Beranda blog Halaman 533

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 136-140

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 136

Ayat ini menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya Muhammad saw, kepada Alquran yang diturunkan kepadanya, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Kemudian ayat ini memperingatkan orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Barang siapa mengingkari Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhirat, ia telah tersesat dari jalan yang benar, yaitu jalan yang akan menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan membawanya kepada kebahagiaan yang abadi.

Iman kepada kitab-kitab Allah dan kepada rasul-rasul-Nya adalah satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak boleh beriman kepada sebagian rasul dan kitab saja, tetapi mengingkari bagian yang lain seperti dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Iman serupa ini tidak dipandang benar, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu atau hanya mengikuti pendapat-pendapat dan pemimpin-pemimpin saja.

Apabila ada orang yang mengingkari sebagian kitab, atau sebagian rasul, maka hal itu menunjukkan bahwa ia belum meresapi hakikat iman, karena itu imannya tidak dapat dikatakan iman yang benar, bahkan suatu kesesatan yang jauh dari bimbingan hidayah Allah.

Ayat 137

Ada sekelompok orang yang telah menyatakan dirinya beriman, kemudian berbalik menjadi kafir. Sesudah itu beriman kembali, lalu berbalik lagi menjadi kafir dan akhirnya mereka bertambah-tambah kekafirannya hingga saat ajal mereka tiba. Orang-orang yang serupa itu sedikit pun tidak akan mendapat ampunan dari Allah, dan tidak akan mendapat bimbingan untuk memperoleh petunjuk.

Mereka selalu dalam keadaan bimbang dan ragu, pendirian mereka berubah-ubah dari iman ke kafir, dari kafir ke iman, mereka telah kehilangan pegangan. Karenanya mereka tidak dapat lagi memahami hakikat kebenaran dan keutamaan iman.

Oleh sebab itulah sesuai dengan ketentuan Allah, orang yang hatinya bimbang dan ragu tidak akan mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Maka sudah sepantasnyalah apabila mereka jauh dari rahmat Allah, apalagi untuk mendapatkan ampunan-Nya, karena jiwa mereka telah ditutupi noda-noda kekafiran, sehingga tidak lagi dapat melihat cahaya kebenaran.

Sebenarnya tak ada yang dapat menghalang-halangi ampunan dan hidayah Allah yang akan diberikan kepada makhluk-Nya. Hanya saja kehendak Allah itu tidak terlepas dari usaha manusia yang timbul karena ilmu dan amalannya, akan berbekas pada jiwanya. Maka apabila seseorang terus-menerus mengikuti saja sesuatu pendapat tanpa penyelidikan niscaya akalnya tidak mendapat petunjuk. Begitu pula apabila jiwa seseorang telah dikotori dengan kefasikan dan maksiat, maka ia tidak akan mendapat jalan untuk memperoleh ampunan, tanpa bertobat.

وَاِنِّيْ لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى

“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk”. (Taha/20:82)

Ampunan Allah dapat menghapuskan noda-noda dosa di dalam jiwa. Apabila seseorang bertobat dan beramal saleh, maka semua kekotoran jiwa dan dosanya akan terkikis habis.

اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْنَ

Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hµd/11:114)

Ayat 138

Orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya. Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.

Ayat 139

Kemudian diterangkan sifat-sifat mereka yang pantas dicela, yaitu sifat orang-orang munafik, yang sebenarnya bersekongkol dengan orang-orang kafir. Mereka memusuhi orang-orang mukmin, bahkan dalam saat-saat yang penting, mereka membantu orang kafir, karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan akan diperoleh orang kafir.

Sikap mereka dicela, karena harapan mereka akan mendapatkan kekuatan dari orang-orang kafir, tetapi kekuatan itu tidak akan mereka peroleh, sebab kekuatan dan perlindungan pada hakikatnya di tangan Allah. Allah yang memberikan kekuatan dan perlindungan, menurut kehendak-Nya kepada orang yang betul-betul beriman dan mematuhi segala petunjuk-Nya.

Petunjuk Allah disampaikan melalui para rasul dan merekalah yang menjelaskan jalan yang harus ditempuh guna memperoleh petunjuk. Maka kekuatan dan perlindungan Allah, akan dimiliki oleh orang-orang mukmin, apabila mereka tetap berpegang kepada Kitab Allah dan selalu berpedoman pada hidayah-Nya.

Tetapi orang-orang munafik tidak melihat kekuatan dan perlindungan yang gaib, mereka hanya teperdaya oleh kekuatan dan perlindungan lahir yang sifatnya tidak tetap. Mereka pun tidak akan memperoleh apa yang diharapkannya. Berkenaan dengan itu Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعًا

“Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. …” (Fatir/35:10).

وَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلٰكِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

 …Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (al-Munafiqµn/63:8)

Ayat 140

Orang mukmin dilarang berkumpul atau berada dalam satu majelis dengan kaum munafik yang menghina agama dan hukum-hukumnya, karena kaum munafik itu apabila mendengar ayat-ayat Allah, mereka ingkar dan memperolok-oloknya.

وَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖ

 Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. …”  (al-An’am/6:68)

Sebagian Muslimin duduk-duduk bersama orang-orang musyrik yang sedang membicarakan kekafiran, mencela Islam, dan menghina Alquran, sedang Muslimin itu tidak sanggup menyanggah pembicaraan orang-orang musyrik itu, karena mereka dalam keadaan lemah. Maka Allah menyuruh umat Islam berpaling meninggalkan orang-orang musyrik dan melarang duduk bersama mereka.

Demikian pula orang Yahudi berbuat seperti kaum musyrik, yaitu membicarakan kekafiran dan mencela Islam bersama orang-orang musyrik. Orang mukmin dilarang duduk bersama orang-orang Yahudi dan melibatkan diri dalam pembicaraan-pembicaraan yang menghina agama Allah. Mereka disuruh menjauhi, dan masuk kepada pembicaraan lain yang tidak mengandung penghinaan kepada agama.

Apabila kaum Muslimin ikut bersama-sama dengan kaum munafik itu dan tidak mau meninggalkan mereka, maka Allah menganggap mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir itu. Itulah sebabnya Allah melarang kaum Muslimin berkumpul dengan orang Yahudi. Apabila larangan yang telah disampaikan kepada mereka itu masih juga dilakukan, niscaya mereka dianggap sama dengan orang-orang kafir.

Barang siapa membenarkan perbuatan yang mungkar, dan diam saja terhadap kemungkaran itu, maka ia dapat disamakan dengan orang yang berbuat dosa. Membantah kemungkaran berarti mencegah tersebarnya perbuatan itu di tengah-tengah masyarakat. Sesudah itu Allah menegaskan ancaman-Nya terhadap orang-orang yang tidak menghiraukan larangan-Nya. Dia akan menyiksa mereka dengan api neraka bersama-sama orang kafir.

(Tafsir Kemenag)

Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

0
Benarkah Nabi Adam AS penghuni pertama?
Benarkah Nabi Adam AS penghuni pertama?

Nabi Adam dalam al-Quran tersebar kisah dan keterangannya melalui beberapa ayat dan surat. Nabi Adam dalam al-Quran diterangkan sebagai manusia pertama yang Allah ciptakan di muka bumi sekaligus manusia pertama yang berperan sebagai nabi dan rasul.

Ia digelari dengan sebutan abu al-basyar (nenek moyang manusia) atau biasa disebut orang-orang barat sebagai father of humanity. Menurut ‘Abd al-Rauf al-Manawi dalam kitabnya Faid al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Saqīr (1: 47), nama Adam berasal dari kata adim yang berarti permukaan tanah. Ini menegaskan bahwa Adam as tercipta dari tanah liat kering sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr [15]: 26).

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (7: 118) menyebutkan bahwa ayat di atas menceritakan tentang penciptaan manusia (Adam) dari tanah lihat kering (shalshalah). Kata ini memiliki makna yang serupa dengan kata al-fakhkhār. Hanya saja kata al-fakhkhār digunakan untuk menyebutkan tanah lihat yang keras akibat dari pembakaran seperti bata dan gerabah, sedangkan kata shalshalah bermakna tanah liat kering yang terbentuk tanpa pembakaran.

Jika dikaitan dengan ayat-ayat lain tentang penciptaan manusia, ayat ini tidaklah mengandung pertentangan. Karena perbedaan istilah yang digunakan masing-masing ayat menunjukkan beberapa tahapan penciptaan manusia sebelum ditiupkan roh Allah swt. Mulai dari pengambilan tanah, lalu tanah itu tercampur air (thīn), kemudian thīn diproses sebagaimana diisyaratkan dalam kalimat hama’in masnūn, lalu dibiarkan dalam jangka tertentu hingga menjadi shalshalah (tanah liat kering).

Thahir Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa maqāshid atau tujuan uraian ayat ini adalah sebagai pembuktian kepada manusia betapa Agung dan mengagumkannya Allah. Dia dapat menciptakan manusia yang merupakan tokoh sentral peradaban dunia dengan segala kelebihan dari unsur-unsur menjijikkan dan remeh. Dengan mengetahui Keagungan Allah, manusia diharapkan dapat beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Baca Juga: Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

Dalam buku al-Mirqāt al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Masābīh (5: 17) disebutkan bahwa proses penciptaan Adam as, dimasukkan dan dikeluarkannya dari surga oleh Allah Swt terjadi pada hari jum’at. Pemilihan hari tersebut dikarenakan hari jum’at adalah hari terbaik, terutama bagi umat Islam (sayid al-ayyām). Selain itu, penentuan waktu ini mengandung makna filosofis bahwa Adam as adalah makhluk yang mulia sebagaimana kemuliaan hari dirinya diciptakan.

Dalam sebuah hadis Nabi juga diterangkan proses penciptaan Adam. Nabi Muhammad saw bersabda:

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ اٰدَمَ مِنْ قَبْضَةِ مَنْ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيْعِ اْلاَرْضِ فَجَاءَ بَنُوْ اٰدَمَ عَلَى قَدْرِ اْلاَرْضِ فَجَاءَ مِنْهُمُ اْلاَحْمَرُ وَاْلاَسْوَدُ وَبَيْنَ ذٰلِكَ وَالسَّهْلُ وَالْحَزْنُ وَالطَّيِّبُ وَالْخَبِيْثُ. (رواه أحمد و مسلم عن عائشة)

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menciptakan Adam dari kepalan tanah yang diambil dari segala macam tanah, maka lahirlah anak Adam menurut kadar tanah itu. Di antara mereka ada yang merah, ada yang hitam, dan ada di antara kedua warna itu. Ada yang mudah, ada yang sukar, ada yang baik, dan ada yang buruk. (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Aisyah)

Baca Juga: Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

Tugas Nabi Adam as dan Keturunannya

Nabi Adam dalam al-Quran dijelaskan pula sebagai “wakil” Allah di muka bumi Adam as tidak hanya mengemban risalah kenabian, tetapi juga membawa nilai-nilai kemanusiaan dan kealaman (al-insāniyyah wa al-‘ālamiyyah). Ia diberi kepercayaan oleh Allah untuk mengelola bumi menggantikan makhluk ciptaan Allah sebelumnya yang disebut ulama tafsir sebagai bangsa jin. Mereka dibinasakan Allah setelah melakukan berbagai macam kerusakan dan pertumpahan darah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 33:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. QS. Al-Baqarah [2]: 33)

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa ayat ini bercerita mengenai penyampaian keputusan Allah kepada malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia (Adam as) di muka bumi sebagai khalifah. Ini dilakukan karena malaikat adalah makhluk yang akan dibebani sekian banyak tugas terkait kehidupan manusia. Sebagian dari mereka ada yang bertugas untuk mencatat amal manusia, ada yang bertugas menjaga, ada yang menjadi pembimbing, ada yang bertugas sebagai pemberi wahyu dan sebagainya.

Ketika mendengar rencana Allah, malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka mengira bahwa “khalifah” ini akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, karena jauh sebelum manusia tercipta terdapat bangsa jin yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi. Ibnu Katsir menuturkan dalam bukunya Qashash al-Anbiyā (1: 5) bahwa pertanyaan malaikat ini semata-mata untuk meminta penjelasan dari Allah, bukan untuk meragukan apalagi menentang-Nya.

Mendengar pertanyaan malaikat, Allah menjawab secara singkat tanpa menyalahkan atau membenarkan pertanyaan mereka karena sebagian anggapan tersebut benar adanya. Allah berfirman: “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Jawaban Allah ini mengandung makna tersirat bahwa anggapan para malaikat yang berkaca pada kasus jin benar adanya, manusia mungkin juga akan melakukan hal serupa di masa mendatang, namun diantara manusia juga terdapat orang-orang yang ketaatan dan ketakwaannya melampaui malaikat.

Manusia sebagai keturunan Adam as memiliki kewajiban untuk meneruskan risalah kenabian, ajaran kemanusiaan dan kealaman. Mereka juga berperan sebagai khalifah, yakni orang beriman yang memiliki wewenang untuk mengelola bumi dan sumber daya di dalamnya secara adil dan bijaksana. Meskipun demikian, bukan berarti manusia berhak berlaku semena-mena dan mengeksploitasi bumi dengan membabi buta. Manusia hanya “wakil” Tuhan dan mereka akan mempertanggungjawabkan apa yang telah diwakilkan kelak. Wallahu a‘lam.

Agar Terhindar dari Kejahatan? Baca Surah Muawwidzatain

0
terhindar dari kejahatan
terhindar dari kejahatan baca surah muawwidzatain

Islam mengajarkan agar manusia terhindar dari kejahatan, hendaknya membaca surat Muawwidzatain. Surah Muawwidzatatin adalah sebutan bagi surah al-Falaq dan an-Nas karena ditujukan untuk memohon pertolongan atau perlindungan dari kejahatan. Ada yang juga yang menamakannya dengan al-Muqasyqasyatan, yaitu dua surah yang dapat membebaskan diri dari kemunafikan.

Berikut redaksi dua surah Al-Mua’wwidzatain.

Surah Al-Falaq

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِۙ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَۙ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ ࣖ

Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya), dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.” (Q.S. al-Falaq [113]: 1-5)

Surah An-Nas

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ مَلِكِ النَّاسِۙ اِلٰهِ النَّاسِۙ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ

Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (Q.S. al-Nas [114]: 1-6)

Dalam surah al-Falaq di atas. Disinggung mengenai sihir. Sihir adalah bentuk perilaku kejahatan manusia kepada manusia lain dengan bantuan Setan. Kejahatan tukang sihir dalam surah al-Falaq ini diabadikan dalam cerita nukilan dalam hadits.

Sebagaimana Imam al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Dalâ’il al-Nubuwwah dari Kalbi, dari Abu Shaleh, dari Ibnu Abbas, dia berkata,

“suatu ketika Rasulullah Saw, menderita sakit parah. Dua malaikat kemudian mendatangi beliau, yang satu duduk dibagian kepala, dan yang satunya lagi duduk di bagian kaki. Malaikat yang berada dibagian kaki bertanya, “ apa yang terjadi kepadanya?”, dijawab oleh malaikat yang berada dibagian kepala, “ Dia terkena sihir”, ditanya lagi oleh malaikat dibagian kepala, “ siapa yang menyihirnya?”, dijawab lagi oleh malaikat dibagian kepala, “ Labid bin A’sham, seorang Yahudi,” malaikat itu bertanya lagi, “ dimana sihirnya itu disimpan?”, dijawab, “disebuah sumur milik si Fulan, dibawah batu. Hendaklah Muhammad pergi ke sumur itu, keringkan airnya, lalu angkat batunya. Setelah itu, ambillah kotak yang ada dibawahnya dan bakarlah kotak itu.”

Baca juga: Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal? Baca Surah Al Kahfi

Di pagi harinya, Rasulullah mengutus Amar bin Yasir serta beberapa orang sahabat untuk pergi ke sumur tersebut, ketika sampai disana, mereka melihat airnya berwarna merah kecoklatan seperti air inai. Mereka kemudian menimba airnya, mengangkat batu yang ada didalamnya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari bawah batu tersebut dan membakarnya. Ternyata didalam kotak itu ada seutas tali yang memiliki sebelas simpul. Kemudian Allah menurunkan kedua surah (al-Muawwidzatain) ini. Dan Rasulullah membacanya. Setiap kali Rasulullah membaca satu ayat, maka terurailah satu simpul.”

Begitupun dalam kitab al-Dalâ’il Abu Nu’aim meriwayatkan dari Jalur Abu Ja’far al-Razi dari Rabi’ bin Anas bin Malik berkata,

“seorang laki-laki Yahudi membuatkan sesuatu terhadap Rasulullah hingga beliau menderita sakit parah. Ketika para sahabat menjenguk, mereka yakin bahwa Rasulullah telah terkena sihir, Malaikat Jibril kemudian turun membawa al-Mu’awwidzatain untuk mengobatinya. Akhirnya, Rasulullah pun sembuh.”

Baca juga: Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi

Jadi, jika kita ingin terhindar dari segala bentuk sihir. Maka dianjurkan untuk membaca al-Mu’awwidzatain.

Selanjutnya, dalam surah an-Naas dijelaskan dua sifat yang merupakan sifat setan, yaitu waswâs dan khannâs. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam tafsirnya, kata waswâs bermakna memasukkan gerakan atau suara yang sangat halus kedalam jiwa, hingga tidak ada seorang pun yang dapat mendengarnya kecuali orang yang dimasuki oleh gerakan atau suara tersebut. Seperti setan yang membisikkan hal itu kedalam jiwa manusia.

Sedangkan khannâs dapat berarti bersembunyi. Saat setan berusaha memperdaya, dan mengganggu manusia, dan dia berzikir kepada Allah Swt., maka setan akan akan bersembunyi dan menyingkir setiap nama Allah disebutkan.

Pada ayat terakhir disebutkan minal jinnati wa al-nâas, yakni yang menjadi obyek bisikan setan adalah jin dan manusia. Oleh karenanya setan menjadi sekutu bagi jin dan manusia. Ayat ini menunjukkan permohonan perlindungan kepada Allah agar terhindar dari kejahatan serta dua jenis setan, yaitu setan jin dan setan manusia.

Baca juga: Mengapa Ada Sosok Yang Disamarkan Dalam Al-Quran?

Jelasnya, bahwa Surah al-Falaq mengandung permohonan perlindungan dari kejahatan yang berasal dari luar diri manusia. Sedangkan surah an-Nas mengandung permohonan perlindungan dari kejahatan yang berasal dari dalam diri manusia.

Selain itu Al-Muawwidzatain juga dapat menjadi permohonan perlindungan dari ancaman bencana. Dalam hadits lain dijelaskan,

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ, قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَسِيْرُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْجُحْفَةِ , وَ الْأَبْوَاءِ, إِذْ غَشِيَتْنَا رِيْحٌ, وَظُلْمَةٌ شَدِيْدَةٌ, فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ بِأَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ, وَأَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ, وَيَقُوْلُ : ( يَا عُقْبَةُ, تَعَوَّذْ بِهِمَا فَمَا تَعَوَّذَ مُتَعَوِّذٌ بِمِثْلِهِمَّا), قَالَ: وَسَمِعْتُهُ يَؤُمُّنَا بِهِمَا فِيْ الصَّلَاةِ

“Dari Uqbah bin Amir r.a dia berkata : ketika aku berjalan bersama Rasulullah Saw antara Juhfan dan Abwa’, tiba-tiba kami diliputi angin dan cuaca yang sangat gelap. Maka Rasulullah Saw memohon perlindungan dengan membaca ‘Qul a’ûdzu birabbi al-falaq dan Qul a’ûdzu birabbi al-nâasi’ , dan kemudian bersabda : “wahai ‘Uqbah, berlindunglah kepada Allah dengan (doa) yang menyerupai keduanya”, uqbah berkata, “ dan aku mendengar beliau mengimami sholat dengan membaca kedua surah itu”

Semoga dengan mengamalkan surah al-Muawwidzatain ini, kehidupan kita senantiasa terlindungi dan terhindar dari segala bentuk ancaman kejahatan baik dari setan, jin, dan manusia ataupun kejahatan yang ditimbulkan dari persekutuan mereka. Dan kita memohon perlindungan agar jangan sampai menjadi bagian dari tipu daya setan untuk menghancurkan ketentraman umat manusia dan ketaatannya kepada Allah swt.

Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal? Baca Surah Al Kahfi

0
agar terhindar dari fitnah dajjal
agar terhindar dari fitnah dajjal (seruni.id)

Fitnah Dajjal merupakan fitnah terburuk yang terjadi di akhir zaman. Dajjal sebagaimana diterangkan dalam Lisan al-Arab diambil dari kalimat Dajjala al-Ba’ru idza talâluhu bil qatîran wa ghathâ bihi (seseorang mendajjal unta bila melumurinya dengan aspal dan menutupinya). Karenanya, Islam mengajarkan untuk mengamalkan bacaan surat al-kahfi agar terhindar dari fitnah Dajjal.

Dalam Sunan Abi Daud (Bab Zikru Khuruhu Ad-Dajjal, Juz 2) disebutkan bahwa Dajjal akan datang dengan membawa huru-hara dan menyebarkan syubhat di kalangan orang-orang mu’min. Ia mampu melakukan segala hal yang luar biasa seperti sihir, menghidupkan orang mati, dan lain sebagainya. (Baca juga: Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah Yang Halal)

Mengenai bagaimana ciri-ciri Dajjal, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dikatakan

حَدَّثَنَا عَبْدُ الله حَدَّثَنِى اَبِيْ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ أَنَا محمد بن إِسْحَاق عًنْ نَافِعْ عَنِ ابنُ عُمَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَالدَّجَّالُ أَعْوَرُ الْعَيْنِ كَأَنَّهَا عُنْبَةُ طَائِفَةُ

“ telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Yazid, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ishaq dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Dajjal mempunyai mata yang buta sebelah bagaikan buah anggur yang menonjol”.

Adapun pendapat lain dari para ulama ada yang mengatakan bahwa Dajjal digambarkan sebagai sosok anak adam yang salah satu matanya buta, dan diantara matanya tertulis kafara. Bahkan disebutkan secara lengkap bahwa Dajjal memiliki ciri-ciri fisik bertubuh gemuk, berambut keriting, dan memiliki wajah yang tidak bersinar. (Baca juga: Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi)

Rasulullah telah memperingati umatnya untuk berlindung dari fitnah Dajjal. Fitnah Dajjal merupakan sebesar-besarnya fitnah yang akan dihadapi oleh umat muslim saat menjelang hari kiamat datang. Oleh karena itu, Rasulullah telah menjelaskan kepada umatnya mengenai sifat-sifat Dajjal sekaligus berpesan kepada umatnya untuk tidak terjerumus kedalam fitnah yang bersumber dari Dajjal.

Salah satu cara agar terhindar dari fitnah Dajjal adalah dengan membaca surah Al-Kahfi pada malam jum’at. Khususnya pada sepuluh ayat pertama dan sepuluh ayat terakhir. Bagi siapa saja yang menghafal sepuluh ayat dari awal surah Al-Kahfi maka Allah akan menjauhkan dia dari fitnah Dajjal dan fitnah manusia, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw,

عَنْ اَبِيْ الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَفِظَ عَشْرَ اٰيَةٍ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ (رواه احمد والنساء ومسلم)

“Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari permulaan surah Al-Kahfi, maka ia akan terjaga dari fitnahnya Dajjal.”(HR. Imam Ahmad, dan an-Nasâ’i, dan Muslim)

Berikut sepuluh ayat pertama surah Al-Kahfi, seperti yang dimaksud dalam hadits.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ مّٰكِثِيْنَ فِيْهِ اَبَدًاۙ وَّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ قَالُوا اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًاۖ مَّا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ وَّلَا لِاٰبَاۤىِٕهِمْۗ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا وَاِنَّا لَجٰعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًاۗ اَمْ حَسِبْتَ اَنَّ اَصْحٰبَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيْمِ كَانُوْا مِنْ اٰيٰتِنَا عَجَبًا اِذْ اَوَى الْفِتْيَةُ اِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak.” Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka. Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an). Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering. Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua, dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan? (Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 1-10)

Dalam riwayat lain juga dijelaskan, membaca sepuluh ayat terakhir akan melindungi kita dari bahaya fitnah Dajjal. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ كَمَا أُنْزِلَتْ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ مَقَامِهِ إِلَى مَكَّةَ وَمَنْ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِهَا ثُمَّ خَرَجَ الدَّجَّالُ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan, maka surah tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat dari tempat tinggalnya hingga ke Mekkah, dan barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Al-Kahfi, kemudian keluar Dajjal, maka Dajjal tidak akan membahayakan dia.”

Dengan mengamalkan sepuluh ayat dari surah Al-Kahfi ini, Semoga kita dan keturunan kita terlindungi dari fitnah Dajjal yang merugikan kehidupan umat manusia.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 133-135

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 133

Apabila Allah berkehendak untuk melenyapkan semua manusia dan seluruh alam ini, sesudah itu menciptakan makhluk dan alam yang lain sebagai ganti untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka Allah kuasa melaksanakan kehendak-Nya itu; karena segala apa yang terdapat di langit dan di bumi tunduk di bawah kekuasaan-Nya.

Apabila ada sebagian manusia yang mengingkari nikmat Allah dan membangkang terhadap perintah-perintah-Nya, kemudian mereka dibiarkan terus hidup di dunia ini hingga ajalnya tiba, hal itu menunjukkan bahwa Allah benar-benar tidak memerlukan ketaatan mereka. Apabila mereka tidak diberi balasan secara langsung, bukanlah karena Allah tidak berkuasa untuk membinasakan mereka, tetapi semata-mata karena adanya hikmah dan kemaslahatan yang berguna bagi manusia yang bertakwa. Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ اِنْ يَّشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍۙ    ١٩  وَّمَا ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ بِعَزِيْزٍ  ٢٠

(19) Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar)? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu), (20) dan yang demikian itu tidak sukar bagi Allah. (Ibahim/14:19-20).

هوَاِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْۙ ثُمَّ لَا يَكُوْنُوْٓا اَمْثَالَكُمْ

… Dan jika kamu berpaling (dari jalan yang benar) Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu (ini). (Muhammad/47:38).;Ayat ini mengandung ancaman kepada orang-orang musyrik yang selalu menyiksa pikiran dan perasaan Nabi dan menentang seruannya, juga untuk memperingatkan agar orang memperhatikan sunatullah yang menguasai hidup dan mati mereka.

Ayat 134

Ayat ini memberi peringatan kepada orang yang melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, agar menyadari bahwa tujuan hidup mencari kebahagian dunia saja adalah tujuan yang tidak benar dan hasil yang akan diperolehnya adalah rendah sekali, karena hidup di dunia tidak akan kekal. Orang serupa ini adalah orang munafik yang apabila berjumpa dengan orang yang beriman, ia berpura-pura mengaku beriman, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Pahala yang diterima dari Allah adalah lebih tinggi, karena meliputi pahala dunia dan pahala akhirat. Karena itu seharusnyalah Muslimin berjuang untuk mencapai kedua pahala itu secara seimbang, tidak hanya tertarik pada kepentingan dunia saja, yang sifatnya sementara.

Berusaha untuk memperoleh pahala dunia dan pahala akhirat, sebenarnya adalah tujuan yang mudah dilakukan, bukan tujuan yang berada diluar kesanggupan manusia; dan tujuan ini tergambar dalam firman Allah yang merjadi doa orang yang beriman.

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

”… Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (al-Baqarah/2:201)

Agama Islam menuntun pemeluk-pemeluknya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua-duanya merupakan limpahan rahmat dan karunia Allah yang harus dicapai.

Allah Maha Mendengar akan bisikan hati hamba-hamba-Nya dan Maha Mengetahui segala urusan mereka. Oleh sebab itu seharusnyalah kaum Muslimin berusaha mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan lisan atau dengan perbuatan. Dengan demikian mereka akan mempunyai jiwa yang bersih dan dapat membatasi diri dalam setiap usahanya dan perjuangannya agar mencapai keridaan Allah dan hidup berbahagia dunia dan akhirat.

Ayat 135

Orang-orang beriman diperintahkan agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Karenanya Allah memerintahkan kepada mereka untuk berlaku adil dalam segala hal, seperti keadilan dalam membagi waktu, menegakkan salat secara tetap dan tepat pada waktunya.

Dalam memberikan kesaksian, Allah memerintahkan agar memberikan kesaksian seperti apa adanya, tidak boleh memutarbalikkan kenyataan. Dalam menimbang barang agar berlaku adil, menimbang dengan tepat, tidak menambah dan tidak mengurangi (al-Mu¯affifin/83: 1-4).

Semua perintah itu jika dilakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya akan menjadikan kebiasaan yang meresap di dalam jiwanya. Keadilan itu harus dilakukan secara menyeluruh di tengah-tengah pergaulan masyarakat, baik yang menjalani itu rakyat biasa ataupun kepala negara, petani atau pedagang, anggota atau kepala rumah tangga.

Jika menjadi saksi, jadilah saksi yang jujur, semata-mata karena mengharapkan keridaan Allah, tidak memutarbalikkan kenyataan, tidak berat sebelah, meskipun menyangkut dirinya sendiri, ataupun keluarganya. Kesaksian itu hendaklah diberikan sesuai dengan kenyataan baik menguntungkan dirinya sendiri ataupun menguntungkan orang lain, karena pada dasarnya kesaksian itu adalah salah satu jalan pembuktian untuk mencari kebenaran. Oleh sebab itu, kesaksian harus diberikan dengan jujur.

Apabila ada seseorang memberikan kesaksian yang tidak benar, dengan maksud ingin menguntungkan dirinya atau keluarganya, maka cara serupa ini tidaklah dianggap suatu kebaikan, karena memberikan keterangan palsu dengan maksud memberikan pertolongan kepada seseorang, tidak dibenarkan syariat dan bukanlah suatu kebajikan, tetapi pada hakikatnya perbuatan yang demikian itu termasuk membantu kejahatan dan menginjak-injak hak asasi manusia.

Allah menyerukan agar keadilan dan kesaksian itu dilaksanakan secara merata tanpa pandang bulu, baik yang disaksikan itu keluarganya sendiri ataupun orang lain, baik kaya ataupun miskin.

Hendaklah manusia mengetahui bahwa keridaan Allah dan tuntunan syariat-Nya yang harus diutamakan: tidak boleh orang-orang kaya disenangi atau dibela karena kekayaannya atau orang-orang fakir dikasihani karena kefakirannya, sebab jika kekayaan dan kefakiran yang dijadikan dasar pertimbangan dalam memberikan kesaksian, maka pertimbangan serupa itu bukanlah merupakan pertimbangan yang dapat membuahkan keputusan yang benar. Pertimbangan yang benar ialah didasarkan kepada kebenaran dan keridaan Allah semata.

Menegakkan keadilan dan memberikan kesaksian yang benar sangat penting artinya, baik bagi orang-orang yang menjadi saksi ataupun bagi orang-orang yang diberi kesaksian. Itulah sebabnya, menegakkan keadilan atau memberikan persaksian yang benar itu, ditetapkan dan dimasukkan ke dalam rangkaian syariat Allah yang wajib dijalankan.

Sesudah itu Allah melarang kaum Muslimin memperturutkan hawa nafsu, agar mereka tidak menyeleweng dari kebenaran, karena orang yang terbiasa menuruti hawa nafsunya, mudah dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu untuk melakukan tindakan yang tidak adil dan tidak jujur, sehingga mereka tergelincir dari kebenaran.

Apabila mereka memutarbalikkan kenyataan dalam memberikan persaksian, sehingga apa yang disaksikan tidak sesuai dengan kenyataan, atau mereka enggan untuk memberikan kesaksian karena tekanan-tekanan yang mempengaruhi jiwanya, maka mereka harus ingat bahwa Allah mengetahui apa yang terkandung di dalam hati mereka.

(Tafsir Kemenag)

Inilah Enam Kompetensi Kepribadian yang Harus Dimiliki Pendidik

0
kompetensi kepribadian
kompetensi kepribadian

Kompetensi kepribadian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi kepribadian ini telah dilukiskan oleh firman-Nya dalam surat an-Nahl ayat 90,

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an-Nahl [16]: 90)

Tafsir Surat an-Nahl Ayat 90

Abu Ya’la dalam kitab Ma’rifatus Sahabah menjelaskan asbabun nuzul ayat sebagaimana diceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Fath al-Hambali, Yahya bin Muhammad Maula (pelayan) Bani Hasyim. Kemudian al-Hasan bin Daud al-Munkadiri, Umar bin Ali al-Maqdami, Ali bin Abdul Malik bin Umair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa, Aksam bin Saifi tiba di tempat Nabi saw biasa keluar.

Maka dia bermaksud mendatangi dan menemui langsung Nabi saw, tetapi kaumnya tidak memperkenankannya. Mereka berkata, “Engkau adalah pemimpin kami, tidaklah pantas bila engkau datang sendiri menghadap kepadanya.” Aksam bin Saifi berkata, “kalau begitu, carilah seseorang yang menjadi perantara utnuk menyampaikan dariku dan seseorang perantara untuk menyampaikan darinya.”

Maka ditugaskanlah dua orang laki-laki, keduanya datang menghadap Nabi saw, dan berkata, “kami berdua adalah utusan Aksam bin Saifi, dia ingin bertanya kepadamu, siapakah kamu dan apakah kedudukanmu?”.

Lantas Nabi saw bersabda, “Aku adalah Muhammad bin Abdullah, adapun kedudukanku adalah Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (utusan Allah).” Kemudian Nabi saw membacakan ayat ini (Q.S. al-Nahl [16]: 90), hingga akhir ayat.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini berisi perintah untuk berlaku adil yakni bersikap tengah-tengah dan seimbang. Dan Allah swt memerintahkan untuk berbuat kebajikan, seperti yang disebutkan dalam ayat yang lain Q.S. as-Syura [42]: 40 dan Q.S. al-Maidah [5]: 45.

Mufassir kenamaan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib merincikan bahwa ayat tersebut mengandung enam kompetensi kepribadian yang harus dimiliki pendidik,

Berikut 6 Kompetensi Kepribadian yang Harus Dimiliki Pendidik

Berbuat adil (al-‘adl)

Kita diperintahkan untuk bersikap moderat dalam segala hal, baik ideologi maupun tindaka. Al-Baghawy dalam Ma’alim al-Tanzil mengartikan kata al-‘adl dengan al-inshaf (bersikap tengah-tengah), tidak condong ke kanan maupun kiri. Tidak boleh terlalu sempit (al-ifrath), juga dilarang berlebihan (al-tafrith), sedang-sedang saja.

Berbuat baik (Ihsan)

Jika adil merujuk pada makna berprilaku sesuai dengan kadar yang harus dipenuhi dalam kebaikan, maka al-ihsan posisinya adalah menunaikan kewajiban di atas kewajiban. Maksudnya meskipun engkau disakiti oleh seseorang, engkau tetap berbuat baik kepadanya, itulah ihsan.

Muhammad ‘Ali as-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir bahkan mengatakan ihsan itu harus kepada semua orang, tanpa kecuali. Adapun Ibnu Katsir memandang ihsan apabila hatinya lebih baik daripada lahiriahnya.

Al-Baghawy misalnya ihsan didefnisikan dengan ikhlas menjalankan ketauhidan kepadanya. Makna ini sejalan dengan sabda Nabi saw, “al-ihsan an ta’budallah ka-annaka tarahu (beribadah kepada Allah seakan-akan Allah melihatnya)”. Sementara Muqatil memaknai ihsan dengan memberi maaf kepada manusia.

Baca juga: Tauhid Sebagai Materi Dasar dalam Pendidikan

Maka, implementasi ihsan dalam ibadah ialah tidak hanya melaksanakan ibadah.  Baik itu ibadah mahdlah (shalat, zakat, puasa, haji) atau ghairu mahdlah (muamalah, sosial) dengan ala kadarnya atau menggugurkan kewajiban. Lebih dari itu ia menjalankannya dengan sungguh-sungguh penuh kesadaran bahwa ia membutuhkan Allah swt.

Bagi yang berprofesi PNS, guru, dosen, karyawan misalnya, tidak hanya melaksanakan yang menjadi kewajiban kita, melainkan kita mengerjakannya dengan penuh sungguh-sungguh, penuh dedikasi dan totalitas sehingga hasilnya memuaskan.

Menebar kasih sayang (i-tai dzil qurba)

Kita juga diperintahkan untuk memiliki sikap kasih sayang dan kepedulian sosial terhadap karib kerabat, serta semua makhluk Allah (asy-syaqafah ‘ala khalqillah). Menurut al-Razi, Ibnu Katsir, as-Shabuny, dan al-Baghawy bersepakat bahwa pengejawantahan dari kasih sayang ini banyak macamnya, namun yang paling tinggi dan mulia adalah merajut persaudaraan atau silaturrahim.

Tidak berbuat keji (al-fahsya’)

Ibnu Katsir menafsirkan kata al-fahsya’ sepaket dengan al-munkar yakni tatkala lahiriahnya lebih baik dari hatinya. Artinya tampilan luar lebih bagus ketimbang hatinya. Lalu ia mengerucutkan, al-fahsya’ adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik

Al-Baghawy memaknainya dengan ma qabiha min al-qauli wa al-fi’li (semua perkataan maupun perbuatannya buruk). Sedangkan al-Shabuny menambahkan kata ‘amal (pengamalannya buruk). Bahkan Ibnu ‘Abbas mengartikannya dengan zina.

Kita dilarang menjadi budak hawa nafsu kita, nafsu kebinatangan manusia harus disumbat. Keinginan untuk memperoleh harta, tahta, jabatan, wanita dengan segala cara yang tidak halal harus dihentikan.

Ingin kaya dengan korupsi misalnya, ingin menyalurkan hasrat seksual dengan berzina atau jajan di luar, ingin menghilangkan rasa lapar dan haus dengan menelan pil ekstasi, semua cara-cara itu yang oleh Alquran diistilahkan dengan yanha ‘anil fahsya’ (jauhilah perbuatan keji itu).

Baca juga: Tiga Bentuk Sikap Tawadhu yang Harus Dimiliki oleh Murid

Menjadi budak nafsu amarah (al-munkar)

Munkar menurut Ibnu Katsir adalah segala sesuatu yang ditampakkan dari perkara haram oleh pelakunya. Sedangkan al-Baghawy menerangkan, tidak mengetahui syariat dan sunnah. Adapun ‘Ali as-Shabuny mengatakan segala sesuatu yang mengingkari fitrah manusia.

Di dalam diri manusia terkandung nafsu amarah (al-munkar), artinya kita dilarang untuk mengikutinya. Sebab amarah ini selalu mengajak manusia melakukan keburukan dan menyakiti sesama. Jika kita sedikit lengah saja, maka kita akan dikendalikan olehnya dan hampir dipastikan dilihat oleh orang lain sebagai kemungkaran.

Menjauhkan diri dari sifat bengis (al-Baghy)

Keangkaraan atau kebengisah (al-baghy) menjadi bagian dari hawa nafsu. Termasuk pula sebagai nafsu syaithaniyyah (al-quwwah al-wahmiyyah asy-syaithaniyyah). Nafsu ini menyeret pemiliknya untuk menguasai, menindas, menjatuhkan dan mengalahkan orang lain, serta menampakkan kesombongan atau keangkuhan. Alquran melarang kita untuk bersikap seperti itu.

Enam Kompetensi Kepribadian yang Harus Dimiliki Pendidik

Keenam kompetensi kepribadian di atas harus dimiliki oleh pendidik. Pendidik sebagai pencetak generasi bangsa terlebih dahulu harus memiliki dan menginternalisasikan keenam kompetensi tersebut. Tidak bisa dibayangkan, bila mana masih dijumpai oknum pendidik yang masih melakukan hal-hal keji misalnya mencabuli peserta didiknya yang masih belia, berkata kotor, dan hal sejenisnya, naudzubillahi min dzalik.

Ayat di atas menjadi renungan tidak hanya pendidik saja, melainkan kita bersama untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan diri menjadi manusia qurani. Sebab intisari ayat di atas juga menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai ‘abd (hamba Allah) dan khalifah  fil ardh (pemimpin di muka bumi).

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 129-132

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 129

Aisyah r.a. berkata:

;كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ ثُمَّ يَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِى فِيْمَا اَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَاَمْلِكُ

(رواه احمد واهل السنن)

Adalah Rasulullah saw membagi giliran antara istri-istrinya, ia berlaku adil, dan berdoa, ‘Ya Allah, inilah penggiliranku sesuai dengan kemampuaku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasai.’ (Riwayat Ahmad dan penyusun Kitab-kitab Sunan)

Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal membagi waktu untuk masing-masing istrinya, Rasulullah saw telah berusaha sekuat tenaga agar beliau dapat berlaku adil di antara mereka. Maka ditetapkanlah giliran hari, pemberian nafkah dan perlakuan yang sama di antara istri-istrinya.

Sekalipun demikian, beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi waktu dan kecintaannya dengan adil di antara istri-istrinya. Beliau lebih mencintai ‘Aisyah r.a. daripada istri-istrinya yang lain. Tetapi Aisyah memang punya kelebihan dari istri-istri Nabi yang lain, antara lain ialah kecerdasannya, sehingga ia dipercayai oleh Nabi untuk mengajarkan hukum agama kepada kaum perempuan.

Hal ini dilakukan sampai Rasulullah wafat dan banyak sahabat, terutama kalangan perempuan sering bertanya kepada Aisyah mengenai hukum atau hadis. Sungguhpun begitu, beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun. Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah saw menjadi tenteram, karena tidak dibebani dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya.

Dari keterangan di atas dipahami bahwa manusia tidak dapat menguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah yang menguasainya. Karena itu sekalipun manusia telah bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya secara adil.

Keadilan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul dan sebagainya.

Allah memperingatkan, kepada para suami karena tidak dapat membagi cintanya di antara istri-istrinya dengan adil, janganlah terlalu cenderung kepada salah seorang istri, sehingga istri yang lain hidup terkatung-katung, hidup merana, hidup dalam keadaan antara terikat dalam perkawinan dengan tidak terikat lagi, dan sebagainya.

Jika para suami selalu berusaha mendamaikan dan menenteramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya kepada salah seorang istrinya, Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Ayat ini merupakan pelajaran bagi orang yang melakukan perkawinan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang yang punya istri lebih dari satu orang.

Ayat 130

Jika suami istri bercerai karena keduanya atau salah seorang tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Allah, seperti tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya sekalipun telah diusahakannya, kehidupan mereka telah hambar tidak ada rasa cinta dan kasih sayang lagi, perkawinan mereka telah dihinggapi penyakit yang parah yang tidak ada obatnya, maka Allah membolehkan mencari jalan keluar dari kesulitan itu, dengan cara yang baik dan kalau gagal juga boleh diambil tindakan terakhir yaitu bercerai.

Walaupun demikian, sekalipun perceraian itu adalah suatu perbuatan yang halal, tetapi tetap dibenci Allah. Dengan perceraian itu mungkin terbuka bagi mereka lembaran baru dalam kehidupan, umpamanya dengan mendapat jodoh yang baru yang lebih sesuai dan serasi serta diberkahi dengan limpahan karunia Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas Karunia-Nya dan Mahabijaksana.

Ayat 131

Apa saja yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan dan Dia pula yang mengurus. Dalam mengurus makhluk-makhluk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya.

Oleh sebab itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi Al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan menjalankan syariat-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syariat-Nya manusia akan berjiwa yang bersih dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Jika mereka mengingkari nikmat Allah yang tak terhingga besarnya, maka keingkaran dan pembangkangan itu sedikit pun tidak akan mengurangi kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi.

Sebaliknya apabila mereka bersyukur, maka syukur mereka itu sedikit pun tidak akan menambah kekuasaan-Nya. Perintah bertakwa itu adalah semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Allah Mahakaya, tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Nya dan Maha Terpuji, tidak memerlukan pujian siapa pun untuk menambah kesempurnaan-Nya. Allah berfirman:

وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ

…Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka… (al-Isra’/17:44).

Ayat 132

Kemudian dalam ayat ini dipertegas bahwa kepunyaan Allah-lah apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia berkuasa untuk mengatur secara mutlak dan berkuasa mewujudkan atau melenyapkan, berkuasa untuk menghidupkan dan mematikan menurut kehendak-Nya. Karena itu cukuplah Allah menjadi pemelihara dan Dialah yang mengurus dan menentukan urusan hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tarbawi: Pendidikan Pertama Berasal dari Pendidikan Keluarga

0
pendidikan keluarga
pendidikan keluarga (sudut pendidikan)

Pendidikan keluarga (family education) memegang peranan sentral dalam membentuk kepribadian manusia. Yaitu pendidikan pertama berasal dari pendidikan keluarga. Di dalam keluarga pula, manusia mengalami pengalaman pertamanya seperti kebahagiaan, kesedihan, berkomunikasi, dan sentuhan kasih sayang. Era pandemi Covid-19, tampaknya sudah saatnya kita melembagakan pendidikan keluarga (family education).

Peran serta orang tua sangat dibutuhkan dalam mengantar putra-putrinya menuju manusia seutuhnya, bukan manusia-manusiaan. Karenanya sangat tepat bila dikatakan bahwa pendidikan keluarga adalah pondasi dasar menuju pendidikan selanjutnya. Perintah melembagakan pendidikan keluarga ini telah dilukiskan dalam firman-Nya surat at-Tahrim [66]: 6,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim [66]: 6)

Tafsir Surat at-Tahrim Ayat 6

Pada pembahasan ini saya akan memfokuskan pada redaksi kunci yakni quu anfusakum wa ahlikum naaran sebagai basis pendidikan keluarga. Para ulama tafsir menafsirkan redaksi ini sangat beragam, namun pada intinya mereka menekankan betapa pentingnya pendidikan keluarga.

Ibnu Katsir misalnya memaknai redaksi ini dengan ajakan untuk mendidik dan mengajari keluarga. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa taatilah Allah swt dan hindari perbuatan yang dapat memicu murka-Nya, serta perintahkanlah keluargamu untuk berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkanmu dan keluargamu dari api neraka.

Sedangkan al-Baghawy dalam Ma’alim at-Tanzil menjelaskan dengan menukil dari perkataan ‘Atha bin Ibnu ‘Abbas, jauhilah larangan Allah dan amalkan segala yang diperintahkan-Nya. Wa ahlikum naaran ia memaknainya bahwa kerjakanlah kebaikan, jauhilah keburukan, kerjakan yang menjadi perintah-Nya dengan penuh tata krama dan bertakwalah sehingga kamu terselematkan dari api neraka.

Baca juga: Dua Bentuk Apresiasi dalam Pendidikan Islam

Adapun al-Qurthuby lebih merincikan lagi bahwa perintah itu tidak hanya menjaga dirimu saja, tapi juga menjaga keluarga termasuk menjaga perbuatan dari hal-hal buruk, menjaga perkataan dan perbuatan yang dapat mengusik dan menyinggung perasaan orang lain. Mengutip perkataan al-Qusyairi bahwa tatkala turunnya ayat di atas, Umar bertanya kepada Rasulullah saw, “Rasul, kami menjaga diri sendiri. Lantas bagaimana kami menjaga mereka?”. Nabi menjawab,

تَنْهَوْنَهُمْ عَمَّا نَهَاكُمُ اللهُ وَتَأْمُرُوْنَهُمْ بِمَا أَمَرَ اللهُ

“Laranglah mereka dari hal yang dilarang oleh Allah, dan perintahkan mereka dengan sesuatu yang Allah perintahkan.”

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Spirit Integrasi-Interkoneksi Keilmuan dalam Pendidikan Islam

Begitu pula at-Thabary, memaknainya dengan kerjakanlah sesuatu yang merupakan bagian dari rumpun amal kebaikan dan jauhilah keburukan, serta taatilah Allah swt. Sebagaimana penafsiran yang dijelaskan dalam Rawa’i al-Bayan,

قِيْلَ فِيْ التَّفْسِيْرِ أَيْ أَدَّبُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ

“dikatakan di dalam kitab tafsir bahwa yang dimaksud (quu anfusakum wa ahlikum naaran) adalah didik dan ajarilah mereka.”

 Mufassir kenamaan dari kalangan Tabi’in, Mujahid menyampaikan bahwa perintah untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka berkelindan dengan perintah bertakwa kepada Allah swt beserta perintah kepada keluarganya pula.

Penafsiran serupa juga diutarakan oleh ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir bahwa,

أَيْ يَامَنْ صَدَقْتُمْ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَأَسْلَمْتُمْ وُجُوْهَكُمُ للهُ، اِحْفَظُوْا أَنْفُسَكُمْ وَصُوْنُوْا أَزْوَاجَكُمْ وَأَوْلَادَكُمْ، مِنُ نَارٍ حَامِيَةٍ مُسْتَعِرَةٍ، وَذَلِكَ بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ وَفِعْلَ الطَّاعَاتِ، وَبِتَأْدِيْبِهِمْ وَتَعْلِيْمِهِمْ

“Wahai seseorang, benarkanlah Allah dan Rasul-Nya sehingga keselamatan tetap kepadamu di sisi Allah, jagalah dirimu dan tolonglah istri dan serta anak-anakmu, dari api neraka hamiyah, demikian pula tinggalkan maksiat dan berbuat ketaatan, didiklah mereka dengan adab dan berilah pengajaran kepada mereka.”

Pendidikan Pertama Berasal dari Pendidikan Keluarga

Kehidupan keluarga dianalogikan sebagai satu bangunan, maka ia harus didirikan di atas satu pondasi yang kokoh dengan material bahan bangunan serta perekat yang kokoh pula. Keluarga adalah satuan terkecil dari suatu negara. Bangsa yang baik ditopang oleh keberlangsungan keluarga yang baik pula.

Keluarga juga menjadi ujung tombak garda terdepan dalam membentuk dan menempa karakter kepribadian seorang manusia. Karakter seorang anak yang berasal dari keluarga harmonis, tentu berbeda dengan anak yang berasal dari keluarga broken home. Maka, peran ayah dan ibu atau suami dan istri mutlak diperlukan, keduanya tidak boleh mengunggulkan ego satu sama lain, melainkan harus kerjasama untuk membina rumah tangga yang harmonis sesuai tuntunan agama Islam.

Dari ayah ibu, seorang anak mempelajari sifat-sifat mulia seperti kebahagiaan, kasih sayang, kepedulian terhadap sesama, rasa tanggungjawab, dan sebagainya. Kepincangan dalam memina keluarga, menyebabkan kepincangan pula terhadap anak-anak.

Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Maka tidak heran jika kita masih menemui fenomena peserta didik yang berbuat tidak senonoh, bertindak asusila, depresi, mood swing, terjerat kasus narkoba, pemerkosaan hingga berujung pada pembunuhan, itu semua adalah imbas dari ketidakoptimalan fungsi keluarga, meskipun tidak menafikan faktor lain seperti lingkungan.

Sebagaimana pesan ayat di atas bahwa didik dan ajarilah keluargamu (istri, dan anak-anak) untuk selalu bertakwa kepadanya dengan mengajarkan shalat, sedekah, membaca Alquran, dan perbuatan kebaikan lainnya agar kamu dan keluargamu terhindar dan terselamatkan dari api neraka.

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk menunaikan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka saat mereka berusia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur di antara mereka.” (H.R. Abu Daud)

Bukankah Alquran mengabadikan doa Nabi Ibrahim agar menjadi bahan refleksi kita dalam membina kehidupan rumah tangga, rabbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrata ‘ayun waj’alna lil muttaqina imaman (Ya rabb, anugerahkanlah kepada kami istri dan anak-anak kami sebagai penyenang dan penyejuk hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertakwa).

Demikianlah, betapa besar peranan pendidikan keluarga dalam membentuk kepribadian manusia yang akram dan shalih, dan betapa keberhasilan kita secara personal atau kolektif, baik pribadi atau sebagai bangsa, di dunia atau akhirat kelak, ditentukan oleh keberhasilan kita dalam membina keluarga masing-masing. Wallahu A’lam.

Mengenal Al-Quran Berwajah Puisi Karya H.B. Jassin

0
Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin
Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin

H.B. Jassin mencatatkan namanya dalam list tokoh pengkaji Alquran di Indonesia. Karya yang membuatnya terkenal dan kontroversial itu berjudul Al-Quran Berwajah Puisi setelah edisi sebelumnya berjudul Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia. Seperti apa model Alquran yang ‘berbeda’ itu, dan apa saja hal-hal yang mengitari penyusunannya? Mari kita kenali melalui tulisan ini.

Kita mengenal Tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab sebagai Tafsir yang bercorak adabi ijtima’i, dan tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustafa yang terkombinasi dari corak fiqih, sosial-masyarakat dan sufi. Selain dua kitab tafsir karya orang Indonesia tersebut, terdapat terobosan baru tafsir al-Qur’an -lebih tepatnya terjemah Alquran- oleh seorang sastrawan Indonesia yang mendapat julukan “Empu Sastra Indonesia” yakni Hans Bague Jassin, atau dikenal dengan H.B. Jassin.

Baca Juga: Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (1)

Sedari kecil H.B. Jassin gemar membaca buku-buku yang dimiliki ayahnya sehingga membawanya mengenal M.A Duisterhof orang Belanda sekaligus kepala sekolah Jassin belajar. Riwayat pendidikan beliau bermula dari menamatkan sekolah di Gouverment H.I.S Gorontalo pada tahun 1932, kemudian melanjutkan ke H.B.S Medan dan lulus pada tahun 1939. Di Medan beliau banyak berkenalan dengan seniman-seniman, diantaranya adalah Chairil Anwar dan Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan yang begitu terkenal dan terkenang hingga sekarang.

Pada tahun 1957 H.B. Jassin kembali menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia fakultas Sastra. Ia menekuni bidang sastra dengan memproduktifkan waktunya untuk menulis berbagai hal terutama dalam bidang kritik sosial. Tidak aneh jika akhirnya beliau memperoleh julukan Empu Sastra Indonesia dan almamaternya memberikan beliau gelar Doctor Honoris Causa.

Tentang belajar Alquran, H.B. Jassin berguru ke ayah dan neneknya. Sedang untuk bahasa Arab, ia mengakui tidak pernah mempelajari Bahasa Arab secara intensif, beliau hanya belajar saat menjadi mahasiswa di fakultas Sastra. Di tempat ini pula ia juga belajar terjemah Alquran sekaligus menerjemahkannya di samping juga belajar tulisan Arab melayu.

Pada 12 Maret 1962, Arsiti, istri H.B. Jassin dipanggil oleh sang Maha Kuasa. Selama tujuh malam digelar pembacaan Alquran sampai kahatam di rumahnya.  Selama sepuluh tahun hingga ia mulai menulis terjemahan Alqurannya, ia tidak pernah lepas dari membaca Alquran dan merasa menemukan banyak hikmah dari rutinitasnya itu.

Pada 7 oktober 1972 H.B Jassin mulai menerjemahkan Alquran secara mandiri. Terjemahan secara puitis yang ia garap itu terinspirasi dari terjemahan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran yang ia peroleh dari temannya, Haji Kasim Mansur pada tahun 1969. Terjemahan Alquran tersebut diberi judul Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia. Pada tahun 1974 edisi pertama karya terjemahan ini terbit.

Baca Juga: Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (2)

Namun, sayang sekali terjemahan Alquran model puisi ini menuai kontroversi. Bagi muslim Indonesia yang pro memandang Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia ini sebagai suatu karya yang patut diapresiasi karena telah memberikan sumbangsih kepada khazanah keislaman di Indonesia. Sedangkan pihak yang kontra memandang karya H.B Jassin tersebut merupakan sesuatu yang bid’ah dan dianggap mempermainkan agama. Lalu pada tahun 1993 H.B Jassin hadir dengan karyanya “Al-Qur’an Berwajah Puisi” yang merupakan perbaikan dari Al-Qur’an Bacaan Mulia.

Sebelum mengetahui model Al-Qur’an Berwajah Puisi muslim Indonesia pada saat itu telah terjebak pada isu Alquran yang dipuisikan, sehingga muncullah prasangka yang tidak sehat. Seperti K.H Hassan Basri, Ketua MUI yang menolak diterbitkannya Al-Qur’an Berwajah Puisi karena dianggapnya mempermainkan kitab suci Al-Qur’an, begitu juga dengan K.H Ma’ruf Amin yang beralasan bahwa penulisan Alquran merupakan petunjuk langsung dari Tuhan (Tauqifi).

Berbeda dengan yang lainnya BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid justru memberi dukungan penuh terhadap idenya Jassin menyusun Al-Qur’an Berwajah Puisi bahkan B.J Habibie memberikan sumbangan dana pribadinya sebesar 150 juta. Lalu apa keistimewaan dari Al-Qur’an Berwajah Puisi ini? Untuk menjawabnya kita perlu mengetahui sistematikanya, baik dari segi penulisan maupun modelnya, karena terjemahan ini berbeda dengan yang lainnya.

  1. B Jassin menyertakan teks Arab pada terjemahannya yang disusun berdampingan, teks Arab ditempatkan di sebelah kanan, dan terjemahannya di sebelah kiri. Model ini juga digunakan oleh terjemahan standar Indonesia sebelumnya, hanya saja pembedanya versi H.B Jassin untuk teks Arab maupun terjemahannya disusun simetris dengan pola rata tengah yang mengikuti pola penulisan pada puisi.
  2. Pada mushaf standar Indonesia, dalam satu ruang halaman terdiri dari 18 baris, sedangkan pada mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi menggunakan banyak bidang halaman. Sebab penulisan setiap baris bukan ditentukan bidang ruang di setiap halaman, tetapi ditentukan oleh isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis.
  3. Tidak ada harakat sukun untuk huruf waw dan ya’ yang berfungsi sebagai pemanjang bunyi u dan i. Untuk hal ini Jassin mengikuti mushaf al-Qur’an yang diterbitkan Arab.
  4. Dalam segi penulisan, Al-Qur’an Berwajah Puisi ditulis dengan khath berdasarkan kaidah nahwiyyah sharfiyyah. Sedangkan mushaf standar Indonesia pada kasus tertentu masih mengikuti mushaf standar Arab

Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin
Alquran Berwajah Puisi H.B. Jassin

Sedang model puitisasi terjemahan Alquran, bisa dilihat dalam contoh berikut: surat ke-26 (asy-Syu’araa) ayat 36 yang mengisahkan Fir’aun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa:
“Mereka menjawab: Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim ke kota-kota para bentara.”
Menurut Jassin, terjemahan ayat tersebut akan terasa lebih bertenaga dan penuh ancaman jika baris terakhir disusun ulang sebagai berikut:
“Dan kirim para bentara ke kota-kota.”

Contoh lain yang menurutnya akan menimbulkan penghayatan estetis yang lebih dalam secara audiovisual adalah perbedaan pilihan kata dari terjemahan Alquran pada umumnya. Ia mengambil contoh surat ke-61 (ash-Shaff) ayat 2:

“Mengapa kamu tidak mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?

bisa dipuitisasi dengan

‘Mengapa kamu katakan apa yang tiada kamu lakukan?”

Baca Juga: Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (3)

Terlepas dari kontroversi yang ada, al-Qur’an Berwajah Puisi telah memberi sumbangsih besar terhadap khazanah tafsir abad modern ini, khususnya perkembangan tafsir di Indonesia.

Wallahu A’lam

Mengapa Ada Sosok Yang Disamarkan Dalam Al-Quran?

0
Sosok yang disamarkan dalam al-quran
Sosok yang disamarkan dalam al-quran

Salah satu gaya dakwah al-Quran adalah menyebutkan sebuah peristiwa dan menyamarkan pelaku peristiwa tersebut. Tak jarang al-Quran menyebutkan kata  ganti seperti “orang-orang” ataupun kata ganti individu sebagai pelaku peristiwa tanpa menjelaskan nama atau profil yang dimaksud. Siapakah sosok yang disamarkan dalam al-Quran? Mengapa al-Quran menyamarkan sosok mereka?

Salah satu contoh keberadaan sosok yang disamarkan dalam al-Quran adalah:

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ

jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.(Q.S. At-Tahrim [66], 4).

Ayat ini menyinggung tentang sosok dua orang yang saling bekerja sama menyusahkan Nabi Muhammad. Tidak ada nama yang disebutkan, dan tidak ada sedikit profil dari keduanya yang disinggung. Para pengkaji al-Quran tentunya merasa penasaran tentang detail peristiwa tersebut dan mengapa al-Qur’an enggan dengan jelas menyebutkan nama mereka berdua.

Baca Juga: Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara

Kajian Tentang Sosok Yang Disamarkan Dalam Al-Quran

Ulama’ ahli al-Qur’an menamai kajian yang secara khusus menelusuri sosok yang disamarkan dalam al-Quran dengan nama Ilmu Mubhamat Al-Qur’an. Hanif ibn Hasan dalam catatan tahqiqnya terhadap kitab Tafsir Mubhamat Al-Qur’an karya Imam Muhammad Al-Balansi mendefinisikan Mubhamat sebagai tiap kata di dalam al-Qur’an yang menyinggung suatu sosok, namun oleh Allah tidak disebutkan secara jelas namanya. (Tafsir Mubhamat Al-Qur’an /1/34)

Entah yang tak jelas namanya itu adalah nabi, kekasih Allah dan selainnya. Entah itu dari jenis manusia, malaikat, jin, kota, bintang, pohon atau hayawan yang memiliki nama atau jumlah tak terhingga. Atau bisa berupa suatu waktu yang tak dijelaskan serta tempat yang tak dikenal.

Ulama’ yang cukup awal menyusun karya tentang kajian ini adalah Abul Qasim As-Suhaili (508-581 H) yang menyusun kitab berjudul At-Ta’rif Wal I’lam Bima Ubhima Fil Qur’an Minal Asma’ Wal A’lam. Setelah itu, Abu ‘Abdullah Ibn ‘Askar (w. 636 H) menyusun kitab berjudul At-Takmil Wal Itmam li Kitabi At-Ta’rif Wal I’lam.

Selain keduanya, ada cukup banyak ulama’ yang menyusun karya yang secara khusus membahas ilmu tersebut. Salah satunya Imam As-Suyuthi yang menyusun karya berjudul Mufhimatul Aq’ran Fi Mubhamatil Qur’an.

Sumber Pelacakan Dan Tujuan Penyamaran

Sumber pelacakan profil dari sosok yang disamarkan adalah al-Qur’an, hadis serta atsar sahabat dan tabi’in. Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa sumber pelacakan dalam Ilmu Mubhamat adalah dalil naqli atau keterangan nabi Muhammad sendiri, keterangan sahabat yang mengambil dari nabi, atau tabi’in yang mengambil dari sahabat. Imam as-Suyuthi menutup kemungkinan sumber pelacakan dari penalaran belaka. (Mufhimatul Aq’ran/8)

Sedang tujuan disamarkannya sosok-sosok tersebut disinyalir para ulama’ disebabkan salah satu dari 7 kemungkinan. Berikut rincian 7 kemungkinan tersebut beserta contohnya:

  1. Sudah di jelaskan di ayat lain. Di dalam ayat di bawah ini disebutkan tentang “orang-orang” yang masih samar jati diri mereka. Tapi, di surat an-Nisa ayat 69 sudah ada keterangan siapa sebenarnya mereka.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S. Al-Fatihah [1], 7).

  1. Dianggap sudah diketahui sebab masyhur. Di dalam ayat di bawah ini di singgung tentang sosok istri Nabi Adam. Diungkapkan secara samar sebab sudah banyak yang tahu bahwa istri Nabi Adam adalah Siti Hawa.

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini.(Q.S. Al-Baqarah [2], 35).

  1. Sengaja ditutupi sebagai bentuk dakwah yang halus pada sosok yang disamarkan. Hal ini sebagaimana cara dakwah Nabi Muhammad yang saat menunjukkan ketidak setujuan terhadap prilaku seseorang, Nabi enggan menyebut orang itu secara jelas. Contoh bagian ini adalah ayat berikut yang menyinggung suatu kaum yang samar siapa mereka:

أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ

Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan Setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? (Q.S. An-Nisa’ [4], 44).

  1. Tidak ada manfaat dalam menyebutkannya. Hal ini sebagaimana kisah-kisah dalam al-Qur’an yang lebih bermanfaat mengambil hikmah dari kisah tersebut, bukannya mencari siapa pelakunya. Contoh bagian ini adalah ayat berikut yang menyinggung sesosok orang:

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا

Atau Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. (Q.S. Al-Baqarah [2], 259).

  1. Bertujuan agar difahami bahwa hukum yang dikenakan pada sosok tersebut juga berlaku pada orang lain (berlaku secara umum). Contoh bagian ini adalah ayat berikut yang menyinggung sesosok orang:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. (Q.S. An-Nisa’ [4], 100).

  1. Tidak menyebutkan nama secara langsung sebagai bentuk penghormatan. Ini sebagaimana sahabat Abu Bakar yang disinggung sebagai “temannya” dalam ayat di bawah ini. Sebutan “temannya” adalah bentuk penghormatan sebab berarti Abu Bakar diakui sebagai teman Nabi Muhammad.

إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

Di waktu Dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (Q.S. At-Taubah [9], 40).

  1. Menunjukkan betapa hinanya sosok yang disamarkan. Ini seperti sesosok yang disebut sebagai pembenci Nabi Muhammad. Posisinya yang hinanya membuat ia tak pantas untuk dijelaskan.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)

Sesungguhnya orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (Q.S. al-Kautsar [108], 3).