Beranda blog Halaman 530

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 112-114

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 112

Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak disengaja atau dengan sengaja, kemudian mereka melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah, maka dia sesungguhnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu  Ubairiq yang melemparkan kejahatan Tu’mah kepada Zaid bin Saleh.

Orang seperti Tu’mah dan keluarganya tetap melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri dan kejahatan melemparkan tuduhan yang tidak benar kepada orang lain.

Ayat 113

Dalam ayat ini dijelaskan anugerah dan nikmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Dijelaskan bahwa tanpa karunia dan nikmat-Nya kepada Nabi tentulah golongan yang berhasrat untuk menyesatkan beliau akan berhasil. Di antara karunia dan rahmat Allah itu ialah pemberitahuan-Nya kepada Nabi tentang perbuatan Tu’mah dan kerabatnya. Berkat adanya pemberitahuan Allah dan petunjuk-Nya gagallah rencana Bani ¨afar dan pendukung-pendukungnya itu.

Seandainya rencana golongan itu terlaksana tentulah Nabi harus menyediakan waktu dan tenaga untuk mengatasinya. Padahal di hadapan beliau amat banyak perkara dan tugas yang lebih penting yang memerlukan tenaga dan pikiran. Tetapi Allah tidak membiarkan Rasul-Nya dipermainkan oleh orang-orang yang rusak akhlaknya.

Mereka sebenarnya menyesalkan diri mereka sendiri karena mereka bertambah jauh dari jalan yang ditunjukkan Allah. Sedikit pun mereka tidak dapat mempersulit Nabi, karena beliau dalam menetapkan putusan tidaklah mengikuti hawa nafsu. Beliau bertindak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidaklah terlintas di hati beliau bahwa keadaan yang sebenarnya berlawanan dengan laporan yang beliau terima.

Dengan rahmat dan karunia Allah, Nabi telah terpelihara dari membuat keputusan yang tidak benar. Selanjutnya diterangkan bahwa Allah telah melimpahkan anugerah-Nya kepada Nabi-Nya dengan menurunkan Alquran dan al-Hikmah untuk digunakan dalam menetapkan suatu keputusan. Dia mengajarkan kepadanya apa yang tidak diketahuinya sebelumnya. Karunia Allah kepada Nabi Muhammad saw sangat besar, karena beliau diutus kepada seluruh umat manusia untuk sepanjang masa.

Ayat 114

Merahasiakan pembicaraan dan perbuatan keji, seperti yang telah dilakukan oleh Tu’mah dan kawan-kawannya adalah perbuatan yang terlarang, tidak ada faedahnya, kecuali bisik-bisik itu untuk menyuruh bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Berbisik-bisik dan menyembunyikan pembicaraan biasanya dilakukan untuk merahasiakan perbuatan terlarang, perbuatan jahat dan untuk melenyapkan kebaikan, jarang yang dilakukan untuk perbuatan baik dan terpuji.

Manusia menurut tabiatnya senang menyatakan dan mengatakan kepada orang lain atau kepada orang banyak tentang perbuatan baik yang telah atau yang akan dilakukannya. Sedang perbuatan jahat atau perbuatan dosa yang telah atau yang akan dilakukannya, selalu disembunyikan dan dirahasiakannya. Ia takut orang lain akan mengetahuinya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلاِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ اَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

(رواه مسلم)

 Kebajikan itu adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah apa yang terasa tidak enak di dalam hatimu, dan kamu tidak senang orang lain mengetahuinya  (Riwayat Muslim).

Karena itu diperintahkan agar orang yang beriman menjauhi perbuatan itu, terutama berbisik-bisik atau mengadakan pembicaraan rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, permusuhan, mendustakan Rasulullah dan lain sebagainya.

Ayat yang lain menegaskan larangan Allah dan menyatakan bahwa berbisik dan mengadakan perjanjian rahasia untuk melakukan perbuatan dosa, termasuk perbuatan setan. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلَا تَتَنَاجَوْا بِالْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُوْلِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ  ٩  اِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطٰنِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَيْسَ بِضَاۤرِّهِمْ شَيْـًٔا اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ  ١٠

(9) Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan kembali. (10) Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal. (al-Mujadalah/58:9-10)

Allah mengecualikan tiga macam perbuatan yang dibolehkan bahkan diperintahkan menyampaikannya dengan berbisik-bisik atau dengan rahasia, yaitu bersedekah, berbuat makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Bersedekah adalah salah satu perbuatan baik yang sangat dianjurkan Allah. Tetapi menyebut-nyebut atau memberitahukannya di hadapan orang banyak, kadang-kadang dapat menimbulkan rasa tidak senang di dalam hati orang yang menerimanya. Bahkan adakalanya dirasakan sebagai suatu penghinaan terhadap dirinya, sekalipun si pemberi sedekah itu telah menyatakan bahwa ia bersedekah dengan hati yang ikhlas dan untuk mencari keridaan Allah swt.

اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu…” (al-Baqarah/2:271)

Perbuatan makruf adalah lawan dari perbuatan mungkar, lawan dari segala perbuatan yang dilarang Allah Yang Mahatahu dan perbuatan yang mengikuti hawa nafsu. Menasihati seseorang untuk berbuat makruf di hadapan orang banyak, mungkin akan menimbulkan rasa kurang enak pada yang dinasihati, apabila yang diberi nasihat itu teman sebaya atau orang yang lebih tinggi derajatnya dari orang yang menasihati. Biasanya orang yang menasihati lebih tinggi derajat, pangkat atau kedudukannya dari yang dinasihati.

Karena itu Allah memerintahkan agar menasihati seseorang untuk berbuat makruf dengan cara berbisik dan tidak didengar orang lain. Bila didengar orang lain, maka orang yang dinasihati itu mungkin akan merasa terhina dan sakit hati, sehingga nasihat itu tidak diterimanya.

Kaum Muslimin diperintahkan agar selalu menjaga dan berusaha mengadakan perdamaian di antara manusia yang sedang berselisih terutama mendamaikan antara saudara-saudara yang beriman, sesuai dengan firman Allah:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.  (al-Hujurat/49:10).

فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

“… Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, …” (al-Anfal/8:1)

Usaha mengadakan perdamaian di antara orang-orang mukmin yang berselisih adalah usaha yang terpuji dan diperintahkan Allah. Tetapi menyebut usaha itu kepada orang lain atau didengar oleh orang banyak mungkin akan membawa kepada kemudaratan atau kejahatan yang lain, sehingga maksud mendamaikan itu akan berubah menjadi fitnah yang dapat memperdalam jurang persengketaan antara orang-orang yang akan didamaikan.

Ada orang yang enggan didamaikan bila diketahuinya bahwa yang akan mendamaikan itu orang lain. Ada pula orang yang enggan menerima perdamaian bila proses perdamaian itu diketahui orang banyak, karena ia khawatir bahwa usaha itu akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak.

Di samping itu mungkin ada pula pihak ketiga yang tidak menginginkan terjadinya suatu perdamaian. Karena itu Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman merahasiakan pembicaraan dan usaha yang berhubungan dengan mengadakan perdamaian di antara manusia.

Orang yang melaksanakan tiga macam perintah Allah, yaitu bersedekah, berbuat kebaikan dan mencari perdamaian di antara manusia dengan ketundukan hati dan kepatuhan kepada-Nya serta mencari kerelaan-Nya, akan diberi pahala yang berlipat ganda oleh Allah. Keridaan Allah hanyalah dapat dicapai dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat, disertai dengan keikhlasan hati sesuai dengan yang diperintahkan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

0
Adz-Dzahabi
Adz-Dzahabi

Pertanyaan tentang “apakah Nabi menafsirkan ayat al-Qur’an seluruhnya dan telah menyampaikannya kepada para sahabat?” telah menyebabkan adanya dua kelompok yang berpandangan berbeda. Bagi pembaca Al-Tafsir wa Al-Mufassirun mungkin akan menarik jika melihat respon Adz-Dzahabi ketika menguraikan persoalan ini. Maka tulisan ini akan difokuskan untuk mengurai respons dan kritik Adz-Dzahabi atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

(Baca: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al Quran Seluruhnya atau Sebagian?)

Kelompok Pro

Menurut Adz-Dzahabi kedua kelompok tersebut memiliki kesalahan dalam menyimpulkan dalil. Kelompok Ibn Taimiyah yang merupakan kelompok pro terhadap pendapat bahwa Nabi menafsirkan keseluruhan al-Qur’an, dianggap telah melakukan istidlal bathil saat menjadikan Q.S. al-Nahl [16]: 44 sebagai dalil mereka. Baginya, tafsir Q.S. al-Nahl [16]: 44 adalah Nabi menjelaskan redaksi-redaksi yang musykil bagi para sahabat sehingga tidak bisa dimaknai dengan Nabi yang menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan.  

Sementara itu dalil kedua dianggap memiliki kelemahan sebab lafaz hadis itu dapat bermakna umum bahwa sahabat tidak hanya mempelajari al-Quran sampai paham isinya hanya dari Nabi saja. Mereka juga berlaku demikian tatkala belajar dengan sahabat lainnya yang lebih mumpuni. Dengan dipahami demikian maka respon ini juga mematahkan argumentasi ketiga di mana penguasaan sahabat atas al-Quran dan maknanya bisa saja tidak didapat langsung dari Nabi melainkan melalui sahabat yang telah disahkan oleh Nabi sebagai rujukan penafsiran seperti Ibn Abbas.

Kesimpulan pada dalil keempat juga dianggap keliru dalam mengambil pemahaman. Hadis yang menyatakan Nabi wafat sebelum menyampaikan tafsir ayat Riba’, tidak dapat dijadikan dasar jika pada setiap ayat yang turun Nabi selalu menjelaskannya. Adz-Dzahabi tetap berpegang pada prinsipnya bahwa Nabi hanya menafsirkan redaksi-redaksi yang dianggap musykil atau dipertanyakan oleh sahabat.

Kelompok Kontra

Hadis yang diriwayatkan Fatimah dan digunakan sebagai dalil pertama oleh kelompok ini dinilai oleh Adz-Dzahabi sebagai hadis munkar dan gharib. Penyebabnya adalah adanya seorang rawi yang bernama Muhammad ibn Ja’far al-Zubairi. Rawi ini dinilai tidak layak diikuti hadisnya oleh al-Bukhari serta dianggap munkir al-hadits oleh al-Hafidz Abul Fath al-Azdi. Status hadis ini memperlihatkan ketidaklayakan hadis ini dipakai sebagai dasar argumentasi.

Pada dalil kedua kelompok ini beranggapan bahwa Nabi hanya sedikit sekali menafsirkan al-Qur’an. Adz-Dzahabi pun menolaknya dan menyatakan bahwa banyak sekali tafsir Nabi yang dapat ditemui dalam kitab-kitab hadis. Ini menunjukkan bahwa redaksi musykil dalam pandangan sahabat tidaklah sedikit dan Nabi berkewajiban untuk memberikan penjelasannya.

Komentar terakhir dari Adz-Dzahabi bahwa ia menerima pendapat bahwa doa Nabi kepada Ibn Abbas merupakan simbol Nabi tidak menafsirkan al-Qur’an seluruhnya karena memberikan sahabatnya ruang untuk menjadi rujukan. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa Nabi sangat jarang menafsirkan al-Qur’an sebab adanya sahabat seperti Ibn Abbas. Bagaimanapun Nabi tetaplah pemegang otoritas utama penafsiran al-Qur’an pada saat itu.

Setelah merespon masing-masing pandangan, maka pendapat yang mana yang dipilih oleh Adz-Dzahabi?

Pilihan Adz-Dzahabi

Dalam urainnya, Adz-Dzahabi memilih menempatkan dirinya dalam posisi yang netral. Ia berpendapat bahwa Nabi memang tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan namun juga tidak hanya menafsirkan dalam jumlah sedikit. Hal ini baginya dapat dibuktikan dengan menelusuri banyaknya riwayat penafsiran Nabi dalam kitab-kitab hadis.

Adz-Dzahabi melanjutkan bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an disebabkan oleh adanya pembagian tersendiri dalam makna al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa, “tafsir terbagi pada empat level makna: level yang dapat diketahui oleh orang Arab sebab al-Qur’an berbahasa Arab, level yang mungkin dipahami oleh orang awam atau tidak pandai, level yang hanya dipahami Ulama dan level yang hanya diketahui oleh Allah”.

Atas dasar itulah Nabi hanya menafsirkan al-Qur’an pada redaksi yang memuat level makna ketiga ataupun yang diperkenankan Allah untuk menyampaikannya. Selain itu ada dalil lain yang diambilnya untuk menguatkan argumentasi bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an yakni perbedaan para sahabat terhadap takwil suatu ayat. Seandainya Nabi menyampaikan keseluruhan makna Al-Qur’an kepada para sahabat niscaya tidak akan didapati perselisihan di antara mereka mengenai makna ataupun takwil ayat. Wallahu a’lam

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 104-111

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 104

Kemudian diterangkan bahwa sesudah selesai pasukan Islam menunaikan ibadah salat, haruslah dia siap kembali menghadapi musuh. Jangan ada sedikit pun rasa gentar dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan bila tidak menyerang pasti diserang. Pada ayat ini sebenarnya ada perintah untuk teguh menghadapi musuh, karena semangat tempur yang lebih tinggi akan menentukan keberhasilan.

Allah memerintahkan agar pasukan Islam senantiasa bersiaga dengan tawakal pada Allah. Kesudahan suatu peperangan ialah penderitaan, dan penderitaan bukan saja bagi si penyerang bahkan juga bagi yang diserang.

اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. ….” (Ali ‘Imran/3:140)

Jika musuh dapat sabar menahan derita, mengapa kaum Muslimin tidak sabar? Pasukan Islam patut lebih sabar dan lebih tabah dari orang kafir, karena mereka mempunyai harapan dari Allah yang tidak dimiliki oleh orang kafir. Allah menjanjikan kepada mujahid Islam sekurang-kurangnya memperoleh satu dari dua keberuntungan. Yaitu mereka memperoleh kemenangan dalam pertempuran atau surga bagi yang syahid.

Janji Allah ini mendorong setiap pejuang Islam untuk berjuang lebih gigih, sabar dan berani. Allah Maha Mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi agama dan bagi kaum Muslimin. Dia tidak akan memikulkan beban di luar kesanggupan mereka, karena Dia Mahabijaksana. Sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya, maka keuntungan pasti dipihak yang benar dan kehancuran pasti di pihak yang batil.

Ayat 105

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk mengadili perkara yang terjadi antara manusia berdasarkan hukum-hukum yang diajarkan Allah. Berdasarkan kitab itu, Nabi Muhammad saw memutuskan suatu perkara dengan adil. Beliau dilarang menjadi lawan dari yang benar atau kawan bagi yang salah. Ayat ini menegur Rasul karena beliau percaya begitu saja terhadap laporan Bani ¨afar dan beliau dengan segera membebaskan Tu’mah. Seolah-olah beliau menjadi pembela bagi orang-orang yang belum tentu benar.

Ayat 106

Kemudian Allah menyuruh Rasulullah saw meminta ampun kepada-Nya atas sikapnya yang lekas percaya kepada laporan satu pihak yang berperkara karena sesungguhnya Allah Mahabesar ampunan-Nya dan Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang meminta ampun.

Tindakan beliau itu bukanlah suatu kesalahan. Beliau memutuskan dengan ijtihad, dan tuduhan kepada Tu’mah tidak disertai dengan bukti-bukti, lalu beliau percaya keterangan pembelaan famili Tu’mah. Diriwayatkan dari kitab Sahih Bukhari dan Sahih  Muslim sebagai berikut:

عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ جَلَبَةَ خَصْمٍ بِبَابِ حُجْرَتِهِ فَخَرَجَ اِلَيْهِمْ فَقَالَ: أَلاَ اِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ وَاِنَّمَا اَقْضِي بِنَحْوِ مَا اَسْمَعُ وَلَعَلَّ اَحَدَكُمْ اَنْ يَكُوْنَ اَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَاَقْضِيْ لَهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَاِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَحْمِلْهَا اَوْ لِيَذَرْهَا

(رواه البخاري ومسلم)

“Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah saw mendengar keributan orang-orang bertengkar di muka pintu rumahnya, lalu beliau mendatangi mereka. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia. Aku memutuskan suatu perkara sesuai dengan apa yang kudengar. Mungkin salah seorang kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain, lalu aku mengambil keputusan untuknya. Maka barang siapa aku tetapkan untuknya hak seorang Muslim, maka sesungguhnya hak itu adalah sepotong api neraka. Maka hendaklah dia memikulnya atau membuangnya.” (Riwayat al-Bukhari-Muslim).

Ayat 107

Nabi Muhammad saw dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri, seperti Tu’mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya. Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti Tu’mah yang ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.

Ayat 108

Orang yang berkhianat itu bersembunyi dari manusia sewaktu melakukan kejahatan, mungkin karena malu atau takut terhadap pembalasan. Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah dan tidak pula malu kepada-Nya dengan mengerjakan perbuatan jahat itu. Seandainya mereka memiliki iman yang kuat tentulah mereka tidak akan mengerjakannya. Orang yang beriman tidak akan jatuh ke dalam pengkhianatan kecuali karena dia lupa atau tidak sadar.

Orang yang menyadari bahwa Allah selalu melihatnya di manapun dia berada, pastilah dia tidak berbuat dosa dan tidak berbuat curang, karena malu kepada Tuhan dan takut terhadap-Nya. Allah menyaksikan sewaktu Bani Ubairik bermusyawarah di malam hari dan menetapkan keputusan rahasia, yaitu melemparkan kejahatan yang mereka perbuat kepada orang lain yang tidak berdosa.

Allah akan menjatuhkan hukuman atas mereka, karena Dia mengetahui segala perbuatan mereka. Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi tersembunyi bagi Allah betapa pun kecilnya.

Ayat 109

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang hendak membela mereka yang curang yakni Bani ¨afar dan berusaha membersihkan diri mereka dari segala tuduhan mencuri. Andaikata pembelaan mereka itu berhasil, maka siapakah yang sanggup membela mereka di hadapan Allah di hari kiamat? Bukankah waktu itu yang menjadi hakim untuk mengadili segala sengketa adalah Allah yang Maha Mengetahui segala amal perbuatan manusia? Tak seorang pun yang dapat menjadi pembela orang-orang yang bersalah di dunia dan menjadi pelindungnya pada hari kiamat.

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ ࣖ

(Yaitu) hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infitar/82:19)

Umat Islam haruslah menyadari bahwa keberuntungan yang diperolehnya secara curang lewat pengadilan di dunia ini akan menjadi siksaan baginya di akhirat.

Ayat 110

Ayat ini memberikan dorongan kepada mereka yang berbuat salah untuk menyadari dirinya dan kembali ke jalan yang benar, bertobat kepada Allah. Perbuatan mereka menzalimi diri sendiri dengan jalan berbuat maksiat, seperti sumpah palsu akan diampuni Allah jika mereka benar-benar minta ampun kepada-Nya.

Dalam ayat ini diterangkan bagaimana jalan keluar dari dosa sesudah terperosok ke dalamnya dan sesudah diturunkan peringatan kepada musuh-musuh kebenaran, yaitu dengan tobat dan minta ampun. Orang yang minta ampun akan mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dia akan merasakan hasil pengampunan Allah pada dirinya yaitu rasa benci kepada kemaksiatan dan penyebab-penyebabnya. Dia juga akan merasakan kasih sayang Allah kepadanya dengan tumbuhnya hasrat dalam hatinya hendak berbuat kebajikan.

Ayat 111

Kemudian ayat ini memperingatkan bencana perbuatan dosa, yaitu barang siapa mengerjakan dosa lalu mengira pekerjaan itu akan bermanfaat bagi dirinya niscaya dia mengalami hal yang sebaliknya. Pekerjaannya itu akan mengakibatkan bencana dan penderitaan bagi dirinya, sedikitpun tidak ada manfaatnya. Perbuatan yang busuk lambat atau cepat tercium oleh masyarakat. Pengadilan akan membuka kejelekannya di muka umum dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.

Inilah penghinaan atas dirinya dan penderitaan di dunia. Di akhirat dia akan mengalami lagi hukuman Allah. Allah dengan ilmu-Nya yang Mahaluas telah menetapkan perbuatan mana yang terlarang, dan dengan kebijaksanaan-Nya ditetapkan hukuman bagi pelanggaran atas perbuatan itu. Manusialah yang merusak dirinya sendiri bila ia melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan.

(Tafsir Kemenag)

Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya

0
Muharram bulan haram
Muharram bulan haram (cris foundation)

Bilangan bulan di sisi Allah terdapat dua belas bulan yang tidak dapat ditambah ataupun dikurangi. Dalam dua belas bulan tersebut, terdapat empat ‘bulan haram’ yang diagungkan. Mengapa empat bulan ini disebut ‘bulan haram’?

Dalam surat At-Taubah [9]: 36, Allah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya, bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiyaya diri kamu di dalamnya  dan perangilah orang-orang musyrik sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Lebih terperinci mengenai apa saja empat ‘bulan haram’ itu, disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim berikut

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ و الاَرْضِ، السَّنَةُ اثْناَ عَشَرَ شَهْرًا، مِنهَا اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلا َثَةٌ مُتَوَالِياَتٌ ذُوالْقَعْدَةِ و ذوالحِجَّةِ والمُحَرَّمُ ورَجَبُ مُضَرَ الذِى بَيْنَ جُماَدَى و شَعْباَنَ           

“setahun berputar sebagaimana keadaannya, sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdapat dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan berturut-turut; yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulannya lagi) Rajab Mudhor terletak Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Pertanyaannya kemudian, mengapa keempat bulan ini, Dzulqo’dah, Dhulhijjah, Muharram, dan Rajab yang disebutkan Oleh Rasulullah itu disebut sebagai bulan haram?

Kata ‘haram’ dalam ayat tersebut memiliki makna agung, mulia. Artinya, keempat bulan tersebut memiliki keagungan yang lebih daripada bulan lainnya. Menurut al-Qodhi Abu Ya’la; disematkan status ‘bulan haram’ setidaknya karena ada dua alasan; pertama dalam bulan-bulan agung tersebut diharamkan pembunuhan dan perbuatan keji lainya. Kedua, pada bulan tersebut diharamkan melakukan perbuatan haram, dan dianjurkan untuk lebih memperbanyak perbuatan baik, serta lebih taat dalam menjalankan perintah Allah.

Larangan menganiaya atau melakukan dosa pada empat bulan tersebut, menurut Quraish Shihab, bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Bukan seperti itu, penjelasan tersebut lebih menekankan khusus pada empat bulan yang disebutkan agar di waktu tersebut lebih banyak berbuat kebaikan. Karena, empat bulan tersebut merupakan bulan ibadah yang agung di sisi-Nya.

Sebagaimana keagungan pada tempat haram, sebut saja Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Jika seseorang mendirikan salat di Masjidil Haram maka akan mendapat ganjaran seratus ribu kali lipat dibandingkan tempat lain. Begitupun dengan salat di Masjid Nabawi, yang jika melaksanakan salat di sana akan mendapat ganjaran sepuluh ribu kali lipat daripada tempat lainnya.

Baca Juga: Islam Melarang Berperang di Bulan HaramInilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui

Lanjut ke akhir ayat, mungkin akan timbul sebuah pertanyaan, mengapa di akhir ayat tersebut terdapat kalimat perintah; perangilah orang-orang musyrik sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Perang yang diperkenankan dalam akhir ayat tersebut adalah ketika kaum musyrikin terlebih dahulu menyerang, dan mencelakakan umat Islam. Karena sejatinya, perang dalam Islam yang dijelaskan dalam Alquran memiliki aturan-aturannya sendiri. Bukan lantas, memulai peperangan ketika keadaan dalam sebuah wilayah aman dan tentram.

Inilah mengapa lebih lanjut Quraish Shihab menafsirkan bahwa penggunaan kata anfusakum  dalam ayat 36 tersebut termasuk dalam larangan menganiaya pihak lain. Kata anfusakum tersebut menurutnya mengisyaratkan kesatuan kemanusiaan, yaitu ketika seseorang menganiaya orang lain sama dengan menganiaya dirinya sendiri.

Kehormatan yang dijaga dalam empat ‘bulan haram’ tersebut sama dengan kehormatan dan keagungan yang disandang manusia. Empat bulan yang ditetapkan oleh Allah sebagai bulan agung atau sebutan populer lainnya ‘bulan haram’ adalah ketetapan yang tidak dapat diubah oleh siapapun, dan tidak boleh diganti tanggal serta bulannya, baik memajukan atau mengundurkan dari waktu yang sudah Allah tetapkan.

Di bulan Muharram, pembuka awal tahun 1442 Hijriah sekaligus salah satu bulan yang dimuliakan (haram) ini, mari bersama-sama memperbanyak amal soleh, dan menjauh dari segala perbuatan yang dilarang oleh-Nya.

Wawwahu A’lam Bissowab

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

0
salat qasar di perjalanan
salat qasar di perjalanan

Dalam Islam kita mengenal salat qasar, salat yang diringkas. Sebagaimana ringkasan pada umumnya, yaitu mnyedikitkan sesuatu yang banyak, maka salat qasar pun demikian. Salat yang asal jumlah rakaatnya empat diringkas menjadi dua rakaat. Salat yang bisa diringkas di sini adalah yang kategori ruba’iyyah yakni 4 rakaat kemudian diringkas menjadi 2 rakaat. Berasal dari mana ketentuan ini? Apakah dalil salat qasar itu ada dalam Alquran? Simak lanjutan tulisan ini.

Islam telah memberikan keringanan (rukhshah) dalam melaksanakan salat bagi seorang muslim yang sedang bepergian, yaitu dengan cara meringkas (mengqasar) salatnya. Masalah ini disinggung oleh Alquran dalam surat an-Nisa’ ayat 101.

وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ اِنَّ الْكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

“Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 101)

Jika hanya bertanya tentang dalil salat qasar, maka ayat di atas adalah jawabannya. Ayat tersebut merupakan dalil kebolehan salat qasar. Namun jika ada yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang tata cara salat qasar dan apa saja syarat ketentuan pelaksanakannya, maka tengoklah hadis Nabi, kitab-kitab tafsir dan penjelasan para guru.

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat FarduApa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Pada ayat di atas, redaksi ‘jika kalian takut diserang orang-orang kafir’ menunjukkan bahwa salat qasar dilakukan saat musafir merasa khauf (takut) akan serangan musuh. Lalu apakah qasar menjadi tidak berlaku bagi musafir selainnya? Tentu saja berlaku. Al-Qurthuby dalam tafsirnya menjelaskan,

اَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ يُبِيْحُ الشَّيْءَ فِي كِتَابِهِ بِشَرْطٍ، ثُمَّ يُبِيْحُ ذَلِكَ الشَّيْءَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ الشَّرْطِ

Artinya: sesungguhnya Allah memperbolehkan suatu hal dengan adanya ketentuan dalam al-Qur’an, kemudian memperbolehkan hal yang sama tanpa ketentuan tersebut melalui sabda nabi-Nya.

Dalam hadits riwayat Umar, ia pernah bertanya pada Rasulullah tentang qashar salat dalam perjalanan yang bukan karna khauf, lalu Nabi bersabda,

(تِلْكَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ (رواه مسلم

“Qashar salat itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah tersebut.” (HR. Muslim)

Lalu, bagaimana batas jarak perjalanan hukum kebolehan mengqashar salat saat bepergian dan apa saja syaratnya?

Pertama, hukumnya boleh (jawaz). Hal ini jika jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 2 marhalah/80,640 km atau 16 farsakh/84 mil. Kedua, lebih baik (afdhal) jika perjalanan yang ditempuh telah mencapai 3 marhalah atau 120,960 km. Hukum kedua ini adalah pendapat yang diambil oleh Imam as-Syafi’i. Ketiga, berhukum wajib jika musafir tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk menyempurnakan shalat (itmam).

Adapun ketentuan salat qasar sebagai berikut:

  1. Tujuan safarnya bukan untuk maksiat. Al-Baihaqi mengutip perkataan as-Syafi’i dalam ahkamul qur’an lis Syafi’i: “orang yang keluar rumah untuk membuat kerusakan, menghalangi jalan, berstatus pemberontak, budak yang kabur dari tuannya, dan lain-lain yang searti, maka ia bermaksiat.” Bahkan, as-Syafi’i menambahkan dengan: “jika orang tersebut melakukan qashar, maka ia harus mengulangi seluruh shalatnya.”
  2. Jarak minimal yang ditempuh adalah 2 marhalah atau 16 farsakh yang jika distandarkan menurut ukuran saat ini terdapat beberapa versi, salah satumya yang telah dicantumkan di atas dengan merujuk pada al-Kurdi. Sedangkan dalam al-Fiqhul Islamiy tertulis 88,704 km. Kebolehan qashar musafir ini setelah melewati batas desa (untuk desa yang ada pembatasnya) atau melewati perumahan penduduk.
  3. Salat yang diqashar adalah shalat ada’ yakni salat yang dikerjakan pada waktunya. Boleh shalat qadha’ asalkan yang terjadi dalam perjalanan, bukan dari rumah.
  4. Niat meringkas salat saat takbiratul ihram.
  5. Tidak bermakmum pada imam yang melaksanakan shalat itmam, baik imamnya berstatus musafir atau mukim.
  6. Mengetahui tentang kebolehan melakukan shalat qashar, bukan hanya sekedar mengikuti.
  7. Dilaksanakan ketika yakin bahwa dirinya masih dalam keadaan bepergian.
  8. Bepergian dengan tujuan yang jelas. Ia bukan al-Haim atau orang yang tidak jelas tujuan perginya.

Inilah beberapa penjelasan terkait dalil salat qasar, mulai hukum hingga cara dan syarat pelaksanannya. Ini dapat menjadi alternatif solusi bagi para musafir yang kesulitan melaksanakan salat dalam perjalanannya. Dengan adanya kemurahan agama ini diharapkan setiap orang dapat melakukan perjalanan dengan nyaman dan dalam waktu yang sama tidak lalai terhadap ibadah.

Wallahu A’lam

Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia

0
menjaga eksistensi laut
menjaga eksistensi laut

Laut merupakan salah satu bentuk ciptaan Allah Swt. Dari laut, manusia dapat memanfaatkan berbagai jenis hewan dan  tumbuhan yang ada. Selain itu laut dapat pula berfungsi sebagai mata pencarian hidup manusia dengan adanya perkapalan baik untuk bisnis kargo, perniagaan maupun sarana transportasi. Karena itu, adalah hal yang wajib untuk mensyukuri eksistensi laut bagi umat manusia.

Beragam manfaat yang berasal dari laut salah satunya ialah dalam firman Allah Surat An-Nahl ayat 16 berikut ini:

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَاۚ وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur” (Qs. An-Nahl 16: 4)

Sebuah nikmat

Menurut Imam ibn Jarir al-Tabari, ayat ini berbicara mengenai nikmat Allah kepada makhluk-Nya berupa menundukkan segala hal yang ada di lautan bagi manusia. Laut dapat diartikan dengan laut dengan airnya yang asin maupun sungai yang airnya tawar. Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

Kedua tempat tersebut diberikan Allah Swt. kepada manusia agar dapat digunakan dengan sebaik mungkin. Sebagaimana laut yang airnya asin, maka dalam tempat tersebut terdapat berbagai jenis makhluk baik berupa hewan seperti ikan, karang, ganggang laut, dan kerang.

Lalu, di sungai yang airnya tawar terdapat berbagai makhluk seperti ikan, buaya, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Tentunya dari beberapa hal tersebut dapat digunakan oleh manusia dalam rangka mencari penghidupan.Baca juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?

 Manusia dapat mengambil manfaat dari lautan tersebut seperti mengonsumsi daging segar berupa ikan.  Lalu dapat pula membudidayakan makhluk hidup di laut seperti mutiara (al-Lu`lu`) yang keluar dari cangkang kerang juga permata (al-Marjan). Keduanya memiliki fungsi sebagai aksesoris juga perhiasan yang memiliki estetika tinggi.

Begitu pula dengan di air tawar seperti sungai. Manusia pun dapat memanfaatkan apa pun yang ada di sungai untuk kehidupan. Sebagai contoh di Indonesia terdapat tumbuhan eceng gondok. Memang tanaman berbahaya bagi ikan-ikan di sungai. Namun jika dapat membudidayakan dengan baik, eceng gondok bermanfaat bagi keseharian seperti adanya kerajinan kursi yang terbuat dari eceng gondok. Selain itu ada pula yang memakan ikan dari sungai seperti mujair dan lele.

Masih menurut at-Tabari, dalam ayat ini terdapat redaksi Mawakhir yang merupakan bentuk jamak dari kata Makhir. Redaksi ini dalam bahasa Arab bermakna suara arah angin. Tetapi jika dikaitkan dengan ayat ini, maka berarti suara perahu yang berlayar di lautan mengikuti arus air dan arah angin.

Semua ini diciptkan Allah Swt. agar manusia dapat mencari penghidupan dengan memanfaatkan hasil dari laut. Sehingga tujuan akhir dari hal ini agar manusia dapat mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya (Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an, Jilid 4, hal. 507).

Imam Ibnu Kathir berpendapat mengenai ayat di atas bahwa Allah Swt. menjadikan laut sebagai sarana transportasi bagi umat manusia. Sebagaimana dalam sejarah umat manusia bahwa Nabi Nuh As. Merupakan orang pertama yang menggunakan kapal sebagai sarana untuk menyelamatkan umatnya dari bencana banjir bandang. Lalu generasi demi generasi mulai menadikan laut sebagai sarana transportasi yang menghubungkan lintas wilayah dan benua.

 Dengan ini Allah Swt. menundukkan laut untuk hamba-Nya agar dapat dijadikan sarana penghidupan serta dapat mencari karunia juga saling membantu antara satu bangsa dengan bangsa lain serta hal ini bertujuan agar manusia dapat mensyukuri salah satu nikmat Allah bagi umat manusia. (Ismail Ibnu ‘Umar Ibnu Kathir ad-Dimashq, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Jilid 4, hal. 562)

Mensyukuri eksistensi laut

Menurut Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i, laut merupakan salah satu bentuk nikmat Allah kepada umat manusia selain langit, bumi, dan gunung. Ada pun tujuan dari penciptaan laut bagi umat manusia, laut dapat pula digunakan sebagai sarana transportasi yakni dengan adanya jalur perdagangan laut dengan menggunakan kapal.

Selain itu, ada pula perahu layar yang digunakan oleh nelayan untuk mencari nafkah juga kapal pesiar yang berkeliling dari satu Negara ke Negara lain. Semua bertujuan untuk mencari karunia dan rezeki Allah.

Maka salah satu bentuk syukur kepada Allah secara nyata adalah memanfaatkan laut dan menjaga laut untuk kemaslahatan umat manusia. (Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i, al-Mizan fi Tafsiril Qur’an, Juz 12, hal. 216).

Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa laut merupakan salah satu karunia Allah terbesar di muka bumi. Oleh karenanya, sebagai bangsa Indonesia hendaknya memiliki kepekaan dengan tidak mengotori dan merusak ekosistem laut. Seperti merusak karang juga menangkap ikan dengan cara yang tidak baik.

Laut juga sarana perdagangan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. sejatinya kita harus menjaga eksistensi laut ini dari serbuan tangan-tangan jahil manusia. Semoga pesan ayat ini mengingatkan kita sebagai bangsa maritim agar lebih bersyukur atas nikmat-Nya dan waspada dalam menjaga eksistensinya.

Wallahu A’lam Bisshowab

Strategi Al Quran dalam Mengembangkan Ekonomi Maritim

0
strategi ekonomi maritim
strategi ekonomi maritim

Letak geografis Indonesia yang tidak kurang dari wilayah kelautan, mengaharuskan masyarakat Indonesia dituntut mampu mengembangkan potensi kekayaan lokal, agar menjadi lebih kreatif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan. Strategi Al Quran dalam mengembangkan ekonomi maritime juga dapat ditemui dalam surat al-Kahfi ayat 79 berikut ini.

أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera” ( QS. Al-Kahfi 98).

Pada ayat itu merepresentasikan kisah Musa a.s bersama  Khidir a.s ketika berada di laut. Ada sebuah tindakan Khidr menjadikan dorongan kepada manusia untuk betul-betul dapat memanfaatkan sektor laut. Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 79

Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai “Al Kahfi” artinya “Gua” dan “Ashhabul Kahfi” yang artinya: “Penghuni-penghuni gua”. Namun penjelasan ini akan terfokus pada penafsiran surat al-Kahfi ayat 79 saja.

Pada tafsir Ibnu Katsir yang ditulis Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi, sebuah kisah dari Musa as dengan Khidir as ketika Khidir melubangi perahu dengan tujuan ialah membuat perahu itu cacat. Meskipun perahu tersebut merupakan sumber penghasilan ekonomi untuk nelayan. Tapi Khidir tetap merusak perahu tersebut dengan maksud penjagaan dari serangan raja zalim yang merampas harta tiap-tiap bahtera. 

Jika perahu itu terlihat cacat, si raja pun akhirnya enggan untuk merampas harta yang ada di perahu cacat tersebut. Sehingga para pemiliknya yang miskin dapat menggunakannya dan mengambil manfaat darinya. Karena perahu tersebut merupakan satu-satunya milik mereka untuk mencari nafkah di laut.

Strategi Al Quran dalam Mengembangkan Ekonomi Maritim

Walaupun secara global Al Quran memperbolehkan pemanfaatan kekayaan laut untuk kepentingan manusia. Namun dalam kesempatan lain Allah Swt sudah memberikan rambu rambu agar dalam memanfaatkan kekayaan alam. Manusia dapat berlaku lebih hati-hati, baik itu menjaga dari serangan atau bersikap untuk tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya kelautan. Baca juga: Etika Menjadi Seorang Pebisnis dalam Membangun Kepercayaan

Yang dimaksud menjaga dari serangan ialah selain pihak masyarakat yang aksi dalam mengembangkan produktifitas sector kelautan, menjaga keamanan laut juga sangat penting. Baik itu antara pihak masyarakat nelayan dengan pemerintah harus pro aktif menjaga laut bersama. Pihak pemerintah jangan sampai menjadi penghambat laju perekonomian maritim.

Misalnya seorang raja yang diceritakan pada surat al-kahfi ayat 79, jangan sampai raja merampas harta rakyat nelayan. Jika itu terjadi, nelayan harus berfikir aktif seperti halnya yang dilakukan oleh Khidir as. Ketika terjadi serangan, Khidir a.s merusak perahu untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar. Ada bisa dengan strategi keamanan yang lainnya.

Kisah surat al-kahfi ayat 79 dapat diambil pesan tentang cara memimpin rakyat dalam perjuangan untuk mencapai sebuah kemakmuran rakyat.

Kemudian tidak serakah maksudnya di sini ialah segala macam yang ada di laut dapat dimanfaatkan untuk industri. Baik itu mutiara yang dijadikan perhiasan, atau macam kerajinan lainnya yang memiliki seni dan dapat di jual. Akan tetapi kekayaan semua itu yang diberikan oleh Allah jangan dinikmati untuk kenikmatan semata. Manfaatkanlah untuk kemakmuran rakyat bersama.

Islam Melarang Berperang di Bulan Haram

0
larangan berperang
larangan berperang

Bulan Muharram adalah bulan mulia menjadi penanda masuknya tahun baru Islam, sekaligus termasuk kategori asyhurul hurum (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Maka, pada bulan ini pula Islam melarang berperang di bulan Haram. Menumpahkan darah tanpa sebab, tanpa dasar yang logis dan rasional, tanpa melihat konteks yang ada, terlebih seruan jihad fi sabilillah yang diasosiasikan kepada makna berperang tentu sangat tidak tepat dan tidak relevan pada zaman modern ini.

Pernah suatu ketika pada masa Rasulullah terjadi peperangan di bulan haram.  Dikisahkan, Setelah kepulangan Rasulullah Saw dari perang Badar pertama, beliau mengutus pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy ke daerah Nakhlah. Tujuan pasukan ini yakni sebagai tim investigasi untuk memantau adanya penyusupan orang-orang Yahudi.

Beliau lalu menitipkan surat kepada Abdullah dan memerintahkan agar tidak membaca isi surat tersebut kecuali setelah mereka menempuh perjalanan selama dua hari. Abdullah menyanggupi apa yang diperintahkan oleh baginda Rasulullah. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, dia membuka surat yang dititipkan Rasulullah kepadanya.

Ternyata isi surat tersebut berbunyi, “jika kamu telah membaca isi suratku ini, maka teruslah berjalan sampai tiba di sebuah pohon kurma yang berada diantara Makkah dan Tha’if. Intailah orang-orang Quraisy dari pohon tersebut. Lalu laporkan kepada kami mengenai apa saja aktivitas yang mereka lakukan.” Setelah selesai membaca surat itu, Abdullah bin Jahsy berkata, “ kami mendengar dan menaati perintah Anda.”

Abdullah bin Jahsy lalu terus melakukan perjalanan menuju Hijaz sampai akhirnya tiba ditempat sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat Rasulullah. Tidak lama kemudian melintaslah satu kafilah Quraisy yang membawa barang dagangannya melewati rombongan Abdullah bin Jahsy. Ketika orang-orang musyrik itu melihat sejumlah kaum muslimin, ternyata mereka menampakkan sikap hormat.

Karena melihat Ukas bin Mihsan, salah satu anggota rombongan Abdullah, mencukur kepalanya sehingga memberi kesan bahwa mereka akan melaksanakan umrah. Awalnya, Abdullah bin Jahsy sempat ragu untuk menyerang kafilah Quraisy tersebut karena saat itu sedang dalam bulan haram.

Namun setelah berunding, akhirnya mereka memberanikan diri dan sepakat untuk membunuh orang-orang musyrik tersebut dengan alasan seandainya orang-orang musyrik itu dibiarkan pergi, pasti suatu saat mereka juga akan memerangi seluruh kaum muslimin. Para sahabat rasul itu kemudian membidikkan anak panah mereka. Sebagian orang-orang musyrik berhasil dibunuh dan sebagian lainnya dijadikan tawanan. Pada kesempatan itu, kaum muslimin berhasil mendapatkan harta rampasan yang mereka bawa pulang ke Madinah.

Ketika Rasulullah melihat kedatangan mereka dan mengetahui apa yang mereka perbuat, beliau marah, lalu bersabda, “Aku tidak menyuruh kalian untuk berperang pada bulan haram,” Rasulullah kemudian memutuskan untuk menangguhkan status mengenai apa yang mereka perbuat sampai datang keputusan dari Allah. Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan sikap kaum muslimin pada saat itu. Allah Swt berfirman,

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 217)

Menurut Muhammad Iqbal,  Ayat diatas membandingkan dua perkara antara pembunuhan orang-orang muslim terhadap beberapa orang kaum musyrikin pada bulan haram, dengan orang-orang Quraisy yang sengaja menghalang-halangi jalan Allah. (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Bahkan mereka memerangi dakwah Rasulullah, mengingkari Allah dan kesucian Masjidil Haram, mengusir kaum muslimin dari rumah-rumah mereka, lalu merampas harta mereka, hingga menyiksa kehidupan mereka. Manakah yang lebih besar dosanya?

Syaikh Muhammad bin Shalil asy-Syawi dalam kitab An-Nafahat al-Makkiyyah menjelaskan, ayat ini memberi batasan keumuman ayat-ayat tentang perintah berperang secara umum, karena diantara keistimewaan bulan-bulan haram adalah diharamkannya berperang. Di sini perang diharamkan jika dalam konteks memulai perang (ofensif), sedangkan dalam konteks membela diri (defensif), maka perang boleh dilakukan pada bulan-bulan tersebut, sekalipun berada ditanah haram. (Baca juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui)

Singkat cerita, umat muslim dilarang untuk berperang pada bulan haram. Akan tetapi kemudian hukumnya akan berubah menjadi di izinkan untuk berperang, namun dengan syarat “jika diserang oleh musuh”. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa hakikat perang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh demi membela kebenaran, bukan untuk menumpahkan darah kebencian. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 93-94

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 93

Betapa besarnya dosa seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dengan sengaja. Dalam permulaan ayat yang lalu disebutkan sebagai suatu perbuatan yang tidak layak bagi seorang yang beriman karena seharusnya imannya menghalanginya dari perbuatan tersebut.

Maka ayat ini menyebutkan hukuman yang akan ditimpakan kepada mukmin yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, sama dengan hukuman yang disediakan Allah swt untuk orang yang tidak beriman, sehingga seolah-olah si pembunuh tersebut disamakan dengan orang yang tidak beriman karena kejahatan yang dilakukannya sama sekali tidak layak bagi orang yang beriman.

Menurut ayat ini, hukuman yang akan diterapkan untuknya ialah azab neraka yang kekal di dalamnya dan kemurkaan serta laknat Allah. Neraka Jahanam merupakan azab yang paling berat.

Kekekalan seseorang dalam neraka menunjukkan bahwa Allah tidak menerima tobatnya. Sedang laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat-Nya selama-lamanya. Kemurkaan Allah kepada seseorang akan menjauhkannya dari keridaan-Nya, di samping itu masih disediakan pula untuknya azab yang besar yang tidak dijelaskan dalam ayat ini.

Perlu diketahui, berbagai hukuman yang disebutkan dalam ayat ini diancamkan kepada si pembunuh mukmin, yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, adalah merupakan azab ukhrawi, yaitu azab yang akan diterima di akhirat kelak. Sedang di dunia ini, berlaku hukuman duniawi yang dilakukan oleh pihak penguasa.

Menurut peraturan yang telah ditentukan dalam agama, yaitu: apabila dalam sidang pengadilan seseorang telah terbukti bersalah, maka terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas, yaitu pembalasan yang setimpal, nyawa dengan nyawa.

Tetapi, apabila ahli waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap si pembunuh, maka pihak si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik.

Artinya: harus dibayar oleh yang bersangkutan pada waktu dan dengan jumlah yang ditetapkan oleh pengadilan tanpa mengulur-ulur waktu. Sebaliknya pihak yang akan menerima harus bersabar sampai datangnya waktu yang telah ditetapkan dan tidak mendesak (lihat al-Baqarah/2:178).

Mengenai tobat si pembunuh menurut zahir ayat ini memang tidak diterima Allah swt, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa ia kekal dalam neraka Jahanam, sedang orang yang diterima tobatnya oleh Tuhan tidak akan kekal dalam neraka. Mengenai masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Pendapat sebagian sahabat, antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah Yang Maha Esa. Lain halnya dengan orang musyrik yang walaupun pada masa-masa musyriknya ia membunuh, tetapi ia berbuat demikian sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah, maka perbuatan membunuhnya diampuni oleh Allah selama perbuatan itu tidak diulangi setelah masuk Islam.

Tetapi apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum Allah yang telah diketahuinya dengan baik, dan seolah-olah telah meninggalkan imannya. Maka wajar bila Allah tidak menerima tobatnya, sebaliknya Allah memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam dan kemurkaan serta laknat-Nya.

Kedua: Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah, sebab Allah telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni-Nya. Adapun dosa-dosa selain syirik masih dapat diampuni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisa’/4:48)

Jika Allah dapat menerima tobat seorang yang dahulunya musyrik yang melakukan pembunuhan dan perzinaan, kemudian ia masuk Islam dan bertobat serta senantiasa melakukan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan jahat, mengapa tobat seorang mukmin yang melakukan satu kali pembunuhan saja tidak dapat diterima Allah?

Apakah tidak mungkin bahwa setelah melaksanakan pembunuhan itu yang mungkin karena disebabkan dorongan emosi yang meluap-luap, ia sadar akan kesalahannya dan mengetahui betapa besar dosanya dan betapa berat azab yang akan diterimanya, lalu ia bertobat kepada Allah dan menjauhi segala macam kejahatan, serta mengerjakan amal-amal saleh dengan tekun?

Adapun orang-orang yang mengaku mukmin, tetapi ia senantiasa bergelimang dalam perbuatan dosa dan membunuh orang-orang mukmin yang lain yang dianggapnya sebagai musuh-musuhnya, atau karena ingin menguasai harta benda, maka orang-orang semacam ini tidak diterima tobatnya di sisi Allah dan selayaknyalah mereka menerima azab neraka dan kekal di dalamnya serta ditimpa kemurkaan dan laknat Allah jika mereka tidak bertobat sebelum ajalnya.

Ayat 94

Apabila seorang mukmin pergi ke daerah musuh untuk berperang, maka hendaklah mereka bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang yang mereka temui, dan jangan tergesa-gesa menuduhnya sebagai  orang yang tidak beriman , lalu membunuhnya.

Utamanya apabila orang yang ditemui itu telah mengucapkan Assalamu’alaikum, atau telah mengucapkan La ilaha illallah, yaitu ucapan secara Islam, maka orang tersebut tidak boleh dituduh  kafir , sebagai alasan untuk membunuhnya karena ucapan salamnya itu menunjukkan bahwa ia telah tunduk kepada agama Islam, menurut zahirnya.

Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar mengadakan penelitian lebih dahulu sebelum membunuh seseorang yang dianggapnya musuh, agar jangan sampai membunuh seseorang yang telah menganut agama Islam.

Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan hanya karena keinginan untuk memiliki harta bendanya. Allah memperingatkan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh berbuat demikian, sebab ia telah menyediakan rahmat yang banyak bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan mematuhi segala ketentuan-Nya.

Selanjutnya Allah mengingatkan orang mukmin bahwa pada awal mereka memeluk agama Islam, mereka menyembunyikan imannya, tetapi mereka tetap mengucapkan salam Assal±mu‘alaikum bila berjumpa dengan sesama mukmin yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam.

Hal itu mereka lakukan untuk memberitahukan bahwa mereka telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, mereka mengharapkan keamanan diri, keluarga dan harta benda mereka dari kaum Muslimin yang telah masuk Islam lebih dahulu.

Apabila mereka pernah berbuat demikian, dan Allah telah memberikan keamanan yang mereka inginkan, maka sewajarnya pula mereka menghormati orang-orang yang berbuat semacam itu terhadap mereka, dan tidak tergesa-gesa menuduh seseorang sebagai musuh Islam, lalu membunuhnya, dan merampas harta bendanya.

Allah senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, dan Dia akan memberinya balasan yang setimpal, baik atau buruk.

(Tafsir Kemenag)

Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara

0

Kalau berbicara tentang kitab tafsir tertua dari Nusantara, maka sudah pasti jawabannya Turjuman al-Mustafid karangan Syekh Abdur Rauf Singkel. Namun jika menyebut mushaf al Quran tertua dari Nusantara, kayaknya masih asing di telinga muslim Indonesia.

Turjuman al-Mustafid didaulat sebagai tafsir tertua karena penulisnya lahir pada tahun 1620 dan meninggal pada 1693 M. Catatan para peneliti menyebut salinan kitab ini yang paling awal berasal dari abad ke-17. Kemudian salah satu penerbit dari Turki yakni Mathba’ah al-Utsmaniyyah menerbitkan pada tahun 1884 M.

Sementara mushaf Al Quran tertua dari Nusantara yang diketahui keberadaanya sampai sekarang adalah mushaf dengan kode MS 96 D 16. Dalam catatan Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran, mushaf tertua se-Asia Tenggara ini bertahun 1606 dan berasal dari Johor (Malaysia) dan sekarang tersimpan di perpustakaan Rotterdam Belanda.

Meskipun dalam kolofon (catatan yang ada di akhir naskah) mushaf ini menyebut dari Johor, ternyata sebagian ditulis dengan bahasa Jawa aksara Arab (pegon), bukan Melayu. Seperti ini tulisannya;

“Tamat dina tsalats wulan Ramadan Akhtar ‘Abd Idris Faqran sa(m)pun kurang pangapura sakehing kang amaca yen kurang wewuhana yen luwih lungana denira sang utama.”

“Selesai pada hari ketiga bulan Ramadhan (oleh) Abd Idris Faqran. Mohon tidak memaklumi (atas kesalahan apapun). Jika ada apa pun yang tidak memadai, silakan tambahkan. Jika ada yang berlebihan, mohon dihilangkan, hai kamu yang lebih mengetahui (dalam ilmu).”

Selain ada kolofon tersebut, terdapat juga satu kolofon dengan bahasa Belanda. Seperti ini tulisannya.

“Anno 1606. Is desen Alcoran den 20en Julij voor Malacca, den Heere Admiral Matelief de Jonghe, van den Bisschop van Johor, op syn ernstich anhauden geschJJonken. Waermede hij met victorie, ende goede gesontheyt wederom door des Heeren genaede tJhuis gekomen synde, dese Librarie van Rotterdam vereert heeft.”

“Tahun 1606. Pada tanggal 20 Juli di lepas pantai Malaka, salinan Al Quran ini didermakan atas desakan Mufti Kesultanan Johor kepada LakJamana Matelief de Jonge. Semoga dengan belas kasih Tuhan, kembali ke rumah dengan kemenangan dan kesehatan yang baik, dia membanggakan perpustakaan Rotterdam ini dengan salinan Al Quran itu.”

Di balik dua kolofon tersebut, ternyata mushaf ini menyimpan rimbun data luar biasa yang mampu menyambungkan khazanah peradaban mushaf Al Quran di Nusantara.


Baca juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!


Sejarah Mushaf MS 96 D 16

Dalam menggali sejarah mushaf al Quran tertua dari Nusantara ini, lazim bagi kita untuk merujuk sebuah artikel anggitan Peter G. Riddel. Artikel karangan peneliti senior dari Australian College of Theology di Melbourne School of Theology ini berjudul “Rotterdam MS 96 D 16: The Oldest Known Surviving Qur’an from The Malay World”.

Dalam penelusurannya, Riddel menyebut bahwa kemungkinan besar mushaf Al Quran merupakan  pemberian dari delegasi kesultanan Johor kepada Laksamana Matelief de Jonge di salah satu kapal yang dipimpinnya.

Singkat cerita, ekspedisi Laksamana Matelief de Jonge berlangsung sejak tahun 1605. Ia bersama rombongan sebelas kapal lainnya berangkat dari markas Rotterdam. Matelief memang memiliki rencana untuk menggeser kekuatan portugis yang sebelumnya telah menguasai Malaka.

Sejalan dengan itu, Kesultanan Johor juga pernah memiliki pengalaman pahit dengan Portugis. Perlu diketahui bahwa kesultanan Johor itu berdiri setelah kekalahan Malaka terhadap Portugis. Johor yang sebelum kekalahan itu menjadi bagian dari Malaka, akhirnya memisahkan diri dan mendirikan kesultanan baru yang diinisiasi oleh Sultan Mahmud dan Sultan Alauddin pada tahun 1518.

Kemudian pada tahun 1586 dan 1587 Portugis kembali berhasil menjarah kesultanan Johor. Kejadian tragis inilah yang menyebabkan kesultanan Johor menyambut baik aliansi dengan kekuatan baru Belanda.

Pada bulan Mei hingga Agustus 1606, Laksamana Matelief de Jonge mengepung Portugis di Malaka. Di tengah masa pengepungan itu, kesultanan Johor mengirimkan delegasi untuk kesepakatan aliansi. Delegasi itu pun menghadiahkan pedang yang bertahtakan permata sebagai tanda persahabatan. Di sini, Riddel menduga kemungkinan besar pemberian mushaf al Quran juga.

Riddel pun berasumsi bahwa penulisan mushaf al Quran tertua dari Nusantara ini tidak dikerjakan di semenanjung Melayu kemudian dibawa ke Johor. Selain itu, pemberian hadiah pedang dan mushaf al Quran sebagai wujud diplomasi politik dan agama yang tinggi antara Laksamana Matelief de Jonge dan kesultanan Johor saat itu.

Edisi ini hanya menjelaskan sejarah singkat mengapa mushaf tertua Nusantara yang berasal dari Johor dan dengan bahasa Jawa ini bisa sampai ke perpustakaan Rotterdam Belanda. Di kesempatan lain aka nada lanjutan khusus tentang potret mushaf ini.