Beranda blog Halaman 534

Tiga Keutamaan Membaca Surah Al-Waqiah

0
tiga keutamaan surah al-waqiah
tiga keutamaan surah al-waqiah (alislam.id)

Banyak sekali keutamaan yang terkandung dalam Surah al-Waqiah. Bahkan Imam Nawawi dalam At-Tibyan fĭ Adabi Hamalat al-Qur’an menjelaskan mengenai keutamaan membaca beberapa surat pilihan salah satunya adalah surah al-Waqiah. Surah al-Waqiah merupakan surah ke-56, terdiri dari 96 ayat, tergolong surah Makkiyah. Secara spesifik tiga keutamaan membaca surah al-Waqiah sebagai berikut.

Mencegah Kemiskinan dan Mendatangkan Kekayaan

Dalam sebuah hadits dikatakan

وَاَخْرَجَ اِبْنُ مَرْدَوِيَّه عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, عَن رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلمَ قَالَ: ( سُوْرَةُ الْوَاقِعَةِ سُوْرَةَ الْغَنِيِّ فَاَقْرَأُوهَا وَعَلِّمُوْهَا اَوْلَادَكُمْ

“ dan diriwayatkan Ibnu Murdawiyyah dari Anas r.a, dari Rasulullah Saw bersabda: surah Al-Waqiah adalah surah kaya maka bacalah dan ajarkanlah kepada anak-anakmu”

Dan dalam riwayat yang lain juga dijelaskan

اَخْرَجَ اَبُوْ عَبِيْدَة (فِيْ فَضَائِلِ الْقُرْآنِ) وَالْحَارِثُ بْنُ اَبِيْ اُسَامَة وَ اَبُوْ يَعْلَى (فِيْ مُسْنَدُهُ) وَ اِبْنُ مَرْدَوِيَّه (فِيْ تَفْسِيْرُهُ) وَالْبَيْهَقِيْ (فِيْ شُعْبُ الْاِيْمَانِ) عَنْ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةَ كُلَّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةً

Diriwayatkan dari Abu ‘Abidah (dalam Fadhâ’il al-qur’ân) dan Harits bin Abi Usâmah dan Abu Ya’la (dalam musnadnya) dan Ibnu Mardawiyyah (dalam tafsirnya) dan Baihaqi (dalam Syu’bul iman) dari Ibnu Mas’ud r.a berkata: saya mendengar Rasulullah Saw, bersabda: barangsiapa membaca Surah Al-Waqiah setiap malam maka dia tidak akan ditimpa kepapaan.

Sejalan dengan riwayat di atas, Dalam salah satu kisah diceritakan ketika Ibnu Mas’ud akan meninggal dunia, ia ditanya oleh kerabatnya, “mengapa engkau tinggalkan putera-puteramu dalam keadaan miskin?” Ibnu Mas’ud kemudian menjawab, “ Aku tidak meninggalkan putera-puteraku dalam keadaan miskin, sebab aku telah meninggalkan kepada mereka sebuah kekayaan, dan itu adalah surah Al-Waqi’ah.” (Baca juga: Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran)

Cerita dari riwayat hadits diatas menjadi sandaran yang cukup dijadikan alasan bahwa ketika kita membaca surah Al-Waqi’ah. Insya Allah, akan terhindar dari kemiskinan dan rezekinya akan dipermudah. Sehingga menjadi asbab untuk mendatangkan kekayaan dalam kehidupan. Kekayaan itu dapat berupa kekayaan secara material maupun non-material.

Sebagaimana dijelaskan oleh Shonhaji Abdusshomad, pengasuh pondok pesantren al-Hidayah II, Pasuruan (penelitian Living Qur’an Farah Lu’luil M dan Ahmad Zainuddin, Univ Yudharta Pasuruan), beliau mengatakan

“surah Al-Waqi’ah itu banyak fadhilahnya dikitab-kitab baik dikitab ta’lim itu pada bab fĭma yajibu Rizqa. Surah Al-Waqi’ah mendatangkan rizki baik rizki dzohir maupun batin. Maksudnya rizki dzohir yaitu berupa material yang berkecukupan, maksudnya rizki batin yaitu ketenangan jiwa, membentuk karakter yang berakhlaq…” (Baca juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia)

Mempermudah Segala Urusan dan Hajat Kehidupan

Tentunya dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak masalah dan rintangan yang mempersulit segala hal yang kita upayakan. Dengan mengamalkan surah Al-Waqiah, bisa jadi segala urusan kita akan dipermudah oleh Allah Swt. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ja’far r.a dalam kitabnya Khazinatul Asrar Kubra. Beliau menjelaskan,

“Barangsiapa yang membaca surah Al-Waqiah diwaktu pagi ketika ia keluar dari rumahnya untuk bekerja ataupun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Maka Allah Swt akan mempermudah rezekinya dan menyampaikan hajatnya. Dan barang siapa yang membaca surah Al-Waqiah pada waktu pagi dan sore hari, maka ia tidak akan kelaparan dan kehausan, dan tidak akan takut terhadap orang yang akan memfitnah karena fitnahnya akan kembali pada orang tersebut.”

Menstabilkan Kesehatan Jasmani dan Rohani

Salah satu keutamaan membaca Al-Qur’an adalah berguna untuk kesehatan. Surah Al-Waqiah adalah bagian dari surah-surah yang ada dalam Al-Qur’an. Sehingga, membaca surah Al-Waqiah dapat menjadi sarana yang diniatkan untuk menstabilkan kesehatan kita. (Baca juga: Inilah Tiga Mukjizat Al-Quran)

Hal ini Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Swt pada surah Al-Isra ayat 82,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَآءُ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ ۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا

“ Dan kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”

Itulah tiga keutamaan yang bisa menjadi sandaran kita untuk mendawamkan membaca surah al-Waqiah. Dengan disertai niat yang tulus dan ikhas semoga segala apa yang kita maksudkan ketika membaca surah al-Waqiah akan dikabulkan oleh Allah swt. Amin.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 127-128

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 127

Sejarah telah melukiskan bahwa orang-orang Arab jahiliah pada masa turunnya ayat ini memandang rendah kedudukan perempuan, orang yang lemah dan anak yatim, seakan-akan mereka adalah makhluk yang tidak ada artinya, tidak dapat memiliki sesuatu pun, bahkan mereka sendiri boleh dimiliki dan diperjualbelikan sebagaimana memiliki dan memperjualbelikan barang.

Turunnya ayat-ayat pertama sampai dengan ayat 36 Surah An-Nisa’ yang memerintahkan agar menjaga hak-hak orang tersebut, mengagetkan orang-orang Arab, karena perintah itu tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan adat kebiasaan mereka. Karena itu timbullah di dalam pikiran mereka bermacam-macam pertanyaan, dan mereka ingin agar Allah segera menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu.

Karena itu turunlah ayat 127 sampai dengan ayat 130 untuk mejelaskan lagi hak-hak perempuan, orang yang lemah dan anak yatim yang telah diterangkan pada permulaan Surah ini sehingga terjawablah pertanyaan yang timbul di dalam pikiran orang-orang Arab jahiliah itu.

Para sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang perempuan, yaitu tentang hak mereka baik yang berhubungan dengan harta, hak mereka sebagai manusia, maupun hak mereka di dalam rumah tangga. Maka ayat ini menjelaskan kepada mereka tentang perempuan-perempuan itu dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam ayat-ayat yang telah diturunkan sebelum ini.

Menurut kebiasaan Arab jahiliah, seorang wali berkuasa atas anak yatim yang berada di bawah asuhan dan pemeliharaannya, serta berkuasa pula atas hartanya, seakan-akan harta itu telah menjadi miliknya. Jika anak yatim itu cantik, dinikahinya, sehingga dengan demikian harta anak yatim itu dapat dikuasainya, dan keinginan nafsunya dapat terpenuhi. Sebaliknya jika anak yatim itu tidak cantik dan ia tidak ingin menikahinya maka dihalang-halanginya nikah dengan laki-laki lain, agar harta anak yatim itu tidak lepas dari tangannya.

Demikian pula halnya orang yang lemah yang mempunyai bagian harta pusaka yang berada di bawah perwalian seseorang. Menurut adat kebiasaan Arab jahiliah, hanyalah orang laki-laki yang telah dewasa dan telah sanggup ikut pergi berperang yang berhak mendapat bagian warisan.

Sedang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan tidak berhak walaupun yang meninggal itu adalah ayah kandungnya. Yang berhak atas pusaka itu adalah walinya. Bahkan jika seorang perempuan kematian suami dan suaminya mempunyai seorang anak laki-laki yang telah dewasa, maka perempuan janda itu termasuk bagian warisan yang diperoleh putra suaminya. Karena itu janda tersebut dapat dicampuri atau dijadikan istri oleh anak tirinya.

Allah memperingatkan kaum Muslimin agar menjauhkan diri dari kebiasaan Arab jahiliah itu, hendaklah selalu berlaku adil terhadap perempuan, anak yatim dan orang yang lemah. Berikanlah kepada mereka harta dan haknya, seperti hak memilih jodoh selama yang dipilihnya itu sesuai dengan ketentuan agama dan dapat membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat, dan bergaullah dengan mereka secara baik, baik sebagai seorang istri maupun sebagai anggota masyarakat.

Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada anak yatim. Setiap kebaikan yang dilakukan terhadap mereka pasti diketahui Allah, dan pasti akan diberikan balasan dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya Allah swt mengetahui pula setiap kejahatan yang dilakukan terhadap anak yatim dan Allah akan membalasnya dengan azab yang pedih.

Di samping memberikan harta dan hak kepada anak yatim dan orang yang lemah, hendaklah kaum Muslimin berbuat kebajikan kepada anak yatim. Disamping memberikan kepada mereka hak dan hartanya, berikan pulalah kepada mereka pemberian-pemberian yang lain dan peliharalah mereka dengan baik seperti memelihara anak sendiri.

Ayat 128

Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil oleh seorang istri bila ia melihat sikap nusyuz dari suaminya, seperti tidak melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak atau disebabkan oleh salah satu pihak saja.

Jika demikian halnya, maka hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan, perdamaian di samping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika istri bersikap mengalah kepada suaminya, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.

Usaha mengadakan perdamaian yang dilakukan istri, bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat kembali kepada kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Allah. Allah berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ 

… Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. … (al-Baqarah/2:228)

Damai dalam kehidupan keluarga menjadi tujuan agama dalam mensyariatkan pernikahan. Karena itu hendaklah Muslimin menjauhkan segala macam kemungkinan yang dapat menghilangkan suasana damai dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam keluarga membuka kemungkinan terjadinya perceraian yang dibenci Allah.

Kikir termasuk tabiat manusia. Sikap kikir timbul karena manusia mementingkan dirinya sendiri, kurang memperhatikan orang lain, walaupun orang lain itu adalah istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu waspadalah terhadap sikap kikir. Hendaklah masing-masing pihak baik suami atau istri bersedia beberapa haknya dikurangi untuk menciptakan suasana damai di dalam keluarga.

Jika suami berbuat kebaikan dengan menggauli istrinya dengan baik kembali, memupuk rasa cinta dan kasih sayang, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya. Maka Allah mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.

(Tafsir Kemenag)

 

 

Tiga Makna Metode Matsal Menurut Para Ulama

0
Matsal Al Quran
Matsal Al Quran

Di antara keunikan Al Quran dalam menyampaikan pesan-pesan kehidupan, salah satunya menggunakan metode matsal (perumpamaan). Matsal menjadi salah satu gaya bahasa Alquran yang menggugah nalar manusia agar selalu berfikir secara jernih dan tepat. Tulisan ini akan mengungkap tiga makna metode matsal menurut para ulama.

Metode matsal sendiri ternyata telah memunculkan tafsir beragam di kalangan ulama atas pemaknaan matsal. Al-Suyuthi misalnya dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran membagi matsal menjadi dua bagian, yaitu amtsal al-musharrahah dan amtsal al-kaminah. Baca juga:Tiga Pendapat Status Urutan Surat dalam Al Quran

Sedangkan Manna’ al-Qathan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Quran dan Muhammad Bakar Ismail dalam Dirasat fi ‘Ulum al-Quran membagi matsal menjadi tiga macam, yaitu al-Musharrahah atau al-Qiyasiah, al-Kaminah dan al-Mursalah. Di mana penjelasan Manna al-Qathan dan Bakar Ismail akan diulas dalam tulisan ini.

Amtsal al-Musharrahah

Amtsal al-Musharrahah atau al-Qiyasiah adalah perumpamaan yang di dalamnya menggunakan lafal matsal. Atau bisa juga sesuatu yang menunjukkan kepada pengertian lafal tersebut, tasybih dengan menggunakan huruf kaf. matsal semacam ini banyak dijumpai dalam Alquran. Di antaranya Q.S. al-Baqarah [2]: 17 dan 19

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ

 اَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌۚ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِۗ وَاللّٰهُ مُحِيْطٌۢ بِالْكٰفِرِيْنَ

“Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api. Setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”

“Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir”

Kedua ayat tersebut, Allah swt membuat dua macam perumpamaan (matsal) bagi orang munafik. Yaitu (1) perumpamaan dengan nar (neraka), karena di dalam api neraka itu sendiri terdapat unsut cahaya guna menerangi. (2) perumpamaan dengan sama-i, karena air mengandung unsur-unsur dan materi kehidupan. Baca juga: Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran

Artinya kebenaran yang diturunkan oleh Allah bermaksud hendak menerangi hati mereka (orang-orang munafik) dan menghidupkannya. Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat yang masuk dalam kategori Amtsal al-Musharrahah atau al-Qiyasiah.

Amsal al-Kaminah

Amsal al-Kaminah merupakan perumpamaan yang di dalamnya tidak disebutkan secara jelas, baik lafal tamtsil (perumpamaan langsung), keadaan, sifat-sifatnya. Selain itu, tidak dijelaskan secara pasti kapan peristiwa itu terjadi. Akan tetapi ia menunjuk kepada makna tersiratnya yang memiliki diksi yang indah dan menarik.

Di antara ayat-ayat Alquran yang masuk kategori ini misalnya:

Pertama, ayat yang senada dengan ungkapan agar berbuat bijak dan sederhan, contohnya khairul umur ausatuha (sebaik-baik perkara adalah pertengahan) (hadits). Surah al-Furqan ayat 67:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar”

Kedua, ayat yang menyiratkan bahwa kebenaran suatu informasi harus diselidiki terlebih dahulu. Contoh, Surah al-Hujurat ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” 

Ketiga, ayat serupa yang menegaskan bahwa sesuatu itu akan dipertanggungjawabkan, seperti Surah al-Nisa ayat 123:

….. مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

“….Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah”

Amtsal al-Mursalah

Amtsal al-Mursalah (perumpamaan yang terlepas). Dalam artian tidak menggunakan lafal tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku atau berfungsi sebagai matsal (perumpamaan), yang di dalamnya terdapat peringatan dan pelajaran bagi manusia. Amtsal semacam ini banyak dijumpai dalam Alquran seperti Surah Ali Imran ayat 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui”

Hikmah Tiga Makna Metode Amtsal Menurut Ulama

Ketiga makna di atas menjelaskan bahwa Alquran yang berfungsi sebagai guiden book (buku panduan) bagi manusia selalu mengarahkan agar tujuan pendidikan harus sejalan dengan unsur penciptaannya yaitu jasmani, akal, dan jiwa. Oleh karenanya jika kita tilik materi pendidikan yang disajikan Alquran hampir selalu merujuk pada pendidikan jiwa, akal dan raga manusia itu sendiri. Baca juga: Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur

Metode amtsal dalam Alquran selain berisikan nasihat, peringatan dan penjelasan konsep abstrak melalui makna-makna yang konkrit sehingga mudah difahami dan direnungkan oleh manusia.

Dengan demikian, metode amtsal (perumpamaan), peserta didik khususnya dan manusia pada umumnya diajak berfikir dan merenung tentang sesuatu abstrak dengan memvisualisasikannya sehingga penyampaian materi pembelajaran lebih berkesan, lebih merasuk kepada jiwa dan raga, serta mengendap dalam relung hati manusia. Wallahu A’lam.

Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

0
Asma Putri Abu Bakar
Asma Putri Abu Bakar credit: elhaddaf.com

Asma putri Abu Bakar adalah salah satu sahabat perempuan yang ikonik. Ia memang tidak setenar adiknya, Aisyah putri Abu Bakar, namun setiap memperingati tahun baru hijriah, ibu dari sahabat Abdullah bin Zubair ini pasti akan selalu disebut. Ia menjadi ikon perempuan yang berjasa dalam peristiwa hijrah. Ada keterkaitan apa antara Asma’ putri Abu Bakar dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah? Mari kita ketahui lebih lanjut.

Quraish Shihab di suatu kesempatan menyampaikan bahwa salah satu nilai atau pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah adalah pentingnya melibatkan semua pihak dalam membangun suatu peradaban, termasuk perempuan. Hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah adalah upaya membangun suatu peradaban besar yang nantinya akan dinikmati oleh semua umat manusia sebagai rahmat lil alamin. Sebagai bagian dari umat manusia, sudah tentu perempuan harus terlibat di dalamnya.

Baca Juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran

Dikisahkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. hendak berangkat ke Madinah bersama Abu Bakar setelah tiga malam berada di gua Tsaur, Asma’ putri Abu Bakar datang membawa bekal perjalanan, tetapi saat bekal akan digantung di unta, dia tidak membawa tali pengikat, maka dengan cermat dia memotong tali ikat pinggangnya, membaginya jadi dua, satu digunakan untuk mengikat bekal dan satu lainnya digunakan sendiri untuk mengikat pinggangnya kembali. Oleh karena kejadian ini, kakak Aisyah ini mendapat gelar dazt an-nithaqain (pemilik/pengguna dua ikat pinggang). Keterangan ini juga dibagi oleh Quraish Shihab di bukunya, Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih.

Jika mengingat perencanaan perjalanan hijrah ini sangat rapi dan juga hati-hati, karena harus melawan strategi licik kafir Quraisy, maka keberhasilan Asma’ mengantarkan bekal untuk Nabi dan ayahnya tersebut merupakan hasil dari perjuangan yang tidak mudah, butuh keberanian, tekat dan keimanan yang kuat untuk menunaikan misi ini, terlebih ia adalah seorang perempuan. Meskipun demikian, penulis belum menemukan penjelasan lebih rinci tentang lika-liku perjalanan Asma’ hingga berhasil menemui dua orang istimewa tersebut.

Sebelum mengantar bekal, diceritakan pula bahwa ketika tokoh-tokoh kaum musyrik mencari Nabi Muhammad saw. ke rumah Abu Bakar, Asma’ yang dijumpai di situ tidak memberikan informasi apapun kepada mereka. Abu Jahal yang sangat kesal saat itu, menampar Asma’ sehingga anting yang dipakainya jatuh. Ini tentu menjadi bagian dari cerita perjalanan hijrah Nabi yang juga tidak dapat dilupakan.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Asma Putri Abu Bakar dan Aktifitas Penafsiran

Abdul ‘Al dalam risetnya yang berjudul al-Mufassirun Min As-Sahabat menyebut nama Asma’ bint Abu Bakar dalam deretan mufassir dari kalangan sahabat. Di situ juga disampaikan sedikit biografi dari mufassirah tersebut.

Namanya Asma’, putri dari Abu Bakar, sahabat senior dan salah satu dari Khulafaur Rasyidin. Ibunya bernama Qutailah bint Abdul ‘Uzza. Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, kemudian mempunyai anak bernama Abdullah bin Zubair, sahabat yang juga mufassir. Oleh karena itu, ia juga dipanggil dengan sebutan Ummu Abdillah. Ia merupakan kakak perempuan dari salah satu perempuan yang sangat berpengaruh dalam Islam, yaitu Aisyah. Dilihat dari silsilah keluarganya, Asma’ dikelilingi orang-orang yang ikonik dalam sejarah dakwah Islam. Ia pun bukan perempuan biasa, ini terbukti dari keterlibatannya dalam peristiwa awal upaya pembangunan perdaban Islam, yaitu hijrah Nabi ke Madinah.

Asma’ lahir sepuluh tahun sebelum risalah kenabian Muhammad turun. Menurut sebuah keterangan, ia orang ke 17 dari golongan orang-orang pertama yang masuk Islam. Setelah Zubair menceraikannya, Asma’ di masa tuanya tinggal bersama putranya, Abdullah bin Zubair. Ia diberi anugerah umur yang sangat panjang, dikatakan bahwa umurnya mencapai 100 tahun, ia merupakan sahabat muhajirah terakhir yang meninggal. Ia meninggal pada tahun 73 Hijriyah di Makkah, selang beberapa hari setelah putranya, Abdullah bin Zubair terbunuh.

Tentang kepribadiannya, ummu Abdillah ini dikenal sebagai perempuan yang sangat menjaga kehormatannya, sangat dermawan juga sangat rajin ibadahnya. Bahkan di usia lanjutnya, di saat kesehatannya sudah lemah ditambah penglihatannya yang sudah tidak berfungsi, ia masih memikirkan para budaknya, dan ia memerdekakan mereka semua. Putranya, Abdullah pernah berujar ‘tidak ada perempuan yang lebih dermawan dan lebih murah hati daripada Aisyah dan ibunya, Asma’; jika Aisyah masih menyisakan sesuatu yang ia miliki di tempatnya masing-masing, maka Asma’ sama sekali tidak menyisakan satu apapun untuk hari esok’.

Sementara itu, terkait aktifitas penafsiran. Asma’ putri Abu Bakar menerima beberapa riwayat dari Nabi dan Aisyah, sementara informasi darinya antara lain diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Waqid Al-Laitsy, Sofiyah bint Syaibah, Abdullah bin Zubair (putranya) dan yang lainnya.

Asma’ putri Abu Bakar ini juga tercatat berkaitan erat dengan perihal turunnya ayat 8 surat Al-Mumtahanah. Dinukil dari tasfir AT-Tabari bahwa ibu Asma’ (Qutailah) yang ketika itu masih belum masuk Islam berkunjung ke rumah putrinya dengan membawa beberapa hadiah untuknya, tetapi Asma’ tidak mau menerimanya, bahkan juga tidak mau bertemu dengan ibunya. Kemudian dia bertanya kepada adiknya, Aisyah tentang hal tersebut. Aisyah menyampaikannya kepada Nabi dan Allah merespon melalui surat Al-Mumtahanah ayat 8.

Selain itu, Asma’ juga salah satu periwayat dari riwayat sabab nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 199. Ia meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wukufnya orang-orang Quraisy di Muzdalifah, karena menolak wukuf di Arafah, sedangkan suku-suku yang lain tetap wukuf di Arafah kecuali Syaibah bin Rabi’ah. Satu lagi riwayat tafsiriyah dari Asma’, yaitu surat Al-Lahab ayat 1.

Asma putri Abu Bakar adalah teladan bagi kita semua, perjuangan dan pengorbanannya, utamanya dalam mendukung hijrahnya Nabi ke Madinah menunjukkan bahwa pernah ada dalam sejarah bahwa perempuan menjadi bagian dari aktor lahirnya sebuah peradaban besar, yaitu Islam. Semoga kita semua bisa meneladani sayyidah Asma’ dan pastinya meneruskan perjuangannya. Laha wa lana Al-Fatihah.

Asal-Usul Kata Amin Menurut Pandangan Islam

0
asal usul amin

Asal-usul kata Amin menurut pandangan Islam ternyata masih ditemukan perselisihan. Begitu sering kita mendengar umat Muslim mengucapkan kata “amin”. Salah satu fungsi dari kata amin yaitu diucapkan setelah berdoa.

Menurut Quraish Shihab, pada umumnya kata ini diperselisihkan asal-usulnya. Ada yang mengatakan bahwa asal-usul kata amin berasal dari bahasa Arab. Kemudian sebagian Ulama menganggap asal-usul kata amin berasal dari serapan lain. Anggapan itu berdasarkan kaidah bahasa arab yang menyatakan bahwa sebuah kata bisa dibentuk dengan aneka bentuk antara lain memiliki kata kerja.


Baca Juga: Kepada Semua Yang Ingin Mempelajari Al Quran


Sedangkan, kata amin tidak dikenal dengan kata kerjanya. Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan memberikan sebuah contoh surat dalam al Quran yang memiliki redaksi kata amin.

Pertama, surat al-Maidah Ayat 2

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.

Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.  Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah amatlah pedih.

Kedua, Surat Yusuf Ayat 54.

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

Artinya: “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”.

Kedua ayat di atas memang memiliki kata amin pengucapan yang sama, namun dilihat dari maknanya sangat jauh dengan makna amin yang diucapkan setelah selesai berdoa.

Makna amin yang pertama memiliki arti orang-orang yang mengunjungi Baitullah. Sedangkan makna amin pada ayat kedua diartikan sosok yang dipercayai. Jelaslah keduanya tidak masuk dalam makna amin yang sebagaimana dijelaskan.

Kata Amin Dipakai Semua Agama

Quraish Shihab menegaskan dalam bukunya Kosakata Keagamaan bahwa asal-usul kata amin diambil dari bahasa non arab yang kemudian ia terserap dalam bahasa Arab. Hal ini karena kata “amin” sering diucapkan oleh kalangan non muslim.

Redaksi kata “amin” dikenal dan diucapkan oleh para penganut agama Yahudi dan Nasrani bahkan ditemukan dalam beberapa naskah kitab suci mereka. Pelu diketahui juga, dari sekian redaksi hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat diperintahkan untuk mengucapkan amin setelah memanjatkan dan mengucapkan doa dari orang lain.

Bahkan, jika ada seseorang yang menjawab kata amin setelah  dipanjatkannya doa, meskipun ia tidak berdoa, seseorang itu telah dinilai ikut berdoa. Hal ini selaras dengan al-Quran surat Yunus (10):88-89 berbunyi:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (88) قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (89)

Artinya: “Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau.

Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”., Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”.

Dua ayat diatas diuraikan bahwa Nabi musa telah berdoa kepada Allah Swt dan dinyatakan bahwa doa keduanya (Nabi Musa dan Nabi Harun) telah diterima oleh Allah padahal dalam ayat tersebut hanya Nabi Musa sendiri yang berdoa.


Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 164: Apakah Benar Jumlah Nabi ada 25?


Ini disebabkan karena kendati Nabi Harun tidak melakukann doa yang sama dengan Musa, melainkan ia menyetujui dan mengaminkan doa yang telah dipanjat oleh Nabi Musa AS.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya an-Tibyan Fi Adabi Hamalati al-Quran mengungkapkan bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang makna “amin”.

6 makna “amin” diantaranya:

  1. “Yaa Allah perkenankanlah!”, pendapat ini dipegang oleh mayoritas Ulama
  2. “Yaa Allah! Lakukanlah!”
  3. “Demikian itu Yaa Allah. Semoga Engkau mengabulkannya.”
  4. “Jangan kecewakan kami,Yaa Allah!”
  5. Amin adalah salah satu nama Allah Swt.
  6. Amin berfungsi sebagai stempel bagi sebuah do’a.

Dengan begitu, meskipun makna dari kata amin dalam al Quran tidak selaras dengan makna “amin” yang telah dipaparkan, namun dianjurkan untuk mengucapkannya. Kita dianjurkan untuk meneladani dan mengikuti tuntunan Rasulullah Saw dalam shalat maupun sebaliknya.

Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah

0
puasa asyura bentuk rasa syukur
puasa asyura bentuk rasa syukur (kaltim.tribunnews.com)

Puasa Asyura merupakan puasa yang dilakukan pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Hari ini mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain, karena di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa agung bersejarah yang patut diperingati sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt.

Muharam sendiri merupakan bulan yang mulia. Bahkan bulan yang paling utama diantara Asyhurul Hurum (bulan-bulan mulia), yakni rajab, dzulqa’dah, dzulhijjah dan Muharram. Para ulama sangat menganjurkan untuk memperbanyak amal saleh di bulan-bulan tersebut, dan pahala amal akan dilipatgandakan.

Di antara peristiwa tersebut adalah keselamatan Musa, as. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Peristiwa ini diabadikan dalan (QS. al-Baqarah [2]: 50)

وَاِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَاَنْجَيْنٰكُمْ وَاَغْرَقْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 50)

Peristiwa lainya adalah diterimanya taubat Adam as. (QS. al-Baqarah [2]:37), berlabuhnya bahtera Nuh as. setelah terjadi banjir bandang selama enam bulan (QS. al-Ankabut [29]: 15), diterimanya taubat umat nabi Yunus as. (QS. Yunus [10]: 98) dan terbebasnya Yunus as. dari perut ikan, dikeluarkannya  Yusuf as. dari sumur, dikembalikannya penglihatan Ya’qub as. sehingga dapat melihat seperti semula, selamatnya Ibrahim as. dari api Namrud. (Nihayatuz Zain, juz 1 hlm. 196-197).

Ketika menafsiri ayat di atas, Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa hari diselamatkannya Musa as. dan kaumnya adalah hari ‘Asyura. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: setibanya Rasulullah saw. di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa di hari Asyura. Lalu bertanya, kalian sedang puasa hari apa? (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Mereka menjawab, ini adalah hari yang baik, yaitu hari dimana Allah swt.menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka di hari ini Musa as. berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah swt. lalu Rasulullah saw. berkata: kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Kemudian beliau perpuasa, dan memerintah untuk perpuasa. (Ibnu Katsir, jilid 1, hlm. 63).

Pada ayat di atas, Az-Zuhaili dalam tafsirnya menyebutkan tentang alasan puasa di hari Asyura,

وكان الإنجاء عيدا، مستوجبا شكر الإله، وصار يوم عاشوراء وهو اليوم العاشر من شهر المحرّم يوم صيام الشكر

“Dan hari keselamatan (dari kejaran fir’aun) ialah hari Ied (kebahagiaan), yang semestinya dibalas dengan rasa syukur kepada Tuhan. Dan hari Asyura (hari ke 10 dari bulan Muharram) menjadi hari puasa untuk syukur. (Tafsir al-Munir)

Makna Syukur dan Hikmahnya

Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyebutkan maksud syukur kepada Allah swt., yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Dalam konteks ini, Implementasi bersyukur atas suatu karunia telah dipraktikkan Musa as. ketika selamat dari Fir’aun, dan Nuh as. ketika selamat dari banjir bandang, keduanya berpuasa pada hari Asyura.  Begitu pula Rasulullah saw. mensyukuri hari tersebut dengan puasa. (Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus)

Maka sudah sepantasnya kita menjadikan utusan-utusan Allah sebagai suri tauladan dalam mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, agar yang dikaruniakan tidak berganti adzab. Allah swt. telah berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Ayat di atas merupakan kabar gembira bagi orang yang mensyukuri atas nikmat-nikmat-Nya, juga merupakan warning bagi yang mengkufurinya. Termasuk hikmah bersyukur adalah terjaganya nikmat yang telah dikaruniakan.

Ibnu Athaillah berpesan dalam kitabnya al-Hikam: “Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan, berarti ia telah berusaha untuk menghilangkan nikmat itu. Dan barangsiapa mensyukuri nikmat, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kuat.”  Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 125-126

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 125

Tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya dari orang yang melakukan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ada tiga macam ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan ketinggian suatu agama dan keadaan pemeluknya, yaitu:

  1. Menyerahkan diri hanya kepada Allah,
  2. Berbuat kebaikan, dan
  3. Mengikuti agama Ibrahim yang hanif.

Seseorang dikatakan menyerahkan diri kepada Allah, jika ia menyerahkan seluruh jiwa dan raganya serta seluruh kehidupannya hanya kepada Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Karena itu ia hanya berdoa, memohon, meminta pertolongan dan merasa dirinya terikat hanya kepada Allah saja.

Ia langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada sesuatu pun yang menghalanginya. Untuk mencapai yang demikian seseorang harus mengetahui dan mempelajari sunah Rasul dan sunatullah yang berlaku di alam ini, kemudian diamalkannya karena semata-mata mencari keridaan Allah.

Jika seseorang benar-benar menyerahkan diri kepada Allah, maka ia akan melihat dan merasakan sesuatu pada waktu melaksanakan ibadahnya, sebagaimana yang dilukiskan Rasulullah saw:

قَالَ يَا رَسُوْلُ الله مَا اْلاِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ الله َكَأَنَّكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ

(رواه البخاري عن أبي هريرة)

Jibril bertanya ya Rasulullah, “Apakah ihsan itu?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (Riwayat al-Bukhār³ dari Abu Hurairah)

Mengerjakan kebaikan adalah manifestasi dari pada berserah diri kepada Allah. Makin sempurna penyerahan diri seseorang, makin baik dan sempurna pula amal yang dikerjakannya. Di samping mengerjakan yang diwajibkan, seseorang sebaiknya melengkapi dengan yang sunah dengan sempurna, sesuai dengan kesanggupannya.

Mengikuti agama Ibrahim yang ¥an³f ialah mengikuti agama Ibrahim yang lurus yang percaya kepada keesaan Allah, yaitu kepercayaan yang benar dan lurus. Allah berfirman:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖٓ اِنَّنِيْ بَرَاۤءٌ مِّمَّا تَعْبُدُوْنَۙ  ٢٦  اِلَّا الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَاِنَّهٗ سَيَهْدِيْنِ   ٢٧  وَجَعَلَهَا كَلِمَةً ۢ بَاقِيَةً فِيْ عَقِبِهٖ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَۗ   ٢٨

Ayat 126

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,(27) kecuali (kamu menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (28) Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (az-Zukhruf/43:26-28)

Sekalipun ada perintah agar mengikuti agama Ibrahim, bukanlah berarti bahwa Ibrahim-lah yang pertama kali membawa kepercayaan tauhid, dan agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya tidak berasaskan tauhid. Maksud perintah mengikuti agama Nabi Ibrahim ialah untuk menarik perhatian bangsa Arab, sebagai bangsa yang pertama kali menerima seruan agama Islam. Ibrahim a.s. dan Ismail adalah nenek moyang bangsa Arab.

Orang Arab waktu itu amat senang mendengar perkataan yang menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut agama Nabi Ibrahim, sekalipun mereka telah menjadi penyembah berhala. Dengan menghubungkan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim akan menarik hati dan menyadarkan orang Arab yang selama ini telah mengikuti jalan yang sesat.

۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى

Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa … (asy-Syµra/42:13)

Agama yang dibawa Nabi Muhammad bukan saja sesuai dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, tetapi juga berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa yang diutus sesudah Nabi Ibrahim. Demikian pula agama Islam berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah terdahulu.

Perintah mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim di sini adalah karena kehidupan Ibrahim dan putranya Ismail dapat dijadikan teladan yang baik serta mengingatkan kepada pengorbanan yang telah dilakukannya dalam menyiarkan agama Allah. Hal ini dapat pula dijadikan iktibar oleh kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir yang selalu berusaha menghancurkan Islam dan Muslimin.

Ibrahim telah menjadi kesayangan Allah, karena kekuatan iman, ketinggian budi pekertinya dan keikhlasan serta pengorbanannya dalam menegakkan agama Allah. Seakan-akan Allah menyatakan bahwa orang yang mengikuti jejak dan langkah Nabi Ibrahim dan hal ini tampak dalam tingkah laku dan budi pekertinya, berhak menamakan dirinya sebagai pengikut Ibrahim.

Bukan seperti orang Yahudi, Nasrani dan orang musyrik Mekah yang mengaku sebagai pengikut Nabi Ibrahim, tetapi mereka tidak mengikuti agama yang dibawanya dan tidak pula mencontoh budi pekertinya.

(126) Ayat ini menegaskan tentang kekuasaan Allah atas alam semesta, sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Ayat ini merupakan penutup dari ayat-ayat yang sebelumnya, dan mengandung beberapa hikmah:

  1. Untuk mengingatkan bahwa Allah Mahakuasa, pemilik seluruh alam, karena itu Dia pasti menepati janjinya yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu.
  2. Untuk menerangkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk berserah diri, mohon pertolongan, mengemukakan harapan, bukan kepada yang lain, karena yang selain Allah adalah milik-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
  3. Untuk menjelaskan maksud perkataan Ibrahim Khalilullah (Ibrahim kesayangan Allah), dengan adanya ayat ini jelaslah bahwa Ibrahim itu bukanlah teman Allah, seperti anggapan sebagian Ahli Kitab, tetapi hamba kesayangan-Nya, karena ia tunduk dan berserah diri kepada Allah, selalu berkorban dan berbuat baik. Ibrahim adalah milik Allah, seperti makhluk yang lain, bukanlah orang yang berserikat dengan Allah dalam memiliki alam ini.

(Tafsir Kemenag)

Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

0
Abdullah Ibn Abbas
Abdullah Ibn Abbas credit: www.alkawthartv.com

Setelah membahas sedikit pengantar mengenai aktivitas penafsiran di era Sahabat, kali ini kita akan membahas masing-masing penafsir yang terkenal dan dijadikan rujukan. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa ada 10 orang sahabat yang paling terkenal di era ini sebagai rujukan utama penafsiran. Salah satu dari 10 sahabat tersebut ialah Abdullah Ibn Abbas.

(BacaJuga: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?)

Sekilas Tentang Ibn Abbas

Nama lengkapnya ialah Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Sejak kecil ia telah istimewa. Ia lahir saat Rasulullah serta keluarganya sedang berada di Mekkah dan waktu itu sekitar 13 tahun sebelum Hijriyyah. Sebagai bagian dari ahlu bait, Rasulullah pun mendatanginya serta men-tahniknya langsung. Adanya faktor kekerabatan dengan Rasulullah juga membuatnya dapat ber-mulazamah langsung dengan Rasul sejak kecil.

Pada saat Rasulullah wafat, ia baru menginjak usia remaja. Dikatakan bahwa umurnya pada saat itu sekitar 13-15 tahun. Maka kemudian ia pun ber-mulazamah dengan para pembesar di kalangan sahabat dan banyak mengambil ilmu serta riwayat-riwayat hadis dari mereka.

Ia pun  wafat dan dimakamkan di Thaif dan usianya saat itu dikatakan sekitar 68-70 tahun. Selepas dimakamkan, ada sebuah ungkapan yang mempersaksikan tingginya derajat ilmu Ibn Abbas, “Demi Allah telah wafat tinta (ilmu) umat ini”.

Level Keilmuan

Sebab tingginya level keilmuannya, Abdullah Ibn Abbas mendapat laqob  al-habr (tinta ilmu) dan al-bahr (lautan ilmu). Dalam majlis Ibn Abbas, Umar ibn Khattab dan para sahabat memujinya dengan berbagai pujian. Mulai dari fisik, etika, keilmuan hingga keluhuran batinnya. Umar ibn Khattab juga tak jarang meminta nasihat dari Ibn Abbas tatkala mendapati masalah yang susah untuk dipecahkan.

Ada beberapa hal yang dikatakan menjadi penyebab kecerdasan Ibn Abbas. Pertama, doa yang diberikan Rasul kepadanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa doa yang dimohonkan langsung oleh Nabi untuk Ibn Abbas telah menjadikannya sosok yang faqih dalam urusan agama serta memahami takwil dari ayat-ayat al-Qur’an.

Kedua, Ibn Abbas tumbuh dan berkembang di lingkungan terdekat dengan Rasulullah. Sebagai bagian dari ahlu bait Rasulullah, Ibn Abbas memiliki akses yang lebih mudah untuk ber-mulazamah dengan Rasul. Dari sanalah ia mendapati banyak kisah serta konteks yang membersamai turunnya ayat. Sebagaimana yang dikatan oleh al-Wahidi bahwa pengetahuan mengenai kisah dan konteks yang mengiringi ayat (asbab al-nuzul) sangat berpengaruh terhadap ketepatan dalam memahami ayat.

Ketiga, ber-mulazamah dengan para pembesar sahabat setelah wafatnya Nabi. Melalui para sahabat ini, Ibn Abbas mendapatkan banyak ilmu yang ia belum dapati selama bersama Nabi. Dalam sebuah riwayat, Ibn Abbas berbicara tentang dirinya yang tidak sungkan serta tetap menjaga adab dalam meminta ilmu kepada para sahabat.

Keempat, kemapanan penguasaan bahasa Arab. Ibn Abbas dikenal sebagai sahabat yang memahami seluk-beluk bahasa Arab secara komprehensif. Mulai dari struktur/ uslub, lafaz gharib, sastra serta syair-syair Arab. Penguasaan bahasa yang komprehensif memperkaya pemahamannya dalam memaknai al-Qur’an. Kelima, telah sampai pada level mujtahid serta berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya sebagai kebenaran.

Hal Menarik Seputar Ibn Abbas

Ada salah satu hal menarik yang bisa didiskusikan mengenai Ibn Abbas yakni benarkah Ibn Abbas gemar mengambil informasi dari ahli Kitab dalam menafsirkan al-Quran?

Selain dengan tafsir Nabi, kemudian ijtihad dengan berbagai ilmu seperti asbab al-nuzul serta faktor eksternal seperti ilham, Ibn Abbas juga dikatakan kerapkali mengutip informasi dari ahlu kitab dalam menafsirkan al-Qur’an. Terkhusus pada ayat-ayat mujmal yang didapati tafshil­-nya dalam Taurah maupun Injil.

Maka sebenarnya bagaimana sikap Ibn Abbas terhadap informasi dari ahlu Kitab? Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa baik Ibn Abbas maupun sahabat lainnya memang dahulu seringkali bertanya kepada para Ulama Yahudi yang mengakui Islam sebagai agama. Akan tetapi mereka tidak menanyakan hal-hal yang menyentuh Aqidah.

Adapun hal-hal yang dipertanyakan adalah mengenai kisah-kisah serta khabar-khabar masa lampau. Informasi itupun tidak langsung diterima begitu saja melainkan difilter terlebih dahulu. Maka informasi-informasi yang diterima itulah yang dijadikan sebagai tambahan referensi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang harus dipahami melalui jalur ijtihad sebab ketiadaannya riwayat tafsir Nabi.

Diskursus menarik seputar Abdullah Ibn Abbas ini menjadi inspirasi dalam melakukan penelitian. Di mana penggunaan riwayat-riwayat Israiliyyah dalam penelitian dapat dibenarkan untuk mendapatkan rekonstruksi konteks yang lebih komprehensif khususnya dalam kajian yang menjadikan konteks historis sebagai elemen penting, seperti dalam memahami ayat eticho-legal. Namun juga tetap melakukan filterisasi agar terhindar dari informasi yang mungkin menyebabkan keraguan dalam aqidah serta kesalahan dalam memahami redaksi ayat al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 123-124

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 123

Tidak ada keistimewaan bagi seseorang, kecuali dengan amal baktinya dan tidak mungkin ia luput dari azab Allah dan mustahil ia masuk surga semata-mata dengan mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling baik dan sempurna, serta nabi-nabi dan rasul-rasul yang mereka ikuti adalah yang paling tinggi derajatnya dalam pandangan Allah, seperti yang dikatakan Ahli Kitab itu.

Hendaklah orang yang beriman mengerjakan amal yang saleh, melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya karena pahala itu diberikan Allah berdasarkan amal yang dilakukan dengan ikhlas, bukan berdasarkan perkataan dan angan-angan kosong. Allah mendatangkan agama bukan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga dengan agama itu, tetapi agama didatangkan untuk diamalkan dan dilaksanakan.

Di antara sebab yang menimbulkan salah sangka dan angan-angan yang demikian, ialah karena kesalahan manusia dalam memahami agama atau mereka sengaja berbuat demikian agar dianggap lebih tinggi dari umat atau bangsa yang lain, karena Allah mengangkat nabi-nabi atau rasul-rasul dari bangsa-bangsa mereka.

Dengan kemuliaan dan kemaksuman (terpelihara dari dosa) nabi-nabi dan rasul-rasul itu, mereka merasa telah mendapatkan kemuliaan dan terpelihara pula dari azab Allah. Karena itu menurut anggapan mereka, mereka akan masuk surga dan terlepas dari siksa neraka, tanpa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Persangkaan dan angan-angan kosong yang demikian telah menjalar pula di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Sikap yang demikian telah dinyatakan pula oleh Ahli Kitab, sebagaimana tersebut dalam ayat lain:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصٰرٰى نَحْنُ اَبْنٰۤؤُا اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗ

Orang Yahudi dan Nasrani berkata, ”Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” … (al-Ma’idah/5:18)

;وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً

Dan mereka berkata, ”Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” … (al-Baqarah/2:80)

Setiap kejahatan yang dilakukan manusia, akan dibalas Allah, karena segala macam perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seseorang, tanggung jawabnya dipikul oleh orang yang mengerjakannya, tidak dipikul oleh orang lain. Karena itu orang yang benar-benar beriman hendaklah meneliti dan memperhitungkan setiap pekerjaan yang akan dikerjakannya, sehingga sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Zuhair, bahwa pada waktu turunnya ayat ini Abu Bakar sangat memperhatikannya dan merasa khawatir. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah saw, “Siapakah yang selamat berhubungan dengan ini ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Apakah kamu tidak pernah susah, apakah kamu tidak pernah sakit, dan apakah malapetaka tidak pernah menimpamu?” Abu Bakar menjawab, “Pernah ya Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Itulah dia (pembalasan dari kesalahanmu).”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini kaum Muslimin merasa berat dan sampailah kepada mereka apa yang dikehendaki Allah,” maka mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Rasulullah menjawab, ”Ambillah tempat olehmu dan saling mendekatlah, sesungguhnya setiap musibah yang menimpa manusia itu adalah sebagai tebusan (bagi perbuatannya) sampai kepada duri yang menusuknya dan musibah yang menimpanya.”

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa segala musibah yang menimpa manusia baik kecil maupun besar, sedikit atau banyak adalah sebagai balasan dari kelalaian, kesalahan dan perbuatan buruk yang telah dilakukannya, karena mereka tidak lagi berjalan mengikuti sunatullah. Allah berfirman:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (asy-Syµra/42:30)

Sebagian mufasir berpendapat bahwa musibah yang menimpa manusia di dunia ini tidak dapat menghapus azab di akhirat, kecuali bila yang ditimpa musibah itu berusaha menghapus kesalahan dan tindakan buruknya dengan amal yang saleh, dengan menguatkan imannya, dengan meninggalkan perbuatan jahat dan bertobat selama ia hidup di dunia. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang mengerjakan kejahatan pasti mendapat azab dari Allah dan ia tidak mempunyai penolong dan pelindung selain Allah untuk menghindarkan diri dari azab itu, dan setan yang menjanjikan perlindungan dan pertolongan itu tidak kuasa menenepati janjinya.

Ayat 124

Orang yang beramal saleh dan membersihkan dirinya sesuai dengan kesanggupannya, memperbaiki budi pekertinya, memperbaiki hubungannya dengan orang lain dalam pergaulannya di masyarakat dan orang yang tidak mau mengikuti tipu daya setan, Allah berjanji membalas kebaikan mereka dengan balasan yang sempurna dengan menyediakan surga bagi mereka, dan Allah tidak akan mengurangi pahala amalan mereka walau sedikit pun.

Ayat ini merupakan peringatan dan pelajaran bagi kaum Muslimin bahwa manusia tidak dapat menggantungkan harapan dan cita-citanya semata-mata kepada angan-angan dan khayalan belaka, tetapi hendaklah berdasarkan usaha dan perbuatan. Orang yang berbangga-bangga dengan keturunan dan bangsa mereka adalah orang yang sesat, tidak akan mencapai apa yang dicita-citakannya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

0
menunaikan zakat
menunaikan zakat

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah zakat. Secara bahasa, zakat berarti bersih, suci dan baik. Sedangkan jika ditinjau dari istilah fiqih, zakat adalah harta tertentu yang wajib diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Perintah kewajiban zakat ini bisa kita temukan di beberapa ayat dalam Alquran, seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 43 yang berbunyi:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ  

“Dririkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Rasulullah saw. juga menegaskannya dalam sebuah hadis:

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقَامِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَان 

“Islam dibangun di atas lima hal: kesaksian sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim)

Dua dalil otoritatif di atas menjadi dasar yang kuat tentang kewajiban zakat. Berdasar hadis Nabi itu pula zakat menjadi salah satu rukun Islam. Zakat wajib ditunaikan oleh orang Islam yang sudah memenuhi persyaratan. Seperti apa teknis menunaikan zakat?

Dalam tafsir al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, dikatakan bahwa jika zakat hanya diartikan sebagai tindakan mengeluarkan bagian dari harta tertentu maka definisi tersebut dirasa masih kurang sempurna. Zakat itu tidak sekadar memberikan bagian harta yang dimiliki sehingga berkurang, melainkan zakat adalah bentuk pengembangan harta secara positif serta manifestasi akhirat bagi pemiliknya. Ini yang kemudian diistilahkan Al-Qurtubi dalam tafsirnya dengan yanmu bil barakah aw bil ajril ladzi yutsabu bihil muzakki.

Selain itu, penting juga diketahui bahwa zakat adalah bentuk pembersihan dan penyucian harta yang dimiliki oleh seseorang, sebagaimana disinggung dalam surat At-Taubah [9] ayat 103. Ini sejalan dengan arti zakat secara bahasa, yaitu bersih, suci dan baik. Untuk itu, agar yang dimiliki itu bersih, baik dan juga barakah, bernilai pahala juga bagi pemiliknya, maka tunaikanlah zakat!

Sesuai jenisnya, zakat terbagi menjadi dua: zakat mal dan zakat fitrah. Terdapat tiga komponen utama yang harus dipenuhi agar zakat bisa dilaksanakan sesuai dengan prosedur, yaitu ada harta yang dizakati, orang yang memberi zakat (muzakki) dan golongan penerima zakat (mustahiq).

Pertama, harta yang wajib dizakati. Dalam literatur fiqih, ada 5 jenis harta yang berkewajiban untuk dizakati: al-mawasyi (binatang ternak) berupa kambing, sapi dan unta, az-zuru’ (hasil pertanian) yang lebih khusus pada bahan makanan pokok, ats-atsman (barang berharga) yang dikhususkan pada emas dan perak, buah-buahan, dan barang dagangan, dan baru-baru ini ada zakat profesi (penghasilan)

Kedua, muzakki. Ia harus beragama Islam, merdeka, dan memiliki harta yang terhindar dari hutang. Harta yang wajib dizakati harus mencapai pada nishab (batas minimal kadar harta yang wajib zakat). Kadar harta tersebut setelah dikurangi dengan pengeluaran biaya hidupnya serta orang-orang yang berada dalam tanggungannya.

Ketiga, orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiqqun). Hal ini telah disebutkan secara jelas dalam Alquran. Allah berfirman dalam surat At-Taubah [9]: 60

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Berikut penjelasan tentang delapan orang yang berhak menerima zakat:

  1. Fakir, mereka adalah orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tanggungannya.
  2. Miskin, orang yang memiliki harta atau pekerjaan tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhannya.
  3. Amil adalah panitia penerima dan pengelola dana zakat.
  4. Muallaf, merupakan orang yang dianggap masih lemah imannya karena baru masuk Islam.
  5. Riqab yaitu hamba sahaya atau budak.
  6. Gharim, yakni orang yang memiliki hutang, menanggung hutang, dan tidak sanggup membayarnya.
  7. Sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah)
  8. Ibn Sabil, orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan, musafir, dan para pelajar perantauan.

Perlu kita tahu bahwa sifat kewajiban zakat adalah ma’lum minad din bid dharuriy (ajaran agama yang telah diketahui pasti secara umum). Oleh sebab itu, jika kewajibannya diingkari, maka akan berdampak kufur, karena dengan sadar ia mengingkarinya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat FarduTafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

Selain itu, zakat secara subtansial termasuk dari kewajiban yang mempunyai dua sisi tinjauan. Pertama yaitu ta’abbudi (penghambaan diri kepada Tuhan). Di bagian ini berarti zakat menjadi urusan antara manusia dengan Allah. Kedua, sisi sosial, karena melihat pada tujuan utamanya, yaitu pemenuhan kebutuhan mustahiqqun. Tinjauan yang kedua ini, berarti zakat merupakan bentuk kepedulian sosial sesama umat.

Wallahu A’lam