Beranda blog Halaman 535

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 119-122

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 119

Pada ayat ini diterangkan tindakan dan usaha setan dalam menggunakan potensi jahat yang ada pada manusia, agar cita-citanya mencelakakan manusia dapat tercapai yaitu dengan:

  1. Berusaha memalingkan manusia dari kepercayaan yang benar dengan mengaburkan petunjuk Allah ke jalan yang benar, sehingga mereka tersesat dan menempuh jalan yang diinginkan setan.
  2. Berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan khayalan-khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, sehingga mereka memandang baik segala perbuatan yang dilarang, serta menanamkan di dalam hati dan pikirannya bahwa kesenangan hidup di dunia itu adalah kesenangan yang pasti tercapai sedang kesenangan dan kebahagiaan di akhirat adalah kesenangan yang diragukan adanya.
  3. Berusaha menyesatkan manusia dengan menjadikan mereka memandang haram suatu perbuatan yang halal, sebaliknya memandang yang halal sebagai sesuatu perbuatan yang haram, sebagaimana yang terdapat di kalangan Arab jahiliah. Menurut kepercayaan Arab jahiliah sebagian binatang yang akan dikorbankan untuk berhala dipotong atau dibelah telinganya.

Bila binatang itu telah dipotong atau dibelah telinganya berarti telah menjadi kepunyaan berhala, karena itu tidak boleh lagi dikendarai atau dipergunakan untuk suatu keperluan; binatang itu dibiarkan lepas dan tidak boleh diganggu seorang pun.

  1. Mengubah ciptaan Allah, menurut sebagian mufasir, ialah mengubah ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah, seperti mengebiri orang laki-laki agar ia dapat dijadikan penjaga istri-istri atau budak-budak perempuan seorang pembesar, sebagaimana yang banyak dilakukan di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri lain zaman dahulu. Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan ciptaan Allah ialah agama Allah, karena agama Allah telah menjadi fitrah bagi manusia. Allah berfirman:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rµm/30:30)

Manusia diciptakan Allah mempunyai fitrah beragama tauhid, mengakui keesaan Allah, tidak bersekutu dengan sesuatu, hanya Allah saja yang berhak disembah. Seandainya ada manusia tidak mengakui keesaan Allah, berarti pengaruh lingkungan alam sekitarnya telah mengalahkan fitrahnya. Termasuk yang mempengaruhi manusia itu ialah usaha setan untuk melenyapkan naluri itu, sebagai yang disebutkan hadis:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حَمَّادِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: اِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاحْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ

(رواه مسلم)

Dari ‘Iyād bin Hammād, Bersabda Rasulullah saw, berfirman Allah ‘Azza wajalla, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku cenderung kepada (agama-Ku), maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan itu memalingkan mereka dari agamanya dan ia mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.” (Riwayat Muslim)

Allah memperingatkan hamba-Nya dengan pernyataan bahwa barang siapa yang mengikuti bisikan, tipu daya dan keinginan setan berarti dia telah jauh dari rahmat dan karunia-Nya dan telah merugi di dunia (dan di akhirat), karena setan itu selalu berusaha menggunakan segala kelemahan manusia untuk melaksanakan janjinya kepada Allah.

Ayat 120

Setan selalu menjanjikan yang muluk-muluk dan menimbulkan angan-angan kosong serta menimbulkan khayalan-khayalan di dalam hati dan pikiran manusia. Jika seseorang ingin menafkahkan hartanya di jalan Allah dibisikannyalah kepada orang itu bahwa menafkahkan itu mengakibatkan kemiskinan, dan dijanjikan kesenangan dan kemuliaan bila manusia itu kikir. Kepada penjudi diiming-imingi kebahagiaan dan kekayaan tanpa usaha, kepada peminum khamar dibisikkannya kegembiraan dan kesenangan bila seseorang telah mabuk dan sebagainya.

Termasuk di dalam janji setan, ialah janji dan iming-iming yang ditanamkan kepada orang-orang yang mau melanggar larangan-larangan Allah untuk kepentingan dirinya. seperti pangkat, kehormatan dan sebagainya. Janji setan itu tidak lain hanyalah tipuan belaka, tidak ada satupun yang akan dapat ditepatinya dan tidak dapat diharapkan hasilnya sedikit pun, seperti janji dan angan-angan yang ditanamkan kepada penjudi, peminum khamar, pezina, orang yang gila pangkat dan gila hormat. Mereka mengkhayalkan kesenangan dan kebahagiaan dari hasil perbuatan mereka itu, tetapi hasil itu tidak pernah mereka nikmati.

Ayat 121

Karena orang-orang yang mengikuti dan memenuhi keinginan setan telah sesat, maka buku amalannya telah dipenuhi oleh perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu, tempat mereka adalah neraka Jahanam, mereka tidak dapat keluar dari padanya, karena tidak mempunyai suatu kebaikan yang dapat membebaskan dan menyelamatkan mereka dari azab neraka itu.

Ayat 122

Orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka tidak terperdaya dengan godaan setan, mereka tidak mau menjadi pembantu setan, mereka mengikuti petunjuk-petunjuk Allah, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Mereka diberi balasan dengan surga yang penuh nikmat, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalam surga, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat mengeluarkan mereka dari tempat yang penuh kesenangan dan kebahagiaan.

Itulah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bukan janji palsu, bukan pula angan-angan kosong yang tidak ada hasilnya yang dibisikkan setan, tetapi janji yang pasti ditepati, karena yang menjanjikan itu adalah Yang Mahakuasa, Maha Perkasa, Mahakaya, Pemilik seluruh alam. Janji setan mustahil ditepati, karena dia sendiri tidak mempunyai kesanggupan untuk menepatinya. Allah berfirman:

وَقَالَ الشَّيْطٰنُ لَمَّا قُضِيَ الْاَمْرُ اِنَّ اللّٰهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُّكُمْ فَاَخْلَفْتُكُمْۗ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطٰنٍ اِلَّآ اَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِيْ ۚفَلَا تَلُوْمُوْنِيْ وَلُوْمُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ مَآ اَنَا۠ بِمُصْرِخِكُمْ وَمَآ اَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّۗ اِنِّيْ كَفَرْتُ بِمَآ اَشْرَكْتُمُوْنِ مِنْ قَبْلُ ۗاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, ”Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim/14:22).

(Tafsir Kemenag)

Belajar Ontologi Filsafat dari Kisah Nabi Ibrahim

0
Filsafat Nabi Ibrahim
Filsafat Nabi Ibrahim

Ontologi filsafat merupakan satu dari tiga bagian cabang filsafat yang mengulas tentang hakikat yang ada. Islam mengistilahkan ontologi dengan al-wujud (tidak hanya tampak secara kasat mata). Nabi Ibrahim pernah menggunakan al-wujud tatkala memperingatkan, membantah dan mementahkan keyakinan ayah dan kaumnya kala itu. Bahwa apakah pantas menjadikan berhala sebagai tuhan? Atau bintang, dan segala benda yang muncul dan tenggelam bisa dianggap sebagai tuhan?

Melalui pertanyaan ini, Nabi Ibrahim ingin menyampaikan pesan tersirat bahwa pentingnya memahami sesuatu dengan menggunakan al-wujud. Bukan ontologi yang didefinisikan oleh Barat yang hanya berpatok pada sesuatu yang terlihat atau tampak secara kasat mata. Kisah Nabi Ibrahim ini diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya Q.S. al-An’am [6]: 74,

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. al-An’am [6]: 74)

Tafsir Surah al-An’am Ayat 74

Ayat ini dan ayat berikutnya pada bahasan selanjutnya menguraikan sekelumit pengalaman Nabi Ibrahim a.s “menemukan” Allah swt. Serta bantahan beliau terhadap tesis bahwa Tuhan ya berhala itu. Kaum musyrikin yang selalu mempertuhankan bintang-bintang, membuat dan mengada-ada bahwa setiap bintang yang mereka puja dapat menolongnya.

Al-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya nama ayah Nabi Ibrahim bukanlah Azar, melainkan Tarikh (Terakh). Sedangkan ibunya bernama Syani. Istri Nabi Ibrahim adalah Sarah dan Siti Hajar, budak Nabi Ibrahim. Dalam riwayat yang lain Mujahid dan al-Saddi mengatakan bahwa Azar adalah nama berhala. Berdasarkan pendapat ini, dia (ayah Nabi Ibrahim) dikenal dengan Azar sebab dialah yang menjadi pelayan dan pengurus berhala-berhala itu. Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Surat As-Saffat Ayat 102

Pertanyaan berikutnya yang muncul dalam redaksi ayat tersebut adalah atattakhidzu ashnaman alihatan (pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?). Ibnu Katsir menafsirkannya dengan Hai ayahku, pantaskah kamu menjadikan Azar sebagai berhala yang disembah. Secara kaidah kebahasaan (lughawy) hal ini jauh dari kebenaran, sebab lafal yang jatuh sesudah istifham (pertanyaan) tidak dapat beramal terhadap lafaz sebelumnya, mengingat huruf istifham berkedudukan di awal kalimat.

Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menyampaikan penafsiran falsasfi bahwa melalui ayat ini kita diingatkan bahwa pantaskah kita menjadikan berhala sebagai tuhan? Di mana berhala itu kita buat sendiri, memahat dengan tangan kita berbahan dasar batu, kayu, logam dan pohon.

Apabila kita menuhankan berhala-berhala tersebut sedangkan kita dianugrahi akal untuk berfikir, apakah tuhan itu diam, apakah tuhan itu berwujud patung?. Tentu tidak, jika kita sebagai manusia sadar bahwa dianugerahi akal oleh Allah swt. Maka, Nabi Ibrahim kala itu mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia beserta kelompoknya berada dalam kesesatan yang nyata (fi dhalalin mubin).

Lalu, Ibnu Katsir menguraikan maksud kesesatan yang nyata, yaitu mereka tersesat dan tidak mendapat petunjuk dari-Nya sehingga berjalan dalam keadaan gamang dan penuh kebingungan. Hal ini jelas bagi orang yang berakal waras. Karena menurut orang waras sebagaiamana dijelaskan dalam Tafsir al-Maraghi mana mungkin berhala lebih mulia dan tinggi kedudukannya ketimbang manusia.

Sedangkan Quraish Shibab dalam Tafsir al-Misbah lebih menekankan pada aspek penuturan dakwah Nabi Ibrahim kepada orang tuanya. Redaksi inni araka wa qaumaka, bukan redaksi makian. Nabi Ibrahim memperingatkan dengan bernada tegas bahwa apa yang dilakukan ayahnya atau pamannya adalah bentuk kesesatan yang nyata. Ini sangat wajar, dan dibenarkan. Baca juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran

Quraish Shihab mengatakan “Ia tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata Azar sebagai makian, karena hal ini bertentangan dengan sifat ajaran Islam yang selalu mengajak berdakwah dengan hikmah dan peringatan yang menyentuh serta diskusi yang sebaik-baiknya. Bahwa kalimatnya tegas adalah wajar dan dibenarkan karena ini adalah masalah akidah yang menyangkut persoalan prinsip.”

Sedangkan kalimat: Menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan mengandung kecaman serta penolakan mempertuhan berhala. Sekaligus penolakan terhadap politeisme (syirik).

Belajar Ontologi FIlsafat dari Nabi Ibrahim

Ayat di atas mengandung ontologi filsafat yang mendalam, berisi bantahan yang menukik tajam atas kemapanan kepercayaan lama (old paradigm) bahwa Tuhan ya berhala itu. Kepercayaan-kepercayaan semacam itu yang terklasifikasi dalam animisme dan dinamisme, dibantah.

Selain itu, dimentahkan oleh istifham (pertanyaan) ontologi filsafat Nabi Ibrahim kepada ayahnya melalui redaksi atattakhidzu ashnaman alihatan. Inni araka wa qaumaka fi dhalalin mubin (pantaskah berhala itu engkau jadikan Tuhan. Sungguh aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata).

Redaksi tersebut mengandung aspek ontologi filsafat yang sangat mendalam. Kita tahu bahwa ontologi filsafat dalam Islam diistilahkan dengan al-wujud. Istilah al-wujud mempunyai konsekuensi terhadap pemahaman dan penerapan cara berfikir manusia.

Jika Barat memaknai ontologi adalah hanya yang sekadar tampak terlihat secara kasat mata. Maka tak ayal mereka mengatakan kehidupan itu berasal dari air, udara, angin, dan sebagainya. Sedangkan Islam memahami hakikat yang ada sebagai al-wujud. Ia tidak hanya sekadar terlihat secara kasat mata, lebih dari itu mempunyai aspek yang metafisis (yang tak kasat mata).

Hal-hal semacam ini yang menyebabkan pemahaman umat Islam mampu menangkap pesan-pesan Alquran baik secara tersurat (qauliyyah) maupun tersirat (kauniyyah).

Karenanya, untuk memahami sesuatu kita tidak boleh melihat dari satu aspek atau menggunakan kacamata kuda. Melainkan komprehensif (secara menyeluruh) sehingga tidak terjebak pada kesesatan berpikir dan pada akhirnya kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ulul albab (orang-orang berakal). Wallahu A’lam.

Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

0
amalan sunnah 10 muharram
amalan sunnah 10 muharram (inibaru.id)

Amat banyak kita saksikan betapa beranekaragamnya amalan sunnah 10 Muharram di Indonesia. Berbagai macam selebrasi dan penyambutan tahun baru Islam gegap gempita. Bahkan terutama ketika memasuki hari kesepuluh sebagaimana kita kenal sebagai hari Asyura. Asyura sendiri diambil dari kata bahasa Arab yang berarti sepuluh. Banyak sumber dan penjelasan baik dari Al-Quran, Al-Hadits maupun ulama Nusantara kita terkait amalan sunnah 10 Muharram. Berikut penjelasannya,

Membaca Doa Asyura (Sepuluh Muharram)

بسم الله الرحمن الرحيم, اَللَّهُمَّ يَا مُفَرِّجَ كُلِّ كَرْبٍ, وَيَامُخْرِجَ ذِي النُّوْنِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاجَامِعَ شَمْلِ يَعْقُوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ،  وَيَاغَافِرَ ذُنُوْبِ دَاوُوْدَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاكَاشِفَ ضُرِّ أَيُّوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاسَامِعَ دَعْوَتِيْ مُوْسَى وَ هَرُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ،  وَيَاخَالِقَ رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَبِيْبِكَ وَمُصْطَفَاكَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَارَحْمَنَ الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ, لَاإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ, إِقْضِ حَاجَتِي فِى الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ, وَأَطُلْ عُمْرِي فِي طَاعَتِكَ وَمَحَبَّتِكَ وَرِضَاكَ يَأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ, وَأَحْيِنِي حَيَاةً طَيِّبَةً وَتَوَفَّنِى لِلْاِسْلَامِ وَ الْإِيْمَانِ, يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Adapun keutamaan membaca doa tersebut, “Barang siapa yang membaca doa ini, maka semua hajat di dunia dan di akhirat akan diberi kemudahan oleh Allah dan diberi keberkahan atas usia yang taat kepada Allah serta dilimpahkan kehidupan yang baik dan khusnul khatimah”.

Mengerjakan Shalat Tasbih

Pelaksanaan shalat tasbih ini dikarenakan banyaknya bacaan tasbih di dalamnya. Amaliyah kedua ini berdasarkan penjelasan dalam kitab Nihayah al-Zain karya Imam Nawawi al-Bantani. (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Berpuasa

Keutamaan melaksanakan puasa di hari Asyura ini, berdasarkan Riwayat al-Baihaqi, Muslim dan Ibnu Hibban, yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

عن أبي قتادة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “صيام يوم عرفة كفارة السنة والسنة التي تليها, وصيام يوم عاشوراء يكفر سنة

“Puasa hari Arafah adalah penglebur (dosa) satu tahun dan tahun setelahnya, dan puasa hari Asyyura( hari kesepuluh bulan Muharram) mampu mengelebur (dosa) satu tahun.

Bersedekah

Amalan bersedekah ini sebagaimana keterangan Hadis berikut;

وَمَنْ تَصَدَّقَ فِيْهِ بِصَدَقَةٍ فَكَأَنَّمَا لَمْ يَرُدَّ سَائِلًا قَطُّ

Barangsiapa yang bersedekah pada hari tersebut (hari Asyura), maka seakan-akan ia tidak pernah menolak orang yang meminta-minta. (Baca juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya)

Memberikan Tambahan Nafkah kepada Keluarganya

Hal ini sebagaimana yang di riwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitabnya;

عن عبد الله، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَزَلْ فِيْ سَعَةٍ  سَائِرَ سَنَتِهِ

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melonggrakan nafkah atas keluarganya pada hari Asyura maka ia akan selalu dalam kemudahan selama satu tahunnya” (Baca juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui)

Mandi Sunnah

Amalan ini sebagaimana keterangan Hadis:

وَمَنْ اغْتَسَلَ وَطَهَّرَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِيْ سَنَتهِ اِلَّا مَرْضَ المَوْتِ

Barangsiapa mandi sunnah dan bersuci pada hari (Asyura) maka tidak akan mengalami sakit pada tahun itu kecuali sakit yang berupa kematian. (HR. Ath-Thabrani)

Menenjenguk Orang Sakit

Amalan ini berdasarkan keterangan Hadist;

وَمَنْ عَادَ مَرِيْضَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا عَادَ مَرْضَى أَوْلاَدِ اَدَمَ كُلِّهِمْ

Barang siapa menjenguk orang sakit pada hari Asyura maka seakan-akan ia telah menjenguk orang-orang sakit dari keturunan Adam seluruhnya.

Mengusap Kepala Anak Yatim

Sudah lazim, hari Asyura juga dikenal dengan hari raya anak yatim. Tentu, karna pada bulan ini manusia dianjurkan memperbanyak bersedekah, salah satunya bersedekah kepada anak yatim. Selain itu, mengusap kepala anak yatim juga merupakan amalan yang bisa dilakukan pada hari Asyura. Ini berdasarkan riwayat berikut;

وَمَنْ مَسَحَ فِيْهِ عَلَى رَأْسِ يَتِيْمٍ أَوْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ فَكَأَنَّمَا أَحْسَنَ إِلَى اَيْتَامِ وَلَدِ اَدَمَ كُلِّهِمْ

Barangsiapa pada hari Asyura mengusap kepala anak yatim, atau mengasihi kepadanya maka seakan-akan ia telah berbuat baik kepada keturunan adam seluruhnya. (Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus)

Inilah amalan pada 10 Muharram atau hari Asyura yang dapat kita amalkan di bulan Muharram.  Semoga kita dapat mengamalkannya dan meraih keutamaan-keutamaan tersebut. Aamiin.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 115-118

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 115

Seseorang yang menentang Rasulullah setelah nyata baginya kebenaran risalah yang dibawanya, serta mengikuti jalan orang yang menyimpang dari jalan kebenaran, maka Allah membiarkan mereka menempuh jalan sesat yang dipilihnya.

Kemudian Dia akan memasukkan mereka ke dalam neraka, tempat kembali yang seburuk-buruknya. Ayat ini erat hubungannya dengan tindakan Tu’mah dan pengikut-pengikutnya, dan perbuatan orang-orang yang bertindak seperti yang dilakukan Tu’mah itu.

Dari ayat ini dipahami bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia kemauan dan kebebasan memilih. Pada ayat Alquran yang lain diterangkan pula bahwa Allah telah menganugerahkan akal, pikiran dan perasaan serta melengkapinya dengan petunjuk-petunjuk yang dibawa para rasul. Jika manusia menggunakan dengan baik semua anugerah Allah itu, pasti ia dapat mengikuti jalan yang benar.

Tetapi kebanyakan manusia mementingkan dirinya sendiri, mengikuti hawa nafsunya sehingga ia tidak menggunakan akal, pikiran, perasaan, dan petunjuk-petunjuk Allah dalam menetapkan dan memilih perbuatan yang patut dikerjakannya. Karena itu ada manusia yang menantang dan memusuhi para rasul, setelah nyata bagi mereka kebenaran dan ada pula manusia yang suka mengerjakan pekerjaan jahat, sekalipun hatinya mengakui kesalahan perbuatannya itu.

Allah menilai perbuatan manusia, kemudian Dia memberi balasan yang setimpal, amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang perbuatan buruk diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan itu.

Ayat 116

Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mengakui adanya tuhan lain selain Allah atau menyembah selain Allah, tetapi Dia mengampuni dosa lainnya. Dari ayat ini dipahami bahwa ada dua macam dosa, yaitu:

  1. Dosa yang tidak diampuni Allah, dosa syirik.
  2. Dosa yang dapat diampuni Allah, dosa selain dosa syirik.

Jika seseorang mensyarikatkan Allah, berarti di dalam hatinya tidak ada pengakuan tentang keesaan Allah. Karena itu hubungannya dengan Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah terputus: Ini berarti tidak ada lagi baginya penolong, pelindung, pemelihara, seakan-akan dirinya telah lepas dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia telah sesat dan jauh menyimpang dari jalan yang lurus yang diridai Allah, maka mustahil baginya mendekatkan diri kepada Allah.

Seandainya di dalam hati dan jiwa seseorang telah tumbuh syirik berarti hati dan jiwanya telah dihinggapi penyakit yang paling parah; tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Segala macam bentuk kebenaran dan kebaikan yang ada pada orang itu tidak akan sanggup mengimbangi, apalagi menghapuskan kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh syirik itu.

Hati seorang musyrik tidak berhubungan lagi dengan Allah, tetapi terpaut kepada hawa nafsu, loba dan tamak kepada harta benda yang tidak akan dapat menolongnya sedikit pun. Itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa dosa syirik itu amat besar dan tidak akan diampuni-Nya.

Seandainya hati dan jiwa seseorang bersih dari syirik, atau ada cahaya iman di dalamnya, maka sekalipun ia telah mengerjakan dosa, hatinya akan ditumbuhi iman dan datang kepadanya petunjuk, maka ia akan bertobat, karena cahaya iman yang ada di dalam hatinya dapat bersinar kembali. Karena itulah Allah akan mengampuni dosanya karena bukan dosa syirik.

An-Nisa’ 48 telah menerangkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi akan mengampuni dosa selain dari dosa itu. Pengulangan pernyataan itu adalah untuk menegaskan kepada orang yang beriman agar mereka menjauhi syirik. Hendaklah mereka memupuk tauhid di dalam hati mereka, karena tauhid itu adalah dasar agama.

Ayat 117

Telah menjadi adat kebiasaan orang Arab jahiliah menyeru, menyembah dan memohon pertolongan kepada patung-patung yang mereka buat sendiri. Mereka mempercayainya sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan mereka namai dengan nama-nama perempuan (inasan), seperti al-Lata, al-‘Uzza dan Manat. Berhala atau patung-patung itu mereka beri hiasan dan pakaian seperti perempuan. Setiap kabilah atau suku mempunyai berhala sendiri yang mereka beri nama dengan nama-nama perempuan.

Sebagian ahli tafsir mengartikan inasan dengan “orang yang telah mati , karena orang yang telah mati itu lemah dan tidak berdaya. Orang-orang Arab jahiliah mengagungkan dan memuja nenek moyang mereka yang mati. Mereka mempercayai bahwa orang yang telah mati itu dapat dijadikan perantara untuk menyampaikan hajat atau keinginan kepada kekuatan gaib yang tidak mereka ketahui keadaan dan ujudnya. Kepercayaan yang seperti ini secara tidak sadar banyak dianut oleh Ahli Kitab dan sebagian kaum Muslimin pada masa kini.

Kepercayaan menyembah berhala, menyembah benda, memuja dan menyembah orang yang telah mati itu adalah kepercayaan yang timbul karena mengikuti hawa nafsu dan karena mengikuti tipu daya setan yang durhaka yang selalu berusaha untuk menyesatkan anak cucu Adam dari jalan yang lurus, sebagaimana mereka dahulu telah mengikrarkannya.

Ayat 118

Setan itu selain mempunyai sifat durhaka, ia juga telah mendapat laknat dan murka dari Allah. Mereka telah bertambah jauh dari rahmat dan karunia-Nya, karena mereka selalu berusaha mengajak manusia mengerjakan kejahatan dan mengerjakan larangan-larangannya, dengan membisik-bisikan dan menjadikan manusia memandang baik perbuatan-perbuatan terlarang itu.

Setan menyatakan kepada Allah bahwa ia akan mempengaruhi sebagian manusia, sehingga mereka mengikuti kehendaknya, serta menjadi hamba yang durhaka seperti dia. Pernyataan ini akan dilaksanakannya dengan segala macam cara dan usaha dan dengan segala kepandaian yang ada padanya.

Dipahami pula dari ayat ini bahwa manusia itu ada yang taat kepada Allah dan tidak dapat digoda setan serta ada pula yang tidak taat kepada Allah dan dapat digodanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang  menyatakan bahwa manusia itu mempunyai kesediaan untuk berbuat baik dan kesediaan untuk berbuat jahat. Allah berfirman:

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (al-Balad/90:10)

Setan berusaha memanfaatkan potensi untuk berbuat jahat yang ada pada manusia untuk melaksanakan pernyataannya kepada Allah. Pada sebagian manusia potensi untuk berbuat jahat itu tidak dapat dimanfaatkan oleh setan, karena potensi untuk itu telah dihambat pertumbuhannya oleh potensi kebaikan yang telah berkembang dan tumbuh pada dirinya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tarbawi; Mengulik Metode Tanya-Jawab Ala Rasulullah Saw.

0
buku catatan

Alquran banyak memberi informasi mengenai metode tanya-jawab atau biasa disebut juga dialog. Metode tanya-jawab ala Rasulullah saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Tanya jawab juga akan memberi kesempatan pada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang belum mereka pahami.

Selain itu, metode tanya jawab juga bisa mengasah dan menilai sejauh mana kemampuan nalar kritis seseorang dalam merespons dan memahami pertanyaan tersebut. Praktik metode tanya jawab ala Rasulullah saw termaktub dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 189,

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. al-Baqarah [2]: 189)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 189

Dalam Alquran sendiri terdapat 11 (sebelas) ayat yang menggunakan diksi yas-alunaka ‘ani (mereka bertanya tentang) yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 186, 189, 217, 219, 280, 222; Q.S. al-A’raf [7]: 187; Q.S. al-Naziat [79]: 42; Q.S. al-Kahfi [18]: 83; Q.S. al-Isra [17]: 85; Q.S. Thaha [20]: 105. Ini menunukkan bahwa metode tanya jawab pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.

Al-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan asbabun nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Aufi dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasul saw tentang peredaran bulan.” Dalam sumber yang lain yang berasal dari Abi al-‘Aliyah dikatakan bahwa orang-orang bertanya kepada Rasul saw, “untuk apa diciptakan bulan sabit?” Maka turunlah ayat ini sebagai penjelasan.”

Pada riwayat lain yang bersumber dari al-Bukhari, dari al-Barra mengatakan diturunkannya ayat ini berkenaan dengan kebiasaan orang jahiliyah yang gemar memasuki rumah dari pintu belakang selepas menunaikan ihram di Baitullah. Pada ayat ini terdapat tiga keterangan, yaitu pertanyaan sahabat tentang hilal beserta jawabannya, keterangan memasuki rumah melalui pintu belakang, dan perintah bertakwa kepada Allah swt.

Pada redaksi yas-alunaka ahillah (mereka bertanya tentang bulan sabit). Dari hal ini kita mengetahui bahwa telah terjadi tanya jawab atau dialog antara sahabat dengan Nabi saw. Mengenai sabab-musabab turunnya ayat ini al-Alusy dalam Ruh al-Ma’ani menrangkan bahwa Ibnu ‘Asakir menceritakan dengan sanad dha’if (lemah) bahwa Muadz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanam bertanya kepada Rasul saw,

“Ya Rasul, bagaimana keadaan hilal yang nampak dan muncul kecil seperti benang, lalu bertambah besar, rata dan bulat, lalu ukurannya berkurang dan mengecil sehingga kembali seperti semula, bulan itu tidak menetapi pada bentuk yang tetap (satu bentuk)? Kemudian turunlah ayat tersebut.

Terkait kemunculan pertanyaan tersebut dan jawaban yang “didiktekan” oleh Allah swt kepada Nabi saw, ar-Razi mencoba menjelaskan maksud firman-Nya yas-alunaka ahillah.

Redaksi ini tidak menguraikan alasan mengapa mereka bertanya, namun jawabannya itu seperti menunjukkan pada maksud pertanyaan. Karena redaksi yang digunakan qul hiya mawaqitu linnasi wal hajj menunjukkan bahwa pertanyaan mereka menghendaki pada  faedah dan hikmah. Terkait perubahan keadaan hilal yang mengecil dan membesar, kemudian Alquran dan hadits senada dalam perihal pertanyaan tersebut.

Sementara itu, Ibnu Katsir menafsirkan qul hiya mawaqitu linnasi wal hajj adalah dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.

Pada redaksi selanjutnya laisal birru …. ila akhiri ayat, Hasan al-Bashri mengatakan di mana dulu kaum jahiliyah tatkala melakukan suatu perjalanan. kemudian keluar rumahnya, dan terbesit mengurungkan niat kepergiannya. Maka dia tidak memasuki pintu depan, melainkan menaiki tembok bagian belakang. Maka turunlah ayat ini.

Nabi saw bersabda dan hadits ini sebagai bukti bahwa Rasul saw pernah mempraktikkan metode tanya jawab,

“dari Abu Hurairah ra, Ia berkata seseorang laki-laki datang pada Rasulullah SAW, kemudian ia bertanya, wahai Rasulullah siapa orang yang paling berhak aku hormati?. Beliau menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: Ibumu. Ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: kemudian bapakmu, kemudian saudara terdekatmu.” (H.R. Bukhari No. 5626)


Baca Juga:


Mengulik Metode Tanya-Jawab ala Rasulullah SAW

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad saw juga menggunakan metode tanya jawab dalam memberikan pengajaran kepada para sahabat. Metode tanya jawab mengajak para pendengar agar tetap fokus dengan pembahasan. Metode tanya-jawab atau dialog berusaha mengkoneksikan pemikiran seseorang dengan orang lain.

Karenanya metode tanya jawab memungkingkan adanya komunikasi dua arah, sebab pada saat yang sama terjadi proses berfikir terhadap diri sendiri tatkala mengajukan pertanyaan, pada saat yang lain pendengar merespons dan memberikan jawaban, sehingga memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik.

Tanya jawab juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang belum mereka pahami. Sejatinya, tanya jawab adalah rencana tindak lanjut (RTL) dari sajian verbal yang disampaikan pendidik. Bahkan Rasulullah saw tak segan menanyakan sudah sampai mana pemahaman sahabat terkait penyampaiannya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 112-114

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 112

Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak disengaja atau dengan sengaja, kemudian mereka melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah, maka dia sesungguhnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu  Ubairiq yang melemparkan kejahatan Tu’mah kepada Zaid bin Saleh.

Orang seperti Tu’mah dan keluarganya tetap melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri dan kejahatan melemparkan tuduhan yang tidak benar kepada orang lain.

Ayat 113

Dalam ayat ini dijelaskan anugerah dan nikmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Dijelaskan bahwa tanpa karunia dan nikmat-Nya kepada Nabi tentulah golongan yang berhasrat untuk menyesatkan beliau akan berhasil. Di antara karunia dan rahmat Allah itu ialah pemberitahuan-Nya kepada Nabi tentang perbuatan Tu’mah dan kerabatnya. Berkat adanya pemberitahuan Allah dan petunjuk-Nya gagallah rencana Bani ¨afar dan pendukung-pendukungnya itu.

Seandainya rencana golongan itu terlaksana tentulah Nabi harus menyediakan waktu dan tenaga untuk mengatasinya. Padahal di hadapan beliau amat banyak perkara dan tugas yang lebih penting yang memerlukan tenaga dan pikiran. Tetapi Allah tidak membiarkan Rasul-Nya dipermainkan oleh orang-orang yang rusak akhlaknya.

Mereka sebenarnya menyesalkan diri mereka sendiri karena mereka bertambah jauh dari jalan yang ditunjukkan Allah. Sedikit pun mereka tidak dapat mempersulit Nabi, karena beliau dalam menetapkan putusan tidaklah mengikuti hawa nafsu. Beliau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidaklah terlintas di hati beliau bahwa keadaan yang sebenarnya berlawanan dengan laporan yang beliau terima.

Dengan rahmat dan karunia Allah, Nabi telah terpelihara dari membuat keputusan yang tidak benar. Selanjutnya diterangkan bahwa Allah telah melimpahkan anugerah-Nya kepada Nabi-Nya dengan menurunkan Alquran dan al-Hikmah untuk digunakan dalam menetapkan suatu keputusan. Dia mengajarkan kepadanya apa yang tidak diketahuinya sebelumnya. Karunia Allah kepada Nabi Muhammad saw sangat besar, karena beliau diutus kepada seluruh umat manusia untuk sepanjang masa.

Ayat 114

Merahasiakan pembicaraan dan perbuatan keji, seperti yang telah dilakukan oleh Tu’mah dan kawan-kawannya adalah perbuatan yang terlarang, tidak ada faedahnya, kecuali bisik-bisik itu untuk menyuruh bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Berbisik-bisik dan menyembunyikan pembicaraan biasanya dilakukan untuk merahasiakan perbuatan terlarang, perbuatan jahat dan untuk melenyapkan kebaikan, jarang yang dilakukan untuk perbuatan baik dan terpuji.

Manusia menurut tabiatnya senang menyatakan dan mengatakan kepada orang lain atau kepada orang banyak tentang perbuatan baik yang telah atau yang akan dilakukannya. Sedang perbuatan jahat atau perbuatan dosa yang telah atau yang akan dilakukannya, selalu disembunyikan dan dirahasiakannya. Ia takut orang lain akan mengetahuinya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلاِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ اَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

(رواه مسلم)

 Kebajikan itu adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah apa yang terasa tidak enak di dalam hatimu, dan kamu tidak senang orang lain mengetahuinya  (Riwayat Muslim).

Karena itu diperintahkan agar orang yang beriman menjauhi perbuatan itu, terutama berbisik-bisik atau mengadakan pembicaraan rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, permusuhan, mendustakan Rasulullah dan lain sebagainya.

Ayat yang lain menegaskan larangan Allah dan menyatakan bahwa berbisik dan mengadakan perjanjian rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, termasuk perbuatan setan. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلَا تَتَنَاجَوْا بِالْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُوْلِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ  ٩  اِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطٰنِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَيْسَ بِضَاۤرِّهِمْ شَيْـًٔا اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ  ١٠

(9) Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali. (10) Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal. (al-Mujadalah/58:9-10)

Allah mengecualikan tiga macam perbuatan yang dibolehkan bahkan diperintahkan menyampaikannya dengan berbisik-bisik atau dengan rahasia, yaitu bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Bersedekah adalah salah satu perbuatan baik yang sangat dianjurkan Allah. Tetapi menyebut-nyebut atau memberitahukannya di hadapan orang banyak, kadang-kadang dapat menimbulkan rasa tidak senang di dalam hati orang yang menerimanya. Bahkan adakalanya dirasakan sebagai suatu penghinaan terhadap dirinya, sekalipun si pemberi sedekah itu telah menyatakan bahwa ia bersedekah dengan hati yang ikhlas dan untuk mencari keridaan Allah swt.

اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu…” (al-Baqarah/2:271)

Perbuatan makruf adalah lawan dari perbuatan mungkar, lawan dari segala perbuatan yang dilarang Allah Yang Mahatahu dan perbuatan yang mengikuti hawa nafsu. Menasihati seseorang untuk berbuat makruf di hadapan orang banyak, mungkin akan menimbulkan rasa kurang enak pada yang dinasihati, apabila yang diberi nasihat itu teman sebaya atau orang yang lebih tinggi derajatnya dari orang yang menasihati. Biasanya orang yang menasihati lebih tinggi derajat, pangkat atau kedudukannya dari yang dinasihati.

Karena itu Allah memerintahkan agar menasihati seseorang untuk berbuat makruf dengan cara berbisik dan tidak didengar orang lain. Bila didengar orang lain, maka orang yang dinasihati itu mungkin akan merasa terhina dan sakit hati, sehingga nasihat itu tidak diterimanya.

Kaum Muslimin diperintahkan agar selalu menjaga dan berusaha mengadakan perdamaian di antara manusia yang sedang berselisih terutama mendamaikan antara saudara-saudara yang beriman, sesuai dengan firman Allah:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.  (al-Hujurat/49:10).

فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

“… Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, …” (al-Anfal/8:1)

Usaha mengadakan perdamaian di antara orang-orang mukmin yang berselisih adalah usaha yang terpuji dan diperintahkan Allah. Tetapi menyebut usaha itu kepada orang lain atau didengar oleh orang banyak mungkin akan membawa kepada kemudaratan atau kejahatan yang lain, sehingga maksud mendamaikan itu akan berubah menjadi fitnah yang dapat memperdalam jurang persengketaan antara orang-orang yang akan didamaikan.

Ada orang yang enggan didamaikan bila diketahuinya bahwa yang akan mendamaikan itu orang lain. Ada pula orang yang enggan menerima perdamaian bila proses perdamaian itu diketahui orang banyak, karena ia khawatir bahwa usaha itu akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak.

Di samping itu mungkin ada pula pihak ketiga yang tidak menginginkan terjadinya suatu perdamaian. Karena itu Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman merahasiakan pembicaraan dan usaha yang berhubungan dengan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Orang yang melaksanakan tiga macam perintah Allah, yaitu bersedekah, berbuat kebaikan dan mencari perdamaian di antara manusia dengan ketundukan hati dan kepatuhan kepada-Nya serta mencari kerelaan-Nya, akan diberi pahala yang berlipat ganda oleh Allah. Keridaan Allah hanyalah dapat dicapai dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat, disertai dengan keikhlasan hati sesuai dengan yang diperintahkan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

0
Adz-Dzahabi
Adz-Dzahabi

Pertanyaan tentang “apakah Nabi menafsirkan ayat al-Qur’an seluruhnya dan telah menyampaikannya kepada para sahabat?” telah menyebabkan adanya dua kelompok yang berpandangan berbeda. Bagi pembaca Al-Tafsir wa Al-Mufassirun mungkin akan menarik jika melihat respon Adz-Dzahabi ketika menguraikan persoalan ini. Maka tulisan ini akan difokuskan untuk mengurai respons dan kritik Adz-Dzahabi atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

(Baca: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al Quran Seluruhnya atau Sebagian?)

Kelompok Pro

Menurut Adz-Dzahabi kedua kelompok tersebut memiliki kesalahan dalam menyimpulkan dalil. Kelompok Ibn Taimiyah yang merupakan kelompok pro terhadap pendapat bahwa Nabi menafsirkan keseluruhan al-Qur’an, dianggap telah melakukan istidlal bathil saat menjadikan Q.S. al-Nahl [16]: 44 sebagai dalil mereka. Baginya, tafsir Q.S. al-Nahl [16]: 44 adalah Nabi menjelaskan redaksi-redaksi yang musykil bagi para sahabat sehingga tidak bisa dimaknai dengan Nabi yang menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan.  

Sementara itu dalil kedua dianggap memiliki kelemahan sebab lafaz hadis itu dapat bermakna umum bahwa sahabat tidak hanya mempelajari al-Quran sampai paham isinya hanya dari Nabi saja. Mereka juga berlaku demikian tatkala belajar dengan sahabat lainnya yang lebih mumpuni. Dengan dipahami demikian maka respon ini juga mematahkan argumentasi ketiga di mana penguasaan sahabat atas al-Quran dan maknanya bisa saja tidak didapat langsung dari Nabi melainkan melalui sahabat yang telah disahkan oleh Nabi sebagai rujukan penafsiran seperti Ibn Abbas.

Kesimpulan pada dalil keempat juga dianggap keliru dalam mengambil pemahaman. Hadis yang menyatakan Nabi wafat sebelum menyampaikan tafsir ayat Riba’, tidak dapat dijadikan dasar jika pada setiap ayat yang turun Nabi selalu menjelaskannya. Adz-Dzahabi tetap berpegang pada prinsipnya bahwa Nabi hanya menafsirkan redaksi-redaksi yang dianggap musykil atau dipertanyakan oleh sahabat.

Kelompok Kontra

Hadis yang diriwayatkan Fatimah dan digunakan sebagai dalil pertama oleh kelompok ini dinilai oleh Adz-Dzahabi sebagai hadis munkar dan gharib. Penyebabnya adalah adanya seorang rawi yang bernama Muhammad ibn Ja’far al-Zubairi. Rawi ini dinilai tidak layak diikuti hadisnya oleh al-Bukhari serta dianggap munkir al-hadits oleh al-Hafidz Abul Fath al-Azdi. Status hadis ini memperlihatkan ketidaklayakan hadis ini dipakai sebagai dasar argumentasi.

Pada dalil kedua kelompok ini beranggapan bahwa Nabi hanya sedikit sekali menafsirkan al-Qur’an. Adz-Dzahabi pun menolaknya dan menyatakan bahwa banyak sekali tafsir Nabi yang dapat ditemui dalam kitab-kitab hadis. Ini menunjukkan bahwa redaksi musykil dalam pandangan sahabat tidaklah sedikit dan Nabi berkewajiban untuk memberikan penjelasannya.

Komentar terakhir dari Adz-Dzahabi bahwa ia menerima pendapat bahwa doa Nabi kepada Ibn Abbas merupakan simbol Nabi tidak menafsirkan al-Qur’an seluruhnya karena memberikan sahabatnya ruang untuk menjadi rujukan. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa Nabi sangat jarang menafsirkan al-Qur’an sebab adanya sahabat seperti Ibn Abbas. Bagaimanapun Nabi tetaplah pemegang otoritas utama penafsiran al-Qur’an pada saat itu.

Setelah merespon masing-masing pandangan, maka pendapat yang mana yang dipilih oleh Adz-Dzahabi?

Pilihan Adz-Dzahabi

Dalam urainnya, Adz-Dzahabi memilih menempatkan dirinya dalam posisi yang netral. Ia berpendapat bahwa Nabi memang tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan namun juga tidak hanya menafsirkan dalam jumlah sedikit. Hal ini baginya dapat dibuktikan dengan menelusuri banyaknya riwayat penafsiran Nabi dalam kitab-kitab hadis.

Adz-Dzahabi melanjutkan bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an disebabkan oleh adanya pembagian tersendiri dalam makna al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa, “tafsir terbagi pada empat level makna: level yang dapat diketahui oleh orang Arab sebab al-Qur’an berbahasa Arab, level yang mungkin dipahami oleh orang awam atau tidak pandai, level yang hanya dipahami Ulama dan level yang hanya diketahui oleh Allah”.

Atas dasar itulah Nabi hanya menafsirkan al-Qur’an pada redaksi yang memuat level makna ketiga ataupun yang diperkenankan Allah untuk menyampaikannya. Selain itu ada dalil lain yang diambilnya untuk menguatkan argumentasi bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an yakni perbedaan para sahabat terhadap takwil suatu ayat. Seandainya Nabi menyampaikan keseluruhan makna Al-Qur’an kepada para sahabat niscaya tidak akan didapati perselisihan di antara mereka mengenai makna ataupun takwil ayat. Wallahu a’lam

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 104-111

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 104

Kemudian diterangkan bahwa sesudah selesai pasukan Islam menunaikan ibadah salat, haruslah dia siap kembali menghadapi musuh. Jangan ada sedikit pun rasa gentar dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan bila tidak menyerang pasti diserang. Pada ayat ini sebenarnya ada perintah untuk teguh menghadapi musuh, karena semangat tempur yang lebih tinggi akan menentukan keberhasilan.

Allah memerintahkan agar pasukan Islam senantiasa bersiaga dengan tawakal pada Allah. Kesudahan suatu peperangan ialah penderitaan, dan penderitaan bukan saja bagi si penyerang bahkan juga bagi yang diserang.

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. ….” (Ali ‘Imran/3:140)

Jika musuh dapat sabar menahan derita, mengapa kaum Muslimin tidak sabar? Pasukan Islam patut lebih sabar dan lebih tabah dari orang kafir, karena mereka mempunyai harapan dari Allah yang tidak dimiliki oleh orang kafir. Allah menjanjikan kepada mujahid Islam sekurang-kurangnya memperoleh satu dari dua keberuntungan. Yaitu mereka memperoleh kemenangan dalam pertempuran atau surga bagi yang syahid.

Janji Allah ini mendorong setiap pejuang Islam untuk berjuang lebih gigih, sabar dan berani. Allah Maha Mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi agama dan bagi kaum Muslimin. Dia tidak akan memikulkan beban di luar kesanggupan mereka, karena Dia Mahabijaksana. Sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya, maka keuntungan pasti dipihak yang benar dan kehancuran pasti di pihak yang batil.

Ayat 105

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk mengadili perkara yang terjadi antara manusia berdasarkan hukum-hukum yang diajarkan Allah. Berdasarkan kitab itu, Nabi Muhammad saw memutuskan suatu perkara dengan adil. Beliau dilarang menjadi lawan dari yang benar atau kawan bagi yang salah. Ayat ini menegur Rasul karena beliau percaya begitu saja terhadap laporan Bani ¨afar dan beliau dengan segera membebaskan Tu’mah. Seolah-olah beliau menjadi pembela bagi orang-orang yang belum tentu benar.

Ayat 106

Kemudian Allah menyuruh Rasulullah saw meminta ampun kepada-Nya atas sikapnya yang lekas percaya kepada laporan satu pihak yang berperkara karena sesungguhnya Allah Mahabesar ampunan-Nya dan Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang meminta ampun.

Tindakan beliau itu bukanlah suatu kesalahan. Beliau memutuskan dengan ijtihad, dan tuduhan kepada Tu’mah tidak disertai dengan bukti-bukti, lalu beliau percaya keterangan pembelaan famili Tu’mah. Diriwayatkan dari kitab Sahih Bukhari dan Sahih  Muslim sebagai berikut:

عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ اِلَيْهِمْ فَقَالَ: أَلاَ اِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَاِنَّمَا اَقْضِي بِنَحْوِ مَا اَسْمَعُ وَلَعَلَّ اَحَدَكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَاَقْضِيْ لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَاِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا اَوْ لِيَذَرْهَا

(رواه البخاري ومسلم)

“Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah saw mendengar keributan orang-orang bertengkar di muka pintu rumahnya, lalu beliau mendatangi mereka. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia. Aku memutuskan suatu perkara sesuai dengan apa yang kudengar. Mungkin salah seorang kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain, lalu aku mengambil keputusan untuknya. Maka barang siapa aku tetapkan untuknya hak seorang Muslim, maka sesungguhnya hak itu adalah sepotong api neraka. Maka hendaklah dia memikulnya atau membuangnya.” (Riwayat al-Bukhari-Muslim).

Ayat 107

Nabi Muhammad saw dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri, seperti Tu’mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya. Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti Tu’mah yang ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.

Ayat 108

Orang yang berkhianat itu bersembunyi dari manusia sewaktu melakukan kejahatan, mungkin karena malu atau takut terhadap pembalasan. Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah dan tidak pula malu kepada-Nya dengan mengerjakan perbuatan jahat itu. Seandainya mereka memiliki iman yang kuat tentulah mereka tidak akan mengerjakannya. Orang yang beriman tidak akan jatuh ke dalam pengkhianatan kecuali karena dia lupa atau tidak sadar.

Orang yang menyadari bahwa Allah selalu melihatnya di manapun dia berada, pastilah dia tidak berbuat dosa dan tidak berbuat curang, karena malu kepada Tuhan dan takut terhadap-Nya. Allah menyaksikan sewaktu Bani Ubairik bermusyawarah di malam hari dan menetapkan keputusan rahasia, yaitu melemparkan kejahatan yang mereka perbuat kepada orang lain yang tidak berdosa.

Allah akan menjatuhkan hukuman atas mereka, karena Dia mengetahui segala perbuatan mereka. Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi tersembunyi bagi Allah betapa pun kecilnya.

Ayat 109

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang hendak membela mereka yang curang yakni Bani ¨afar dan berusaha membersihkan diri mereka dari segala tuduhan mencuri. Andaikata pembelaan mereka itu berhasil, maka siapakah yang sanggup membela mereka di hadapan Allah di hari kiamat? Bukankah waktu itu yang menjadi hakim untuk mengadili segala sengketa adalah Allah yang Maha Mengetahui segala amal perbuatan manusia? Tak seorang pun yang dapat menjadi pembela orang-orang yang bersalah di dunia dan menjadi pelindungnya pada hari kiamat.

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

(Yaitu) hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82:19)

Umat Islam haruslah menyadari bahwa keberuntungan yang diperolehnya secara curang lewat pengadilan di dunia ini akan menjadi siksaan baginya di akhirat.

Ayat 110

Ayat ini memberikan dorongan kepada mereka yang berbuat salah untuk menyadari dirinya dan kembali ke jalan yang benar, bertobat kepada Allah. Perbuatan mereka menzalimi diri sendiri dengan jalan berbuat maksiat, seperti sumpah palsu akan diampuni Allah jika mereka benar-benar minta ampun kepada-Nya.

Dalam ayat ini diterangkan bagaimana jalan keluar dari dosa sesudah terperosok ke dalamnya dan sesudah diturunkan peringatan kepada musuh-musuh kebenaran, yaitu dengan tobat dan minta ampun. Orang yang minta ampun akan mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dia akan merasakan hasil pengampunan Allah pada dirinya yaitu rasa benci kepada kemaksiatan dan penyebab-penyebabnya. Dia juga akan merasakan kasih sayang Allah kepadanya dengan tumbuhnya hasrat dalam hatinya hendak berbuat kebajikan.

Ayat 111

Kemudian ayat ini memperingatkan bencana perbuatan dosa, yaitu barang siapa mengerjakan dosa lalu mengira pekerjaan itu akan bermanfaat bagi dirinya niscaya dia mengalami hal yang sebaliknya. Pekerjaannya itu akan mengakibatkan bencana dan penderitaan bagi dirinya, sedikitpun tidak ada manfaatnya. Perbuatan yang busuk lambat atau cepat tercium oleh masyarakat. Pengadilan akan membuka kejelekannya di muka umum dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.

Inilah penghinaan atas dirinya dan penderitaan di dunia. Di akhirat dia akan mengalami lagi hukuman Allah. Allah dengan ilmu-Nya yang Mahaluas telah menetapkan perbuatan mana yang terlarang, dan dengan kebijaksanaan-Nya ditetapkan hukuman bagi pelanggaran atas perbuatan itu. Manusialah yang merusak dirinya sendiri bila ia melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan.

(Tafsir Kemenag)

Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya

0
Muharram bulan haram
Muharram bulan haram (cris foundation)

Bilangan bulan di sisi Allah terdapat dua belas bulan yang tidak dapat ditambah ataupun dikurangi. Dalam dua belas bulan tersebut, terdapat empat ‘bulan haram’ yang diagungkan. Mengapa empat bulan ini disebut ‘bulan haram’?

Dalam surat At-Taubah [9]: 36, Allah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya, bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiyaya diri kamu di dalamnya  dan perangilah orang-orang musyrik sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Lebih terperinci mengenai apa saja empat ‘bulan haram’ itu, disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim berikut

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ و الاَرْضِ، السَّنَةُ اثْناَ عَشَرَ شَهْرًا، مِنهَا اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلا َثَةٌ مُتَوَالِياَتٌ ذُوالْقَعْدَةِ و ذوالحِجَّةِ والمُحَرَّمُ ورَجَبُ مُضَرَ الذِى بَيْنَ جُماَدَى و شَعْباَنَ           

“setahun berputar sebagaimana keadaannya, sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdapat dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut; yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulannya lagi) Rajab Mudhor terletak Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Pertanyaannya kemudian, mengapa keempat bulan ini, Dzulqo’dah, Dhulhijjah, Muharram, dan Rajab yang disebutkan Oleh Rasulullah itu disebut sebagai bulan haram?

Kata ‘haram’ dalam ayat tersebut memiliki makna agung, mulia. Artinya, keempat bulan tersebut memiliki keagungan yang lebih daripada bulan lainnya. Menurut al-Qodhi Abu Ya’la; disematkan status ‘bulan haram’ setidaknya karena ada dua alasan; pertama dalam bulan-bulan agung tersebut diharamkan pembunuhan dan perbuatan keji lainya. Kedua, pada bulan tersebut diharamkan melakukan perbuatan haram, dan dianjurkan untuk lebih memperbanyak perbuatan baik, serta lebih taat dalam menjalankan perintah Allah.

Larangan menganiaya atau melakukan dosa pada empat bulan tersebut, menurut Quraish Shihab, bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Bukan seperti itu, penjelasan tersebut lebih menekankan khusus pada empat bulan yang disebutkan agar di waktu tersebut lebih banyak berbuat kebaikan. Karena, empat bulan tersebut merupakan bulan ibadah yang agung di sisi-Nya.

Sebagaimana keagungan pada tempat haram, sebut saja Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Jika seseorang mendirikan salat di Masjidil Haram maka akan mendapat ganjaran seratus ribu kali lipat dibandingkan tempat lain. Begitupun dengan salat di Masjid Nabawi, yang jika melaksanakan salat di sana akan mendapat ganjaran sepuluh ribu kali lipat daripada tempat lainnya.

Baca Juga: Islam Melarang Berperang di Bulan HaramInilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

Lanjut ke akhir ayat, mungkin akan timbul sebuah pertanyaan, mengapa di akhir ayat tersebut terdapat kalimat perintah; perangilah orang-orang musyrik sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Perang yang diperkenankan dalam akhir ayat tersebut adalah ketika kaum musyrikin terlebih dahulu menyerang, dan mencelakakan umat Islam. Karena sejatinya, perang dalam Islam yang dijelaskan dalam Alquran memiliki aturan-aturannya sendiri. Bukan lantas, memulai peperangan ketika keadaan dalam sebuah wilayah aman dan tentram.

Inilah mengapa lebih lanjut Quraish Shihab menafsirkan bahwa penggunaan kata anfusakum  dalam ayat 36 tersebut termasuk dalam larangan menganiaya pihak lain. Kata anfusakum tersebut menurutnya mengisyaratkan kesatuan kemanusiaan, yaitu ketika seseorang menganiaya orang lain sama dengan menganiaya dirinya sendiri.

Kehormatan yang dijaga dalam empat ‘bulan haram’ tersebut sama dengan kehormatan dan keagungan yang disandang manusia. Empat bulan yang ditetapkan oleh Allah sebagai bulan agung atau sebutan populer lainnya ‘bulan haram’ adalah ketetapan yang tidak dapat diubah oleh siapapun, dan tidak boleh diganti tanggal serta bulannya, baik memajukan atau mengundurkan dari waktu yang sudah Allah tetapkan.

Di bulan Muharram, pembuka awal tahun 1442 Hijriah sekaligus salah satu bulan yang dimuliakan (haram) ini, mari bersama-sama memperbanyak amal soleh, dan menjauh dari segala perbuatan yang dilarang oleh-Nya.

Wawwahu A’lam Bissowab

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

0
salat qasar di perjalanan
salat qasar di perjalanan

Dalam Islam kita mengenal salat qasar, salat yang diringkas. Sebagaimana ringkasan pada umumnya, yaitu mnyedikitkan sesuatu yang banyak, maka salat qasar pun demikian. Salat yang asal jumlah rakaatnya empat diringkas menjadi dua rakaat. Salat yang bisa diringkas di sini adalah yang kategori ruba’iyyah yakni 4 rakaat kemudian diringkas menjadi 2 rakaat. Berasal dari mana ketentuan ini? Apakah dalil salat qasar itu ada dalam Alquran? Simak lanjutan tulisan ini.

Islam telah memberikan keringanan (rukhshah) dalam melaksanakan salat bagi seorang muslim yang sedang bepergian, yaitu dengan cara meringkas (mengqasar) salatnya. Masalah ini disinggung oleh Alquran dalam surat an-Nisa’ ayat 101.

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

“Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 101)

Jika hanya bertanya tentang dalil salat qasar, maka ayat di atas adalah jawabannya. Ayat tersebut merupakan dalil kebolehan salat qasar. Namun jika ada yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang tata cara salat qasar dan apa saja syarat ketentuan pelaksanakannya, maka tengoklah hadis Nabi, kitab-kitab tafsir dan penjelasan para guru.

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat FarduApa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Pada ayat di atas, redaksi ‘jika kalian takut diserang orang-orang kafir’ menunjukkan bahwa salat qasar dilakukan saat musafir merasa khauf (takut) akan serangan musuh. Lalu apakah qasar menjadi tidak berlaku bagi musafir selainnya? Tentu saja berlaku. Al-Qurthuby dalam tafsirnya menjelaskan,

اَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ يُبِيْحُ الشَّيْءَ فِي كِتَابِهِ بِشَرْطٍ، ثُمَّ يُبِيْحُ ذَلِكَ الشَّيْءَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ الشَّرْطِ

Artinya: sesungguhnya Allah memperbolehkan suatu hal dengan adanya ketentuan dalam al-Qur’an, kemudian memperbolehkan hal yang sama tanpa ketentuan tersebut melalui sabda nabi-Nya.

Dalam hadits riwayat Umar, ia pernah bertanya pada Rasulullah tentang qashar salat dalam perjalanan yang bukan karna khauf, lalu Nabi bersabda,

(تِلْكَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ (رواه مسلم

“Qashar salat itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah tersebut.” (HR. Muslim)

Lalu, bagaimana batas jarak perjalanan hukum kebolehan mengqashar salat saat bepergian dan apa saja syaratnya?

Pertama, hukumnya boleh (jawaz). Hal ini jika jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 2 marhalah/80,640 km atau 16 farsakh/84 mil. Kedua, lebih baik (afdhal) jika perjalanan yang ditempuh telah mencapai 3 marhalah atau 120,960 km. Hukum kedua ini adalah pendapat yang diambil oleh Imam as-Syafi’i. Ketiga, berhukum wajib jika musafir tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menyempurnakan shalat (itmam).

Adapun ketentuan salat qasar sebagai berikut:

  1. Tujuan safarnya bukan untuk maksiat. Al-Baihaqi mengutip perkataan as-Syafi’i dalam ahkamul qur’an lis Syafi’i: “orang yang keluar rumah untuk membuat kerusakan, menghalangi jalan, berstatus pemberontak, budak yang kabur dari tuannya, dan lain-lain yang searti, maka ia bermaksiat.” Bahkan, as-Syafi’i menambahkan dengan: “jika orang tersebut melakukan qashar, maka ia harus mengulangi seluruh shalatnya.”
  2. Jarak minimal yang ditempuh adalah 2 marhalah atau 16 farsakh yang jika distandarkan menurut ukuran saat ini terdapat beberapa versi, salah satumya yang telah dicantumkan di atas dengan merujuk pada al-Kurdi. Sedangkan dalam al-Fiqhul Islamiy tertulis 88,704 km. Kebolehan qashar musafir ini setelah melewati batas desa (untuk desa yang ada pembatasnya) atau melewati perumahan penduduk.
  3. Salat yang diqashar adalah shalat ada’ yakni salat yang dikerjakan pada waktunya. Boleh shalat qadha’ asalkan yang terjadi dalam perjalanan, bukan dari rumah.
  4. Niat meringkas salat saat takbiratul ihram.
  5. Tidak bermakmum pada imam yang melaksanakan shalat itmam, baik imamnya berstatus musafir atau mukim.
  6. Mengetahui tentang kebolehan melakukan shalat qashar, bukan hanya sekedar mengikuti.
  7. Dilaksanakan ketika yakin bahwa dirinya masih dalam keadaan bepergian.
  8. Bepergian dengan tujuan yang jelas. Ia bukan al-Haim atau orang yang tidak jelas tujuan perginya.

Inilah beberapa penjelasan terkait dalil salat qasar, mulai hukum hingga cara dan syarat pelaksanannya. Ini dapat menjadi alternatif solusi bagi para musafir yang kesulitan melaksanakan salat dalam perjalanannya. Dengan adanya kemurahan agama ini diharapkan setiap orang dapat melakukan perjalanan dengan nyaman dan dalam waktu yang sama tidak lalai terhadap ibadah.

Wallahu A’lam