Beranda blog Halaman 532

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 152-155

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 152

Ayat ini menjelaskan perkara iman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dengan tidak membeda-bedakan di antara rasul-rasul itu, terutama kepada Nabi yang terakhir, Muhammad saw.

Allah telah mengutus beberapa rasul sejak dahulu disertai petunjuk yang benar dan menutup rangkaian rasul dengan kedatangan Muhammad yang membawa kitab Alquran sebagai peraturan agama terakhir yang harus ditaati oleh seluruh umat manusia. Bagi orang yang percaya kepada kerasulannya kelak akan disediakan pahala yang besar sesuai dengan keimanan dengan disertai amal saleh.

Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan orang yang benar-benar beriman dan Maha Penyayang kepada sekalian hamba-Nya dengan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dengan perantaraan rasul-rasul-Nya.

Ayat 153

Diriwayatkan oleh Ibnu Jar³r dan Ibnu Juraij bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Kami tidak akan membenarkan ajakanmu, kecuali jika kamu dapat membawakan kepada kami sebuah kitab dari Allah kepada Fulan bahwa engkau adalah utusan Allah, dan Fulan yang lain menyatakan bahwa engkau utusan Allah,” dan begitulah seterusnya mereka menyebut beberapa nama orang-orang tertentu dan pendeta-pendeta Yahudi. Mereka berbuat demikian itu tidak lain hanya semata-mata untuk membangkang kepada Nabi Muhammad.

Orang-orang Yahudi meminta kepada Nabi Muhammad saw supaya diturunkan kepada mereka kitab dari langit yang menyebutkan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Dalam menghadapi persoalan ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk bersabar, jangan  kaget, karena orang-orang Yahudi pernah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka meminta kepada Musa supaya diperlihatkan Allah kepada mereka dengan nyata.

Permintaan yang seperti itu menunjukkan kebodohan, karena mereka menyangka bahwa Allah mempunyai tubuh yang dapat dilihat dengan nyata. Tabiat mereka yang suka mengingkari mukjizat dan tidak membedakan antara mukjizat seorang nabi dengan keanehan dari tukang sihir yang semata-mata untuk dijadikan tontonan, adalah menunjukkan keinginan dan kebodohan mereka, dan bagaimanapun keadaannya,  permintaan mereka itu tidak patut dilayani, karena mereka tetap tidak akan percaya, seperti firman Allah:

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتٰبًا فِيْ قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوْهُ بِاَيْدِيْهِمْ لَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَآ اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, ”Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (al-An’am/6:7)

Orang-orang Yahudi yang ingin melihat Allah, disambar petir sampai mati akibat permintaannya yang lancang itu, kemudian mereka dihidupkan kembali. Semestinya mereka berlaku hati-hati agar tidak terperosok dalam suatu kesalahan yang berakibat bencana besar, tetapi mereka membuat berhala berbentuk anak sapi yang mereka sembah bersama-sama.

Padahal sudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata seperti tongkat Nabi Musa yang dapat membelah laut, jika tongkat itu dipukulkan pada batu, maka batu itu memancarkan air sebagai sumber air minum. Banyak lagi mukjizat lain yang membuktikan keesaan Allah.

Allah masih juga memberi ampun kepada mereka tatkala mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Kemudian Allah memberikan kekuasaan kepada Musa a.s. untuk dapat mendudukkan dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar.

Ayat 154

Ayat ini mengungkapkan keburukan perbuatan orang-orang Yahudi, yaitu ketika mereka telah mengingkari perjanjian dengan Allah agar patuh mengamalkan kitab Taurat, maka Allah mengangkat Gunung Sinai  ke atas mereka sehingga kelihatan seperti awan hitam yang akan menimpa diri mereka.

Semula mereka enggan menerima perjanjian itu dengan sepenuh hati. Kemudian Allah memerintahkan pula kepada mereka untuk memasuki pintu gerbang Baitulmakdis, sambil menundukkan kepala dan merendahkan diri sebagai rasa syukur akan nikmat pemberian Allah, serta memohon ampunan atas segala kesalahan mereka pada masa yang lampau.

Kemudian Allah memerintahkan pula kepada mereka supaya jangan melanggar peraturan mengenai hari Sabat seperti larangan menangkap ikan dan sebagainya. Larangan itu mereka langgar, sehingga mereka pada hari Sabat ramai-ramai pergi menangkap ikan dan tidak mau masuk Baitulmakdis. Akibat perbuatan buruk mereka itu, Allah menurunkan siksaan pada mereka seperti  dalam firman Allah:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِى السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِـِٕيْنَ

Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, ”Jadilah kamu kera yang hina!” (al-Baqarah/2:65)

Mereka melakukan helah  untuk memasang perangkap pada hari Jumat, dan mengambilnya pada hari Minggu. Allah telah mengambil perjanjian dari mereka, yaitu akan mengamalkan isi kitab Taurat dengan bersungguh-sungguh dan menegakkan hukum-hukum Allah dan tidak akan melanggarnya sedikit pun, dan tidak akan menyembunyikan berita tentang kedatangan Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Jika setelah itu mereka masih melanggar janji, Allah akan menurunkan kepada mereka siksaan yang lebih hebat lagi.

Ayat 155

Ayat ini menerangkan bahwa sebab-sebab turunnya laknat dan kemurkaan Allah kepada orang-orang Yahudi karena mereka melanggar perjanjian yang telah mereka buat, menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.

Mereka mengingkari ayat-ayat Allah yang menerangkan kebenaran kenabian para nabi dan mereka telah membunuh beberapa orang nabi yang telah diutus untuk memimpin mereka, tanpa alasan yang benar seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, juga karena ucapan mereka yang mengatakan, kami tidak akan menerima kebenaran karena hati kami sudah tertutup.

Sebenarnya bukan hanya tertutup, tetapi Allah telah mengunci mati hati mereka, sebab kekafirannya dan perbuatan mereka yang buruk. Akhirnya mereka tidak termasuk orang yang beriman, kecuali beberapa orang saja seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya.

(Tafsir Kemenag)

Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

0
Ayat-Ayat Zihar
Ayat-Ayat Zihar credit: mawdoo3.com

Ayat-ayat zihar seringkali ditelaah oleh ulama tafsir berkenaan dengan isi kandungan hukumnya didasarkan pada konteks sejarah pewahyuan. Padahal jika historisitas QS. Al-Mujadalah [58]: 1-4 dilihat secara mendalam terdapat kisah romantis seorang sahabat perempuan Rasulullah bernama Khaulah bint Tsa’labah yang memperjuangkan cintanya melawan tradisi (zihar) lewat munajat kepada Allah.

Zihar merupakan salah satu tradisi Arab pra Islam yang masih menjadi norma pada masa awal Islam. Zihar secara bahasa berasal dari kata zhahr artinya punggung, yakni menyamakan punggung istri dengan ibu. Secara singkat, zihar dapat dikatakan sebagai perkataan seorang suami yang digunakan untuk menyamakan istri dengan ibunya. Dalam tradisi arab jahiliyah zihar merupakan bentuk talak (perceraian) yang paling tinggi (Tafsir Al-Marāgī [28]: 3).

Zihar adalah tradisi problematis dan diskriminatif, karena perempuan yang telah dizihar statusnya tidak jelas dan terluntang-lantung. Pada masa jahiliyah, zihar dilakukan ketika seorang suami tidak menginginkan bersama istrinya lagi dan ia juga tidak ingin istri tersebut dipersunting orang lain. Ini sangat merendahkan martabat dan kedudukan wanita, karena ia tidak bisa meminta haknya dan di sisi lain ia juga tidak bisa menikah dengan orang lain.

Problematika zihar di atas membentang dari Arab jahiliyah hingga awal kedatangan Islam, tepatnya berakhir ketika ayat-ayat zihar diturunkan, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 226-227, QS. Al-Mujadalah [58]: 2-4 dan Al-Ahzab [33]: 4. Menurut Sayyid Sabiq (Fiqh Sunnah: 620), berdasarkan ayat-ayat zihar ulama sepakat bahwa zihar diharamkan dan suami yang melakukan zihar diwajibkan untuk membayar kafarat agar bisa mencampuri istrinya lagi.


Perjuangan Cinta Khaulah bint Tsa’labah

Diceritakan bahwa suatu ketika Khaulah bertengkar dengan suaminya Aus bin Shamit al-Ansari. Dalam perdebatan tersebut, Aus merasa jengkel dan marah lalu tanpa sengaja menzihar istrinya dengan berkata, “bagiku engkau (dirimu) seperti punggung ibuku”. Setelah mengatakan hal itu, kemudian Aus pergi dari rumah untuk menenangkan pikiran dan melepaskan amarah dengan duduk santai seraya bercengkerama bersama teman-temannya.

Tidak berselang lama, Aus menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan, lalu ia pulang ke rumah untuk meminta maaf dan ingin berkumpul dengan Khaulah. Akan tetapi Khaulah menolak keinginan tersebut, karena ia menyadari dalam agama dan tradisi mereka hal itu tidak diperkenankan. Khalah berkata, “Tidak, jangan! Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan zihar kepadaku, hingga Allah dan rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”

Ketaatan terhadap norma agama dan tradisi masyarakat Arab membuat Khaulah menolak secara tegas permintaan suamianya untuk bergaul. Namun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati ia masih menyimpan cinta mendalam terhadap suami dan ingin hidup bersama seperti sedia kala. Oleh karena itu, ia menemui Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang telah terjadi sekaligus untuk meminta fatwa beliau terkait permasalahan tersebut.

Mendengar cerita Khaulah, Rasulullah sedikit kaget dan bersabda, “kami belum pernah mendapatkan wahyu berkaitan dengan urusan itu.” Karena belum ada wahyu mengenai permasalahan zihar, akhirnya Rasulullah membuat keputusan berdasarkan urf (adat) masyarakat Arab untuk menyelesaikan permasalahan ini sementara sambil menunggu perintah dari Allah. Rasul bersabda, “Aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya (Aus).

Jawaban Rasulullah di atas tidaklah memuaskan hati Khaulah, bahkan diceritakan ia sempat mendebat nabi namun tetap diberi jawaban yang sama. Apa yang dilakukan Khaulah bukan bertujuan untuk mendiskreditkan nabi atau menentang hukum yang telah ditetapkan beliau, akan tetapi didasari oleh keinginan untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami dan keinginan untuk mempertahankan kisah romantisnya bersama suami tercinta (Aus).

Dengan hati berat Khulah kembali ke rumah, namun ia masih memegang secercah harapan terhadap penyelesaian masalah yang dialaminya. Ia kemudian mengadukan segala permasalahan kepada Allah, “Masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput, aku sudah tua dan tidak mampu melahirkan anak lagi, sedang suamiku men-ziharku. Ya Allah! aku mengadu kepada-Mu.” Setiap siang dan malam ia senantiasa berdoa dan bermunajat kepada Allah.

Segala keluh kesah dari Khaulah terkait permasalahan zihar kemudian dijawab tuntas oleh Allah melalui Ayat-ayat zihar dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 1-4. Ayat pertama berbunyi:

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 1)

Baca Juga: Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya

Setelah Ayat-ayat zihar turun Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah bahwa ia bisa bersama kembali dengan suaminya, asalkan Aus membayar kafarat zihar. Dengan penuh kasih Khaulah menjawab bahwa Aus sama sekali tidak mampu untuk membayar kafarat, baik itu memerdekakan budak, puasa maupun bersedekah kurma kepada 60 orang miskin, karena ia adalah seorang yang lemah lagi miskin.

Mendengar hal itu, Rasulullah berinisiatif untuk membantu membayarkan setengah kafarat Zihar yang dilakukan Aus dengan memberi makan 30 orang miskin. Kemudian Khaulah menunjukkan bentuk kasih sayang kepada Aus dengan membayarkan sisa setengah kafarat-nya. Begitulah perjuangan cinta Khaulah untuk mempertahankan kisah romantis bersama sang suami. Wallahu a‘lam.

Belajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir Dan Musa

0
belajar metode demonstrasi
belajar metode demonstrasi

Metode Demonstrasi merupakan metode pembelajaran dengan cara memperagakan media pembelajaran baik berupa material maupun substansial (Muhibbin Syah). Metode ini menjadi penting karena terdapat aspek visualisasi sehingga memudahkan peserta didik untuk tetap fokus pada proses pembelajaran. Tulisan ini akan mengulas metode itu dari perspektif kisah Nabi Khidir dan Musa.

Kita mungkin masyhur akan ungkapan, “Aku dengar, aku lupa; aku lihat, aku ingat; aku lakukan, aku paham; aku sampaikan, aku pintar”. Sepintas ungkapan ini terlihat remeh, tetapi maknanya mendalam. Terutama pada poin “aku lihat aku ingat”. Inilah titik tekan metode demonstrasi. Baca juga: Belajar Ontologi Filsafat dari Kisah Nabi Ibrahim

Melalui visualisasi alat peraga, peserta didik cepat memahami materi yang disampaikan. Sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa a.s. yang termakstub dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 77,

فَانْطَلَقَا ۗحَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةِ ِۨاسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗقَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

“Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya. Tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu” (Q.S. al-Kahfi [18]: 77)

Tafsir Surah al-Kahfi Ayat 77

Dalam konteks pendidikan Islam, ayat ini secara tersirat pentingnya menggunakan metode demonstrasi yang dicontohkan oleh Nabi Khidir dan Nabi Musa a.s. Ayat ini juga menceritakan tentang kisah bergurunya Nabi Musa kepada Nabi Khidir. Selain itu, ayat ini berhubungan erat (munasabah) dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya, yakni Q.S. al-Kahfi [18]: 60-82. Baca juga: Inilah Enam Kompetensi Kepribadian yang Harus Dimiliki Pendidik

Di dalam ayat tersebut terkisah proses pembelajaran yang ditempuh oleh Nabi Musa kepada Nabi Khidir yang sering mengajarkan dengan praktik langsung. Misalnya, melubangi perahu milik nelayan miskin, membunuh anak kecil dengan sebab tertentu, dan menegakkan dinding rumah anak yatim yang tersimpan banyak harta kekayaaan. Di akhir peristiwa itu, lalu Nabi Khidir memberikan klarifikasi atas hal yang dilakukannya.

Jika ditilik lebih dalam, ternyata al-Baghawy dalam Ma’alim al-Tanzil meriwayatkan sebuah hadits riwayat Imam Bukhari sebagai berikut,

“Dari Sa’id bin Jabir, dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab. Rasulullah saw bersabda, “Nabi Musa berdiri pada hari di mana orang-orang menyebutkan hingga ketika mata membanjiri dan hati dicuri pergi. hal itu membuat seseorang pria bertanya kepada Nabi Musa: Wahai utusan Allah, apakah di bumi ini terdapat seseorang yang lebih ‘alim daripada engkau?

Jawab Musa, “Tidak”

Kemudian Allah menegurnya sebab tidak menginginkan ilmu kepada Allah. Dikatakan kepada Musa: “ada, (utusan Allah yang lebih pandai yaitu Nabi Khidir).”

Musa bertanya, “Ya Rabb, di mana dia?” Allah menjawab, “di pertemuan dua lautan”.

Musa berkata, “Ya Rabb jadikanlah untukku ilmu yang aku bisa mengetahui dengan Engkau darinya”. Allah menjawab, “Ambillah ikan yang mati sekiranya dapat diberikan ruh” Dalam sebuah riwayat dikatakan, “berbekallah ikan yang digoreng, maka sesungguhnya dia berada saat sekiranya kamu kehilangan ikan tersebut”

Kemudian Nabi Musa mengambil ikan dan memasukannya ke tempat ikan.”

Dari penjelasan hadis di atas dapat diketahui bahwa Allah swt sebagai Sang Khalik memberikan petunjuk-Nya melalui metode demonstrasi. Yaitu mengajar dengan menggunakan alat peraga (meragakan) untuk memperjelas suatu pengertian, atau untuk memperlihatkan bagaimana cara melakukannya.

Sedangkan redaksi yang menggambarkan metode demonstrasi terfokus pada:

فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗ

“…. kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya…”

Ibnu Katsir menafsirkan redaksi tersebut dengan iradah (kehendak) disandarkan kepada dinding. Dalam ayat ini merupakan ungkapan isti’arah (kata pinjaman). Karena sesungguhnya pengertian kehendak hanyalah disandarkan kepada makhluk yang bernyawa berarti kecenderungan. Inqaddha artinya runtuh (roboh).

Adapun lafadz fa-aqamah, Ibnu Katsir dan ‘Ali al-Shabuny memaknainya dengan mengembalikannya ke posisi tegak kembali. Dalam hadis yang terdahulu disebutkan bahwa Nabi Khidir menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya. Yaitu dengan mendorongnya sehingga tidak miring lagi; hal ini merupakan peristiewa yang luar biasa.

Pembuktikan lain adanya metode demonstrasi ini disampaikan oleh sabda Nabi saw terkait perintah shalat,:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

“Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (H.R. al-Bukhari No. 226)

Hadis ini dengan jelas dan gamblang bahwa Rasulullah saw menunjukkan tata cara salat Rasululah kepada para sahabat. Sehingga para sahabat dipesankan oleh-Nya agar mempraktikkan shalat seperti yang dicontohkan-Nya. Kemudian mereka bisa mengajari keluarganya, sahabatnya, dan seterusnya.

Belajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir dan Musa

Dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa di atas serta Rasulullah saw kita dapat memetik pesan bahwa beliau semua pernah mempraktikkan metode demonstrasi. Hal ini guna memperjelas pesan yang dimaksud. Beliau tidak segan untuk mempraktikkannya terlebih dahulu sebelum ditiru oleh umatnya.

Maka hendaknya seorang pendidik menerapkan metode demonstrasi dengan mempertimbangkan segala kondisi yang ada. Hal ini baik untuk melatih kemampuan kognitif dan psikomotorik peserta didik untuk dapat mengingat, memahami materi pembelajaran dalam waktu yang cukup lama. Setidaknya tidak mudah lupa. Baca juga: Tafsir Tarbawi; Mengulik Metode Tanya-Jawab Ala Rasulullah Saw.

Visualisasi pembelajaran dapat dilakukan baik oleh pendidik maupun peserta didik yang diminta mempraktikkan suatu pekerjaan. Metode ini dapat membantu memfokuskan perhatian peserta didik pada proses belajar dan tidak tertuju pada hal-hal lain. Di sisi lain, dapat meminimalisir kesalahan dalam mengambil kesimpulan, dibandingkan hanya melulu membaca buku tanpa dibarengi dengan demonstrasi.

Demikian juga, metode demonstrasi ini akan tidak efektif jika peraga atau media yang digunakan tidak relevan dengan materi atau pemahaman peserta didik. Misal alat peraga tampak minimalis, peraga A materi B, dan sebaliknya. Maka strategi dan desain pembelajaran juga harus link and match dengan metode demonstrasi. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan agar metode ini menjadi metode yang tepat dan menjadikan siswa lebih aktif dan paham terhadap materi pembelajaran. Wallahu A’lam.

Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya

0
sujud
Ilustrasi sujud dalam salat.

Esensi sujud adalah menundukkan semua keegoisan dan menanggalkan semua hal yang melekat dalam tubuh kita kepada Allah swt. Dalam artian kita menyadari bahwa semua yang kita peroleh kemarin, sekarang, dan esok tak terlepas dari anugerah dan rahmat Allah swt.

Maka esensi sujud ini sangat erat kaitannya dengan masjid, tempat di mana sujud sering dilakukan, khususnya pada saat melaksanakan ibadah sholat. Masjid itu terambil kata bahasa arab yaitu masjidun. Akar katanya adalah sajada-yasjudu-sujud, yang artinya secara bahasa adalah tunduk, patuh, taat, dan penuh penghormatan.

Sedangkan secara syariat adalah meletakkan Dahi, kedua telapak tangan, lutut dan kedua ujung kaki ke bumi. Bentuk gerakan lahiriah ini umumnya kita temukan pada saat umat muslim melaksanakan shalat. Sehingga berawal dari sinilah kemudian bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat dinamakan dengan masjid, yang berarti “tempat bersujud”.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 97-98 tentang Hijrah

Di dalam Al Quran, kita sering menjumpai kata sujud melekat pada berbagai arti. Menurut Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Quran, beliau menjelasakan ada tiga esensi sujud yang bisa kita temukan dalam Al-Qur’an. Yang pertama, sujud dapat diartikan sebagai penghormatan dan pengakuan akan kelebihan pihak lain seperti sujudnya para malaikat kepada nabi Adam a.s sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 34,

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰࣤئِكَةِ اسْجُدُوْالِاٰدَمَ فَسَجَدُوْاࣤ اِلَّآ اِبْلِيْسَ ۗ اٰبٰى وَاسْتَكْبَرَ ۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

“Dan (ingatlah)ketika kami berfirman kepada para malaikat, “sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. Al-Baqarah: 34)

Yang kedua, sujud dapat berarti kesadaran terhadap kekhilafan serta pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 70.

فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوْاࣤ اٰمَنَّا بِرَبِّ هٰرُوْنَ وَمُوْسٰى

“Lalu para penyihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, “kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.”(QS. Thaha:70)

Baca juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25

Yang ketiga, sujud berarti mengikuti maupun menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah yang berkaitan dengan alam raya ini  yang secara salah kaprah dan populer sering dinamakan hukum-hukum alam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ

“Dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). (QS. Ar-Rahman:6)

Setelah kita memahami arti sujud, selanjutnya kita perlu mengenal juga bagaimana tempat yang digunakan untuk bersujud, Yakni Masjid. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an

وَّاَنَّ الْمَسْجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا ۖ

“ Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah menyembah  sesuatu pun selain Allah” (QS. Al-Jin:18)

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

 Dalam sebuah Hadits, Rasulullah Saw. Bersabda,

“telah dijadikan untukku (dan untuk ummatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Dari ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah diatas, kita dapat menangkap makna bahwasanya masjid bukan hanya berarti sebuah bangunan yang digunakan khusus untuk bersuci mengambil air wudhlu dan tempat menunaikan ibadah  sholat, akan tetapi juga berfungsi sebagai sarana terhadap segala aktifitas manusia yang mencerminkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah swt.

Sementara, Akhir-akhir ini kita banyak melihat fenomena dimana masjid ternyata hanya dijadikan sebagai simbol kekayaan para ta’mirul dan relawan kaya yang berkontribusi banyak dengan masjid tersebut. Karenanya, segala hal yang ditampilkan hanyalah berupa keindahan Arsitektur serta kelebihan material.

Baca juga: Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

Sementara esensi dari Masjid itu sendiri sedikit demi sedikit tergeser, menyalahi syariat sebagaimana yang telah dicontohkan dalam hadits Nabi Saw juga sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama kita pada zaman dahulu. Penyalahgunaan fungsi masjid ini dijelaskan oleh Allah swt sebagai perilaku yang menggambarkan sifat kaum munafik yang merugikan umat muslim, sebagaimana  dalam firman-Nya

وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗ  وَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰى ۗ وَاللهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ.

“ Dan (diantara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecahbelah orang-orang mukmin, serta menunggu (mengamat-amati) kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu ( QS. At-Taubah: 107)

Lantas bagaimana fungsi masjid yang sesungguhnya ? Rasulullah Saw, telah mencontohkan hal tersebut dalam kehidupan beliau. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau sempat singgah di sebuah perkampungan yang bernama Quba. Beliau kemudian membangun Masjid untuk pertama kalinya  disana, yang kemudian dinamakan dengan Masjid Quba. Setelah Rasulullah sampai di Madinah, beliau membangun masjid kedua, yang dinamai Masjid Nabawi. Di masjid inilah Rasulullah melaksanakan segala aktivitas yang berkaitan dengan umat muslim.

Baca juga: Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

Dalam catatan sejarah, Masjid Nabawi banyak difungsikan untuk segala kegiatan Mulai dari sholat, musyawarah urusan Negara, mengajarkan Al-Qur’an dan pendidikan lainnya, tempat penyantunan sosial, tempat Latihan militer, tempat untuk mengobati  para korban perang, bahkan menjadi tempat pertemuan Rasulullah dengan para sahabat dan masyarakat yang ingin mengkonsultasikan perihal masalah hidupnya sehari-hari.

Kalau kita membaca sejarah, Betapa banyak fungsi Masjid yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dimana bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Beda halnya dengan saat ini dimana masjid hanya di peruntukkan khusus untuk ibadah saja. Bagi Jama’ah yang beraktivitas di luar ibadah akan dilarang oleh Ta’mirul masjid tersebut bahkan disebagian tempat ada yang jama’ahnya di usir keluar dari masjid hanya karena Tidur sebentar melepas penat dalam perjalanan.

Semoga dengan penjelasan diatas, kita dapat memakmurkan masjid dan memfungsikannya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Aamiin.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 146-151

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 146

Orang-orang munafik masih diberi kesempatan untuk bertobat selama ajal mereka belum tiba, asal mereka betul-betul menyesali perbuatan mereka atas dasar kesadaran yang keluar dari hati nurani mereka, dan memperbaiki perbuatan mereka dengan melakukan amal saleh dan berpegang teguh pada tuntunan Ilahi.

Dengan kata lain, ancaman Tuhan yang sangat keras itu tidak akan menimpa mereka, apabila mereka bertobat dan menyesali perbuatannya, kemudian melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:

  1. Mereka betul-betul berusaha untuk melakukan amal saleh yang dapat menghilangkan noda kemunafikannya dengan selalu bersifat jujur, baik dalam berkata maupun dalam berbuat, dapat dipercaya, memenuhi janji, ikhlas terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan tetap melakukan salat dengan khusyuk serta tekun, baik di hadapan orang maupun pada waktu sendiri-sendiri.
  2. Berpegang teguh kepada ajaran Allah, yaitu meniatkan tobat dan amal saleh kepada keridaan Allah serta berpegang teguh pada Alquran, berakhlak mulia serta berperangai baik sesuai dengan ajaran Alquran, menjalani semua perintah dan menjauhi segala larangan Allah.
  3. Mengikhlaskan diri kepada Allah yaitu memohon pertolongan hanya kepada-Nya, baik pada waktu senang atau dalam keadaan susah.

Apabila mereka melakukan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Allah berjanji akan memasukkan mereka ke dalam barisan orang-orang mukmin di hari kiamat, karena mereka telah beriman, dan beramal seperti orang-orang mukmin, bahkan mereka itu akan diberi pahala seperti pahala yang diterima oleh orang-orang mukmin.

Ayat 147

Allah tidak akan menyiksa seseorang secara semena-mena. Allah menyiksa orang-orang munafik, hanyalah karena perbuatan mereka sendiri. Kepada mereka telah diberi akal, panca indera dan perasaan tetapi tidak mereka pergunakan sebagaimana mestinya sehingga mereka tidak mau menerima petunjuk-petunjuk Allah, dan jiwa mereka menjadi kotor serta penyakit kemunafikan bersemi di dalam diri mereka.

Apabila Allah memberikan pahala kepada mereka, sesudah mereka bertobat adalah karena kesadaran dan keikhlasan yang timbul dari hati mereka sendiri, dan telah melakukan amal saleh yang didasarkan kepada iman yang benar. Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Pembalas jasa kepada hamba-Nya yang mau bersyukur dan Maha Mengetahui setiap amal perbuatan yang dilakukannya, dengan memberikan pahala yang tidak terhingga. Allah berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrahim/14:7).

Ayat 148

Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun. Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin. Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak memberinya pahala.

Dalam hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman.

Jika seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, orang yang teraniaya melontarkan ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya.

Hal ini dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak dan keadilan akan lenyap. Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk akibatnya, sesuai dengan kaidah:

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Melakukan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan.”

Orang yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya. Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya, kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan yang buruk.

Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.

Ayat 149

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa menyatakan suatu perbuatan baik dengan membeberkannya memang baik, seandainya orang yang melakukan perbuatan itu dapat menjaga diri dari sifat ria serta hatinya penuh dengan keikhlasan dan keimanan, sehingga menjadi teladan bagi orang lain.

Sedangkan mengerjakan kebaikan secara tersembunyi akan lebih memelihara kehormatan fakir miskin. Pemberian maaf yang dilakukan seseorang kepada orang-orang yang telah berbuat salah terhadapnya termasuk perbuatan yang akan mendapat balasan dan pahala dari Allah, sebab Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.

Ayat 150-151

Di antara manusia ada yang beriman kepada Allah dan sebagian rasul-Nya seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi berkata, “Kami percaya hanya kepada Musa, tidak percaya kepada Muhammad.” Dan orang Nasrani berkata, “Kami percaya kepada Musa dan Isa, tetapi tidak percaya kepada Muhammad.” Kepercayaan seperti itu berarti mencampur-adukkan antara iman dan kafir, padahal sesungguhnya iman dan kafir itu adalah dua hal yang sangat bertentangan.

Jika orang Yahudi itu sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Musa, tentulah beriman pula kepada Nabi Muhammad saw, demikian pula orang Nasrani, jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Nabi Isa, tentulah mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw karena perihal kedatangan Nabi Muhammad saw itu disebut-sebut pula dalam kitab Taurat dan Injil, dan Nabi Muhammad pun membenarkan kitab Taurat dan Injil yang asli yang menjadi pegangan mereka.

Alasan-alasan yang menunjukkan atas kebenaran kenabian Muhammad saw adalah sempurna, karena Nabi Muhammad saw seorang yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis), dibesarkan dalam masyarakat jahiliah, kepadanya diturunkan Alquran yang sempurna, yang menerangkan segala yang benar.

Kedua golongan yang membeda-bedakan kepercayaan terhadap sebagian rasul itu dinyatakan Allah sebagai orang kafir. Terhadap mereka Allah menyediakan siksaan yang menghinakan, azab yang mengandung penghinaan dan penderitaan.

(Tafsir Kemenag)

Rasulullah Pun Pernah Mempraktikan Metode Bandongan

0
metode bandongan
metode bandongan (pp. Babussalam)

Dalam gramatikal Arab, bandongan disebut juga halaqah (metode melingkar/ lingkaran). Metode ini memungkinkan para sahabat membentuk setengah lingkaran dan mengelilingi Rasulullah saw. Di mana Rasul saw. bisa mengawasi dengan cermat sebab jarak keduanya lumayan dekat.

Kedekatan jarak pendidik dan peserta didik juga membangun hubungan emosional mereka lebih dekat. Selain itu, menampilkan bagaimana pendidikan Islam begitu egaliter, termasuk pondok pesantren. Praktik metode ini telah disitir oleh firman-Nya dalam Q.S. al-Mujadalah [58]: 11,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11)

Tafsir Surat al-Mujadalah Ayat 11

As- Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan majelis dzikir di mana para sahabat enggan memberikan tempat duduk kepada sahabat yang lain.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Qatadah bahwa apabila ada orang yang baru datang ke majelis Rasul saw, para sahabat enggan memberikan tempat duduknya di dekat Rasul saw. Maka turunlah ayat ini, surat al-Mujadalah ayat 11.

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim, dari Muqatil bahwa ayat ini turun pada hari Jumat, tatkala pahlawan Badar datang ke majelis Rasul saw yang penuh sesak, sehingga mereka terpaksa berdiri. Melihat hal itu, lantas Rasul saw menyuruh sahabatnya yang sudah duduk untuk berdiri.

Sedangkan para pahlawan Badr disuruh menempati tempat duduk sahabat yang berdiri tadi. Adapun mereka yang berdiri berpindah tempat, dan merasa tersinggung. Ayat ini turun sebagai perintah kepada orang mukmin untuk menataati Rasul saw dan memberikan kesempatan duduk kepada mukmin lainnya.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks


Penafsiran ini akan berfokus pada konteks metode bandongan yang dalam bahasa Arab disebut juga halaqah (melingkar). Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ulama qiraat ada yang membacanya al-majlis (dalam bentuk tunggal, bukan jamak). Sedangkan Al-Qurthuby menukil Wazir bin Hubaisy dan Ashim membacanya dengan majalis (bentuk jama’).

Di dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah disebutkan bahwa Rasulullah saw belum pernah duduk di tempat paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah majelis itu.

Sedang, para sahabat duduk di dekatnya sesuai tingkatan mereka. Maka, Abu Bakar as-Shiddiq duduk di sebelah kannya, Umar di sebelah kirinya, sedangkan yang seirng menempati duduk di depan beliau ialah Usman dan Ali, karena keduanya termasuk juru pencatat wahyu.

Dan Nabi saw sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hall tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam H.R. Imam Muslim, melalui hadits al-A’masy, dari Imarah bin Umar, dari Ma’mar, dari Abu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda,

لِيَلِينِيْ مِنْكُمْ أُولُوا الْأَحْلَامِ والنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.

Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami penjelasan beliau saw. Karena itulah, beliau saw memerintahkan kepada mereka yang berada di dekatnya untuk beranjak dari tempat duduknya, dan meminta orang-orang ahli Badar yang baru tiba menduduki tempat sahabat tadi.

Hal semacam ini dimungkinkan terjadi karena mereka kurang menghargai kedudukan ahli Badar atau agar ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima ilmu sebagaimana ilmu yang diterima oleh orang-orang sebelum mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-orang yang memiliki keutamaan itu (ahli Badar) harus diprioritaskan berada di depan (dekat dengan Nabi saw).


Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren


Rasulullah Saw Pun Pernah Mempraktikkan Metode Bandongan

Sebagaimana penjelasan penafsiran di atas, Rasul saw pun pernah mempraktikkan metode bandongan. Istilah bandongan sendiri berasal dari bahasa Sunda, ‘ngabandungan’ yang berarti memperhatikan secara seksama atau menyiak. Biasanya istilah bandongan dipadukan dengan sorogan di mana kedua metode ini sudah menjadi entitas yang melekat dalam pembelajaran pesantren.

Dengan metode ini, para santri atau peserta didik akan belajar dengan menyimak secara kolektif. Dalam bahasa Jawa, bandongan juga disebutkan berasal dari kata ‘bandong’, yakni pergi berbondong-bondong. Dikarenakan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar.

Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia menyatakan metode bandongan merupakan metode utama dalam sistem pengajaran di pesantren. Dalam sistem ini, sekelompok peserta didik (antara 5 sampai dengan 500 murid) mendengarkan seorang pendidik yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulang buku-buku Islam dalam bahasa Arab.

Setiap peserta didik memperhatikan bukunya sendiri dan membuat hasyiyah (catatan pinggir secara ringkas) tentang hal-hal yang sulit dipahami. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah, yang secara bahasa diartikan lingkaran murid, atau sekelompok peserta didik yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau pendidik.

Ternyata metode bandongan juga tidak hanya pernah dipraktikkan oleh Rasul saja, akan tetapi dilestarikan oleh para sahabat, sebut saja Umar bin Khattab. Pada masa kekhalifahannya, beliau mengirimkan beberapa qari’ untuk mengajarkan Alquran di wilayah Islam, salah satu yang didelegasikannya adalah Abu Darda’.

Abu Darda’ merupakan salah seorang sahabat bertugas mengajarkan Alquran di Damaskus. Di sana dia membuat halaqah atau bandongan yang sangat masyhur di mana jumlah peserta didiknya mencapai 1600-an lebih, sungguh jumlah yang sangat fantastis bukan.

Metode yang digunakan Abu Darda’ pun dengan membagi peserta didiknya ke dalam 10 kelompok kecil dan menugaskan seorang instruktur pada tiap-tiap kelompok. Lalu ia melakukan inspeksi keliling guna memantau kemajuan peserta didiknya. Bagi mereka yang telah lulus tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan langsung di bawah beliau agar peserta didik merasa lebih terhormat mendapatkan pengajaran langsung dengan sang guru atau pendidik.

Model metode seperti ini juga telah diaplikasikan di berbagai pesantren dengan santri baru terlebih dahulu belajar Alquran atau materi awal dengan para asatidz sebelum belajar langsung dengan Kiai atau Bu Nyai.

Hal ini bertujuan untuk membentuk keefektifan dalam suatu pembelajaran. Sebab santri baru akan lebih baik dan sebaiknya memang mendapat pembelajaran yang relatif cukup lama ketimbang santri lama atau sudah mahir. Wallahu A’lam.

Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud

0
Abdullah Ibn Mas'ud
Abdullah Ibn Mas'ud credit: tebyan.net

Sekilas Tentang Abdullah Ibn Mas’ud

Nama lengkapnya ialah Abdullah ibn Mas’ud ibn Ghafil. Ia memiliki kunyah Abu Abdirrahman al-Hudzali. Ibunya bernama Ummu Abd bintu Abdud yang berasal dari Hudzail. Sesekali Ibn Mas’ud dinasabkan kepada ibunya sehingga ia pun dipanggil Ibn Ummi Abd.

Dikatakan bahwa ciri fisik dari Ibn Mas’ud ialah berperawakan kurus, pendek, serta memiliki kulit yang pekat. Ibn Mas’ud tergolong dalam orang-orang yang pertama kali masuk Islam (assabiqunal awwalun). Dia juga termasuk orang pertama, setelah Rasulullah, yang membacakan al-Qur’an secara terang-terangan di Mekkah dan memperdengarkannya kepada orang-orang Quraisy.

Saat Abdullah ibn Mas’ud masuk Islam, Rasulullah pun mengajaknya dan ia pun kemudian mengabdi kepada Rasulullah dalam hampir segala hal yang dilakukan Rasul. Ia lah yang mengurusi perlengkapan bersuci Rasul, siwaknya, hingga sandalnya. Layaknya bodyguard, ia pun berjalan di depan Rasul tatkala bepergian serta menutupinya ketika mandi. Ia juga biasa saja masuk ke rumah Rasul dan sampai seorang sahabat yakni Abu Musa al-Asy’ari mengiranya sebagai bagian dari Ahlu Bait.

Sebagai sahabat yang begitu dekat dengan Rasulullah, Ibn Mas’ud telah mengikuti beberapa peristiwa penting bersama Rasulullah. Mulai dari hijrah ke Habasyah, kemudian Madinah, lalu peristiwa perpindahan kiblat, perang Badr, Uhud, Khandaq, kemudian peristiwa Bai’ah Ridwan, serta seluruh peperangan yang diikuti oleh Rasulullah. Setelah wafatnya Rasul pun ia tetap berkontribusi dalam perang Yarmuk. Dikatakan dalam sejarah bahwa Ibn Mas’ud-lah yang berhasil menumpahkan darah Abu Jahal saat perang Badr.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Begitu besarnya kontribusi Ibn Mas’ud dalam perkembangan Islam, ia pun dipercaya sebagai pengelola Baitul Mal di Kufah pada dua era Khalifah yakni Umar dan Utsman. Sebelum wafat, ia pun meninggalkan Kufah dan mendapati Madinah sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Abdullah Ibn Mas’ud pun wafat di tahun 32 Hijriyah dan umurnya kala itu sekitar 60 tahun.

Level Keilmuan

Ibn Mas’ud merupakan sahabat yang paling menguasai al-Qur’an. Rasulullah pun mewajibkan untuk mendengarkan bacaan Ibn Mas’ud. Rasul bersabda, “barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an sebagaimana waktu diturunkannya, maka hendaklah membaca dengan qira’at Ibn Ummi Abd”.

Dalam riwayat lain bahkan Ibn Mas’ud berkata bahwa tidak ada satu ayat pun yang ia tidak ketahui konteks pewahyuannya. Ini memperlihatkan kedalaman ilmu Ibn Mas’ud dengan makna ayat serta asbabun nuzulnya. Bahkan di akhir riwayat, ia mengatakan bahwa seandainya ada seseorang yang lebih mengetahui darinya, niscaya ia akan mencarinya jika bisa ditempuh dengan menunggang unta. Ini menunjukkan betapa keseriusan Ibn Mas’ud dalam belajar al-Qur’an.

Kedudukan Ibn Mas’ud juga disebutkan dalam sebuah riwayat yang memuat pujian kepadanya. Dikatakan bahwa keseluruhan ilmu dari para sahabat bermuara pada enam orang yaitu Ali, Umar, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Abu Darda’, serta Zaid ibn Tsabit. Dan dari enam orang tersebut masih bermuara lagi pada dua orang yakni Ali dan Abdullah ibn Mas’ud.

Tatkala Ibn Mas’ud diutus oleh Umar pergi ke Kufah sebagai pejabat pemerintah, Umar pun telah memesani para penduduk Kufah untuk menimba ilmu dan merujuk kepadanya. Benar saja, saat sampai di Kufah Ibn Mas’ud pun dijadikan sebagai pengajar utama Al-Qur’an, Hadis serta Fiqh. Beberapa riwayat itu memperlihatkan betapa tingginya derajat keilmuan Ibn Mas’ud di mata para sahabat.

Hal Menarik Seputar Abdullah Ibn Mas’ud

Hal menarik dalam kisah Ibn Mas’ud adalah tatkala ia mendapati perselisihan dengan Utsman ibn Affan selaku khalifah pada saat itu. Perselisihan mereka perihal kodifikasi al-Qur’an. Utsman pada saat itu memerintahkan agar para sahabat yang memiliki mushaf pribadi agar disetorkan dan dibakar karena akan digantikan dengan mushaf Imam yang sedang digarap. Saat bertemu Ibn Mas’ud, Utsman memintanya agar memberikan mushaf miliknya dan sekaligus mengabarkan mengenai proyek kodifikasi al-Qur’an.

Abdullah ibn Mas’ud pun awalnya menolak sebab ia mengatakan bahwa seluruh bacaan al-Qur’an merupakan bacaan yang telah disetorkan pada Rasulullah dan tidak mungkin ada kesalahan. Selanjutnya ia juga mengomentari pedas pemilihan Zaid ibn Tsabit sebagai ketua panitia penulisan mushaf—sebab ia tidak dipilih. Ia berkomentar bahwa Zaid ibn Tsabit tidaklah lebih cakap darinya dalam keilmuan. Namun, kemudian berkat penjelasan dari Utsman yang menitikberatkan pada upaya menyelesaikan perdebatan umat terkait perbedaan qira’at akhirnya hal ini bisa teratasi. Dalam masalah ini, Ali ibn Abi Thalib pun menekankan bahwa apa yang diusahakan oleh Utsman adalah hal yang baik dan seandainya Utsman tidak mau melakukannya (membakar mushaf milik sahabat) maka ia yang akan melakukannya.

Hal menarik lainnya adalah tatkala bacaan atau qira’at dari Ibn Mas’ud digunakan sebagai penafsiran dalam penetapan hukum. Kasus hukuman potong tangan menjadi salah satu contohnya di mana ayat faqtha’u aidiyahuma ditafsirkan dengan qira’at Ibn Mas’ud yang menyebut faqtha’u aimanahuma. Dari situlah maka hukuman potong tangan ditetapkan dengan mendahulukan memotong tangan kanan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 141-145

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 141

Kaum munafik senantiasa menunggu-nunggu peluang yang baik yang menguntungkan diri mereka. Mereka mencari-cari kesempatan kapan terjadi peristiwa yang menimpa Muslimin. Harapan mereka ialah hancurnya kekuatan Islam dan kemenangan orang-orang kafir.

Hanya saja mereka tidak mau menampakkan sikap yang tegas karena mereka dipengaruhi oleh keragu-raguan yang menyelubungi jiwa mereka. Itulah sebabnya apabila kemenangan diperoleh Muslimin, mereka mengaku bahwa mereka membantu kaum Muslimin, agar memperoleh kesempatan untuk menikmati kemenangan itu.

Sebaliknya apabila kemenangan berada di pihak orang-orang kafir mereka pun mengatakan bahwa mereka berusaha dengan keras untuk membantu mereka dalam menghadapi serangan-serangan kaum Muslimin, dengan maksud agar mereka dapat memperoleh bagian dari kemenangan tersebut.

Jelas bahwa perbuatan orang-orang munafik itu adalah semata-mata untuk memperoleh keuntungan, tetapi tidak mau menanggung resikonya. Dengan demikian mereka ingin mendapatkan keuntungan tanpa berusaha, dan ingin menyelamatkan diri tanpa bersusah payah.

Maka ayat ini menegaskan bahwa Allah akan menentukan pada hari kiamat siapa-siapa di antara mereka yang betul-betul beriman dan melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas, dan siapa yang munafik dan pura-pura beriman tetapi di hatinya tersembunyi penyakit nifaq. Allah akan memberikan pahala kepada siapa yang berhak menerimanya, dan juga akan memberikan siksaan kepada siapa yang berhak menerimanya.

Selama kaum Muslimin tetap berpegang kepada agama, melaksanakan apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya, serta berusaha menyiapkan apa yang diperlukan untuk kepentingan agama, niscaya Allah akan menjamin kemenangan mereka, sedikit pun Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memperoleh kemenangan atas orang-orang mukmin.

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُ

”Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat),” (al-Mu’min/40:51)

Ayat 142

Kemudian Allah menjelaskan sikap orang-orang munafik yang selalu membantu tipu daya untuk menghalang-halangi berkembangnya agama Islam. Mereka juga menipu Rasul saw dengan jalan menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.

Kaum munafik telah menipu Allah dengan menipu Rasul-Nya, karena menipu Rasul itu disamakan dengan menipu Allah. Perbuatan mereka menipu Allah dan Rasul-Nya itu adalah perbuatan sesat. Allah Maha Mengetahui apa yang terkandung dalam hati mereka. Oleh sebab itu Allah membalas tipuan mereka seperti yang diterangkan dalam firman-Nya:

وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللّٰهُ  ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمَاكِرِيْنَ

Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali ‘Imran/3:54).

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ

Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (al-Baqarah/2:17)

Tipu daya mereka tidak akan berhasil dan mereka tidak akan mendapat manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah karena sifat-sifat kemunafikannya yang bersemi di dalam dada mereka.

Apabila mereka mendirikan salat, mereka bermalas-malas karena tidak mempunyai keinginan untuk melakukannya, mereka tidak meyakini adanya pahala di akhirat dan tidak merasa takut akan ancaman Allah di hari kemudian. Hal ini disebabkan karena hatinya kosong dari iman yang benar. Mereka ikut melakukan salat hanyalah agar dikatakan Muslim. Sedangkan apabila mereka tidak lagi berada dilingkungan kaum Muslimin, mereka tidak lagi melakukannya.

Pantaslah apabila mereka berlaku demikian karena mereka sebenarnya adalah bersifat ria, ingin agar mereka dianggap mukmin. Mereka tidak melakukan salat terkecuali dalam waktu-waktu tertentu saja, yaitu pada saat-saat mereka berada di hadapan umat Islam.

Ayat 143

Kaum munafik kadang-kadang memihak orang-orang mukmin dan kadang-kadang memihak orang-orang kafir. Sikap mereka memihak itupun tidak dilakukan secara ikhlas, karena mereka hanya menginginkan ketentuan duniawi dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan yang akan dijumpainya dari kedua belah pihak.

Barang siapa yang disesatkan dari hidayah Allah, maka tidak ada yang dapat menolong dan tidak ada yang dapat menunjukinya kepada jalan yang benar yang akan melepaskan mereka dari kesesatan.

Ayat 144

Dalam ayat ini ada larangan, agar orang-orang mukmin tidak meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi kaum Muslimin, baik dengan meminta pendapat atau berteman dekat dengan mereka, dan tidak boleh memberikan kepercayaan apalagi membocorkan rahasia kepada mereka. Larangan serupa ini terdapat juga dalam firman Allah:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan (siksa) dari-Nya, ….”  (Ali ‘Imran/3:28).

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. …” (al-Ma’idah/5:51)

Kaum Muslimin diperingatkan agar berhati-hati dalam meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi Islam baik dengan niat, ide-ide maupun dengan perbuatan, karena pertolongan yang didapat dari orang-orang kafir itu mungkin akan membahayakan kaum Muslimin sendiri. Allah menanyakan kepada orang-orang mukmin, apakah mereka akan membuat hal-hal yang menyebabkan mereka berhak menerima siksaan yaitu apabila mereka menggunakan orang kafir menjadi penolong mereka?

Ayat 145

Orang-orang munafik diperingatkan, bahwa mereka akan disiksa di neraka pada tingkatan yang paling bawah, karena perbuatan mereka dipandang perbuatan yang paling jahat, di dalam diri mereka bersemi kekafiran dan kemunafikan. Mereka menipu Rasulullah dan orang-orang mukmin. Maka siksaan yang paling pantas bagi mereka ialah neraka yang paling bawah tingkatannya. Mereka tidak akan mendapatkan penolong yang dapat menyelamatkan ataupun meringankan siksaan yang akan mereka terima.

(Tafsir Kemenag)

Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

0
hikmah puasa
hikmah puasa

Hikmah puasa menjadi topik yang sangat dekat dengan kehidupan umat Islam, ini banyak dicari untuk diketahui, karena seperti diketahui, puasa tidak hanya menjadi ibadah wajib tahunan umat Islam, tetapi juga sangat sering dijadikan sebagai amalan sunnah di hari-hari yang istimewa, sebut saja yang paling mendekati adalah hari asyura. Bahkan, banyak disampaikan oleh para ulama bahwa puasa dipilih sebagai alternatif amalan tirakat yang disarankan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan memperlancar hajat atau keperluan seseorang.

Namun demikian sebelum membahas hikmah puasa, kita harus ketahui terlebih dahulu puasa itu sendiri, mulai dari pengertiannya, dasar teologisnya, hukumnya dan macam-macamnya. Puasa -wajib- merupakan satu dari beberapa rukun Islam. Secara definitif, rukun merupakan sesuatu yang pokok yang tidak boleh tidak dilaksanakan. Oleh karenanya manusia sebagai hamba memiliki kewajiban untuk memenuhi rukun tersebut. Pemenuhan dan pelaksanaan kewajiban seperti ini merupakan bingkai yang menjembatani sebuah relationship antara hamba dan Tuhannya.

Seperti hal nya rukun Islam yang lain, dasar perintah puasa sudah ditetapkan dalam Alquran. Dalam surat Al-Baqarah ayat 183, Allah berfirman

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Sesuai redaksi akhir ayat di atas, tujuan utama perintah ini adalah agar manusia bertakwa. Takwa dalam konteks puasa di sini berarti bentuk ketakutan hamba kepada Allah yang diwujudkan dengan meninggalkan kesenangan perut dan kesenangan di bawah perut. Sebab, keduanya adalah hal yang paling disukai manusia sehingga paling berat untuk ditinggalkan. Selain itu, takwa di sini bisa juga diartikan dengan al-muhafadzoh (menjaga), yakni menjaga puasa karena kedudukannya yang agung.

Perintah wajib berpuasa pada ayat di atas memang hanya berlaku untuk puasa wajib, yaitu puasa di bulan Ramadan. Namun tujuan yang puasa yang tersurat di situ tidak hanya berlaku untuk puasa Ramadan, tetapi juga menjadi tujuan dari puasa sunnah (misal puasa tasu’a, asyura, puasa hari tarwiyah, arafah, senin-kamis dan seterusnya). Di bagian tujuan berpuasa sini kita dapat melihat nilai puasa dan kandungan hikmah puasa.

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Puasa dianggap sebagai bentuk nyata kepatuhan seseorang, serta benteng baginya dari segala pelanggaran. Telah disabdakan oleh Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Puasa itu adalah benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah, ‘aku sedang berpuasa’ sebanyak dua kali. Dan demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah swt daripada harumnya minyak misk, karena dia meninggalkan makanannya, minumannya dan nafsu syahwatnya karena-Ku (Allah). (HR. Al-Bukhari)

Mengenai tradisi puasa, dikatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang juga diperintahkan pada umat-umat terdahulu. Para Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani menganggap terpuji ibadah puasa dan orang yang berpuasa. Bahkan menurut Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir, puasa juga dijalankan oleh kaum pagan serta bangsa Yunani dan Mesir kuno.

Jika ditinjau dari segi fiqih, puasa adalah al-imsak yang berarti menahan diri dari segala hal yang membatalkannya, seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan diawali niat. Bagi para alim ‘allamah (orang yang ahli dalam bidang agama), puasa tidak sekadar menahan lapar dan haus, ada hikmah tersimpan dalam ibadah tersebut. Berikut beberapa hikmah puasa yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah Az-Zuhaili

  1. Melatih diri untuk takut kepada Allah baik dalam keadaan samar maupun terang-terangan. Seseorang yang berpuasa hanya diawasi oleh tuhannya, sehingga ketika ia merasa lapar dan dahaga saat mencium aroma hidangan dan melihat segarnya minuman namun tetap menahan diri, maka ia telah membuktikan rasa takutnya kepada Allah. Ia hanya mengharap pahala dan rida dari-Nya,
  2. Meredam syahwat. Syahwat sifatnya mempengaruhi dan menguasai, maka dengan puasa ia menjadi tenang dan seimbang.
  3. Mengundang kepekaan diri untuk bersimpati dan empati sehingga ia akan mudah berbagi. Saat berpuasa, ia akan merasakan rasa lapar yang dialami oleh orang-orang lemah yang kekurangan pangan.
  4. Memahami arti kesetaraan bahwa statusnya sama dalam melaksanakan kewajiban. Tidak memandang kasta antara kaya dan miskin atau berpangkat dan tidak.
  5. Membiasakan hidup teratur. Berpuasa menjadi pelajaran untuk mendisiplinkan diri melalui waktu yang telah ditetapkan kapan ia harus memulai dan mengakhirinya. Ia juga dianjurkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhiri sahur.
  6. Menyehatkan badan dan mereformasi stamina secara berkala.

Baca Juga: Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah

Inilah diantara hikmah puasa baik dari sisi jasmani, rohani, medis, dan sosial. Selain itu, Nabi telah memberi jaminan kebahagian bagi orang yang berpuasa. Sabda Nabi Muhammad saw yang lain, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Rabb-nya.” (HR. Muslim)

Wallahu A’lam.

Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

0
Mengenal Tafsir Fiqhi
Mengenal Tafsir Fiqhi

Mengenal tafsir fiqhi dan kitab-kitabnya penting bagi siapa saja yang hendak mengkaji Al Quran. Al Quran sendiri menurut al-Ghazali dalam al-Mustasfa berisikan sekitar 500 ayat yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, tulisan ini akan mengajak pembaca mengenal tafsir Fiqhi dan ragam kitabnya.

Al Quran merupakan sumber utama hukum Islam. Ibn hazm menyatakan, tidak ada satu bab dalam diskursus fikih kecuali memiliki dasar dari al-Kitab dan as-sunnah. Ini menunjukkan bahwa para ulama ahli fikih itu juga dituntut untuk mampu menafsirkan Alquran, khususnya ayatul ahkam (ayat-ayat hukum).

Tafsir fiqhi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penafsiran atas ayat Al Quran yang berhubungan dengan fikih. Dalam hal ini, biasanya mufassir hanya membahas aspek fiqhiyyah saja dan mengabaikan aspek lain dari ayat Alquran seperti teologi, akhlak dan tasawwuf serta kisah-kisahnya. Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Pengkhususan ini di satu sisi dianggap sebagai sebuah kekurangan. Tapi, di sisi lain justru merupakan nilai lebih dari tafsir fiqhi. Dengan hanya membahas aspek fikih, pembahasan dapat lebih mendalam dan komprehensif.

Perkembangan tafsir fiqhi

Tafsir dengan corak fikih secara praktik telah muncul sejak masa Nabi dan sahabat. Para sahabat dahulu senantiasa memperhatikan kandungan hukum ayat sebagaimana yang disinggung dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ قَالَ:إِذَا كُنَّا نَتَعَلَّمُ الْعَشْرَ مِنَ الْقُرْآنِ لَمْ نَتَعَلَّمِ الْعَشْرَ الَّتِي بَعْدَهَا حَتَّى نَتَعَلَّمَ حَلَالَهَا وَحَرَامَهَا وَأَمْرَهَا وَنَهْيَهَا

“Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, ia berkata: “Ketika mempelajari sepuluh ayat dari Al Quran, kami tidak beranjak ke sepuluh ayat berikutnya kecuali telah paham petunjuk halal, haram, perintah dan larangan ayat””. (HR. Abdurrazzaq no. 6027).

Perbedaan pandangan fikih sebab perbedaan tafsir bahkan telah terjadi di kalangan sahabat. Di antaranya sebagaimana yang diceritakan Az-Zahabi dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun, perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang jangka waktu iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya. Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Menurut Umar, masa iddah perempuan tersebut ialah sampai ia melahirkan. Sementara menurut Ali, iddahnya ialah masa terlama antara waktu melahirkan atau empat bulan sepuluh hari.

Adapun secara tertulis, karya tafsir yang khusus membahas ayat hukum pertama kali dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman al-Khurasani dengan kitabnya yang berjudul Tafsir al-Khamsimi’ah Ayah min al-Qur’an fi al-Amr wa an-Nahy wa al-Halal wa al-Haram.

Mengenal kitab tafsir Fiqhi

Selain tafsir karangan Muqatil bin Sulaiman di atas, terdapat karya-karya lain bertemakan tafsir fiqhi yang tidak terhitung jumlahnya. Di antara karya-karya tersebut ada yang menafsirkan ayat-ayat ahkam secara tematik. Ada pula yang menafsirkan keseluruhan Al Quran, namun menekankan pembahasannya pada ayat-ayat yang membicarakan hukum. Baca juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Berikut beberapa kitab tafsir fiqhi yang diklasifikasikan berdasarkan kecenderungan mazhabnya:

  1. Tafsir fiqhi mazhab hanafi

Ahkam al-Qur’an karya Ali al-Qumi (350 H), Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (370 H), Takhlis Ahkam al-Qur’an karya Ibn Siraj al-Qunawi (770 H) dan at-Tafsirat al-Ahmadiyyah fi Bayan al-Ayat ash-Shar’iyyah karya Ahmad bin Abu Sa’id al-Hanafi (1130 H).

  1. Tafsir fiqhi mazhab maliki

Ahkam al-Qur’an karya Ismail bin Ishaq al-Maliki (282 H), Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar bin Muhammad al-Baghdadi (305 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (543 H) dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi (671 H).

  1. Tafsir fiqhi mazhab syafi’i

Ahkam al-Qur’an karya Imam Syafi’i (204 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibrahim bin Khalid al-Baghdadi (240 H), al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-‘Aziz karya Shihabuddin as-Samin (756 H), al-Iklil fi Istibat al-Tanzil karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dan Hidayah al-Hayran fi Ba’di Ahkam Tata’llaq bi al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad at-Tablawi (1027 H).

  1. Tafsir fiqhi mazhab hanbali

Ahkam al-Qur’an karya Abu Ya’la Muhammad bin al-Farra’ (458 H) dan Ihkam al-Ra’i fi Ahkam al-Ay karya Shamsuddin Muhammad bin Abdurrahman al-Hanbali (776 H).