Beranda blog Halaman 530

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 175-176

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 175

Ayat ini memberikan ketegasan kepada manusia sesudah menyatakan bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan Alquran adalah cahaya dan petunjuk yang diturunkan-Nya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran Alquran, akan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya yaitu surga dan akan selalu berada dalam lindungan karunia-Nya, suatu rahmat dan karunia yang tak dapat dibayangkan oleh manusia bagaimana besar dan mulianya.

Ibnu Abbas berkata yang dimaksud dengan rahmat-Nya di sini ialah surga dan yang dimaksud dengan karunia-Nya ialah karunia yang akan dinikmati oleh penghuninya yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum pernah terdengar oleh telinga dan tak terbayangkan dalam pikiran betapa bahagia dan senangnya orang yang dapat menikmatinya.

Selain dari itu Allah akan memberinya petunjuk dan hidayah serta taufik-Nya agar ia selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang benar yang akan menyampaikan kepada rahmat-Nya yang besar dan lurus itu.

Ayat 176

Pada akhir ayat 12 surah ini, ada pula hukum waris kalalah, maka al-Khattabi berkata tentang kedua ayat kalalah ini: Allah telah menurunkan dua ayat kalalah pada permulaan Surah an-Nisa’ namun ayat itu masih bersifat umum dan belum jelas, kalau dilihat dari bunyi ayat itu saja, maka Allah menurunkan lagi ayat kalalah di musim panas yaitu ayat terakhir dari Surah an-Nisa’.

Pada ayat ini terdapat tambahan keterangan mengenai apa yang belum dijelaskan pada ayat pertama, karena itu ketika Umar bin al-Khattab ditanya tentang ayat kalalah yang turun pertama kali, ia menyuruh penanya itu untuk memperhatikan ayat kalalah kedua.

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menjawab pertanyaan yang dikemukakan orang kepadanya mengenai pusaka kal±lah, seperti halnya Jabir bin Abdullah yang tidak lagi mempunyai bapak dan anak, sedang dia mempunyai saudara-saudara perempuan yang bukan saudara seibu.

Karena saudara perempuan yang bukan seibu belum ada ditetapkan untuk mereka bagian tertentu dalam harta pusaka, sedang saudara seibu ditetapkan bagiannya yaitu seperenam jika saudara perempuan itu seorang saja, sepertiga bila lebih dari seorang. Pusaka yang sepertiga itu dibagi rata antara saudara-saudara perempuan seibu, berapa pun banyaknya mereka, karena pusaka itu adalah pusaka yang menjadi hak ibu mereka kalau ibunya masih hidup.

Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya tentang masalah ini ialah bahwa bila seseorang meninggal, sedang ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja maka saudara perempuan itu mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkannya, jika saudara itu seorang saja.

Bila saudara perempuannya itu mati lebih dahulu, dan tidak pula mempunyai bapak yang menghijab (menghalanginya) dia berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya. Dia berhak mewarisi seluruh harta peninggalan saudara perempuannya bila tidak ada orang yang berhak atas pusaka itu yang telah ditentukan bagiannya (ashabul furµd).

Tetapi bila ada orang yang berhak yang telah ditentukan bagiannya seperti suami, maka diberikan lebih dahulu hak suami itu dan selebihnya menjadi haknya sepenuhnya. Kalau saudara perempuan itu ada berdua, maka kedua saudaranya itu mendapat dua pertiga. Dan bila saudara-saudaranya yang perempuan itu lebih dari dua orang, maka yang dua pertiga itu dibagi rata (sama banyak) antara saudara-saudara itu.

Kalau yang ditinggalkannya itu terdiri dari saudara-saudara (seibu sebapak atau sebapak saja) terdiri saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagi antara mereka dengan ketentuan bahwa bagian yang laki-laki dua kali bagian yang perempuan, kecuali bila yang ditinggalkannya itu saudara-saudara seibu, maka saudara-saudara seibu mendapat seperenam saja, karena hak itu pada asalnya adalah hak ibu mereka. Kalau tidak karena itu, tentulah mereka tidak berhak sama sekali karena bukan ahli-ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta pusaka.

Demikianlah yang ditetapkan Allah mengenai pusaka kal±lah, maka wajiblah kaum Muslimin melaksanakan ketetapan-ketetapan itu dengan seksama, agar mereka jangan tersesat dan jangan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu adalah untuk kebaikan hamba-Nya, dan ilmu-Nya amat luas meliputi segala sesuatu di dalam alam ini.

(Tafsir Kemenag)

Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

0
Luqman al-Hakim
Luqman al-Hakim credit: sharekni.com

Luqman al-Hakim adalah seorang ayah yang terkenal memiliki berbagai nasihat-nasihat bijak dalam mendidik anak. Allah Swt bahkan mengabadikan namanya menjadi nama sebuah surat, yakni QS. Luqman. Selain itu, Luqman al-Hakim juga dikenal sebagai seorang hamba yang saleh dan seorang yang telah dianugerahi hikmah kehidupan oleh Allah Swt sebagaimana termaktub dalam QS. Luqman [31] ayat 12.

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ ١٢

Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu,”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji”. (QS. Luqman [31]:12)

Ketika ditanya bagaimana cara mendapatkan hikmah dari Allah, Luqman al-Hakim menjawab, “Aku menundukkan mata (pandangan), menjaga lisan, berlaku iffah dalam hal makanan (hanya mengonsumsi makanan halal). Aku juga menjaga kemaluan, memenuhi janji, dan memuliakan tamu. Selain itu, aku juga menjaga hubungan dengan tetangga dan meninggalkan segala hal yang tidak berguna.”

Dalam Al-Qur’an, nama Luqman al-Hakim disebut sebanyak dua kali, yakni pada QS. Luqman [31] ayat 12 dan 13. Karena penyebutan ini, ulama berbeda pendapat mengenai apakah ia seorang nabi, rasul atau hanya seorang hamba yang diberi hikmah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Luqman al-Hakim adalah seorang hamba Allah yang saleh, namun bukan nabi ataupun rasul (Tafsir Ibnu Katsir [6]: 333).

Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Terlepas dari perdebatan apakah Luqman al-Hakim seorang nabi atau bukan, kisahnya di dalam Al-Qur’an memiliki tujuan khusus yang harus dipahami. Merujuk kepada pendapat Khalafullah, sebuah kisah dalam Al-Qur’an seringkali tidak disebutkan secara spesifik latar belakang sosio-historisnnya, karena tujuan utama dari kisah tersebut adalah aspek psikologis, yaitu peringatan dan pelajaran (Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah: 102-103).

Nasihat-nasihat Luqman al-Hakim Yang Diceritakan Al-Quran

Luqman al-Hakim mendunia karena nasihat-nasihatnya kepada anak. Pada masa kehidupannya, ia seringkali dimintai nasihat mengenai permasalahan hidup oleh orang-orang sekitar. Mereka berbondong-bondong mendengarkan dan menyimak berbagai kata-kata hikmah dari Luqman al-Hakim. Alhasil, ia pun menjadi sangat populer di tengah masyarakat.

Di antara nasihat dari Luqman al-Hakim yang paling terkenal adalah nasihat kepada anaknya. Ini termaktub dalam QS. Luqman [31] ayat 13 hingga 19. Secara umum, bagian ayat ini berisi tentang ajaran tauhid, syariat, etika dan estetika. Nasihat ini merupakan bentuk tindakan preventif Luqman al-Hakim terhadap anaknya agar tidak tersesat dari ajaran Allah.

Nasihat pertama Luqman kepada anaknya adalah larangan melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah Swt), karena syirik adalah dosa besar. Nasihat ini secara implisit juga mengajarkan anaknya untuk senantiasa mengesakan Allah kapan dan di mana saja ia berada. Dengan demikian, anaknya dibekali dengan ajaran tauhid yang kokoh agar dapat mengarungi kehidupan di dunia.

Nasihat Luqman al-Hakim di atas Allah abadikan dalam Firman-Nya:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ ١٣

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

Di sela-sela kronologi nasihat Luqman al-Hakim dalam Al-Qur’an, disisipkan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua, karena merekalah yang telah membesarkan dan mendidik seorang anak. Menurut Quraish Shihab, diletakkannya perintah berbakti kepada kedua orang tua setelah perintah tauhid menunjukkan betapa Allah menjunjung tinggi nilai sebuah kebaktian terhadap ibu dan ayah (Tafsir Al-Mibah [10]: 298).

Al-Biqa’i menuturkan, meskipun frasa (QS. Luqman [31]: 14) menunjukkan bahwa nasihat untuk berbagi kepada kedua orang tua tidak diucapkan oleh Luqman, Namun sebenarnya nasihat tersebut juga merupakan bagian dari nasihat-nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya. Hanya saja bentuk ungkapan ayat diubah agar pesan di dalamnya mencakup seluruh manusia.

Kemudian, pada QS. Luqman [31]: 15 Allah memberikan catatan atau rambu-rambu terkait ketaatan kepada kedua orang tua. Catatan tersebut mengindikasikan bahwa selama keduanya tidak memaksa untuk mengucapkan atau melakukan tindakan menyekutukan Allah, maka seorang anak harus menaati keduanya. Adapun orang tua yang beragama selain Islam, keduanya juga harus tetap dihormati sebagaimana mestinya.

Selanjutnya (QS. Luqman [31]: 16), Luqman al-Hakim menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu di alam semesta termasuk apa saja yang dilakukan manusia. Oleh karenanya, manusia harus berbuat baik kepada manusia lainnya ataupun alam sekitar sekecil apapun itu. Kelak Allah akan membalas segala perbuatan baik dan buruk meskipun hanya sebesar biji sawi.

Terakhir QS. Luqman [31]: 17-19), Luqman al-Hakim memerintahkan anaknya untuk menjaga shalat, menyerukan kebaikan, mencegah keburukan dan bersabar. Karena itu semua merupakan ekspresi dari keimanan dan ketauhidan. Apalah arti keimanan seseorang jika tidak dibarengi oleh ketaatan. Ia juga berpesan kepada anak-anaknya agar bersifat tawadhu’ dan tidak sombong, sebab kesombongan dapat mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehinaan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 172-174

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 172

Kemudian sebagai penolakan atas anggapan bahwa Isa a.s. itu adalah Tuhan, Allah menjelaskan bahwa Isa a.s. sendiri, begitu pula malaikat-malaikat tidak merasa enggan dikatakan hamba Allah dan tidak pernah menyombongkan diri, sehingga mengatakan aku ini adalah Tuhan, karena Isa a.s. dan malaikat-malaikat itu menyadari dan mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa Allah Mahabesar, Mahakuasa dan Mahakaya. Dialah yang patut disembah, patut diagungkan dan patut diminta rahmat dan karunia-Nya.

Sedangkan malaikat yang tinggi derajatnya dan amat dekat kepada Tuhan dan di antara mereka itu ada yang diutus Allah untuk meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Maryam, ibu Isa a.s., Isa a.s., yang dimuliakan-Nya dan diangkat menjadi rasul, tentu tidak mungkin akan berkata aku ini adalah Tuhan yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan.

Orang yang enggan menyembah Allah dan menyombongkan diri termasuk orang-orang yang tiada mengakui adanya Tuhan, adalah orang durhaka, orang-orang yang tak tahu diri dan tak mempergunakan akal pikirannya. Allah akan mengumpulkan mereka di padang mahsyar kelak bersama-sama dengan orang-orang mukmin dan semua makhluk Allah lainnya dan mereka akan menerima siksaan yang pedih karena kesesatan dan kedurhakaannya.

Ayat 173

Adapun orang yang beriman dan mengerjakan amal yang baik mereka akan menerima pahala amalan mereka berlipat ganda dan akan dimasukkan ke dalam surga, selalu dilimpahi rahmat dan karunia Ilahi. Tetapi orang yang enggan dikatakan hamba Allah dan selalu menyombongkan diri dan orang yang mengingkari adanya Allah, mereka akan mendapat siksaan yang amat pedih sesuai dengan dosa dan keingkaran mereka.

Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka, tak ada yang akan membela mereka, dan tak ada yang akan menolong mereka supaya dapat keluar dari neraka, karena semua urusan ketika itu berada di tangan Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ

(Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82:19).

Ayat 174

Ayat ini menyerukan kepada semua manusia di dunia dan menyatakan bahwa telah datang kepada mereka berbagai keterangan yang jelas dari Tuhan, dikuatkan oleh dalil-dalil dan alasan-alasan yang nyata dan benar, yang dibawa oleh seorang nabi dan rasul-Nya, yang “ummi” yang tidak pandai tulis baca.

Keadaan buta huruf itu saja sudah menjadi bukti yang kuat atas kenabian dan kerasulannya atas kebenaran agama yang dibawanya yang mempunyai peraturan-peraturan dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia dan memberikan petunjuk berupa ibadah dan amal saleh untuk mencapai kebahagiaan di akhirat

Bagaimana seorang ummi yang tidak pernah belajar di sekolah apalagi untuk membaca buku-buku, dan tidak pernah di masa kanak-kanak dan di masa mudanya mengikuti langkah-langkah dan kebiasaan-kebiasaan anak dan pemuda-pemuda di masanya, tidak pernah menghadiri malam-malam senda gurau, malam-malam panjang biasa mereka berceritera dan bercengkerama mengenai adat istiadat, sejarah nenek moyang, dan kejadian-kejadian penting di kalangan mereka, seperti peperangan, permusuhan dan lain sebagainya dapat menceritakan sesuatu yang berharga dan tinggi nilainya?

Bagaimana seorang ummi yang demikian keadaannya akan dapat membawa suatu kitab (Alquran) yang di dalamnya terdapat syariat yang mulia dan amat tinggi nilainya, dibawakan dengan gaya bahasa yang amat tinggi pula mutunya yang sepanjang zaman tidak dapat ditiru dan ditandingi (al-Baqarah/2:23, Yµnus/10:38, Hµd/11:13 dan al-Isra’/17:88) oleh pujangga-pujangga bagaimanapun besarnya.

Ini adalah suatu tanda dan bukti atas kebenaran agama yang dibawanya, bahkan tidak ada orang yang dapat membantah bahwa Alquran itu adalah suatu mukjizat yang abadi yang selalu dapat menguatkan dan membenarkan agama yang dibawanya itu. Maka Allah menamakan Alquran itu cahaya yang terang benderang yang memberi petunjuk kepada manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik kepada cahaya iman (al-Baqarah/2:257) dan menegakkan dasar-dasar tauhid yang telah menjadi tugas para rasul sebelum Muhammad saw.

Para rasul sebelumnya telah menyeru umatnya dengan bersungguh-sungguh kepada agama tauhid dan telah banyak pula pengikut mereka. Tetapi ternyata sesudah mereka meninggal, para pengikut itu telah merusak dasar-dasar tauhid itu dengan mencampuradukkannya dengan beraneka ragam kemusyrikan seperti menyembah berhala, menyembah bintang dan matahari bahkan menyembah arwah-arwah dengan memujanya dan memanjatkan doa kepadanya.

Akhirnya manusia terjerumus ke lembah syirik dan hanyut dibawa arus berbagai macam paham yang sesat dan menyesatkan sehingga mereka kehilangan pedoman dan tidak tahu lagi mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.

Dalam keadaan gelap gulita seperti inilah Alquran diturunkan sebagai cahaya yang menerangi mereka sehingga manusia dapat berpikir kembali dan menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh selama ini adalah jalan salah yang membawa kepada kerusakan dan keruntuhan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

57

هُوَ الَّذِيْ يُنَزِّلُ عَلٰى عَبْدِهٖٓ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍ لِّيُخْرِجَكُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَاِنَّ اللّٰهَ بِكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Dialah yang menurunkan ayat-ayat yang terang (Alquran) kepada hamba-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sungguh Allah Maha Penyantun Maha Penyayang” (al-Hadid/57:9)

Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw, yang ummi  pembawa syariat yang sempurna untuk kebahagiaan dunia dan akhirat tidak mungkin bukan seorang nabi dan utusan Allah. Dan jelas pulalah bahwa Alquran yang diturunkan kepadanya bukan buatannya, tetapi benar-benar wahyu dari Tuhan semesta alam.

(Tafsir Kemenag)

Pengantar Tafsir Era Tabi’in: Sumber dan Madrasah Tafsirnya

0
Tafsir Era Tabi'in
Tafsir Era Tabi'in

Pengantar Tafsir Era Tabi’in: Sumber dan Madrasah Tafsirnya menjadi materi pembuka dalam edisi materi tulisan kali ini. Setelah era sahabat, era Tabi’in menjadi era baru dalam penafsiran al-Qur’an sebab di era ini telah banyak golongan-golongan non-Arab yang masuk Islam (mawali) dan juga menjadi rujukan tafsir. Maka tulisan ini akan menjadi pengantar sebelum masuk pada seri kajian lanjutan pada era ini.

Era Tabi’in disebutkan sebagai fase lanjutan dalam aktivitas penafsiran al-Qur’an setelah era sahabat. Era ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tafsir yang menggantikan posisi para sahabat. Menariknya, tokoh-tokoh mufassir di era ini tidak hanya berasal dari golongan arab namun juga non-Arab (mawali). Golongan non-Arab yang muncul sebagai mufassir ini merupakan orang-orang yang turut serta masuk Islam akibat adanya ekspansi khilafah Islamiyah di era sahabat. Mereka juga merupakan murid dari para sahabat Rasulullah yang memiliki otoritas dalam penafsiran serta madrasah tafsir di kota tempat mereka menetap.

Baca Juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya

Para Tabi’in yang menjadi pionir mufassir pengganti sahabat ini memiliki tanggungjawab yang cukup berat. Mereka harus menghadapi sebuah konteks tatanan kehidupan yang berbeda serta menjawab problematika yang ada dengan menyempurnakan maupun memikirkan ulang (reinterpretasi) penafsiran-penafsiran yang diwariskan di era Sahabat.

Sumber Penafsiran

Sebagaimana pada era Sahabat, di era ini para Tabi’in juga menjadikan eksplorasi internal al-Qur’an sebagai metode pertama dalam penafsiran. Pemahaman dimensi linguistik al-Qur’an yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka menjadi salah satu wasilah dalam melakukan telaah internal dalam memahami al-Qur’an.

Riwayat tafsir Nabi yang turut mereka dapatkan dari para Sahabat serta hasil ijtihad mandiri dari para guru mereka juga menjadi elemen penting yang membantu mereka dalam memahami redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu mereka juga mengambil riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab yang bersumber dari kitab-kitab mereka.

Selanjutnya mereka juga melakukan ijtihad mandiri, khususnya bagi para Tabi’in yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi bahwa kitab-kitab tafsir Tabi’in yang sampai pada kita saat ini sebagian besar berisi hasil ijtihad mandiri para Tabi’in. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya riwayat penafsiran di era Sahabat yang umumnya orang Arab asli dan mampu memahami makna ijmali ayat.

Baca Juga: Kenapa Hasil Penafsiran itu Berbeda-beda? Ini Salah Satu Alasannya

Sedangkan di era Tabi’in sudah banyak orang-orang non-Arab yang memeluk Islam dan memiliki hajat untuk memahami al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Maka dari itu para Tabi’in melakukan ijtihad dalam rangka melengkapi penafsiran yang telah ada serta mempertimbangkan konteks saat wahyu itu turun dan konteks yang mereka hadapi.

Madrasah Tafsir

Sejatinya sejak era Rasulullah sampai era Sahabat telah banyak wilayah yang dimenangkan Allah untuk umat Islam. Di era Tabi’in jumlah wilayah yang ditaklukan pun semakin banyak. Hal inilah yang menyebabkan umat Islam tidak berkumpul pada suatu daerah tertentu namun tinggal secara terpisah di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan Islam serta memiliki profesi yang bermacam-macam.

Sebagian dari mereka ada menjadi pejabat pemerintahan seperti kepala daerah dan sekertaris. Ada juga yang menjadi bergelut di bidang hukum dan menjadi hakim. Ada yang menjadi sumber ilmu masyarakat dengan diakuinya sebagai mu’allim serta beragam profesi lainnya.

Para sahabat yang memahami kondisi tersebut, kemudian mulai mengirimkan perwakilan-perwakilannya untuk menjadi sumber ilmu di masing-masing daerah. Kedatangan para sahabat—yang selanjutnya menjadi guru para Tabi’in—ini pun begitu diidamkan dan dengan antusiasme yang tinggi para Tabi’in yang ingin menimba ilmu senantiasa hadir dalam majelis-majelis ilmu yang diisi oleh para Sahabat yang alim.

Dari sekian banyak sahabat tersebar dan membuka majelis ilmu di berbagai daerah, muncullah tiga madrasah tafsir yang paling terkenal. Ketiga madrasah tersebut memang diampu langsung oleh para sahabat yang terkenal memiliki otoritas penafsiran dan menjadi rujukan sahabat lainnya dalam memahami al-Qur’an.

Adapun ketiga madrasah tafsir itu ialah 1) Madrasah Tafsir Makkah yang dipimpin oleh Ibn Abbas; 2) Madrasah Tafsir Madinah yang dipimpin oleh Ubay Ibn Ka’ab; 3) Madrasah Tafsir Kufah yang dipimpin oleh Abdullah Ibn Mas’ud. Dari ketiga madrasah tafsir itu nantinya lahir pentolan-pentolan Tabi’in yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dan mampu menjadi pewaris keilmuan dari era Sahabat.

Para Tabi’in yang tersohor dari setiap madrasah tafsir inilah nantinya yang akan diulas dalam edisi tulisan berikutnya. Demikian materi “Pengantar Tafsir di Era Tabi’in: Sumber dan Madrasah Tafsirnya” yang menjadi pembuka pada sesi kajian tafsir di era Tabi’in. Selamat menanti edisi tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam.

Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

0
manajemen keuangan dalam Al Quran
manajemen keuangan dalam Al Quran

Santri Gayeng mengadakan ngaji rutin tafsir bersama kyai Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang kerap disapa dengan Gus Baha’. Pada kesempatan kali ini Gus Baha’ menjelaskan Tafsir Jalalain surat Al-Furqon ayat 62, tentang manajemen keuangan dalam prespektif Al Quran.


Baca juga:Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan dalam Al Quran


Ngaji tafsir yang diampu oleh Gus Baha’ ini  lugas dan gamblang. Beliau juga memaparkan pengertian manejemen keuangan sesuai Al Quran sebagaimana yang sudah di praktikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib.

Berikut firman Allah surat al-furqon ayat 61-62:

تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا

 وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا

“Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang- bintang. Dan Dia juga menajdkan padanya matahari dan bulan yang bersinar. Dan Dia pula yang menjadikan malam dan siang silih bergantinbagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur” (Q.S Al- Furqan Ayat  61-62).

Tafsir Al-Furqon Ayat 61- 62

Dalam Tafsir Jalalain karya Jalauddin as-Syuyuti, surat Al-Furqan ayat 61 terkait Allah yang telah menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang) yang ada dua belas.

Bintang tersebut yaitu: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricornus, Aquarius dan Pisces. Gugusan-gugusan tersebut merupakan garis edar dari tujuh planet yang beredar. Planet itu ialah Mars, mempunyai Aries dan Scorpio, Gemini dan Virgo. Planet Bulan mempunyai Cancer. Planet Matahari mempunyai Leo. Planet Yupiter mempunyai Sagitarius dan Pisces. Planet Uranus mempunyai Capricornus dan Aquarius. Allah SWT juga menjadikan padanya juga sebagai matahari (dan bulan yang bercahaya).


Baca juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25


Menurut suatu qiraat, lafal Siraajan dibaca Suruujan dengan ungkapan jamak. Arti Muniiran adalah Nayyiraatin yakni yang bercahaya. Sengaja di sini hanya disebutkan bulan di antara planet-planet tersebut karena mengingat keutamaan yang dimilikinya.

Kemudian pada ayat 62 yaitu (Dan Dia pula yang menjadikan malam dan siang silih berganti). Yakni satu sama lainnya saling silih berganti dengan yang lainnya (bagi orang yang ingin mengambil pelajaran) dapat dibaca yadzdzakkara dan yadzkura, yang pembahasannya sebagaimana pada ayat sebelumnya. Artinya, ia ingat akan kebaikan yang tidak dilakukan pada salah satu di antaranya. Kemudian ia melakukan pada waktu yang lainnya. Sebagai ganti dari apa yang tidak dilakukannya di waktu yang pertama tadi (atau orang yang ingin bersyukur) atas nikmat Rabb yang telah dilimpahkan kepadanya pada dua waktu itu.

Manajemen Keuangan dalam Prespektif Al Quran

Gus Baha’ memaparkan pada segmen ngaji tafsir surat al-Furqan ayat 61-62, dengan meneladani sikap Sayyidina Ali bin Ai Thalib, bahwa ketika ia mempunyai uang itu dijadikan empat lantaran digunakan untuk shodaqoh. Maksudnya ialah misalnya uang seratus ribu itu dibagi menjadi 4, maka menjadi 25.000-an.

Ali membaginya untuk sedekah dengan waktu yang berbeda-beda. Pagi 25 ribu, siang 25 ribu, sore 25 ribu dan malam 25 ribu. Hal semacam itulah yang dilakukan sahabat Ali. Sesungguhnya shodaqoh diperlihatkan itu juga bagus, karena shodaqah itu perintah Allah. Jadi alangkah baiknya kita bisa sedekah dengan waktu yang berbeda. Sebagai tanda rasa syukur di setiap waktunya.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah


Sosok Sayyidina Ali memang dikenal pandai dalam menafsirkan konsep pembentukan kepercayaan dalam system keuangan. Sebagaimana pemaparannya tentang keuangan yang sudah ditulis pada bukunya yang berjudul Najhul Balaghah. Bahwa untuk menjaga kepercayaan orang dalam mengatur keuangan, harus ada sistem pembukuan.


Artikel terkait: Etika Menjadi Seorang Pebisnis dalam Membangun Kepercayaan


Jadi, Sayyidina Ali begitu menerapkan prinsip Al Quran, khusunya dalam sistem pembagian kekuangan. Hingga ingin sedekah pun ia harus membaginya, agar bisa bersedekah di setiap waktunya. Semoga kita bisa meneladani sikap Sayyidina Ali bin Thalib. Wallahu a’lam.

 

Membincang Nazar dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 270

0
nazar
nazar

Nazar merupakan bagian dari tradisi masyarakat kita. Banyak hal yang dilakukan oleh setiap orang agar keinginannya tercapai. Usaha yang dilakukan tidak hanya berupa kerja keras otot saja, tetapi juga berupa kerja keras yang sifatnya ibadah, seperti bersedekah, berpuasa, dan satu lagi yang juga sering dpraktikkan adalah nazar. Sadar atau tidak, seringkali seseorang yang memiliki suatu hajat atau keinginan, maka ia akan membuat janji untuk melakukan kebaikan tertentu setelah hajat tersebut tercapai.

Dalam Al-Quran Allah berfirman

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ نَّفَقَةٍ اَوْ نَذَرْتُمْ مِّنْ نَّذْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Dan bagi orang zalim tidak ada seorang penolong pun(QS. Al-Baqarah [2]: 270)

Bagaimana mufasir dan para ulama membahas nazar dalam ayat tersebut?

Al-Qurtubi menuturkan bahwa nazar berasal dari sejarah bangsa Arab dan merupakan salah satu hal yang mereka sukai sehingga mereka sering menerapkannya. Dalam Islam, nazar merupakan hal yang diperbolehkan berdasarkan ayat di atas. Nazar sama sekali tidak bertentangan dengan konsep tauhid, sebab hal itu juga dianggap sebagai ibadah atas bukti keyakinan seorang hamba pada Tuhannya. Kendati demikian, ada beberapa pihak, seperti orang yang alim yang az-zahid yang sangat berhati-hati dengan niat ibadahnya masih mempertentangkan hukum nazar. Demikian ini karena seperti memberi kesan bahwa umat Islam hanya akan taat dan melaksanakan kebaikan jika keinginannya dikabulkan oleh Allah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Islam melalui penjelasan para ulama telah mengatur segala ketentuan mengenai hukum nazar berdasarkan dalil yang memperbolehkannya (Alquran, hadis dan Ijma’ ulama). Menurut mereka, nazar berarti menyanggupi melakukan ibadah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib atau fardu ain bagi seseorang. Oleh karena itu, tidak sah bernazar untuk melakukan hal yang mubah, makruh, dan haram. Demikian juga bernazar akan melakukan sesuatu yang sifatnya wajib, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan karena sudah menjadi kewajiban setiap individu meskipun tanpa dinazarkan.

Dari penjelasan ini, sesuatu yang dapat dinazarkan adalah sesuatu yang dihukumi oleh syara’ (berdasar Alquran, hadis dan ijma’ ulama) sebagai perbuatan sunnah atau fardu kifayah. Misal, bernazar akan bersedekah kepada orang miskin, berpuasa pada hari tertentu, dan perbuatan sunnah atau fardu kifayah yang lain. Konsekuensi dari pelaksanaan sebuah nazar adalah perkara sunnah atau fardu kifayah yang telah dinazarkan tersebut menjadi wajib bagi pelaksananya. Rasulullah saw bersabda,

(مَنْ نَذَرَ اَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ اَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ (رواه البخاري

“Barang siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Al-Bukhari)

Salah satu syarat nazar adalah lafad nazar harus mengandung sebuah kepastian untuk menyanggupi melakukan perbuatan tertentu. Seperti perkataan seseorang, “Jika saya lulus ujian, maka saya akan memberi hadiah untuk guru saya”. Orang yang bernazar harus mengucapkan nazarnya dengan kalimat yang pasti, bukan dengan kalimat yang berbunyi keraguan, seperti, “Jika saya lulus ujian, kemungkinan saya akan memberikan hadiah pada guru saya”, dan semacamnya. Dengan demikian, nazar merupakan bentuk kesanggupan sedari awal seseorang mengucapkannya. Selain itu nazar merupakan bentuk lain dari cara seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia janjikan.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan dalam Al Quran

Jika orang bernazar akan melakukan ibadah tertentu tetapi penyebutannya secara umum, maka yang wajib baginya adalah sebatas ma yaqa’u alaihil ismu (sesuatu yang dapat dinamai sebagai perbuatan ibadah tersebut). Contoh: jika seseorang bernazar puasa setelah sembuh dari sakitnya, maka yang wajib baginya adalah puasa selama satu hari saja, sebab demikian itu sudah dikatakan puasa walaupun tidak menyebutkan bilangan hari atau jenis puasanya. Berbeda ketika puasa yang dinazarkan sudah ditentukan harinya, maka itulah yang wajib untuk dilaksanakan.

Bagaimana jika seseorang melanggar nazar?

Dalam literatur fiqih dijelaskan, jika seseorang bernazar kemudian tidak melaksanakannya karena merasa tidak sanggup, maka ia terkena kafarat berupa memberi makan 10 orang fakir miskin, namun jika tidak mampu maka harus memerdekakan budak. Jika masih tidak mampu melakukan keduanya, maka ia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Wallahu A’lam

Meneladani Kisah Ashabul Kahfi dalam Al Quran

0
teladan ashabul kahfi
teladan ashabul kahfi

Kisah Ashabul kahfi merupakan kisah yang sangat istimewa yang berisi sekelompok pemuda yang memperjuangkan agama Allah swt tanpa mengenal lelah. Sampai-sampai Allah swt mengabadikannya dalam Al Quran dan terpilih menjadi nama surat yakni Surat al-Kahfi. Allah swt memberikan isyarat kepada kita bahwa kisah ashabul kahfi ini adalah kisah yang patut untuk dijadikan teladan, karena di dalamnya memuat beberapa pelajaran penting untuk diteladani dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 13,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ

Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. (Q.S. al-Kahfi [18]: 13)

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa ashabul kahfi ini menceritakan tentang sekelompok pemuda yang lari mengungsi dari kampung halaman mereka demi menghindari seorang raja yang zalim, yang berkuasa pada waktu itu. Kezaliman raja tersebut ditandai dengan perilakunya yang sewenang-wenang, antara lain mengajak untuk kembali kepada ajaran nenek moyang mereka, menyembah berhala, bahkan sampai membunuh siapa saja yang tidak mau tunduk dan patuh kepada perintahnya.

Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Mereka kemudian masuk kedalam sebuah Gua dan tertidur di dalamnya selama tiga ratus tahun. Nah, gua itulah yang secara harfiah dalam bahasa arab disebut dengan al-Kahf, yang selanjutnya menjadi bagian dari nama surah dalam Al-Qur’an.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan beberapa hal yang dapat kita jadikan teladan dari kisah yang terkadung dalam surah Al-Kahfi ini, antara lain;

Pertama, mengucap syukur kepada Allah swt dengan alhamdulillah. Hal ini terkandung dalam Surat al-Kahfi ayat 1. Maka sudah sepantasnya kita sebagai umat muslim bersyukur atas anugerah Allah swt tersebut, yakni dengan selalu mengucapkan syukur alhamdulillăh.

Kedua, solutif dalam permasalahan sebagaimana kandungan ayat 1 bahwa Al Quran merupakan bimbingan yang lurus, dan sempurna, mengatasi dan menjadi tolok ukur kebenaran kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya dengan tujuan untuk memperingatkan kepada siapa saja perihal siksaan yang sangat pedih disisi Allah swt, yang tidak terjangkau atau terlukiskan dengan kata-kata.

Di samping itu juga memberikan berita gembira kepada orang-orang mukmin yang beriman dan selalu mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapatkan ganjaran berupa surga dan segala kenikmatan di dalamnya.

Baca juga: Belajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir Dan Musa

Ketiga, dekatnya tuntunan Al Quran kepada jati diri manusia sebagaimana yang dilukiskan dalam kata hadza pada ayat 6. Ini menunjukkan bahwa Al Quran begitu dekat dengan jiwa manusia.

Keempat, hakikah jiwa manusia adalah suci, luhur dan tinggi serta tidak cenderung pada kehidupan duniawi yang rendah sebagaimana termaktub dalam ayat 7 dan 8. Akan tetapi, Allah swt telah menetapkan bahwa jiwa itu tidak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaannya yang abadi kecuali dengan akidah yang benar serta amal saleh. Untuk itulah Allah swt membimbing manusia menuju pada kebenaran akidah dan amal saleh serta menempatkannya di bumi sebagai sarana penyucian jiwa untuk waktu tertentu.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Kelima, anjuran untuk menghentikan diskusi yang tidak bermutu dan jauh dari bukti yang valid. Hal ini diabadikan dalam ayat 19 pada redaksi perkataan mereka, “.. Tuhan kamu lebih mengetahui…”, suatu ucapan dimana merupakan anjuran untuk menghentikan diskusi mengenai berapa lama waktu mereka berada dalam gua.

Ucapan ini mengandung makna agar tidak menghabiskan waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar. Ucapan penghuni gua itu juga menganjurkan agar kita menggunakan energi hanya untuk sesuatu yang penting dan bermanfaat. Karena ucapan diatas disusul dengan usulan agar segera menugaskan salah seorang diantara mereka untuk membeli makanan, karena hal itulah yang terpenting dan bermanfaat untuk saat dan kondisi mereka ketika itu.

Keenam, tidak terlena dengan kenikmatan sesaat. Hal ini ditunjukkan oleh kata wariq pada ayat 19, yaitu uang yang digunakan untuk membeli makanan. Meskipun uang itu memiliki peranan besar dalam terbukanya rahasia mereka, namun masa berlaku uang itu secara periodik.

Baca juga: Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi

Hal ini mengisyaratkan bahwa betapapun seseorang telah mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan dalam menyembunyikan sesuatu, namun hal-hal yang terjadi diluar dugaan tetap terbuka lebar akibat kelemahan dan kelengahan yang tidak dapat dihindari.

Itulah beberapa hal yang dapat kita petik dari kisah ashabul kahfi ini. Sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah dalam Alquran yang apabila direnungi akan mendapatkan pelajaran berharga. Hendaknya para orang tua mengajarkan kisah-kisah yang ada dalam Alquran kepada anak-anaknya, khususnya kebiasaan mendongeng sebelum tidur agar supaya mereka mengenal dan mampu meneladani kisah-kisah tersebut. Semoga kisah ini dapat bermanfaat dalam kehidupan kita.

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 171

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 171 berbicara tentang larangan ekstrimisme beragama. Dalam ayat ini juga diterangkan tentang larangan menyekutukan Allah Swt. Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 171 populer digunakan sebagai dalil larangan berlebih-lebihan dalam beragama sehingga cenderung mengarah pada sikap kekerasan dan anti dialog.

Dalam Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 171 juga ditekankan tentang keesaan Allah Swt dan seluruh makhluk akan kembali kepada-Nya. Berikut adalah Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 171 yang diambil dari Al-Quran dan Tafsirnya Kementerian Agama RI:


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 167 – 170


Ayat 171

Kaum Nasrani sudah melampaui batas dalam beragama dengan menambah-nambah hal-hal yang bukan dari agama, seperti memuja dan mengagung-agungkan nabi mereka, sampai melampaui batas-batas yang telah ditentukan Allah dengan mengada-adakan kebohongan terhadap-Nya dan dengan mengatakan bahwa Isa itu adalah putra Allah. (al-Ma’idah/5: 77)

Hal ini pulalah yang membawa kaum Nasrani kepada anggapan bahwa Tuhan itu salah satu dari Tuhan yang tiga atau Tuhan itu terdiri dari tiga oknum. Sebagai penolakan atas paham yang salah ini Allah menyatakan bahwa Isa anak Maryam hanyalah utusan Allah kepada hamba-Nya, bukan Tuhan yang disembah sebagai yang dianggap kaum Nasrani.

Isa sendiri menyeru mereka supaya mengesakan Allah, tak ada yang disembah selain Allah, dan Nabi Isa telah melarang pula kaumnya  mempersekutukan Allah dengan  apa pun. Sebagai tambahan atas penegasan tersebut Allah berfirman lagi bahwa Isa itu diciptakan dengan kalimat berupa ucapan “jadilah” (kun), tanpa ada seorang laki-laki pun (bapak) yang menikahi ibunya, dan tanpa air mani yang masuk ke dalam rahim ibunya, seperti terciptanya manusia biasa.

Tatkala Allah mengutus malaikat Jibril kepada Maryam dan memberitahukan bahwa ia adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan berita gembira kepadanya, yaitu dia akan memperoleh seorang anak laki-laki, Maryam merasa terkejut dan membantah dengan keras, karena ia masih perawan dan tidak pernah bersuami atau disentuh oleh seorang laki-laki. LaIu Jibril membacakan kepadanya firman Allah:

كَذٰلِكِ اللّٰهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗاِذَا قَضٰٓى اَمْرًا فَاِنَّمَا يَقُوْلُ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

…”Demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Ali ‘Imran/3:47)

Demikianlah dengan kata “kun” itu terciptalah Isa dalam kandungan ibunya. Inilah suatu bukti kekuasaan Allah. Bila Dia hendak menciptakan sesuatu cukup dengan ucapan “kun” saja. Hal serupa ini berlaku pula pada penciptaan Adam sebagaimana tersebut pada firman Allah:

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia) maka jadilah dia (Ali ‘Imran/3:59)

Lalu ditiuplah roh ciptaan Allah ke dalam rahim ibunya dan berkembanglah ia sampai datang masa melahirkan. Sebagaimana kaum Nasrani menduga bahwa yang ditiupkan ke dalam rahim ibunya itu adalah sebagian dari roh Allah dan atas dasar inilah mereka menganggap bahwa Isa adalah putra Allah, karena ia adalah sebagian dari roh-Nya, (Matius 1.18).

Sikap Ahli Kitab yang berlebihan dalam memahami agamanya tidak saja di kalangan Nasrani, tetapi juga tentunya di kalangan orang Yahudi. Sikapnya yang melampaui batas dalam memahami ketentuan agamanya sehingga  mereka sering bersikap dan bertindak begitu ketat dengan menambah-nambahkan ketentuan sendiri, atau sebaliknya sering melanggar ketentuan Taurat dalam syariat Musa, seperti yang dapat kita baca di sana sini dalam Alquran, sampai-sampai mereka mengatakan “Uzair putra Allah” (at-Taubah/9: 30).

Mereka menjadi bangsa yang rasialis, eksklusif, sangat fanatik, menolak semua nabi dan rasul utusan Allah yang bukan Yahudi (Gentile), mereka membunuh para nabi dan menuduh Isa dan ibunya Maryam dengan tuduhan yang keji. Mereka terpecah ke dalam beberapa sekte. Yang menonjol waktu itu adalah golongan konservatif Sadducee yang hanya mengakui lima kitab Musa (Pentateuch), atau golongan Pharisee yang sangat kaku dalam menjalankan hukum tertulis, tetapi mau menerima hukum lisan dan hukum adat Yahudi.

Begitu juga sikap umat Nasrani yang telah melampaui batas dengan mengangkat dan menempatkan Nabi Isa sebagai Yesus yang disamakan dengan Tuhan atau menisbahkannya sebagai putra Tuhan. Mereka telah menyentuh keimanan (akidah) yang pokok sampai melahirkan doktrin Trinitas.

Doktrin ini sudah berkembang dan menjadi pangkal perdebatan para pendeta mereka pada masa lalu, dari abad  ke-2 sampai abad ke-6 Masehi, seperti Marcionisme, Yakobit dan Nestori (Nestorian) yang masih bertahan di Suria atau Maronit yang banyak dianut di Libanon, Paulicianism dan yang lain. Mereka berdebat sekitar kodrat Kristus: Tuhan, anak Tuhan atau satu dari tiga oknum dari Roh Kudus, sampai juga melibatkan ibunya Maria sebagai pujaan.

Kaum Muslimin perlu sekali menyadari sekalipun dalam bentuk lain, jangan sampai terjerumus ke dalam sikap berlebihan dalam menerima ajaran Islam, yang umumnya berkisar dalam soal fikih, di satu pihak mau serba ketat atau di pihak lain yang sebaliknya, mau serba longgar.

Ada di antara mufasir menceritakan mengenai anggapan ini bahwa seorang tabib Nasrani yang mengobati Khalifah Harun ar-Rasyid berdiskusi dengan seorang ulama Islam yaitu Ali bin Husein al-Waqidi al-Marwazi.

Tabib Nasrani itu berkata kepada al-Waqidi bahwa di dalam Kitab (Alquran) terdapat ayat yang membenarkan pendapat dan kepercayaan Nasrani bahwa Isa, adalah sebagian dari Allah, lalu dia membacakan bagian pertama dari ayat 171 ini. Sebagai jawaban atas perkataan tabib itu al-Waqidi membacakan ayat:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. (al-Jasiyah/45:13)

Kemudian al-Waqidi berkata “Kalau benar apa yang kamu katakan bahwa kata “min-hu” dalam ayat yang kamu baca itu berarti “sebagian daripada-Nya”, sehingga kamu mengatakan bahwa Isa a.s. adalah sebagian dari Allah pula. Hal ini berarti bahwa apa yang ada di langit dan di bumi ini adalah sebagian pula dari Allah.” Dengan jawaban ini terdiamlah tabib Nasrani itu lalu dia masuk Islam.173

Karena kaum Nasrani telah tersesat dari akidah tauhid yang dibawa oleh para rasul, maka Allah memerintahkan kepada mereka agar kembali kepada akidah yang benar dengan beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan beriman kepada rasul-Nya yang selalu menyeru kepada akidah tauhid dan janganlah mereka mengatakan bahwa ada tiga Tuhan yaitu Bapak, Anak dan Roh Kudus (Rohulkudus), atau mengatakan bahwa Allah itu terdiri dari tiga oknum, masing-masing adalah Tuhan yang sempurna, dan kumpulan dari tiga oknum itulah Tuhan Yang Esa.

Mereka diperintahkan meninggalkan paham yang sesat dan menyesatkan itu, karena meninggalkan paham yang sesat itulah yang baik bagi mereka. Mereka akan menjadi penganut agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan para nabi sebelum dan sesudahnya. Mereka akan menjadi orang yang benar dan tidak akan termasuk golongan orang-orang kafir. Dalam ayat lain Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّآ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ

Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan “Bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Maha Esa. (al-Ma’idah/5:73)

Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Kemudian ditegaskan lagi kepada mereka bahwa Allah sajalah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Maha bersih dari sifat berbilang atau terbagi-bagi kepada beberapa bagian atau tersusun dari tiga oknum atau bersatu dengan makhluk-makhluk lainnya.

Maha Suci Allah dari hal-hal tersebut dan mustahil Dia mempunyai anak sebagaimana anggapan mereka atau Isa itu adalah Tuhan sebagaimana dikatakan oleh segolongan lain di antara mereka. Allah adalah Maha Esa tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak beristri sebagaimana manusia. Dialah pemilik langit dan bumi serta semua yang ada pada keduanya termasuk Isa as. Allah berfirman:

اِنْ كُلُّ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اِلَّآ اٰتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih selaku seorang hamba” (Maryam/19:93)

Semua makhluk tanpa kecuali akan menghadap ke hadirat Tuhan Allah sebagai hamba, apapun pangkat dan derajatnya, baik dia malaikat, seorang nabi, seorang yang diciptakan-Nya tanpa bapak dan ibu seperti Nabi Adam atau yang diciptakan-Nya tanpa bapak saja seperti Isa a.s. maupun yang diciptakan dengan perantara bapak dan ibu; semuanya itu adalah hamba-Nya yang mengharapkan karunia dan rahmat-Nya, Allah-lah yang berkuasa sepenuhnya atas mereka dan Allah-lah yang memelihara dan kepada–Nyalah mereka harus menyembah, berdoa dan bertawakal. Akidah tauhid inilah yang dibawa dan disampaikan para nabi dan rasul kepada umatnya termasuk Nabi Isa, dan paham inilah yang dianut oleh para pengikutnya sesuai dengan dakwah dan ajarannya.

Tetapi pengikutnya yang datang kemudian terutama pengikut-pengikut yang dahulunya telah menganut agama-agama yang bermacam-macam tidak dapat melepaskan dirinya dari paham lama yang sesat itu sehingga mereka mencoba dan berusaha dengan sekuat tenaga agar agama Masehi yang mereka anut mempunyai corak yang sama dengan agama-agama nenek moyang mereka dahulu.

Paham Trinitas (menganggap Tuhan adalah tiga) sudah berkembang di Mesir, semenjak lebih kurang 4.000 tahun sebelum Masehi. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa tuhan itu ialah dewa Osiris, Isis dan Horus.

Demikian pula di India ajaran Hinduisme mengatakan bahwa Tuhan itu adalah tri tunggal yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Penganut Budisme pun ada yang mengatakan bahwa Budha itu adalah Tuhan yang terdiri dari tiga oknum.

Juga di Persia terdapat paham Mazdaisme (Zoroaster) yang bercorak dualisme: baik dan jahat, terang dan gelap dengan dewa tertinggi Ahura Mazda (Ormuzd) dan dewa-dewa lain, lawan Ahriman. Akhirnya mereka terbawa hanyut oleh paham trinitas yang beraneka ragam coraknya dan jadilah mereka tersesat dari paham tauhid yang dibawa Nabi Isa dan amat sulitlah bagi mereka untuk meniggalkannya.

Para intelektual dari penganut agama Masehi ini memang merasakan dan mengetahui bahwa paham taslis  (trinitas) ini tidak dapat diterima akal, tetapi mereka tetap mencari-cari alasan untuk membenarkan paham ini. Di antara pendeta mereka ada yang mengatakan, “Dalam hal ini kita harus menyerahkan persoalan ini kepada hal-hal yang gaib yang belum diketahui oleh manusia dan tidak akan dapat diketahuinya, kecuali bila hijab telah berkata untuk itu dan jelaslah pada waktu itu semua yang ada di langit dan di bumi.”

Pendeta Bother pengarang buku al-Usul wal-Furu dari salah seorang juru penerang agama Nasrani berkata mengenai hal ini: “Kita telah mencoba memahaminya dengan lebih jelas yaitu dikala telah terbuka bagi kita tabir rahasia semua apa yang ada di langit dan di bumi.”

Dapat disimpulkan bahwa agama Nasrani benar-benar didasarkan kepada paham tauhid yang murni tetapi para pendetanya mencampurbaurkan dan mengubahnya menjadi agama trinitas yang tidak dapat dipahami oleh akal, karena terpengaruh oleh paham-paham taslis bangsa Yunani dan Romawi yang mereka ambil dari paham-paham keagamaan Mesir lama dan Brahma.


Baca Setelahnya: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 172 – 174


Tafsir Tarbawi: Lika-Liku dalam Menuntut Ilmu

0
pendidikan Islam
pendidikan Islam

Lika-liku dalam menuntut ilmu. Ilmu adalah sesuatu yang utama, karena dengan ilmu manusia sampai kepada Allah swt dan menjadi dekat dengan-Nya. Ia pun memperoleh kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang kekal.

Menuntut Ilmu atau mencari ilmu menimbulkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Hal demikianlah setidaknya yang memotivasi ulama kita di Nusantara mengembara ke berbagai negara demi meraih ilmu. Sangking mulianya, ilmu meniscayakan perjalanan panjang yang penuh lika-liku sehingga tidak jarang seseorang yang berputus asa dan gugur di tengah jalan.

Beruntunglah bagi mereka yang telah sampai pada tujuan. Lika-liku dalam menuntut ilmu seperti kekhawatiran akan kekurangan bekal, keamanan, masalah finansial, kecemasan hati inilah sebagaimana yang dilukiskan dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 155,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Baqarah [2]: 155)


Baca juga : Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi


Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 155

Allah swt pasti akan menguji hamba-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya melalui ujian. Adakalanya ujian itu berupa kesenangan dan kenikmatan.

Adapula yang berupa kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, kekurangan harta, meninggalnya kaum kerabat dan teman-teman tercinta, kebun dan lahan pertanian. Serta bisa diartikan usaha yang dimiliki tidak membuahkan keuntungan bahkan gulung tikar.

Sebagian mufassirin menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al-khauf adalah takut kepada Allah. Al-ju’u ialah puasa di bulan Ramadhan, naqshul amwal adalah zakat harta benda, al-anfus adalah berbagai macam sakit, dan tsamarat (anak-anak).

Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Muhammad ‘Ali as-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir bahwa mereka pasti diuji dengan berbagai ujian di antaranya adalah rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda, meninggalnya sebagian orang yang kita cintai, dan kerugian atas usahanya.

Al-Qurthuby misalnya sebagaimana dikatakan oleh al-Syafi’i bahwa al-khauf adalat takut kepada Allah swt. Kata al-ju’u dimaknai dengan al-maja’ah (kelaparan), al-jadb (kegersangan, ketidaksuburan), dan al-qahth (kekeringan atau paceklik).

Dan redaksi wa basyyiris shabirin bermakna tsawab a’la shabri (pahala atas kesabarannya). Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir menambahkan makna wa basyiris shabirin yakni keselamatan, rahmat, petunjuk bagi orang yang bersabar atas ujian-Nya melalui syafaat Rasul saw.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia


Lika-Liku dalam Menuntut Ilmu

Setiap jalan kebaikan meniscayakan pengorbahan dan kesungguhan dalam memperolehnya. Ia tidak diperoleh secara gratisan apalagi dengan cara instan, ia membutuhkan mujahadah (ketekunan diiringi ibadah spiritual) dan istiqamah dalam menjalankannya.

Hal ini dikonfirmasi oleh Allah swt sendiri dalam ayat di atas bahwa Ia pasti akan menguji seseorang dalam konteks ini adalah para penuntut ilmu, ia diuji dengan berbagai cobaan seperti rasa takut, kelaparan, meninggalnya sebagian kerabat yang dicinta, kekurangan harta, usahanya tidak menghasilkn keuntungan.

Ujian pertama, rasa takut. Bagi penuntut ilmu, rasa ini kerap kali menghinggapi. Rasa takut ini tidak bisa diganggu gugat dan bagian dari fitrah manusia. Rasa takut ada membuktikan bahwa manusia butuh perlindungan kepada-Nya sebagai Dzat Pencipta semesta alam.

Ujian kedua, kelaparan. Haus dan lapar adalah satu kesatuan. Bagi penuntut ilmu, haus dan lapar adalah hal yang harus ia terima secara lapang dada. Karena memang demikianlah menuntut ilmu itu. Riyadah (tirakat, baca: puasa atau menahan nafsu, beribadah secara tekun) dan mujahadah (kesungguhan) adalah sebuah keharusan.

Seperti kisah al-Ghazali dalam kitab Tadzkiratul Huffadz, tatkala menuntut ilmu, al-Ghazali menghabiskan waktu selama empat belas tahun untuk pengembaraan pertama. Sementara pengembaraan kedua ia lakoni dari Hijaz (sekitar Makkah) menuju Baghdad, Irak. Episode ini menelan waktu dua puluh tahun usianya (hlm. 630).

Ujian ketiga, kekurangan harta dan jiwa. Menuntut ilmu membutuhkan biaya. Maka harta yang dikeluarkan secara kasat mata berkurang, namun secara esensi sejatinya bertambah. Ilmu adalah investasi jangka panjang. Dengan ilmu engkau bisa meraih segalanya.

Sebagaimana perkataan Imam Syafii yang terkenal, “Barang siapa yang ingin mengingikan dunia adalah dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan akhirat adalah dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya adalah dengan ilmu”. Tidak dapat dipungkiri terkadang kita juga harus merelakan sebagian teman atau kerabat yang dicinta meninggal dunia di tengah pengembaraan keilmuan.

Demikianlah lika-liku dalam menuntut ilmu. Oleh karena itu, tidak heran apabila Allah swt mengapresiasi dengan meninggikan derajat orang yang berilmu setinggi-tingginya dikarenakan perjuangan, pengorbanan, kesabaran serta kesungguhannya demi memperoleh ilmu yang bermanfaat dan barakah bagi dirinya, keluarganya, lingkungan sekitarnya, agama, bangsa dan negara. Wallahu A’lam.

Makna Insyaallah dan Biidznillah Sama atau Beda? Ini Penjelasannya!

0
makna insyaallah dan biidznillah
makna insyaallah dan biidznillah

Sebagai muslim, kita pasti akrab dengan ucapan kalimat Insyaallah dan Biidznillah. Keduanya sangat unik dan maknanya hampi mirip. Sepintas, dua kalimat itu terlihat memiliki arti sama -kata izin dan hendak memiliki unsur makna yang sama yaitu semuanya akan terjadi apabila kehendakNya telah terjadi. Tapi, secara redaksi dua lafadz itu berbeda. Lantas, sebenarnya makna insyaallah dan biidznillah itu sama atau beda? Berikut ini penjelasannya!

Mengenal Makna Insyaallah

Kalimat Insyaallah yang diawali dengan kata “In” mewarisi sebuah gambaran akan terjadinya sesuatu namun sifatnya belum terjadi atau tidak sering tejadi. Hal ini berbeda dengan kata “Idza”, ia bermakna sesuatu yang bisa untuk terjadi. Ada satu lagi, makna “Law” diartikan sesuatu yang mustahil untuk didapatkan. Baca juga: Tahukah Anda Perbedaan Makna Antara Kata Walid (وَالِدٌ) dan Abu (أَبُوْ) dan Kata Umm (أم) dan Walidah (وَالِدَة)?

Penjelasan tersebut bisa ditemukan dalam beberapa literatur kamus bahasa Arab. Dalam Al Quran, kalimat Insyaallah ditemukan sebanyak empat kali. Surat al-Fath ayat 27 mewakili dari semuanya. Ayat tersebut berbunyi:

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبً 

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”

Al-Ustadz Quraish Shihab menjelaskan ketika seseorang berkata In Syaa Allah, ia akan menggambarkan dalam benaknya bahwa ucapannya tidak mustahil terjadi. Pun demikian, ia tidak bisa memastikan terjadi sesuatu karena ia tak berucap dengan kata Idza. Oleh sebab itu, dengan menggunakan kata In, seseorang tak akan kehilangan optimisme. Ia telah menyediakan ruang dalam hatinya untuk menghindari sebuah kekecewaan jika apa yang diinginkan tak terwujud.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh al-Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya mengenai pentingnya mengucap Insyaallah.

Pertama, kalimat Insyaallah diharapkan agar manusia selalu menyadari bahwa kemampuannya terbatas dan tidak ada campur tangan orang lain. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan namun justru menjadi aral bagi wujudnya apa yang telah direncanakan.

Kedua, ucapan Insyaallah memberi tuntunan agar manusia sadar bahwa segala sesuatu ada dalam kendaliNya. Alasan kedua ini menyadarkan kita untuk berfikir dan berusaha mengaitkan fikiran dan semua rencana atas kehendak Allah. Baca juga: 

Kisah Nabi Musa dan Kalimat Biidznillah

Kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam banyak tertuang dalam beberapa surat dalam Al Quran. Namun, ada dua redaksi ucapan Biidznillah di dalamnya. Ayat tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah (2):97 dan 249 yang berbunyi:

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِين 

“katakanlah (Muhammad) barang siapa yang menjadi musuh terhadap Jibril, maka sesungguhnya dia telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu biidznillah (dengan seizin Allah) membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman”

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ 

 “Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, mereka berkata “tak ada kesanggupan kami hari ini menghadapi Jalut dan tentaranya”. Orang yang menduga keras bahwa mereka akan bertemu dengan (ganjaran) Allah berkata,”berapa banyak terjadi, golongan yang sedikit akan mengalahkan golongan yang banyak atas izin Allah.””

Dua ayat diatas telah jelas bahwa kalimat Biidznillah berbeda dengan Insyaallah secara makna. Jika kalimat Insyaallah digunakan untuk sesuatu yang memiliki keterlibatan dengan manusia untuk mewujudkannya. Sedangkan kalimat Biidznillah, sama sekali tidak ada keterlibatan dengan siapapun kecuali Allah.