Beranda blog Halaman 536

Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia

0
menjaga eksistensi laut
menjaga eksistensi laut

Laut merupakan salah satu bentuk ciptaan Allah Swt. Dari laut, manusia dapat memanfaatkan berbagai jenis hewan dan  tumbuhan yang ada. Selain itu laut dapat pula berfungsi sebagai mata pencarian hidup manusia dengan adanya perkapalan baik untuk bisnis kargo, perniagaan maupun sarana transportasi. Karena itu, adalah hal yang wajib untuk mensyukuri eksistensi laut bagi umat manusia.

Beragam manfaat yang berasal dari laut salah satunya ialah dalam firman Allah Surat An-Nahl ayat 16 berikut ini:

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَاۚ وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur” (Qs. An-Nahl 16: 4)

Sebuah nikmat

Menurut Imam ibn Jarir al-Tabari, ayat ini berbicara mengenai nikmat Allah kepada makhluk-Nya berupa menundukkan segala hal yang ada di lautan bagi manusia. Laut dapat diartikan dengan laut dengan airnya yang asin maupun sungai yang airnya tawar. Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

Kedua tempat tersebut diberikan Allah Swt. kepada manusia agar dapat digunakan dengan sebaik mungkin. Sebagaimana laut yang airnya asin, maka dalam tempat tersebut terdapat berbagai jenis makhluk baik berupa hewan seperti ikan, karang, ganggang laut, dan kerang.

Lalu, di sungai yang airnya tawar terdapat berbagai makhluk seperti ikan, buaya, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Tentunya dari beberapa hal tersebut dapat digunakan oleh manusia dalam rangka mencari penghidupan.Baca juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?

 Manusia dapat mengambil manfaat dari lautan tersebut seperti mengonsumsi daging segar berupa ikan.  Lalu dapat pula membudidayakan makhluk hidup di laut seperti mutiara (al-Lu`lu`) yang keluar dari cangkang kerang juga permata (al-Marjan). Keduanya memiliki fungsi sebagai aksesoris juga perhiasan yang memiliki estetika tinggi.

Begitu pula dengan di air tawar seperti sungai. Manusia pun dapat memanfaatkan apa pun yang ada di sungai untuk kehidupan. Sebagai contoh di Indonesia terdapat tumbuhan eceng gondok. Memang tanaman berbahaya bagi ikan-ikan di sungai. Namun jika dapat membudidayakan dengan baik, eceng gondok bermanfaat bagi keseharian seperti adanya kerajinan kursi yang terbuat dari eceng gondok. Selain itu ada pula yang memakan ikan dari sungai seperti mujair dan lele.

Masih menurut at-Tabari, dalam ayat ini terdapat redaksi Mawakhir yang merupakan bentuk jamak dari kata Makhir. Redaksi ini dalam bahasa Arab bermakna suara arah angin. Tetapi jika dikaitkan dengan ayat ini, maka berarti suara perahu yang berlayar di lautan mengikuti arus air dan arah angin.

Semua ini diciptkan Allah Swt. agar manusia dapat mencari penghidupan dengan memanfaatkan hasil dari laut. Sehingga tujuan akhir dari hal ini agar manusia dapat mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya (Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an, Jilid 4, hal. 507).

Imam Ibnu Kathir berpendapat mengenai ayat di atas bahwa Allah Swt. menjadikan laut sebagai sarana transportasi bagi umat manusia. Sebagaimana dalam sejarah umat manusia bahwa Nabi Nuh As. Merupakan orang pertama yang menggunakan kapal sebagai sarana untuk menyelamatkan umatnya dari bencana banjir bandang. Lalu generasi demi generasi mulai menadikan laut sebagai sarana transportasi yang menghubungkan lintas wilayah dan benua.

 Dengan ini Allah Swt. menundukkan laut untuk hamba-Nya agar dapat dijadikan sarana penghidupan serta dapat mencari karunia juga saling membantu antara satu bangsa dengan bangsa lain serta hal ini bertujuan agar manusia dapat mensyukuri salah satu nikmat Allah bagi umat manusia. (Ismail Ibnu ‘Umar Ibnu Kathir ad-Dimashq, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Jilid 4, hal. 562)

Mensyukuri eksistensi laut

Menurut Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i, laut merupakan salah satu bentuk nikmat Allah kepada umat manusia selain langit, bumi, dan gunung. Ada pun tujuan dari penciptaan laut bagi umat manusia, laut dapat pula digunakan sebagai sarana transportasi yakni dengan adanya jalur perdagangan laut dengan menggunakan kapal.

Selain itu, ada pula perahu layar yang digunakan oleh nelayan untuk mencari nafkah juga kapal pesiar yang berkeliling dari satu Negara ke Negara lain. Semua bertujuan untuk mencari karunia dan rezeki Allah.

Maka salah satu bentuk syukur kepada Allah secara nyata adalah memanfaatkan laut dan menjaga laut untuk kemaslahatan umat manusia. (Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i, al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, Juz 12, hal. 216).

Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa laut merupakan salah satu karunia Allah terbesar di muka bumi. Oleh karenanya, sebagai bangsa Indonesia hendaknya memiliki kepekaan dengan tidak mengotori dan merusak ekosistem laut. Seperti merusak karang juga menangkap ikan dengan cara yang tidak baik.

Laut juga sarana perdagangan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. sejatinya kita harus menjaga eksistensi laut ini dari serbuan tangan-tangan jahil manusia. Semoga pesan ayat ini mengingatkan kita sebagai bangsa maritim agar lebih bersyukur atas nikmat-Nya dan waspada dalam menjaga eksistensinya.

Wallahu A’lam Bisshowab

Strategi Al Quran dalam Mengembangkan Ekonomi Maritim

0
strategi ekonomi maritim
strategi ekonomi maritim

Letak geografis Indonesia yang tidak kurang dari wilayah kelautan, mengaharuskan masyarakat Indonesia dituntut mampu mengembangkan potensi kekayaan lokal, agar menjadi lebih kreatif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan. Strategi Al Quran dalam mengembangkan ekonomi maritime juga dapat ditemui dalam surat al-Kahfi ayat 79 berikut ini.

أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” ( QS. Al-Kahfi 98).

Pada ayat itu merepresentasikan kisah Musa a.s bersama  Khidir a.s ketika berada di laut. Ada sebuah tindakan Khidr menjadikan dorongan kepada manusia untuk betul-betul dapat memanfaatkan sektor laut. Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 79

Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai “Al Kahfi” artinya “Gua” dan “Ashhabul Kahfi” yang artinya: “Penghuni-penghuni gua”. Namun penjelasan ini akan terfokus pada penafsiran surat al-Kahfi ayat 79 saja.

Pada tafsir Ibnu Katsir yang ditulis Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi, sebuah kisah dari Musa as dengan Khidir as ketika Khidir melubangi perahu dengan tujuan ialah membuat perahu itu cacat. Meskipun perahu tersebut merupakan sumber penghasilan ekonomi untuk nelayan. Tapi Khidir tetap merusak perahu tersebut dengan maksud penjagaan dari serangan raja zalim yang merampas harta tiap-tiap bahtera. 

Jika perahu itu terlihat cacat, si raja pun akhirnya enggan untuk merampas harta yang ada di perahu cacat tersebut. Sehingga para pemiliknya yang miskin dapat menggunakannya dan mengambil manfaat darinya. Karena perahu tersebut merupakan satu-satunya milik mereka untuk mencari nafkah di laut.

Strategi Al Quran dalam Mengembangkan Ekonomi Maritim

Walaupun secara global Al Quran memperbolehkan pemanfaatan kekayaan laut untuk kepentingan manusia. Namun dalam kesempatan lain Allah Swt sudah memberikan rambu rambu agar dalam memanfaatkan kekayaan alam. Manusia dapat berlaku lebih hati-hati, baik itu menjaga dari serangan atau bersikap untuk tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya kelautan. Baca juga: Etika Menjadi Seorang Pebisnis dalam Membangun Kepercayaan

Yang dimaksud menjaga dari serangan ialah selain pihak masyarakat yang aksi dalam mengembangkan produktifitas sector kelautan, menjaga keamanan laut juga sangat penting. Baik itu antara pihak masyarakat nelayan dengan pemerintah harus pro aktif menjaga laut bersama. Pihak pemerintah jangan sampai menjadi penghambat laju perekonomian maritim.

Misalnya seorang raja yang diceritakan pada surat al-kahfi ayat 79, jangan sampai raja merampas harta rakyat nelayan. Jika itu terjadi, nelayan harus berfikir aktif seperti halnya yang dilakukan oleh Khidir as. Ketika terjadi serangan, Khidir a.s merusak perahu untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar. Ada bisa dengan strategi keamanan yang lainnya.

Kisah surat al-kahfi ayat 79 dapat diambil pesan tentang cara memimpin rakyat dalam perjuangan untuk mencapai sebuah kemakmuran rakyat.

Kemudian tidak serakah maksudnya di sini ialah segala macam yang ada di laut dapat dimanfaatkan untuk industri. Baik itu mutiara yang dijadikan perhiasan, atau macam kerajinan lainnya yang memiliki seni dan dapat di jual. Akan tetapi kekayaan semua itu yang diberikan oleh Allah jangan dinikmati untuk kenikmatan semata. Manfaatkanlah untuk kemakmuran rakyat bersama.

Islam Melarang Berperang di Bulan Haram

0
larangan berperang
larangan berperang

Bulan Muharram adalah bulan mulia menjadi penanda masuknya tahun baru Islam, sekaligus termasuk kategori asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Maka, pada bulan ini pula Islam melarang berperang di bulan Haram. Menumpahkan darah tanpa sebab, tanpa dasar yang logis dan rasional, tanpa melihat konteks yang ada, terlebih seruan jihad fi sabilillah yang diasosiasikan kepada makna berperang tentu sangat tidak tepat dan tidak relevan pada zaman modern ini.

Pernah suatu ketika pada masa Rasulullah terjadi peperangan di bulan haram.  Dikisahkan, Setelah kepulangan Rasulullah Saw dari perang Badar pertama, beliau mengutus pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy ke daerah Nakhlah. Tujuan pasukan ini yakni sebagai tim investigasi untuk memantau adanya penyusupan orang-orang Yahudi.

Beliau lalu menitipkan surat kepada Abdullah dan memerintahkan agar tidak membaca isi surat tersebut kecuali setelah mereka menempuh perjalanan selama dua hari. Abdullah menyanggupi apa yang diperintahkan oleh baginda Rasulullah. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, dia membuka surat yang dititipkan Rasulullah kepadanya.

Ternyata isi surat tersebut berbunyi, “jika kamu telah membaca isi suratku ini, maka teruslah berjalan sampai tiba di sebuah pohon kurma yang berada diantara Makkah dan Tha’if. Intailah orang-orang Quraisy dari pohon tersebut. Lalu laporkan kepada kami mengenai apa saja aktivitas yang mereka lakukan.” Setelah selesai membaca surat itu, Abdullah bin Jahsy berkata, “ kami mendengar dan menaati perintah Anda.”

Abdullah bin Jahsy lalu terus melakukan perjalanan menuju Hijaz sampai akhirnya tiba ditempat sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat Rasulullah. Tidak lama kemudian melintaslah satu kafilah Quraisy yang membawa barang dagangannya melewati rombongan Abdullah bin Jahsy. Ketika orang-orang musyrik itu melihat sejumlah kaum muslimin, ternyata mereka menampakkan sikap hormat.

Karena melihat Ukas bin Mihsan, salah satu anggota rombongan Abdullah, mencukur kepalanya sehingga memberi kesan bahwa mereka akan melaksanakan umrah. Awalnya, Abdullah bin Jahsy sempat ragu untuk menyerang kafilah Quraisy tersebut karena saat itu sedang dalam bulan haram.

Namun setelah berunding, akhirnya mereka memberanikan diri dan sepakat untuk membunuh orang-orang musyrik tersebut dengan alasan seandainya orang-orang musyrik itu dibiarkan pergi, pasti suatu saat mereka juga akan memerangi seluruh kaum muslimin. Para sahabat rasul itu kemudian membidikkan anak panah mereka. Sebagian orang-orang musyrik berhasil dibunuh dan sebagian lainnya dijadikan tawanan. Pada kesempatan itu, kaum muslimin berhasil mendapatkan harta rampasan yang mereka bawa pulang ke Madinah.

Ketika Rasulullah melihat kedatangan mereka dan mengetahui apa yang mereka perbuat, beliau marah, lalu bersabda, “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan haram,” Rasulullah kemudian memutuskan untuk menangguhkan status mengenai apa yang mereka perbuat sampai datang keputusan dari Allah. Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan sikap kaum muslimin pada saat itu. Allah Swt berfirman,

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)

Menurut Muhammad Iqbal,  Ayat diatas membandingkan dua perkara antara pembunuhan orang-orang muslim terhadap beberapa orang kaum musyrikin pada bulan haram, dengan orang-orang Quraisy yang sengaja menghalang-halangi jalan Allah. (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Bahkan mereka memerangi dakwah Rasulullah, mengingkari Allah dan kesucian Masjidil Haram, mengusir kaum muslimin dari rumah-rumah mereka, lalu merampas harta mereka, hingga menyiksa kehidupan mereka. Manakah yang lebih besar dosanya?

Syaikh Muhammad bin Shalil asy-Syawi dalam kitab An-Nafahat al-Makkiyyah menjelaskan, ayat ini memberi batasan keumuman ayat-ayat tentang perintah berperang secara umum, karena diantara keistimewaan bulan-bulan haram adalah diharamkannya berperang. Di sini perang diharamkan jika dalam konteks memulai perang (ofensif), sedangkan dalam konteks membela diri (defensif), maka perang boleh dilakukan pada bulan-bulan tersebut, sekalipun berada ditanah haram. (Baca juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui)

Singkat cerita, umat muslim dilarang untuk berperang pada bulan haram. Akan tetapi kemudian hukumnya akan berubah menjadi di izinkan untuk berperang, namun dengan syarat “jika diserang oleh musuh”. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa hakikat perang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh demi membela kebenaran, bukan untuk menumpahkan darah kebencian. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 93-94

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 93

Betapa besarnya dosa seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dengan sengaja. Dalam permulaan ayat yang lalu disebutkan sebagai suatu perbuatan yang tidak layak bagi seorang yang beriman karena seharusnya imannya menghalanginya dari perbuatan tersebut.

Maka ayat ini menyebutkan hukuman yang akan ditimpakan kepada mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, sama dengan hukuman yang disediakan Allah swt untuk orang yang tidak beriman, sehingga seolah-olah si pembunuh tersebut disamakan dengan orang yang tidak beriman karena kejahatan yang dilakukannya sama sekali tidak layak bagi orang yang beriman.

Menurut ayat ini, hukuman yang akan diterapkan untuknya ialah azab neraka yang kekal di dalamnya dan kemurkaan serta laknat Allah. Neraka Jahanam merupakan azab yang paling berat.

Kekekalan seseorang dalam neraka menunjukkan bahwa Allah tidak menerima tobatnya. Sedang laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat-Nya selama-lamanya. Kemurkaan Allah kepada seseorang akan menjauhkannya dari keridaan-Nya, di samping itu masih disediakan pula untuknya azab yang besar yang tidak dijelaskan dalam ayat ini.

Perlu diketahui, berbagai hukuman yang disebutkan dalam ayat ini diancamkan kepada si pembunuh mukmin, yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, adalah merupakan azab ukhrawi, yaitu azab yang akan diterima di akhirat kelak. Sedang di dunia ini, berlaku hukuman duniawi yang dilakukan oleh pihak penguasa.

Menurut peraturan yang telah ditentukan dalam agama, yaitu: apabila dalam sidang pengadilan seseorang telah terbukti bersalah, maka terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas, yaitu pembalasan yang setimpal, nyawa dengan nyawa.

Tetapi, apabila ahli waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap si pembunuh, maka pihak si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik.

Artinya: harus dibayar oleh yang bersangkutan pada waktu dan dengan jumlah yang ditetapkan oleh pengadilan tanpa mengulur-ulur waktu. Sebaliknya pihak yang akan menerima harus bersabar sampai datangnya waktu yang telah ditetapkan dan tidak mendesak (lihat al-Baqarah/2:178).

Mengenai tobat si pembunuh menurut zahir ayat ini memang tidak diterima Allah swt, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa ia kekal dalam neraka Jahanam, sedang orang yang diterima tobatnya oleh Tuhan tidak akan kekal dalam neraka. Mengenai masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Pendapat sebagian sahabat, antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah Yang Maha Esa. Lain halnya dengan orang musyrik yang walaupun pada masa-masa musyriknya ia membunuh, tetapi ia berbuat demikian sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah, maka perbuatan membunuhnya diampuni oleh Allah selama perbuatan itu tidak diulangi setelah masuk Islam.

Tetapi apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum Allah yang telah diketahuinya dengan baik, dan seolah-olah telah meninggalkan imannya. Maka wajar bila Allah tidak menerima tobatnya, sebaliknya Allah memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam dan kemurkaan serta laknat-Nya.

Kedua: Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah, sebab Allah telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni-Nya. Adapun dosa-dosa selain syirik masih dapat diampuni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisa’/4:48)

Jika Allah dapat menerima tobat seorang yang dahulunya musyrik yang melakukan pembunuhan dan perzinaan, kemudian ia masuk Islam dan bertobat serta senantiasa melakukan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan jahat, mengapa tobat seorang mukmin yang melakukan satu kali pembunuhan saja tidak dapat diterima Allah?

Apakah tidak mungkin bahwa setelah melaksanakan pembunuhan itu yang mungkin karena disebabkan dorongan emosi yang meluap-luap, ia sadar akan kesalahannya dan mengetahui betapa besar dosanya dan betapa berat azab yang akan diterimanya, lalu ia bertobat kepada Allah dan menjauhi segala macam kejahatan, serta mengerjakan amal-amal saleh dengan tekun?

Adapun orang-orang yang mengaku mukmin, tetapi ia senantiasa bergelimang dalam perbuatan dosa dan membunuh orang-orang mukmin yang lain yang dianggapnya sebagai musuh-musuhnya, atau karena ingin menguasai harta benda, maka orang-orang semacam ini tidak diterima tobatnya di sisi Allah dan selayaknyalah mereka menerima azab neraka dan kekal di dalamnya serta ditimpa kemurkaan dan laknat Allah jika mereka tidak bertobat sebelum ajalnya.

Ayat 94

Apabila seorang mukmin pergi ke daerah musuh untuk berperang, maka hendaklah mereka bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang yang mereka temui, dan jangan tergesa-gesa menuduhnya sebagai  orang yang tidak beriman , lalu membunuhnya.

Utamanya apabila orang yang ditemui itu telah mengucapkan Assalamu’alaikum, atau telah mengucapkan La ilaha illallah, yaitu ucapan secara Islam, maka orang tersebut tidak boleh dituduh  kafir , sebagai alasan untuk membunuhnya karena ucapan salamnya itu menunjukkan bahwa ia telah tunduk kepada agama Islam, menurut zahirnya.

Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam.

Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya. Allah memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh berbuat demikian, sebab ia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala ketentuan-Nya.

Selanjutnya Allah mengingatkan orang mukmin bahwa pada awal mereka memeluk agama Islam, mereka menyembunyikan imannya, tetapi mereka tetap mengucapkan salam Assal±mu‘alaikum bila berjumpa dengan sesama mukmin yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam.

Hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka dari kaum Muslimin yang telah masuk Islam lebih dahulu.

Apabila mereka pernah berbuat demikian, dan Allah telah memberikan keamanan yang mereka inginkan, maka sewajarnya pula mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan merampas harta bendanya.

Allah senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, dan Dia akan memberinya balasan yang setimpal, baik atau buruk.

(Tafsir Kemenag)

Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara

0

Kalau berbicara tentang kitab tafsir tertua dari Nusantara, maka sudah pasti jawabannya Turjuman al-Mustafid karangan Syekh Abdur Rauf Singkel. Namun jika menyebut mushaf al Quran tertua dari Nusantara, kayaknya masih asing di telinga muslim Indonesia.

Turjuman al-Mustafid didaulat sebagai tafsir tertua karena penulisnya lahir pada tahun 1620 dan meninggal pada 1693 M. Catatan para peneliti menyebut salinan kitab ini yang paling awal berasal dari abad ke-17. Kemudian salah satu penerbit dari Turki yakni Mathba’ah al-Utsmaniyyah menerbitkan pada tahun 1884 M.

Sementara mushaf Al Quran tertua dari Nusantara yang diketahui keberadaanya sampai sekarang adalah mushaf dengan kode MS 96 D 16. Dalam catatan Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran, mushaf tertua se-Asia Tenggara ini bertahun 1606 dan berasal dari Johor (Malaysia) dan sekarang tersimpan di perpustakaan Rotterdam Belanda.

Meskipun dalam kolofon (catatan yang ada di akhir naskah) mushaf ini menyebut dari Johor, ternyata sebagian ditulis dengan bahasa Jawa aksara Arab (pegon), bukan Melayu. Seperti ini tulisannya;

“Tamat dina tsalats wulan Ramadan Akhtar ‘Abd Idris Faqran sa(m)pun kurang pangapura sakehing kang amaca yen kurang wewuhana yen luwih lungana denira sang utama.”

“Selesai pada hari ketiga bulan Ramadhan (oleh) Abd Idris Faqran. Mohon tidak memaklumi (atas kesalahan apapun). Jika ada apa pun yang tidak memadai, silakan tambahkan. Jika ada yang berlebihan, mohon dihilangkan, hai kamu yang lebih mengetahui (dalam ilmu).”

Selain ada kolofon tersebut, terdapat juga satu kolofon dengan bahasa Belanda. Seperti ini tulisannya.

“Anno 1606. Is desen Alcoran den 20en Julij voor Malacca, den Heere Admiral Matelief de Jonghe, van den Bisschop van Johor, op syn ernstich anhauden geschJJonken. Waermede hij met victorie, ende goede gesontheyt wederom door des Heeren genaede tJhuis gekomen synde, dese Librarie van Rotterdam vereert heeft.”

“Tahun 1606. Pada tanggal 20 Juli di lepas pantai Malaka, salinan Al Quran ini didermakan atas desakan Mufti Kesultanan Johor kepada LakJamana Matelief de Jonge. Semoga dengan belas kasih Tuhan, kembali ke rumah dengan kemenangan dan kesehatan yang baik, dia membanggakan perpustakaan Rotterdam ini dengan salinan Al Quran itu.”

Di balik dua kolofon tersebut, ternyata mushaf ini menyimpan rimbun data luar biasa yang mampu menyambungkan khazanah peradaban mushaf Al Quran di Nusantara.


Baca juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!


Sejarah Mushaf MS 96 D 16

Dalam menggali sejarah mushaf al Quran tertua dari Nusantara ini, lazim bagi kita untuk merujuk sebuah artikel anggitan Peter G. Riddel. Artikel karangan peneliti senior dari Australian College of Theology di Melbourne School of Theology ini berjudul “Rotterdam MS 96 D 16: The Oldest Known Surviving Qur’an from The Malay World”.

Dalam penelusurannya, Riddel menyebut bahwa kemungkinan besar mushaf Al Quran merupakan  pemberian dari delegasi kesultanan Johor kepada Laksamana Matelief de Jonge di salah satu kapal yang dipimpinnya.

Singkat cerita, ekspedisi Laksamana Matelief de Jonge berlangsung sejak tahun 1605. Ia bersama rombongan sebelas kapal lainnya berangkat dari markas Rotterdam. Matelief memang memiliki rencana untuk menggeser kekuatan portugis yang sebelumnya telah menguasai Malaka.

Sejalan dengan itu, Kesultanan Johor juga pernah memiliki pengalaman pahit dengan Portugis. Perlu diketahui bahwa kesultanan Johor itu berdiri setelah kekalahan Malaka terhadap Portugis. Johor yang sebelum kekalahan itu menjadi bagian dari Malaka, akhirnya memisahkan diri dan mendirikan kesultanan baru yang diinisiasi oleh Sultan Mahmud dan Sultan Alauddin pada tahun 1518.

Kemudian pada tahun 1586 dan 1587 Portugis kembali berhasil menjarah kesultanan Johor. Kejadian tragis inilah yang menyebabkan kesultanan Johor menyambut baik aliansi dengan kekuatan baru Belanda.

Pada bulan Mei hingga Agustus 1606, Laksamana Matelief de Jonge mengepung Portugis di Malaka. Di tengah masa pengepungan itu, kesultanan Johor mengirimkan delegasi untuk kesepakatan aliansi. Delegasi itu pun menghadiahkan pedang yang bertahtakan permata sebagai tanda persahabatan. Di sini, Riddel menduga kemungkinan besar pemberian mushaf al Quran juga.

Riddel pun berasumsi bahwa penulisan mushaf al Quran tertua dari Nusantara ini tidak dikerjakan di semenanjung Melayu kemudian dibawa ke Johor. Selain itu, pemberian hadiah pedang dan mushaf al Quran sebagai wujud diplomasi politik dan agama yang tinggi antara Laksamana Matelief de Jonge dan kesultanan Johor saat itu.

Edisi ini hanya menjelaskan sejarah singkat mengapa mushaf tertua Nusantara yang berasal dari Johor dan dengan bahasa Jawa ini bisa sampai ke perpustakaan Rotterdam Belanda. Di kesempatan lain aka nada lanjutan khusus tentang potret mushaf ini.

Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram

Tiga amalan utama dalam menyambut tahun baru Islam. Saat bulan Muharram, umat muslim menjadikan penanda masuknya tahun baru Islam yang tengah kita peringati saat ini. Tidak terasa telah memasuki tahun ke-1442 Hijriyah. Beragam amalan yang diwariskan oleh ulama Nusantara kita dahulu di antaranya tercermin dalam tiga hal berikut,

Puasa

Puasa merupakan amal ibadah yang tidak hanya dimiliki oleh umat Islam, melainkan oleh pemeluk agama lainnya. Puasa bertujuan membentuk pribadi manusia yang bertakwa sehingga mudah bersyukur, tidak rakus atau serakah, dan mampu mengontrol hawa nafsu dengan baik. Rasulullah saw bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Artinya, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah, Muharram.”

Dalam kitab yang lain, Syarah Shahih Muslim karangan an-Nawawi misalnya, hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa di bulan Muharram. Sedangan al-Qurthuby sebagaimana dikutip as-Suyuthi dalam ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim menerangkan,

إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلُ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلُ السَّنَةِ الْمَسْتَأْنَفَةِ فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِيْ هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ

“Puasa di bulan Muharram itu lebih utama karena terletak pada awal tahun. Alangkah terpujinya, apabila mengawali tahun baru dengan berpuasa, sebab puasa termasuk amalan yang paling utama.”

Oleh karena itu, memperbanyak puasa di bulan Muharram merupakan sunnah Rasul saw. Terlebih bulan Muharram adalah tahun baru Islam, hendaknya kita membuka lembaran tahun baru dengan perbuatan terpuji, salah satunya dengan berpuasa.

Tentu harapannya, semoga bulan-bulan ke depan amalan berpuasa ini tidak hanya sekedar menjadi rutinitas belaka, namun juga diejawantahkan dalam laku kehidupan sehari-hari seperti berpuasa dari keserakahan, berpuasa dari berdebat yang tidak bermutu, berpuasa dari banyaknya pembicaraan yang tidak bermanfaat dan lain sebagainya.

Sedekah

Sedekah merupakan amalan yang bersifat sosial (al-muta’ddiyah). Dalam artian, manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang melaksanakannya, melainkan dirasakan banyak orang lain. Bersedekah juga dapat menghindarkan seseorang dari bala dan segala hal yang tidak baik. Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran [3]: 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui. (Q.S. Ali Imran [3]: 92)

Ayat di atas menunjukkan tentang keutamaan berinfak atau bersedekah yang digambarkan oleh-Nya akan memperoleh al-birr (kebaikan). Ibnu Katsir, al-Thabary, dan al-Baghawy menafsiri kata al-birr dengan surga. Sedangkan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mujahid dan Muqathil bin Hayyan, al-birr diartikan dengan takwa. Dalam pendapat lain dikatakan ketaatan.

Anjuran bersedekah juag disampaikan oleh ulama Nusantara kita sekaligus guru Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Sholeh Darat menyebutkan dalam kitabnya Lathaif at-Thaharah wa Asrar as-Shalah mengatakan,

“awal bulan Muharram itu adalah tahun barunya seluruh umat Islam. Adapun tanggal 10 Muharram adalah hari raya yang diperuntukkan untuk kegembiraan umat Muslim dengan sedekah. Hari raya ini adalah untuk mensyukuri nikmat Allah, bukan hari raya dengan shalat. Tetapi hari raya ini dengan pakaian rapi dan memberikan makanan kepada fakir miskin.”

Sedekah juga tidak melulu harus dalam bentuk pemberian materi, tidak. Sedekah juga dapat bersifat jasa seperti membantu dan mempermudah urusan orang lain bukan mempersulit, menyingkirkan duri di jalan, berbicara dengan bahasa santun dan sopan sehingga menenangkan dan menyejukkan bagi pendengarnya. Sebagaimana sabda Rasul saw,

Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit; kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Menyambung Silaturrahim

Tidak kalah pentingnya di samping kedua amalan di atas, yakni menyambung silaturrahum. Dengan menyambung silaturrahim baik sanak famili, kerabat, sahabat dan teman maupun rekan kerja atau bahkan teman orang tua kita, semakin merekatkan hubungan batin dan menekan tingkat kesalahpahaman satu dengan yang lain.


Artikel terkait:

Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui


Di bulan Muharram kita sangat dianjurkan untuk menyambung tali silaturrahim mengingat dampak sosial yang ditimbulkan yakni semakin merekatkan hubungan dan mengharmoniskan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga tercipta kerukunan dan persatuan. Silaturrahim juga dapat memperpanjang umur dan melancarkan rezeki, sebagaimana sabda Rasul saw,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

”Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menghubungkan tali silaturahmi” (H.R Bukhari dan Muslim).

Maksud dipanjangkan umurnya di sini ialah senantiasa memperoleh bimbingan, taufik, dan keberkahan dari Allah swt selama hidupnya.

Pada suasana pandemi Covid-19 ini, silaturrahim kita harus tetap terjaga meski tidak dapat bertemu fisik dan bersalam-salaman sebagaimana dalam kondisi normal. Akan tetapi dapat kita wujudkan dalam bentuk silaturrahim virtual (online) dengan menggunakan aplikasi seperti video whatsapp, zoom, telepon dan sejenisnya.

Tata cara silaturrahim virtual pun dijelaskan oleh Zakariyya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib,

(وَصِلَةُ الرَّحِمِ) أَيْ الْقَرَابَةِ (مَأْمُورٌ بِهَا) وَهِيَ فِعْلُك مَعَ قَرِيبِك مَا تُعَدُّ بِهِ وَاصِلًا غَيْرَ مُنَافِرٍ وَمُقَاطِعٍ لَهُ (وَتَكُونُ) صِلَتُهُمَا (بِالْمَالِ وَقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَالزِّيَارَةِ وَالْمُكَاتَبَةِ، وَالْمُرَاسَلَةِ بِالسَّلَامِ) وَنَحْوِهَا

“Menyambung tali silaturrahim adalah diperintahkan, yaitu tindakan anda kepada kerabat anda yang sekiranya dengan itu dianggap menyambung, tidak mengabaikan dan memutus. Caranya ada kalanya dengan memberi harta, menunaikan kebutuhannya, mengunjunginya, saling menyurati, saling berkirim salam dan lain sebagainya.”

Karenanya, silaturrahm tak harus bertemu secara langsung terlebih kita tengah berada pada situasi yang sulit yakni pandemi Covid-19. Sudah banyak platform atau sarana yang dapat digunakan untuk bersilaturrahim berkirim salam atau pesan.

Dengan ini kita juga bisa menyimpulkan bahwa hal itu cukup memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai silaturrahim sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ramli dalam Syarh al-Minhaj. Wallahu A’lam.

Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?

0
Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran
Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran

Selain sebagai pembawa dan penyampai risalah, Nabi Muhammad juga diberikan otoritas oleh Allah sebagai penafsir. Sebagai otoritas tunggal, maka para sahabat pasti merujuk Nabi untuk setiap penafsiran Al-Quran. Pertanyaannya kemudian apakah Nabi menafsirkan ayat al-Quran seluruhnya dan telah menyampaikannya kepada para sahabat?” Adz-Dzahabi mengurai diskursus ini cukup panjang dalam kitabnya Al-Tafsir wa Al-Mufassirun dan informasi tersebut akan dijabarkan dalam tulisan ini secara lebih sederhana.

Jika ditelisik secara mendalam, kehadiran perdebatan mengenai jawaban atas pertanyaan di atas—yang akan diurai setelah ini—merupakan hasil dari perbedaan penafsiran atas Q.S. al-Nahl [16]: 44. Dalam mengurai persoalan ini para pakar atau ulama terbagi ke dalam dua kelompok.

Ada kelompok yang berkeyakinan bahwa hingga mencapai akhir hayatnya, Nabi menafsirkan  ayat al-Qur’an seluruhnya dan telah mewariskannya kepada para sahabat. Kelompok lainnya memiliki pandangan berbeda dan meyakini bahwa Nabi menafsirkan ayat al-Qur’an hanya sebagian dan tidak ada sahabat yang mewarisi keseluruhan riwayat itu secara utuh.

(Baca Juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya)

Kelompok pertama ini dikepalai oleh Ibn Taimiyah. Q.S. al-Nahl [16]: 44 kembali menjadi dalil pertama yang digunakan. Mereka berkeyakinan bahwa ayat ini memuat tanggungjawab Nabi yang harus menyampaikan lafaz sekaligus makna al-Qur’an secara keseluruhan dan jika tidak maka Nabi belum melaksanakan tugasnya dengan maksimal. Karena kesimpulan ini—yang mereka yakini—tentunya tidak dibenarkan secara akidah, maka bagi mereka tidak mungkin Nabi tidak menjalankannya.

Dalil kedua mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman al-Sulami, “aku diberitahu oleh para pembaca/ pengkaji al-Qur’an seperti Utsman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan selainnya bahwa mereka belajar sepuluh ayat bersama Nabi dan mereka tidak diperkenankan pindah ke ayat selanjutnya sampai mereka menguasai ilmu dan amalan yang ada pada ayat yang mereka pelajari. Mereka pun berkata: kami telah mempelajari al-Qur’an beserta ilmu dan amalan yang ada di dalamnya sekaligus.”

Dalil ketiga mereka adalah analogi di mana mereka beranggapan bahwa secara umum seseorang tidak boleh berpindah dari satu ilmu ke ilmu lainnya sebelum menguasainya—mungkin pada konteks saat itu. Maka begitupun al-Qur’an yang menjadi pegangan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Dalil terakhir mereka kembali berasal dari riwayat yang berbunyi, “termasuk dalam ayat yang terakhir diwahyukan adalah ayat riba’, dan Rasulullah telah wafat sebelum menafsirkannya”. Riwayat ini dimaknai oleh mereka sebagai bukti bahwa setiap ada wahyu yang turun, Nabi pasti membagikan pada sahabat makna yang dikandungnya.

Sekarang, mari beralih pada kelompok yang kedua. Kelompok kedua ini memiliki tiga dalil yang dijadikan sebagai dasar atas argumentasi penolakan mereka terhadap statemen Nabi menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan.

Adapun dalil argumentasi pertama berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, “tidaklah Nabi menafsirkan bagian dari al-Qur’an kecuali hanya beberapa ayat yang ia dapatkan dari pengajaran Jibril”.

Dalil kedua merupakan pendapat mereka pribadi di mana mereka menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran kecuali hanya sedikit. Tidaklah Tuhan memberi desakan pada Nabi untuk menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran sebab ada perintah Tuhan lainnya—dalam al-Quran—yang memerintahkan umat untuk memikirkan dan mentadabburi ayat-ayat-Nya.

Dalil yang ketiga, mereka beropini terhadap do’a yang diberikan Nabi kepada Ibn Abbas. Bagi mereka do’a itu menjadi simbol bahwa Nabi tidak mencukupkan dirinya sendiri sebagai penafsir, melainkan memberikan ruang bagi sahabatnya yang mumpuni untuk turut menjadi rujukan penafsiran.

Baik kelompok pertama maupun kedua sama-sama mendasarkan argumentasi mereka dengan landasan analisis akademis yang mereka yakini. Kedua analisa dan bangunan argumentasi yang mereka bangun harus dihormati dan jika merasa kurang sepaham harus dapat dikritisi atau dikomentari secara akademis dan adil. Sebagaimana halnya komentar Adz-Dzahabi yang akan dihadirkan dalam episode tulisan selanjutnya.

Teruntuk para pengkaji al-Quran, kedua kelompok ini dapat menjadi suatu inspirasi bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi perbedaan pandangan atau penafsiran. Dalam ruang akademik perbedaan pandangan merupakan sebuah kewajaran dan harus disikapi dengan adab yang akademis. Beradu argumentasi serta saling mengkritisi dengan argumen dan kritik yang berlandaskan analisis akademis serta tidak menyerang personality pihak yang berbeda merupakan budaya akademik yang baik dan patut ditiru serta diterapkan dalam kehidupan akademik kita. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 92

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat ini menerangkan bahwa tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain dengan sengaja.

Kemudian dijelaskan hukum pembunuhan sesama mukmin yang terjadi dengan tidak sengaja. Hal ini mungkin terjadi dalam berbagai kasus, dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan dari kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 kasus:

Pertama: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin. Maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, disamping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.

Kedua: Mukmin yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya memusuhi kaum Muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.

Ketiga: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan kasus yang pertama tadi.

Mengenai kewajiban memerdekakan  hamba sahaya yang mukmin  yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu; atau karena sama sekali tidak mungkin mendapatkan hamba sahaya, misalnya pada zaman sekarang ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya.

Dalam hal ini, kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian ia bebas dari kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Mengenai  ketidaksengajaan  dalam pembunuhan yang disebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kecerobohan yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin menjadi sasaran pelurunya tanpa sengaja.

Kecerobohan dan sikap tidak berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam berbuat terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia lainnya.

Adapun diat (diyat) atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:

اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى فِى الدِّيَةِ عَلَى اَهْلِ اْلاِبِلِ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ وَعَلَى اَهْلِ الْبَقَرِ مِائَتَيْ بَقَرَةٍ وَعَلَى اَهْلِ الشَّاةِ أَلْفَيْ شَاةٍ وَعَلَى اَهْلِ الْحُلَلِ مِائَتَيْ حُلَّةٍ

(رواه ابو داود)

 Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing, dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan  (Riwayat Abu Dāwud)

Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh dan ‘aqilah (keluarga), yang juga disebut  asabah -nya. Dalam kitab hadis al-Muwatta’ “Kitab al-Uqµd” dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak, dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada ‘aqilah dari si pembunuh.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 100-103

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 100

Kemudian Allah menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah meninggalkan kampung halamannya karena menaati perintah Allah dan mengharapkan keridaan-Nya, mereka akan memperoleh tempat tinggal yang lebih makmur, lebih tenteram dan aman dan lebih mudah menunaikan kewajiban-kewajiban agama di daerah yang baru, yaitu Medinah.

Janji yang demikian itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka yang hijrah. Sebab umumnya orang-orang Islam di Mekah yang tidak ikut hijrah menyangka bahwa hijrah itu penuh dengan penderitaan dan daerah yang dituju itu tidak memberikan kelapangan hidup bagi mereka.

Allah akan memberikan kelapangan hidup di dunia dan akan memberikan pahala yang sempurna di akhirat kepada orang-orang yang hijrah dan meninggal dunia sebelum sempat sampai ke Medinah. Amat jelas janji Allah kepada orang-orang yang hijrah dibandingkan dengan janji kepada mereka yang tidak hijrah karena uzur, sebab bagi golongan yang akhir ini pengampunan Allah tidak disebut secara pasti. Pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar terhadap kaum muhajirin yang dengan ikhlas meninggalkan kampung halaman mereka untuk menegakkan kalimah Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas beliau berkata,  Damrah bin Jundub pergi dari rumahnya  Bawalah aku dan keluarkanlah aku dari bumi orang-orang musyrik ini (Mekah) untuk menemui Rasulullah saw.” Maka pergilah dia, dalam perjalanan dia meninggal sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad saw lalu turunlah ayat ini.

Sebab-sebab Islam mensyariatkan hijrah pada zaman permulaan:

  1. Untuk menghindarkan diri dari tekanan dan penindasan orang kafir Mekah terhadap Muslimin, sehingga mereka memiliki kebebasan dalam menjalankan perintah agama dan menegakkan syiarnya.
  2. Untuk menerima ajaran agama dari Nabi Muhammad saw, kemudian menyebarkannya ke seluruh dunia.
  3. Untuk membina negara Islam yang kuat yang dapat menyebarkan Islam, menegakkan hukum-hukumnya, menjaga rakyat dari musuh dan melindungi dakwah Islamiyah.

Ketiga sebab inilah yang menjadikan hijrah dari Mekah menjadi salah satu kewajiban bagi umat Islam. Sesudah umat Islam membebaskan Mekah tidak ada lagi kewajiban hijrah, karena ketiga sebab ini tidak ada lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلٰكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَاِذَا اسْـتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس)

“Tidak ada hijrah sesudah pembebasan Mekah, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Jika kamu diperintahkan berperang, maka penuhilah perintah itu” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas).

Ayat 101

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dibenarkan umat Islam menunaikan fardu salat qasar (qasar) pada waktu dia dalam perjalanan, baik dalam keadaan aman atau dalam ancaman musuh.

Salat dalam perjalanan yang aman disebut salat safar. Pada salat safar, salat yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya’ diqasar menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar. Syarat menqasar salat safar ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga malam. Menurut Imam Syafi’i, perjalanan dua hari atau 89 km.

Menurut perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18 km). Sedangkan menurut pendapat lain, kebolehan mengkasar salat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak, tetapi asal sudah boleh dinamai safar, boleh mengkasar.

Salat dalam perjalanan yang diancam bahaya disebut salat khauf, seperti dikatakan dalam ayat:  Jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” Cara salat khauf ini diterangkan dalam ayat berikut.

Ayat 102

Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada.

Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْخَوْفِ بِاِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ رَكْعَةً وَالطَّائِفَةُ اْلأُخْرَى مُوَاجِهَةُ الْعَدُوِّ ثُمَّ انْصَرَفُوْا وَقَامُوْا فِي مَقَامِ اَصْحَابِهِمْ مُقْبِلِيْنَ عَلَى الْعَدُوِّوَجَاءَ اُولٰئِكَ ثُمَّ صَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ قَضَى هٰؤُلاَءِ رَكْعَةً وَهٰؤُلاَءِ رَكْعَةً

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر)

 “Nabi saw mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman  mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka.

Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.

Ayat 103

Selanjutnya diperintahkan apabila salat khauf itu selesai dikerjakan dengan cara yang telah diterangkan itu, maka hendaklah pasukan Islam itu mengingat Allah terus-menerus dalam segala keadaan. Lebih lagi mereka harus menyebut nama Allah pada saat mereka berada dalam ancaman musuh.

Allah akan menolong mereka selama mereka menolong agama Allah. Hendaklah mereka mengucapkan tahmid dan takbir ketika berdiri di medan pertempuran, atau ketika duduk memanah musuh atau ketika berbaring karena luka-luka. Segala penderitaan lahir dan batin akan lenyap, jika jiwa sudah diisi penuh dengan zikir kepada Allah, oleh karenanya kaum Muslimin harus terus ingat dan berzikir kepada Allah baik dalam keadaan perang ataupun damai.

Orang beriman setiap saat berada di dalam perjuangan. Pada suatu saat dia berperang dengan musuh pada saat yang lain dia bertempur melawan hawa nafsunya. Demikianlah berzikir mengingat Allah diperintahkan setiap saat karena dia mendidik jiwa, membersihkan rohani dan menanamkan kebesaran Allah ke dalam hati.

Bila peperangan sudah usai, ketakutan sudah lenyap dan hati sudah tenteram hendaklah dilakukan salat yang sempurna rukun dan syaratnya. Karena salat adalah suatu kewajiban bagi orang mukmin dan mereka wajib memelihara waktunya yang sudah ditetapkan.

Paling kurang lima kali dalam sehari semalam umat Islam  melakukan salat agar dia selalu ingat kepada Allah, sehingga meniadakan kemungkinan terjerumus ke dalam kejahatan dan kesesatan. Bagi orang yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah, waktu lima kali itu dipandang sedikit, maka dia menambah lagi dengan salat-salat sunah pada waktu-waktu yang telah ditentukan dalam agama.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 95-99

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 95

Orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang yang enggan berbuat demikian. Ayat ini menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya, sehingga orang-orang yang berjihad mempunyai derajat yang amat tinggi.

Apabila orang yang tidak berjihad menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan tersebut.

Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

….Katakanlah, ”Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” … (az-Zumar/39:9)

Orang yang berilmu pengetahuan jauh lebih tinggi derajatnya daripada orang yang tidak berilmu. Apabila orang yang tidak berilmu mengetahui kekurangan derajatnya, semoga hati mereka tergerak untuk mencari ilmu pengetahuan dengan giat, sehingga dapat meningkatkan derajat mereka.

Ayat ini turun pada waktu Perang Badar. Di antara kaum Muslimin ada orang-orang yang tetap tinggal di rumah, dan tidak bersedia berangkat ke medan perang. Lalu turunlah ayat ini untuk mengingatkan mereka bahwa dengan sikap yang semacam itu, mereka berada pada derajat yang rendah, dibanding dengan derajat orang-orang yang berjihad dengan penuh iman dan kesadaran.

Sementara ada di antara kaum Muslimin yang sangat ingin untuk ikut berjihad, tetapi niat dan keinginan mereka tidak dapat mereka laksanakan karena mereka uzur, misalnya: karena buta, pincang, sakit dan sebagainya, atau mereka tidak mempunyai sesuatu untuk disumbangkan.

Orang-orang semacam itu, tidak bisa disamakan dengan orang yang enggan berjihad, melainkan disamakan dengan orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka. Ayat ini juga menjelaskan bahwa mereka yang benar-benar berjihad dengan harta benda dan jiwa raganya memperoleh martabat yang lebih tinggi satu derajat dari mereka yang tidak berjihad karena uzur. Namun golongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah, karena iman dan niat mereka yang ikhlas.

Allah akan memberikan pahala yang jauh lebih besar kepada mereka yang berjihad, dari mereka yang tidak berjihad tanpa uzur. Berjuang atau berjihad  dengan harta benda  ialah: menggunakan harta benda milik sendiri untuk keperluan jihad, atau untuk keperluan orang lain yang turut berjihad, misalnya: bahan-bahan perbekalan berupa makanan, kendaraan, senjata dan sebagainya. Berjuang dengan  jiwa raga  berarti: ia rela mengorbankan miliknya yang paling berharga baginya, yaitu tenaga bahkan jiwanya, sekalipun ia menerima perbekalan dari orang lain, karena ia tidak mempunyainya.

Ayat 96

Ayat ini merupakan lanjutan dan keterangan bagi ayat yang lalu, karena akhir ayat yang lalu menyebutkan bahwa Allah akan memberikan pahala yang lebih besar kepada mereka yang berjihad, tetapi belum dijelaskan apa wujud pahala yang besar itu. Maka ayat ini menjelaskan bahwa pahala yang paling besar ialah: keunggulan martabat mereka beberapa derajat di sisi Allah Yang Maha Pengampun serta ampunan dan rahmat-Nya.

Ayat 97

Ada segolongan Muslimin yang tetap tinggal di Mekah. Mereka menyembunyikan keislaman mereka dari penduduk Mekah dan mereka tidak ikut berhijrah ke Medinah, padahal mereka mempunyai kesanggupan untuk melakukan hijrah. Mereka merasa senang tinggal di Mekah, walaupun mereka tidak mempunyai kebebasan mengerjakan ajaran agama dan membinanya. Allah menyatakan mereka sebagai orang yang menganiaya diri sendiri.

Sewaktu Perang Badar terjadi, mereka dipaksa ikut berperang oleh orang musyrikin menghadapi Rasulullah saw. Dalam peperangan ini sebagian mereka mati terbunuh. Sesudah mereka mati malaikat mencela mereka, karena mereka tidak berbuat suatu apa pun dalam urusan agama mereka (Islam), seperti tidak dapat mengerjakan ajaran-ajaran agama.

Mereka menjawab dengan mengajukan alasan bahwa mereka tidak melaksanakan ajaran agama, disebabkan tekanan dari orang-orang musyrik Mekah, sehingga banyak kewajiban agama yang mereka tinggalkan.

Para malaikat menolak alasan mereka. Kalau benar-benar mereka ingin mengerjakan ajaran agama, tentu mereka meninggalkan Mekah dan hijrah ke Medinah. Bukankah bumi Allah ini luas. Kenapa mereka senang tetap tinggal di Mekah, tidak mau hijrah? Padahal mereka mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk hijrah itu?

Mereka tidak pindah ke tempat yang baru di mana mereka akan memperoleh kebebasan dalam mengerjakan ajaran agama dan memperoleh ketenteraman dan kemerdekaan. Oleh karena itu mereka mengalami nasib yang buruk. Mereka dilemparkan ke dalam neraka Jahanam yakni tempat yang paling buruk.

Secara umum setiap Muslim wajib hijrah dari negeri orang kafir bilamana di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melakukan kewajiban agama dan memelihara agama. Tetapi bilamana ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka ia tidak diwajibkan hijrah.

Ayat 98

Kemudian dalam ayat ini Allah swt mengecualikan golongan orang yang tertindas, baik laki-laki atau perempuan, seperti ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah dan Salamah bin Hisyam, Ummul Fadli dan Ummu Abdillah bin Abbas, dan anak-anak seperti Abdullah bin Abbas dan lain-lain.

Mereka ini tidaklah dipandang menganiaya diri dan tidaklah dipandang berdosa karena mereka meninggalkan kewajiban hijrah. Mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar ditindas karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari Mekah.

Mereka tidak mempunyai daya upaya, perbekalan dan nafkah untuk hijrah. Mereka tidak mengetahui jalan keluar dari kesulitan itu. Faktor ketuaan, sakit, kemiskinan dan juga tidak tahu jalan menuju Medinah adalah termasuk alasan-alasan yang dapat diterima.

Ayat 99

Allah akan memaafkan mereka karena mereka benar-benar tidak mampu menunaikan hijrah. Tetapi bilamana kemampuan dan kesempatan itu sudah ada segeralah berhijrah. Karena hijrah dari bumi Mekah yang musyrik itu suatu kaharusan.

Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf terhadap segala macam dosa hambanya yang dilakukan karena keadaan terpaksa dan alasan-alasan yang benar. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan mereka dan tidak akan menampakkan kesalahan itu kelak.

(Tafsir Kemenag)