunyai kedudukan yang tinggi dilarang merasa ragu terhadap kebenaran kisah itu, maka umatnya lebih terkena larangan ini.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 51-55

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 51

Pada ayat ini dijelaskan ucapan Nabi Isa kepada kaumnya, bahwa Allah swt adalah Tuhan mereka bersama-sama yang harus disembah, dengan pernyataan keesaan Allah dan pengakuan bahwasanya Allah itu adalah Tuhan alam semesta, karena itu sembahlah Dia.

Inilah di antara perintah Nabi Isa kepada kaumnya, agar mereka mempunyai kepercayaan yang benar yaitu tauhid, selalu menunaikan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya lahir dan batin. Itulah jalan yang lurus dan lapang yang digariskan oleh para rasul, yaitu jalan yang menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat”.

Ayat 52

Pada ayat ini dan ayat berikutnya diterangkan hubungan Nabi Isa, dengan kaumnya, dan apa yang telah dijalaninya dari mereka; baik berupa hambatan-hambatan, tantangan, kekerasan, serta rencana-rencana untuk membunuhnya. Selain itu Allah juga menerangkan pertolongan-pertolongan yang telah diberikan kepada golongan orang yang mengakui keesaan Allah, serta ancaman-ancaman-Nya yang disampaikan kepada orang-orang kafir, dan siksaan yang menimpa mereka di dunia dan di akhirat.

Tatkala Isa a.s. meyakini bahwa kaumnya Bani Israil tetap dalam kekafiran dan menemui penolakan yang keras dari mereka, bahkan bermaksud menyakitinya, bertanyalah dia “Siapakah penolong-penolongku kepada Allah?” Isa benar-benar menemui tantangan yang keras dari orang Yahudi, mereka mengerumuninya dan memperolok-oloknya. Mereka berkata, “Apakah yang telah dimakan oleh si anu tadi malam, apa yang disimpannya di rumahnya untuk besok pagi?” Walaupun Isa a.s. dapat menjawabnya, namun mereka tetap memperolok-oloknya.

Pada cerita ini terdapat pelajaran bagi Nabi Muhammad saw, dan sekaligus menjadi penghibur baginya. Di sini terbukti bahwa walaupun banyak dikemukakan mukjizat-mukjizat para nabi, tidaklah dengan sendirinya membawa kepada iman. Keimanan itu tergantung kepada manusia yang diajak apakah bersedia untuk menerimanya.

Pada saat meningkatnya tantangan dan ancaman itulah Isa mengatakan kepada kaum Hawari, siapa yang bersedia menyerahkan jiwanya kepada Allah dan menolong rasul-Nya. Hawariyµn menjawab, “Kamilah penolong agama Allah”, mereka menyediakan tenaga mereka untuk memperteguh dakwah Rasul Allah dan bersedia memegang teguh ajaran-ajarannya serta meninggalkan ajaran-ajaran yang lalu yang salah. Pertolongan yang diminta Isa a.s. ini tidak menuntut mereka mengikuti peperangan tapi cukup dengan mengamalkan ajaran agama dan dakwahnya.

Hawariyµn adalah segolongan orang di antara Bani Israil yang beriman kepada Almas³¥, dan bersedia membantu, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya (As-Saff/61:14). Mereka menyatakan kepada Isa a.s. bahwa mereka beriman kepada Allah dan memohon kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang yang berserah diri”. Pernyataan ini merupakan faktor yang membawa kemenangan dalam menghadapi perlawanan musuh-musuhnya. Mereka memohon agar mereka dimasukkan ke dalam golongan orang yang mengakui keesaan Allah.

Ayat 53

Sesudah mereka menjadi saksi atas kerasulan Isa a.s. dan menjadi saksi atas kekuasaan Allah yang memerintahkan agar beriman kepada Kitab yang diturunkan kepadanya, dan taat kepada segala perintah-Nya, maka mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan”.

Pernyataan ini adalah suatu sikap merendahkan diri kepada Allah, dan mengungkapkan ihwal mereka kepada Allah, sesudah menyatakan kepada rasul-Nya untuk lebih menjelaskan pendirian mereka. “Kami telah mengikuti rasul”, dan mematuhi segala perintah yang dibawanya dari Allah.

Menempatkan kata “mengikuti” sesudah kata “beriman” dalam ayat ini menunjukkan bahwa iman orang Hawariyµn ini telah mencapai tingkat yakin, yang memberi arah kepada jiwa mereka dalam melakukan setiap tindakan. Ilmu yang benar ialah ilmu yang menuntut perbuatan yang sesuai dengan ilmu itu, sedang ilmu yang tidak mempengaruhi perbuatan, itulah ilmu yang kabur dan kurang, tidak memberikan keyakinan dan ketenangan.

Banyak orang mengira bahwa dia sudah berilmu tetapi bila dia melakukan sesuatu perbuatan ternyata perbuatannya itu tidak dapat dikuasai dan dikendalikannya, setelah itu barulah ia sadar bahwa ia keliru dalam pengakuannya.

Sesudah kaum Hawariyµn ini menyatakan kepada Allah kesaksian mereka atas kebenaran kitab dan rasul-Nya, maka mereka pun memohon kepada Allah agar memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang mengakui keesaan Allah swt.

Ayat 54

Sesudah Allah menerangkan tentang kaum Hawariyµn, maka dalam ayat ini Allah menerangkan sikap Bani Israil terhadap Isa a.s., mereka membuat tipu daya dan bermaksud membinasakannya dengan jalan melaporkan dan memfitnah Isa kepada raja mereka. Tetapi Allah memperdayakan dan menggagalkan tipu daya mereka itu dan mereka tidak berhasil membunuhnya. Isa a.s., diangkat ke langit oleh Allah dan diganti dengan orang yang serupa dengannya, sehingga orang-orang yakin bahwa yang disalib itu adalah Isa a.s.

Balasan Allah mengatasi tipu muslihat mereka, dan menimpakan kesengsaraan kepada orang-orang kafir itu, tanpa mereka perkirakan. Rencana Allah yang tidak diketahui oleh hamba-hamba-Nya, sebenarnya adalah untuk menegakkan sunnah-Nya dan menyempurnakan hikmah-Nya.

Ayat 55

Allah membalas tipu daya orang kafir dengan mengangkat Isa a.s. kepada-Nya. Dalam hal ini terdapat berita gembira untuk Nabi, tentang datangnya bantuan Allah untuk menyelamatkan dirinya dari tipu daya orang-orang kafir sehingga mereka dalam usahanya melaksanakan tipu daya itu tidak akan berhasil.

Allah akan mengangkat Nabi Isa kepada-Nya dan akan mewafatkannya pada saat ajalnya tiba, sesudah turun dari langit pada waktu yang ditentukan sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw,

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَيُوْشِكَنَّ اَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ اِبْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً فَيَكْسِرَ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضَ الْمَالَ حَتىَّ تَكُوْنَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

(رواه البخاري)

“Demi (Allah), yang jiwaku di tangan-Nya, Isa putra Maryam akan turun di antaramu sebagai hakim yang adil, kemudian ia akan memecah salib, membunuh babi, menghentikan peperangan, dan membagi-bagikan harta, sehingga tak seorang pun yang akan menerimanya (karena tidak membutuhkan lagi) dan merasa bahwa sujudnya (ibadahnya) lebih utama dari dunia dan semua isinya.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

“Allah membersihkan Isa a.s. dari orang-orang kafir”, dengan menyelamatkannya dari kejahatan, cercaan serta nistaan dan tuduhan, yang akan mereka lakukan, dan akan menjadikan pengikut-pengikutnya yang beriman itu percaya bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, percaya akan kata-kata Isa bahwa beliau diutus untuk memberi kabar gembira (as-Saff/61:6) tentang kedatangan seorang utusan Allah, yang akan datang sesudahnya, yang bernama Ahmad (Nabi Muhammad) (as-Saff/61:6).

Allah akan mengangkat mereka yang percaya itu kepada derajat yang tinggi, tidak seperti orang-orang Yahudi yang menipu dan mendustakan Nabi Isa, yang direndahkan martabatnya oleh Allah. Ketinggian derajat itu ada kalanya di bidang keimanan yang bersifat rohaniah, dan dalam bidang akhlak dan kesempurnaan sopan santun serta dekatnya mereka pada yang hak dan jauhnya dari yang batil. Adakalanya kelebihan yang bersifat duniawi yaitu mereka akan memegang tampuk pimpinan di dunia.

Kemudian semua manusia akan dikembalikan kepada Allah yaitu pada hari kebangkitan, dan Allah akan memutuskan perkara yang mereka perselisihkan dalam urusan agama termasuk di dalamnya perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara pengikut-pengikut Isa a.s. dan orang-orang yang tidak percaya kepadanya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 2: Tidak Ada Keraguan Padanya

0
Surat al-Baqarah ayat 2
behance.net

() ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين

“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi ‎mereka yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 2)‎

Berpagi-pagi Alquran menegaskan tentang siapa dirinya. Tidak ada ‎keraguan padanya. Tidak ada syak wa sangka di dalam dirinya. Dialah kalam ‎Allah yang haqq. Yang dengannya terbantahkanlah argumen-argumen para ‎penentangnya. Dengannya pula, semakin kuat dan mantaplah keyakinan ‎orang yang mengimaninya.‎

‎“Di dalam kitab yang agung ini,” demikian tegas Al-Sa’di dalam ‎tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, “terkandung ‎apa-apa yang tidak dikandung oleh kitab-kitab sebelumnya, berupa ilmu ‎pengetahuan yang agung (al’-ilm al-‘adhim), serta kebenaran (al-haqq) yang ‎nyata (al-mubin). Tidak ada keraguan di seluruh aspeknya, menepis segala ‎syak wa sangka, menghadirkan keyakinan yang kuat, serta membawa ‎petunjuk yang jelas.”‎

Alquran, kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi ‎Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril a.s., sejak awal ‎kehadirannya di tengah masyarakat Arab jahili, diragukan, disangsikan dan ‎dianggap sebagai mantra-mantra sihir yang diucapkan oleh Muhammad Saw.‎

Suatu ketika, para pemuka Quraisy sepakat untuk mengutus Abul ‎Walid, seorang sastrawan Arab yang tiada tanding tiada banding untuk ‎menghadap Nabi Muhammad Saw., dengan tujuan agar beliau meninggalkan ‎dakwah menyeru ajaran Islam, dengan kompensasi diberi kedudukan, harta ‎dan apa saja yang diinginkannya.‎

Setelah menyimak penuturan Abul Walid, Rasulullah Saw. kemudian ‎membacakan surat Fushshilat dari awal hingga akhir. Abul Walid takjub penuh ‎kagum mendengar ayat-ayat yang dibacakana Rasulullah Saw. tersebut. Ia ‎termenung beberapa saat menghayati keindahan gaya bahasa serta susunan ‎kalimat al-Qur’an itu. Kemudian ia pun kembali ke kaumnya tanpa sepatah ‎kata pun ia ucapkan kepada Rasulullah Saw.‎

Setibanya di tengah kaumnya, Abul Walid segera menyampaikan ‎kepada mereka akan keterpesonaannya terhadap ayat-ayat suci Alquran. Dia ‎katakan kepada kaumnya bahwa Alquran bukanlah syair, bukan pula mantra-‎mantra sihir. Ianya bagaikan pohon yang rindang, akarnya menghunjam kuat ‎ke tanah. Gaya bahasanya sangat indah, susunan kalimatnya sangat ‎memukau. Ia bukan kata-kata manusia, dan tidak mungkin ditandingi oleh ‎syair mana pun.‎

Demikianlah, bahkan seorang sastrawan ternama di zaman al-Qur’an ‎turun pun mengakui kehebatan al-Qur’an. Ia sama sekali tidak meragukannya, karena memang tidak ada keraguan padanya.

Adalah Abdul Halim Mahmud, mantan Syeikh Al-Azhar menegaskan, ‎‎“Para orientalis yang dari waktu ke waktu berusaha menunjukkan kelemahan ‎al-Qur’an, tidak mampu mendapat celah sedikit pun untuk meragukan al-‎Qur’an”.‎

Al-Qur’an, sampai kapan pun, hingga kiamat tiba, akan selalu terjaga. ‎Karena itulah janji Allah Swt. Siapa pun yang meragukannya akan tumbang. ‎Siapa pun yang mengingkarinya akan binasa.‎

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 30-35

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 30

Selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan hari yang pasti datangnya, tiap manusia akan menyaksikan sendiri segala perbuatannya selama masa hidupnya. Orang yang mendapatkan pahala amal kebajikannya, merasa senang dan gembira atas pahala yang diterimanya. Orang akan menyaksikan pula kejahatan-kejahatannya, dan menginginkan kejahatan itu dijauhkan daripadanya.

Kemudian Allah mengulangi lagi ancaman-Nya dengan memperingatkan manusia terhadap siksa-Nya, yakni hendaklah manusia takut akan kemurkaan Allah, dengan cara mengerjakan kebajikan, menolak tipu muslihat setan dan bertobat kepada-Nya. Kemudian ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Al-Hasan al-Basri berkata, “Di antara kasih sayang Allah ialah Dia memperingatkan manusia akan kekuasaan Diri-Nya, memperkenalkan kepada mereka kesempurnaan ilmu dan kodrat-Nya, sebab barang siapa telah mengetahui hal itu dengan sempurna, maka ia pasti merasa terpanggil untuk mencari keridaan-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya. Di antara belas kasihan Allah ialah: Allah menjadikan fitrah manusia cenderung kepada kebajikan serta senantiasa membenci hal-hal yang mengarah kepada kejahatan, sehingga pengaruh kejahatan dalam jiwa dapat dilenyapkan dengan tobat dan amal saleh.

Ayat 31

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi untuk mengatakan kepada orang Yahudi, jika mereka benar menaati Allah maka hendaklah mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad, yaitu dengan melaksanakan segala yang terkandung dalam wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Jika mereka telah berbuat demikian niscaya Allah meridai mereka dan memaafkan segala kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan serta mengampuni dosa-dosa mereka.

Mengikuti Rasul dengan sungguh-sungguh baik dalam itikad maupun amal saleh akan menghilangkan dampak maksiat dan kekejian jiwa mereka serta menghapuskan kezaliman yang mereka lakukan sebelumnya.

Ayat ini memberikan keterangan yang kuat untuk mematahkan pengakuan orang-orang yang mengaku mencintai Allah pada setiap saat, sedang amal perbuatannya berlawanan dengan ucapan-ucapan itu. Bagaimana mungkin dapat berkumpul pada diri seseorang cinta kepada Allah dan pada saat yang sama membelakangi perintah-Nya. Siapa yang mencintai Allah, tapi tidak mengikuti jalan dan petunjuk Rasulullah, maka pengakuan cinta itu adalah palsu dan dusta. Rasulullah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَـا فَهُوَ رُدَّ

(رواه البخاري)

“Siapa melakukan perbuatan tidak berdasarkan perintah kami maka perbuatan itu ditolak”. (Riwayat al-Bukhari)

Barang siapa mencintai Allah dengan penuh ketaatan, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengikuti perintah Nabi-Nya, serta membersihkan dirinya dengan amal saleh, maka Allah mengampuni dosa-dosanya.

Ayat 32

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw, menyampaikan ayat 31 di atas, Abdullah bin Ubay berkata, “Muhammad telah menyamakan taat kepadanya dengan taat kepada Allah, dan dia menyuruh kita mencintainya seperti orang-orang Nasrani mencintai Isa.” Maka Allah menurunkan ayat 32 ini.

Maksud ayat ini ialah, “Katakanlah kepada mereka wahai Muhammad. Taatilah Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya dan jauhilah segala larangan-Nya. Taatilah Rasulullah dengan mengikuti sunahnya, dan jadikanlah petunjuk-petunjuknya sebagai (pedoman) dalam hidup. Ayat ini memberi pengertian pula bahwa Allah swt mewajibkan kepada kita mengikuti Nabi Muhammad saw, karena dia adalah Rasul Allah.

Jika orang-orang kafir itu berpaling tidak mau menerima seruan rasul karena pengakuan mereka bahwa mereka itu anak-anak Allah dan kekasih-Nya, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir, yakni orang-orang yang telah dibelokkan oleh hawa nafsunya dari ayat-ayat Allah. Karena itu Allah tidak meridai mereka bahkan menjauhkan mereka dari kenikmatan surga-Nya dan akan memurkai mereka pada hari kiamat.

Ayat 33

Allah telah memilih Adam dan keluarga Ibrahim, serta keluarga Imran, dan menjadikan mereka manusia pilihan di masanya masing-masing, serta diberikan kepada mereka nubuwwah dan risalah. )

Adam adalah rasul pertama sebagai bapak semua manusia yang telah dipilih Allah sebagai Nabi.

ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى  

Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. (Taha/20: 122)

Dari keturunan Adam, lahirlah para nabi dan rasul. Rasul kedua adalah Nuh, sebagai bapak manusia yang kedua meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa Nuh adalah rasul pertama. Di masanya telah terjadi banjir yang besar yang membinasakan sebagian besar umat manusia. Allah telah menyelamatkan dia dan sebagian keluarganya dari bencana yang dahsyat itu dalam satu bahtera. Keturunannya banyak yang menjadi nabi dan rasul. Kemudian keturunan beliau ini tersebar ke beberapa negeri.

Kemudian datanglah Ibrahim sebagai nabi dan rasul. Sesudah Ibrahim datanglah berturut-turut beberapa orang nabi dan rasul yang berasal dari keturunannya, seperti Ismail, Ishak, Yakub dan Asbat (anak cucu Bani Israil). Di antara keturunan Nabi Ibrahim yang terkemuka adalah: Keluarga Ismail, dan keluarga Imran, yaitu Isa dan Ibunya, Maryam binti Imran keturunan Yakub.

Kemudian kenabian itu ditutup dengan seorang putra dari keturunan Nabi Ismail yaitu Muhammad saw.

Ayat 34

Kedua keluarga – keluarga Ibrahim dan keluarga Imran adalah satu keturunan yang bercabang-cabang menjadi beberapa keturun-an. Keturunan Ibrahim ialah “Ismail dan Ishak.” Ibrahim sendiri adalah turunan Nabi Nuh, dan Nabi Nuh berasal dari Nabi Adam. Keluarga Imran yaitu Musa, Harun, ‘Isa dan ibunya adalah cucu-cucu Nabi Ibrahim.

Ayat 35

Pada ayat yang lalu diterangkan bahwa antara dua keluarga besar itu yakni keluarga Ibrahim dan keluarga Imran yang satu sama lain jalin-menjalin, maka pada ayat ini diterangkan mengenai kisah salah seorang keturunan mereka yang terkemuka, yakni istri Imran yang sedang hamil. Ia menazarkan anak yang masih dalam kandungannya untuk dijadikan pelayan yang selalu berkhidmat dan beribadah di Baitulmakdis. Dia tidak akan membebani sesuatu pada anaknya nanti, karena anak itu semata-mata telah diikhlaskan untuk mengabdi di sana.

Pada akhir ayat 34 telah dijelaskan bahwa Allah mendengar apa yang diucapkan oleh istri Imran, mengetahui niat yang suci, dan mendengar pujiannya kepada Allah ketika ia bermunajat. Hal-hal inilah yang menyebabkan doanya terkabul, dan harapannya terpenuhi sebagai karunia dan kebaikan dari Allah.

Di dalam beberapa ayat ini dua kali disebut nama Imran. Yang pertama dalam ayat 33, yaitu Imran ayah Nabi Musa a.s.; sedang yang kedua adalah pada ayat 35, yaitu Imran ayah Maryam. Rentang waktu antara kedua orang itu sangat panjang. Ayat ini menunjukkan bahwa ibu boleh menazarkan anaknya, dan boleh mengambil manfaat dengan anaknya itu untuk dirinya sendiri. Pada ayat ini terdapat pula pelajaran, yaitu hendaknya kita berdoa kepada Allah agar anak kita menjadi orang yang rajin beribadah dan berguna bagi agamanya, seperti doa Nabi Zakaria yang dikisahkan dalam Alquran.

Setelah istri Imran melahirkan, dan ternyata yang lahir itu anak perempuan padahal yang diharapkan anak laki-laki, tampaklah diwajahnya kesedihan dan putuslah harapannya untuk melaksanakan nazarnya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku melahirkan anak perempuan.” Seolah-olah dia memohon ampun kepada Tuhan, bahwa anak perempuan itu tidak patut memenuhi nazarnya yaitu berkhidmat di Baitulmakdis. Tetapi Allah lebih mengetahui martabat bayi perempuan yang dilahirkan itu, bahkan dia jauh lebih baik dari bayi laki-laki yang dimohonkannya.

 

Doa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati

0
Di dalam Alquran terekam kisah para Nabi terdahulu yang menginspirasi dan menggugah. Selain kisah, Alquran juga merekam doa-doa yang dipanjatkan baik oleh para Nabi maupun orang-orang saleh. Salah satu doa yang tercatat dalam Kitab Suci adalah doa rombongan prajurit Thalut ketika akan menghadapi prajurit Jalut. Diceritakan bahwa Nabi Dawud menjadi salah satu prajurit yang berada di barisan Thalut. Nah, artikel singkat ini akan mencatat do’a ketika menghadapi orang zalim.

Doa dan kisah ini dapat ditemukan dalam Q.S al-Baqarah [2]: 249 – 251. Dikisahkan bahwa Nabi Dawud dalam ayat ini adalah seorang pemuda yang gagah berani dan menjadi salah satu prajurit pimpinan Thalut. Musuh yang mereka hadapi adalah Jalut. Dawud muda berhasil mengalahkan Jalut.

Ketika pasukan Thalut hendak menghadapi Jalut, mereka berdo’a sebagaimana tercatat dalam Surat al-Baqarah ayat 250:

رَبَّنا أَفْرِغْ عَلَيْنا صَبْراً وَثَبِّتْ أَقْدامَنا وَانْصُرْنا عَلَى الْقَوْمِ الْكافِرِين 

“… Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Menurut Imam al-Qusyairi dalam tafsirnya Lathaif al-Isyarat, pasukan Thalut lebih mendahulukan sabar ketimbang meminta pertolongan. Hal ini membuktikan bahwa Thalut dan pasukannya mengutamakan sikap sabar dalam menghadapi musuh ketimbang meminta pertolongan. Perjuangan dan persiapan lebih didahulukan dibandingkan berpasrah diri begitu saja.

Di ayat sebelumnya, diceritakan bahwa pasukan Jalut ini melewati berbagai ujian terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan Thalut. Ini terlihat dalam redaksi terjemahan berikut “Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan.” Tentu butuh keberanian dan kemantapan hati untuk melewati ujian ini, apalagi pada saat itu mereka dalam kondisi haus.

Hampir saja mereka tidak kuat dan mau menyerah, sebelum akhirnya memutuskan tekad untuk berani maju. Sebagaimana dalam redaksi “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”

Terlihat ada hati yang gundah, gelisah dan kawatir dialami oleh pasukan Thalut, hingga akhirnya mereka berdoa seperti di atas, untuk meneguhkan dan memantapkan hati mereka.

Doa di atas bisa kita baca sebagai doa harian setelah melaksanakan shalat maupun dibaca ketika merasa berat dalam menghadapi suatu masalah. Dengan doa yang diajarkan Alquran ini, kita mengharapkan agar diberikan kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai kesulitan. Selain tentu saja meminta pertolongan Allah Swt yang akan terus mengiringi hamba-hambaNya. Amiin.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 28-29

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 28

Kaum Muslimin dilarang menjadikan orang kafir sebagai kawan yang akrab, pemimpin atau penolong, karena yang demikian ini akan merugikan mereka sendiri baik dalam urusan agama maupun dalam kepentingan umat, apalagi jika dalam hal ini kepentingan orang kafir lebih didahulukan daripada kepentingan kaum Muslimin sendiri, hal itu akan membantu tersebarluasnya kekafiran. Ini sangat dilarang oleh agama.

Orang mukmin dilarang mengadakan hubungan akrab dengan orang-orang kafir, baik disebabkan oleh kekerabatan, kawan lama waktu zaman jahiliah, atau pun karena bertetangga. Larangan itu tidak lain hanyalah untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan agama, serta agar kaum Muslimin tidak terganggu dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh agamanya.

Adapun bentuk-bentuk persahabatan dan persetujuan kerja sama, yang kiranya dapat menjamin kemaslahatan orang-orang Islam tidaklah terlarang. Nabi sendiri pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Khuza’ah sedang mereka itu masih dalam kemusyrikan.

Kemudian dinyatakan bahwa barang siapa menjadikan orang kafir sebagai penolongnya, dengan meninggalkan orang mukmin, dalam hal-hal yang memberi mudarat kepada agama, berarti dia telah melepaskan diri dari perwalian Allah, tidak taat kepada Allah dan tidak menolong agamanya. Ini berarti pula bahwa imannya kepada Allah telah terputus, dan dia telah termasuk golongan orang-orang kafir.

وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ

… Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka…(al-Ma′idah/5: 51)

Orang mukmin boleh mengadakan hubungan akrab dengan orang kafir, dalam keadaan takut mendapat kemudaratan atau untuk memberikan kemanfaatan bagi Muslimin. Tidak terlarang bagi suatu pemerintahan Islam, untuk mengadakan perjanjian persahabatan dengan pemerintahan yarg bukan Islam; dengan maksud untuk menolak kemudaratan, atau untuk mendapatkan kemanfaatan. Kebolehan mengadakan persahabatan ini tidak khusus hanya dalam keadaan lemah saja tetapi boleh juga dalam sembarang waktu, sesuai dengan kaidah:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan ke-maslahatan

Berdasarkan kaidah ini, para ulama membolehkan “taqiyah”, yaitu mengatakan atau mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran untuk menolak bencana dari musuh atau untuk keselamatan jiwa atau untuk memelihara kehormatan dan harta benda.

Maka barang siapa mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa, sedang hati (jiwanya) tetap beriman, karena untuk memelihara diri dari kebinasaan, maka dia tidak menjadi kafir. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh ‘Ammar bin Yasir yang dipaksa oleh Quraisy untuk menjadi kafir, sedang hatinya tetap beriman. Allah berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ  

Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (an-Nahl/16: 106)

Sebagaimana telah terjadi pada seorang sahabat yang terdesak ketika menjawab pertanyaan Musailamah, “Apakah engkau mengakui bahwa aku ini rasul Allah? Jawabnya, “Ya”. Karena itu sahabat tadi dibiarkan dan tidak dibunuh. Kemudian seorang sahabat lainnya sewaktu ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia menjawab, “Saya ini tuli” (tiga kali), maka sahabat tersebut ditangkap dan dibunuh.

Setelah berita ini sampai kepada Rasulullah saw beliau bersabda: “Orang yang telah dibunuh itu kembali kepada Allah dengan keyakinan dan kejujurannya, adapun yang lainnya, maka dia telah mempergunakan kelonggaran yang diberikan Allah, sebab itu tidak ada tuntutan atasnya”.

Kelonggaran itu disebabkan keadaan darurat yang dihadapi, dan bukan menyangkut pokok-pokok agama yang harus selalu ditaati. Dalam hal ini diwajibkan bagi Muslim hijrah dari tempat ia tidak dapat menjalankan perintah agama dan terpaksa di tempat itu melakukan “taqiyyah”. Adalah termasuk tanda kesempurnaan iman bila seseorang tidak merasa takut kepada cercaan di dalam menjalankan agama Allah. Allah berfirman:

فَلَا تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ  

…..karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman… (Ali ‘Imran/3: 175);Allah berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ

… Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. …. (al-Ma′idah/5: 44)

Termasuk dalam “taqiyah”, berlaku baik, lemah lembut kepada orang kafir, orang zalim, orang fasik, dan memberi harta kepada mereka untuk menolak gangguan mereka. Hal ini bukan persahabatan akrab yang dilarang, melainkan cara itu sesuai dengan tuntunan peraturan:

مَا وَقَى بِهِ الْمُؤْمِنُ عِرْضَهُ فَهُوَ صَدَقَةٌ

(رواه الطبراني)

“Suatu tindakan yang dapat memelihara kehormatan seorang mukmin, adalah termasuk sedekah”. (Riwayat at-Tabrani)

Dalam hadis lain dari Aisyah r.a.:

اِسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَنَا عِنْدَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِئْسَ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ اَوْ اَخُو الْعَشِيْرَةِ  ثُمَّ أَذِنَ لَهُ فََلاَنَ لَهُ الْقَوْلَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ اِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ مَنْ يَتْرُكُهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فَحْشِهِ

(رواه البخاري)

Seseorang datang meminta izin menemui Rasulullah dan ketika itu aku berada di sampingnya. Lalu Rasulullah berkata, “(Dia adalah) seburuk-buruk warga kaum ini”. Kemudian Rasulullah mengizinkannya untuk menghadap, lalu beliau berbicara dengan orang tersebut dengan ramah- tamah dan lemah-lembut. Rasulullah berkata, “Hai, ‘Aisyah sesungguhnya di antara orang yang paling buruk adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain karena takut kepada kejahatannya.” (Riwayat al-Bukhari)

Terhadap mereka yang melanggar larangan Allah di atas, Allah memperingatkan mereka dengan siksaan yang langsung dari sisi-Nya dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya. Akhirnya kepada Allah tempat kembali segala makhluk. Semua akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya.

Ayat 29

Allah mengetahui segala apa yang terkandung di dalam hati seorang Muslim ketika ia mengadakan hubungan yang akrab dengan orang kafir. Apakah karena mereka suka kepada orang kafir itu, atau itu dilakukan karena maksud untuk menyelamatkan diri. Kalau seorang Muslim berbuat demikian karena memang cenderung kepada kekufuran, tentu Allah akan menyiksa mereka.

Sedang kalau mereka melakukan itu untuk memelihara diri dan hati mereka tetap dalam iman, Allah akan mengampuni mereka dan tidak akan mengazab mereka atas pekerjaan yang tidak merusakkan agama dan umat. Allah memberi balasan kepada mereka menurut ilmu-Nya sendiri yang meliputi semua isi langit dan bumi.

Pada akhir ayat ini Allah mengatakan bahwa: “Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Sebab itu, janganlah kamu kaum Muslimin berani mendurhakai-Nya dan janganlah mengadakan kerja sama dengan musuh-musuh-Nya. Semua bentuk maksiat, baik yang tersembunyi maupun yang tampak senantiasa diketahui Allah dan Dia berkuasa memberi pembalasan atasnya.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 27

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Bagian malam dimasukkan kepada siang, sehingga waktu malam menjadi lebih pendek dibanding dengan waktu siang. Allah memasukkan bagian siang ke dalam malam, yang menyebabkan waktu malam menjadi panjang dan waktu siang menjadi pendek. Hal ini biasa terjadi di negara-negara yang mempunyai empat musim, sehingga malam lebih panjang daripada siang pada musim dingin.

Tidaklah mengherankan bahwa sesudah adanya kenyataan tersebut, Allah Yang Maha Bijaksana memberikan kenabian atau kerajaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, atau mencabut kenabian dan kerajaan itu dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah yang mengurus segala urusan manusia, sebagaimana halnya Dia mengurus perubahan siang dan malam.

Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati seperti mengeluarkan batang kelapa dari bijinya, mengeluarkan manusia dari nutfah, atau mengeluarkan unggas dari telur. Demikian Allah mengeluarkan yang mati dari yang hidup seperti mengeluarkan anak yang bodoh dari orang yang alim, orang kafir dari orang yang mukmin.

Kodrat Allah dijelaskan pula dengan bahasa yang mudah dipahami, dengan contoh-contoh yang bisa disaksikan oleh manusia, di dalam kejadian sehari-hari. Malam dimasukkan ke dalam siang, siang dimasukkan ke dalam malam, tumbuhan yang hidup dikeluarkan dari tanah yang merupakan benda mati, telur yang merupakan benda mati, dari ayam yang merupakan makhluk hidup.

Ayat di atas berbicara mengenai biji tumbuhan dan tentang “dikeluarkan yang hidup dari yang mati dan dikeluarkan yang mati dari yang hidup”. Ayat lain yang mirip dan bahkan lebih jelas adalah Surah al-An’am/6: 95, yang artinya sebagai berikut:

“Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padi-padian) dan biji (kurma). Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Itulah (kekuasaan) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?”. (al-An’am/6: 95)

Dari sudut ilmu pengetahuan, hal-hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

  1. Ayat ini mengandung pesan bahwa penciptaan bukanlah suatu kebetulan, sebab apabila ini suatu kebetulan, maka dia tidak dapat berkesinambungan. Penciptaan terjadi dalam dua hal yang bertolak belakang. Siapa yang dapat melakukan yang demikian pastilah yang Mahakuasa. Perkataan “mengeluarkan yang hidup dari yang mati” menyatakan kekuasaan Allah membangkitkan orang-orang mati di hari kemudian. Tetapi pembangkitan yang mati menjadi hidup dan sebaliknya juga terlihat pada kejadian sehari-hari dalam proses perkembangan benih tumbuhan.
  2. Interpretasi kedua, bahwa biji dijadikan contoh dalam pengaturan siklus antara hidup dan mati yang terus bergulir.

Bagaimana biji mencontohkan siklus tersebut adalah demikian. Bagi tumbuhan, biji merupakan alat perkembangbiakan yang utama, karena biji mengandung calon tumbuhan baru yang disebut lembaga atau embryo. Dengan biji inilah tumbuhan dapat mempertahankan keturunan jenisnya dan dapat menyebarkannya ke lain tempat. Dalam morfologi tumbuhan dikenal ada biji tertutup yang disebut Angiospermae, dan biji telanjang/terbuka yang disebut Gymnospermae. Biji memiliki keanekaan dalam ukuran, bentuk dengan kulit biji yang berlapis-lapis, dan kekerasan (dari mulai yang lunak sampai dengan yang keras seperti batu).

Ketika biji sampai pada kondisi yang diperlukan, maka biji tersebut akan tumbuh dan kulit biji yang menjadi pelindung bagian biji yang ada di dalam akan ditembus oleh lembaga. Bahkan lapisan kulit biji yang sekeras batupun dapat dipecahkannya.

Siklus kehidupan dan kematian merupakan rahasia keajaiban alam dan rahasia kehidupan. Ciri utama siklus itu adalah bahwa zat-zat hidrogen, karbondioksida, nitrogen,dan garam yang non organik di bumi, berubah menjadi zat-zat organik yang merupakan bahan kehidupan bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan berkat bantuan sinar matahari.

Selanjutnya zat-zat tersebut kembali mati dalam bentuk kotoran makhluk hidup dan dalam bentuk tubuh yang aus karena faktor disolusi bakteri dan kimia, yang mengubahnya menjadi zat non organik untuk memasuki siklus kehidupan yang baru. Begitulah Sang Pencipta mengeluarkan kehidupan dari kematian dan mengeluarkan kematian dari kehidupan di setiap saat. Siklus ini terus berputar dan hanya terjadi pada makhluk yang diberi kehidupan.

Alquran mempergunakan pula kata “mati” untuk pengertian “kafir”, dan kata “hidup” untuk pengertian “iman” seperti:

اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَاۗ  كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكٰفِرِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ  

Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan. (al-An’am/6: 122)

Lafaz “yang hidup” dipergunakan dalam arti lawan “yang mati”, baik yang hidup itu ḥissiyyah seperti hidup hewan dan tumbuh-tumbuhan atau pun maknawiyyah seperti ilmu dan iman. “Yang hidup dikeluarkan dari yang mati” dan seterusnya adalah suatu kenyataan, bahwa Allah yang memiliki kekuasaan yang Dia berikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Allah mengeluarkan seorang penghulu para rasul dari bangsa Arab yang buta huruf. Rasul itu, Muhammad saw, yang menyiapkan mereka dengan kekuatan dan kemauan untuk menjadi umat yang terkuat, yang dapat menghancurkan benteng perbudakaan dan menegakkan kemerdekaan. Sementara itu orang-orang Yahudi (Bani Israil) bergelimang di dalam taqlid, perbudakan dan penindasan raja-raja atau para penguasa.

Allah memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, lalu mencabut pemberian-Nya dari siapa saja yang Dia kehendaki, hanyalah berdasarkan sunah dan hukum-Nya. Segala urusan ada di tangan Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat menilai dan memperkirakan perhitungan-Nya. Dialah yang berkuasa mencabut kekuasan dari siapa yang dikehendaki-Nya serta menghinakannya, dan hanya Dia pulalah yang kuasa memberikan kekuasaan itu kepada suatu bangsa serta memuliakannya. Yang demikian itu, amat mudah bagi Allah. Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa balasan.

(Tafsir Kemenag)

Kata Birr dan Sinonimnya

0
www.iico.org

Sinonim dalam istilah kebahasaan adalah kata-kata yang mempunyai kemiripan makna dengan kata yang lain. Tidaka ada satu kapa pun di dalam Bahasa yang memiliki makna yang sama parsis dengan kata yang bersinonim dengannya. Seperti kata جَلَسَ, yang sinonimnya adalah kata قَعَدَ. Kedua-duanya sama-sama berarti “duduk.” Akan tetapi kata جَلَسَ menunjukkan arti “duduk” dari posisi berdiri. Kata اجْلِسْ (duduklah), menunjukkan arti bahwa Anda mempersilahkan seseorang yang sedang berdiri agar dia duduk. Kata اُقْعُدْ menunjukkan arti bahwa Anda mempersilahkan seseorang yang sedang berbaring agar dia duduk.

Demikian pula halnya makna kata Birr (بِرٌّ) dengan kata-kata lain yang sinonim dengannya. Masing-masing memiliki makna yang berbeda, meskipun makna asalahnya, atau maknanya yang umum adalah sama. Mari kita simak 14 kata yang merupakan sinonim dari kata Birr (بِرٌّ) dalam Bahasa Arab, sebagai berikut:

  1. Kata إِحْسَانٌ artinya “kebaikan yang berlebih” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya atau yang diberikan oleh manusia kepada sesamanya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَحْسَنَ (memberikan kebaikan yang berlebih).
  2. Kata إِنَالَةٌ artinya “kebaikan yang diberikan” oleh seseorang sesamanya atau yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَنَالَ (memberikan kebaikan kepada seseorang).
  3. Kata إِنْعَامٌ artinya “kebaikan yang menyenangkan dalam bentuk nikmat” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَنْعَمَ (memberikan kebaikan dalam bentuk nikmat).
  4. Kata إِرْفَادٌ artinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk pertolongan” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya atau yang diberikan oleh seseorang kepada sesamanya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَرْفَدَ (memberikan kebaikan dalam bentuk pertolongan, bantuan).
  5. Kata إِعْطَاءٌartinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk hadiah atau penghargaan” baik oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya maupun oleh seseorang kepada sesamanya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَعْطَى (memberikan kebaikan dalam bentuk pemberian atau hadiah).
  6. Kata إِفْضَالٌ artinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk kelebihan” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَفْضَلَ (memberikan kelebihan).
  7. Kata اِمْتِنَانٌ artinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk nikmat” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja اِمْتَنَّ (memberikan kebaikan dalam bentuk nikmat).
  8. Kata حَبْوٌ artinya “kebaikan dalam bentuk anugerah atau hadiah” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya atau oleh seseorang kepada sesamanya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja أَحْسَنَ (memberikan kebaikan yang berlebih).
  9. Kata فَضْلٌ aratinya “kebaikan dalam bentuk kelebihan” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja فَضَلَ (memberikan kebaikan dalam bentuk kelebihan).
  10. Kata كَرَامَةٌ artinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk kemuliaan, kehoramatan” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja كَرُمَ (memberikan kebaikan dalam bentuk kemuliaan).
  11. Kata مَنٌّ artinya “kebaikan dalam bentuk karunia” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja مَنَّ (memberikan kebaikan dalam bentuk karunia atau anugerah).
  12. Kata مَنْحٌ artinya “kebaikan dalam bentuk pemberian hadiah” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya atau oleh seseorang kepada sesamanya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja مَنَحَ (memberikan kebaikan dalam bentuk anugerah, hadiah).
  13. Kata مِنَّةٌ artinya “sebuah kebaikan dalam nikmat, karunia” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dasar (masdar) dari kata kerja مَنَّ (memberikan kebaikan dalam bentuk nikmat).
  14. Kata نَعْمَاءٌ artinya “kebaikan yang diberikan dalam bentuk hal-hal yang menyenangkan” yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Kata ini adalah bentuk dari kata kerja أَنْعَمَ (memberikan kebaikan dalam bentuk hal-hal yang menyenangkan).

Demikian sinonim kata kerja “birrun” (بِرٌّ) di dalam Bahasa Arab. Makna asal atau umumnya adalah “kebaikan,” tetapi makna khususnya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Semoga uraian ini dapat menambah wawasan kita. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Menyingkap Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran

0
asal usul amin

Sebagai mukjizat Islam yang abadi, Alquran selalu relevan untuk dikaji dan dikaitkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Isyarat-isyarat yang terkandung selalu memancarkan pesan-pesan ilmiahnya kepada nurani, sehingga hiduplah semua unsur perkembangan dan kemajuan pada sisi keilmiahannya.

Memahami isyarat ilmiah yang termuat dalam Al-Quran, sudah pasti harus mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa diturunkannya Al-Quran. Jika menengok kembali pada masa diturunkannya Al-Quran, tidak banyak isyarat ilmiah yang diketahui oleh umat manusia kala itu. misalnya ketika mengisyaratkan tentang cikal bakal manusia dalam surah an-Najm: 45-46;

 وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوْجَيْنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰ(35) مِن نُّطْفَةٍ إِذَا تُمْنَىٰ(36)

Menurut penafsiran Quraish Shihab kata nuthfah dalam bahasa Arab memiliki arti “setetes yang dapat membasahi”. Dari informasi yang disampaikan oleh Al-Quran, lahirlah penemuan ilmiah pada abad ke-20 yang menginformasikan bahwa cairan mani atau sperma yang menyembur dari alat vital laki-laki mengandung dua ratus juta benih manusia, namun hanya satu benih yang mampu menembus dinding ovum, hanya satu. Inilah yang dimaksud Al-Quran yakni nutfah dari mani yang memancar.

Isyarat-isyarat serupa lainnya disebutkan dalam konteks petunjuk, yang mendorong akal manusia untuk meneliti dan memahami percikan pesan-pesan Al-Quran tersebut. Sayyid Quthb menjelaskan terkait penafsiran firman Allah dalam surah al-Baqarah: 189,

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Ia mengatakan, bahwa hikmah ayat ini tertuju pada realita kehidupan ilmiah, bukan sekedar mengarah pada ilmu teori. Al-Quran menjelaskan tentang bagaimana fungsi hilal dalan realita kehidupan manusia. Betapa Al-Quran lebih dulu mengisyaratkan sebuah informasi yang jauh lebih besar dari informasi-informasi kecil lainnya.

Dan masih banyak lagi, ayat-ayat yang menyinggung isyarat ilmiah. Sebagaimana menurut penjelasan Thantawi Jauhari dalam kitabnya al-Jawahir, bahwa di dalam Al-Quran terdapat 750 ayat yang mengulas ilmu pengetahuan, dan hanya 150 yang mengulas mengenai fiqh.

Tidak dapat dipungkiri, Al-Quran hingga saat ini terus mengajak manusia untuk mengeksploitasi ayat-ayat Nya yang berdimensi ilmiah, pun menggugah sense of knowledge dalam diri manusia untuk terus berpikir dan memahami ciptaan-Nya dilangit dan di bumi. Sebagaimana firman Allah dalam al-Baqarah: 219, bahwa

كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan. (Q.S. al-baqarah [2]: 219)

Melalui isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan, Al-Quran menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan wahyu ilahi merupakan dua aspek kebenaran yang tidak ada pertentangan di antara keduanya. Di sisi lain, merupakan pertanda bahwa Allah menekankan pentingnya arti belajar dan dalam kehidupan, karena Allah sendiri tidak pernah menutup kesempatan kepada manusia untuk  berupaya menginterpretasikan isi Al-Quran.

Dalam memahami isyarat ilmiah pada Al-Quran, hal yang perlu ditekankan adalah tujuan utama menggali dalamnya ilmu pengetahuan yang dikandung oleh Al-Quran tidak hanya untuk meningkatkan kualitas kecerdasan akal semata, melainkan untuk menambah keimanan dan keyakinan kepada Allah pun sebagai ladang amal saleh dalam menebar kebaikan kepada sesama makhluk-Nya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 26

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi untuk menyatakan bahwa Allah Yang Mahasuci yang mempunyai kekuasaan tertinggi dan Mahabijaksana dengan tindakan-Nya yang sempurna di dalam menyusun, mengurus, dan merampungkan segala perkara dan yang menegakkan neraca undang-undang di alam ini. Maka Allah yang memberikan urusan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.

Ada kalanya Allah memberikan kekuasaan itu bersamaan dengan pangkat kenabian seperti keluarga Ibrahim, dan ada kalanya hanya memberikan kekuasaan memerintah saja menurut hukum kemasyarakatan yaitu dengan mengatur kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa. Allah juga yang mencabut kekuasaan dari orang-orang yang Dia kehendaki, disebabkan mereka berpaling dari jalan yang lurus, yaitu jalan yang dapat memelihara kekuasaan karena meninggalkan keadilan dan berlaku curang dalam pemerintahan. Demikianlah hal itu telah berlaku pula terhadap Bani Israil dan bangsa lain disebabkan kezaliman dan kerusakan budi mereka.

Allah juga memberi kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki, dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Orang yang diberi kekuasaan ialah orang yang didengar tutur katanya, banyak penolongnya, mempengaruhi jiwa manusia dengan wibawa dan ilmunya, mempunyai keluasan rezeki dan berbuat baik kepada segenap manusia.

Adapun orang yang mendapat kehinaan, ialah orang yang rendah akhlaknya, merasa lemah semangat membela kehormatan, tidak mampu mengusir musuhnya yang menyerbu dan tidak mampu mempersatukan pengikutnya. Padahal tidak ada satu kemuliaan pun dapat dicapai tanpa persatuan untuk menegakkan kebenaran dan menentang kezaliman.

Apabila masyarakat telah bersatu dan berjalan menurut sunatullah, berarti mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi segala kemungkinan. Banyak sedikitnya bilangan suatu umat tidaklah menjamin untuk dapat mewujudkan kekuasaan dan menghimpun kekuatan. Orang musyrik Mekah, orang Yahudi dan orang munafik Arab telah tertipu oleh banyaknya pengikut dibanding dengan pengikut Rasulullah saw, padahal yang demikian itu tidak mendatangkan faedah bagi mereka sedikit pun. Sebagaimana firman Allah:

يَقُوْلُوْنَ لَىِٕنْ رَّجَعْنَآ اِلَى الْمَدِيْنَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْاَعَزُّ مِنْهَا الْاَذَلَّ ۗوَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلٰكِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ࣖ  

Mereka berkata, ”Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Mustalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (al Munafiqun/63: 8)

Fakta-fakta sejarah menjadi bukti bahwa jumlah yang banyak saja tidaklah menunjukkan kekuatan. Lihatlah bangsa-bangsa Timur, mereka berjumlah banyak tetapi dapat dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat yang berjumlah lebih sedikit, disebabkan merajalelanya kebodohan dan permusuhan, atau perpecahan yang terjadi di antara sesama mereka.

Dalam ayat ini diterangkan pula bahwa segala kebajikan terletak di tangan-Nya baik kenabian, kekuasaan atau pun kekayaan. Ini menunjukkan bahwa Allah sendirilah yang memberikannya menurut kemauan-Nya. Tidak ada seorang pun yang memiliki kebajikan selain Allah. Dalam ayat ini hanya disebutkan kebajikan saja. Sebenarnya segala yang buruk dan jahat juga ada di bawah kekuasaan Allah. Hal ini dipahami dari pernyataan Allah bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Dalam ayat ini disebutkan kebajikan saja karena disesuaikan dengan keadaan. Keadaan yang mendorong orang-orang kafir menentang dan meremehkan dakwah Nabi Muhammad saw ialah kemiskinan beliau, kelemahan pengikut-pengikutnya serta kecilnya bilangan mereka. Oleh sebab itu Allah menyuruh Nabi untuk berlindung kepada yang memiliki segala kerajaan. Yang ditangan-Nya segala kekuasaan dan kemuliaan. Allah mengingatkan Rasulullah bahwa seluruh kebaikan dan kekayaan ada ditangan-Nya. Maka tidak ada yang dapat menghalangi-Nya apabila Allah memberikan kemiskinan dan kekayaan kepada Nabi-Nya atau kepada orang-orang mukmin yang dikehendaki-Nya, sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَنُرِيْدُ اَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِى الْاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ اَىِٕمَّةً وَّنَجْعَلَهُمُ الْوٰرِثِيْنَ ۙ 

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (al-Qasas/28: 5)

(Tafsir Kemenag)