Beranda blog Halaman 538

Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya

0
walimatul ursy
walimatul ursy

Islam melalui Alquran dan Hadis telah mengatur tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya. Walimatul urs atau sebutan lain dari selametan nikahan ini biasanya marak di bulan-bulan tertentu, seperti bulan Dzul Hijjah (bulan terakhir dalam kalender hijriyah), bulan yang baru saja kita tinggalkan. Hal ini sudah menjadi tradisi mayoritas masyarakat Indonesia di bulan tersebut. Bagaimana penjelasan tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya sesuai tuntunan Alquran dan hadis?

Islam telah menganjurkan walimatul urs atau yang kita kenal dengan resepsi pernikahan. Ini juga merupakan tradisi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Seperti saat ada salah satu sahabat yang bernama Abdurrahman bin Auf yang baru saja menikahi perempuan dengan mahar emas. Nabi saw. bersabda:

(فَبَارَكَ اللهُ لَكَ، اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه مسلم

“Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing.” (HR. Muslim)

Nabi sendiri juga menyelenggarakan walimah atas pernikahannya dengan istri-istrinya, baik dengan menyembelih seekor kambing atau hanya dengan menghidangkan makanan sederhana, seperti seperti kurma, keju, samin, bubur sawiq (tepung) dan dua mud gandum sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak riwayat. Adanya walimah ini diniati oleh tuan rumah sebagai amalan mengikuti sunnah Nabi dan juga bersedekah, berbagi kebahagiaan dengan memberi makan orang lain.

(Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 34: Peran Suami-Istri dari Pemutlakan Menuju Fleksibilitas KewajibanPoligami Bukan Sunnah Nabi Apalagi Syariat Islam, Begini Penjelasan Mufassir IndonesiaTafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri)

Selain hadis, Alquran juga tidak lupa untuk menjelaskan hal lain yang berkaitan dengan walimah, misal perihal tamu undangan. Bagaimana etika seorang tamu menghadiri resepsi pernikahan tersebut, apa saja yang harus diperhatikan?

Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab [33] ayat 53, Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ اِلٰى طَعَامٍ غَيْرَ نٰظِرِيْنَ اِنٰىهُ وَلٰكِنْ اِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَاِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلَا مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ ۖوَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ حِجَابٍۗ ذٰلِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّۗ وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah” (QS. Al-Ahzab [33]: 53)

Dijelaskan dalam Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam, bahwa ayat ini menjelaskan tatakrama dalam menghadiri walimah. Pertama, tidak diperbolehkan datang tanpa adanya undangan. Hal ini karena Islam sangat menjaga privasi seseorang, sehingga tidak dibenarkan jika ada yang memasuki rumah tanpa izin dan memakan makananya tanpa kerelaan sang pemilik.

Bahkan, Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menghukumi haram makan makanan yang ada di suatu acara di mana seseorang itu tidak diundang. Oleh karena itu, kalaupun orang tersebut datang karena sudah diundang, maka hendaknya tidak membawa serta orang lain yang tidak mendapat undangan. Rasulullah pernah diundang oleh salah seorang sahabat, kemudian ada orang lain yang ikut serta. Saat sampai di lokasi, beliau bersabda:

(اِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ، وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبَعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ، وَاِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ (رواه البخاري

“Engkau (Abu Syu’aib) telah mengundang kami berlima, sedangkan laki-laki ini mengikuti kami. Jika engkau mau, engkau bisa menizinkannya, dan jika engkau mau, engkau boleh melarangnya.” (HR. Al-Bukhari)

Kedua, keharusan menghadiri undangan, hal ini selama tidak ada udzur syar’i yang menghalanginya. Nabi bersabda:

(اِذَا دُعِيَ اَحَدُكُمْ اِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا (رواه البخاري

“Apabila salah seorang dari kalian diundang acara walimah, hendaknya dia menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari) Dalam riwayat Muslim ada tambahan, ‘sama saja, walimatul urs atau yang lainnya’

Lalu ditegaskan lagi oleh hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

(وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ (رواه البخاري

“Barang siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah bermaksiat pada Allah dan rasul-Nya.”

Hadis ini menjadi dalil wajibnya memenuhi undangan, dan sebaliknya orang yang dengan sengaja tidak memenuhi undangan maka dihitung maksiat, ini karena ia dengan sadar, dalam kondisi normal telah meninggalkan kewajibannya, termasuk memenuhi undangan nikah. Ini juga dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.

Ketiga, bergegas pulang selepas menikmati hidangan. Sebenarnya, berdiam diri setelah menikmati hidangan yang disajikan tidak dilarang, asalkan tidak berlama-lama karena keasyikan berbicara. Sebab, hal ini dianggap memberatkan shahibul bait (tuan rumah), terlebih jika tempat acaranya kecil dengan banyak tamu yang datang silih berganti. Jika hanya duduk sejenak sekadar menyapa yang lain, maka yang demikian tidak dianggap memberatkan.

Demikian Alquran dan hadis berbicara tentang walimatul urs, kesunnahan dan etika menghadirinya. Bagi yang telah melaksanakan walimatul urs, kami sematkan doa barakallah lakuma wabaraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khayr. Sedang bagi yang belum, semoga senantiasa bersama keberkahan Allah yang lain. Amin.

Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 82-85

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 82

Orang-orang kafir dan kaum munafik tersebut dicela karena mereka tidak mengerti tentang kerasulan Muhammad dan tidak mau memahami Alquran yang menjelaskan tentang kerasulan Nabi Muhammad. Kalau mereka mau mengerti dan mau memperhatikan, niscaya mereka mengetahui bahwa kerasulan Muhammad dan Alquran itu memang sebenarnya dari Tuhan.

Janji Allah kepada orang mukmin dan ancaman-Nya kepada orang kafir dan orang munafik sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad adalah suatu hal yang pasti sebagaimana pasti benarnya ayat-ayat yang disampaikan oleh Muhammad tentang isi hati yang dikandung oleh orang munafik dan orang kafir.

Demikian pula pasti benarnya ayat-ayat yang dibawa Muhammad tentang nasib buruk mereka di akhirat nanti, karena kalau Alquran dibuat Muhammad, bukan datang dari Allah yang mengutus niscaya mereka akan menemui dalam Alquran ayat-ayat yang saling bertentangan satu sama lain.

Menurut al-Maragi, hal-hal yang berikut ini adalah sebagai bukti bahwa Alquran bukan bikinan Muhammad, tetapi wahyu dari Allah:

  1. Tidak seorang makhluk pun yang dapat menggambarkan hakikat dari sesuatu sebagaimana digambarkan oleh Alquran tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.
  2. Alquran menceritakan kejadian masa lalu yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad dan sebagiannya tidak terdapat pula dalam sejarah. Alquran juga menceritakan hal-hal yang akan datang dan ternyata sesuai dengan kenyataan, juga diceritakan yang sudah terjadi dan tersembunyi di dalam hati sanubari sebagian manusia sebagaimana Alquran menceritakan tentang siasat yang diatur oleh segolongan manusia yang menentang Rasul (lihat ayat 77 yang berhubungan dengan ayat 81 pada ayat yang lalu).
  3. Tidak seorang pun yang dapat membuat tandingan Alquran dalam menguraikan pokok-pokok akidah, kaidah-kaidah syariah, siasat suku-suku dan golongan secara tepat tanpa ada pertentangan satu sama lain.
  4. Tidak seorang pun dapat menandingi Alquran dalam mengemukakan undang-undang kemasyarakatan atau nilai-nilai kemakmuran, untuk masing-masing agama dan penganutnya dengan mengemukakan alasan yang kongkrit beserta contoh-contoh dan perbandingan. Satu cerita yang disebut berulang kali dalam ungkapan yang berbeda, dengan mengesankan dan meyakinkan tanpa lepas dari bentuk nasihat dan pengajaran. Semuanya diterangkan tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.
  5. Tidak seorang pun dapat mendatangkan tandingan Alquran dalam membicarakan tentang kejadian alam ini dengan menguraikan sesuatu yang dikandung oleh bumi dan langit seperti binatang, angin, laut, tumbuh-tumbuhan dan hikmah masing-masing dengan bahasa sastra yang tinggi meskipun dikemukakan secara berulang-ulang tetapi tidak membosankan. Bahkan masing-masing ayat saling memperkuat pengertian dan mengesankan.
  6. Alquran memberitakan tentang yang gaib, hari kemudian, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan adanya perhitungan terhadap perbuatan manusia dan pembalasan yang setimpal. Pemberitaan semacam ini termaktub dalam ayat yang berlainan penguraiannya tetapi satu tujuannya.

Jadi, memperhatikan keistimewaan Alquran adalah jalan untuk memperoleh petunjuk, bahwa memang Alquran itu datang dari Allah dan wajib diikuti. Segala sesuatu yang dikandungnya dapat diterima akal, sesuai dengan fitrah, sejalan dengan kemaslahatan dan hanya dalam Alquran terdapat jalan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.

Ayat 83

Orang yang lemah iman dan orang munafik suka menyiarkan berita-berita yang mereka ketahui terutama dalam keadaan perang yaitu berita-berita yang dibocorkan dari pihak markas tentara, tentang rahasia peperangan, dalam negeri atau luar negeri yang tidak wajar diketahui oleh khalayak umum.

Maksud mereka menyiarkan berita-berita itu adalah untuk mengacaukan keadaan. Tetapi kalau mereka bermaksud baik dan mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul sebagai pimpinan tertinggi atau mereka kembalikan kepada ulil amri yaitu pemimpin dan orang-orang pemerintahan tentulah mereka akan mengetahui persoalan berita yang sebenarnya; mereka akan mendapat keterangan dari pemimpin dan orang pemerintahan. Dengan demikian keamanan umum tidak sempat terganggu.

Masyarakat akan terpengaruh oleh orang yang menyiarkan berita secara provokatif, kecuali orang yang kuat imannya yang selamat dari berita provokasi tersebut. Dengan rahmat dan karunia Allah kaum Muslimin terpelihara dari perangkap semacam itu karena mereka patuh pada Allah dan Rasul, serta mengembalikan segala urusan kepada pimpinan yang dipercayai.

Ayat 84

Perintah perang untuk menahan serangan pihak kafir ini ditujukan langsung oleh Allah kepada Nabi-Nya dan Allah menghendaki pelaksanaan perintah perang ini atas dasar ketaatan dan berserah diri kepada-Nya tanpa menggantungkan harapan kepada orang-orang munafik yakni dengan mengharap bantuan kaum munafik.

Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk ikut memerangi orang-orang kafir. Sejarah membuktikan pada Perang Uhud betapa ketabahan Rasulullah menjalankan perintah Allah meskipun pasukan Muslimin berada dalam keadaan kacau balau.

Dalam ayat ini Allah menjanjikan akan melemahkan kekuatan orang-orang kafir, karenanya sudah sewajarnya kaum Muslimin tidak merasa khawatir, bahkan hendaknya semakin patuh kepada Rasulullah dengan memenuhi anjurannya untuk turut memerangi orang-orang kafir dengan keyakinan bahwa Allah Mahakuat dan memenuhi janji-Nya, memberikan kemenangan kepada Rasulullah beserta orang-orang mukmin.

Ayat 85

Syafaat ialah bantuan seseorang kepada orang lain dalam suatu hal. Syafaat berbentuk dua macam: pertama, yang berbentuk kebajikan yaitu yang dipandang baik oleh agama, dan kedua, berbentuk kejahatan yaitu yang dipandang buruk oleh agama.

Orang yang melakukan syafaat berbentuk kebajikan umpamanya menolong atau menganjurkan kepada orang lain melakukan perbuatan baik, seperti mendirikan madrasah, mesjid dan sebagainya, orang yang menganjurkan akan mendapat ganjaran dari perbuatan orang yang mengikuti anjurannya tersebut seolah-olah ia sendiri yang berbuat.

Demikian juga orang yang melakukan syafaat berbentuk kejahatan umpamanya membantu orang yang melakukan pekerjaan jahat seperti berjudi, berzina dan lari dari perang sabil. Ia akan mendapat bagian ganjaran dari perbuatan tersebut seolah-olah ia berserikat dalam pekerjaan itu.

Suatu perbuatan tidak lepas dari bentuk sebab dan akibat. Maka orang yang menjadi sebab terwujudnya kebaikan atau menjadi sebab terwujudnya kejahatan tidak akan luput dari menerima ganjaran Allah. Allah sanggup menentukan segala sesuatu. Karena itu orang yang berbuat baik tidak akan berkurang pahalanya, karena Allah memberi ganjaran pula kepada penganjurnya, karena Allah Mahaadil, Allah memberi balasan berupa hukuman terhadap orang yang menjadi sebab sesatnya orang lain.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 76-81

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 76

Orang mukmin berperang untuk menegakkan keadilan dan membela diri, sedang orang musyrik berperang karena mengikuti hawa nafsu yang dikendalikan oleh setan dan mengembangkan angkara murka di dunia, sehingga kalau orang mukmin meninggalkan atau mengabaikan tugas berperang di jalan Allah, niscaya kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai perbuatan hawa nafsu akan merajalela.

Oleh karena tujuan berperang dalam Islam demikian suci dan murninya, yaitu untuk mempertahankan diri dan membasmi kezaliman dan angkara murka, maka hendaklah kaum Muslimin menyerang musuh-musuh Islam yang menjadi kawan-kawan setan itu, dan hendaklah diyakini, bahwa tipu daya setan itu lemah, tidak akan mampu mengalahkan orang-orang yang benar-benar beriman.

Ayat 77

Ayat ini menggambarkan keadaan masyarakat masa jahiliah. Mereka suka berperang meskipun karena sebab yang kecil. Setelah masuk Islam, mereka diperintahkan agar menghentikan perang, melaksanakan salat dan membayar zakat. Sebagian dari mereka mengharapkan adanya perintah perang karena kepentingan duniawi sebagaimana kebiasaan mereka pada masa jahiliah.

Ayat ini memerintahkan kepada sebagian kaum Muslimin yang enggan berperang agar mereka bersikap tenang dan menahan diri untuk tidak mengadakan peperangan terhadap orang kafir dan mereka hanya diperintahkan melakukan salat dan membayar zakat. Tetapi pada waktu mereka diperintahkan berperang untuk mempertahankan diri, ternyata sebagian dari mereka tidak bersemangat untuk berperang karena takut kepada musuh, padahal semestinya mereka hanya takut kepada Allah. Malahan mereka berkata, “Mengapa kami diwajibkan berperang pada waktu ini, biarkanlah kami mati seperti biasa.”

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada sebagian kaum Muslimin bahwa sikap mereka itu adalah sikap seorang pengecut, karena takut mati dan cinta kepada harta dunia, sedangkan kelezatan dunia itu hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang rendah.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah tidak akan menganiaya dan merugikan manusia. Masing-masing akan mendapat balasan sesuai dengan amal perbuatannya walaupun sebesar zarrah.

Ayat 78

Maut (mati) adalah suatu hal yang pasti datangnya. Tidak seorang pun yang dapat lepas dari padanya di manapun dia berada meskipun berlindung di dalam benteng yang kokoh kuat. Karena itu tidaklah wajar manusia takut mati meskipun ia berada di dalam kancah peperangan. Jika sampai ajalnya, tentulah ia mati, meskipun ia hidup mewah di dalam istana atau bertahan di dalam benteng yang kokoh.

Ayat ini merupakan kecaman Allah terhadap segolongan kaum Muslimin yang tidak mempunyai semangat juang untuk membela kebenaran, mereka tak mau berperang karena takut mati. Sikap pengecut dan kemunafikan mereka itu tidak lain disebabkan kelemahan iman dan piciknya pikiran mereka.

Selanjutnya digambarkan kepicikan akal mereka yang tidak mau berperang karena takut mati. Sikap pengecut mereka anggap sebagai karunia dari Allah sedang malapetaka yang menimpa mereka adalah karena datangnya Muhammad ke Medinah, sehingga musim kemarau yang menimpa kota Medinah mereka anggap sebagai musibah yang ditimbulkan oleh kedatangan Nabi Muhammad dan kesialannya.

Adapun orang yang beriman ia tetap berpendirian bahwa baik dan buruk adalah datangnya dari Allah. Pendirian seperti inilah yang Allah perintahkan kepada Muhammad agar disampaikan kepada mereka. Sekiranya mereka tidak dapat memahaminya, mereka akan tetap sepanjang masa di dalam kegelapan. Jika mereka dapat memahaminya tentulah mereka tidak akan mengatakan bahwa hal yang buruk itu dikarenakan celanya seseorang, tetapi baik dan buruk itu akan mereka ketahui erat hubungannya dengan sebab musabab yang telah menjadi sunah Allah.

Ayat 79

Dari segi kesopanan bahwa sesuatu yang baik yang diperoleh seseorang hendaklah dikatakan datangnya dari Allah. Malapetaka yang menimpa seseorang itu hendaklah dikatakan datangnya dari dirinya sendiri, mungkin pula karena disebabkan kelalaiannya atau kelalaian orang lain apakah dia saudara, sahabat atau tetangga.

Ayat 80

Perintah dan larangan Rasul yang tidak menyangkut urusan keagamaan umpamanya yang berhubungan dengan keduniaan seperti urusan pertanian dan pertahanan, maka Rasul sendiri bersedia menerima pendapat dari sahabatnya yang lebih mengetahui masalahnya.

Menurut sejarah, dalam menjaga kesopanan terhadap Rasul para sahabat bertanya lebih dahulu apakah hal itu datangnya dari Allah atau pendapat Rasul sendiri. Jika ditegaskan oleh Rasul bahwa ini adalah dari Allah maka mereka menaati tanpa ragu-ragu dan jika dikatakan bahwa ini pendapat Muhammad maka para sahabat mengemukakan pula pendapat mereka.

Peristiwa ini pernah terjadi ketika sahabat menghadapi perintah Rasul dalam memilih suatu tempat yang dekat ke mata air untuk kepentingan strategi pertahanan ketika perang Badar.

Ketika menerangkan sebab turunnya ayat ini Muqatil meriwayatkan bahwa ketika Nabi bersabda:

مَنْ اَحَبَّنِي فَقَدْ اَحَبَّ الله َوَمَنْ اَطَاعَنِي فَقَدْ اَطَاعَ الله َ. قَالَ الْمُنَافِقُوْنَ: أَلاَ تَسْمَعُوْنَ اِلَى مَا يَقُوْلُ هٰذَا الرَّجُلُ؟ لَقَدْ قَارَفَ الشِّرْكَ قَدْ نَهَى اَنْ نَعْبُدَ غَيْرَ اللهِ وَيُرِيْدُ اَنْ نَتَّخِذَهُ رَبًّا كَمَا اتَّخَذَتِ النَّصَارَى عِيْسَى، فَاَنْزَلَ الله ُهٰذِهِ اْلاٰيةَ

(رواه مقاتل)

“Barang siapa mencintai aku sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan barang siapa yang menaati aku sesungguhnya ia menaati Allah. Orang munafik berkata, “Tidakkah kamu mendengar kata laki-laki ini (Muhammad)?  Sesungguhnya ia telah mendekati syirik. Sesungguhnya ia melarang kita menyembah selain Allah dan ia menghendaki kita menjadikannya tuhan sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan Isa tuhan. Maka Allah menurunkan ayat ini.” (Riwayat Muqatil).

Menaati Rasul tidak dapat dikatakan perbuatan syirik, karena Rasul penyampai perintah Allah. Dengan demikian menaati Rasul adalah menaati Allah, bukan mempersekutukannya dengan Allah.

Di dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa syirik itu terdiri dari dua macam. Pertama, syirik ulµhiyah, yaitu mempercayai adanya sesuatu selain Allah yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat memberi manfaat dan memberi mudarat. Kedua, syirik rubµbiyah, mempercayai bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai hak menetapkan hukum haram dan halal, sebagaimana orang Nasrani memandang hak tersebut ada pada pendeta-pendeta mereka.

Orang mukmin sejati berpendirian: Tunduk hanya kepada Allah sebagai Pencipta dan tiada makhluk yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberi manfaat dan mudarat, dan tidak ada di antara makhluk yang berhak menetapkan hukum haram dan halal, karena semua makhluk tunduk kepada kehendak-Nya.

Allah menghendaki agar Rasul-Nya (Muhammad) tidak mengambil tindakan kekerasan atau paksaan terhadap orang yang tidak menaatinya, karena ia diutus hanya sekedar menyampaikan berita gembira dan peringatan keras. Keimanan manusia pada kerasulannya tidak digantungkan kepada paksaan, tetapi kepada kesadaran setelah menggunakan pikiran.

Ayat 81

Golongan yang takut berperang seperti yang digambarkan dalam ayat 77 yang lalu berkata di hadapan Nabi Muhammad saw bahwa mereka mematuhi perintahnya, tetapi setelah mereka terpisah, sebagian mengatur siasat yang bertentangan dengan ucapan mereka. Sebenarnya ucapan patuh mereka sekedar menyelamatkan diri dan menyelamatkan harta benda mereka dari tindakan Rasul.

Ayat ini mengungkapkan kepada Nabi apa yang terkandung di dalam hati orang munafik dan Allah memerintahkan Muhammad agar membiarkan sifat mereka yang demikian dengan menyerahkan segala sesuatu pada Allah, karena Allah tetap melindungi Rasul-Nya dari kejahatan golongan munafik tersebut.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

0
Perempuan memakai kuteks
Perempuan memakai kuteks

Wudhu merupakan syarat sah salat. Dalam fiqih ibadah, sah tidaknya wudhu juga akan menetukan status salat, sah atau tidak. Sementara itu, syarat sah wudhu antara lain yaitu tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air pada kulit anggota wudhu. Kuku disepakati oleh mayoritas mufassir sebagai kulit, jadi ia wajib dibasuh. Kemudian, bagaimana dengan kuku yang diwarnai dengan kuteks, bagaimana hukum wudhu perempuan yang memakai kuteks tersebut?

Tuntunan Alquran terkait wudhu dapat dilihat di surat Al-Maidah [5] ayat 6.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

Di awal ayat, tersurat penjelasan tentang anggota badan yang harus dibasuh atau diusap ketika wudhu, meliputi wajah, kedua tangan hingga siku, kepala dan kedua kaki hingga mata kaki. Dari ayat ini kemudian diadaptasi rukun wudhu yang populer dalam kitab fiqih.

(Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu)

Mengenai kuku dan kuteks, coba kita kenali dulu apa itu kuteks. Kuteks dikenal sebagai pewarna kuku yang bertekstur kental. Kutek sangat digandrungi oleh kaum hawa terutama di kalangan remaja. Bahkan, hal tersebut tidak jarang menjadi sebuah hobi, mereka akan rutin menggonta-ganti warna kuteknya sesuai keinginannya serta menambahkannya dengan pernak-pernik lain.

(Baca Juga: Tafsir Surat an-Nisa’ ayat 1; Apakah Benar Perempuan dari Tulang Rusuk Laki-Laki?)

Adapun untuk sifat kuteks sendiri, ia sangat melekat pada kuku dan tahan air (waterproof). Ini karena dalam pembuatannya menggunakan bahan-bahan kimia yang salah satunya terdapat pada bahan dasar lem (untuk brand-brand tertentu, bahan-bahan tersebut diminimalisir bahkan ditiadakan). Ketika sudah tahu tentang bahan dasar kuteks, bagaimana wudhu perempuan yang memakainya?

Sedang untuk status kuku sebagai bagian dari anggota wudhu, hal ini dapat kita lacak keterangannya di beberapa kitab tafsir. Dalam kitab Hasyiyatus Shawi ‘Ala Tafsiril Jalalain karya Syekh Ahmad bin Muhammad as-Shawi, memang dijelaskan perbedaan ulama tentang asal-usul kuku dan statusnya, ia dikatakan bagian dari kulit atau bukan, sehingga perbedaan ini juga berdampak pada pendapat tentang hukum membasuhnya saat berwudhu.

Namun, konsensus ulama menetapkan bahwa kuku merupakan bagian dari kulit. Oleh karenanya, tidak boleh ada sesuatu yang dapat menghalangi air untuk sampai padanya saat wudhu. Pendapat ini juga bisa ditangkap dari sikap as-Syafi’i yang tidak mengomentari lebih lanjut mengenai ayat ini seperti yang tertera dalam Ahkamul Qur’an lil Imam as-Syafi’i yang ditulis oleh Imam al-Baihaqi, muridnya. Begitu pula dalam kitab tafsir Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam minal Qur’an karya Muhammad ‘Ali as-Shabuni.

Ini sudah jelas menunjukkan bahwa kuku merupakan anggota tubuh yang wajib dibasuh. Meskipun secara tekstur berbeda dengan kulit, tetapi ia menempel pada kulit. Di sini berlaku kaidah ushul fiqih yang berbunyi at-Tabi’ at-Tabi’ (hukum dari suatu cabang itu harus mengikuti pokoknya). Maka, agar hukum wudhu perempuan yang memakai kuteks itu sah, kuteksnya harus dihapus terlebih dahulu sehingga air wudhu bisa menjangkau kuku.

Jadi, untuk para ladies yang hobi memakai kuteks, tetaplah cantik asal jangan sampai lewatkan hal ini ya!

Wallahu A’lam

Hubungan Unik Surat Al-Ma’un dan Al-Kautsar

0
hubungan Surat Al-Ma'un & Al-Kautsan
hubungan Surat Al-Ma'un & Al-Kautsan

Sebagian besar kita mungkin sudah hafal sekali dengan dua surah yang ada di juz terakhir dalam Al Quran ini. Kedua surah ini disusun beriringan dalam mushaf. Meski sekilas bertentangan, ternyata ada hubungan unik surat Al-Ma’un dan Al-Kautsar. Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

Lalu apa hubungan unik tersebut? Berikut ini penjelasannya.

Redaksi Ayat

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ﴿٣﴾ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿٦﴾ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ٧ 

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?[1]. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim[2]. Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin[3]. Maka celakalah orang yang salat[4]. (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya[5]. Yang berbuat riya[6]. Dan enggan (memberikan) bantuan[7] (Al-Ma’un: 1-7)

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴿٢﴾ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ٣

Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.[1] maka shalatlah untuk tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat allah) (Al-Kautsar:1-3)

Tafsir

Secara keseluruhan, surat Al-Kautsar berisi kebalikan dari kandungan surah Al-Ma’un. Imam Ar-Razi menyampaikan dalam karya tafsirnya Mafatihul Ghaib bahwa Allah Swt menyampaikan dalam surah Al-Ma’un 4 karakteristik orang munafik:

  1. Kikir

Sifat kikir orang-orang munafik tergambar dalam ayat kedua dan ketiga yaitu menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

  1. Meninggalkan shalat

Sifat ini terlihat dalam ayat kelima

  1. Riya dalam mengerjakan shalat

Sifat riya’ ini di jelaskan dalam ayat keenam

  1. Mengahalangi berzakat

Terkandung dalam ayat ketujuh bahwa orang – orang yang mendustakan agama menghalang-halangi dari berzakat.

Sedangkan dalam surah Al-Kautsar. Allah Swt mejelaskan empat sifat sebagai kebalikan dari sifat-sifat orang munafik di atas, yaitu:

  1. Jangan bakhil

Dalam ayat pertama yang artinya sesungguhnya kami telah memberimu nikmat yang banyak, Allah Swt seolah menyiratkan pesan maka kamupun hendaknya memberi kepada sesamamu.

  1. Konsisten melaksanakan shalat

Menurut imam Ar-Razi, Kata فَصَلِّ dalam ayat kedua bermakna mendawamkan shalat, yaitu melaksanakan shalat dengan konsisten dan tidak melalaikannya.

  1. Laksanakanlah shalat untuk Rabb-mu

Berlawanan dengan sifat orang munafik yang melaksanakan shalat karena ingin dilihat oleh manusia, dalam surah Al-Kautsar Allah memerintahkan kita agar hanya meniatkan shalat ikhlas untuk Allah Swt. Baca juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu

  1. Berkurbanlah

Dalam surah Al-Maطun dijelaskan bahwa orang munafik selalu menghalang-halangi perbuatan berzakat, sedangkan dalam surat Al-kautsar Allah memerintahkan untuk bersedekah dengan hewan kurban. Baca juga: Haruskah Pamer Hewan Kurban di Medsos? Simak Penjelasannya dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 271

Hubungan Unik

Kita dapat melihat bagaimana dua surat yang terlihat menceritakan dua hal yang berlawanan itu bisa bersesuaian dengan cara yang unik. Dan tidak hanya itu, Allah menutup surat Al-Kautsar dengan ayat yang semakin memperkuat kemistri antara kedua surah ini. Baca juga: Munasabah Al-Quran: Inspirator Teori Baru dalam Penafsiran

Allah Swt berfirman: Inna shaani’aka huwal abtar (sesungguhnya orang yang membencimu dialah yang terputus). Allah Swt seakan menegaskan bahwa orang-orang munafik dengan sifat tercela yang mereka lakukan seperti yang disebutkan di surat sebelumnya tidak akan meraih apapun di dunia. Sedangkan seseorang yang melakukan perbuatan seperti yang diperintahkan akan dihormati di dunia, dan dimuliakan di akhirat.

Demikianlah hubungan unik antara kedua surah Al Quran yang terlihat menjelaskan dua hal yang benar-benar berbeda. Tetapi, ternyata memiliki hubungan yang erat dan bersesuaian dengan cara yang unik.

Ayo kita gali lagi Al Quran lebih dalam hingga hikmah-Nya selalu membersamai kehidupan kita!

Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya

0
penafsiran alquran era sahabat
Perhatian Sahabat dan Tabiin Terhadap Tafsir

Era sahabat merupakan era pertama dalam fase pengkajian Al-Quran. Munculnya penafsiran Al-Quran di era sahabat telah mengilhami fase penafsiran berikutnya. Para sahabat pun yang telah mengetahui gramatika bahasa Arab (uslub Al-Quran) akan mendapati bahwa betapa Al-Quran juga mengakomodasi uslub bahasa Arab dalam redaksinya.

Di antara uslub bahasa Arab yang biasa dipraktekkan oleh orang Arab dalam keseharian mereka ialah kalam atau ungkapan yang berbentuk majaz (kiasan) dan haqiqah (kebenaran/ bukan kiasan), tashrih (jelas) dan kinayah (samar), ijaz (ringkas/ singkat) dan ithnab (panjang/ terkesan berlebihan).

Sebagian sahabat yang telah peka terhadap uslub akan mendapati bahwa dalam Al-Quran terdapat redaksi-redaksi ayat yang memuat uslub tersebut. Ada redaksi yang ringkas ada pula yang dipanjangkan.

Ada redaksi yang memuat informasi yang sifanya ijmal (general) lalu diperjelas (dispesifikkan) dalam redaksi lainnya. Kemudian ada juga redaksi yang sifatnya muthlaq (tidak terbatas/ umum) kemudian dibatasi (taqyid) oleh redaksi lainnya.

Atas sebab-sebab di atas, dalam mengkaji Al-Quran, para sahabat mulai mengkategorisasi redaksi-redaksi ayat. Kategorisasi ini berdasarkan rumusan uslub lughah yakni dengan mencari terlebih dahulu redaksi-redaksi ayat yang masuk dalam kategori ijmal, ijaz, muthlaq, ‘am dan kemudian mencari bagian redaksi yang berkaitan yakni redaksi yang sifatnya menjadi tabyin, ithnab, taqyid dan khas. Oleh karena itu mengkaji internal Al-Quran menjadi tahap pertama dalam memahami Al-Quran di era tersebut. (Baca juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran)

Secara lebih detail ada beberapa metode yang telah digunakan para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Beberapa metode disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun antara lain: 1) membawa redaksi mujmal pada mubayyan; 2) membawa redaksi muthlaq pada muqayyad; 3) mengumpulkan kosa kata yang berbeda dalam beberapa redaksi yang memuat informasi sejenis untuk mendapatkan maqshud al-ayat; 4) mengumpulkan dan mencari benang merah antar ragam bacaan (qira’at). (Baca juga : Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya)

Supaya lebih jelas akan ditampilkan masing-masing contohnya. Pertama, dalam kasus redaksi ayat mujmalmubayyan salah satu contohnya pada Q.S. al-Baqarah [2]: 37 dan al-A’raf [7]: 23. Lafaz كَلِمٰتٍ pada Baqarah [2]: 37 yang dapat dimaknai “beberapa kata” merupakan redaksi mujmal yang kemudian diperjelas oleh redaksi mubayyan-nya yakni al-A’raf [7]: 23 bahwa yang dimaksud  كَلِمٰتٍ itu adalah ungkapan do’a

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Kedua, contoh redaksi muthlaq-muqayyad adalah pada Q.S. al-Mujadilah [58]: 3 dan al-Nisa’ [4]: 92. Dua redaksi ayat ini sama-sama memberikan informasi mengenai hukuman yang diberikan bagi seorang yang berbuat zihar dan melakukan pembunuhan yang tidak disengaja.

Pada Q.S. al-Mujadilah [58]: 3 terdapat redaksi فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ  kata رَقَبَةٍ mengisyaratkan kemutlakan bahwa yang dimaksud adalah menebus atau memerdekakan budak tanpa dibatasi status apapun (yang penting budak). Namun redaksi pada Q.S. al-Nisa’ [4]: 92 فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ  memberikan batasan atau menjadi taqyid bahwa yang dimerdekakan sebaiknya budak yang berstatus mukmin.

Contoh metode ketiga ini adalah pada kasus banyaknya redaksi ayat yang memuat informasi tentang penciptaan Adam a.s. Sebagian ayat menyebut Adam diciptakan dari tanah (turab), lalu tanah liat (thin), lumpur yang berbau (hama’ masnun), tanah liat yang lunak (shalshal).

Ragam kosa kata yang memuat informasi sejenis itu kemudian disimpulkan sebagai fase-fase (athwar) yang dilalui oleh Adam a.s. mulai dari awal penciptaannya sampai pada fase ditiupkan ruh. Jadi mulai dari fase turab hingga shalshal. (Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran)

Contoh tafsir Al-Quran dengan melakukan analisa atas ragam bacaan (qira’at) dapat dilihat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 198 لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ Di mana qira’at Ibn Abbas yang menambahkan kata  فِي مَوَاسِمِ الَحجِّ di akhir penggalan ayat, telah membuat lega para pedagang muslim Arab yang sebelumnya ragu untuk berdagang di musim haji.

Pentingnya mengkaji qira’at dan menempatkannya sebagai elemen penting dalam memahami Al-Quran terdapat dalam sebuah riwayat yang menampilkan wejangan Mujahid kepada seseorang di mana ia mengatakan, “seandainya kamu membaca qira’at Ibn Mas’ud sebelum bertanya kepada Ibn Abbas, niscaya kamu tidak perlu bertanya banyak hal padanya (Ibn Abbas)”.

Praktek tafsir Al-Quran dengan Al-Quran yang dilakukan oleh sahabat bukanlah sebuah praktek kosong tanpa pemikiran—sebab mereka orang Arab. Praktek ini merupakan hasil dari perenungan dan penelaahan mendalam mereka terhadap Al-Quran. Tanpa adanya kajian dan pemikiran yang mendalam serta kepekaan mereka terhadap aspek gramatika bahasa Arab, tentunya tidak akan mampu mengetahui kategorisasi dari redaksi-redaksi ayat.

Maka di sini terlihat bahwa praktek menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran tidak dilakukan oleh semua sahabat Nabi melainkan hanya sahabat yang memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud merupakan contoh yang memiliki kapasitas demikian.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 69-75

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 69

Ayat ini mengajak dan mendorong setiap orang agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Allah berjanji akan membalas ketaatan dengan pahala yang sangat besar, yaitu bukan saja sekedar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang yang saleh.

Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir secara garis besarnya membagi orang-orang yang memperoleh anugerah Allah yang paling besar di dalam surga kepada empat macam yaitu:

  1. Para rasul dan nabi, yaitu mereka yang menerima wahyu dari Allah.
  2. Para ¡idd³q³n, yaitu orang-orang yang teguh keimanannya kepada kebenaran nabi dan rasul.
  3. Para syuhada mempunyai kriteria sebagai berikut:
  4. Orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir
  5. Orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakannya.
  6. Orang beriman yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, terbunuh dengan aniaya. Bagian (a) disebut syahid dunia dan akhirat yang lebih tinggi pahalanya dari bagian (b) dan (c) yang keduanya hanya dinamakan syahid akhirat. Ada satu bagian lagi yang disebut namanya syahid dunia, yaitu orang-orang yang mati berperang melawan kafir, hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama dan sebagainya. Syahid yang serupa ini tidak dimasukkan pembagian syahid di atas, karena syahid dunia tersebut tidak termaksud sama sekali dalam kedua ayat ini.
  7. Orang-orang saleh, yaitu orang-orang yang selalu berbuat amal baik yang bermanfaat untuk umum, termasuk dirinya dan keluarganya baik untuk kebahagiaan hidup duniawi maupun untuk kebahagiaan hidup ukhrawi yang sesuai dengan ajaran Allah.;Orang yang benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini akan masuk surga dan ditempatkan bersama-sama dengan semua golongan yang empat itu.

Ayat 70

Pahala yang dijanjikan Allah kepada orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, adalah karunia yang tidak ada tara dan bandingannya bagi yang ingin mencapainya. Allah lah Yang Maha Mengetahui siapa yang benar-benar taat kepada-Nya, sehingga berhak memperoleh pahala yang besar itu.

Ayat 71

Dalam ayat ini diperintahkan untuk mengadakan segala macam persiapan menghadapi musuh, ayat ini seirama dengan ayat 60 surah al-Anfal. Menurut Sayyid Qutub, ayat-ayat ini diturunkan segera setelah Perang Uhud dan sebelum Perang Khandak. Tetapi beliau tidak menyebutkan sebab turunnya.

Orang mukmin harus senantiasa bersiap siaga dalam segala hal, untuk menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan, dimana wajib maju ke medan pertempuran, baik secara berkelompok maupun secara serempak, sesuai dengan taktik strategi peperangan, dan menurut komando yang diatur dengan baik.

Hal ini sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw dalam menghadapi beberapa peperangan yang terjadi antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir. Beliau sebelum membebaskan kota Mekah lebih dahulu telah mengetahui kekuatan musuh dan strategi mereka dalam menghadapi kaum Muslimin dan mengetahui pula secara mendalam bagaimana semangat dan kekuatan iman yang dimiliki oleh pengikut-pengikutnya. Pada umumnya Nabi dalam melakukan peperangan telah mengetahui lebih dahulu keadaan musuh dan kesetiaan pengikutnya.

Ayat 72

Di antara kaum Muslimin ada yang enggan dan tidak segera bersiap-siap untuk pergi ke medan pertempuran dengan bermacam alasan agar mereka tidak jadi ikut bertempur. Mereka ini adalah orang-orang yang lemah iman dan orang-orang munafik yang selalu terdapat dalam setiap peperangan dan perjuangan di sepanjang masa.

Selanjutnya ayat ini menjelaskan bagaimana sikap kaum munafik dan orang yang tidak ikut berperang. Bila kaum Muslimin ditimpa musibah atau kekalahan dalam medan pertempuran, mereka merasa gembira dan menganggap bahwa tidak ikutnya mereka dalam peperangan sebagai satu karunia dari Allah karena mereka tidak ikut terbunuh atau luka-luka.

Ayat 73

Ayat ini menambah penjelasan tentang sikap kaum munafik dan orang yang lemah iman. Jika kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan orang kafir maka mereka ini berkata, “Andaikata saya ikut dengan mereka dalam peperangan, tentulah saya mendapat keuntungan yang besar dengan memperoleh harta rampasan yang banyak.”

Ucapan seperti ini menggambarkan seakan-akan mereka adalah orang lain yang tidak mempunyai hubungan silaturrahmi sedikit pun dengan kaum Muslimin, padahal mereka telah bergabung dengan kaum Muslimin dan telah hidup bersama mereka dalam suasana yang aman dan baik, tetapi dalam hati mereka tersimpan rasa hasad dan dengki yang mendalam.

Ayat 74

Berperang di jalan Allah adalah suatu pekerjaan yang mulia. Orang yang berperang di jalan Allah pasti mendapat keuntungan besar. Orang yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam melaksanakan tuntutan agamanya serta rela mengorbankan kepentingan dunianya untuk mencapai keutamaan di akhirat hendaklah ikut berperang di jalan Allah.

Barang siapa berperang di jalan Allah, maka ia akan memperoleh salah satu dari dua kebajikan, mati syahid di jalan Allah atau menang dalam peperangan, yang masing-masing dari dua kebajikan itu akan dibalas oleh Tuhan dengan pahala yang besar, karena orang yang mati syahid telah dengan ikhlas mengorbankan jiwa raganya dalam mematuhi perintah Allah, sedang yang menang dan masih hidup akan dapat pula melanjutkan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan membela kebenaran di jalan Allah.

Ayat 75

Dalam ayat ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum Muslimin berperang di jalan Allah untuk membela saudara-saudara mereka yang tertindas dan yang berada dalam cengkeraman musuh, karena mereka lemah dan tidak berdaya baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Keamanan mereka terancam.

Mereka tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman musuh, mereka ditindas dan dianiaya oleh penguasa-penguasa yang zalim, mereka tidak berbuat apa-apa selain berdoa memohon pertolongan dan perlindungan dari Allah.

Allah mendorong untuk berperang dengan cara yang lebih mendalam, mengetuk pintu hati nurani setiap orang yang masih memiliki perasaan dan keinginan yang baik, dengan menyebutkan keuntungan dan tujuan murni dari peperangan menurut Islam.

Tujuan perang dalam Islam ialah meninggikan kalimah Allah, membela hak saudara-saudara seagama, membela hak-hak asasi manusia dan menegakkan norma-norma akhlak yang tinggi dan membela diri; bukan untuk memperbudak atau menjajah atau untuk menguasai bangsa atau negara atau hak-hak orang lain.

Berdasarkan tujuan berperang di atas, adalah menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin membebaskan setiap Muslim yang ditawan oleh musuh dengan berperang atau menebusnya dengan harta. Menurut Abu Abdillah al-Qurtubi, tidak ada perbedaan paham di antara ulama dalam hukum ini, mereka telah sepakat semuanya. Harta untuk penebusannya diambilkan dari baitul mal atau wajib ditanggung oleh seluruh umat Islam jika dana tidak tersedia.

(Tafsir Kemenag)

Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin

0
penerjemahan alquran bahasa latin
bahasa latin

Di antara kajian ilmiah tentang Al-Quran ialah penerjemahan Al-Quran dalam bahasa Latin yang dipimpin oleh Robbert of Ketton, yang selesai pada tahun 1143 M. Terjemahan Al-Quran tersebut tidak memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan kajian Islam di Eropa. Sebab, Robbert ketika menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin tidak merujuk kepada mufasir ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Sebagai informasi, kejayaan Islam mulai mempengaruhi peradaban yang ada di Eropa di awal abad 12 M yang menarik perhatian pemuka agama di Eropa. Peter the Venerable (1092 – 1156 M), kepala biara Cluny Perancis, merupakan orang Eropa pertama yang tertarik dengan studi Al-Qur’an. Upayanya tersebut merupakan langkah awal perlawanan akademis dan teologis terhadap Islam

Selanjutnya, Alexander Ross berkebangsaan Skotlandia pada tahun 1649 M menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris dengan merujuk karya Du Ryer yang berbahasa Perancis. Terjemahan Al-Qur’an milik Ross dinilai telah menyalahi kaidah penerjemahan Al-Qur’an, sebab ia tidak merujuk langsung pada Al-Qur’an berbahasa Arab.

Terjemah merupakan kosa kata dari bahasa Arab yakni tarjamah yang berarti mengganti suatu bahasa ke dalam bahasa lain supaya pokok bahasan dapat dipahami oleh orang yang tak memahami bahasa aslinya. Adapun terjemah menurut menurut KBBI berarti menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain; mengalihbahasakan.

Syaikh Al-Zarqani mengistilahkan terjemah Al-Qur’an dengan tafsir al-qur’an bighair lughatih (penafsiran Al-Qur’an dengan selain bahasa Al-Qur’an). Maka, terjemahan Al-Qur’an merupakan bagian dari penafsiran Al-Qur’an, sebab menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa asing sama halnya dengan menafsirkan Al-Qur’an. (Baca juga: Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran)

Ludovici Marracci, seorang pendeta, dari Italia pada tahun 1698 M berhasil menyusun dan menerjemahkan Al-Qur’an berdasarkan manuskrip yang ia pelajari selama 40 tahun. Dalam karyanya Ludovici Marracci turut mengutip pendapat mufasir, akan tetapi penafsiran yang dicantumkan justru menimbulkan kesan buruk pada Islam. Tindakan Ludovici tersebut tidak dapat dibenarkan, karena walaupun ia merujuk mufasir muslim, namun ia bersikap tidak objektif pada karyanya. (Baca juga: Sejarah Pencetakan Al-Quran dari Italia hingga Indonesia)

George Sale dari London pada tahun 1734 menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris dengan diawali prawacana tentang Islam yang ia sajikan secara objektif. George Sale merujuk mufasir muslim, khususnya Baidhawi dalam penerjemahan Al-Qur’an. Ia juga memberikan beberapa catatan dalam terjemahan Al-Qur’an miliknya. George Sale dalam menyusun karyanya lebih mengedepankan cara berpikir ilmiah ketimbang fanatisme keagamaan. (Baca juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio)

Pada abad 19 M merupakan awal mula berkembangnya studi Al-Qur’an di Barat dengan terbitnya edisi kritis teks Al-Qur’an. Penerjemahan Al-Qur’an sudah mulai ditinggalkan oleh sarjana Barat. Terbukti bahwa terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris milik J.M. Rodwell (1861 M) dan E.H. Palmer (1880) mulai diabaikan.

Parisian Academie des Inscriptions et Belles-Lettres pada tahun 1857 M mengadakan lomba karya ilmiah tentang “Sejarah kritis teks Al-Qur’an” dengan berhadiah monograf. Theodor Noldeke berhasil memenangkan hadiah monograf tersebut, dengan kajian tentang asal-usul komposisi Al-Qur’an yang ia sajikan secara sistematis. Pada tahun 1860 karyanya disebarluaskan di Jerman dengan judul Geschichte des Qorans.

Sejarah penerjemahan Al-Qur’an yang dilakukan oleh sarjana Barat telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan tersendiri bagi umat Islam. Walaupun pada awal mulanya studi Al-Qur’an di Barat hanya untuk menjatuhkan eksistensi Islam, namun seiring waktu studi Al-Qur’an di Barat di sebagian tempat telah dibangun dengan kerangka berpikir ilmiah. Sehingga tujuan dari studi Al-Qur’an saat ini ialah mencari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 62-68

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 62

Ayat ini menerangkan tentang kelicikan orang-orang munafik, apabila mereka ditimpa suatu musibah karena rahasia mereka telah terbuka dan diketahui oleh Rasulullah dan orang-orang mukmin, mereka datang kepada Nabi sambil bersumpah,  Demi Allah, perbuatan kami itu bukanlah dengan maksud jahat dan sengaja melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi semata-mata karena ingin hendak mencapai penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna,” padahal sumpah mereka itu hanyalah semata-mata siasat licik belaka.

Ayat 63

Demikianlah kelicikan dari orang-orang munafik, tetapi ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang telah diketahui apa yang tersimpan di dalam hati mereka, yaitu sifat dengki dan keinginan untuk melakukan tipu muslihat yang merugikan kaum Muslimin. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah dan kaum Muslimin agar jangan mempercayai mereka dan jangan terpedaya oleh tipu muslihat mereka.

Di samping itu hendaklah mereka diberi peringatan dan pelajaran dengan kata-kata yang dapat mengembalikan mereka kepada kesadaran dan keinsafan sehingga mereka bebas dari sifat kemunafikan, dan benar-benar menjadi orang yang beriman.

Ayat 64

Bagian pertama dari ayat ini menerangkan bahwa setiap rasul yang diutus Allah ke dunia ini semenjak dari dahulu sampai kepada Nabi Muhammad saw wajib ditaati dengan izin (perintah) Allah, karena tugas risalah mereka adalah sama, yaitu untuk menunjukkan umat manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Dalam ayat ini dikaitkan taat itu dengan izin Allah, maksudnya bahwa tidak ada satu makhluk pun yang boleh ditaati melainkan dengan izin Allah atau sesuai dengan perintah-Nya, seperti menaati rasul, ulil amri, ibu bapak dan sebagainya, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Ab³ °±lib yang berbunyi:

لاَ طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَعَالَى

(رواه البخاري ومسلم  عن علي بن أبي طالب)

 Tidak boleh menaati manusia yang menyuruh melanggar perintah Allah  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Talib).

اِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوْفِ

(رواه أحمد ومسلم وأبو داود والنسائي)

 Sesungguhnya yang ditaati itu hanya perintah berbuat makruf, (Riwayat  Ahmad, Muslim, Abµ Dawud dan an-Nasa’i)

Bagian kedua sampai akhir ayat ini menerangkan: Andaikata orang yang menganiaya dirinya sendiri yaitu orang yang bertahkim kepada Tagµt seperti tersebut pada ayat 60, datang kepada Nabi Muhammad ketika itu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun turut memohon agar mereka diampuni, niscaya Allah akan mengampuni mereka, karena Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Di dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang bertahkim kepada Tagµt itu adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, karena mereka melakukan kesalahan besar dan membangkang tidak mau sadar. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang bertobat agar tobatnya diterima oleh Tuhan, antara lain:

  1. Tobat itu dilakukan seketika itu juga, artinya segera setelah membuat kesalahan.
  2. Hendaklah tobat itu merupakan tobat nasuha, artinya benar-benar menyesal atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat dan tidak akan mengulangi lagi.
  3. Bila ada hak orang lain yang dilanggar, hak orang itu haruslah diselesaikan lebih dahulu dengan meminta maaf dan mengembalikan/mengganti kerugian.

Sebab turunnya ayat ini berhubungan dengan peristiwa berikut sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan perawi-perawi lain. Mereka menceritakan bahwa Zubair bin ‘Awwam mengadukan seorang laki-laki dari kaum Ansar kepada Rasulullah saw dalam suatu persengketaan tentang pembagian air untuk kebun kurma. Rasulullah memberi putusan seraya berkata kepada Zubair,  Airilah kebunmu itu lebih dahulu kemudian alirkanlah air itu kepada kebun tetanggamu.

Maka laki-laki itu berkata,  Apakah karena dia anak bibimu hai Rasulullah?  Maka berubahlah muka Rasulullah karena mendengar tuduhan tentang itu. Rasulullah berkata lagi (untuk menguatkan putusannya)  Airilah hai Zubair, kebunmu itu sehingga air itu meratainya, kemudian alirkanlah kepada kebun tetanggamu . Maka turunlah ayat ini.

Ayat 65

Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. Rasulullah saw pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik.

Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.

Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.

Ayat 66

Ayat ini menjelaskan berbagai sikap manusia pada umumnya dalam mematuhi perintah Allah. Kebanyakan mereka apabila diperintahkan hal-hal yang berat, mereka enggan bahkan menolak untuk melaksanakannya seperti halnya orang-orang munafik dan mereka yang lemah imannya.

Adapun orang yang benar-benar beriman selalu menaati segala yang diperintahkan Allah bagaimanapun beratnya perintah itu, walaupun perintah itu meminta pengorbanan jiwa, harta atau meninggalkan kampung halaman. Hal ini terbukti dari sikap kaum Muslimin pada waktu diperintahkan hijrah ke Madinah dan pada waktu diperintahkan berperang melawan musuh yang amat kuat, berlipat ganda jumlahnya dan lengkap persenjataannya. Inilah yang digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya yang tersebut di atas.

Sebenarnya kalau manusia itu melaksanakan apa yang diperintahkan  Allah dan meninggalkan apa yang di larang-Nya, itulah yang lebih baik bagi mereka, karena dengan demikian iman mereka bertambah kuat dan akan menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji pada diri mereka.

Ayat 67-68

Kemudian dijelaskan bahwa kalau mereka berbuat kebaikan dan mematuhi segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya serta beramal dengan penuh ikhlas, niscaya Allah akan memberikan kepada mereka pahala yang besar dan akan memimpin mereka ke jalan yang lurus yang dapat membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tarbawi; Tegas dalam Mendidik itu Perlu

0
kompetensi kepribadian
kompetensi kepribadian

Tegas dalam mendidik sangat diperlukan. Bersikap tegas bukan berarti bersikap keras. Demikian pula halnya dengan guru. Tatkala guru bersikap tegas kepada muridnya bukan berarti diasosiasikan sebagai bentuk kekerasan, melainkan dalam rangka mendidik.

Di era sekarang, sebagian orang tua atau wali murid tidak menyadari hal itu. Sehingga bentuk ketegasan seorang guru kerap kali dilaporkan kepada pihak berwajib (kepolisan) sebagai bentuk kekerasan fisik, padahal tidak.

Ketegasan seseorang guru kepada muridnya ternyata pernah dilakukan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa sebagaimana termaktub dalam firman Allah swt Q.S. al-Kahfi [18]: 69-70,

قَالَ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ صَابِرًا وَّلَآ اَعْصِيْ لَكَ اَمْرًا قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰٓى اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا

Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 69-70)

Tafsir Surat Al Kahfi Ayat 69-70

Al-Razi dalam tafsirnya, menafsirkan ayat ke-69 mencerminkan sikap tawadu yang sangat dan menampakkan kesanggupan tantangan belajar serta bersikap tawadu (rendah hati). Sementara bagi seorang guru, jika ia melihat bahwa dalam ketegasannya terhadap murid membawa manfaat yang baik, maka ia wajib melakukannya.

Sebab berdiam diri darinya akan menyebabkan madharat yang lebih besar. Misalnya murid jatuh dalam kelalaian dan kesombongan, dan hal itu mencegahnya dari keseriusan dalam belajar.

Dalam Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an karangan Imam al-Baghawi menafsirkan redaksi Insya Allah pada ayat ke 69 sebagai bentuk ketidakpercayaan diri belajar kepada Nabi Khidir. Nabi Musa tidak seratus persen yakin apakah benar-benar bersabar tatkala belajar kepada Nabi Khidir. (baca juga di sini: Tafsir Tarbawi; Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik)

Di sisi lain, Ibn Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir-nya, menjelaskan ikhwal bertanya kepada seseorang yang sedang sibuk itu bisa menyebabkan bad mood yang bersangkutan. Dikhawatirkan penjelasan yang ia (guru atau seseorang yang ditanya) sampaikan tidak pas atau memuaskan kepada si penanya tatkala dirinya masih sibuk atau tidak fokus. Maka, Nabi Khidir tidak berkenan ditanya apalagi diprotes mengenai hal yang dilakukannya. Sekalipun itu diluar nalar dan terkesan anomali.

Penafsiran yang lain dipaparkan oleh al-Qurtubi, bahwa persyaratan yang diajukan Nabi Khidir kepada Nabi Musa merupakan bentuk guidance (bimbingan) dan arahan guru kepada muridnya agar dapat saling memahami.

Namun realitanya, Nabi Musa tidak sabar dan selalu protes apa yang dilakukan Nabi Khidir. Bahkan dalam ayat selanjutnya, Nabi Musa melayangkan protes sebanyak tiga kali. Protes pertama dan kedua dimaafkan, selanjutnya protes ketiga menjadi pertanda perpisahan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir.

Perlunya Ketegasan dalam Mendidik

Seorang guru wajib mempunyai ketegasan terhadap murid, terlebih apabila ketidaktegasannya justru menyebabkan murid gagal dalam belajar dan meraih cita-citanya. Guru yang tidak tegas akan membiarkan murid berbuat salah, tidak disiplin dan malas-malasan dalam belajar.

Tentu hal ini akan sangat merugikan murid di satu sisi, di sisi yang lain mencederai amanah guru dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik. Karenanya ketegasan guru sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar.

Namun demikian, ketegasan juga harus diaplikasikan secara proporsional dan terukur. Ketika murid melakukan kesalahan pertama kali, maka kesalahannya dapat dimaafkan dan ditolerir, serta diberi peringatan secara gradual.