Beranda blog Halaman 531

Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram

Tiga amalan utama dalam menyambut tahun baru Islam. Saat bulan Muharram, umat muslim menjadikan penanda masuknya tahun baru Islam yang tengah kita peringati saat ini. Tidak terasa telah memasuki tahun ke-1442 Hijriyah. Beragam amalan yang diwariskan oleh ulama Nusantara kita dahulu di antaranya tercermin dalam tiga hal berikut,

Puasa

Puasa merupakan amal ibadah yang tidak hanya dimiliki oleh umat Islam, melainkan oleh pemeluk agama lainnya. Puasa bertujuan membentuk pribadi manusia yang bertakwa sehingga mudah bersyukur, tidak rakus atau serakah, dan mampu mengontrol hawa nafsu dengan baik. Rasulullah saw bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ

Artinya, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Allah, Muharram.”

Dalam kitab yang lain, Syarah Shahih Muslim karangan an-Nawawi misalnya, hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa di bulan Muharram. Sedangan al-Qurthuby sebagaimana dikutip as-Suyuthi dalam ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim menerangkan,

إِنَّمَا كَانَ صَوْمُ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلُ الصِّيَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ أَوَّلُ السَّنَةِ الْمَسْتَأْنَفَةِ فَكَانَ اسْتِفْتَاحُهَا بِالصَّوْمِ الَّذِيْ هُوَ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ

“Puasa di bulan Muharram itu lebih utama karena terletak pada awal tahun. Alangkah terpujinya, apabila mengawali tahun baru dengan berpuasa, sebab puasa termasuk amalan yang paling utama.”

Oleh karena itu, memperbanyak puasa di bulan Muharram merupakan sunnah Rasul saw. Terlebih bulan Muharram adalah tahun baru Islam, hendaknya kita membuka lembaran tahun baru dengan perbuatan terpuji, salah satunya dengan berpuasa.

Tentu harapannya, semoga bulan-bulan ke depan amalan berpuasa ini tidak hanya sekedar menjadi rutinitas belaka, namun juga diejawantahkan dalam laku kehidupan sehari-hari seperti berpuasa dari keserakahan, berpuasa dari berdebat yang tidak bermutu, berpuasa dari banyaknya pembicaraan yang tidak bermanfaat dan lain sebagainya.

Sedekah

Sedekah merupakan amalan yang bersifat sosial (al-muta’ddiyah). Dalam artian, manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang melaksanakannya, melainkan dirasakan banyak orang lain. Bersedekah juga dapat menghindarkan seseorang dari bala dan segala hal yang tidak baik. Allah swt berfirman dalam Q.S. Ali Imran [3]: 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui. (Q.S. Ali Imran [3]: 92)

Ayat di atas menunjukkan tentang keutamaan berinfak atau bersedekah yang digambarkan oleh-Nya akan memperoleh al-birr (kebaikan). Ibnu Katsir, al-Thabary, dan al-Baghawy menafsiri kata al-birr dengan surga. Sedangkan Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mujahid dan Muqathil bin Hayyan, al-birr diartikan dengan takwa. Dalam pendapat lain dikatakan ketaatan.

Anjuran bersedekah juag disampaikan oleh ulama Nusantara kita sekaligus guru Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Sholeh Darat menyebutkan dalam kitabnya Lathaif at-Thaharah wa Asrar as-Shalah mengatakan,

“awal bulan Muharram itu adalah tahun barunya seluruh umat Islam. Adapun tanggal 10 Muharram adalah hari raya yang diperuntukkan untuk kegembiraan umat Muslim dengan sedekah. Hari raya ini adalah untuk mensyukuri nikmat Allah, bukan hari raya dengan shalat. Tetapi hari raya ini dengan pakaian rapi dan memberikan makanan kepada fakir miskin.”

Sedekah juga tidak melulu harus dalam bentuk pemberian materi, tidak. Sedekah juga dapat bersifat jasa seperti membantu dan mempermudah urusan orang lain bukan mempersulit, menyingkirkan duri di jalan, berbicara dengan bahasa santun dan sopan sehingga menenangkan dan menyejukkan bagi pendengarnya. Sebagaimana sabda Rasul saw,

Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit; kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Menyambung Silaturrahim

Tidak kalah pentingnya di samping kedua amalan di atas, yakni menyambung silaturrahum. Dengan menyambung silaturrahim baik sanak famili, kerabat, sahabat dan teman maupun rekan kerja atau bahkan teman orang tua kita, semakin merekatkan hubungan batin dan menekan tingkat kesalahpahaman satu dengan yang lain.


Artikel terkait:

Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui


Di bulan Muharram kita sangat dianjurkan untuk menyambung tali silaturrahim mengingat dampak sosial yang ditimbulkan yakni semakin merekatkan hubungan dan mengharmoniskan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga tercipta kerukunan dan persatuan. Silaturrahim juga dapat memperpanjang umur dan melancarkan rezeki, sebagaimana sabda Rasul saw,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

”Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menghubungkan tali silaturahmi” (H.R Bukhari dan Muslim).

Maksud dipanjangkan umurnya di sini ialah senantiasa memperoleh bimbingan, taufik, dan keberkahan dari Allah swt selama hidupnya.

Pada suasana pandemi Covid-19 ini, silaturrahim kita harus tetap terjaga meski tidak dapat bertemu fisik dan bersalam-salaman sebagaimana dalam kondisi normal. Akan tetapi dapat kita wujudkan dalam bentuk silaturrahim virtual (online) dengan menggunakan aplikasi seperti video whatsapp, zoom, telepon dan sejenisnya.

Tata cara silaturrahim virtual pun dijelaskan oleh Zakariyya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib,

(وَصِلَةُ الرَّحِمِ) أَيْ الْقَرَابَةِ (مَأْمُورٌ بِهَا) وَهِيَ فِعْلُك مَعَ قَرِيبِك مَا تُعَدُّ بِهِ وَاصِلًا غَيْرَ مُنَافِرٍ وَمُقَاطِعٍ لَهُ (وَتَكُونُ) صِلَتُهُمَا (بِالْمَالِ وَقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَالزِّيَارَةِ وَالْمُكَاتَبَةِ، وَالْمُرَاسَلَةِ بِالسَّلَامِ) وَنَحْوِهَا

“Menyambung tali silaturrahim adalah diperintahkan, yaitu tindakan anda kepada kerabat anda yang sekiranya dengan itu dianggap menyambung, tidak mengabaikan dan memutus. Caranya ada kalanya dengan memberi harta, menunaikan kebutuhannya, mengunjunginya, saling menyurati, saling berkirim salam dan lain sebagainya.”

Karenanya, silaturrahm tak harus bertemu secara langsung terlebih kita tengah berada pada situasi yang sulit yakni pandemi Covid-19. Sudah banyak platform atau sarana yang dapat digunakan untuk bersilaturrahim berkirim salam atau pesan.

Dengan ini kita juga bisa menyimpulkan bahwa hal itu cukup memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai silaturrahim sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ramli dalam Syarh al-Minhaj. Wallahu A’lam.

Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?

0
Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran
Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran

Selain sebagai pembawa dan penyampai risalah, Nabi Muhammad juga diberikan otoritas oleh Allah sebagai penafsir. Sebagai otoritas tunggal, maka para sahabat pasti merujuk Nabi untuk setiap penafsiran Al-Quran. Pertanyaannya kemudian apakah Nabi menafsirkan ayat al-Quran seluruhnya dan telah menyampaikannya kepada para sahabat?” Adz-Dzahabi mengurai diskursus ini cukup panjang dalam kitabnya Al-Tafsir wa Al-Mufassirun dan informasi tersebut akan dijabarkan dalam tulisan ini secara lebih sederhana.

Jika ditelisik secara mendalam, kehadiran perdebatan mengenai jawaban atas pertanyaan di atas—yang akan diurai setelah ini—merupakan hasil dari perbedaan penafsiran atas Q.S. al-Nahl [16]: 44. Dalam mengurai persoalan ini para pakar atau ulama terbagi ke dalam dua kelompok.

Ada kelompok yang berkeyakinan bahwa hingga mencapai akhir hayatnya, Nabi menafsirkan  ayat al-Qur’an seluruhnya dan telah mewariskannya kepada para sahabat. Kelompok lainnya memiliki pandangan berbeda dan meyakini bahwa Nabi menafsirkan ayat al-Qur’an hanya sebagian dan tidak ada sahabat yang mewarisi keseluruhan riwayat itu secara utuh.

(Baca Juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya)

Kelompok pertama ini dikepalai oleh Ibn Taimiyah. Q.S. al-Nahl [16]: 44 kembali menjadi dalil pertama yang digunakan. Mereka berkeyakinan bahwa ayat ini memuat tanggungjawab Nabi yang harus menyampaikan lafaz sekaligus makna al-Qur’an secara keseluruhan dan jika tidak maka Nabi belum melaksanakan tugasnya dengan maksimal. Karena kesimpulan ini—yang mereka yakini—tentunya tidak dibenarkan secara akidah, maka bagi mereka tidak mungkin Nabi tidak menjalankannya.

Dalil kedua mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman al-Sulami, “aku diberitahu oleh para pembaca/ pengkaji al-Qur’an seperti Utsman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan selainnya bahwa mereka belajar sepuluh ayat bersama Nabi dan mereka tidak diperkenankan pindah ke ayat selanjutnya sampai mereka menguasai ilmu dan amalan yang ada pada ayat yang mereka pelajari. Mereka pun berkata: kami telah mempelajari al-Qur’an beserta ilmu dan amalan yang ada di dalamnya sekaligus.”

Dalil ketiga mereka adalah analogi di mana mereka beranggapan bahwa secara umum seseorang tidak boleh berpindah dari satu ilmu ke ilmu lainnya sebelum menguasainya—mungkin pada konteks saat itu. Maka begitupun al-Qur’an yang menjadi pegangan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Dalil terakhir mereka kembali berasal dari riwayat yang berbunyi, “termasuk dalam ayat yang terakhir diwahyukan adalah ayat riba’, dan Rasulullah telah wafat sebelum menafsirkannya”. Riwayat ini dimaknai oleh mereka sebagai bukti bahwa setiap ada wahyu yang turun, Nabi pasti membagikan pada sahabat makna yang dikandungnya.

Sekarang, mari beralih pada kelompok yang kedua. Kelompok kedua ini memiliki tiga dalil yang dijadikan sebagai dasar atas argumentasi penolakan mereka terhadap statemen Nabi menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan.

Adapun dalil argumentasi pertama berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, “tidaklah Nabi menafsirkan bagian dari al-Qur’an kecuali hanya beberapa ayat yang ia dapatkan dari pengajaran Jibril”.

Dalil kedua merupakan pendapat mereka pribadi di mana mereka menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran kecuali hanya sedikit. Tidaklah Tuhan memberi desakan pada Nabi untuk menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran sebab ada perintah Tuhan lainnya—dalam al-Quran—yang memerintahkan umat untuk memikirkan dan mentadabburi ayat-ayat-Nya.

Dalil yang ketiga, mereka beropini terhadap do’a yang diberikan Nabi kepada Ibn Abbas. Bagi mereka do’a itu menjadi simbol bahwa Nabi tidak mencukupkan dirinya sendiri sebagai penafsir, melainkan memberikan ruang bagi sahabatnya yang mumpuni untuk turut menjadi rujukan penafsiran.

Baik kelompok pertama maupun kedua sama-sama mendasarkan argumentasi mereka dengan landasan analisis akademis yang mereka yakini. Kedua analisa dan bangunan argumentasi yang mereka bangun harus dihormati dan jika merasa kurang sepaham harus dapat dikritisi atau dikomentari secara akademis dan adil. Sebagaimana halnya komentar Adz-Dzahabi yang akan dihadirkan dalam episode tulisan selanjutnya.

Teruntuk para pengkaji al-Quran, kedua kelompok ini dapat menjadi suatu inspirasi bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi perbedaan pandangan atau penafsiran. Dalam ruang akademik perbedaan pandangan merupakan sebuah kewajaran dan harus disikapi dengan adab yang akademis. Beradu argumentasi serta saling mengkritisi dengan argumen dan kritik yang berlandaskan analisis akademis serta tidak menyerang personality pihak yang berbeda merupakan budaya akademik yang baik dan patut ditiru serta diterapkan dalam kehidupan akademik kita. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 92

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat ini menerangkan bahwa tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain dengan sengaja.

Kemudian dijelaskan hukum pembunuhan sesama mukmin yang terjadi dengan tidak sengaja. Hal ini mungkin terjadi dalam berbagai kasus, dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan dari kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 kasus:

Pertama: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin. Maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, disamping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.

Kedua: Mukmin yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya memusuhi kaum Muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.

Ketiga: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan kasus yang pertama tadi.

Mengenai kewajiban memerdekakan  hamba sahaya yang mukmin  yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu; atau karena sama sekali tidak mungkin mendapatkan hamba sahaya, misalnya pada zaman sekarang ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya.

Dalam hal ini, kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian ia bebas dari kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Mengenai  ketidaksengajaan  dalam pembunuhan yang disebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kecerobohan yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin menjadi sasaran pelurunya tanpa sengaja.

Kecerobohan dan sikap tidak berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam berbuat terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia lainnya.

Adapun diat (diyat) atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:

اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى فِى الدِّيَةِ عَلَى اَهْلِ اْلاِبِلِ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ وَعَلَى اَهْلِ الْبَقَرِ مِائَتَيْ بَقَرَةٍ وَعَلَى اَهْلِ الشَّاةِ أَلْفَيْ شَاةٍ وَعَلَى اَهْلِ الْحُلَلِ مِائَتَيْ حُلَّةٍ

(رواه ابو داود)

 Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing, dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan  (Riwayat Abu Dāwud)

Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh dan ‘aqilah (keluarga), yang juga disebut  asabah -nya. Dalam kitab hadis al-Muwatta’ “Kitab al-Uqµd” dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak, dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada ‘aqilah dari si pembunuh.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 100-103

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 100

Kemudian Allah menjanjikan kepada orang-orang yang hijrah meninggalkan kampung halamannya karena menaati perintah Allah dan mengharapkan keridaan-Nya, mereka akan memperoleh tempat tinggal yang lebih makmur, lebih tenteram dan aman dan lebih mudah menunaikan kewajiban-kewajiban agama di daerah yang baru, yaitu Medinah.

Janji yang demikian itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka yang hijrah. Sebab umumnya orang-orang Islam di Mekah yang tidak ikut hijrah menyangka bahwa hijrah itu penuh dengan penderitaan dan daerah yang dituju itu tidak memberikan kelapangan hidup bagi mereka.

Allah akan memberikan kelapangan hidup di dunia dan akan memberikan pahala yang sempurna di akhirat kepada orang-orang yang hijrah dan meninggal dunia sebelum sempat sampai ke Medinah. Amat jelas janji Allah kepada orang-orang yang hijrah dibandingkan dengan janji kepada mereka yang tidak hijrah karena uzur, sebab bagi golongan yang akhir ini pengampunan Allah tidak disebut secara pasti. Pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar terhadap kaum muhajirin yang dengan ikhlas meninggalkan kampung halaman mereka untuk menegakkan kalimah Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas beliau berkata,  Damrah bin Jundub pergi dari rumahnya  Bawalah aku dan keluarkanlah aku dari bumi orang-orang musyrik ini (Mekah) untuk menemui Rasulullah saw.” Maka pergilah dia, dalam perjalanan dia meninggal sebelum berjumpa dengan Nabi Muhammad saw lalu turunlah ayat ini.

Sebab-sebab Islam mensyariatkan hijrah pada zaman permulaan:

  1. Untuk menghindarkan diri dari tekanan dan penindasan orang kafir Mekah terhadap Muslimin, sehingga mereka memiliki kebebasan dalam menjalankan perintah agama dan menegakkan syiarnya.
  2. Untuk menerima ajaran agama dari Nabi Muhammad saw, kemudian menyebarkannya ke seluruh dunia.
  3. Untuk membina negara Islam yang kuat yang dapat menyebarkan Islam, menegakkan hukum-hukumnya, menjaga rakyat dari musuh dan melindungi dakwah Islamiyah.

Ketiga sebab inilah yang menjadikan hijrah dari Mekah menjadi salah satu kewajiban bagi umat Islam. Sesudah umat Islam membebaskan Mekah tidak ada lagi kewajiban hijrah, karena ketiga sebab ini tidak ada lagi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda:

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلٰكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَاِذَا اسْـتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عبّاس)

“Tidak ada hijrah sesudah pembebasan Mekah, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Jika kamu diperintahkan berperang, maka penuhilah perintah itu” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas).

Ayat 101

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dibenarkan umat Islam menunaikan fardu salat qasar (qasar) pada waktu dia dalam perjalanan, baik dalam keadaan aman atau dalam ancaman musuh.

Salat dalam perjalanan yang aman disebut salat safar. Pada salat safar, salat yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya’ diqasar menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar. Syarat menqasar salat safar ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga malam. Menurut Imam Syafi’i, perjalanan dua hari atau 89 km.

Menurut perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18 km). Sedangkan menurut pendapat lain, kebolehan mengkasar salat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak, tetapi asal sudah boleh dinamai safar, boleh mengkasar.

Salat dalam perjalanan yang diancam bahaya disebut salat khauf, seperti dikatakan dalam ayat:  Jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” Cara salat khauf ini diterangkan dalam ayat berikut.

Ayat 102

Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada.

Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْخَوْفِ بِاِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ رَكْعَةً وَالطَّائِفَةُ اْلأُخْرَى مُوَاجِهَةُ الْعَدُوِّ ثُمَّ انْصَرَفُوْا وَقَامُوْا فِي مَقَامِ اَصْحَابِهِمْ مُقْبِلِيْنَ عَلَى الْعَدُوِّوَجَاءَ اُولٰئِكَ ثُمَّ صَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ قَضَى هٰؤُلاَءِ رَكْعَةً وَهٰؤُلاَءِ رَكْعَةً

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر)

 “Nabi saw mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman  mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka.

Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.

Ayat 103

Selanjutnya diperintahkan apabila salat khauf itu selesai dikerjakan dengan cara yang telah diterangkan itu, maka hendaklah pasukan Islam itu mengingat Allah terus-menerus dalam segala keadaan. Lebih lagi mereka harus menyebut nama Allah pada saat mereka berada dalam ancaman musuh.

Allah akan menolong mereka selama mereka menolong agama Allah. Hendaklah mereka mengucapkan tahmid dan takbir ketika berdiri di medan pertempuran, atau ketika duduk memanah musuh atau ketika berbaring karena luka-luka. Segala penderitaan lahir dan batin akan lenyap, jika jiwa sudah diisi penuh dengan zikir kepada Allah, oleh karenanya kaum Muslimin harus terus ingat dan berzikir kepada Allah baik dalam keadaan perang ataupun damai.

Orang beriman setiap saat berada di dalam perjuangan. Pada suatu saat dia berperang dengan musuh pada saat yang lain dia bertempur melawan hawa nafsunya. Demikianlah berzikir mengingat Allah diperintahkan setiap saat karena dia mendidik jiwa, membersihkan rohani dan menanamkan kebesaran Allah ke dalam hati.

Bila peperangan sudah usai, ketakutan sudah lenyap dan hati sudah tenteram hendaklah dilakukan salat yang sempurna rukun dan syaratnya. Karena salat adalah suatu kewajiban bagi orang mukmin dan mereka wajib memelihara waktunya yang sudah ditetapkan.

Paling kurang lima kali dalam sehari semalam umat Islam  melakukan salat agar dia selalu ingat kepada Allah, sehingga meniadakan kemungkinan terjerumus ke dalam kejahatan dan kesesatan. Bagi orang yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah, waktu lima kali itu dipandang sedikit, maka dia menambah lagi dengan salat-salat sunah pada waktu-waktu yang telah ditentukan dalam agama.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 95-99

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 95

Orang mukmin yang berjuang untuk membela agama Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan tidaklah sama derajatnya dengan orang yang enggan berbuat demikian. Ayat ini menekankan bahwa perbedaan derajat antara kedua golongan itu adalah sedemikian besarnya, sehingga orang-orang yang berjihad mempunyai derajat yang amat tinggi.

Apabila orang yang tidak berjihad menyadari kerugian mereka dalam hal ini, maka mereka akan tergugah hatinya dan berusaha untuk mencapai derajat yang tinggi, dengan turut serta berjihad bersama-sama kaum mukminin lainnya. Untuk itulah ayat ini mengemukakan perbedaan antara kedua golongan tersebut.

Dengan demikian maksud yang terkandung dalam ayat ini sama dengan maksud yang dikandung dalam firman Allah pada ayat lain yang menerangkan perbedaan derajat antara orang-orang mukmin yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

….Katakanlah, ”Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” … (az-Zumar/39:9)

Orang yang berilmu pengetahuan jauh lebih tinggi derajatnya daripada orang yang tidak berilmu. Apabila orang yang tidak berilmu mengetahui kekurangan derajatnya, semoga hati mereka tergerak untuk mencari ilmu pengetahuan dengan giat, sehingga dapat meningkatkan derajat mereka.

Ayat ini turun pada waktu Perang Badar. Di antara kaum Muslimin ada orang-orang yang tetap tinggal di rumah, dan tidak bersedia berangkat ke medan perang. Lalu turunlah ayat ini untuk mengingatkan mereka bahwa dengan sikap yang semacam itu, mereka berada pada derajat yang rendah, dibanding dengan derajat orang-orang yang berjihad dengan penuh iman dan kesadaran.

Sementara ada di antara kaum Muslimin yang sangat ingin untuk ikut berjihad, tetapi niat dan keinginan mereka tidak dapat mereka laksanakan karena mereka uzur, misalnya: karena buta, pincang, sakit dan sebagainya, atau mereka tidak mempunyai sesuatu untuk disumbangkan.

Orang-orang semacam itu, tidak bisa disamakan dengan orang yang enggan berjihad, melainkan disamakan dengan orang-orang yang berjihad dengan harta benda dan jiwa raga mereka. Ayat ini juga menjelaskan bahwa mereka yang benar-benar berjihad dengan harta benda dan jiwa raganya memperoleh martabat yang lebih tinggi satu derajat dari mereka yang tidak berjihad karena uzur. Namun golongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah, karena iman dan niat mereka yang ikhlas.

Allah akan memberikan pahala yang jauh lebih besar kepada mereka yang berjihad, dari mereka yang tidak berjihad tanpa uzur. Berjuang atau berjihad  dengan harta benda  ialah: menggunakan harta benda milik sendiri untuk keperluan jihad, atau untuk keperluan orang lain yang turut berjihad, misalnya: bahan-bahan perbekalan berupa makanan, kendaraan, senjata dan sebagainya. Berjuang dengan  jiwa raga  berarti: ia rela mengorbankan miliknya yang paling berharga baginya, yaitu tenaga bahkan jiwanya, sekalipun ia menerima perbekalan dari orang lain, karena ia tidak mempunyainya.

Ayat 96

Ayat ini merupakan lanjutan dan keterangan bagi ayat yang lalu, karena akhir ayat yang lalu menyebutkan bahwa Allah akan memberikan pahala yang lebih besar kepada mereka yang berjihad, tetapi belum dijelaskan apa wujud pahala yang besar itu. Maka ayat ini menjelaskan bahwa pahala yang paling besar ialah: keunggulan martabat mereka beberapa derajat di sisi Allah Yang Maha Pengampun serta ampunan dan rahmat-Nya.

Ayat 97

Ada segolongan Muslimin yang tetap tinggal di Mekah. Mereka menyembunyikan keislaman mereka dari penduduk Mekah dan mereka tidak ikut berhijrah ke Medinah, padahal mereka mempunyai kesanggupan untuk melakukan hijrah. Mereka merasa senang tinggal di Mekah, walaupun mereka tidak mempunyai kebebasan mengerjakan ajaran agama dan membinanya. Allah menyatakan mereka sebagai orang yang menganiaya diri sendiri.

Sewaktu Perang Badar terjadi, mereka dipaksa ikut berperang oleh orang musyrikin menghadapi Rasulullah saw. Dalam peperangan ini sebagian mereka mati terbunuh. Sesudah mereka mati malaikat mencela mereka, karena mereka tidak berbuat suatu apa pun dalam urusan agama mereka (Islam), seperti tidak dapat mengerjakan ajaran-ajaran agama.

Mereka menjawab dengan mengajukan alasan bahwa mereka tidak melaksanakan ajaran agama, disebabkan tekanan dari orang-orang musyrik Mekah, sehingga banyak kewajiban agama yang mereka tinggalkan.

Para malaikat menolak alasan mereka. Kalau benar-benar mereka ingin mengerjakan ajaran agama, tentu mereka meninggalkan Mekah dan hijrah ke Medinah. Bukankah bumi Allah ini luas. Kenapa mereka senang tetap tinggal di Mekah, tidak mau hijrah? Padahal mereka mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk hijrah itu?

Mereka tidak pindah ke tempat yang baru di mana mereka akan memperoleh kebebasan dalam mengerjakan ajaran agama dan memperoleh ketenteraman dan kemerdekaan. Oleh karena itu mereka mengalami nasib yang buruk. Mereka dilemparkan ke dalam neraka Jahanam yakni tempat yang paling buruk.

Secara umum setiap Muslim wajib hijrah dari negeri orang kafir bilamana di negeri tersebut tidak ada jaminan kebebasan melakukan kewajiban agama dan memelihara agama. Tetapi bilamana ada jaminan kebebasan beragama di negeri itu serta kebebasan membina pendidikan agama bagi dirinya dan keluarganya, maka ia tidak diwajibkan hijrah.

Ayat 98

Kemudian dalam ayat ini Allah swt mengecualikan golongan orang yang tertindas, baik laki-laki atau perempuan, seperti ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah dan Salamah bin Hisyam, Ummul Fadli dan Ummu Abdillah bin Abbas, dan anak-anak seperti Abdullah bin Abbas dan lain-lain.

Mereka ini tidaklah dipandang menganiaya diri dan tidaklah dipandang berdosa karena mereka meninggalkan kewajiban hijrah. Mereka ini adalah orang-orang yang benar-benar ditindas karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk keluar dari Mekah.

Mereka tidak mempunyai daya upaya, perbekalan dan nafkah untuk hijrah. Mereka tidak mengetahui jalan keluar dari kesulitan itu. Faktor ketuaan, sakit, kemiskinan dan juga tidak tahu jalan menuju Medinah adalah termasuk alasan-alasan yang dapat diterima.

Ayat 99

Allah akan memaafkan mereka karena mereka benar-benar tidak mampu menunaikan hijrah. Tetapi bilamana kemampuan dan kesempatan itu sudah ada segeralah berhijrah. Karena hijrah dari bumi Mekah yang musyrik itu suatu kaharusan.

Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf terhadap segala macam dosa hambanya yang dilakukan karena keadaan terpaksa dan alasan-alasan yang benar. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan mereka dan tidak akan menampakkan kesalahan itu kelak.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 90-91

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 90

Diperintahkan kepada kaum Muslimin agar tindakan  menawan dan membunuh  itu tidak dilakukan kepada orang-orang seperti berikut: Pertama: Orang-orang kafir yang meninggalkan kelompok mereka semula yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, kemudian mereka pergi minta perlindungan kepada kelompok orang-orang kafir lain yang telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin.

Dalam hal ini kaum Muslimin tidak diperbolehkan menawan atau membunuh mereka sebab mereka telah disamakan hukumnya dengan orang-orang kafir tempat mereka berlindung yang telah mengadakan perjanjian damai dengan Muslimin. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian damai yang telah dibuat, sekalipun dengan orang kafir selama mereka tidak melanggarnya.

Kedua: Orang-orang kafir yang datang kepada kaum Muslimin untuk mengadakan perdamaian. Mereka tidak mau memerangi kaum Muslimin; karena keinginan mereka untuk berdamai.

Mereka juga tidak bersedia membantu kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir lainnya, karena kemungkinan orang-orang kafir ini masih kaum kerabat mereka, atau sebagian keluarga mereka masih tinggal bersama orang-orang kafir tersebut. Orang yang semacam ini juga tidak boleh ditawan dan dibunuh oleh kaum Muslimin.

Dari ketentuan ini dapat dilihat betapa adilnya hukum Alquran. Kaum Muslimin harus menghormati perjanjian atau persetujuan yang telah dibuat dengan orang-orang kafir selama mereka tetap menghormati dan menepati isi perjanjian itu.

Boleh jadi terasa berat bagi sebagian Muslimin untuk menahan diri tidak memerangi kedua golongan tersebut, misalnya karena melihat kenyataan bahwa mereka masih berada dalam masyarakat kafir, atau karena mereka tidak bersedia membantu Muslimin dalam memerangi kaum kafir lainnya yang memusuhi mereka. Oleh sebab itu  ayat ini mengingatkan kaum Muslimin kepada rahmat-Nya bahwa ia telah melenyapkan bahaya yang mungkin timbul dari orang-orang tersebut terhadap Muslimin.

Andaikata Allah menghendaki, niscaya Dia memberikan kekuatan kepada orang kafir tersebut untuk memerangi kaum Muslimin, misalnya dengan menunjukkan kepada mereka kelemahan kaum Muslimin, yang memungkinkan orang kafir itu memerangi dan mengalahkan Muslimin.

Tetapi Allah Maha Pengasih telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga berbagai bahaya tersebut tidak terjadi. Sebagai imbalannya, kaum Muslimin harus menahan diri terhadap mereka.

Pada akhir ayat ini ditegaskan kembali larangan-Nya kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh orang-orang kafir dari kedua golongan tersebut di atas, apabila mereka benar-benar tidak memusuhi Islam dan kaum Muslimin dan selalu memelihara perdamaian. Apabila Muslimin memerangi mereka, mungkin hal itu akan menggerakkan mereka untuk menyusun kekuatan guna menghadapi Muslimin. Ayat ini merupakan dasar  hukum suaka politik  dalam Islam.

Ayat 91

Selain kedua golongan kafir tersebut, kaum Muslimin akan menemukan satu golongan lain dengan ciri-ciri dan niat yang berbeda. Mereka adalah golongan kafir munafik, yaitu munafik dalam hal kepercayaan.

Apabila mereka bertemu dengan kaum Muslimin mereka menyatakan diri beragama Islam, dan apabila mereka berada bersama orang-orang kafir, mereka mengatakan tetap seagama dengan mereka dan tetap menyembah sesembahan mereka. Hal itu mereka lakukan karena menjaga keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka terhadap gangguan kaum Muslimin dan gangguan dari golongan mereka sendiri.

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ  ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ”Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, ”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (al-Baqarah/2:14).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai satu kaum dari kalangan penduduk kota Mekah. Mereka pernah datang kepada Rasulullah saw mengatakan bahwa mereka masuk Islam. Tetapi pada hakikatnya mereka berbuat demikian hanyalah berpura-pura. Sesudah itu mereka kembali kepada Quraisy yang masih kafir, lalu mereka menyembah patung bersama-sama orang tersebut.

Hal itu mereka lakukan dengan maksud agar mereka aman terhadap kaum Muslimin dan aman pula terhadap orang-orang kafir. Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya sikap kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang munafik tersebut, yaitu selama mereka tidak menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin, dan tidak mengemukakan permintaan mereka untuk mengadakan perjanjian damai, maka kaum Muslimin haruslah memerangi, menawan dan membunuh mereka, di mana pun mereka ditemukan. Allah swt telah memberikan wewenang dan alasan yang nyata kepada kaum Muslimin untuk menawan dan membunuh mereka.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa apabila orang-orang munafik telah menghentikan gangguan mereka terhadap kaum Muslimin atau mereka sudah mengajukan perdamaian, maka kaum Muslimin dilarang memerangi, menawan dan membunuh mereka.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah/60:8)

Dengan demikian, perintah Allah kepada Muslimin untuk memerangi orang-orang kafir, adalah khusus mengenai mereka yang memerangi atau bersikap memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas.  Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Baqarah/2:190)

(Tafsir Kemenag)

Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram (tafsiralquran.id)

Kisah teladan Nabi di Bulan Muharram, datang dari Nabi Yunus yang selamat dari cengkeraman perut ikan paus merupakan salah satu kisah yang terjadi di Bulan Muharram. Yakni Bulan pertama Hijriyyah sekaligus termasuk ashhurul hurum (bulan-bulan yang dimuliakan).

Kisah Nabi Yunus tersebut ternyata berawal dari kecerobohannya, yang disusul dengan taubat. Sehingga, pada akhirnya ia diberi pertolongan oleh Allah. Dalam Al Quran, kisah ini dinarasikan pada QS. Al-Qalam, QS. Yunus, QS. As-Shaffat, dan QS. Al-Anbiya’. Berikut ini cerita lengkapnya

Nabi Yunus Murka Pada Kaumnya

Selain menjadi nabi, Yunus a.s juga diberi mandat menjadi Rasul bagi Kaum Ninawa. Menurut Sayyid Qutb dalam Fi Dzilalil Quran, Ninawa ini terletak di Mosul, Irak.

Kisah Nabi Yunus penuh rintangan, khususnya dalam berdakwah. Berkali-kali ia mengajak untuk beriman kepada Allah, kaumnya selalu mencampakkan. Sampai pada titik letihnya, ia mengancam bahwa jika kaumnya tidak beriman dalam kurun 3 hari, maka akan turun azab.

Menurut Fadl Hasan Abbas dalam Qashashul Quran, diceritakan bahwa pada malam ketiga itu, Nabi Yunus memutuskan untuk pergi dari kaumnya. Karena sangking jenuhnya, Nabi Yunus meninggalkan kaumnya sebelum mendapat izin dari Allah. Padahal, jika ia mau bersabar sebentar, kaumnya akan mengikuti dakwahnya dan bertaubat.

Benar saja. Pagi hari selepas kepergian Nabi Yunus, saat tanda-tanda azab itu turun, sebagian dari kaumnya mencari Nabi Yunus untuk menyatakan keimanannya. Tetapi, karena tidak kunjung menemukannya, mereka menyelamatkan diri ke padang pasir seraya betaubat dan berdoa agar diselamatkan. Kejadian ini diabadikan dalam Surat Yunus ayat 98:

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ ءَامَنَتْ فَنَفَعَهَآ إِيمَٰنُهَآ إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّآ ءَامَنُوا۟ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ ٱلْخِزْىِ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَمَتَّعْنَٰهُمْ إِلَىٰ حِينٍ

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu”

Nabi Yunus Ditelan Ikan Paus

Saat di tengah laut, kapal yang ditumpangi Nabi Yusuf diterjang ombak. Untuk menghindari kapal karam, barang-barang dan penumpang terpaksa dilempar ke laut untuk mengurangi muatan.

Babak ini merupakan kronologi Nabi Yunus ditelan ikan Nun (paus) dan sekaligus taubatnya atas kekhilafan yang telah ia lakukan sebelumnya. Ikan Nun (paus) sendiri merupakan jenis ikan besar yang hidup di laut dalam. Cerita ini terekam dalam Surat As-Shaffat ayat 139-148:

وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ ﴿١٣٩﴾ إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ ﴿١٤٠﴾ فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ ﴿١٤١﴾ فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ ﴿١٤٢﴾ فَلَوْلا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ ﴿١٤٣﴾ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ ﴿١٤٤﴾فَنَبَذْنَاهُ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ سَقِيمٌ ﴿١٤٥﴾ وَأَنْبَتْنَا عَلَيْهِ شَجَرَةً مِنْ يَقْطِينٍ ﴿١٤٦﴾ وَأَرْسَلْنَاهُ إِلَى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ ﴿١٤٧﴾ فَآمَنُوا فَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ﴿١٤٣﴾

“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedangkan ia dalam keadaan sakit. Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu. Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” 

Berdasarkan Rangkaian Cerita dalam Al Quran oleh Anggitan Bey Arifin, saat membuang barang-barang tidak bisa menghindarkan dari karam, penumpang memutuskan untuk mengurangi muatan melalui undian dengan anak panah, Nabi Yunus pun mengikuti undian ini.  Barangsiapa kejatuhan undian itu, ia yang akan berkorban untuk terjun ke laut.

Nasib baik sedang tidak menimpa Yunus kala itu. Dua kali diundi, selalu ia yang kena panah. Sebenarnya, para awak kapal memberatkan jika Yunus yang menjadi korban, karena ia merupakan orang terpandang dan disegani. Tetapi, ketika awak kapal itu menyarankan untuk mengundi ketiga kalinya, ia menolak. Yunus lalu lompat ke laut dan kemudian ia ditelan oleh Ikan Nun.

Taubatnya Nabi Yunus

Selama dalam perut Ikan Nun, Yunus as. mengira ia sudah meninggal, tapi ternyata ikan itu menjagannya. Menurut  dalam Qashashul Anbiya’, melalui perut ikan besar tersebut Yunus dijaga oleh Allah, sehingga tidak lumat dimakan ikan. Perut ikan itu diibaratkan dengan penjara yang gelap. Sehingga Yunus pun semula mengira dirinya sudah mati karena berada di tempat yang sunyi dan gulita.

Setelah sadar bahwa ia masih hidup, Yunus kemudian bertaubat dan mengakui kesalahannya karena telah kabur dari kaumnya, sebelum diperintahkan Allah. Ia berdoa agar diselamatkan dengan bertasbih dan mengucapkan kalimat tauhid dalam perut Ikan Nun itu. Isi doa tersebut pun tertera dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 87:

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya),maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim””

Lantaran doa itu, Allah menerima taubatnya dan menyelamatkannya dari kegelisahaannya. Ikan Nun kemudian menepi dan memuntahkan Yunus kepesisir yang tandus. Di sampingnya Yunus, Allah sediakan tanaman sejenis labu untuk Yunus yang sedang sakit.

Seperti yang tertera dalam Surat As-Shaffat sebelumnya, Yunus melanjutkan dakwah kepada sekitar seratus ribu orang. Pada akhirnya, Nabi Yunus dan kaumnya tersebut hidup bahagia dengan nikmat Allah yang diberikannya kembali.


Artikel terkait:

Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui


Ibrah

Dari kisah Nabi Yunus ini di satu sisi, doa Nabi Yunus dapat kita teladani tiap kita berdoa agar doa terkabul. Terlebih di momen tahun baru Hijriyah ini, saat yang tepat untuk memohonkan maaf atas kesalahan masa lalu dan menata harapan-harapan baru. Imam Turmudzi Al-hakim dan Al-Baihaqi meriwayatkan dalam pembahasan tentang doa Nabi Yunus dalam perut ikan:

فإنه لم يدع بها رجل مسلم في شيء إلا استجاب الله له

Bahwa doa itu “doa Nabi Yunus”, tidak ada satu orang pun yang berdoa dengan doa tersebut kecuali Allah mengijabahinya.

Di sisi lain, kita dapat mengambil ibrah dari kisah Nabi Yunus, bahwa pentingnya kesabaran dan ketabahan dikala menghadapi ujian. Meski secara khusus tujuan Al Quran menceritakan kisah Yunus ini untuk melapangkan hati Rasulullah ketika dicoba oleh kaumnya.

Bukan tidak bisa bagi kita untuk menjadikannya pelajaran. Karena pada dasarnya segala kesusah-payahan suatu saat akan menemui leganya. Asal tidak goyah dan menyerah. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 97-98 tentang Hijrah

0
Tafsir tentang hijrah
Tafsir tentang hijrah

Tahun baru Hijriyyah menjadi momentum yang pas untuk meninggalkan keburukan dan melanjutkan langkah pada kebaikan. Dalam Islam, hal ini bisa disebut dengan hijrah (berpindah). Salah satu ayat yang menyerukan untuk berhijrah ialah Surat An-Nisa’ ayat 97-98. Berikut ini Tafsir surat An-Nisa’ ayat 97-98 tentang hijrah.

Makna Hijrah

Hijrah berasal dari kata hajara–yuhajiru-hijratan yang berarti memutus hubungan (Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, hal. 477-478). Menurut Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur kata hijrah dapat pula diartikan dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Lisanul ‘Arab Juz 9, hal. 32). Baca juga: Makna Hijrah dalam Al-Quran

Kata Hijrah pun sudah diserap dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dengan dua pengertian. Pertama, yakni perpindahan Nabi Muhammad Saw. dari Mekah ke Madinah untuk menghindari tekanan kaum Quraisy. Kedua, berpindah atau menyingkir sementara waktu dari satu tempat ke tempat lain. (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hal. 523).

Tafsir Ayat

Hijrah beserta kata turunannya dalam Al Quran terulang sebanyak 25 kali (Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jamul Mufahras Li Alfazil Qur`an, hal. 730-731). Salah satu ayat yang menjelaskan Hijrah ialah Surat An-Nisa’ ayat 97-98. Berikut ini redaksinya:

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا 

وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ࣖ

“Sesungguhnya orang-orang yg diwafat kan malaikat dalam keadaan mengania ya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagai mana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yg tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anakanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yg luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yg dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Ayat di atas menjelaskan mengenai keadaan sekelompok Muslim Mekah yang tidak berhijrah ke Madinah. Kelompok tersebut bergabung dengan kaum Musyrik dan turut serta memerangi kaum Muslim. Pasca perang banyak dari kelompok Muslim tersebut yang tewas hingga terjadilah dialog antara Malaikat dengan orang-orang yang diwafatkan tersebut. Malaikat pun bertanya dengan nada menyindir “Dalam keadaan bagaimana kamu dahulu?”

Muhammad Quraish Shihab berpendapat bahwa sebagian ulama berbeda pendapat mengenai keadaan orang-orang tersebut. Orang-orang yang diwafatkan tersebut sempat berkelit pada Malaikat bahwa mereka adalah kelompok tertindas di Mekah atau Mustad`afin.

Malaikat pun merespon dengan mengajukan pertanyaan “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bias hijrah di dalamnya?”.  pertanyaan ini bermakna  hijrah dapat menjadi solusi untuk mengamalkan tuntunan ajaran agama juga mencari rezeki. Karena respon inilah orang-orang tersebut menyesal dan dimasukkan dalam neraka jahannam.

Menurut Shihab, ayat ini menjadi dalil bagi orang yang tidak dapat kebebasan dalam menjalankan agama di suatu negeri, maka wajib berhijrah atau bermigrasi ke negeri lain yang terdapat kebebasan dalam menjalankan agama meskipun ke negeri kafir (Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, hal. 681-682).

Namun terdapat pengecualian bagi orang-orang yang disebutkan pada ayat 98. Yakni orang-orang lemah baik pria, wanita maupun anak-anak, orang-orang yang tidak mengetahui jalan keluar serta orang-orang yang tidak dapat berkelit. Kelompok ini bukan termasuk yang diancam sebagaimana ayat 97. Maka, pada ayat ke 99 terdapat redaksi ‘Asa Allah An Ya’fuwa ‘Anhum yang berarti “Mudah-Mudahan Allah mengampuni dosa mereka”.

Menurut Muhammad Tahir ibn ‘Ashur ayat tersebut bermakna bahwa Allah berharap mengampuni dosa orang yang tidak berhijrah karena lemah. (Muhammad Tahir ibn ‘Ashur, Tafsir at-Tahrir Wa at-Tanwir, Juz 3, hal. 177).

Menurut al-Zamakhshari sebagaimana dikutip oleh al-Razi mengenai redaksi ‘Asa bertujuan untuk menjelaskan kepada orang-orang yang meninggalkan hijrah. Bahwa hal itu merupakan perkara sempit, sehingga jika terdapat ketidakbebasan dalam menjalankan agama dapat memunculkan harapan dan motivasi untuk berhijrah. (Muhammad ibn ‘Umar al-Razi, at-Tafsirul Kabir Aw Mafatihul Ghayb, Jilid 6, hal. 12).

Pada penutup ayat Allah menutup dengan menyebutkan sifat-sifat Allah yakni ‘Afuwwan (Maha Pengampun) dan Ghafuran (Maha Penyayang) bagi seluruh hamba-Nya yang diberi pahala (‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimashqi al-Hanbali al-Lubab Fi ‘Ulumil Qur`an, Juz 6, hal. 594). Baca Juga: Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

Selanjutnya pada ayat 100 Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang berhijrah di jalan-nya akan mendapat hikmah berupa tempat yang luas juga kenyamanan hidup. Ayat ini menjanjikan kebebasan serta kelapangan rezeki bagi orang-orang yang ingin berpindah dari kekufuran.

Menurut Shihab, hijrah dapat pula menjadi sarana bagi pembangunan sebuah peradaban. Para sosiolog berpendapat bahwa peradaban manusia terbentuk dari proses hijrah atau migrasi. Sebagaimana yang terjadi pada bangsa Amerika modern yang nenek moyangnya berasal dari Inggris lalu berhijrah ke benua tersebut hingga mendapatkan kebebasan dan melahirkan tatanan masyarakat baru juga peradaban unggul.

Sama halnya dengan peristiwa hijrahnya Nabi Saw. beserta kaum Muslim dari Mekah ke Madinah. Sehingga menghasilkan tatanan masyarakat serta peradaban baru sebagai implementasi ajaran Islam. (Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, hal. 685).

Semoga dengan adanya hal ini menjadikan kita lebih mawas diri dalam menghadapi hidup. Jika ingin menemukan sesuatu yang lebih baik, maka kata kuncinya adalah berpindah tempat atau hijrah. Wallahu A’lam.

Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

0
Larangan di Bulan Haram
Bulan-bulan haram

Larangan di bulan haram, seringkali kita mengabaikan perbuatan ini. Karena umat Islam biasanya memaknai bulan haram (bulan yang dimuliakan) dengan mengamalkan perbuatan-perbuatan terpuji yang sesuai perintah Allah. Mereka berbondong-bondong menabung amal terpuji di bulan tersebut. Baca juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan bulan haramHaram yang artinya suci, maka pada empat (4) bulan tersebut umat islam dilarang melakukan suatu perbuatan yang terlarang. Sebagaimana disebutkan firmanNya surat al-baqarah ayat 217;

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ ۖ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ  حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا ۚ وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah Ayat 217)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 217

Dari kitab Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, menjelaskan tentang tafsir surat al-Baqarah ayat 217, bahwa orang-orang Muslim tidak suka berperang di bulan haram,(1) maka mereka pun bertanya kepadamu tentang hal itu. Katakan, “Ya, berperang di bulan haram itu memang merupakan dosa besar.”

Tetapi ada yang lebih besar dari itu yaitu menghalang-halangi jalan Allah dan al-Masjidil Harâm, dan pengusiran umat Islam dari Mekah yang dilakukan musuh-musuh kalian. Penindasan musuh terhadap umat Islam untuk mengeluarkan mereka dari agamanya, itu lebih besar dari segala bentuk pembunuhan. 

Oleh karena itu, Allah tidak memperbolehkan perang di bulan suci  karena kejamnya kejahatan-kejahatan itu. Perang itu adalah sebuah pekerjaan berat demi menghindari sesuatu yang lebih besar. Ketahuilah, wahai orang-orang Muslim, bahwa cara yang mereka tempuh adalah cara-cara curang. Mereka tidak menerima sikap adil dan logis yang kalian lakukan. Mereka masih akan memerangi sampai dapat mengeluarkan kalian dari agama Islam. Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror

Maka orang-orang yang lemah menghadapi serangan, kemudian keluar dari Islam hingga mati dalam keadaan kafir. Pekerjaan saleh mereka di dunia dan di akhirat akan sia-sia. Mereka adalah penghuni neraka dan akan kekal di dalamnya.

Ada empat bulan harâm, haram disini yang dimaksud adalah suci, empat di antaranya adalah bulan suci: Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. Dan pada bulan suci ini memang tidak diperbolehkan perang.

Perbuatan yang Dilarang pada Bulan Haram

Jadi setelah memahami tafsir al-baqarah ayat 217 diatas, bahwa ada beberapa perbuatan yang dilarang Allah pada bulan haram. Antara lain adalah tidak memperbolehkan berperang di bulan haram. Hikmah diharamkannya perang pada bulan-bulan haram ini adalah pemberlakuan gencatan senjata secara paksa untuk memberikan kesempatan istirahat dan mencari penghidupan.

Selain itu juga merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, agar orang-orang yang melaksanakan haji pada bulan-bulan itu merasa aman terhadap jiwa dan kekayaannya.

Selanjutnya perbuatan yang dilarang pada bulan haram yaitu penganiyaan atau penindasan. Karena penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir lebih besar dosanya dari pada membunuh.

Jadi, dari sini dapat kita pahami, bahwa power ajaran Islam adalah perdamaian. Bukan peperangan ataupun penganiyaan. Karena peperangan bukan hukum asal dari Islam. Peperangan hanya dipergunakan untuk mempertahankan  keamanan dan menjaga prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Semoga kita bisa meneladani arti Islam adalah perdamaian. Wallahu a’lam.

Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

0
Bulan Muharram
Bulan Muharram (tafsiralquran.id)

Taubat Nabi Adam menjadi salah satu peristiwa yang disebut dan selalu diteladani pada saat bulan Muharram. Bulan Muharram menjadi penanda awal tahun baru Hijriah. Di bulan ini, terdapat banyak peristiwa penting sebagaimana telah ditulis dalam artikel berjudul Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya. Artikel kali ini akan mengulas lebih jauh seputar peristiwa taubat Nabi Adam di bulan Muharram.

Sebelum itu, sebagian pembaca mungkin ada yang bertanya darimana rujukan mengenai peristiwa taubat Nabi Adam terjadi di bulan Muharram? Jawabannya kita bisa temukan dalam hadis Nabi saw dalam Sunan at-Tirmidzi. Rasulullah saw bersabda:

َإِنْ كُنْتَ صَـائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ فَصُمْ الْمُحَرَّمَ، فَإنَّ فِيْهِ يَوْمًا تَابَ اللهُ فِيْهِ عَلَى قَوْمٍ، وَيَتُوْبُ فِيْهِ عَلَى آخَرِيْن

“Bila seseorang puasa sebulan setelah bulan Ramadhan, maka puasalah di bulan Muharram. Karena di bulan itu, hari-hari ketika Allah Swt menerima taubat suatu kaum, dan menerima taubat kaum-kaum yang lain.”

Para ulama memahami kata ‘kaum’ pada hadis di atas salah satunya adalah Nabi Adam As. Keterangan dalam kitab Lathaif al-Ma’arif karya Ibnu Rajab bisa menguatkan hal ini. Dalam kitab ini dikatakan:

ُصحَّ مِنْ حَدِيث أبي إسحاق عن الأسْوَد بن يَزيد أَنَّهُ قال: “سَألْتُ عُبَيد بن عُمَير عَنْ صِيَام يَوْمَ عَاشُورَاء؟ فقال: الْمُحَرَّم شَهْرُ الله الْأصَمّ فِيْهِ تيب عَلَى آدم عليه السلام فَإنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَمُرَّ بِك إلّا صُمْته فَافْعَلْ

“Ibnu Rajab telah mensahihkan sebuah hadis dari Abu  Ishaq dari al-Aswad bin Yazid bahwasanya ia berkata: Aku bertanya kepada ubaid bin Umair perihal puasa di hari ‘Asyura, ia menjawab: Muharram adalah bulan Allah yang penting (al-ashamm).  Di dalamnya Nabi Adam diterima taubatnya. Bila kamu mampu untuk tidak melewatinya tanpa puasa, maka puasalah.”

Dari keterangan para ulama sebagaimana dikutip di atas, kita bisa tahu bahwa peristiwa taubat Nabi Adam berada di bulan Muharram. Nah, bagaimana cerita dari peristiwa itu terjadi?

Peristiwa taubat nabi Adam tercatat dalam beberapa ayat Alquran. Di antaranya terdapat dalam Q.S al-Baqarah [2]: 37:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.”

Kemudian mengenai bagaimana doa taubat yang dipanjatkan Nabi Adam (dan Hawa) kepada Allah Swt, dapat kita temukan dalam Q.S Al-A’raf [7]: 23:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين

Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”

(Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi ZakariaDoa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati)

Kisah taubat dan doa yang dipanjatkan Nabi Adam ini perlu kita kembali refleksikan di awal tahun baru Hijriah kali ini. Mari kita kembali membuka ruang introspeksi dan memperbaiki diri agar senantiasa menjadi pribadi dan hamba yang lebih baik dari hari ke hari. Amin.