Beranda blog Halaman 537

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 90-91

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 90

Diperintahkan kepada kaum Muslimin agar tindakan  menawan dan membunuh  itu tidak dilakukan kepada orang-orang seperti berikut: Pertama: Orang-orang kafir yang meninggalkan kelompok mereka semula yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, kemudian mereka pergi minta perlindungan kepada kelompok orang-orang kafir lain yang telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin.

Dalam hal ini kaum Muslimin tidak diperbolehkan menawan atau membunuh mereka sebab mereka telah disamakan hukumnya dengan orang-orang kafir tempat mereka berlindung yang telah mengadakan perjanjian damai dengan Muslimin. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian damai yang telah dibuat, sekalipun dengan orang kafir selama mereka tidak melanggarnya.

Kedua: Orang-orang kafir yang datang kepada kaum Muslimin untuk mengadakan perdamaian. Mereka tidak mau memerangi kaum Muslimin; karena keinginan mereka untuk berdamai.

Mereka juga tidak bersedia membantu kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir lainnya, karena kemungkinan orang-orang kafir ini masih kaum kerabat mereka, atau sebagian keluarga mereka masih tinggal bersama orang-orang kafir tersebut. Orang yang semacam ini juga tidak boleh ditawan dan dibunuh oleh kaum Muslimin.

Dari ketentuan ini dapat dilihat betapa adilnya hukum Alquran. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian atau persetujuan yang telah dibuat dengan orang-orang kafir selama mereka tetap menghormati dan menepati isi perjanjian itu.

Boleh jadi terasa berat bagi sebagian Muslimin untuk menahan diri tidak memerangi kedua golongan tersebut, misalnya karena melihat kenyataan bahwa mereka masih berada dalam masyarakat kafir, atau karena mereka tidak bersedia membantu Muslimin dalam memerangi kaum kafir lainnya yang memusuhi mereka. Oleh sebab itu  ayat ini mengingatkan kaum Muslimin kepada rahmat-Nya bahwa ia telah melenyapkan bahaya yang mungkin timbul dari orang-orang tersebut terhadap Muslimin.

Andaikata Allah menghendaki, niscaya Dia memberikan kekuatan kepada orang kafir tersebut untuk memerangi kaum Muslimin, misalnya dengan menunjukkan kepada mereka kelemahan kaum Muslimin, yang memungkinkan orang kafir itu memerangi dan mengalahkan Muslimin.

Tetapi Allah Maha Pengasih telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga berbagai bahaya tersebut tidak terjadi. Sebagai imbalannya, kaum Muslimin harus menahan diri terhadap mereka.

Pada akhir ayat ini ditegaskan kembali larangan-Nya kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh orang-orang kafir dari kedua golongan tersebut di atas, apabila mereka benar-benar tidak memusuhi Islam dan kaum Muslimin dan selalu memelihara perdamaian. Apabila Muslimin memerangi mereka, mungkin hal itu akan menggerakkan mereka untuk menyusun kekuatan guna menghadapi Muslimin. Ayat ini merupakan dasar  hukum suaka politik  dalam Islam.

Ayat 91

Selain kedua golongan kafir tersebut, kaum Muslimin akan menemukan satu golongan lain dengan ciri-ciri dan niat yang berbeda. Mereka adalah golongan kafir munafik, yaitu munafik dalam hal kepercayaan.

Apabila mereka bertemu dengan kaum Muslimin mereka menyatakan diri beragama Islam, dan apabila mereka berada bersama orang-orang kafir, mereka mengatakan tetap seagama dengan mereka dan tetap menyembah sesembahan mereka. Hal itu mereka lakukan karena menjaga keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka terhadap gangguan kaum Muslimin dan gangguan dari golongan mereka sendiri.

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ  ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ”Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, ”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (al-Baqarah/2:14).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai satu kaum dari kalangan penduduk kota Mekah. Mereka pernah datang kepada Rasulullah saw mengatakan bahwa mereka masuk Islam. Tetapi pada hakikatnya mereka berbuat demikian hanyalah berpura-pura. Sesudah itu mereka kembali kepada Quraisy yang masih kafir, lalu mereka menyembah patung bersama-sama orang tersebut.

Hal itu mereka lakukan dengan maksud agar mereka aman terhadap kaum Muslimin dan aman pula terhadap orang-orang kafir. Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya sikap kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang munafik tersebut, yaitu selama mereka tidak menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin, dan tidak mengemukakan permintaan mereka untuk mengadakan perjanjian damai, maka kaum Muslimin haruslah memerangi, menawan dan membunuh mereka, di mana pun mereka ditemukan. Allah swt telah memberikan wewenang dan alasan yang nyata kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh mereka.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa apabila orang-orang munafik telah menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin atau mereka sudah mengajukan perdamaian, maka kaum Muslimin dilarang memerangi, menawan dan membunuh mereka.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah/60:8)

Dengan demikian, perintah Allah kepada Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir, adalah khusus mengenai mereka yang memerangi atau bersikap memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas.  Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Baqarah/2:190)

(Tafsir Kemenag)

Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram (tafsiralquran.id)

Kisah teladan Nabi di Bulan Muharram, datang dari Nabi Yunus yang selamat dari cengkeraman perut ikan paus merupakan salah satu kisah yang terjadi di Bulan Muharram. Yakni Bulan pertama Hijriyyah sekaligus termasuk ashhurul hurum (bulan-bulan yang dimuliakan).

Kisah Nabi Yunus tersebut ternyata berawal dari kecerobohannya, yang disusul dengan taubat. Sehingga, pada akhirnya ia diberi pertolongan oleh Allah. Dalam Al Quran, kisah ini dinarasikan pada QS. Al-Qalam, QS. Yunus, QS. As-Shaffat, dan QS. Al-Anbiya’. Berikut ini cerita lengkapnya

Nabi Yunus Murka Pada Kaumnya

Selain menjadi nabi, Yunus a.s juga diberi mandat menjadi Rasul bagi Kaum Ninawa. Menurut Sayyid Qutb dalam Fi Dzilalil Quran, Ninawa ini terletak di Mosul, Irak.

Kisah Nabi Yunus penuh rintangan, khususnya dalam berdakwah. Berkali-kali ia mengajak untuk beriman kepada Allah, kaumnya selalu mencampakkan. Sampai pada titik letihnya, ia mengancam bahwa jika kaumnya tidak beriman dalam kurun 3 hari, maka akan turun azab.

Menurut Fadl Hasan Abbas dalam Qashashul Quran, diceritakan bahwa pada malam ketiga itu, Nabi Yunus memutuskan untuk pergi dari kaumnya. Karena sangking jenuhnya, Nabi Yunus meninggalkan kaumnya sebelum mendapat izin dari Allah. Padahal, jika ia mau bersabar sebentar, kaumnya akan mengikuti dakwahnya dan bertaubat.

Benar saja. Pagi hari selepas kepergian Nabi Yunus, saat tanda-tanda azab itu turun, sebagian dari kaumnya mencari Nabi Yunus untuk menyatakan keimanannya. Tetapi, karena tidak kunjung menemukannya, mereka menyelamatkan diri ke padang pasir seraya betaubat dan berdoa agar diselamatkan. Kejadian ini diabadikan dalam Surat Yunus ayat 98:

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ ءَامَنَتْ فَنَفَعَهَآ إِيمَٰنُهَآ إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّآ ءَامَنُوا۟ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ ٱلْخِزْىِ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَمَتَّعْنَٰهُمْ إِلَىٰ حِينٍ

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu”

Nabi Yunus Ditelan Ikan Paus

Saat di tengah laut, kapal yang ditumpangi Nabi Yusuf diterjang ombak. Untuk menghindari kapal karam, barang-barang dan penumpang terpaksa dilempar ke laut untuk mengurangi muatan.

Babak ini merupakan kronologi Nabi Yunus ditelan ikan Nun (paus) dan sekaligus taubatnya atas kekhilafan yang telah ia lakukan sebelumnya. Ikan Nun (paus) sendiri merupakan jenis ikan besar yang hidup di laut dalam. Cerita ini terekam dalam Surat As-Shaffat ayat 139-148:

وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ ﴿١٣٩﴾ إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ ﴿١٤٠﴾ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ ﴿١٤١﴾ فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ ﴿١٤٢﴾ فَلَوْلا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ ﴿١٤٣﴾ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ ﴿١٤٤﴾فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ ﴿١٤٥﴾ وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ ﴿١٤٦﴾ وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ ﴿١٤٧﴾ فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ﴿١٤٣﴾

“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedangkan ia dalam keadaan sakit. Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu. Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” 

Berdasarkan Rangkaian Cerita dalam Al Quran oleh Anggitan Bey Arifin, saat membuang barang-barang tidak bisa menghindarkan dari karam, penumpang memutuskan untuk mengurangi muatan melalui undian dengan anak panah, Nabi Yunus pun mengikuti undian ini.  Barangsiapa kejatuhan undian itu, ia yang akan berkorban untuk terjun ke laut.

Nasib baik sedang tidak menimpa Yunus kala itu. Dua kali diundi, selalu ia yang kena panah. Sebenarnya, para awak kapal memberatkan jika Yunus yang menjadi korban, karena ia merupakan orang terpandang dan disegani. Tetapi, ketika awak kapal itu menyarankan untuk mengundi ketiga kalinya, ia menolak. Yunus lalu lompat ke laut dan kemudian ia ditelan oleh Ikan Nun.

Taubatnya Nabi Yunus

Selama dalam perut Ikan Nun, Yunus as. mengira ia sudah meninggal, tapi ternyata ikan itu menjagannya. Menurut  dalam Qashashul Anbiya’, melalui perut ikan besar tersebut Yunus dijaga oleh Allah, sehingga tidak lumat dimakan ikan. Perut ikan itu diibaratkan dengan penjara yang gelap. Sehingga Yunus pun semula mengira dirinya sudah mati karena berada di tempat yang sunyi dan gulita.

Setelah sadar bahwa ia masih hidup, Yunus kemudian bertaubat dan mengakui kesalahannya karena telah kabur dari kaumnya, sebelum diperintahkan Allah. Ia berdoa agar diselamatkan dengan bertasbih dan mengucapkan kalimat tauhid dalam perut Ikan Nun itu. Isi doa tersebut pun tertera dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 87:

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya),maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim””

Lantaran doa itu, Allah menerima taubatnya dan menyelamatkannya dari kegelisahaannya. Ikan Nun kemudian menepi dan memuntahkan Yunus kepesisir yang tandus. Di sampingnya Yunus, Allah sediakan tanaman sejenis labu untuk Yunus yang sedang sakit.

Seperti yang tertera dalam Surat As-Shaffat sebelumnya, Yunus melanjutkan dakwah kepada sekitar seratus ribu orang. Pada akhirnya, Nabi Yunus dan kaumnya tersebut hidup bahagia dengan nikmat Allah yang diberikannya kembali.


Artikel terkait:

Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui


Ibrah

Dari kisah Nabi Yunus ini di satu sisi, doa Nabi Yunus dapat kita teladani tiap kita berdoa agar doa terkabul. Terlebih di momen tahun baru Hijriyah ini, saat yang tepat untuk memohonkan maaf atas kesalahan masa lalu dan menata harapan-harapan baru. Imam Turmudzi Al-hakim dan Al-Baihaqi meriwayatkan dalam pembahasan tentang doa Nabi Yunus dalam perut ikan:

فإنه لم يدع بها رجل مسلم في شيء إلا استجاب الله له

Bahwa doa itu “doa Nabi Yunus”, tidak ada satu orang pun yang berdoa dengan doa tersebut kecuali Allah mengijabahinya.

Di sisi lain, kita dapat mengambil ibrah dari kisah Nabi Yunus, bahwa pentingnya kesabaran dan ketabahan dikala menghadapi ujian. Meski secara khusus tujuan Al Quran menceritakan kisah Yunus ini untuk melapangkan hati Rasulullah ketika dicoba oleh kaumnya.

Bukan tidak bisa bagi kita untuk menjadikannya pelajaran. Karena pada dasarnya segala kesusah-payahan suatu saat akan menemui leganya. Asal tidak goyah dan menyerah. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 97-98 tentang Hijrah

0
Tafsir tentang hijrah
Tafsir tentang hijrah

Tahun baru Hijriyyah menjadi momentum yang pas untuk meninggalkan keburukan dan melanjutkan langkah pada kebaikan. Dalam Islam, hal ini bisa disebut dengan hijrah (berpindah). Salah satu ayat yang menyerukan untuk berhijrah ialah Surat An-Nisa’ ayat 97-98. Berikut ini Tafsir surat An-Nisa’ ayat 97-98 tentang hijrah.

Makna Hijrah

Hijrah berasal dari kata hajara–yuhajiru-hijratan yang berarti memutus hubungan (Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hal. 477-478). Menurut Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur kata hijrah dapat pula diartikan dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Lisanul ‘Arab Juz 9, hal. 32). Baca juga: Makna Hijrah dalam Al-Quran

Kata Hijrah pun sudah diserap dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dengan dua pengertian. Pertama, yakni perpindahan Nabi Muhammad Saw. dari Mekah ke Madinah untuk menghindari tekanan kaum Quraisy. Kedua, berpindah atau menyingkir sementara waktu dari satu tempat ke tempat lain. (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hal. 523).

Tafsir Ayat

Hijrah beserta kata turunannya dalam Al Quran terulang sebanyak 25 kali (Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jamul Mufahras Li Alfazil Qur`an, hal. 730-731). Salah satu ayat yang menjelaskan Hijrah ialah Surat An-Nisa’ ayat 97-98. Berikut ini redaksinya:

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا 

وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

“Sesungguhnya orang-orang yg diwafat kan malaikat dalam keadaan mengania ya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagai mana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yg tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anakanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yg luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yg dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Ayat di atas menjelaskan mengenai keadaan sekelompok Muslim Mekah yang tidak berhijrah ke Madinah. Kelompok tersebut bergabung dengan kaum Musyrik dan turut serta memerangi kaum Muslim. Pasca perang banyak dari kelompok Muslim tersebut yang tewas hingga terjadilah dialog antara Malaikat dengan orang-orang yang diwafatkan tersebut. Malaikat pun bertanya dengan nada menyindir “Dalam keadaan bagaimana kamu dahulu?”

Muhammad Quraish Shihab berpendapat bahwa sebagian ulama berbeda pendapat mengenai keadaan orang-orang tersebut. Orang-orang yang diwafatkan tersebut sempat berkelit pada Malaikat bahwa mereka adalah kelompok tertindas di Mekah atau Mustad`afin.

Malaikat pun merespon dengan mengajukan pertanyaan “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bias hijrah di dalamnya?”.  pertanyaan ini bermakna  hijrah dapat menjadi solusi untuk mengamalkan tuntunan ajaran agama juga mencari rezeki. Karena respon inilah orang-orang tersebut menyesal dan dimasukkan dalam neraka jahannam.

Menurut Shihab, ayat ini menjadi dalil bagi orang yang tidak dapat kebebasan dalam menjalankan agama di suatu negeri, maka wajib berhijrah atau bermigrasi ke negeri lain yang terdapat kebebasan dalam menjalankan agama meskipun ke negeri kafir (Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, hal. 681-682).

Namun terdapat pengecualian bagi orang-orang yang disebutkan pada ayat 98. Yakni orang-orang lemah baik pria, wanita maupun anak-anak, orang-orang yang tidak mengetahui jalan keluar serta orang-orang yang tidak dapat berkelit. Kelompok ini bukan termasuk yang diancam sebagaimana ayat 97. Maka, pada ayat ke 99 terdapat redaksi ‘Asa Allah An Ya’fuwa ‘Anhum yang berarti “Mudah-Mudahan Allah mengampuni dosa mereka”.

Menurut Muhammad Tahir ibn ‘Ashur ayat tersebut bermakna bahwa Allah berharap mengampuni dosa orang yang tidak berhijrah karena lemah. (Muhammad Tahir ibn ‘Ashur, Tafsir at-Tahrir Wa at-Tanwir, Juz 3, hal. 177).

Menurut al-Zamakhshari sebagaimana dikutip oleh al-Razi mengenai redaksi ‘Asa bertujuan untuk menjelaskan kepada orang-orang yang meninggalkan hijrah. Bahwa hal itu merupakan perkara sempit, sehingga jika terdapat ketidakbebasan dalam menjalankan agama dapat memunculkan harapan dan motivasi untuk berhijrah. (Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, at-Tafsirul Kabir Aw Mafatihul Ghayb, Jilid 6, hal. 12).

Pada penutup ayat Allah menutup dengan menyebutkan sifat-sifat Allah yakni ‘Afuwwan (Maha Pengampun) dan Ghafuran (Maha Penyayang) bagi seluruh hamba-Nya yang diberi pahala (‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimashqi al-Hanbali al-Lubab Fi ‘Ulumil Qur`an, Juz 6, hal. 594). Baca Juga: Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

Selanjutnya pada ayat 100 Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang berhijrah di jalan-nya akan mendapat hikmah berupa tempat yang luas juga kenyamanan hidup. Ayat ini menjanjikan kebebasan serta kelapangan rezeki bagi orang-orang yang ingin berpindah dari kekufuran.

Menurut Shihab, hijrah dapat pula menjadi sarana bagi pembangunan sebuah peradaban. Para sosiolog berpendapat bahwa peradaban manusia terbentuk dari proses hijrah atau migrasi. Sebagaimana yang terjadi pada bangsa Amerika modern yang nenek moyangnya berasal dari Inggris lalu berhijrah ke benua tersebut hingga mendapatkan kebebasan dan melahirkan tatanan masyarakat baru juga peradaban unggul.

Sama halnya dengan peristiwa hijrahnya Nabi Saw. beserta kaum Muslim dari Mekah ke Madinah. Sehingga menghasilkan tatanan masyarakat serta peradaban baru sebagai implementasi ajaran Islam. (Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, hal. 685).

Semoga dengan adanya hal ini menjadikan kita lebih mawas diri dalam menghadapi hidup. Jika ingin menemukan sesuatu yang lebih baik, maka kata kuncinya adalah berpindah tempat atau hijrah. Wallahu A’lam.

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

0
Larangan di Bulan Haram
Bulan-bulan haram

Larangan di bulan haram, seringkali kita mengabaikan perbuatan ini. Karena umat Islam biasanya memaknai bulan haram (bulan yang dimuliakan) dengan mengamalkan perbuatan-perbuatan terpuji yang sesuai perintah Allah. Mereka berbondong-bondong menabung amal terpuji di bulan tersebut. Baca juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan bulan haramHaram yang artinya suci, maka pada empat (4) bulan tersebut umat islam dilarang melakukan suatu perbuatan yang terlarang. Sebagaimana disebutkan firmanNya surat al-baqarah ayat 217;

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ  حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah Ayat 217)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 217

Dari kitab Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, menjelaskan tentang tafsir surat al-Baqarah ayat 217, bahwa orang-orang Muslim tidak suka berperang di bulan haram,(1) maka mereka pun bertanya kepadamu tentang hal itu. Katakan, “Ya, berperang di bulan haram itu memang merupakan dosa besar.”

Tetapi ada yang lebih besar dari itu yaitu menghalang-halangi jalan Allah dan al-Masjidil Harâm, dan pengusiran umat Islam dari Mekah yang dilakukan musuh-musuh kalian. Penindasan musuh terhadap umat Islam untuk mengeluarkan mereka dari agamanya, itu lebih besar dari segala bentuk pembunuhan. 

Oleh karena itu, Allah tidak memperbolehkan perang di bulan suci  karena kejamnya kejahatan-kejahatan itu. Perang itu adalah sebuah pekerjaan berat demi menghindari sesuatu yang lebih besar. Ketahuilah, wahai orang-orang Muslim, bahwa cara yang mereka tempuh adalah cara-cara curang. Mereka tidak menerima sikap adil dan logis yang kalian lakukan. Mereka masih akan memerangi sampai dapat mengeluarkan kalian dari agama Islam. Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror

Maka orang-orang yang lemah menghadapi serangan, kemudian keluar dari Islam hingga mati dalam keadaan kafir. Pekerjaan saleh mereka di dunia dan di akhirat akan sia-sia. Mereka adalah penghuni neraka dan akan kekal di dalamnya.

Ada empat bulan harâm, haram disini yang dimaksud adalah suci, empat di antaranya adalah bulan suci: Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. Dan pada bulan suci ini memang tidak diperbolehkan perang.

Perbuatan yang Dilarang pada Bulan Haram

Jadi setelah memahami tafsir al-baqarah ayat 217 diatas, bahwa ada beberapa perbuatan yang dilarang Allah pada bulan haram. Antara lain adalah tidak memperbolehkan berperang di bulan haram. Hikmah diharamkannya perang pada bulan-bulan haram ini adalah pemberlakuan gencatan senjata secara paksa untuk memberikan kesempatan istirahat dan mencari penghidupan.

Selain itu juga merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, agar orang-orang yang melaksanakan haji pada bulan-bulan itu merasa aman terhadap jiwa dan kekayaannya.

Selanjutnya perbuatan yang dilarang pada bulan haram yaitu penganiyaan atau penindasan. Karena penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir lebih besar dosanya dari pada membunuh.

Jadi, dari sini dapat kita pahami, bahwa power ajaran Islam adalah perdamaian. Bukan peperangan ataupun penganiyaan. Karena peperangan bukan hukum asal dari Islam. Peperangan hanya dipergunakan untuk mempertahankan  keamanan dan menjaga prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Semoga kita bisa meneladani arti Islam adalah perdamaian. Wallahu a’lam.

Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram (tafsiralquran.id)

Taubat Nabi Adam menjadi salah satu peristiwa yang disebut dan selalu diteladani pada saat bulan Muharram. Bulan Muharram menjadi penanda awal tahun baru Hijriah. Di bulan ini, terdapat banyak peristiwa penting sebagaimana telah ditulis dalam artikel berjudul Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya. Artikel kali ini akan mengulas lebih jauh seputar peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram.

Sebelum itu, sebagian pembaca mungkin ada yang bertanya darimana rujukan mengenai peristiwa taubat Nabi Adam terjadi di bulan Muharram? Jawabannya kita bisa temukan dalam hadis Nabi saw dalam Sunan at-Tirmidzi. Rasulullah saw bersabda:

َإِنْ كُنْتَ صَـائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ فَصُمْ الْمُحَرَّمَ، فَإنَّ فِيْهِ يَوْمًا تَابَ اللهُ فِيْهِ عَلَى قَوْمٍ، وَيَتُوْبُ فِيْهِ عَلَى آخَرِيْن

“Bila seseorang puasa sebulan setelah bulan Ramadhan, maka puasalah di bulan Muharram. Karena di bulan itu, hari-hari ketika Allah Swt menerima taubat suatu kaum, dan menerima taubat kaum-kaum yang lain.”

Para ulama memahami kata ‘kaum’ pada hadis di atas salah satunya adalah Nabi Adam As. Keterangan dalam kitab Lathaif al-Ma’arif karya Ibnu Rajab bisa menguatkan hal ini. Dalam kitab ini dikatakan:

ُصحَّ مِنْ حَدِيث أبي إسحاق عن الأسْوَد بن يَزيد أَنَّهُ قال: “سَألْتُ عُبَيد بن عُمَير عَنْ صِيَام يَوْمَ عَاشُورَاء؟ فقال: الْمُحَرَّم شَهْرُ الله الْأصَمّ فِيْهِ تيب عَلَى آدم عليه السلام فَإنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَمُرَّ بِك إلّا صُمْته فَافْعَلْ

“Ibnu Rajab telah mensahihkan sebuah hadis dari Abu  Ishaq dari al-Aswad bin Yazid bahwasanya ia berkata: Aku bertanya kepada ubaid bin Umair perihal puasa di hari ‘Asyura, ia menjawab: Muharram adalah bulan Allah yang penting (al-ashamm).  Di dalamnya Nabi Adam diterima taubatnya. Bila kamu mampu untuk tidak melewatinya tanpa puasa, maka puasalah.”

Dari keterangan para ulama sebagaimana dikutip di atas, kita bisa tahu bahwa peristiwa taubat Nabi Adam berada di bulan Muharram. Nah, bagaimana cerita dari peristiwa itu terjadi?

Peristiwa taubat nabi Adam tercatat dalam beberapa ayat Alquran. Di antaranya terdapat dalam Q.S al-Baqarah [2]: 37:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.”

Kemudian mengenai bagaimana doa taubat yang dipanjatkan Nabi Adam (dan Hawa) kepada Allah Swt, dapat kita temukan dalam Q.S Al-A’raf [7]: 23:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين

Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”

(Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi ZakariaDoa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati)

Kisah taubat dan doa yang dipanjatkan Nabi Adam ini perlu kita kembali refleksikan di awal tahun baru Hijriah kali ini. Mari kita kembali membuka ruang introspeksi dan memperbaiki diri agar senantiasa menjadi pribadi dan hamba yang lebih baik dari hari ke hari. Amin.

Makna Hijrah dalam Al-Quran

0
Makna Hijrah dalam Al-Quran
Makna Hijrah dalam Al-Quran

Hari ini, Kamis 20 Agustus 2020 umat Islam di dunia memasuki tahun baru 1442 Hijriah. Demi merayakan tahun baru Hijriyah, mari kita melakukan refleksi seputar ini. Yang menjadi perhatian saya adalah makna kata hijrah. Bagaimana kita memahami makna hijrah dalam Al-Quran? Artikel ini sedikit banyak akan mengulas soal makna hijrah dalam al-Quran.

Perhitungan tahun berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi ini dimulai dari perjalanan Hijrahnya Nabi Muhamad Saw dari Mekah ke Yastrib (Medinah) pada tahun ke 13 Kenabian yang bertepatan dengan tahun 624 Masehi. Penetapan kalender Hijriyah baru dilakukan ditahun ke 16 Hijriah oleh Khalifah Umar bin Khattab atas usulan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

(Baca Juga: Peristiwa Sejarah Apa Saja di Bulan Muharram)

Akhir-akhir ini istilah Hijrah seolah hanya sekedar orang yang lepas dari metode Mazhab menjadi orang yang mengikuti Metode Manhaj. Atau istilah mereka sebagai pengikut Sunnah. Padahal dalam berbagai ayat di dalam Al-Quran Hijrah bermakna refleksi/muhasabah/evaluasi/assessment, sebuah langkah paling penting dalam sebuah aktivitas manusia,organisasi atau bahkan negara.

Dalam Q.S At-Taubah [9]: 20 Allah Swt berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.”

Makna dari beriman kepada Allah adalah memiliki visi atau tujuan hanya kepada Allah. Caranya dengan menjalankan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi semua larangan-Nya, terutama dalam mencapai visi menuju Allah

Petunjuk dan arahan tentang misi atau pelaksanaan untuk mencapai visi besar menuju Allah telah tersedia mulai dari awal hingga akhir surat Al-Quran. Masih ditambah lagi dengan tuntunan dari ratusan ribu hadis serta atsar sahabat dan ulama.

Visi ini berlandaskan pada dua prinsip. Pertama, bila telah menyelesaikan sebuah tugas maka bersegeralah menyelesaikan tugas berikutnya. Kedua hanya kepada Allah hendaklah engkau meminta pertolongan. Kedua prinsip ini ada dalam Q.S As-Syarh [94]: 7 – 8 “faidzaa faraghta fanshab wa ilaa Rabbika farghab.”

Kata “hajaru” atau hijrah dalam makna kedua At-Taubah 20 itu adalah melakukan evaluasi atau refleksi terhadap visi atau tujuan. Termasuk di dalamnya perencanaan dan misi atau pelaksanaan nya dari ikrar keimanan yang kita lakukan.

Kesemuanya yakni ikrar keimanan yang didalamnya mengandung visi misi dan pelaksanaan nya beserta hajaru atau evaluasi dilakukan dengan sungguh-sungguh (jahadu). Semakin sungguh-sungguh kita dalam berkorban melakukan langkah-langkah aamanu- haajaru maka Allah Swt menjanjikan kita derajat yang tinggi dan menjadi orang-orang yang menang.

Jadi, marilah kita sambut tahun Baru 1442 Hijriah dengan mengevaluasi diri kita masing-masing. Apa saja yang sudah kita lakukan selama hidup kita. Apa yang masih kurang yang harus kita tingkatkan, baik dalam hubungan antara kita dengan Allah maupun hubungan antara kita dengan sesama. Bahkan hubungan kita dengan alam disekitar kita. Wallahu A’lam.

Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram

Peristiwa bersejarah apa saja di bulan Muharram? tulisan kali ini mencoba untuk menceritakan sekilas beberapa kisah bersejarah di bulan Muharram, khususnya yang terekam dalam Alquran. Allah swt berfirman dalam surat At-Taubah [9]: 36

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.

Bulan Muharram menjadi salah satu bulan yang penting dalam Islam, ia merupakan bulan pembuka dalam kalender Hijriah. Bulan ini juga termasuk dalam kategori al-asyhur al-hurum (bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah), sebagaimana tercantum dalam ayat di atas. Dikatakan al-asyhurul hurum sebab terdapat larangan berperang di dalamnya serta kemuliaan berupa pelipat-gandaan pahala atas amal ibadah.

Selain itu, bulan Muharram juga merupakan bulan yang penuh dengan sejarah, banyak sekali peristiwa yang terjadi di dalamnya. Hal ini seperti dirangkum dalam kitab Nuzhatul Majalis wa Muntakhobun Nafais karya Abdurrahman bin Abdissalam as-Shafuri. Banyak peristiwa agung para nabi yang dikisahkan Alquran berkaitan dengan bulan ini. Ada peristiwa bersejarah apa saja di bulan Muharram? Mari kita simak bersama.

(Baca Juga: Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aibTrend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran)

Pertama, adalah taubatnya Nabi Adam. Bermula dari memakan biji-bijian surga yang terlarang, ia dan Hawa kemudian diturunkan ke bumi secara terpisah. Dalam kondisi tersebut, Nabi Adam tak henti-hentinya memohon ampun atas apa yang telah diperbuatnya. Hingga pada suatu hari bertepatan dengan bulan Muharram, Allah SWT menerima taubatnya sebagaimana yang direkam dalam Alquran surat Al-Baqarah [2]: 37. Terjemahan ayatnya seperti berikut:

“Maka, Adam mendapatkan beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu dia kembali pada-Nya. Sungguh Allah maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Mengenai diksi ‘beberapa kalimat’ dalam ayat tersebut, para mufassir termasuk Imam Jalaluddin as-Suyuthi sepakat bahwa yang dimaksud adalah kalimat doa dalam surat al-A’raf ayat 23 yang berbunyi rabbanaa dzalamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa lanakuunanna minal khasiriin (“wahai Tuhan, kami telah menzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, maka sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi”).

Kedua, berlabuhnya bahtera Nuh. Allah swt. berfirman dalam surat Hud [11]: 44 dengan terjemahan ayat seperti berikut “Dan dikatakan: “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit, (hujan) berhentilah” dan airpun disurutkan, perintah itu diselesaikan dan bahtera tersebut berlabuh di atas bukit Judiy dan dikatakan, “Binasalah orang-orang yang dzalim.”

Setelah terombang-ambing di tengah-tengah banjir bandang selama enam bulan lamanya, Allah menyelamatkan Nabi Nuh dan kaumnya yang berjumlah 80 orang dan berlabuh di sebuah gunung yang oleh Alquran disebut Gunung Judiy. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang lokasi gunung tersebut, Allah memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkan orang-orang beriman dan tidak mendustakan-Nya. Ini bertepatan dengan bulan Muharram tepatnya di hari ‘asyura, sehingga mereka semua berpuasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan yang diberikan.

Ketiga, Ibrahim terselamatkan dari siksa Namrudz. Menurut as-Shawi, Nabi yang bergelar al-Khalil dan dikenal sebagai Bapak monoteisme ini mendapat siksaan berupa dilempar ke dalam kobaran api saat saat usianya menginjak 16 tahun. Kecerdasannya dalam mendebat sang raja dalam masalah ketuhanan, membuatnya harus mengalami peristiwa kejam ini. Namun, raja yag sesungguhnya yakni Allah SWT tidak membiarkan hal itu terjadi. Allah berfirman,“Hai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim.” (terjemahan surat Al-Anbiya’ [21]: 69)

Keempat, bebasnya Nabi Yusuf dari penjara.  Kisah tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf ini diceritakan secara panjang lebar dalam surat Yusuf. Ia yang menjalani hidup bertahun-tahun di dalam penjara karena tuduhan hina, oleh Allah akhirnya dibebaskan dan diangkat pada kedudukan yang tinggi sebagaimana yang tertuang dalam surat Yusuf, “Dan raja berkata, “bawalah Yusuf padaku sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, ia berkata, “sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai di sisi kami.” (terjemahan surat Yusuf [12]: 54)

Kelima, Nabi Yunus berhasil keluar dari perut ikan. Allah berfirman, “Maka kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkan dari pada kedukaan. Dan demikianlah kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (terjemahan surat Al-Anbiya’ [21]: 88)

Saat berada dalam kegelapam malam, lautan, dan perut ikan, Nabi Yunus berdoa seraya menyesali perbuatannya yakni pergi dari kaumnya tanpa izin dalam keadaan marah. Lalu Allah menunjukkan kekuasaannya dengan memasukkannya ke perut ikan.

Keenam, sembuhnya Nabi Ayyub dari penyakit. Allah memberi cobaan Nabi Ayyub berupa penyakit yang menyebabkan orang-orang disekitarnya pergi meninggalkannya, termasuk keluarganya sendiri. Ia berkeluh kesah kepada Allah atas apa yang menimpanya, lalu Allah mengabulkan doanya dan mengembalikan apa yang telah pergi sebelumnya. Kisah ini juga tertuang dalam surat al-Anbiya’ yang berbunyi: “Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami melenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan kami lipat gandakan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.”

Terakhir, keberhasilan  Musa dan kaumnya dari kejaran Firaun dan bala tentaranya. Allah memberi Nabi Musa mukjizat berupa tongkat yang dapat membelah lautan agar ia dan kaumnya Bani Israil bisa keluar dari kedzaliman Firaun. Dengan membawa rombongan yang banyak hingga berjumlah ratusan ribu seperti keterangan dalam Hasyiyah as-Shawi, Nabi Musa sempat merasa pesimis mereka bisa bebas dari kejaran Firaun. Namun, Allah meyakinkannya lalu menyelamatkan ia dan kaumnya. Firman Allah: “Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang menyertainya semuanya.” (terjemah surat As-Syu’ara’ [26]: 65)

Demikianlah peristiwa bersejarah pada bulan Muharram yang diabadikan dalam Alquran. Semoga kita semua dapat meneladaninya. Selamat tahun baru Hijriyah!

Wallahu A’lam

Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah Yang Halal

0
makanan halal
makanan halal

Salah satu amalan terkabulnya doa adalah memakan makanan yang halal. Sebab makanan halal baik dzat maupun cara memperolehnya mendatangkan keberkahan dan menjadi sebab terkabulnya doa. Perintah untuk memakan makanan yang halal telah disebutkan dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 168

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 168).

Ayat ini sering dipergunakan para mubaligh dan mufasir dalam menerangkan perintah untuk memakan makanan yang halal yakni halâlan thayyiban. Halâl dalam pengertian ini mencakup cara memperoleh makanan serta kandungan dari makanan tersebut. Salah satu makanan yang masuk dalam kategori tidak halal untuk dimakan adalah daging hewan yang disembelih dengan tidak mengucapkan bismillâh, seperti dalam firman Allah swt.

وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚوَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ ࣖ

Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. (Q.S. al-An’am [6]: 121)

Di sisi lain, thayyiban menjadi syarat yang menyertai setelah makanan tersebut halâl. Diantara makanan yang disifati thayyiban adalah tidak berlebih lebihan saat mengkonsumsinya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran

وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ

Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-A’raf [7]: 31)

Dampak dari makanan yang berlebih-lebihan ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau

إِيَّا كُمْ وَالْبِطْنَةَ فِيْ الطَّعَامِ وَ الشَّرَابِ, فَإِنَّهَا مَفْسَدَةٌ لِلْجِسْمِ تُوْرِثُ السَّقَمَ عَنِ الصَّلَاةِ, وَعَلَيْكُمْ بِالْقَصْدِ فِيْهِمَا فَإِنَّهُ أَصْلِحُ لِلْجَسَدِ وَأَبْعَدُ مِنَ السَّرَفِ. (رواه البخاري)

Janganlah sekali-kali kalian makan dan minum terlalu kenyang, karena sesungguhnya hal tersebut dapat merusak tubuh, dan dapat menyebabkan malas mengerjakan shalat, dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal tersebut (makan dan minum), karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi tubuh, dan menjauhkan diri dari berlebih-lebihan (israf). (HR. Bukhari)

Kutipan dalil Al-Qur’an dan hadits di atas kiranya sudah cukup mewakili untuk kita pahami bersama seperti apa karakteristik makanan yang dianjurkan Allah swt dan Rasul-Nya untuk dikonsumsi oleh manusia. Ditambah lagi banyak penjelasan dokter maupun ilmu mendis biologi yang secara gamblang memaparkan kebenaran dari dalil tersebut.

Namun bagaimana halnya dengan doa? Apa rahasia yang menjadi penyebab sehingga makanan yang dikategorikan Al-Qur’an sebagai halâlan thayyiban bisa menjadi salah satu faktor terkabulnya doa seseorang?

Al-Harail, seorang ulama besar (w.1232 M) berpendapat bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan dan sifat-sifat mental pemakannya. Pendapatnya beliau ini didasarkan pada analisis kata rijs yang disebutkan dalam Al-Quran (QS. Al-An’am: 145) sebagai alasan untuk mengharamkan makanan tertentu, seperti keharaman minuman keras.

Kata rijs menurutnya mengandung arti “keburukan budi pekerti serta kebobrokan moral”, sehingga manakala Allah swt menyebut jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, maka hal itu berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan budi pekerti.

Pendapat al-Harail ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh seorang ulama kontemporer, yakni Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya yang berjudul Child between Heredity and education. Dalam buku tersebut ia mengutip penjelasan Alexis Carrel yang mengatakan bahwa penelitian membuktikan, pengaruh senyawa kimiawi yang ditimbulkan dari mengkonsumsi minuman keras menjadi langkah awal seseorang melakukan tindakan kejahatan.

Hasan Syafi’i, dalam kitabnya al-Arba’ûn as-shahiyyaťa min al-hâdits an-nabawiyyah menjelaskan bahwa makanan yang baik yang diperoleh dari rezeki yang diridhai Allah berpengaruh pada kondisi batin dan dzahir seorang muslim. Dan kondisi inilah yang menjadi sebab terkabulnya doa. Hal itu berarti, saat makanan yang dikonsumsi oleh seseorang tidak baik (haram), maka kondisi batinnya akan tidak baik pula sehingga berpengaruh pada doa yang dia panjatkan. (Baca juga: Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia)

Seperti penjelasan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (Sunan no.3257) di mana Rasulullah menceritakan  “..ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan. Ditengah perjalanan dia kemudian mengangkat tangan sambil menengadah ke langit, lalu berkata ya rabb, ya rabb, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, maka bagaimana do’anya di kabulkan dalam kondisi yang seperti itu?”

Dari cerita diatas, dapat kita simpulkan bahwa makanan yang dikonsumsi oleh seseorang akan berdampak pada kondisi batin dan dzahirnya. Bila makanannya buruk, maka kondisi batinnya juga akan buruk, hatinya lalai, sehingga do’anya tertolak. Sedangkan dengan mengkonsumsi makanan yang bersifat halâlan thayyiban akan memberikan efek kondisi batin yang baik, sehingga inilah yang menyebabkan do’a seseorang terkabulkan. (Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi)

Akhirnya kita sangat dianjurkan untuk memperhatikan makanan seperti dalam firman-Nya

فَلْيَنْظُرِالْاِنٍسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖ

“maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”

Maka perhatikanlah makanan yang kita makan, usahakan selalu berada pada kriteria halâlan thayyiban (halal lagi baik atau bergizi) agar kondisi batin kita tetap bersih dan terjaga dari segala bentuk kemaksiatan, sehingga segala do’a yang kita panjatkan dapat diterima oleh Allah Swt. Aamiin.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 86-89

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 86

Perintah untuk berlaku sopan santun dalam pergaulan, agar terpelihara hubungan persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan ketika bertemu dengan seseorang. Seseorang harus membalas penghormatan yang diberikan kepadanya berupa salam yang diterimanya dengan balasan yang setimpal atau dengan cara lebih baik.

Balasan yang setimpal atau yang lebih baik dapat berbentuk ucapan yang menyenangkan atau dengan suara yang lemah lembut atau dengan gerak-gerik yang menarik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.

Allah memperhatikan segala sesuatu termasuk memperhatikan kehidupan manusia dalam menegakkan sopan santun yang bisa memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.

Sejalan dengan ayat itu terdapat hadis-hadis sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلىَ الْمَاشِى وَالْمَاشِى عَلىَ الْقَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ وَالصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ

(رواه البخاري ومسلم)

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, kelompok orang yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak, kelompok orang yang muda memberi salam kepada kelompok yang tua.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو قَالَ: اِنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَيُّ اْلاِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامِ وَتَقْرَأَ السَّلاَمَ عَلىَ مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

(رواه البخاري ومسلم)

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah, mana  ajaran Islam yang terbaik? Rasulullah Saw menjawab, “(yaitu) memberi makan (kepada fakir miskin) dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang belum engkau kenal. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Ayat 87

Kaum Muslimin akan menerima ganjaran berupa pahala dari Allah  Yang Mahakuasa di hari kemudian nanti. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berhak disembah, karenanya janganlah kaum Muslimin lalai berbakti kepada-Nya dan tunduk menjunjung perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Kebahagiaan dan ketenangan jiwa serta kemurnian akal manusia adalah terletak pada kebebasannya dari belenggu kebendaan. Selain Allah, tidak ada yang berhak disembah karena hanya Allah yang sanggup membangkitkan dan menghimpun manusia pada hari kemudian, hari yang pasti datangnya. Karena itu hendaklah manusia percaya kepada firman Allah, karena tidak satupun yang dapat lebih dipercayai selain firman Allah.

Adapun yang bukan berasal dari Allah tidak pasti kebenarannya, karena berita-berita dari manusia mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah.

Ayat 88

Ayat ini menyingkap suatu kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah saw, bahwa ada segolongan kaum munafik yang selalu bermuka dua terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin dalam menghadapi peperangan. Mereka pura-pura membantu dan menyokong Rasulullah saw dan kaum Muslimin, padahal yang sebenarnya mereka enggan memberikan bantuan, bahkan mereka dengan sembunyi-sembunyi membantu musuh Muslimin.

Dalam menghadapi orang-orang munafik ini, ternyata kaum Muslimin terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa kaum munafik itu harus ditindak dan dibasmi; sedang golongan kedua ingin membela mereka, karena mereka dianggap penolong kaum Muslimin.

Sikap kaum Muslimin dikoreksi, mengapa mereka terpecah belah dan tidak bersatu padu menghadapi kaum munafik. Disebutkan bahwa orang-orang munafik itu sebagai  orang-orang yang telah dibalikkannya kepada kekafiran  karena tindak-tanduk mereka sendiri, dan sebagai  orang-orang yang telah disesatkannya  dengan arti: mereka telah menjadi sesat karena keingkaran dan tidak mengindahkan lagi petunjuk-petunjuk Allah.

Dengan nada bertanya ayat ini melarang kaum Muslimin untuk mencoba memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan-Nya. Allah berfirman, “Apakah kamu berusaha untuk memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?”

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa tidak ada jalan bagi kaum Muslimin dan bagi siapa pun, untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah, karena keingkaran dan kefasikan mereka. Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa kaum Muslimin tidak boleh ragu dalam menghadapi orang munafik.

Perintah Allah untuk berperang dan membela agama harus dilaksanakan, dan semua penghalang haruslah disingkirkan. Kaum Muslimin harus bersatu padu dalam sikap dan perbuatannya untuk menghadapi golongan munafik serta musuh-musuh Islam yang lain.

Ayat 89

Diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah saw. di Medinah, lalu mereka masuk Islam, kemudian mereka ditimpa penyakit panas, yang menyebabkan mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Medinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat Nabi, para sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Medinah. Mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa penyakit panas. Para sahabat berkata, ”Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah?”

Dalam menyikapi orang-orang ini, para sahabat terbagi kepada dua golongan. Yang sebagian berpendapat bahwa mereka telah menjadi munafik, sedang sebagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. Lalu turunlah ayat ini yang mencela sikap kaum muslimin, karena terpecah menjadi dua golongan, dan memerintahkan agar orang Arab ditawan dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke Medinah, karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain.

Ayat ini menjelaskan sifat-sifat orang-orang munafik, yang oleh sebagian kaum Muslimin ketika itu dibela dan hendak diberi petunjuk, serta diharapkan bantuan mereka untuk memperkuat kaum Muslimin. Sifat kaum munafik itu jauh berbeda dari orang-orang kafir, yang senang dengan kekafiran mereka dan tidak mengganggu orang lain. Adapun orang-orang munafik, mereka tidak hanya sekedar bermuka dua terhadap kaum Muslimin, melainkan juga ingin mengembalikan kaum Muslimin kepada kekafiran, dan sesudah itu mereka akan melenyapkan agama Islam dari muka bumi ini.

Oleh karena demikian buruknya niat dan perbuatan orang-orang munafik itu, maka kaum Muslimin sekali lagi diingatkan, agar jangan sekali-kali mempercayai mereka dan jangan menjadikan mereka sebagai teman dan penolong, kecuali mereka benar-benar telah menganut agama Islam dan telah sesuai perbuatan mereka dengan ucapan, serta telah bersatu padu dengan kaum Muslimin dalam akidah, sikap dan perbuatan, bukan hanya sekedar tunduk karena mereka dalam keadaan lemah.

Jika mereka benar-benar telah beriman, tentulah mereka tidak akan meninggalkan Nabi dan kaum Muslimin dalam menghadapi berbagai kesulitan. Mereka tentu akan selalu bersama Nabi dan kaum Muslimin, karena hal itu adalah dorongan iman yang kuat di dalam hati seseorang. Maka keengganan untuk mengikuti Nabi adalah suatu tanda lemahnya keimanan dan belum adanya keikhlasan untuk membela agama Islam.

Oleh sebab itu perintah dalam ayat ini bilamana ternyata mereka tidak mau beriman dan berjihad di jalan Allah, maka hendaklah kaum Muslimin menawan dan membunuh mereka, dan tidak menjadikan mereka sebagai pelindung dan penolong.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi alasan pokok bagi perintah untuk menawan dan membunuh mereka, ialah sifat mereka yang tidak jujur kepada kaum Muslimin serta perbuatan mereka yang dilakukan dengan sembunyi untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Tindakan terhadap mereka itu dipandang sebagai suatu keharusan yang perlu dilakukan untuk keselamatan Islam dan kaum Muslimin. Tindakan itu harus dihentikan apabila ternyata mereka itu telah menghentikan pula sikap dan perbuatan mereka yang bersifat bermusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin.

(Tafsir Kemenag)

Tiga Bentuk Sikap Tawadhu yang Harus Dimiliki oleh Murid

0
tiga bentuk sikap tawadhu
tiga bentuk sikap tawadhu (halaqoh)

Tiga bentuk sikap tawadhu harus dimiliki oleh murid. Karena tawadhu atau rendah hati merupakan salah satu sikap terpuji yang harus dimiliki oleh umat Islam terlebih bagi seorang murid terhadap gurunya. Hal ini dengan tujuan mendapatkan keberkahan dari sang guru.

Keberkahan suatu ilmu bergantung pada ridha seorang guru. Ridha sang guru juga menentukan berhasil tidaknya seorang murid. Salah satu untuk meraih ridha guru dan keberkahan suatu ilmu adalah bersikap tawadhu kepadanya. Sejatinya, sikap tawadhu harus dimiliki oleh setiap orang, namun dalam konteks ini tawadhu bagi murid adalah sebuah keharusan.

Tanpa bersikap tawadhu, ridha dan keberkahan itu sulit diraih. Firman Allah swt dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 1 menjelaskan ada tiga bentuk sikap tawadhu yang harus dimiliki oleh seorang murid.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S. al-Hujurat [49]: 1)

Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 1

Ayat di atas turun sebagaimana di dalam penjelasan kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karangan as-Suyuthi menurut al-Bukhari dan yang lain dari riwayat Ibnu Juraij, dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin az-Zubair adalah adanya serombongan kafilah dari Bani Tamim tiba di hadapan Rasulullah saw.

Abu Bakar lantas berucap, “Biarlah al-Qa’qa’ bin Ma’bad yang mengurus mereka.” Umar menyahut, “Tidak, biarlah al-Aqra’ bin Habis yang mengurusnya.” Abu Bakar menimpali, “Apakah engkau hendak berselisih denganku?” Umar menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin berselisih denganmu.” Keduanya terus berselisih sehingga Allah menurunkan ayat di atas. (Baca juga: Tafsir Tarbawi; Tegas dalam Mendidik itu Perlu)

Dalam riwayat yang lain seperti Ibnu al-Mundzir dari Hasan bahwa seseorang beramai-ramai menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul ‘Adha sebelum diperintahkan oleh Rasul saw., maka mereka disuruh mengulangi sesembelihannya itu, maka turunlah ayat ini.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan redaksi laa tuqaddimu baina yadayillahi wa rasulihi yaitu janganlah kalian tergesa-gesa dalam segala sesuatu di hadapan-Nya. Artinya, janganlah kalian melakukan sebelum Allah dan Rasul-Nya memerintakannya, seyogyanya kalian mengikuti kedua-Nya dalam segala urusan. (Baca juga: Tafsir Tarbawi; Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik)

Di dalam riwayat yang lain misalnya ‘Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait makna ayat ini adalah janganlah kamu katakan hal-hal yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah.

Hal senada juga disampaikan oleh al-Aufi dari Ibnu Abbas bahwa mereka (para sahabat) dilarang berbicara ketika Rasulullah saw sedang berbicara. Mujahid mengatakan, “Janganlah kamu meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang suatu perkata sebelum Allah swt menurunkan firman-Nya.”

Sedangkan ad-Dhahhak dan al-Baidhawi dalam Shafwah at-Tafasir berujar, “Janganlah kamu menetapkan suatu hukum di mana Allah swt dan Rasul-Nya belum memutuskannya.” Adapun Sufyan at-Tsauri dan Ibnu Aysur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir berpendapat janganlah mendahului Allah dan Rasul-Nya baik dalam hal ucapan maupun perbuatan.

Tiga Bentuk Sikap Tawadhu Murid terhadap Gurunya

Ibnu Juzy dalam tafsirnya at-Tashil li ‘Ulum at-Tanzil menafsirkan redaksi laa tuqaddimu baina yadayillahi wa rasulihi memiliki tiga pengertian tentang bentuk sikap tawadhu murid terhadap gurunya,

  1. Janganlah kamu mengatakan tentang suatu perkara sebelum Dia (Allah dan Rasul-Nya) mengatakannya dan jangan juga memutuskan suatu hukum tanpa pendapatNya;
  2. Jangan mengistimewakan seorang penguasa yang ada di depannya karena sesungguhnya Dia mengistimewakan siapa saja yang dikehendaki-Nya,
  3. Jangan mendahului Rasulullah saw saat berjalan dengannya.

Hal senada juga dituturkan oleh Sayyid Quthub dalam Tafsir fi Dzilal al-Qur’an bahwa jangan mengusulkan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya baik dalam urusan pribadi maupun lingkungan sekitar kita, jangan juga mengatakan sesuatu sebelum Allah berfirman dalam kitab-Nya, serta jangan memutuskan suatu hukum tanpa berdasarkan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga makna ayat tersebut, apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, ayat ini menyiratkan tentang kewajiban sikap tawadhu seorang murid kepada gurunya. Murid tidak boleh mendahului apalagi menyela ketika guru sedang menjelaskan materi pelajaran atau berbicara, murid juga tidak diperkenankan berjalan mendahului gurunya.

Hal yang tak kalah penting lainnya adalah menjaga adab dan sopan santun terhadap guru. Sebab ridha guru sangat berarti bagi kesuksesan kehidupan seorang murid ke depannya. Wallahu A’lam.