Beranda blog Halaman 539

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 58-61

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 58

Ayat ini memerintahkan agar menyampaikan “amanat” kepada yang berhak. Pengertian “amanat” dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata “amanat” dengan pengertian ini sangat luas, meliputi “amanat” Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.

Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.

Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain: mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apa pun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di dalamnya ialah:

  1. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apa pun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat ini.

وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ

… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…. (an-Nisa’/4:58)

Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad saw menjadi contoh. Di dalam satu pernyataannya beliau bersabda:

لَوْ سَرَقَتْ فَاطِمَةُ بِنْـتُ مُحَمَّدٍ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

(رواه الشيخان عن عائشة)

 Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya” (Riwayat asy-Syaikhan dari ‘Aisyah)

  1. Sifat adil ulama (yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasihat-nasihat yang menambah kuat imannya, menyelamatkan dari perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan melakukan kebajikan, mengeluarkan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah.
  2. Sifat adil seorang suami terhadap istrinya, begitu pun sebaliknya, seperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, tidak membeberkan rahasia pihak yang lain, terutama rahasia khusus antara keduanya yang tidak baik diketahui orang lain.

Amanat seseorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan akhirat, dan lain sebagainya.

Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup dan kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 59

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin taat dan patuh kepada-Nya, kepada rasul-Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka agar tercipta kemaslahatan umum. Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, hendaklah kaum Muslimin:

1. Taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Alquran, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. Sebenarnya segala yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang dilarang-Nya mengandung mudarat.

2. Melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah untuk dilaksanakan oleh segenap hamba-Nya. Dia ditugaskan untuk menjelaskan kepada manusia isi Alquran. Allah berfirman:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ

“… Dan Kami turunkan Az-Zikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ….” (an-Nahl/16:44)

3. Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum Muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan Kitab Alquran dan hadis. Kalau tidak demikian halnya, maka kita tidak wajib melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya, karena tidak dibenarkan seseorang itu taat dan patuh kepada sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat pada Allah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ (رواه أحمد)

 Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiat kepada Khalik (Allah swt).  (Riwayat Ahmad)

4. Kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Alquran dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw.

Tentunya yang dapat melakukan kias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Alquran dan sunah Rasul. Demikianlah hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Ayat 60

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw agar memperhatikan sikap dan tingkah laku orang-orang yang telah mengaku dirinya beriman kepada Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah saw dan kepada kitab-kitab suci lainnya yang diturunkan kepada nabi dan rasul sebelumnya. Orang-orang yang mengaku beriman ini telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pengakuan keimanan yang mereka ucapkan.

Andaikata mereka benar-benar beriman kepada Muhammad sebagaimana diucapkan dengan mulut mereka, tentu mereka mau bertahkim kepadanya untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara mereka, dan tidak akan mau bertahkim kepada Tagut yaitu orang yang banyak bergelimang dalam kejahatan dan kesesatan.

Yang dimaksud dengan Tagut di sini ialah Ka’ab bin al-Asyraf, seorang Yahudi yang selalu memusuhi Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin. Ada yang mengatakan yang dimaksud Tagut di sini ialah Abu Barzah al-Aslami seorang tukang tenung di masa Nabi. Termasuk juga di sini berhala-berhala dan setiap orang yang membuat dan menetapkan hukum secara tidak benar. Demikianlah mereka telah disesatkan oleh setan dengan penyesatan yang sangat jauh.

Ayat 61

Dalam ayat ini dijelaskan tentang sikap dan tingkah laku orang-orang yang mengaku beriman di mulut dan membangkang di hati. Jika diajak beramal atau menjalankan apa yang diturunkan Allah dalam Alquran dan menerima hukum dari Rasulullah. Mereka tetap berpaling dan menghalangi manusia menerima hukum tersebut dengan segala macam jalan dan alasan, padahal hukum Allah dan Rasul itu adalah hukum yang benar dan adil. Yang mendorong mereka bersikap demikian hanyalah semata-mata karena memperturutkan hawa nafsu saja.

(Tafsir Kemenag)

Tahukah Anda Perbedaan Makna Antara Kata Walid (وَالِدٌ) dan Abu (أَبُوْ) dan Kata Umm (أم) dan Walidah (وَالِدَة)?

0
Perbedaan Makna
Perbedaan Makna

Kata wālid (وَالِدٌ) mempunyai makna yang sangat berbeda dengan kata abū (أَبُوْ) meskipun keduanya sama berarti “ayah, orang tuamu.” Seperti dalam kalimat وَالِدُكَ berarti “ayahmu” dan kata أَبُوْكَ yang berarti “ayahmu, bapakmu” dan kata وَالِدَاكَ yang berarati “kedua orang tuamu” dan أَبَوَاكَ yang berarti “kedua otang tuamu.” Kalau begitu, di mana letak perbedaan makna antara kata wālid (وَالِدٌ) dan abū (أَبُوْ)?

Kata abū (أَبُوْ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang telah melahirkan secara hakiki, ayah yang memiliki hubungan darah dengan anaknya, memiliki hubungan nasab.” Seseorang yang disebut abū (أَبُوْ) adalah seorang laki-laki yang menjadi suami dari ibumu. Makna dari kata أَبُوْكَ adalah ayah kandungmu, suami dari ibumu.” Makna dari kata أَبُوْ عُمَرَ adalah “ayah yang melahirkan Umar, dan karenanya dia memiliki hubungan darah dengan anaknya.

Adapun makna kata wālid (وَالِدٌ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang melahirkan secara majazi, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan belum tentu memiliki hubungan darah atau nasab dengan anaknya.” Kalau saya memiliki anak tiri, anak murid, mahasiswa, anak bimbingan, anak asuh, anak binaan, atau anak yang semacamnya, maka kalau dia meanggil saya dengan walidy (وَالِدِيْ) “ayahku,” itu adalah panggilan yang tepat, karena dia adalah anak asuh saya. Kalau juga saya memanggil anak itu sebagai walady (وَلَدِيْ), maka itu adalah panggilan yang tepat pula, karena dia adalah anak murid, mahasiswa saya.”

(Baca Juga: Apa Makna Kata Walidayn? Berikut Penjelasannya …)

Dalam keadaan demikian, saya telah menggunakan kata yang kurang tepat apabila saya memanggilnya dengan menggunakan kata ibny (اِبْنِيْ) untuk seorang mahasiswa saya yang laki-laki. Atau binty (بِنْتِيْ) untuk mahasiswa saya yang perempuan. Sebab, kedua kata itu menunjukkan anak yang memiliki hubungan darah dengan saya.

Kedua kata ini bisa saja digunakan secara majazi dalam pergaulan sehari-hari (informal), apabila sang anak memandang saya bagaikan ayah kandungnya, sehingga dia memnggil saya aby (أبي), dan saya memanggilnya binty (بنتي) bagaikan anak kandung saya.

Dalam keseharian, kita sering kali melihat ada orang yang hanya sebagai abū (أَبُوْ), yang menjadi suami dari seorang perempuan, dan anak dari hubungannya lalu lahir. Sesudah itu sang abū (أَبُوْ) pergi entah ke mana, tidak diktehui rimbanya. Maka abū (أَبُوْ) seperti ini tidak layak untuk disebut wālid (وَالِدٌ). Sebab, dia tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya. Dia hanya membiarkan isterinya sendirian yang mengasuh dan membina anak.

Ibu yang seperti ini sangat pantas untuk disebut Ummun (أم) karena dia mempunyai hubungan darah dengan anaknya, lalu dia menyusui, mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anak itu. Demikian juga sebaliknya, ada seorang ibu yang hanya disebut ummun (أم), tidak disebut sebagai walidah (والدة), gara-gara dia melahirkan saja, tetapi tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya.

Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ayah” sebagai abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat. Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ibu” sebagai ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat.

Semua orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran, mengasuh, membina, dan melakukan kegiatan semacamnya untuk anak didiknya adalah wālid (وَالِدٌ) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya. Dengan tugasnya itu mereka memiliki anak-anak (أولاد) yang sangat banyak sepanjang hidupnya. Mereka itulah yang akan mendoannya ketika para guru telah kembali kehadirat-Nya.

Semoga kita dapat menjadi abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya dan ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya. Aamiin. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 51-43

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 51

Ayat ini mengisahkan kembali perbuatan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab, telah memahami dan mendalami isi kitab yang pada dasarnya menyuruh berbakti dan menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi mereka masih juga mau bersujud dan menyembah berhala dan mempersekutukan Allah, memenuhi ajakan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kitab.

Satu hal yang aneh dan mengherankan, mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang benar, yang mengikuti dan menempuh jalan yang lebih baik daripada jalan orang-orang mukmin pengikut Nabi Muhammad saw.

Bani Israil punya sejarah panjang dalam penyembahan berhala oleh nenek moyang mereka sampai generasi-generasi berikutnya. “Mereka meninggalkan Allah Tuhan mereka yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, lalu mengikuti tuhan lain, dari antara tuhan bangsa-bangsa di sekeliling mereka, dan sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati Tuhan” (Kitab Hakim-hakim. 2.12) dan sekian banyak lagi kisah penyembahan berhala oleh mereka.

Alangkah kelirunya mereka, dan mereka sangat rugi. Seperti tersebut dalam firman Allah:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ  ١٠٣  اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا   ١٠٤

Katakanlah (Muhammad), ”Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya `dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18:103-104)

Ayat 52

Orang Yahudi dan orang-orang yang sifatnya seperti mereka dikutuk Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya. Ar-Razi berkata, “Orang-orang Yahudi dan orang-orang semacam mereka itu, memang pantas dikutuk karena mereka sombong dan takabur; mereka memandang bahwa penyembah berhala lebih mulia daripada orang mukmin pengikut Muhammad. Apakah dapat diterima akal sehat bahwa orang musyrik, orang yang menyembah apa dan siapa pun selain Allah lebih baik dan lebih benar daripada orang yang hanya menyembah Allah?”

Barang siapa telah mendapat kutukan dari Allah pasti ia tidak akan menemukan penolong dan pembela yang akan membebaskannya dari siksaan dan azab di akhirat nanti, tidak ada yang akan memberi syafaat kepadanya dan tidak ada yang akan menolongnya.

Ayat 53

Orang Yahudi tidak akan memperoleh kerajaan dan kekuasaan sesuai dengan yang dicita-citakan seperti sebelum Islam datang, karena mereka telah banyak berbuat aniaya, menempuh jalan yang sesat, dan tidak lagi mengamalkan isi kitab Taurat secara umum. Andaikata pada suatu ketika mereka membina kerajaan dan memiliki kekuasaan, itu berarti hanya bayangan yang sifatnya sementara, dan di kala itu mereka tidak akan memberikan sedikit pun kebajikan kepada manusia.

Ayat 54

Kalau ayat-ayat sebelumnya menerangkan sifat-sifat jelek Yahudi seperti sangkaan bahwa merekalah yang lebih baik dan menempuh jalan yang lebih benar dari orang-orang mukmin, maka pada ayat ini diterangkan sifat dengkinya kepada Muhammad saw, karena kenabian jatuh kepadanya, tidak kepada orang Yahudi, dan mereka dengki kepada pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw, karena mereka percaya dan beriman kepadanya, terutama setelah mereka melihat kemajuan dan kemenangan yang dicapai oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dari hari ke hari bertambah kuat dan makin banyak pendukung dan pengikutnya.

Kedengkian orang-orang Yahudi kepada Muhammad dan pengikutnya, adalah suatu kekeliruan besar dari mereka dan sangat mengherankan, kerena apa yang telah dicapai Muhammad dan sahabat-sahabatnya bukanlah hal yang baru. Sebab Allah telah memberikan juga kitab, hikmah kerajaan kepada keluarga keturunan Nabi Ibrahim; seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Yusuf, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.

Sifat dengki bukan hanya perasaan tidak senang melihat orang lain memperoleh nikmat Allah, malah menginginkan nikmat itu lenyap dari pemiliknya. Sifat itu tidak saja buruk tetapi juga akan menghilangkan pahala-pahala kebajikan yang telah dikerjakan. Nabi saw bersabda:

اِيَّاكَ وَالْحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

(رواه أبو داود عن أبي هريرة)

 Jauhilah sifat dengki karena sesungguhnya dengki itu memakan (pahala) kebaikan, seperti api memakan kayu bakar  (Riwayat Abµ Dawud dari Abµ Hurairah).

Ayat 55

Anugerah kenabian dan kekuasaan kepada nabi-Nya terdahulu seperti Nabi Ibrahim dan keluarganya menjadikan umatnya terbagi dua. Sebagian dari mereka percaya kepada nabi-Nya dan sebagian yang lain tetap di dalam kekafirannya, menghalangi orang lain beriman.

Begitu pula halnya umat sekarang ada yang beriman, dan ada pula yang ingkar. Ketahuilah, sekalipun mereka yang ingkar di dunia ini kelihatannya aman dan tenteram saja, tetapi di akhirat mereka akan merasakan pedihnya api yang menyala-nyala, kerena mengutamakan perbuatan yang batil dan sesat serta tidak mengikuti yang hak dan benar yang dibawa oleh nabi-Nya.

Ayat 56

Allah tidak akan membiarkan orang kafir dan orang yang mengingkari ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, tetapi bagi mereka telah disediakan api neraka.

Setiap kali kulit mereka hangus sampai tidak merasakan sesuatu lagi, kulit ini diganti dengan kulit yang baru yang dapat merasakan pedihnya api yang membakar. Demikian siksa itu berlaku seterusnya agar mereka senantiasa menderita dan merasakan kepedihan.

Ayat 57

Beruntung dan berbahagialah orang yang tidak termasuk golongan orang yang ingkar dan bergelimang dosa dan maksiat, dan mereka termasuk orang-orang yang beriman, mereka senantiasa percaya kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yang ditandai dengan perbuatan amal saleh, selalu taat dan patuh kepada perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, sekalipun pada suatu saat ia harus mempertaruhkan jiwanya.

Orang semacam itu akan dianugerahi segala macam nikmat dan kesenangan yang ada di dalam surga, mereka akan tetap kekal di dalamnya

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 264 Tentang Bahaya Riya’

0
Bahaya Riya'
bahaya riya'

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 264 menginformasikan tentang bahaya riya’. Riya’ atau yang kita kenal dengan pamer merupakan salah satu akhlak tercela. Allah pun menetapkan bahaya riya’ dalam QS. Al Baqarah ayat 256. Berikut ini penjelasannya:

Redaksi Ayat

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُبْطِلُوا۟ صَدَقَٰتِكُم بِٱلْمَنِّ وَٱلْأَذَىٰ كَٱلَّذِى يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأخِرِ ۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٌ فَتَرَكَهُۥ صَلْدًا ۖ لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَىْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

“Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima). Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah. Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”

Munasabah

ada ayat sebelumnya, yaitu ayat 263 surat Al-Baqarah, telah dijelaskan bahwa perkataan baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan perbuatan yang menyakitkan hati. Sedangkan, ayat yang sedang dibahas ini menjelaskan bahwa sedekah yang diiringi dengan umpatan dan perbuatan yang menyinggung sama sekali tidak ada faidahnya. Selain itu, dapat melebur pahala.

Sebagai sebuah contoh, orang yang menyumbangkan hartanya dengan tujuan agar memperoleh pujian dari orang lain untuk memperoleh popularitas. Sedekah semacam ini dilukiskan seperti batu licin dengan tanah diatasnya. Kemudian tanah itu lenyap karena ditimpa hujan lebat.

Segi persamaan antara kedua sifat itu ialah bahwa keduanya hanyalah tipuan belaka. Rasyid Rida melukiskannya seperti orang yang berpakaian baju ulama atau baju tentara, padahal mereka bukan ulama dan bukan tentara, yang akhirnya akan tampak juga. (Rasyid Rida, III, hlm.66)

Tafsir Ayat

Untuk mempermudah memahami QS. Al-Baqarah ayat 264 ini, perlu dipahami lebih dahulu kata”ria’ an”. Kata tersebut berasal dari kata “ra’a” yang artinya memperlihatkan. Al-Maraghi, menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “ri’a”, ialah beramal yang tujuannya untuk memeperoleh pujian dari orang lain, bukan untuk mencari keridhaan Allah SWT. (Al-Maraghi, 1978,III:34)

Karena perbuatan riya’ merupakan perbuatan dosa yang sangat mengkhawatirkan, maka Rasulullah merasa wajib memperingatkan mereka, padahal para sahabat termasuk orang-orang mukmin yang telah sempurna kekuatan imannya.

Peringatan Rasulullah SAW kepada para sahabat agar berhati-hati terhadap riya’ atau syirik asghar ini adalah karena cinta dan kasih sayang beliau kepada umatnya. Dan setiap Nabi yang diutus Allah kepada umatnya, berkewajiban memberikan petunjuk dan nasihat kepada umatnya agar mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kejahatan.

Maka orang-orang Islam yang hidup pada masa kini, lebih pantas diperingatkan tentang bahaya riya’. Sebab mereka pada umumnya sudah tidak lagi memperhatikan mana yang haq dan mana yang batil. Selain itu, perbuatan mana yang tergolong syirk dan mana yang tidak syirk. Bahkan di Indonesia, sebagian orang Islam lebih suka minta pertolongan kepada jin dari pada kepada Allah SWT.

Abdur Rahman dalam kitabnya Fathul Majid, mengatakan bahwa sebagian ulama pada masa sekarang sudah tidak lagi mengenal tauhid. Sehingga mudah terjerumus kepada kemusyrikan. Sebab syirk itu lebih tersembunyi dari pada suara kaki semut. (Abdur-Rahman, 1992, Fathul Majid:96)

Pada ayat tersebut Allah SWT melukiskan sedekah yang dilakukan dengan riya’, bagaikan tanah di atas batu licin yang tertepa hujan lebat, hingga habis sama sekali. Perumpamaan itu memberikan pengertian bahwa perbuatan amal ibadah yang disertai dengan riya’ tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan sangat berbahaya. Sebab dosa syirik tidak diampuni Allah SWT sebelum bertobat, yaitu mohon ampun kepada Allah, berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, serta menutup dosa-sosanya dengan memperbanyak amal saleh.

Maka cara untuk menghindari riya’ ialah ketika bersedekah hendaknya dilakukan secara rahasia, sehingga tidak diketahui oleh siapa pun.

Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu

0
Waktu-waktu salat
Waktu-waktu salat

Salat lima waktu dalam sehari semalam wajib hukumnya. Status wajibnya salat telah ditetapkan dalam Alquran dan hadis. Antara lain terdapat di surat an-Nisa’ ayat 103 juga hadis Nabi riwayat Ibnu Abbas. Kemudian bagaimana dengan ketentuan lima waktu salat dalam sehari semalam? Dari mana ketentuan itu berasal? Berikut akan dijelaskan asal dan dalil teologis waktu-waktu salat fardu yang lima, subuh, duhur, ashar, maghrib dan isya’.

Allah swt berfirman dalam surat ar-Rum [30]: 17-18

فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَحِيْنَ تُصْبِحُوْنَ () وَلَهُ الْحَمْدُ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَعَشِيًّا وَّحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ

“Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari. Dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu zuhur (tengah hari)”

Menurut sahabat Ibnu Abbas yang merupakan mufassir kondang di kalangan sahabat Nabi, maksud dari ‘petang hari’ dalam ayat tersebut adalah shalat maghrib dan isya’, ‘pagi hari adalah salat subuh, ‘malam hari adalah salat ashar, dan tengah hari adalah salat duhur. Penafsiran Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Dalil yang lebih rici tentang waktu salat terdapat pada hadis riwayat Jabir bin Abdillah

حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ إِلَى النَّبِىِّ ( حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَىْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ  فَصَلِّ الْعَصْرَ . ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْمَغْرِبَ فَقَامَ فَصَلاَّهَا حِينَ غَابَتِ الشَّمْسُ سَوَاءً ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ الشَّفَقُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْعِشَاءَ فَقَامَ فَصَلاَّهَا ثُمَّ جَاءَهُ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ فِى الصُّبْحِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ . فَقَامَ فَصَلَّى الصُّبْحَ ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الْغَدِ حِينَ كَانَ فَىْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ . فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِينَ كَانَ فَىْءُ الرَّجُلِ مِثْلَيْهِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلّ.ِ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتِ الشَّمْسُ وَقْتاً وَاحِداً لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ . فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ . فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ . فَصَلَّى الصُّبْحَ فَقَالَ ” مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ”

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi saw. pernah didatangi Jibril as. lalu ia berkata kepada Nabi saw., “Bangun dan salatlah!” Maka beliau shalat duhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat ashar dan berkata, “Bangun dan salatlah!” Lalu Nabi saw shalat ashar ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan salatlah.” Lalu Nabi saw salat maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Jibril mendatanginya saat isya’ dan berkata, “Bangun dan salatlah!” Lalu beliau salat isya’ ketika merah senja telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat subuh dan berkata, “Bangun dan salatlah!” Lalu Nabi saw salat suubuh ketika muncul fajar, atau Jabir berkata, “Ketika terbit fajar.” Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi saw saat duhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat duhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat ashar dan berkata, “Bangun dan salatlah!” Lalu beliau shalat ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia mendatanginya saat isya’ ketika pertengahan malam telah berlalu -atau Jibril mengatakan, sepertiga malam,- lalu beliau salat isya’. Kemudian Jibril mendatangi Nabi saw saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan salatlah!” Lalu beliau salat subuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu tersebut adalah waktu salat.

Berdasar beberapa dalil di atas, tidak diragukan lagi bahwa salat yang diperintahkan kepada umat Islam adalah sebanyak lima kali, waktu-waktunya telah ditentukan seperti paparan dalil teologis waktu-waktu shalat fardu tersebut, dan tata cara pelaksanaannya pun juga sudah diatur. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi, Shallu kama ra’aytumuni ushalli (salatlah kalian seperti kalian telah melihat saya salat).

(Baca Juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?)

Untuk itu, tidak dibenarkan jika ada sebagian orang yang menganggap bahwa salat yang merupakan rukun agama tersebut cukup dengan mengingat Allah dalam hati, tanpa diwujudkan dengan gerakan-gerakan salat, waktu salatnya juga semaunya sendiri, tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, sebagaimana dijelaskan dalam dalil teologis waktu-waktu salat fardu yang sekarang sedang kita bahas ini.

Begitu pentingnya salat hingga Rasulullah sendiri menganalogikannya dengan tiang agama yang apabila ditegakkan, maka pelakunya telah menegakkan agama, dan apabila ditinggalkan, maka ia sama seperti menghancurkan agama.

Tidak hanya sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah yang akan dipertanggungjawabkan kelak, salat juga memberi pengaruh besar dalam diri seseorang. Disampaikan oleh Rasulullah sendiri bahwa shalat itu memberi kenyamanan, menjadi obat hati dan pelipur lara bagi yang melaksanakannya. Dan yang terpenting, ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-‘Ankabut: 45).

Wallahu A’lam.

Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi

0
ayat kursi
ayat kursi

Setan selalu menganggu manusia. Karenanya dalam Alquran telah termaktub doa munjarab agar setan tidak dapat menganggu dan terusir dari rumah dan lingkungan kita. Ayat kursi dikenal sebagai ayat pengusir setan. Beberapa fadhilah (keutamaan) ayat kursi di antaranya, jika kita membaca ayat kursi sebelum tidur malam, maka setan tidak akan berani mengganggu sepanjang malam tersebut.

Alam manusia dan alam setan tentu berbeda. Meskipun demikian, setan acapkali menggoda manusia. Lantas, bagaimana cara mengusir setan dari rumah dan lingkungan kita?

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar. (Q.S. al-Baqarah [2]: 255)

Ayat di atas dikenal dengan sebutan ayat kursi sebab di dalamnya terdapat kata kursy. Ayat kursiy dianggap memiliki keistimewaan sebagai ayat yang lebih agung dikarenakan memuat kebesaran dari nama-nama Allah wwt. Seperti al-Hayy dan al-Qayyûm.

Hal tersebut melukiskan betapa besarnya kekuasaan Allah swt yang meliputi perlindungan dan pemeliharaan kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Dengan keistimewaan tersebut, kandungannya mampu memantapkan hati seseorang untuk senantiasa beriman kepada Allah swt. (Baca juga: Doa Al Quran, Doa untuk Keteguhan Hati)

Al-Khazin mengemukakan riwayat dari Abi Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda “Barangsiapa yang membaca ayat kursi dan dua ayat diawal (surah al-Ghafir) Ha mim tanzil al-kitab min Allah al-aziz al-hakim, maka ia akan di jaga sampai sore hari. Dan barangsiapa yang membacanya lagi diwaktu sore, maka ia akan dijaga sampai pagi lagi”.

Sama seperti penjelasan dari KH. Ahmad Sanoesi dalam kitabnya Tamsijjatoel Moeslimien, (meskipun terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa jalur perawi hadits yang dikutip dalam kitab ini dinilai dha’if), ia mengutip sebuah hadits Tirmidzi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,

مَنْ قَرَأَ حِيْنَ يُصْبِحُ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَاَيَتَيْنِ مِنْ اَوَّلِ حم تَنْزِيْلُ الْكِتَابِ مِنَ اللهِ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ : غَافِرِ الِذَنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيْدِ الْعِقَابِ ذِى الطَّوْلِ لآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمِصِيْرُ, حُفِظَ يَوْمُهُ ذلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَمَنْ قَرَأَ هَا حِيْنَ يُمْسِيْ حُفِظَ ليلتهُ تِلْكَ حَتَّى يُصْبِحَ

“Barangsiapa didalam pagi-pagi membatja ajat koersi, dan doea ajat dari permoelaan (soerat al-Ghafir), maka nistjajalah ia dipeliharakan didalam harinja itoe sehingga sorenja, dan barangsiapa membatja didalam waktoe sore, maka dia dipeliharakan didalam malam itoe sehingga pagi.

Beliau menjelaskan bahwa siapapun yang membaca ayat kursi diwaktu pagi maupun sore hari, maka Allah akan menjaga dia dari segala gangguan setan sampai keesokan harinya.

Mengenai penjagaan ini, Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Hidangan Ilahi : Tafsir Ayat-Ayat Tahlil menjelaskan bahwa ketika seseorang membaca ayat al-Kursiy, sang pembaca menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan seru sekalian alam, dan kepada-Nya pula ia memohon perlindungan. Beliau menerangkan, Bisa jadi ketika itu, bisikan iblis terlintas dibenak yang membacanya “ yang dimohonkan pertolongam dan perlindungan-Nya itu, dahulu pernah ada tetapi kini telah mati.” (Baca juga: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi Zakaria)

Maka penggalan ayat berikutnya meyakinkan tentang kekeliruan bisikan itu, yakni dengan sifat al-Hayy/Yang maha Hidup dengan kehidupan yang kekal. Bisa jadi iblis datang lagi membawa keraguan dengan berkata, “memang Dia hidup kekal tetapi tidak memusingkan mengenai urusan manusia, apalagi si pemohon.”

Penggalan ayat berikutnya menyanggah kebohongan ini dengan firman-Nya al-Qayyûm, yakni yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dan untuk lebih meyakinkan sifat Allah ini, dilanjutkan dengan penggalan berikutnya, lâ ta’khuzuhû sinatû walâ naûm/ Dia tidak dapat dikalahkan oleh kantuk dan tidur, tidak seperti manusia yang tidak kuasa menahan kantuk dan tidak dapat selama-lamanya mengelak dari tidur. Allah terus menerus jaga dan siap siaga.

Dengan penjelasan ini, maka sirna sudah keraguan yang dibisikkan setan itu. Begitulah seterusnya sampai pada akhir ayat, sehingga diakhir penjelasannya, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa sangat wajar dan logis penjelasan yang menyatakan bahwa siapa yang membaca ayat kursi maka ia memperoleh perlindungan Allah dan tidak akan diganggu oleh setan.

Kesimpulannya, membaca ayat kursi dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari gangguan setan merupakan bentuk ikhtiar kita selaku manusia yang lemah dimana tiada daya dan upaya kecuali berasal dari kekuasaan dari-Nya. Wallahu a’lam bis shawâb.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 44-50

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 44

Kaum Muslimin harus mengetahui bahwa para Ahli Kitab yang menerima kitab dari Allah dengan perantaraan rasul-Nya, mereka hanya mengambil sebagian dari isi kitab itu yang sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka, bahkan mereka banyak mengubah-ubah dan menambahkannya.

Dengan kedatangan Nabi Muhammad saw, mereka semestinya menjadi orang-orang yang beriman, tetapi sebaliknya mereka menjadi orang-orang yang kafir. Maksud dan tujuan mereka berbuat seperti itu adalah untuk menyesatkan orang banyak termasuk umat Islam sendiri dari jalan yang benar. Mereka tidak segan-segan mengadakan berbagai macam tipu daya dan pura-pura bersimpati terhadap kaum Muslimin padahal mereka adalah musuh dalam selimut.

Ayat 45

Allah mengetahui siapa yang menjadi musuh umat Islam. Umat Islam kadang-kadang mengira bahwa musuh-musuh itu adalah sahabat mereka, padahal sebenarnya bukan. Kebaikan-kebaikan yang mereka lahirkan terhadap kaum Muslimin adalah tipu muslihat belaka, sedang tujuan mereka yang sebenarnya ialah menarik kaum Muslimin agar menyeleweng seperti penyelewengan mereka dari jalan yang benar. Allah-lah yang memberi petunjuk kaum Muslimin kepada keselamatan, kebahagiaan dan kebaikan. Dialah yang menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuh agama.

Ayat 46

Di antara Ahli Kitab yang tersebut di atas ada pula yang mengubah kalimat-kalimat yang ada pada kitab mereka dan memindahkannya dari tempat semula ke tempat yang lain, sehingga kitab itu menjadi kacau dan tidak dapat lagi dijadikan pedoman. Mereka menafsirkan bahwa kedatangan Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw adalah tidak benar dan mereka masih menunggu kedatangan Isa dan Muhammad yang diutus dari kalangan mereka.

Orang-orang Yahudi itu berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Samina wa asaina (kami mendengar ucapanmu akan tetapi kami tidak akan taat kepada perintahmu).” Mereka juga berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Isma gaira musmain (dengarlah Muhammad semoga engkau tidak dapat mendengar/tuli).” Demikian juga mereka berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Raina (kiranya engkau memperhatikan kami).”

Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini terhadap Rasulullah. Padahal yang mereka maksud dengan  Raina itu ialah  kebodohan yang sangat  sebagai celaan kepada Rasulullah saw. (lihat tafsir ayat 104 al-Baqarah, dan kosakata Raina).

Semua pemakaian kata-kata yang tidak benar itu dimaksudkan untuk memutarbalikkan panggilan dan untuk mencela agama.Termasuk pula pemutaran lidah mereka terhadap Nabi Muhammad saw ialah bila mereka bertemu dengan Nabi, mereka mengucapkan, “As-sam (mudah-mudahan kamu mati).” Ucapan itu dijawab oleh Nabi, “Alaikum (mudah-mudahan kamulah yang mati).”

Sekiranya orang-orang Yahudi tidak mengucapkan kata-kata yang sejelek itu, tetapi mengganti ucapannya kepada Muhammad dengan ”Sami’na wa ata’na wa isma’ wa unzurna (kami mendengarkan ucapanmu dan menaati segala perintahmu, dengarkanlah ucapan kami dan perhatikanlah kami),” maka pastilah perkataan-perkataan itu akan membawa akibat yang sangat baik bagi mereka. Tetapi karena kekafiran mereka, mereka mendapat laknat Allah dan mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis yang tidak dapat membawa mereka kepada kebahagiaan yang hakiki.

Ayat 47

Orang Yahudi yang pernah menerima Kitab Taurat dan orang Nasrani yang pernah menerima Kitab Injil, dalam ayat ini diperintahkan agar mereka percaya kepada Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang membenarkan isi kedua kitab mereka. Di antara pokok-pokok isi Alquran adalah mengenai keesaan Allah, menjauhi perbuatan syirik dan memperkuat iman dengan memperbanyak amal saleh dan meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, lahir dan batin. Tiga soal utama itu adalah tiang agama yang diperintahkan Allah untuk dilakukan oleh hamba-Nya.

Perintah mempercayai Alquran harus diterima dengan positif oleh mereka agar Allah tidak mengubah wajah mereka, membalikkan muka mereka ke belakang dan mengutuk mereka sebagaimana nenek moyang mereka pernah dikutuk karena menangkap ikan pada hari yang terlarang, hari Sabat. Ketentuan-ketentuan Allah baik berupa penciptaan sesuatu maupun berupa pelaksanaan hukum atau ancaman, semua pasti akan terlaksana sebagaimana dikehendaki-Nya.

Sebagian mufasir memahami pengertian hukuman Allah berupa penghapusan mereka adalah membalikkan arah muka mereka dari menghadap jalan lurus ke arah jalan kesesatan.

Setelah turun ayat ini, banyak di antara Ahli Kitab yang masuk Islam karena takut kepada ancaman siksa itu. Di antara mereka itu ialah: Ka’ab Al-Ahbar. Allah yang bersifat Mahakuasa tidak akan menghadapi kesukaran sedikit pun dalam melaksanakan kudrat-iradat-Nya, termasuk pelaksanaan ancaman-Nya dalam ayat ini.

Ayat 48

Allah sekali-kali tidak akan mengampuni perbuatan syirik yang dilakukan oleh hamba-Nya, kecuali apabila mereka bertobat sebelum mati. Syirik adalah dosa yang paling besar, karena orang musyrik beriktikad dan mempercayai bahwa Allah mempunyai sekutu dan tandingan yang sama derajatnya.

Dalam Alquran disebutkan berulang-ulang dosa syirik ini. Adapun dosa selain syirik, jika dikehendaki, Allah akan mengampuninya. Hal itu disesuaikan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya dan menurut tata cara sunah-Nya yang berlaku. Misalnya yang berdosa itu benar-benar telah tobat dari dosanya dan mengiringi tobat itu dengan amal-amal saleh. Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’/4:48).

اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

“ …Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu”. (al-Ma’idah/5:72).

Ayat 49

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Hasan, bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memuji-muji diri mereka dengan mengatakan bahwa mereka anak Allah dan kesayangan-Nya, tidak akan masuk surga selain orang Yahudi atau Nasrani dan mereka tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari saja.

Allah memperingatkan Nabi Muhammad saw agar berhati-hati terhadap tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dan mengakui diri mereka sebagai orang suci. Pengakuan itu seperti tertera pada sebab turunnya ayat di atas bahwa ucapan mereka itu tidak benar karena mereka masih tetap dalam kekafiran dan tetap melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Sebenarnya mereka tidak berhak membersihkan diri hanya dengan kata-kata dan pengakuan yang tidak beralasan. Membersihkan diri haruslah dengan amal perbuatan yang dapat menjadikan seseorang bersih dan bebas dari perbuatan syirik dan maksiat. Tidak ada gunanya seseorang mengemukakan kebersihan dirinya karena kebersihan diri seseorang berada di tangan Allah Yang Mahakuasa, dan Allah sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-Nya.

Ayat 50

Ayat ini menekankan tentang keanehan perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad diperintahkan memperhatikan betapa beraninya orang-orang Yahudi dan Nasrani membuat kebohongan terhadap Allah dengan pengakuan mereka bahwa dirinya suci dan mereka disayangi oleh Allah secara khusus, tidak seperti umat-umat lain. Cukup jelas bahwa perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu merupakan dosa yang besar.

(Tafsir Kemenag)

3 Cara Tepat Membaca Al Quran

0
konsultasi Syariah

Pernahkah anda mendengar bacaan Al Quran yang cepat atau terlalu panjang, lalu anda menganggapnya salah? Tunggu dulu. Ternyata, ada tiga cara yang bisa digunakan untuk membaca Al Quran.

Menurut Syeikh ‘Alawi al-Maliki dalam Qawaidul Asasiyyah fi Ulumil Quran, terdapat 3 tata cara baca Al Quran. Yakni tahqiq, hadr, dan tadwir. Berikut ini penjelasannya. 

Tahqiq

Seperti namanya, cara membaca ini menekankan pelafalan ayat dengan jelas. Disiplin dalam panjang pendeknya huruf, kejelasan pengucapan hamzah, tashdid, dan makharijul huruf (tempat keluarnya huruf).

Selain itu, cara baca tahqiq juga menekankan kejelasan artikulasi huruf, sehingga tiap huruf terucap dengan jelas. Tempat dan cara waqaf pun juga sangat diperhatikan, baik waqaf di akhir atau tengah ayat, saktah, dan lain sebagainya.

Dalam Qawaidul Asasiyah fi Ulumil Quran, cara baca tahqiq ini diilustrasikan dengan mengucapkan tiap huruf dengan tanpa tawallud (memunculkan huruf dari harakat). Serta tanpa mengharakati huruf mati, dan berlebihan dalam bacaan ghunnah.

Cara baca yang disiplin makharijul huruf dan seperangkat ilmu tajwid ini dianjurkan untuk pemula. Misalnya, anak-anak atau orang yang baru belajar membaca Al Quran.  Hal ini karena cara baca tahqiq lebih efektif untuk melatih lisan terbiasa membaca Al Quran dengan tajwid dan tartil yang sempurna.

Penerapan cara baca tahqiq bisa kita temukan pada metode Qira’ati. Metode baca Al Quran yang sangat menekankan kedisiplinan dalam membaca Al Quran.

Sementara itu, karena cara baca ini merupakan cara baca yang disiplin dan tegas, maka praktiknya juga lebih lama dibanding saat kita membaca Al Quran dengan dua cara yang lain.

Hadr

Hadr merupakan cara melamtumkan Al Quran dengan cepat. Cara ini tidak terlalu tegas dalam memraktikkan mad dan waqaf . bacaan mad yang dipilih ialah yang paling singkat. Misalnya, dalam mad ja’iz munfasil, panjang madnya hanya sebatas 2 harakat. Tidak 6 harakat sebagaimana saat memraktikkannya dengan tahqiq.

Meskipun begitu, cara baca hadr tetap memperharikan harakat dan memantapkan lafadz. Sehingga, dapat dibilang masih memenuhi rambu bahasa Arab.

Cara baca ini biasa dipraktikkan dalam momen khataman atau tadarusan. Karena mengharuskan mengkhatamkan Al Quran dengan batas waktu yang singkat.

Meskipun tidak ada larangan tegas, kita tidak boleh memraktikkan cara ini jika tidak bisa memenuhi makhraj dan panjang pendek huruf. Karena jika tidak, maka dinilai ceroboh dalam membaca Al Quran dan tak lagi mendapatkan pahala ibadah dengan membacanya.

Tadwir

Cara baca ini berada di tengah tahqiq dan hadr. Jadi, tidak terlalu disiplin dan terlalu cepat. Maksud menjadi penengah antara lain cara baca ini tidak begitu memanjangkan mad dengan batas maksimal. Tidak pula dengan panjang minimal. Misalnya, memilih membaca 3 harakat pada mad yang panjangnya 6 harakat. 

Cara baca demikian ini yang membuat para ulama qurra’ gemar memraktikkannya. Bahkan, mereka lebih merekomendasikan tadwir untuk dijadikan pegangan saat membaca Al Quran.

Terlepas dari tiga cara itu, sebenarnya yang paling penting ialah membaca Al Quran dengan tartil, dan sesuai dengan ilmu tajwid. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam QS. Al-Muzammil ayat 4:

ورتل القرآن ترتيلا

“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”

Menurut mayoritas mufassir, tartilan di situ diartikan dengan tidak tergesa dalam membaca Al Quran. Memenuhi hak-hak huruf sesuai makhraj dan harakatnya, serta menerap kan ilmu tajwid.

Dan, untuk memraktikkannya dengan sempurna perlu adanya konsistensi dalam membaca. Misalnya, saat memilih membaca mad ja’iz munfasil dengan 2 harakat, maka seterusnya harus begitu. Sehingga, ketika sudah bisa menjaga konsistensi, kandungan maknanya semakin mudah kita pahami.

Dengan demikian, mau pakai cara 1, 2, atau 3, asal kita bisa menjaga tajwid dengan konsisten semuanya boleh saja kita pakai. Wallahu a’lam[]

Benarkah Kadar Pemahaman Sahabat Terhadap Al-Quran Berbeda? Ini Penjelasan Adz-Dzahabi

0
Kepemimpinan Transformatif
Kepemimpinan Transformatif menurut Al Quran (mosoah.com)

Kadar pemahaman Sahabat terhadap Al-Quran berbeda-beda. Tidak semua sahabat mampu memahami Al-Quran secara paripurna. Bila kita telusuri literatur tentang pemahaman sahabat terhadap al-Quran atau pemahaman orang Arab tentang al-Quran, maka terjadi perbedaan pendapat.

Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun berargumen bahwa al-Quran yang turun dengan bahasa Arab beserta retorikanya tentu akan memudahkan bangsa Arab—objek pertama dakwah al-Qur’an—dalam memahami isi kandungannya. Ia beranggapan melalui pengetahuan mereka terhadap kosa kata dan susunan gramatikalnya, akan mudah bagi mereka memahami al-Quran.

Pendapat Ibn Khaldun itu mungkin terkesan logis. Namun jika mempertimbangkan realita yang ada pendapat ini akan terkesan lemah. Dalam konteks kehidupan saat ini saja, tidak jarang ada orang yang tidak mampu memahami dengan baik referensi bacaan yang ditulis dengan bahasa ibunya.

Pendapat Ibn Khaldun tadi itu pun tidak diamini oleh Adz-Dzahabi. Dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Adz-Dzahabi pun menyangkal pendapat Ibn Khaldun. Adz-Dzahabi berpendapat bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu teks tidak dapat diukur hanya dari pengetahuannya terhadap kosakata yang terdapat di dalamnya.

Sederhananya, seseorang belum tentu dapat memahami teks melalui pengetahuannya terhadap kosa kata yang ada dalam teks semata. Maka Adz-Dzahabi pun menjelaskan bahwa seseorang yang ingin menyingkap makna suatu teks harus memiliki kemampuan bahasa sekaligus daya nalar yang cukup dengan teks yang dikaji.

Logika pemahaman akan teks ini berlaku umum, termasuk di dalamnya upaya memahami al-Qur’an. Para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang turut serta menyaksikan kehadiran wahyu juga tidak memiliki tingkatan pemahaman yang sama antara satu dengan lainnya. Terkadang dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an, antara satu dengan lainnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda.

Sebagaimana logika pemahaman di atas, status para sahabat yang merupakan orang Arab tidak membuat mereka luput dari ketidakpahaman terhadap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebagian dari mereka mungkin memahami makna suatu ayat namun sebagian lainnya tidak. Lalu apa saja faktor yang menyebabkan kadar pemahaman sahabat terhadap al-Quran berbeda?

Menurut Adz-Dzahabi hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1) perbedaan kemampuan bahasa yang dimiliki; 2) pengetahuan akan makna dari lafaz-lafaz gharib (asing/ jarang didapati dalam keseharian); 3) dalam kondisi membersamai Nabi di saat turunnya wahyu; 4) perbedaan tingkat kemampuan akal dalam memahami sesuatu.

Faktor pertama secara jelas mengindikasikan bahwa perbedaaan kualitas dalam penguasaan bahasa—dalam hal ini bahasa yang dibutuhkan dalam mengkaji suatu teks—memiliki pengaruh besar dalam pencapaian terhadap pemahaman akan teks yang dikaji. Seorang pengkaji bahasa Arab yang memiliki kemampuan gramatikal bahasa (nahwu-shorof) serta hafalan kosa kata yang banyak tentu akan lebih mudah memahami teks daripada orang yang hanya memiliki kemampuan gramatikal namun hafalan kosa kata sedikit maupun sebaliknya.

Kedua, lafaz-lafaz gharib atau kosa kata yang jarang ditemukan dalam keseharian menjadi salah satu problem dalam memahami teks. Terkadang lafaz gharib tersebut justru menjadi keyword dalam memahami suatu teks. Maka tentu seorang pengkaji teks yang memiliki hafalan kosa kata langka akan lebih mudah memahami teks daripada yang tidak.

Pada faktor ketiga didapati bahwa kondisi para sahabat ketika wahyu diturunkan juga menjadi penyebab perbedaan kualitas pemahaman mereka. Para sahabat yang membersamai Nabi tatkala wahyu diturunkan secara langsung memiliki akses untuk mengetahui asbab al-nuzul dari ayat yang diwahyukan. Pengetahuan akan asbab al-nuzul ayat memberikan implikasi terhadap pemahaman yang lebih baik.

Kesalahan dalam memahami asbab al-nuzul bisa membawa pada kesalahan akan memahami maqshud al-ayat. Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an mengakan bahwa “tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya (asbab al-nuzul).”

(Baca Juga: Pentingnya Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran)

Faktor terakhir memberikan gambaran bahwa masing-masing sahabat memiliki tingkatan kecerdasan yang berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada kualitas pemahaman yang mereka hasilkan. Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Al-Tafsir wa al-Mufassirun dikatakan bahwa ada seseorang bernama Masruq yang duduk bersama dengan para sahabat Nabi. Kemudian ia pun mengumpamakan mereka dengan aliran sungai.

Ia pun mengatakan bahwa di antara para sahabat ini ada yang memiliki kemampuan untuk mengairi (memenuhi hajat air) satu orang, ada yang mampu dua orang, ada yang sepuluh, ada juga yang mampu seratus dan bahkan ada juga yang mampu menjadi sumber air bagi satu negeri.

Perumpamaan tersebut dapat dilihat sebagai penilaian seorang psikolog terhadap daya intelektualitas seseorang. Bagaimanapun faktor ini merupakan anugerah dari Allah (wahbah min Allah) yang tidak bisa diprediksi siapa dan kapan diberikan. Maka bagi yang telah mendapatkan anugerah kemampuan akal yang lebih dari lainnya, hendaknya dapat memanfaatkannya dengan baik agar dapat menebarkan manfaat kepada sesama makhluk.

Beberapa faktor di atas dapat menjadi inspirasi bagi para pengkaji al-Quran saat ini. Inspirasi itu berupa panduan untuk meningkatkan kualitas pemahaman terhadap al-Qur’an. Pertama, meningkatkan kemampuan berbahasa Arab baik, dengan memantapkan ilmu gramatika serta memperbanyak kosa kata. Kedua mempelajari asbab al-nuzul dan menempatkannya sebagai salah satu elemen penting untuk mendapatkan maqshud al-ayat. Lalu disertai dengan meminta kepada Allah agar diberikan kemampuan akal yang bisa memudahkan dalam memahami ayat-ayat-Nya. Wallahu A’lam.

Doa Al-Quran: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi Zakaria

0
Doa agar memiliki keturunan
Doa agar memiliki keturunan

Bagi setiap pasangan memiliki keturunan merupakan suatu anugerah dan amanah yang sangat besar. Terkadang karena begitu besarnya keinginan memiliki keturunan, pasangan suami istri harus menempuh berbagai cara. Selain ikhtiar-ikhtiar medis, pasangan suami istri perlu untuk mengamalkan doa agar memiliki keturunan dari Nabi Zakaria sebagaimana tercantum dalam Al-Quran.

Dikisahkan bahwa Nabi Zakaria As. dan istrinya telah lama ingin memiliki anak. Hingga masa-masa senja, mereka tidak pula diberikan keturunan. Menurut riwayat Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Fakhruddin ar-Razi dalam Kitab Mafatih al-Ghayb usia Nabi Zakaria pada waktu itu berusia 100 tahun dan istrinya berusia 99 tahun.

Dengan hati yang khusyu’, makrifat, dan penuh permohonan, Allah Swt mengabulkan doa Nabi Zakaria dan istrinya. Pasangan ini dianugerahi keturunan salih yang kemudian mewarisi kesalihan dan perjuangan dakwah bapaknya. Anak itu bernama Yahya bin Zakariya, yang nantinya juga diberikan amanah Kenabian. (Baca juga: Doa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati)

Kisah dan Doa agar memiliki keturunan dari Nabi Zakaria ini dapat ditemukan dalam Q.S al-Anbiya [21]: 89-90:

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنْتَ خَيْرُ الْوارِثِينَ () فَاسْتَجَبْنا لَهُ وَوَهَبْنا لَهُ يَحْيى وَأَصْلَحْنا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كانُوا يُسارِعُونَ فِي الْخَيْراتِ وَيَدْعُونَنا رَغَباً وَرَهَباً وَكانُوا لَنا خاشِعِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika berdo’a kepada Tuhannya, ‘Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.’ Maka Kami kabulkan (do’a)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”

Selain berdoa kepada Allah Swt dengan doa nabi Zakaria. Perlu dicatat bahwa dalam ayat di atas dijelaskan dengan tegas bahwa Nabi Zakaria dan istrinya adalah hamba-hamba Allah yang bersegera dalam kebaikan, berdo’a dengan harap, cemas, dan khusyuk. Artinya selain mengamalkan doa Nabi Zakaria, pasangan yang menginginkan keturunan juga perlu mencontoh akhlak Nabi Zakaria dan istrinya, kesalihan mereka dan berdoa dengan penuh kekhyusuyan.

Wallahu A’lam.