Beranda blog Halaman 540

Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

0
Keutamaan Surat Yasin
Keutamaan Surat Yasin credit: almuheet.net

Surat Yasin merupakan salah satu surah dari seratus empat belas surah dalam Alquran. Surat ini dikenal dengan julukan “qalbu al-Quran” (jantung al-Quran). Para ulama mengakui bahwa surah Yasin memiliki banyak keutamaan. Artikel ini akan mengulas keutamaan surat Yasin terutama ketika dikaitkan dengan tradisi masyarakat Muslim Indonesia.

Ditengah maraknya fenomena pembacaan Alquran masyarakat indonesia,  terdapat surat-surat Alquran yang sering  dijadikan sebagai amalan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Surat Yasin. Barangkali salah satu keutamaan Surat Yasin adalah dengan cerita bahwa sebagian mayarakat mempercayai adanya kekutan ghaib ketika membaca potongan ayat dari surah Yasin, yaitu ayat 8 sampai ayat 9. Pasalnya, ketika membaca kedua ayat ini, para pengendara yang tidak memakai kelengkapan alat berkendara akan terhindar dari sergapan keamanan polisi lalu lintas.

(Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia)

Praktik di atas ternyata didasarkan pada cerita yang diambil dari sahabat Ibnu Abbas. Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa ketika kaum kafir Quraisy berkumpul didepan pintu rumah Rasulullah Saw, dengan tujuan untuk membunuh beliau, Rasulullah merasa terganggu dengan dengan ulah mereka. Kemudian Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Saw, dengan membawa surah Yasin. Rasulullah diperintahkan untuk mengambil segenggam tanah dan diatasnya dibacakan surah Yasin. Kemudian saat beliau keluar tanah tersebut ditaburkan dihadapan para kaum kafir Quraisy. Sehingga tidak seorangpun dari mereka yang melihat kepergian Rasulullah dari rumahnya.

Cerita diatas adalah salah satu dari sekian banyak keutamaan surat Yasin yang sering dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Muslim indonesia. Namun, beberapa hal yang cukup sering dijadikan oleh masyarakat sebagai alasan utama untuk membaca surah Yasin antara lain:

Mempercepat Terkabulnya Segala Hajat

Terkadang ada harapan dan hajat kebutuhan kita dengan begitu mudahnya terpenuhi tanpa ada gangguan dan hambatan. Akan tetapi disisi lain juga ada hajat yang begitu sulit digapai. Semua upaya dan rencana telah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Sehingga ada cara yang lebih mudah yang dianjurkan Rasululullah adalah dengan membaca surah Yasin, hal ini sesuai dengan sabda beliau yang berbunyi

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا رَاشِدٌ أَبُو مُحَمَّدٍ الْحِمَّانِيُّ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ قَالَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَنْ قَرَأَ يس حِيْنَ يُصْبِحُ أُعْطِيَ يُسْرَ يَوْمِهِ حَتَّى يُمسِيَ , وَمَنْ قَرَأَ هَا فِيْ صَدْرِ لَيْلِهِ أُعْطِيَ يُسْرَ لَيْلَتِهِ حَتَّى يُصْبِحَ

“Telah menceritakan kepada kami Amr bin Zurarah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Rasyid Abu Muhammad Al Himmani dari Syahr bin Hausyab ia berkata: Ibnu Abbas berkata: barangsiapa yang membaca surah Yasin ketika berada diwaktu pagi niscaya diberikan kepadanya kemudahan hari itu hingga ia berada diwaktu sore, dan barangsiapa yang membacanya pada awal malam, niscaya diberikan kepadanya kemudahan malam itu hingga ia berada di waktu pagi” (HR. Al-Darimi)

Hal ini juga berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang melakukan amaliah membaca Yasin di malam Jum’at. Amaliah ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibn Abbas, dikutip oleh Abdurrauf al-Munawwi dalam kitabnya, Faidh al-Qadir (VI/258),

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يَسٍ وَالصَّفَّاتِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَعْطَاهُ اللهُ سُئْلَهُ

“Barangsiapa membaca surah Yasin dan Shaffat di malam Jumat, maka Allah memberikan kepadanya permintaannya.”

Mempererat Tali Silaturrahmi

Adanya tradisi Yasinan di masyarakat membuat ikatan persaudaraan semakin kuat. Karena tradisi ini bukan hanya sekedar berkumpul membaca surah Yasin lalu kemudian pulang kerumah masing-masing. Akan tetapi, biasanya pemilik rumah yang menjadi tempat perkumpulan acara tersebut menyediakan  makanan yang disuguhkan kepada warga yang hadir dalam acara tersebut. Nah, disaat momen makan-makan itu biasanya diselingi dengan bincang-bincang. Pada kesempatan itulah warga saling bertukar pikiran, menceritakan keluh kesahnya kepada warga yang lain. Sehingga mereka yang mendengarkan dapat memberikan solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut.

Memudahkan Sakaratul Maut

Sudah merupakan kebiasaan yang tidak pernah hilang dari masyarakat adalah ketika ada keluarga atau warga lain yang meninggal, pasti akan dilakukan pembacaan surah Yasin. Bahkan pembacaan surah Yasin ini dilakukan oleh keluarga si mayit sesaat menjelang ia sakaratul maut. Abdurrauf al-Singgkili, seorang pembaharu islam Nusantara pada abad ke 17 mengemukakan gagasan yang menarik mengenai penafsiran surah Yasin. Dalam kitabnya yang berjudul Tarjuman al-Mustafĭd menyatakan bahwa jika surah Yasin dibacakan atas orang yang sedang sakaratul maut, maka malaikat akan meminta ampunan baginya. ketika orang tersebut meninggal, malaikat ikut memandikan, menghadiri dan mengiringi jenazahnya, serta ikut menyembahyangkan. Bahkan beliau mengatakan, nyawa orang tersebut tidak akan diambil oleh malaikat maut sebelum malaikat Ridwan datang kepadanya dengan membawa air dari surga.

Sementara ada asumsi yang mengatakan bahwa semua hadits Yasin adalah dha’if  dan palsu, hal ini dibantah oleh syaikh as-Syaukani:

حَدِيْثُ مَنْ قَرَأُ يس اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيْ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا وَ إِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ الصَحِيْحِ وَأَخْرَجُهُ أُبُوْ نُعَيْمٍ وَأَخْرَجَهُ الْخَطِيْبُ فَلاَ وَجْهَ لِذِكْرِهِ فِيْ كُتُبِ الْمَوْضُوْعَاتِ

“ Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa membaca Surah Yasin seraya mengharap ridha Allah, maka ia diampuni.”HR. Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu’, sanadnya sesuai kriteria hadits shahih. Juga diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-khatib (al-Baghdadi). Maka tidak ada jalan mencantumkannya dalam kitab-kitab hadits palsu.

Sebenarnya Masih ada banyak keutamaan lain dari surah Yasin yang juga tidak kalah menakjubkan bagi kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Apalagi jika kita melihat lebih spesifik pelaksanaannya dalam adat istiadat yang berbeda di setiap daerah. Singkatnya, keutamaan membaca surah Yasin menjadi tanda bahwa Alquran benar-benar hidup dan menjadi sumber Landasan kehidupan masyarakat muslim indonesia.

Kebhinnekaan dalam Al-Quran

0
Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika. sumber: tribunnewsswiki.com

Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Inilah semboyan negara kita tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep Kebhinnekaan ternyata dapat kita temukan dalam Alquran. Tulisan ini akan menjelaskan tentang Kebhinnekaan dalam Al-Quran.

Penggunaan kata Bhinneka dalam tulisan ini, terinspirasi dari semboyan yang ada pada lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, warisan karya sastra Mpu Tantular dalam kitab Sutasomanya pada abad ke-14. Kebhinnekaan atau lebih gampangnya keragaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari di permukaan bumi ini. Kebhinnekaan dapat dilihat dari beberapa karakteristik, seperti; polarisasi kelompok-kelompok yang memiliki sub-kebudayaan berbeda, struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga, dan beberapa hal lainnya.

Gina Lestari  juga menyebutkan dalam jurnalnya, karkateristik dari kemajemukan ini, terutama dalam sebuah negara terlihat dari keragaman etnisnya, budaya, bahasa, bahkan alamnya. Keragaman yang ada dalam sebuah negara menjadi keistimewaan tersendiri, sebagaimana Indonesia. Keragaman yang dimiliki Indonesia bisa menjadikannya Negara yang besar sebagai multicultural nation-state, namun, disisi lain dapat pula menjadi ancaman. Kebhinnekaan yang ada dalam sebuah negara memang tidak akan terlepas dari gesekan-gesekan, akan tetapi selama konseptual tentang kebinekaan itu sendiri dipahami dengan baik, dan diterima dengan lapang dada, gesekan dalam masyarakat dapat dihindari.

Kebhinnekaan adalah suatu keharusan dalam hidup, karena menjadi sebuah kodrat -Kehendak Tuhan, dan manusia tidak mampu menghalangi semua itu, manusia harus memahami dan menyadari hal tersebut dengan pemahaman pada etika kodrati. Karena, etika dalam masyarakat majemuk sangat diperlukan sebagai bentuk relasi sosial dalam menjaga kedamaian. Jika konseptual ini tidak dipahami dengan benar, maka kebhinnekaan negara multikultural seperti Indonesia akan dirong-rong dan mengalami guncangan.

Konsep kebhinnekaan bukan semata-mata hadir tanpa adanya landasan kebhinnekaan itu sendiri. Kebhinnekaan atau keragaman beberapa kali disinggung dalam Alquran. Salah satu ayat yang paling populer tentang Kebhinnekaan dalam Al-Quran  adalah surat al-Hujurat [49] : 13.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,  menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kemajemukan yang tertuang dalam surat al-Hujurat di atas, menunjuk keanekaragaman ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin ini semata-mata untuk mendatangkan kebaikan, serta untuk melihat siapa yang senantiasa melangkah pada kebaikan di sisi Allah, meski perbedaan menyelimuti kehidupan. Inilah Kebhinnekaan dalam Al-Quran. (Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk)

Terbentuknya bangsa-bangsa, suku dalam berbagai periode sejarah menurut Wawan Gunawan Abdul Wahid, dkk., bukan untuk meruntuhkan rumah kemanusiaan, dan menyulut konflik, melainkan untuk menghindari hal-hal tersebut.

Kata li ta’arafu dalam ayat tersebut jika dipahami lebih jauh, mengutip pendapat Husein Muhammad, bahwa li ta’aruf  bukan hanya sekedar berkenalan dengan menanyakan alamat, nomor hp, dan nama, melainkan untuk saling memahami tradisi, pemikiran, adat-istiadat, dan hal lain yang berbeda dengan tujuan agar umat muslim lebih bijaksana. Tentulah, jika Allah berkehendak untuk menjadikan satu-homogen, segala apa yang ada di muka bumi ini, niscaya akan Allah samakan semuanya. Akan tetapi, tidak. Sunnatullah yang dirasakan hingga saat ini adalah heterogen, beragam, majemuk.

Karena telah disebutkan bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah kehendak Allah, maka tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardl  adalah menciptakan kerukunan, terlebih kerukunan umat beragama, salah satunya saling menjaga keamanan dan kenyamanan dalam beribadah dengan menjaga rumah ibadah satu sama lain. (Baca Juga: Manusia itu Hamba yang Merdeka, Begini Penjelasannya dalam Al Quran)

Penjagaan rumah ibadah umat beragama ternyata juga termaktub dalam surat Al-Hajj [22]:40, dimana penjelasan mengenai ayat tersebut, bahwa sesungguhnya dalam tempat ibadah agama terdapat penjagaan Allah terhadapnya, tidak hanya terbatas pada masjid saja. Ada sawami’ (biara), biya’ (gereja), dan shalawat (sinagong) -tempat ibadah umat Yahudi. Seandainya Allah berkehendak untuk merobohkan, maka telah Ia robohkan tempat-tempat ibadah itu. Lagi-lagi, tidak. Allah tidak merobohkan dan merusaknya. (Baca juga: Potret Romantisme Islam dan Kristen dalam Al Quran)

Keragaman terasa pula dengan adanya perbedaan warna kulit, budaya, dan bahasa yang disinggung dalam surat ar-Rum [30]:22. Kemajemukan yang menghadirkan perbedaan semakin menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa atas apa yang ingin Ia perbuat, dan ciptakan. Selain itu, keragaman juga menjadi bentuk ujian bagi manusia hingga siapa yang paling terlihat bertakwa pada-Nya, menjadikan manusia saling berlomba dalam kebaikan, berinovasi, dan memiliki jiwa kompetitif. Sebagaimana potongan ayat yang sering kali dikutip dari surat  al-Maidah [5] :48; … wa law sya’a Allahu laja’alakum ummatan wahidah, wa lakin liyabluwakum fi maa ataakum , fastabiqu al-khoirot, …., “maka berlombalah dalam berbuat kebajikan.”

Dalam memperlakukan perbedaan yang ada disekitar, juga dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad yang mengajarkan nilai-nilai universal untuk umatnya, yakni perilaku yang berdasarkan pada akhlak Alquran. Nilai-nilai tersebut tidak lain adalah anti-diskriminasi, anti-prasangka, dan toleran terhadap apa saja yang berbeda, baik agama, etnis, ras, atau bahkan perbedaan lainnya. Sehingga sikap yang diajarkan Nabi ini teraplikasikan dengan adanya Piagam Madinah, yang menghimpun kebhinnekaan etnisitas, budaya, dan bahasa.

Singkatnya, jika setiap insan memahami konsep kebhinnekaan dalam Al-Quran dengan memahami, dan menyadari bahwa kebinekaan yang ada adalah  sunnatullah yang tidak seorangpun dapat menolaknya, maka menjaga kerukunan, dan saling toleransi adalah kewajiban. Konsep kebhinnekaan dalam Al-Quran tidak lain untuk ta’aruf, mengakui kekuasaan Allah, dan berlomba dalam kebaikan, serta menjaga ketakwaan pada-Nya.

Wawwahu A’lam Bissowab

*Tulisan ini adalah sebagian bahasan dalam Skripsi yang ditulis penulis dengan bahasa yang lebih dipersingkat dan disederhanakan. “Tafsir Ayat-Ayat Kebhinnekaan (Studi Penafsiran Mufassir Nusantara Terhadap Ayat-Ayat Kebhinnekaan)”

Tauhid Sebagai Materi Dasar dalam Pendidikan

0
tauhid materi dasar
tauhid materi dasar

Tauhid merupakan materi dasar dalam pendidikan. Hal ini karena tanpa mengetahuinya, peserta didik akan memiliki tingkat spiritualitas rendah. Maka, sejak dini peserta didik harus ditanamkan nilai-nilai ketauhidan kepada Allah swt.

Tauhid bermakna mengesakan Tuhan Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tauhid inilah yang berperan penting sebagai pondasi yang mendasari setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan peserta didik. Pesan untuk mentauhidkan-Nya tersirat dalam QS. An-Nahl [16] ayat 1:

اَتٰىٓ اَمْرُ اللّٰهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْهُ ۗسُبْحٰنَهُ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Ketetapan Allah pasti datang. Maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang)nya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 1

Menurut hadis riwayat Ibnu Abbas dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, saat ayat ini turun dengan redaksi “Ketetapan Allah pasti datang,” para sahabat terkejut. Barulah setelah turun ayat kelanjutannya, “Maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang) nya”. Lalu, para sahabat tenang kembali.

Dalam Zawaid al-Zuhd juga tertera bahwa Abdullah bin Imam Ahmad mencantumkan sebuah atsar dari Ibnu Jarir, Abi Hatim dari Abu Bakar bin Abi Hafs. Abu Bakar menuturkan tatkala ayat turun dengan redaksi, “Ketetapan Allah pasti datang” lantas membuat kaget para sahabat hingga berdiri. Kemudian turunlah ayat selanjutnya, “Maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (kedatangan) nya.” Barulah para sahabat merasa tenang dan duduk kembali.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir menjelaskan bahwa Allah swt menceritakan tentang dekatnya masa hari kiamat yang diungkapkan dalam bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau). Ini menunjukkan bahwa hal itu pasti terjadi.

Adapun redaksi fala tasta’jiluh dijelaskan bahwa hal yang dianggap jauh seperti halnya hari kiamat waktunya telah dekat. Maka janganlah mereka meminta lagi agar disegerakan datangnya. Dhamir hu (kata ganti) yang terdapat pada tasta’jiluhu merujuk kepada Allah. Dapat juga ditafsirkan bahwa ia kembali kepada azab, keduanya saling menguatkan.

Terkait dengan ayat ini, al-Dhahhak mengemukakan suatu pendapat yang nyeleneh. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan amrullah adalah hal-hal yang diwajibkan oleh-Nya dan batasan larangan-Nya. Namun, Ibnu Jarir menyanggahnya.

Ia berujar, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorang yang meminta agar hal yang sifatnya fardhu dan syariat disegerakan pelaksanaannya sebelum waktunya. Lain halnya dengan azab. Mereka meminta disegerakan azab sebelum tiba waktunya, sebagai ungkapan rasa ketidakpercayaan dan mustahil akan terjadi.”

Mengetahui ada seorang yang meminta agar hal yang fardu dan syariat disegerakan pelaksanaannya sebelum waktu keberadaannya. Lain halnya dengan azab. Mereka meminta agar azab disegerakan sebelum tiba masa turunnya, sebagai ungkapan rasa tidak percaya dan anggapan mustahil akan terjadi.”

Sejalan dengan itu, At-Thantawi dalam At-Tafsirul Wasith menafsirkan ataa dengan qarbun wa duna bi dalilin (dekat dan tanpa dalil). Artinya, ketetapan Allah swt itu dekat dan tanpa tanda-tanda sebab hanya Allah swt yang mengetahui.

Adapun fala tasta’jiluhu dimaknai larangan untuk menyegerakan suatu perkara sebab apa yang mereka minta untuk disegerakan belum tentu pasti terjadi.

Tauhid Sebagai Materi Dasar dalam Pendidikan

Sekilas ayat di atas tidak secara eksplisit menyuratkan adanya perintah untuk mentauhidkan Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Namun, apabila diperhatikan lebih dalam akan terlihat bahwa di dalamnya terdapat perintah untuk mentauhidlkan-Nya. Pada redaksi selanjutnya, subhanahu wa ta’ala ‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan).

Satu pesan yang dapat diambil bahwa Allah swt sebagai Tuhan yang patut dan berhak disembah tidaklah sama dengan apa yang dipersekutukan mereka. Materi tauhid merupakan pondasi awal yang harus diajarkan dan ditanamkan sebagai materi dasar untuk pendidikan.

Tanpa ketauhidan, maka semua apa yang kita lakukan bernilai sia-sia atau nihil. Sebab tauhid merupakan puncak dari semua pekerjaan yang kita lakukan tidak lain dan tidak bukan tujuannya hanya Allah semata.

Jika Allah ridha terhadap kita, hidup kita akan mudah dan berkah. Begitu pula dengan peserta didik. Jika semua aktifitas menuntut ilmu diniatkan hanya Allah swt, Insya Allah ilmu yang diperoleh berkah dan manfaat bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. karenanyalah, tauhid memang seharusnya menjadi materi dasar dalam pendidikan. Wallahu a’lam.

Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

0
Dalil Nasionalimse
Dalil Nasionalimse credit: freepik.com

Nasionalisme yang secara sederhana berarti kecintaan terhadap tanah air merupakan fitrah dan naluri semua manusia. Setiap manusia dengan mental yang sehat dilahirkan mencintai tanah kelahirannya (QS al-Baqarah [2]: 144). Dengan demikian sebetulnya tidak dibutuhkan dalil nasionalisme, karena Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah (QS al-Rum [30]: 30).

Tetapi merupakan sebuah realita, bahwa ada sebagian manusia yang menyalahi fitrahnya atau berpikiran pendek, dengan mengatakan bahwa tidak ada dalil nasionalisme dan tidak ada tuntunannya dalam agama. Untuk itu melalui tulisan sederhana ini saya ingin mengangkat beberapa teks otoritatif Alquran beserta tafsirnya, yang menunjukkan bahwa dalil nasionalisme itu ada dan betapa pentingnya arti nasionalisme atau kecintaan terhadap tanah air.

Pertama, Q.S al-Qasas ayat 85:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (petunjuk) Alquran benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (Q.S Al-Qasas [28]: 85).

Syeikh Ismail Haqqi, seorang ulama mufasir penulis kitab tafsir Ruhul Bayan menyatakan bahwa ayat ini mengandung petunjuk bahwa mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Ayat ini menjadi pelipur untuk Nabi saat berhijrah ke Madinah yang pada saat itu masih terus merindukan tanah kelahirannya Makkah, karena itu Allah berjanji kelak akan membawanya kembali ke tanah asal.

Kedua, Q.S al-Baqarah ayat 126 yang merupakan doa Nabi Ibrahim untuk negerinya:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan yang sementara, kemudian Aku haruskan ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS al-Baqarah [2]: 126).

Dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menyatakan bahwa doa tersebut selain masyhur diucapkan oleh Nabi Ibrahim, juga diucapkan oleh semua nabi untuk negaranya masing-masing. Setiap nabi berdoa agar di negaranya terwujud keadilan, kemakmuran, dan rasa bangga.

(Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama)

Ketiga, QS al-Taubah ayat 24:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.

“Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS al-Taubah [9]: 24).

Frasa “tempat tinggal yang kamu sukai” oleh Ahmad al-Najuli dalam al-Muwathanah fi al-Islam diartikan sebagai tanah air. Dalam hal ini kepentingan mencintai dan menjaga tanah air ditempatkan di atas kepentingan mencintai keluarga, harta-benda, dan seterusnya.

Keempat, Q.S al-Nisa ayat 66:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قليلٌ منهم

“Sesungguhnya seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Agar membunuh diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.” (QS. Al-Nisa [4]: 66).

Penulis kitab Tafsir al-Munir, Syeikh Wahbah al-Zuhaily menyatakan, bahwa ayat tersebut menunjukkan betapa besar kecintaan dan keterpautan hati manusia terhadap tanah kelahirannya, terbukti kehilangan atau keluar dari tanah air disejajarkan dalam hal berat dan kesulitannya dengan kehilangan nyawa.

Masih banyak pula ayat-ayat lain yang menyampaikan pesan yang sama, yakni menyejajarkan berat kehilangan tanah air dengan kehilangan nyawa, di antaranya Q.S al-Anfal ayat 30, Q.S al-Baqarah ayat 191, Q.S al-Baqarah ayat 84, Q.S al-Baqarah ayat 85.

Kelima, Q.S al-Taubah ayat 122:

وَما كانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke pertempuran). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. Al-Taubah [9]: 122).

Dalam kitab Tafsir al-Wadih karya Syeikh Muhammad Mahmud al-Hijazi dijelaskan bahwa ayat tersebut memberikan petunjuk tentang kewajiban belajar ilmu di samping kewajiban mempertahankan tanah air. Hal ini juga ditegaskan dalam QزS al-Baqarah ayat 246 di mana pembahasan jihad dihubungkan dengan mempertahankan tanah air:

قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا

“Mereka berkata: Mengapa kami tidak berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dipisahkan dari anak-anak kami?”. (QS al-Baqarah [2]: 246).

Demikian beberapa ayat yang memberi pesan tentang betapa pentingnya mencintai dan membela tanah air bagi seorang manusia yang fitrah. Di samping ayat-ayat tersebut, masih banyak sesungguhnya ayat-ayat lainnya yang memberikan pesan yang sama. Pesan yang juga ditemukan dalam banyak hadis Nabi.

Simpulan dari paragraf-paragraf ayat di atas adalah, bahwa nasionalisme yang sebetulnya tidak membutuhkan dalil karena ia sudah menjadi fitrah manusia, ternyata mempunyai landasan yang kuat dalam Alquran. Alquran memang sebuah samudera yang sangat luas dan lagi dalam mengandung banyak petunjuk, termasuk dalam persoalan ketatanegaraan, tinggal bagaimana kita mau menggali setitik tetesannya. Mengatakan nasionalisme tidak ada dalilnya hanya berdasarkan membaca terjemah satu atau dua ayat Alquran adalah suatu ungkapan sembrono dan menyesatkan dari orang yang masih perlu banyak belajar.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?

0
Makna Haid
Makna Haid credit: freepik.com

Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 222, haid atau masa haid disebut dengan adza. Pertanyaannya benarkah makna haid itu kotoran? Artikel ini akan menerangkan seputar makna dari kata haid dalam Alquran. Allah Swt berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ  قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah ‘adza’.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Sebagian mufasir memaknai kata adza dengan qadzr yang artinya kotoran. Jika dikroscek di Lisan al-‘Arab Ibn Mandhur, qadzr berarti kebalikan dari bersih, yakni kotor. Di kamus Al Munawwir juga sama, qadzr diterjemahkan dengan kotoran. Terjemah ini tampaknya yang dipilih oleh kemenag dalam karya terjemahan Alqurannya, bahkan di edisi terbarunya, edisi penyempurnaan 2019 masih tetap, tidak berubah, yaitu ‘kotoran’.

(Baca Juga:Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Perempuan Haid)

Sementara itu, fitrah manusia cenderung pada bersih, sama sekali tidak menyukai kotor. Kotor adalah keadaan yang tidak rapi, tidak bersih yang membuat orang membenci dan tidak menyukainya. Kaidah umum ini semakin kuat mengingat ada hadis riwayat at-Tirmidzi no 2799 yang berbunyi, Allah itu bersih, dan menyukai kebersihan. Oke, final sudah. Allah menyukai kebersihan yang berarti Ia tidak menyukai kebalikannya, yaitu kotor. Jika Allah saja membenci sesuatu yang kotor, kenapa makhluk ciptaannya tidak? maka harus benci juga.

Nah, ketika keadaan haid itu disebut kotor, maka melalui alur pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa Allah membenci perempuan yang haid, karena keadaannya sedang kotor. Kesimpulan seperti ini membuat manusia di sekitarnya berpikir hal yang sama, mengikuti ‘perintah’ Allah. Oleh karena kotor, maka perempuan haid harus dijauhi dan dihindari. Sampai di sini, tidak heran ketika para laki-laki diperintah untuk menjauhi dan menghindari perempuan haid, karena mereka sedang dalam keadaan kotor. 

Kesimpulan dan pemahaman seperti di atas berpangkal pada makna adza. Pemaknaan adza dengan ‘kotoran’ akan membawa nuansa sensitifitas negatif yang sangat tinggi bagi perempuan. Padahal haid atau tidaknya seorang perempuan adalah ketentuan dari Allah, kalaupun perempuan mencoba mengelaknya, maka akan berakibat fatal pada kesehatan fisik dan psikisnya.

Benarkah makna adza adalah kotoran?

Adza dalam Lisan Al-‘Arab tidak dipadankan dengan satu term yang lain. Di situ adza didefinisikan sebagai setiap sesuatu yang menyebabkan sakit, susah, rugi, bahaya atau semacamnya.

Definisi di atas menginformasikan bahwa kata adza memang tidak menunjuk pada satu makna tertentu. Di situ hanya disampaikan tentang sebuah kriteria, bukan kata benda, kata kerja atau kita sifat tertentu. Pengertian yang seperti ini akan membawa banyak tafsiran nantinya, terlebih ketika adza ada dalam ayat Alquran.

Terbukti dengan perbedaan penafsiran tentang adza dalam surat Al-Baqarah ayat 222. Namun agak unik juga ketika hanya di surat Al-Baqah ayat 222 saja makna adza menjadi sangat beragam hingga menimbulkan perdebatan. Apa karena menyangkut tentang haid, atau karena bersinggungan dengan perempuan, atau karena ada cerita kelam sebelumnya yang berkaitan dengan perempuan yang haid?  

Kita lihat mulai dari at-Thabari. Sebagai mufassir senior, at-Thabari memberikan alternatif pilihan riwayat dalam menafsirkan adza. Di antara riwayat itu mengatakan bahwa adza adalah Ma Yu’dziy bihi min Makruh fihi (sesuatu yang menyakiti karena ada sesuatu yang tidak disenangi di dalamnya), qadzr (kotoran), dam (darah).

Tidak terlalu berbeda dengan seniornya, al-Qurthubi, mufassir yang tafsirnya cenderung fiqhiy ini menafsirkan adza tidak dengan satu tafsir. Ia menafsirkan adza dengan sesuatu yang menyebabkan perempuan menjadi sakit atau terganggu, yaitu darah haid, juga dengan qadzr dan makruh (sesuatu yang tidak disenangi)

Alternatif pemaknaan atas kata adza juga disampaikan oleh mufassir abad modern antara lain M. Ali Ash Shabuniy dan Wahbah Az Zuhaily. Hanya saja makna qadzr (kotoran) dijadikan sebagai pilihan makna pertama, layaknya sinonim dan makna yang paling dekat dengan adza. Setelah itu baru mereka menjelaskan lebih detail.

Sedangkan dalam koteks terjemah dan tafsir Indonesia, sebut saja Terjemah Alquran Kemenag dan tafsirnya, terjemah adza melahirkan polemik tersendiri.

Melalui Fathur Rahman Li Thalibi Ay al-Qur’an, ditemukan bahwa dalam Alquran, kata adza dan derivasinya ada di 23 tempat. di surat Al Ahzab [33]: 48, 53, 53, 57, 58, 59, 69; surat Ibrahim [12]: 14; surat As-Shaf [61]: 5; surat At-Taubah [9]: 61; surat An-Nisa’ [4]: 16, 102; surat Ali Imran[3]: 111, 186, 195; surat Al-An’am [6]: 34; surat Al-‘Ankabut [29]: 10; surat Al-A’raf [7]: 129; surat Al-Baqarah [2]: 196, 222, 262, 263, 264.

Dalam terjemah Alquran Kemenag, arti kata adza di 23 tempat tersebut terklasifikasi menjadi enam, yaitu menyakiti atau disakiti, mengganggu atau gangguan, hukuman, penganiayaan, kesusahan dan kotoran. Satu-satunya yang diterjemahkan dengan kotoran adalah surat Al Baqarah ayat 222. Meskipun demikian, kalau kita menelusuri dalam tafsirnya, akan didapati ketidak samaan dengan bahasa terjemahnya. Dalam tafsir Kemenag disampaikan bahwa haid itu adalah sesuatu, yakni darah yang keluar dari rahim wanita, yang kotor karena aromanya tidak sedap, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan menimbulkan rasa sakit pada diri wanita.

Jika dalam terjemah diartikan dengan ‘kotoran’, maka itu menunjukkan kata benda, sebutan untuk suatu benda yang tidak disenangi. Sedang dalam tafsirnya, kotor dijadikan sebagai sifat dari darah, yang berarti haid itu darah yang kotor. ‘Kotoran’ dan ‘darah yang kotor’ sangat jelas merupakan dua hal yang berbeda makna dan maksudnya.

Meski sesama tafsir yang menggunanakan bahasa Indonesia, M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengalih bahasakan adza dengan ‘gangguan’, bukan dengan ‘kotoran’.  Dua terjemahan yang berbeda ini membawa konsekuensi dan pemahaman yang berbeda pula, paling tidak ketika melabeli perempuan yang sedang haid.

Makna ‘kotoran’ membawa pada pengertian bahwa perempuan yang sedang haid berarti sedang dalam keadaan kotor, karena kotor maka harus dijauhi, kalau tidak, maka akan terkena kotor juga. Sedang makna ‘gangguan’ membawa konsekuensi bahwa perempuan yang sedang haid itu sedang dalam terganggu kesehatannya, atau bisa dikatakan sedang sakit. Perintah untuk menjauhi mereka itupun bukan karena kawatir ketularan terganggu atau ikutan sakit, tetapi lebih kepada meringkankan sakitnya dan tidak menambah ketergangguannya.

Jadi, silahkan anda tentukan sendiri terjemahan yang akan anda gunakan.

Wallahu A’lam

Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

0
napak tilas kemerdekaan islam
napak tilas kemerdekaan islam

Makna kemerdekaan Indonesia dapat kita resapi dengan napak tilas kemerdekaan Islam pada peristiwa Fathu Makkah. Fathu Makkah (pembebasan kota makkah) menjadi momentum kemerdekaan Umat Islam setelah berpuluh tahun dirongrong oleh Masyarakat Jahiliyyah. Namun, lebih dari itu kemerdekaan Islam ternyata memiliki makna yang senada dengan kemerdekaan Indonesia 75 tahun silam.

Maka patut kiranya, momentum kemerdekaan Indonesia ini kita napak tilasi kembali pada peristiwa Fathu Makkah. Petistiwa bebasnya umat Islam dari krisis moral-spiritual, kemanusiaan, dan agama. Hingga, peristiwa ini pun diabadikan dalam QS. Al-Maidah ayat 3, An-Nashr, dan beberapa surat lainnya.

Latar Terjadinya Fathu Makkah

Peristiwa itu berawal dari pengingkaran Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan pihak Suku Quraisy dan sekutunya, Bani Bakr.

Menurut riwayat ‘Urwah bin Zubair, sebagaimana yang disitir oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyahnya, Suku Quraisy melakukan pengkhianatan dengan berencana untuk membantu Bani Bakr balas dendam kepada musuhnya. Musuhnya itu ialah Bani Khuza’ah yang sebelumnya memutuskan untuk bergabung dengan Nabi SAW.

Rencana tersebut akhirnya terendus oleh ‘Amr bin Salim al-Khuza’i dan salah seorang Bani Ka’ab. Lalu, kedua orang itu lapor kepada Nabi. Menyadari hal itu, Suku Quraisy mengutus Abu Sufyan untuk memperbarui perjanjian dan memberi keringanan waktu.

Akan tetapi, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Alih-alih memberi kesempatan, Nabi dengan tegas memerintahkan pengikutnya untuk bersiap dan bergegas menuju Mekah untuk membebaskan kota tersebut dari hegemoni Quraisy. Setelah peristiwa itu, pamor Suku Quraisy jatuh dan masa depannya tamat alamat.

Puncak Kemerdekaan Islam

Fathu Makkah menjadi puncak kemerdekaan Islam dari berbagai belenggu ketertindasan, krisis moral-spiritual, agama, dan humanisme. Masyarakat Arabia yang semula sarat dengan sistem yang tidak adil seperti praktik perbudakan, marginalisasi perempuan, dan fanatisme suku, telah mengalami reformasi. Fathu Makkah dilakukan Nabi untuk merealisasikannya. Baca juga: Tafsir Surah Al Qashash Ayat 85: Cinta Tanah Air adalah Sebagian Dari Iman

Nabi memproklamirkan dasar-dasar reformatif itu semenjak masuk ke Mekah. Seusai tawaf di ka’bah, ia pun mengutip firmanNya dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 tentang prinsip egaliterianisme:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti”

Dari ungkapan Nabi, tampak bahwa Islam menyerukan perasaan yang sama, setara, dan tidak saling mengungguli dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga, Umat Islam bangkit menjadi umat yang berperi keadilan, progresif, dan toleran terhadap sesama.

Selain itu, saat Nabi memasuki Ka’bah, ia menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya sendiri. Pada saat itu, ia menyampaikan firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 81:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (Q.S. al-Isra [17]: 81)

Ungkapannya ini menandakan bahwa krisis agama yang terjadi waktu itu telah sirna. Tiada Tuhan kecuali Yang Esa. Kebatilan berupa kemusyrikan dan penyembahan kepada selain-Nya telah dibumihanguskan.

Kebangkitan Islam pada peristiwa yang terjadi pada 10 Ramadhan 8 Hijriyyah tersebut pantas disebut puncak kemenangan Islam. Tentu saja karena keberhasilan Nabi melakukan reformasi masyarakat Jahiliyyah yang mengalami dekadensi dan krisis secara kompleks. Sampai pada titik menjadi masyarakat madani yang berperadaban dengan integritas umat yang sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 3:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِيناۚ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu”

Menurut Imam Nawawi dalam Marah Labid, al-yawma di situ diartikan dengan hari saat Kafir Quraisy sudah kehabisan tenaga meneror kaum muslimin. Sedangkan atmamtu ni’mati ditafsirkannya dengan kesempurnaan nikmat berupa Fathu Makkah. Maka, sempurna sudah agama Islam, nilai-nilai dan ajarannya kala itu.

Makna yang senada juga terdapat dalam QS. An-Nashr ayat 1:

إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”

Menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wat-Tanwir, al-fath di situ dimaknai dengan persitiwa Fathu Makkah. Ditandai pula dengan ayat setelahnya yang menyatakan Islamnya orang dengan berbondong-bondong.

Makna Fathu Makkah bagi Indonesia

Tidak ada perbedaan yang esensial dari merdeka versi Indonesia dan Islam saat Fathu Makkah. Mungkin hanya dari segi konteks dan teknis yang berbeda, maknanya sama.

Merdeka versi Islam ialah bebas dari krisis moral-spiritual berupa penindasan kaum proletar. Indonesia pun dahulu juga berusaha hingga berhasil dari jeratan kerja rodi dan romusha, yang kebanyakan menyerang masyarakat yang lemah. Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Merdeka versi Islam bebas dari segala penyimpangan agama berupa kemusyrikan dan kekafiran. Begitu pun Indonesia berusaha memerdekakan diri dari praktik agama dan aliran sesat dengan bukti sila pertama Pancasila.

Merdeka versi Islam ialah menghapus tradisi yang otoriter berupa fanatisme suku dan klan. Indonesia juga berusaha memberi kebebasan untuk semua warganya. Sebagaimana pembukaan Undang-undang Dasar 45 bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa.

Lantas, masihkah kita melestarikan makna kemerdekaan itu hari ini? fa sabbih bi hamdi rabbika wastaghfir!

Inilah Alasan Dianjurkan Bertaawudz Sebelum Membaca Basmalah

0
Bertaawudz Sebelum Membaca Basmalah
Bertaawudz Sebelum Membaca Basmalah

Doa adalah senjatanya orang mukmin. Orang mukmin diperintahkan untuk berdoa dalam kondisi apapun dengan berharap agar doanya terwujud. Artikel ini akan mengungkap alasan dianjurkan bertaawudz sebelum membaca basmalah.

Ta’awwudz adalah akronim dari a’udzu Billah Min as-Syaithan al-Rajim sebagai doa yang dianjurkan sebelum membaca Basmalah. Keduanya menjadi doa yang selalu dilantunkan dalam memulai segala hal salah satunya membaca al-Quran. Hal ini terungkap dalam surat an-Nahl (16):98) yang berbunyi:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Quran hendalah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk (QS. An-Nahl ayat 98)

Lantas, bagaimana asal-usul dari kalimat Ta’awwudz? Apa urgensinya terhadap orang mukmin? Mengapa bertaawudz sebelum membaca basmalah? Simak penjelasannya.

Kata  تعوذ (Ta’awwudz) terambil dari kata عاذ-يعوذ(‘adza-ya’udzu) yang dibentuk oleh ketiga huruf ‘ain, wauw, dan dzal yang mengandung makna dasar “perlindungan kepada sesuatu”. Makna ini pun berkembang sehingga diungkapkan dengan “segala sesuatu yang melekat atau menyertai sesuatu”. Jadi, disimpulkan bahwa makna ta’awwudz ialah berlindung agar terhindar dari sesuatu yang ditakuti  serta menuju kepada siapa yang diharapkan untuk melindungi.

Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan mengungkapkan bahwa perlindungan yang dimaksud tidak terbatas pada bahaya mengancam saja. Ta’awwudz juga sebagai cara untuk menjaga perlindungan yang bersinambung sehingga selalu melekat dan menyertai yang memohon perlindungan.

(Baca Juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran )

Sejatinya, kalimat Ta’awwudz diucapkan dalam rangka berlindung kepada Allah Swt dari godaan setan. Itulah mengapa saat kita membaca al-Quran, kita diperintahkan untuk mengajukan permohonan kepada Allah agar terhindar dari godaan setan.

Surat al-Nahl(16):98 diatas telah jelas menjelaskan manfaat dari membaca Taawwudz ini. Quraish Shihab meneruskan bahwa Taawwudz ini berfungsi untuk menghilangkan rasa kecenderungan hati karena terpengaruh oleh setan, baik itu diri sendiri atau karena nafsunya. Biasanya, jika seseorang meluapkan amarah yang besar, disitulah setan sedang berusaha membisikkan hal-hal yang negatif ke telinga kita.

Hal Yang Dianjurkan Untuk  Ta’awwudz

Bertaawudz sebelum membaca basmalah atau hendak membaca al-Quran ternyata tidak harus. Para Ulama menganjurkan agar berta’awuz ketika menguap. Hal ini karena menguap berasal dari setan dan ia memiliki potensi untuk masuk ke tubuh kita saat menguap. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi:

التثائب من الشّيطان فإذا تثائب أحدكم فليردّه ما استطاع فإنّ أحدكم إذا قال ها ضحك الشّيطان

“Menguap itu dari setan. Maka jika seseorang dari kalian menguap hendaklah sedapat mungkin ditahannya karena bila seseorang dari kalian menguap dan mengeluarkan suara haa, setan akan tertawa.” (HR.Imam Bukhari dalam kitabnya al-Jami’ al-Shahih)

Quraish Shihab memaparkan bahwa jika memang para ulama menganjurkan , bukan berarti harus bertaawwuz saat itu juga. Ia hanya sekedar bertujuan untuk mengenyahkan kelesuan dan ajakan untuk tidur. Disamping itu, menguap dinilai sebagai sikap yang buruk.

Setan selalu terlibat dalam hal yang buruk sedikit atau banyaknya buruk itu. Maka, sebaiknya kita bertaawwuz karena ia adalah sesuatu yang baik. Tentunya, bertaawwuz hanya untuk Allah semata bukan selainNya. Tiada orang yang bisa memberi perlindungan tanpa izin Allah.

Lantas, jika sudah bertaawwudz, apakah setan enggan mengganggu kita?

Setan atas izin Allah bisa mengganggu dan menggoda manusia, namun Allah Swt juga menganugerahi manusia untuk berpotensi menampik/melawan gangguan setan. Munculah disini peran untuk memohon perlindungan Allah Swt. Quraish Shihab memberikan contoh dengan seseorang yang memiliki anjing yang menggonggong dan mencenderai. Jika kita  mengusir atau memberi pangan anjing tersebut, belum tentu akan mengenyahkan anjing itu. Caranya ialah dengan meminta kepada si pemilik anjing untuk mencegah peliharaannya agar tak mengganggu. Wallohu A’lam.

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

0
indonesia rumah kita bersama
indonesia rumah kita bersama (tebuireng online)

Al-Quran menggambarkan tanah air merupakan suatu hal yang sangat bernilai dan berharga. Indonesia sebagai tanah air, sekaligus rumah kita bersama yang gemah ripah loh jinawi haruslah kita jaga dan rawat. Jangan beri ruang sedikitpun kepada mereka yang ingin merongrong dan menumgbangkan rumah kita bersama, Indonesia. Meskipun ujian dan cobaan terus silih berganti, mulai khilafahisme, separatisme, radikalisme, dan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih menghantui.

Terlepas dari semua itu, Islam melalui kitab sucinya, Alquran menyerukan kepada kita untuk cinta terhadap tanah air, menjaga dan merawatnya adalah wujud mensyukuri atas nikmat-Nya dan bernilai ibadah di sisi-Nya sebagaimana yang terindahkan dalam pesan-Nya Q.S. an-Nisa [4]: 66,

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” ternyata mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (Q.S. al-Nisa [4]: 66)

Tafsir Surah An Nisa Ayat 66

Ibnu Jarir sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku al-Musanna, Ishaq, al-Azar, dari Ismail, Abu Ishaq al-Zuba’i terkait asbabun nuzul ayat ini bahwa ada seorang lelaki mengatakan, “Sekiranya kita diperintahkan untuk itu, niscaya kami benar-benar akan melakukannya, namun segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari perintah itu.”

Ketika hal itu sampai kepada Rasul saw, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara umatku benar-benar terdapat banyak laki-laki yang masih beriman di dalam hatinya, di mana iman tersebut lebih teguh lagi kokoh ketimbang gunung-gunung yang terpancang dengan kokohnya.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana sikap manusia secara universal dalam mematuhi perintah Allah. Mayoritas dari mereka tatkala diperintahkan hal-hal “berat” yakni kebaikan, mereka enggan bahkan menolak melaksanakannya seperti halnya orang munafik dan mereka yang lemah imannya.

Dalam konteks kemerdekaan Indonesia yang tengah kita peringati saat ini, Alquran menganggap mengusir seseorang dari tanah ari sepadan membunuh nyawanya sebagaimana diungkapkan oleh al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya,

جعل مفارقة الوطان معادلة لقتل النفس

Allah menjadikan berpisah dengan tanah air sebanding dengan dibunuhnya nyawa.

Dengan terusirnya dari tanah air menunjukkan bahwa hal itu setara bahkan lebih kejam dibanding pembunuhan. Dalam ayat lain disebutkan,

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 191)

Ayat ini ditafsiri oleh Mula al-Qari, pakar hadits dalam sebuah karyanya Mirqatul Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih, ia menafsirkan kata fitnah dalam ayat tersebut sebagai berikut,

ومفارقة الوطان المألوفة التي هي أشد البلاء ومن ثم فسر قوله تعالى وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ بالإخراج من الوطن :لأنه عقب بقوله وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ

“Berpisah dengan tanah air yang dicintai adalah cobaan paling berat. maka dari itulah firman Allah “dan fitnah itu lebih berat dari pembunuhan” ditafsiri dengan diusir dari tanah air sebab terusan dari ayat itu adalah “maka usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian”.

Sedangkan al-Qurthuby menaruh perhatian serius terhadap ciri pemberontak dan orang kafir. Ia menukill pendapat sebagian ulama bahwa ayat ini menerangkan tentang ketidaksamaan membelotnya para pemberontak dan orang kafir terhadap pemimpin.

Jika orang kafir berperang, maka tujuan mereka adalah membunuh semua orang dalam peperangan. Lain halnya dengan pemberontak, goal (tujuan) mereka berperang adalah untuk menghasut, mengadu domba, memprovokasi dengan ujaran kebencian agar terjadi disintegrasi dan menimbulkan perang saudara. Naudzu billah min dzalik. Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Karenanya ayat-ayat Alquran di atas menunjukkan betapa sangat mahalnya harga sebuah kemerdekaan, kedamaian dan kemakmuran tanah sampai-sampai Alquran menggambarkan pengusiran tanah air disandingkan dan disepadankan dengan pembunuhan atas nyawa atau bahkan lebih berat dan kejam dari itu.

Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Sebagaimana yang disebutkan dalam sirah Nabawiyah, Rasulullah saw itu pribadi yang sangat nasionalis, sangat cinta tanah air, sangat mencintai rumahnya dan tiada henti mendoakan keselamatan dan kemakmuran negerinya. Rasul saw sangat mencintai kota Makkah, karena ia lahir dan besar di Makkah, ayah bundanya asli penduduk Makkah, dan semua sanak kerabatnya tinggal di Makkah.

Namun, karena perintah Allah swt dan risalah dakwahnya yang harus menyebarkan agama Islam, di samping kebringasan dan pendiskriminasian tiada henti dari penduduk Makkah, maka beliau berhijrah ke Madinah.

Di situlah Madinah mengisi ruang hati Nabi saw, sebab penduduk di sana mereka menerima Rasul saw dan dakwahnya dengan penuh kehangatan dan tangan terbuka sehingga muncul doa kecintaann nabi kepada tanah airnya,

اَلَّلهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah jadikan kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah bahkan lebih darinya.” (H.R. an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra)

Jika Nabi saw saja sebagai pribadi yang sangat mencintai tanah airnya, lantas kita sebagai umatnya bukankah mencintai Indonesia adalah sebagai bentuk peneladanan terhadap sunnah-Nya. Maka nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangan dengan ajaran Islam.

Bahkan, sejatinya dapat menjadi sarana mengejawantahkan ajaran-ajaranNya seperti beramal shalih, saling menghormati dan menghargai, saling gotong royong membangun kemakmuran, kedamaian dan kemajuan bangsa bersama. Bukankah hal itu yang telah diteladankan oleh ulama-ulama Nusantara dahulu?

Meskipun ulama kita menuntut ilmu di negara Arab (Makkah, Madinah, Mesir, dan negara timur tengah lainnya) tatkala kembali ke tanah air beliau membawa intisari ajaran Islam yang damai, inklusif dan rahmatan lil ‘alamin, beliau tidak membawa identitas atau simbol ke arab-araban, sebab Islam datang tidak untuk mengarab-arabkan, Islam datang untuk rahmatan lil ‘alamin (memberikan rahmat bagi semua manusia dan alam).

Akhirnya, saya ingin mengutip pernyataan Gus Mus, “Indonesia adalah rumah kita bersama, tempat kita lahir, tempat kita mencari nafkah, tempat kita menghirup kesejukan udaranya, tempat kita bersujud, dan tempat kita dikebumikan kelak, maka mari kita jaga, kita rawat rumah ini dengan sebaik-baiknya, jangan biarkan orang lain merusaknya.” Dirgahayu Indonesiaku. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 41-43

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 41

Digambarkan pula bagaimana keadaan manusia di akhirat nanti. Allah Maha Pengasih tidak akan merugikan hamba-Nya yang mengerjakan kebaikan walaupun sedikit, tapi akan diberi pahala yang berlipat ganda atas kebaikannya itu.

Digambarkan pula, bagaimana keadaan manusia nanti kalau mereka berhadapan dengan saksi-saksi mereka, dengan nabi-nabi mereka. Tiap-tiap umat akan berhadapan dengan saksi mereka, seperti umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, masing-masing umat itu akan dihadapkan ke hadapan saksinya, yaitu nabi mereka masing-masing.

Pada waktu itulah dapat diketahui, siapa yang sebenarnya pengikut nabi dan siapa yang hanya pengakuannya saja mengikuti nabi, tapi amal perbuatannya mendurhakai nabi. Maka siapa yang telah disaksikan oleh nabinya bahwa dia betul-betul telah mengikuti ajaran rasul, maka orang itu termasuk orang yang beruntung.

Bila nabinya berlepas diri dari mereka, karena amal perbuatannya dan kepercayaannya tidak sesuai dengan yang diajarkan rasul, maka mereka termasuk orang yang rugi. Nabi Muhammad saw akan menjadi saksi bagi umat Islam nanti dan bagi semua manusia. Allah berfirman:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah/2:143)

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad sampai mengucurkan air mata, ketika mendengarkan ayat ini dibacakan seorang sahabat kepadanya, memikirkan bagaimana hebatnya suasana pada hari akhirat, beliau akan melihat dengan jelas pengikut-pengikutnya yang setia dan benar dan yang pura-pura dan palsu, sebagaimana diterangkan dalam hadis Nabi saw:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْرَأْ عَلَيَّ! قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اَقْرَأُ عَلَيْكَ؟ وَعَلَيْكَ اُنْزِلَ؟ قَالَ: نَعَمْ، اِنِّي اُحِبُّ اَنْ اَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِيْ. فَقَرَأْتُ سُوْرَةَ النِّسَاءِ حَتَّى اَتَيْتُ اِلَى هٰذِهِ اْلاٰيَةِ  فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ  الخ. فَقَالَ: حَسْبُكَ اْلاٰيَةُ فَـاِذًا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

(رواه البخاري ومسلم عن ابن مسعود)

Dari Ibnu Mas’ud dia berkata, Rasulullah saw telah berkata kepada saya,  “Tolong, bacakan kepada saya Alquran itu.” Lalu saya menjawab, ”Ya Rasulullah, akukah yang akan membacakan kepada engkau, padahal dia diturunkan kepada engkau?” Rasulullah berkata, “Betul, tapi saya ingin mendengarkannya dibaca oleh orang lain.” Maka aku membaca surah An-Nisa’. Ketika aku sampai membaca ayat ini (ayat 41), maka beliau bersabda, “Sekarang cukuplah sebegitu saja,” dan tiba-tiba air matanya bercucuran.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’µd).

Ayat 42

Ayat ini menggambarkan bagaimana penyesalan orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasulullah pada hari kiamat, setelah melihat hebatnya azab yang akan mereka derita. Semua perbuatan mereka yang salah, lebih-lebih perbuatan mereka mengingkari Allah dan tidak patuh menuruti ajaran Rasul, pada hari itu akan mendapat balasan yang setimpal. Apalagi pada hari itu sengaja Rasul didatangkan untuk menjadi saksi atas perbuatan mereka.

Alangkah malunya mereka dan menyesal atas perbuatan mereka semasa hidup di dunia. Sampai-sampai mereka menginginkan, lebih baik mereka disamakan saja dengan tanah. Bahkan mereka ada yang menginginkan agar jadi tanah saja, jangan jadi manusia yang akan mendapat siksaan yang hebat dari Allah. Allah berfirman:

وَيَقُوْلُ الْكٰفِرُ يٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا ࣖ

… Dan orang kafir berkata, ”Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.” (an-Naba’/78:40)

Begitulah hebatnya penyesalan mereka pada hari itu, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Pada saat itu orang-orang kafir tidak dapat menyembunyikan sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan. Kedurhakaan mereka kepada Allah dan Rasul, kesombongan dan ketakaburan mereka, dan tentang kebakhilan dan ria mereka. Pendeknya tidak dapat mereka sembunyikan semua kejelekan dan kesalahan mereka. Pada hari itu tidak satu pertolongan pun yang dapat menolong mereka.

Apa yang biasa mereka jadikan tempat minta tolong dan minta syafaat, selain dari Allah, semuanya berlepas diri, tidak mampu menolong dan melepaskan mereka dari siksa yang hebat itu. Allah berfirman:

وَيَوْمَ نَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا ثُمَّ نَقُوْلُ لِلَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَيْنَ شُرَكَاۤؤُكُمُ الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تَزْعُمُوْنَ   ٢٢  ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا وَاللّٰهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِيْنَ   ٢٣  اُنْظُرْ كَيْفَ كَذَبُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ   ٢٤

(22) Dan (ingatlah), pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, ”Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu sangka (sekutu-sekutu Kami)?”(23) Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, ”Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah.” (24) Lihatlah, bagaimana mereka berbohong terhadap diri mereka sendiri. Dan sesembahan yang mereka ada-adakan dahulu akan hilang dari mereka.  (al-An’am/6:22, 23 dan 24)

Ayat 43

Orang-orang mukmin dilarang mengerjakan salat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak dibolehkan salat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam salat. Pada waktu keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan khusyuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan kaum Muslim akan bahaya minum khamar sebelum diharamkan sama sekali.

Adapun sebab turunnya ayat yang berkenaan dengan tayamum adalah sebagai berikut: Dalam suatu perjalanan Nabi Muhammad saw, Siti Aisyah kehilangan kalungnya, maka beliau beserta sahabat-sahabatnya mencari kalung itu. Di tempat itu tidak ada air dan mereka kehabisan air (sedang waktu salat telah tiba), maka turunlah ayat ini, lalu mereka salat dengan tayamum saja.

Dalam ayat ini orang mukmin dilarang melaksanakan salat pada waktu ia berhadas besar. Larangan ini akan berakhir setelah ia mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan batin. Di antara hikmah mandi, apabila seseorang sedang lesu, lelah dan lemah biasanya akan menjadi segar kembali, setelah ia mandi.

Lazimnya meskipun salat dapat dilakukan di mana saja, salat itu sebaiknya dilakukan di mesjid. Maka orang yang sedang junub dilarang salat, juga dilarang berada di mesjid kecuali sekedar lewat saja kerena ada keperluan.

Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa seorang sahabat Nabi dari golongan Ansar, pintu rumahnya di pinggir mesjid. Pada waktu junub, ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati mesjid, maka ia dibolehkan oleh Rasulullah saw melewatinya dan tidak memerintahkan menutup pintu rumahnya yang ada di pinggir mesjid itu.

Dapat dimaklumi bahwa orang yang salat harus suci dari hadas kecil, yaitu hadas yang timbul oleh misalnya karena buang air kecil atau suci dari hadas besar sesudah bersetubuh. Menyucikan hadas itu adalah dengan wudu atau mandi.

Untuk berwudu atau mandi kadang-kadang orang tidak mendapatkan air, atau ia tidak boleh terkena air karena penyakit tertentu, maka baginya dalam keadaan serupa itu diperbolehkan tayamum yaitu mengusap muka dan tangan dengan debu tanah yang suci.

Yang dimaksud dengan au lamastum an-nisa a ialah menyentuh perempuan (yang bukan mahram). Maka menyentuh perempuan mengakibatkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan wudu atau tayamum. Apabila seseorang  buang air kecil atau buang air besar, maka kedua hal itu menyebabkan hadas kecil yang dapat dihilangkan dengan  wudu.

Setiap orang buang air kecil atau buang air besar diwajibkan menyucikan dirinya dengan membersihkan tempat najis itu (istinja’). Hal itu dapat dilakukan dengan memakai air atau benda-benda suci yang bersih seperti batu, kertas kasar dan lain sebagainya.

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan  menyentuh perempuan  dalam ayat ini ialah bersetubuh, sedang bersetubuh mengakibatkan hadas besar yang dapat dihilangkan dengan mandi janabah.

Hukum-hukum yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah tidak memberati hamba-Nya di luar batas kemampuannya, karena Dia adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 37-40

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 37

Siapakah orang yang sombong dan takabur itu dan bagaimana perbuatannya? Mereka adalah orang-orang yang bakhil, tidak mau berbuat kebaikan sebagaimana yang telah diperintahkan Allah.

Mereka tidak mau memberikan pertolongan dengan harta, tenaga dan pikiran untuk kemaslahatan sesama manusia. Di samping bakhil mereka mempengaruhi orang lain untuk berlaku bakhil, agar orang lain tidak mengeluarkan hartanya untuk menolong orang yang perlu ditolong.

Di dalam hati mereka tersimpan sifat loba dan tamak kepada harta benda. Biar orang lain hidup melarat dan sengsara, asal mereka dapat hidup senang dan bermegah-megah. Mereka menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.

Mereka berpura-pura seperti orang yang selalu dalam kesempitan dan kekurangan. Mereka yang seperti itu termasuk manusia yang tidak bersyukur kepada Allah, mereka adalah orang yang kafir atas nikmat Allah. Bagi orang kafir, Allah menyediakan siksa yang menghinakan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Ayat 38

Pada ayat ini dijelaskan sifat dan perbuatan orang yang sombong dan takabur, yaitu mereka menafkahkan hartanya karena ria. Mereka mau memberikan pertolongan kepada seseorang dengan hartanya, karena ingin dilihat orang, dibesarkan dan dipuji orang. Bukan karena ingin membayar kewajiban terhadap sesama manusia.

Pada hakikatnya mereka sama saja dengan orang yang bakhil cuma bedanya orang yang bakhil tidak mau sama sekali mengeluarkan hartanya untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia, malahan selalu loba dan tamak mengumpulkan harta benda dan kadang-kadang tidak peduli dari mana diperolehnya harta itu, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram.

Sedangkan orang ria, kadang-kadang mau berbuat kebaikan terhadap sesama manusia dengan mengeluarkan hartanya, asal dia mendapat pujian dan sanjungan. Bahkan untuk yang tidak baik sekalipun dia mau mengeluarkan hartanya, asal dia dapat pujian dari manusia.

Jadi orang ria itu mengeluarkan hartanya bukan karena bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya yang banyak dan bukan pula karena kesadarannya dalam membayarkan kewajibannya sesama manusia, tetapi hanya semata-mata karena hendak dipuji saja.

Perbuatan seperti itu adalah perbuatan orang yang tidak percaya kepada Allah dan tidak percaya kepada hari akhirat. Orang yang percaya kepada Allah, mau mengeluarkan hartanya dengan ikhlas, tidak untuk mencari pujian, tetapi hanya mengharapkan balasan dari Allah nanti. Yang mendorong orang itu berbuat demikian, tidak lain hanya karena menurut ajaran setan saja, tidak mau mengikuti petunjuk Allah.

Ajaran setan selalu membawa manusia kepada perbuatan yang keji dan terlarang. Maka dengan sendirinya manusia yang seperti itu telah menjadi teman dan pengikut setan, sedang setan itu adalah teman yang jahat.

Maka akan celakalah akhirnya manusia bila telah berteman dengan setan. Dia akan terjauh dari jalan yang benar yang akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat nanti.

Teman mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Berapa banyak orang yang baik bisa rusak karena berteman dengan orang yang jahat, dan berapa banyak pula orang yang jadi baik karena berteman dengan orang yang baik. Berhati-hatilah mencari teman, jangan berteman dengan sembarang orang.

Seperti halnya pada masa Rasulullah saw orang Ansar disuruh berhati-hati berteman dengan orang Yahudi, karena ternyata orang-orang Yahudi itu selalu mempengaruhi orang mukmin agar jangan mau mengeluarkan harta untuk membantu seseorang, dengan alasan nanti bisa jatuh miskin, atau bisa mengakibatkan sengsara di hari depan.

Ayat 39

Ayat ini merupakan pertanyaan yang mengandung peringatan kepada manusia yang mempunyai sifat dan perbuatan seperti tersebut dalam ayat di atas. Sudah jelas, mereka akan beruntung dan berbahagia serta selamat sejahtera di dunia dan di akhirat bila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta mau memberikan sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepadanya untuk kemaslahatan sesama manusia.

Sifat orang yang sombong dan takabur dan mereka yang bakhil, sudah jelas akan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi mereka, dan mereka akan mendapat siksa nanti di akhirat. Tetapi mengapa mereka tidak mau sadar dan insaf, dan tidak mau mengikuti ajaran Allah dan Rasul. Apakah mungkin karena kebodohan mereka atau mungkin karena hati mereka sudah tertutup untuk menerima kebenaran.

Mengharapkan pujian dan balasan dari manusia akan banyak mendatangkan kekecewaan dan putus asa. Apalagi kalau sudah ditimpa oleh musibah, maka timbullah kegoncangan dan kegelisahan dalam pikiran dan jiwa yang mengakibatkan putus asa dan hilang harapan.

Berapa banyaknya korban yang jatuh akibat putus asa dan hilang harapan di mana manusia berani bunuh diri karenanya. Seandainya mereka orang yang beriman, tentu tidak akan ada sifat putus asa dan hilang harapan pada mereka.

Mereka tentu akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kalau mendapat karunia dan nikmat, mereka bersyukur kepada Allah dan mempergunakan karunia itu untuk mengerjakan amal yang diridai-Nya. Tapi sebaliknya, kalau dia mendapat musibah, dia sabar dan tawakal kepada Allah. Bahkan musibah itu dianggapnya sebagai ujian dari Allah untuk memperkuat imannya.

Iman yang kuat dan keyakinan yang membaja adalah senjata yang ampuh untuk mempengaruhi hidup yang beraneka ragam corak dan bentuknya. Kadang-kadang menjadikan hati gembira dan kadang-kadang sedih dan duka. Kadang-kadang menjadikan seseorang gelak tertawa dan kadang-kadang menangis mengucurkan air mata.

Tetapi di dalam hati orang beriman itu tetap ada keyakinan, bahwa Allah mengetahui setiap perbuatan manusia. Allah mengetahui mana manusia yang ikhlas beramal dan mana manusia yang beramal karena mengharapkan pujian manusia. Allah akan memberikan balasan kepada seseorang sesuai dengan niatnya.

Ayat 40

Ayat ini memerintahkan agar orang suka berbuat baik. Setiap kebaikan yang dikerjakan seseorang tidak akan dikurangi Allah pahalanya, sebab mengurangi itu artinya menganiaya. Mustahil Allah akan bersifat aniaya kepada hamba-Nya, sebab Allah bersifat sempurna lagi Maha Pemurah.

Setiap kebaikan yang dikerjakan seseorang, asal dia mengerjakan karena Allah, akan diberi pahala, bahkan pahalanya itu berlipat-ganda, sampai sepuluh kali lipat atau lebih. Allah berfirman:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An’am/6:160)

Itulah sebagai tanda bahwa Allah Maha Pemurah dan karunia-Nya sangat luas dan banyak. Dia memberikan pahala kepada setiap orang yang berbuat baik dengan berlipat ganda yang disebut dalam ayat ini dengan pahala yang besar.

(Tafsir Kemenag)