Beranda blog Halaman 531

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 167-170

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 167

Sesungguhnya orang yang masih tetap dalam kekafiran setelah datang petunjuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan selalu menghalangi orang supaya jangan percaya kepadanya dan kepada Alquran yang diturunkan kepadanya seperti yang selalu dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi Medinah dan orang-orang kafir Mekah, telah dinyatakan oleh Allah bahwa mereka itu sesat dari jalan yang benar dan sulit bagi mereka untuk kembali kepada kebenaran.

Memang tepat apa yang diterangkan Allah mengenai orang-orang Yahudi itu, karena mereka sudah seharusnya percaya kepada seruan Nabi Muhammad, apalagi mereka telah mengenal beliau dalam kitab mereka sendiri, tetapi mereka tetap ingkar dan selalu mengadakan kebohongan dan tuduhan-tuduhan palsu terhadap beliau dan terhadap Alquran yang dibawanya agar manusia jangan beriman.

Di antara tuduhan-tuduhan yang mereka kemukakan itu ialah “Kalau benar Muhammad itu seorang rasul mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah kitab yang lengkap sekaligus sebagaimana kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa?.” Dengan berbohong mereka berkata, “Allah telah menyebutkan dalam Taurat bahwa syariat Nabi Musa tidak akan diganti dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat.”

Seribu satu alasan mereka kemukakan untuk menolak kebenaran kenabian Muhammad dan Alquran, tetapi semua alasan itu hanya dibuat-buat dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh sebab itu amat tepatlah bila mereka dicap oleh Allah sebagai orang yang jauh sekali tersesat dari jalan yang lurus.

Ayat 168-169

Di samping orang Yahudi itu dicap sebagai orang kafir, mereka dicap pula sebagai orang yang zalim. Memang demikianlah halnya orang-orang kafir itu. Mereka zalim terhadap diri sendiri, zalim terhadap kebenaran dan zalim terhadap orang lain. Zalim terhadap diri sendiri karena mereka tetap tidak mau menerima kebenaran, meskipun bukti telah menunjukkan dengan jelas kesesatan mereka.

Dan karena memperturutkan hawa nafsu dan keinginan untuk mempertahankan kedudukan dan menguasai harta kekayaan, akhirnya mereka sendirilah yang rugi. Zalim terhadap kebenaran karena mereka selalu berusaha menutupinya dan menyembunyikan agar tidak tersebar di kalangan manusia, dan agar mereka sajalah yang benar dan dipuja-puja.

Zalim terhadap orang lain (masyarakat) karena dengan tindakan-tindakan mereka, orang yang seharusnya dapat menikmati kebenaran tetap dalam kesesatan dan terhalang dari merasakan nikmatnya, mereka berusaha mencegah orang yang ingin menyiarkannya kepada orang yang ingin memahami dan menganut agama yang membawa kebenaran.

Orang yang demikian sifatnya dan demikian besar bahayanya bagi masyarakat, sudah sewajarnya mendapat kemurkaan Allah, dan wajar pula bila Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak akan menunjukkan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahanam tempat mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Demikianlah keadilan Tuhan dan amat mudah bagi-Nya melaksanakan keadilan itu.

Ayat 170

Pada ayat ini Allah menunjukkan firman-Nya kepada manusia umumnya sesudah menjelaskan pada ayat-ayat yang lalu kebenaran dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan kebatilan pendirian Ahli Kitab.

Setelah menolak semua hujah dan alasan mereka yang menjelek-jelekkan Nabi dan Alquran yang dibawanya, tibalah saatnya untuk membenarkan yang dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad saw, yang kerasulannya tidak saja dikuatkan dengan mukjizat, tetapi telah dibenarkan pula oleh Ahli Kitab, karena terdapat dalam kitab-kitab mereka sendiri bahwa akan datang seorang Rasul yang membenarkan rasul-rasul yang sebelumnya.

Allah memerintahkan supaya manusia beriman kepada-Nya karena itulah yang baik bagi mereka. Ajaran-ajaran yang dibawanyalah yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya’/21:107)

Barang siapa yang mematuhi perintah ini dan menjadi seorang mukmin sejati, tentulah ia akan diridai Allah dan dilimpahkan rahmat-Nya dan tentulah ia akan menjadi orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Di dunia ia akan hidup dengan penuh kebahagiaan karena rongga dadanya telah dipenuhi oleh iman, takwa serta tawakal kepada Allah; ia akan dapat merasakan bagaimana manisnya iman.

Di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam surga Jannatun Na‘im, ia kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Tetapi bila mereka tidak mematuhi seruan ini dan tetap dalam kekafiran, maka mereka sendirilah yang akan menderita kerugian, tidak dapat merasakan ketenteraman dan kebahagiaan, selalu terombang-ambingkan dalam badai kesesatan dan keraguan, karena tidak mempunyai pegangan dalam mengarungi lautan hidup yang tidak diketahuinya di mana ujung dan pangkalnya.

Bagi Allah sendiri kekafiran seseorang tidaklah merugikan-Nya dan tidak mengurangi keagungan dan kemuliaan-Nya, karena Dialah yang memiliki langit dan bumi, Dialah Yang Mahakuasa menyiksa orang-orang yang kafir, memberi rahmat dan nikmat kepada hamba-Nya.

Dia Maha Mengetahui segala tindak tanduk hamba-Nya dan segala isi hati mereka. Dia Mahabijaksana dalam segala tindakan-Nya, Mahaadil dalam segala pemba-lasan-Nya. Hanya terserah kepada hamba-Nya, apakah ia akan memilih iman yang membawa kepada kebahagiaan yang abadi atau akan memilih kekafiran yang akan membawa kepada penderitaan dan siksaan yang abadi pula.

(Tafsir Kemenag)

Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi

0
Tafsir Era Sahabat
Tafsir Era Sahabat

Tafsir era Sahabat hingga artikel terakhir sudah dijelaskan mulai dari Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Ali bin Abi Thalib. Di awal akan dijelaskan tafsir era sahabat hingga 10 nama. Namun, Husein Adz-Dzahabi ternyata tidak mengulas sampai 10 nama dari kalangan Sahabat.

Setelah menguraikan beberapa nama tersebut, Adz-Dzahabi mendeskripsikan setidaknya ada tujuh poin yang menjadi ciri khas dari tafsir era Sahabat. Apa saja kiranya poin-poin tersebut dan bagaimana penjelasannya? Mari kita urai penjelasan Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun pada edisi tulisan kali ini.

Baca Juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Pertama, tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an. Alasan mendasar tentang ketiadaannya produk penafsiran yang utuh di era sahabat ialah level pemahaman. Mengapa? Sebab di era ini, sebagian besar sahabat sudah dapat mengetahui makna dari redaksi ayat-ayat al-Qur’an secara langsung—sebab mereka pada umumnya adalah orang Arab asli.

Adapun jika terdapat redaksi-redaksi yang dianggap sulit maka mereka akan merujuknya langsung pada penjelasan Nabi maupun para sahabat yang memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena itu, riwayat-riwayat penafsiran yang didapati di era ini merupakan riwayat-riwayat yang memuat penjelasan mengenai redaksi-redaksi ayat yang dianggap susah untuk dipahami saja.

Kedua, sedikitnya perselisahan pandangan terkait penafsiran. Senada dengan alasan kedua ini, disambung oleh alasan ketiga dan keempat yakni kemampuan mereka untuk mengambil maksud dari redaksi secara global melalui pemahaman lughah atau bahasa.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa makna al-Qur’an terbagi ke dalam empat levelitas makna dan oleh sebab itu umunya sahabat yang merupakan orang Arab asli dapat memahami makna ijmali dari ayat-ayat al-Qur’an serta mereka juga tidak dituntut untuk mendapati tafshil­-nya yang tentunya hanya dilakukan oleh sahabat yang memiliki kapabilitas dalam melakukan itu. Itulah yang meminimalisir adanya perselisihan penafsiran di era ini.

Kelima, jarangnya terdapat aktivitas istinbath hukum fiqh serta belum adanya dominasi pandangan dari madzhab tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa di era sahabat belum terbentuk madzhabmadzhab fiqh tertentu yang berupaya melakukan istinbath hukum demi mendapatkan solusi atas suatu masalah yang di alami.

Hal ini juga disebabkan, sebagaimana ciri yang keenam, karena belum adanya pembukuan atas penafsiran-penafsiran yang dilakukan. Ketiadaan pembukuan (tadwin) di era ini menunjukkan belum adanya upaya untuk melakukan pembakuan atas pandangan atau ijtihad tertentu.

Ciri terakhir atau ketujuh ialah penggunaan potongan hadis sebagai tafsir. Akan tetapi penggunaanya belum sistematis sehingga potongan-potongan hadis itu bertebaran di mana-mana. Maka jika tidak mengetahui bahwa itu adalah hadis, seseorang yang membacanya bisa salah sangka dan mengira bahwa itu merupakan bagian dari ayat-ayat al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 164-166

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 164

Ada beberapa rasul yang telah dikisahkan terdahulu oleh Allah kepada Muhammad saw, dan ada pula beberapa rasul yang sengaja tidak  dikisahkan kepadanya, karena umat-umatnya kurang dikenal. Beberapa rasul telah dikisahkan dalam Alquran seperti firman Allah:

وَوَهَبْنَا لَهٗٓ اِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَۗ  كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوْحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهٖ دَاوٗدَ وَسُلَيْمٰنَ وَاَيُّوْبَ وَيُوْسُفَ وَمُوْسٰى وَهٰرُوْنَ ۗوَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَۙ   ٨٤  وَزَكَرِيَّا وَيَحْيٰى وَعِيْسٰى وَاِلْيَاسَۗ  كُلٌّ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَۙ   ٨٥  وَاِسْمٰعِيْلَ وَالْيَسَعَ وَيُوْنُسَ وَلُوْطًاۗ وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعٰلَمِيْنَۙ   ٨٦

(84) Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yakub kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, (85) dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, (86) Dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Lut. Masing-masing Kami lebihkan (derajatnya) di atas umat lain (pada masanya), (al-A’am/6: 84, 85 dan 86)

Kisah para nabi itu sebagian besar terdapat pada Surah Hµd/11 dan Surah asy-Syu’ara’/26. Rasul-rasul yang tidak dikisahkan itu kurang dikenal umatnya oleh orang Arab dan tidak dikenal pula oleh Ahli Kitab yang berdampingan masa hidupnya dengan mereka.

Hikmah dari mengisahkan nabi-nabi itu ialah untuk mengambil iktibar dan pelajaran, untuk menambah ketabahan hati ketika menghadapi tantangan-tantangan dan permusuhan dan untuk memperkuat kenabian Muhammad, sebagaimana firman Allah:

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (Hµd/11: 120)

Orang Yahudi beranggapan, bahwa yang diberi wahyu dan pangkat kenabian itu hanya dari golongan mereka saja, padahal beberapa ayat menunjukkan bahwa Allah telah mengutus beberapa rasul untuk setiap umat sebagai realisasi dari rahmat Allah yang tersebar luas ke seluruh dunia. Firman Allah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ”Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut” … (an-Nahl/16: 36)

وَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ

…Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan. (Fatir/35: 24)

Allah telah berbicara langsung kepada Musa meskipun Allah tidak menampakkan wujud-Nya kepada Nabi Musa ketika menurunkan wahyu kepadanya sebagaimana dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:

۞ وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. … (asy-Syµra/42: 51)

Pembicaraan Allah kepada Musa itu termasuk pembicaraan di belakang tabir, karena beliau hanya mendengar kalam Ilahi dan tidak dapat melihat-Nya.

Ayat 165

Dan Allah telah mengutus para rasul yang sebagian telah dikisahkan dan sebagian lagi tidak, supaya mereka menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar di akhirat dan memberi peringatan kepada orang-orang kafir dan durhaka, bahwa mereka akan mendapat siksa dalam api neraka.

Jika Allah tidak mengutus para rasul kepada manusia, niscaya orang kafir pada hari Kiamat nanti akan menyampaikan hujah atau alasan supaya mereka jangan dipersalahkan atau dituntut sebab belum pernah kedatangan seorang rasul yang memberi peringatan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

وَلَوْ اَنَّآ اَهْلَكْنٰهُمْ بِعَذَابٍ مِّنْ قَبْلِهٖ لَقَالُوْا رَبَّنَا لَوْلَآ اَرْسَلْتَ اِلَيْنَا رَسُوْلًا فَنَتَّبِعَ اٰيٰتِكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ نَّذِلَّ وَنَخْزٰى

Dan kalau mereka Kami binasakan dengan suatu siksaan sebelumnya (Alquran itu diturunkan), tentulah mereka berkata, ”Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (Taha/20:134)

Jadi jelas sekali, bahwa hikmah diutusnya para rasul itu ialah untuk membatalkan hujah atau alasan orang kafir nanti pada hari kiamat.

قُلْ فَلِلّٰهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُۚ فَلَوْ شَاۤءَ لَهَدٰىكُمْ اَجْمَعِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), ”Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (al-An’am/6:149).

Allah Mahakuasa, tidak dapat dikalahkan dalam segala urusan yang dikehendaki-Nya, lagi Mahabijaksana dalam segala perbuatannya. Menurut kebijaksanaan-Nya tidak perlu melayani permintaan orang-orang kafir Yahudi untuk menurunkan sebuah kitab dari langit, sebab sudah ada pengalaman dengan Musa. Mereka pernah meminta yang aneh-aneh kepada Musa, dan setelah permintaannya dipenuhi, mereka semakin menampakkan keingkaran dan keserakahannya.

Ayat 166

Walaupun orang Yahudi itu mengingkari kenabian Muhammad saw dan tidak mau menjadi saksi atas kebenarannya, namun Allah yang menjadi saksi atas kebenaran Alquran yang diturunkan kepada  Muhammad.

Allah memperkuat lagi kesaksian-Nya dengan menyatakan bahwa Allah telah menurunkan Alquran dengan ilmu-Nya, yang belum pernah diketahui oleh Nabi Muhammad dan kaum mukminin, dengan rangkaian dan susunan kata-katanya yang indah, bukan prosa, bukan puisi, berisi ilmu dan hikmah yang padat, tidak mungkin ditiru oleh siapa pun, sanggup menghadapi tantangan zaman, kapan saja dan di mana saja, mengandung aspek-aspek ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sesuai dengan firman Allah:

مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ

…Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab…. (al-An’am/6:38)

Maksudnya dalam Alquran telah ada pokok-pokok ajaran agama, norma-norma, hikmah-hikmah dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat dan kebahagiaan makhluk pada umumnya. Alquran mengandung berita-berita yang gaib tentang masa lampau, masa sekarang dan masa mendatang.

Barang siapa dengan tekun mempelajari Alquran akan bertambah yakin atas kebenarannya dan sanggup pula menjadi saksi. Para malaikat pun terutama Jibril yang jadi perantara dalam turunnya Alquran itu, ikut menjadi saksi atas kebenarannya. Sebenarnya cukup dengan kesaksian dari Allah, sebab tidak ada yang lebih benar dan terpercaya daripada kesaksian Allah.

(Tafsir Kemenag)

Kesabaran Nabi Ayyub Yang Diceritakan Al-Quran

0
Kesabaran Nabi Ayyub
Kesabaran Nabi Ayyub

Kesabaran Nabi Ayyub adalah salah satu kisah Al-Qur’an yang patut diteladani oleh orang-orang Islam. Karena kisah tersebut mengajarkan mereka tentang bagaimana seharusnya seseorang menghadapi berbagai macam cobaan dari Allah Swt. Bahkan ia disebut-sebut sebagai hamba yang paling baik karena kesabaran, keimanan dan ketakwaan yang dimilikinya. Allah berfirman:

وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِّهٖ وَلَا تَحْنَثْ ۗاِنَّا وَجَدْنٰهُ صَابِرًا ۗنِعْمَ الْعَبْدُ ۗاِنَّهٗٓ اَوَّابٌ ٤٤

Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah). (QS. Shad [38]: 44)

Al-Qur’an mengisahkan bahwa nabi Ayyub adalah seorang nabi dan rasul Allah yang sangat kaya dan taat beribadah kepada-Nya. Setiap hari ia gunakan untuk mensyukuri nikmat Allah melalui ibadah puasa, sembahyang dan bermunajat kepada-Nya. Ia juga selalu menyedekahkan harta benda yang dimilikinya untuk meraih keridaan dan kecintaan Allah Swt.

Kisah kesabaran nabi Ayyub dapat ditemukan pada dua tempat, yakni QS. Al-Anbiya: 83-84 dan QS. Shad: 41-44. Kedua bagian ayat ini sama-sama bercerita tentang cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada nabi Ayyub untuk menguji keimanan dan ketakwaannya. Cobaan tersebut terdiri dari penyakit, kehilangan harta dan ditinggal sanak saudara (keluarga). Karena ketabahan Ayyub as, Allah lalu mengembalikan semua nikmat yang telah diambil-Nya.

Menurut Umar Sulaiman Al-Asyqor dalam buku Sahih al-Qashash (214), kisah kesabaran nabi Ayyub diceritakan Al-Qur’an selain berfungsi sebagai pelajaran tentang kesabaran bagi umat Islam, kisah tersebut juga bertujuan untuk menghibur orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik pada diri mereka, keluarga maupun harta. Dengan demikian, mereka sadar bahwa semua manusia bahkan seorang nabi juga mengalami cobaan dan musibah.

Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Iblis terkutuk dan Cobaan Allah bagi Nabi Ayyub

Ketika melihat ketakwaan nabi Ayyub, Iblis merasa tidak senang dan ingin merobohkan ketakwaan tersebut. Kemudian ia meminta kepada Allah agar diberikan kesempatan untuk mejerumuskannya ke dalam golongan orang-orang sesat dan ingkar. Iblis mengira ibadah yang dilakukan nabi Ayyub hanya karena ia diberikan harta dan nikmat melimpah dari Allah Swt.

Mendengar permintaan Iblis, kemudian Allah memberikan izin untuk menggoda nabi Ayyub. Selain itu, Allah juga menguji Ayyub as dengan menimpakan sakit yang sangat parah dan menjijikkan. Diceritakan bahwa sampai-sampai sekujur tubuh nabi Ayyub dipenuhi dengan ulat-ulat dan tidak tersisa dari seluruh tubuhnya bagian yang sehat kecuali lisan dan hati.

Hari demi hari kekayaan nabi Ayyub semakin menipis lalu habis, anak-anak yang sangat ia sayangi wafat satu demi satu, semua sahabat karib yang dahulu menemaninya perlahan menghilang, bahkan istri yang sangat ia cintai pernah mengacuhkannya karena tidak sanggup menahan bau penyakit yang diderita nabi Ayyub. Meskipun demikian, ia tetap tetap beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

Baca Juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Berbagai macam kesusahan dan musibah yang dialami nabi Ayyub tidak membuatnya menjauh dari Allah. Kenyataannya, ia bahkan lebih dekat dan semakin giat untuk beribadah, karena ia menyadari bahwa apa yang menimpa dirinya merupakan cobaan dari Allah swt. Ayyub juga meyakini bahwa Allah tidak akan menimpakan musibah di luar batas kemampuan dirinya.

Salah satu peristiwa yang membuat nabi Ayyub sangat terpukul adalah ketika sahabat karib menyampaikan pendapat pribadi atas musibah yang dialami nabi Ayyub. Menurutnya, Ayyub as telah menanggung derita sekitar 18 tahun lamanya dan Allah belum mengangkat penderitaan tersebut, jangan-jangan itu disebabkan dosa besar yang telah diperbuatnya.

Setelah rekannya mengatakan hal itu, nabi Ayyub lantas menceritakan keadaan dirinya secara terbuka dan menepis anggapan tersebut. Kemudian Ayyub berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang di antara semua penyayang. Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”

Berkat kesabaran nabi Ayyub, kemudian Allah menjawab semua doa-doanya. Allah berfirman:

اُرْكُضْ بِرِجْلِكَۚ هٰذَا مُغْتَسَلٌۢ بَارِدٌ وَّشَرَابٌ ٤٢ وَوَهَبْنَا لَهٗٓ اَهْلَهٗ وَمِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنَّا وَذِكْرٰى لِاُولِى الْاَلْبَابِ ٤٣

(Allah berfirman), “Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat. (QS. Shad [38]: 44)

Setelah nabi Ayyub meminum air tersebut, segala penyakit yang ada ditubuhnya menghilang. Ayyub as kembali sehat dan bersemangat seperti sedia kala seakan-akan ia tidak pernah sakit sama sekali. Dikisahkan sampai-sampai istrinya pangling dan tidak mengenali dirinya. Dia tidak mengira bahwa suaminya dapat sembuh dari penyakit dalam waktu sesingkat itu.

Sebagaimana Allah mengembalikan kesehatan dan kekuatan nabi Ayyub, Allah juga menganugerahkan kepadanya harta berlimpah dan anak yang banyak, jauh lebih banyak dibandingkan harta dan anak yang ia miliki sebelum jatuh sakit. Ini adalah ganjaran yang diberikan Allah karena kesabaran nabi Ayyub selama ini menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

0
Keutamaan Sedekah
Keutamaan Sedekah

Keutamaan sedekah sering disinggung dalam Alquran. Terkadang Alquran menyampaikannya dengan cara memberi pujian kepada orang yang bersedekah, menjanjikan pahala bagi mereka, memperjelas cara kerja pelipat gandaan balasan harta yang disedekahkan, atau dalam bentuk lainnya seperti etika dalam bersedekah.

Sedekah secara bahasa berarti pemberian sesuatu kepada yang berhak menerimanya di luar kewajiban zakat yang sesuai dengan kemampuan orang yang memberi. Terdapat istilah lain dari sedekah yaitu derma dan donasi, oleh karenanya sebutan untuk pemberi adalah dermawan dan donatur. Dalam ajaran agama Islam, sedekah merupakan salah satu amalan yang sangat disenangi oleh Allah. Allah berfirman

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261)

As-Syaukani dengan mengutip pendapat Ibnu Jarir at-Tabari menjelaskan bahwa ayat tersebut bersifat umum cakupannya. Bisa berupa zakat atau nafkah baik yang statusnya wajib atau sunnah. Kemudian, mengenai ‘jalan Allah’ yang dimaksud di sini tidak hanya tertuju pada jihad (berperang) semata, tetapi juga berlaku untuk jami’u abwabil khair (segala macam kebaikan) yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Demikian yang dijelaskan oleh al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’alimut Tanzil. Maka, setiap kebaikan yang kita berikan kepada orang lain sudah bisa dikatakan sebagai pemberian di jalan Allah.

Di ayat tersebut, Allah memperjelas visualisasi kerja harta yang disedekahkan, sehingga harta tersebut kembali ke orang yang bersedekah dengan jumlah yang berlipat ganda. Seperti ini salah satu cara Alquran berkampanye tentang keutamaan sedekah.

Baca Juga: Tiga Makna Metode Matsal Menurut Para Ulama, Empat Model Al Quran dalam Menyampaikan Informasi 

Keutamaan Sedekah

Selain ayat 261 ini, masih banyak lagi ayat yang menunjukkan bagaimana Allah mengajak hamba-Nya untuk senantiasa bersedekah. Dalam surat al-Baqarah saja banyak bertebaran penjelasan terkait hal ini. Berikut poin-poin tentang keutamaan sedekah yang terdapat di dalamnya.

  1. Pujian dari Allah

Orang yang bersedekah dikategorikan sebagai muttaqin (orang-orang yang bertaqwa). Ini sebagaimana yang disebutkan pada surat al-Baqarah ayat 2-3 yang terjemahannya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa (2) yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada mereka (3)”.

Disebut juga sebagai muhsinin (yang berbuat kebaikan) yang dicintai oleh Allah seperti dalam surat al-Baqarah ayat 195 yang kurang lebih berikut terjemahannya: “dan bersedekahlah kamu di jalan Allah dan janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”

  1. Balasan yang Berlipat Ganda

Allah memberi jaminan kepada hamba-Nya yang bersedekah dengan balasan yang berlipat ganda. Orang tersebut tidak akan kekurangan karena sejatinya harta yang ia sedekahkan akan akan datang berkali lipat dari sebelumnya. Hal ini dapat kita temukan di ayat 261 yang kita bahas di awal. Lalu firman-Nya yang lain di surat al-Baqarah ayat 265. Terjemahannya seperti di bawah ini, “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”

  1. Etika Bersedekah

Selain menganalogikan sedekah dengan tanaman yang berbuah, Allah juga menyertakan cara agar sedekah yang diberikan oleh seseorang mendapat pujian serta balasan dari-Nya. Pertama, hindari  mengungkit-ungkit sedekah. Allah berfirman, (artinya): “orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang mereka nafkahkan dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262).

Firman Allah yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya dengan riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka, perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadi bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 264).

Kedua, memilih pemberian yang baik, seperti firman-Nya (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalumenafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memcingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 264 Tentang Bahaya Riya’

Begitu rincinya Allah menjelaskan sedekah dan keutamaan sedekah. Bahkan, dalam redaksi Alquran yang lain dikatakan bahwa tidaklah seseorang mendapat kebaikan kecuali ia memberikan apa yang ia senangi (QS. Ali Imran [3]: 92). Namun, jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang bisa disedekahkan kepada orang lain, maka cukuplah  menjadi pribadi yang disabdakan Nabi berikut ini,

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim (yang sempurna) adalah seseorang yang muslim lainnya selamat dari gangguan lidan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Az Zumar Ayat 63: Kunci Langit dalam Al Quran

0
kunci langit
kunci langit

Al Quran selalu memiliki uslub (gaya bahasa) yang sangat menarik dan siapapun akan terkagum-kagun dengannya. Demikian pula ketika Al Quran menyebut kunci langit dengan maqalid as-samawat. Namun, kata maqalid jika dipahami secara letterlijk maka akan menimbulkan kerancuan. Karenanya, pada pembahasan ini akan dijelaskan bagaimana makna kunci langit (maqalid as-samawat) yang dikemukakan oleh para mufasir.

لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ

Milik-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang yang rugi. (Q.S. az-Zumar [39]: 63)

Kata Maqȃlid adalah bentuk jamak dari kata miqlȃd atau maqlīd, yang berarti memiliki, mengatur, menjaga, dan memelihara. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim mengutip pendapat dari Mujahid. Beliau  mengatakan,

لَهُ مَقَا لِيْدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قال مجاهد: اْلمَقَالِيْدُ هِيَ : اْلمفاتيح بالفارسية و كذا قال قتادة وابن زيد وسفيان بن عيينة وقال السدي : له مقا ليد السماوات والأرض أي : خزائن السماوات و الارض و المعنى على كلا القولين : أن أزمّة الأمور بيده , له الملك و له الحمد , وهو علي كل شيئ قدير

“Maqȃlid artinya kunci-kunci, bahasa asalnya adalah bahasa persia.  As-Sadâ berkata bahwa  yang dimaksud dengan Maqȃlid  (dalam redaksi ayat lahu maqâlîd as-samâwâti wal ‘ardh)  yaitu pembendaharaan  langit dan bumi. Dan makna tersebut mencakup pada keduanya (langit dan bumi). Sesungguhnya kendali semua urusan itu berada pada kekuasaan Allah Swt. Kepada-Nya-lah kerajaan (langit dan bumi) dan segala puji bagi-Nya. Dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu.”

Secara terminologi, para mufassir klasik umumnya mengartikan kata Maqȃlid dengan makna pembendaharaan Allah yang ada pada penciptaan langit dan bumi. Seperti dalam Tafsir al-Muyassar, dijelaskan bahwa pembendaharaan tersebut terkandung rezeki dan rahmat. Sedangkan bila diartikan sebagai kunci dapat bermakna pengaturan Allah terhadap segala yang ada di langit dan dibumi, tidak ada yang terlewat dari-Nya satu makhluk pun.

Sementara Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan maqȃlid  adalah dapat berupa air hujan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Dalam Tafsir Jalalain juga di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan maqȃlid adalah kunci pembendaharaan langit dan bumi seperti hujan, tumbuh-tumbuhan, dan selainnya.

Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Dari pemaparan para ulama tafsir diatas, setidaknya kita bisa menemukan pemahaman dimana Allah Swt adalah zat pencipta segala sesuatu yang ada, baik dilangit maupun dibumi. Dia-lah pencipta alam seluruhnya, tak ada sesuatupun yang dapat menciptakan selain Dia.

Ini adalah suatu hakikat kebenaran yang tidak seorangpun dapat mengingkarinya. Tidak ada seorangpun dapat menyatakan bahwa dirinya pencipta alam, karena tak akan diterima akal bahwa seseorang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan jagad raya ini, dan tidak dapat pula diterima akal bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada penciptanya.

Oleh sebab itu, pastilah alam ini diciptakan oleh Zat yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu, itulah Dia Allah Swt. Allah-lah yang mengurus segala yang ada, ilmu-Nya sangat Luas, mencakup semua makhluk-Nya. Dia-lah yang mengendalikan alam sejak dari yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya.

Dia mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu, hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Tak ada suatu makhluk pun yang ikut campur tangan dalam penciptaan dan pengendalian itu. Inilah yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan dapat diterima oleh hati nurani manusia.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mengingkari hakikat ini dan mengatakan bahwa dialah yang berkuasa, dan dialah Tuhan (sebagaimana fir’aun), atau mengemukakan berbagai macam teori mengenai alam untuk menetapkan bahwa alam jagad raya ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya.

Orang seperti ini adalah orang-orang kafir yang selalu mengingkari bukti-bukti kekuasaan Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 1:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمٰتِ وَالنُّوْرَ ەۗ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan gelap dan terang, namun demikian orang-orang kafir masih mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu. (Q.S. al-An’am [6]: 1)

Ayat ini berkaitan dengan redaksi kedua surah az-Zumar ayat 63, yang menjelaskan bahwa orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah digolongkan ke dalam orang yang merugi, karena pada saat itu masih ada yang mengingkari terhadap penciptaan alam raya ini. Contohnya adalah Raja Fir’aun yang bahkan mengaku sebagai Tuhan.

Baca juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Dalam kitab-kitab klasik seperti Lubȃb an-Nuqȗl fī Asbabi an-Nuzul, al-Itqân fȋ  ̓Ulûm al-qur’ȃn karya Imam as-Suyȗti, at-Tibyân fȋ ̓Ulûm al-qur’ȃn karya Ali as-Sabuni, Asbȃb an-nuzûl al-qur’ȃn karya al-Wahidi, penulis belum menemukan asbabun nuzul-nya. Yang jelas dalam satu riwayat, Ayat ini dibahas berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh sahabat Utsman kepada Rasulullah mengenai redaksi ayat,

لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ

Rasulullah Saw, bersabda diriwayatkan oleh Utsman r.a, bahwa ketika ia menanyakan kepada Rasulullah tentang firman Allah “Hanya bagi Allah, maqalid langit dan bumi” beliau menjawab, “Hai Utsman, engkau menanyakan kepadaku sesuatu yang belum pernah ditanyakan seseorang pun kepadaku sebelumnya. “Maqalid as-samawati wa al-ardh”, ialah ucapan

“Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, aku memohon ampun kepada Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Awal Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin, Menghidupkan, Mematikan, sedang Dia tetap hidup  dan tidak mati, ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Barang siapa yang membawa ucapan ini dia akan mendapatkan kebaikan yang ada di langit dan di bumi.

Singkatnya penulis dapat menyimpulkan bahwa makna yang disepakati pada umumnya oleh para mufassir adalah memaknai kata maqȃlid as-samawati (kunci langit) sebagai pembendaharaan yang asalnya muncul dari langit dan bumi yaitu berupa air hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sehingga dengan memperhatikan kedua anugerah alam ini, manusia dapat mengerti bahwa hal itu merupakan kunci anugerah Allah dalam kehidupan manusia yang harus benar-benar dimanfaatkan secara maksimal untuk kehidupan di bumi.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 160-163

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 160

Bilamana orang-orang Yahudi itu berbuat dosa atau pelanggaran yang berat seperti penyembahan terhadap patung anak sapi, lalu mereka bertobat, maka walaupun tobatnya diterima, namun sebagai akibat dari pelanggaran itu, Allah mengharamkan kepada mereka beberapa makanan yang baik yang dahulunya halal bagi mereka.

Mereka tidak mengakui bahwa makanan-makanan yang baik itu diharamkan sebagai akibat dari dosa-dosanya, bahkan mereka mengatakan, bahwa makanan-makanan itu telah lebih dahulu diharamkan, yaitu sejak Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang datang kemudian; Allah membantah pengakuan mereka dengan firman-Nya:

۞ كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِلَّا مَا حَرَّمَ اِسْرَاۤءِيْلُ عَلٰى نَفْسِهٖ مِنْ قَبْلِ اَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرٰىةُ

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan… (Ali ‘Imran/3:93)

وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku… (al-An’am/6:146)

Diharamkan makanan yang baik itu kepada Bani Israil (Imamat vii.23; xi 4-6) karena mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, dan karena mereka menganjurkan kejahatan dan kemungkaran dan melarang berbuat kebajikan dan menyembunyikan sifat-sifat Nabi Muhammad saw yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.

Ayat 161

Diharamkannya sebagian makanan yang baik kepada orang-orang Yahudi juga disebabkan oleh tindakan mereka memakan uang riba yang nyata-nyata telah dilarang Allah dan disebabkan pula oleh perbuatan mereka yang batil seperti memperoleh harta melalui sogokan, penipuan, perampasan dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat itu Allah menyediakan siksa yang pedih di akhirat.

Ayat 162

Tidak semua Ahli Kitab mengerjakan keburukan-keburukan tersebut. Ada pula di antara mereka orang yang mendalam ilmunya, dan orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dan yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Di antara mereka ada pula yang dengan penuh keyakinan mengikuti ajaran Islam dengan tulus ikhlas.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ayat ini diturunkan terkait  dengan orang-orang Yahudi yang dengan penuh kesadaran masuk Islam seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya. Mereka rajin salat lima waktu dan menunaikan zakat, beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya tanpa membedakan di antara rasul yang satu dengan rasul yang lain. Mereka itu telah sampai kepada tingkat keimanan dan keislaman yang tinggi dan Allah menjanjikan kepada mereka pahala yang besar di akhirat.

Ayat 163

Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepada Muhammad  seperti memberi wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang diutus kemudian. Wahyu yang diberikan kepada para nabi berbeda dengan pengertian wahyu yang pernah diberikan kepada makhluk lain, karena wahyu itu mempunyai empat pengertian:

  1. Isyarat, seperti dalam Firman Allah:

فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا

Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.  (Maryam/19:11)

  1. Ilham, seperti dalam firman Allah:

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِ

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, ”Susuilah dia (Musa), (al-Qasas/28:7)

  1. Insting (naluri) seperti dalam firman Allah:

وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَ

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, ”Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. (an-Nahl/16:68)

  1. Bisikan halus, seperti dalam firman Allah:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. (al-An’am/6:112)

Wahyu yang dimaksud dalam ayat ini ialah wahyu dalam pengertian yang dikenal dalam istilah agama, yaitu bisikan halus dan pengertian makrifat yang didapati oleh seorang nabi di dalam hatinya dengan penuh keyakinan bahwa pengertian itu datangnya dari Allah, baik langsung maupun memakai perantaraan.

Allah telah mewahyukan Alquran ini kepada Muhammad sebagaimana Allah telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang datang kemudian. Allah tidak pernah menurunkan sebuah kitab dari langit secara terang-terangan disaksikan oleh pancaindra seperti yang dimintakan oleh orang-orang Yahudi kepada  Muhammad, karena wahyu itu adalah semacam pemberitahuan yang datang dengan cepat dan tersembunyi.

Di antara nabi-nabi yang menerima wahyu pertama sekali untuk umatnya ialah Nabi Nuh, karena beliau termasuk Nabi yang tertua setelah Adam, dan karena beliau dipandang sebagai Adam kedua, yang menurunkan umat manusia setelah terjadinya banjir besar (taufan).

Allah telah mewahyukan pula kepada Ibrahim yang diberi julukan Abul-Anbiya’ (bapak para nabi dari sisi tauhid) dan Ismail sebagai nenek moyang orang Arab dan Ishak dan Yakub sebagai nenek moyang Bani Israil (Yahudi). Yang dimaksud dengan Asbat ialah anak Nabi Yakub yang berjumlah 12 orang. Pemakaian kata Asbat di kalangan Bani Israil sama dengan pemakaian kata “kabilah” di kalangan orang-orang Arab turunan Ismail.

Allah telah mewahyukan pula kepada Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman dan telah memberikan Zabur kepada Daud. Menurut Imam Qurtubi, Zabur itu berisi 150 surah yang tidak mengandung hukum–hukum, hanya berisi nasihat-nasihat, hikmah, pujian dan sanjungan kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)

Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak pada Learning by Doing

0
kunci kemajuan pendidikan islam
kunci kemajuan pendidikan islam (republika)

Kunci kemajuan pendidikan Islam terletak pada learning by doing (belajar sambil melakukan). Learning by doing merupakan sebuah konsep besar (grand theme) yang berada pada pendidikan dengan menekankan belajar sambil mengajar.

Di sini doing saya memaknainya sebagai mengajar. Mengajar tidak melulu verbal (ceramah saja), melainkan non verbal (menulis, meriset, meneliti, mengabdi, keteladanan, pembiasaan, penanaman karakter). Sebab pada hakikatnya goal (tujuan) dalam pendidikan Islam adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka menerapkan learning by doing merupakan keniscayaan.

Kemajuan pendidikan Islam pada masa kekhalifahan ‘Abbasiyah ditandai dengan puncak kemajuan terkait ilmu pengetahuan dan sains, hal ini tidak terlepas dari pembumian konsep learning by doing secara besar-besaran seperti keproduktifan ulama dalam berkarya, pengajaran yang esensial, ulama fokus hanya belajar dan mengajar, dan sebagainya. Hal ini senada dengan firman Allah swt dalam Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5,

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5)

Tafsir Surat al-‘Alaq Ayat 1-5

Surat al-‘Alaq 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. Inilah wahyu pertama yang dianugerahkan oleh Allah swt kepada Nabi saw. Menurut penafsiran Ibnu Katsir dikatakan sebagai rahmat dan nikmat tiada tara yang dianugerahkan Allah swt kepada para hamba-hamba-Nya. Sekaligus menandai kebangkitan umat manusia menuju ajaran yang hanif dan ilmiah.

Wahyu ini pula menjadi tonggak perubahan peradaban dunia. Dengan turunnya wahyu ini, berubahlah garis sejarah umat manusia, umat yang dulunya jahiliyah bertransformasi menuju sinar ilmu pengetahuan yang terang benderang. Dan pentransformasian itu diawali dengan iqra’ (bacalah).

Kata Iqra dalam literatur khazanah Islam memiliki beragam makna, menyampaikan, menelaan, membaca, meneliti, mendalami, dan makna-makna lainnya. Iqra yang terdapat dalam ayat 1 dan 3, tidak menyebut objek yang dituju, sehingga mengindikasikan seruan bacaan itu bersifat umum.

Artinya, perintah membaca di sini tentu tak terbatas hanya membaca “lembaran buku”, melainkan juga membaca sekeliling, ciptaan-Nya bahkan dunia. Ayat tersebut memerintahkan kita untuk belajar (learning) kemudian mengamalkannya (doing).

Mengamalkan di sini banyak macamnya, misalnya mengajar pada umumnya, meneliti suatu objek, meriset, mengembangkan penelitian ulama atau tokoh terdahulu sehingga menghasilkan penelitian ilmiah yang mutakhir.

Baca juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Yang perlu digarisbawahi, Allah swt tekankan pada redaksi berikutnya bismi rabbika. Ikutilah membaca itu dengan menyebut nama Allah swt. Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya mengatakan, “dengan kalimat Iqra’ bismi rabbika dan semangatnya sekaan mengatakan bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Begitupun tatkala hendak berhenti dari aktivitas. Sehingga, segala aktivitas di dunia ini, sujud, cara dan tujuan seseorang dilakukan semata karena Allah swt.”

Ayat itu seolah ingin menyatakan, “jangan lupakan Aku (Allah swt) sebagai Tuhanmu, Ingatlah semua ini Aku yang menciptakan, kau bisa menikmati, memanfaatkan, meneliti, mengkaji, meriset dan semua itu untuk bekal hidupmu sebagai pelaksana risalah mulia, yakni khalifatullah fil ardh. Tanpa Aku, kamu tak akan bisa melakukan semua itu. Maka, bersyukurlah kamu dan sertakan Aku dalam setiap langkahmu.”


Baca juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar


Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak Pada Learning By Doing

Kunci kemajuan Islam tidak terlepas dengan istilah learning by doing jika kita cermati pada ayat di atas tersirat dalam ayat ke-3, 4, dan 5. Terutama pada redaksi iqra, ‘allama bil qalam dan ‘allamal insana ma lam ya’lam. Ketiga ayat ini mengindikasikan secara serius bahwa belajar sambil mengajar adalah keharusan, yang dalam hal ini saya istilahkan learning by doing.

Kata Iqra’ dalam ayat ke-3 menurut Quraish Shihab, ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Iqra’ pada ayat pertama mengindikasikan perintah untuk membaca diri sendiri (belajar) dan iqra’ dalam ayat ketiga adalah membaca untuk orang lain mengajar.

Bagaimana tidak, Allah swt sebagai Maha Pendidik, Maha Kuasa tentu tidak sulit Dia berfirman kun fayakun, jadilah kamu manusia berilmu, maka jadi. Namun Allah swt ingin meneladankan bahwa Dia tidak segan, tidak malu untuk mengajarkan manusia dengan perantara qalam (pena, media, ayat-ayat-Nya), yang sebelumnya ia tidak memiliki pengetahuan sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (Q.S. al-Nahl [16]: 78)

Mengajar dalam konteks ini bermakna dua hal, yakni verbal dan non verbal. Mengajar verbal seperti halnya ceramah pada umumnya. Pendidik menjelaskan, kemudian peserta didik mendengarkan. Sedangkan non verbal meliputi hal yang lebih luas seperti menulis, meneliti, meriset, keteladanan, pembiasaan hal-hal positif, penanaman karakter, dan sebagainya.

Sebab sabda Rasul saw, ada dua hal perkara yang dikategorikan sebagai sebaik-baik amalan yakni,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآَنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian ialah yang belajar Alquran dan mengajarkannya. (H.R. Muslim)

Ulama Nusantara kita tatkala berceramah baik di forum ilmiah maupun masyarakat awam sebut saja KH. Bahauddin Nur Salim, kerap di sapa Gus Baha, ulama asal Rembang ini pernah menyampaikan bahwa jalan menuju Allah swt ialah dengan belajar dan mengajar.

أَفْضَلُ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ طَرِيْقَةُ التًّعْلِيْمِ وَالتَّعَلُّمِ


Seutama-utama jalan menuju Allah SWT yaitu dengan belajar dan mengajar


Baca juga: Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara


Sebab kunci kemajuan pendidikan Islam bisa dengan belajar dan mengajar, ilmu pengetahuan dan sains berkembang sejalan dengan kebutuhan manusia. Sebagaimana kita dahulu sebagai umat Islam pernah mencapai puncak keemasan ilmu pengetahuan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah.

Di mana lahir ilmuwan-ilmuwan Islam yang mendunia, bahkan kontribusinya sampai sekarang masih kita nikmati. Bukankah pesatnya kemajuan peradaban Islam kita dahulu juga tidak terlepas dari kemajuan pendidikan Islam yang menerapkan learning by doing? Maka sudah waktunya learning by doing direvitalisasi kembali sebagai ruh dalam pendidikan Islam, semoga secepatnya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 156-159

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 156

Ayat ini menerangkan bahwa di antara sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan  Allah, karena kekafiran mereka terhadap Nabi Isa dan Nabi Muhammad, karena tuduhan mereka terhadap Maryam merupakan kedustaan yang besar bahwa Maryam melakukan zina dengan seorang yang bernama Yusuf an-Najjar, sehingga melahirkan Isa putra Maryam. Tuduhan itu sama sekali tidak benar sebagaimana firman Allah:

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, ”Jadilah!”  Maka jadilah sesuatu itu. (Ali ‘Imran/3:59)

Demikianlah Allah kuasa menciptakan Isa dari seorang ibu tanpa ayah, Allah membuktikan kekuasaan-Nya menciptakan manusia dengan empat cara:

  1. Menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu.
  2. Menciptakan Hawa dari unsur yang sama dengan Adam.
  3. Menciptakan Isa dari ibu tanpa ayah.
  4. Menciptakan yang lain-lain melalui ayah dan ibu.;Ternyata apa yang dilontarkan orang Yahudi kepada Maryam bahwa Maryam melakukan perzinaan adalah dusta yang amat besar.

… Kedustaan yang besar bahwa Maryam melahirkan anak haram. Bibel membantah tuduhan itu:  … dan menurut anggapan orang, Ia adalah Yusuf, anak Eli…  (Lukas 3. 23), sebab menurut Matius 1. 1-25, bahwa kelahiran Yesus Kristus pada waktu Maria bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Rohulkudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.

Yusuf suami seorang yang tulus hati, dan tidak mau mencemarkan nama isterinya, ia bermaksud diam-diam akan menceraikannya. Tetapi dalam mimpinya malaikat Tuhan tampak kepadanya, dan berkata, agar jangan takut  … mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah Rohulkudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, …  (Matius 1. 18-21)

Ayat 157

Ayat ini menerangkan bahwa di antara sebab-sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan Allah ialah karena ucapan mereka, bahwa mereka telah membunuh Almasih putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka sebenarnya tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang disalib dan yang dibunuh itu ialah orang yang diserupakan dengan Isa Almasih bernama Yudas Iskariot, salah seorang dari 12 orang muridnya.

Ayat 158

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Isa itu diangkat atas perintah Allah dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw pada saat umat Islam berada dalam keadaan lemah setelah datangnya Dajjal. Kejadian ini menunjukkan kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tercantum dalam firman Allah:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا

(Ingatlah), ketika Allah berfirman, ”Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir…” (Ali ‘Imran/3:55)

Tentang diangkatnya Nabi Isa ke atas langit ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ahli tafsir, diangkat dengan jasmani dan rohaninya, dalam keadaan hidup sebagai suatu mukjizat. Maka Isa a.s. yang diangkat ke langit dengan jasmani dan rohani, sejak diangkat sampai turun kembali ke bumi, sepenuhnya di tangan Allah.

Jika manusia biasa saja, seperti Ashabul Kahfi, bisa tinggal dalam sebuah gua tanpa makan dan minum selama 309 tahun, kiranya tidak perlu dianggap aneh bagi seorang nabi seperti Nabi Isa, untuk tinggal di langit sekian lamanya, karena beliau diberi mukjizat oleh Allah. Pendapat lain mengatakan Nabi Isa diangkat ke langit sesudah wafat lebih dahulu.

Ayat 159

Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, melainkan akan beriman kepada Nabi Isa dengan iman yang sebenarnya sebelum mereka itu mati, yaitu ketika menghadapi sakaratul maut. Orang-orang Yahudi akan beriman, bahwa Nabi Isa itu utusan Allah dan roh yang ditiupkan kepada Maryam dan sebagai makhluk ciptaan Allah.

Orang-orang Nasrani pun akan beriman bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah dan kalimah-Nya, bukan Allah dan bukan pula anak Allah. Keimanan mereka yang sedemikian itu tidak berguna lagi, sebab dinyatakan setelah roh mereka sampai di tenggorokan, setelah mereka melihat tanda-tanda di alam akhirat. Tercantum dalam firman Allah:

يَوْمَ يَأْتِيْ بَعْضُ اٰيٰتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا اِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ اٰمَنَتْ مِنْ قَبْلُ

…Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu… (al-An’am/6:158)

Ada pula sebagian ulama yang menafsirkan ayat ini demikian: tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, melainkan akan beriman kepada Nabi Isa dengan iman yang sebenarnya sebelum Nabi Isa wafat. Beliau akan diturunkan lagi ke dunia dari langit pada akhir zaman untuk memperbaiki nasib umat Islam setelah dirusak oleh Dajjal.

Berdasarkan beberapa hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim dan lain-lain: Nabi Isa akan turun ke dunia, nanti pada akhir zaman. Beliau akan memecahkan salib lambang umat Nasrani, akan memusnahkan babi dan segala kekejian. Setelah itu dunia akan mengalami kesuburan, keamanan dan kesejahteraan yang adil dan merata.

Ketika itu Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani akan beriman semuanya kepada Nabi Isa sebelum wafat, dan setelah wafat beliau dimakamkan di samping makam Nabi Muhammad di Medinah. Turunnya beliau ke dunia ini adalah untuk menegakkan syariat Muhammad sehingga Nabi Muhammad tetap menjadi saksi atas keimanan atau kekafiran Ahli Kitab, seperti dijelaskan dalam firman Allah:

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًا

Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka. (an-Nisa’/4:41)

(Tafsir Kemenag)

Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Ali Ibn Abi Thalib

0
Ali Ibn Abi Thalib
Ali Ibn Abi Thalib credit: toraseyat.com

Sekilas Tentang Ali Ibn Abi Thalib

Nama lengkapnya ialah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib al-Quraisyi al-Hasyimi. Ia adalah seorang anak dari paman Rasulullah, Abu Thalib dan secara silsilah masuk ke dalam ahlu bait Rasulullah. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad ibn Hasyim. Karena kedua orang tuanya berasal dari marga yang sama, dikatakan bahwa Ali merupakan anak keturunan Hasyimi pertama yang lahir dari kedua orang tua yang memiliki kesamaan marga.

Ali termasuk dari golongan pertama yang memeluk Islam dan percaya akan kenabian Muhammad. Ia selalu mengiringi Nabi dalam setiap peristiwa penting. Kisahnya yang mengorbankan diri demi hijrahnya Nabi begitu fenomenal. Begitu pun dengan berbagai pertempuran yang diikutinya bersama Rasulullah. Dikatakan bahwa tak ada satupun pertempuran yang ia lewatkan kecuali perang Tabuk. Dalam banyak kesempatan, Ali juga dipercaya oleh Rasulullah sebagai pembawa panji (al-liwa’) dan bahkan Rasulullah bersabda, “sungguh akan kuserahkan al-rayah (panji) kepada seseorang yang telah mendapat futuhat dari Allah, seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Pengulangan kalimat dalam sabda Nabi tersebut menunjukkan penekanan bahwa Nabi benar-benar mempercayakan tugas mulia itu pada sahabat Ali. Rasulullah pun mengatakan bahwa Ali merupakan saudaranya di dunia serta di akhirat. Kedekatan Rasulullah dengan sahabat Ali  semakin bertambah dengan dijadikannya Ali sebagai menantu Nabi setelah menikahi Fathimah Az-Zahra.

Baca Juga: Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud

Selepas wafatnya Rasulullah, Ali ibn Abi Thalib dipercaya menjadi Khalifah yang menggantikan Khalifah ketiga, Usman ibn Affan. Memegang tampuk kekuasaan selama hampir 5 tahun, Ali sang babul ilmi harus mengakhiri era kekhalifahannya sebab wafat ditangan seorang khawarij, Abdurrahman ibn Muljam. Kala itu usia Ali telah menginjak 60 tahun atau ada juga yang mengatakan 63 tahun. Ia wafat tepat di bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyyah.

Level Keilmuan

Ali ibn Abi Thalib dijuluki sebagai bahrul ilmi dan juga babul ilmi sebab kekuatan hujjahnya, ketepatannya dalam beristinbat, kefasihannya dalam berkhutbah dan merangkai syair serta kecerdasan akalnya dalam menghadirkan solusi bagi setiap masalah. Maka tak heran jika banyak sahabat yang mencarinya untuk meminta solusi atas beragam masalah yang ditimpanya.

Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa  Ali juga merupakan sahabat yang mendapatkan doa istimewa dari Nabi selain Ibn Abbas. Doa tersebut berbunyi, “allahumma tsabbit lisanahu wa ihdi qalbahu” (ya Allah tetapkanlah lisannya (Ali) dalam kebenaran dan kebajikan dan karuniailah hatinya petunjuk).

Doa itu menjadi wasilah bagi kematangan dan kebijaksanaan Ali dalam memutuskan suatu perkara. Ia pun menjadi sahabat yang paling dipercaya dalam memutuskan perkara dan memberi fatwa. Kemampuan itu merupakan hasil dari penguasaannya atas al-Qur’an serta pengetahuannya atas makna-makna yang sifatnya asrar atau makna batin. Ibn Abbas pernah berkata bahwa ia hanya mengambil penafsiran al-Qur’an (sahabat) dari Ali ibn Abi Thalib.

Diriwayatkan juga oleh Abu Thufail bahwa Ali pernah berkata di depan para sahabat: “Tanyailah aku! Demi Allah tak ada satu pun pertanyaan yang tidak bisa ku kabarkan jawabannya. Tanyailah aku tentang al-Qur’an! Demi Allah tak ada satupun ayat kecuali aku ketahui tentang konteks pewahyuannya, apakah siang ataukah malam, apakah di dataran ataukah di gunung”.

Ibn Mas’ud juga turut mengakui kealimannya, ia berkata, “sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf (mengenai makna tujuh huruf ini begitu beragam), tidak ada dari ketujuh huruf itu satu huruf saja yang tidak memiliki makna dhahir dan bathin. Dan sungguh Ali ibn Abi Thalib memiliki keduanya”. Dari beberapa riwayat dan keterangan Nabi serta para sahabat kita ketahui bahwa Ali ibn Thalib merupakan sahabat yang memiliki derajat keilmuan yang tinggi dan pantas menjadi rujukan pada masa itu.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Hal Menarik Seputar Ali Ibn Abi Thalib

Salah satu pembahasan menarik seputar Ali ibn Abi Thalib adalah mengenai riwayat penafsirannya. Dikatakan bahwa riwayat penafsiran Ali menjadi bahan yang diperdebatkan di antara Ulama sehingga mereka pun berusaha untuk mengkaji dan men-tahqiqnya demi mendapatkan riwayat yang shahih.

Adz-Dzahabi berargumen bahwa riwayat penafsiran Ali ibn Abi Thalib yang shahih lebih sedikit daripada yang dipalsukan. Pemalsuan ini sebenarnya melibatkan campur tangan Syi’ah. Ini bisa kita lacak dari adanya krisis politik yang terjadi di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib yang berujung pada wafatnya dirinya oleh seorang khawarij.

Krisis politik yang telah terjadi itu menyebabkan munculnya dua kelompok yang memiliki keyakinan politis yang berbeda dan saling membenarkan pandangan politisnya. Kedua kelompok itu ialah Syi’ah (kelompok pro Ali) dan Khawarij (kelompok kontra Ali). Pertarungan ideologis-politis kedua kelompok ini juga berpengaruh pada kualitas riwayat yang dibawa oleh keduanya.

Syi’ah sebagai kelompok yang begitu fanatis kepada Ali, mempromosikan dan menguatkan pandangan ideologis-politis kelompoknya dengan banyak bersikap tidak adil dalam meriwayatkan riwayat-riwayat dari Ali. Mereka beranggapan bahwa bersikap berlebihan dalam menyampaikan riwayat yang berkaitan dengan Ali lebih utama daripada menyampaikannya secara ilmiah dan sesuai dengan kadarnya (orisinil). Maka dalam hal ini, para pengkaji al-Qur’an perlu melakukan analisa thuruq al-riwayah secara teliti dalam mengambil penafsiran sahabat terutama yang berasal dari Ali ibn Abi Thalib demi terhindar dari riwayat yang fasid. Wallahu a’lam.