Beranda blog Halaman 529

Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

0
pernikahan
pernikahan

Pernikahan merupakan ikatan yang sangat agung dan mulia dari relasi laki-laki dan perempuan. Ikatan yang mempertemukan dua individu yang berbeda karakter dalam sebuah rumah ini membawa banyak tanggung jawab besar nan mulia, utamanya dalam hal agama. Oleh karena itu, Alquran, hadis dan bacaan keagamaan lainnya tidak luput untuk mengatur urusan pernikahan.

Laki-laki dan perempuan diciptakan memiliki fitrah yang saling membutuhkan satu sama lain. Mereka perlu mempertahankan kelangsungan jenisnya dan mencapai tujuan hidup di dunia. Laki-laki tentu memiliki karakter yang berbeda dengan perempuan, lalu dengan perbedaan tersebut keduanya ditakdirkan bersama untuk saling mengisi. Allah swt berfirman,

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat?” (QS. An-Nahl [16]: 72)

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa diantara nikmat-nikmat Allah adalah menjadikan bagi laki-laki seorang istri yang berasal dari jenisnya sendiri. Sendainya Allah menjadikan bagi mereka istri-istri dari jenis lain, tentu tidak akan ada kerukunan dan kasih sayang diantara mereka.

Menarik untuk ditampilkan di sini yaitu penafsiran Hamka tentang relasi antara laki-laki dan perempuan yang ia sampaikan dalam bukunya, Kedudukan Perempuan Dalam Islam.

‘Diri manusia itu pada hakikatnya satu, kemudian dibagi dua; satu menjadi bagian laki-laki dan yang satu lagi menjadi bagian perempuan, sehingga meskipun terdiri dari dua corak yang berbeda, hakikat jenisnya tetap satu, yaitu manusia. Oleh karena asalnya satu kemudian dibelah dua, terasalah bahwasanya yang satu tetap memerlukan yang lain. Hidup belumlah lengkap kalau keduanya belum dipertemukan kembali. Ketika disatukan lagi, maka lahirlah manusia-manusia yang lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Melahirkan manusia-manusia berikutnya, menjaga kelangsungan hidup anak-cucunya seperti yang disebutkan dalam keterangan di atas akan terjdi jika ada kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Kerja sama yang baik itu salah satunya bisa diwujudkan dalam relasi yang bernama pernikahan.

Pernikahan merupakan sebuah ritual pengikat janji yang dilaksanakan dalam rangka meresmikan hubungan sepasang manusia secara norma agama, hukum dan sosial. Mengapa harus norma? Tentu saja agar menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk hidup yang lain. Sebab jika dilihat dari segi bahasa dalam literatur fiqih, nikah memiliki arti ad-dhammu (mengumpulkan; menyatukan) dan al-wath’u (hubungan biologis). Sehingga, nikah tanpa adanya norma-norma di atas akan menimbulkan konsekuensi serta dampak negatif bagi pelakunya.

Adapun maqashid (tujuan) pernikahan sendiri telah banyak dijelaskan melalui al-Qur’an dan sunah. Rasulullah bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki biaya, maka menikahlah karena hal itu mampu menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa dengan menikah seseorang bisa selamat dari hal-hal yang berhubungan dengan al-farji  (kemaluan) yang bisa merusak agama. Oleh karenanya, dalam hadis yang lain dikatakan bahwa seseorang yang menikah itu telah menyelamatkan separuh agamanya. Di ayat yang lain juga disampaikan bahwa tujuan menikah adalah agar mendatangkan ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan. (QS. Ar-Rum [30]: 21.

Baca Juga: Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya

Terkait hadis di atas, Syekh Taqiyuddin ad-Dimasyqi dalam Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar mengklasifikasi seseorang berdasarkan kebutuhannya terhadap pernikahan.

Pertama, taiqun ilan nikah yakni orang yang membutuhkan pernikahan. Orang yang membutuhkan pernikahan, bisa jadi memiliki kesiapan secara finansial dan bisa juga tidak. Jika kebutuhannya disertai kesiapan dalam segi finansial, maka dianjurkan menikah menurut ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Nawawi. Sedangkan menurut Imam Ahmad, hukumnya menjadi wajib karena khawatir terjerumus dalam zina. Adapun jika kebutuhannya tidak disertai dengan kesiapan, maka Nabi dengan jelas memberi solusi agar ia memperbanyak puasa untuk meredam syahwatnya. Sebab, dengan menahan lapar dan haus seseorang bisa menjadi tenang dan seimbang sehingga syahwatnya tidak menguasai kendali diri.

Kedua, ghairu taiq ilan nikah yang berarti tidak membutuhkan pernikahan dengan alasan-alasan tertentu, misal karena masih sangat sibuk dengan kegiatannya, bisa jadi juga karena punya trauma dan semacamnya. Maka untuk kategori ini, sekalipun seseorang itu memiliki kesiapan dalam hal finansial, hukum menikah baginya  adalah makruh. Terlebih lagi jika orang tersebut tidak membutuhkan pernikahan ditambah dengan tidak memiliki kesiapan, maka sudah jelas makruhnya.

Terkait hukum nikah, Syekh As-Shabuni menambahkan penjelasan dari madzhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Menurut mereka menikah itu sunnah. Meskipun demikian, As-Shabuni dalam tafsirnya melanjutkan bahwa perbedaan hukum tersebut melihat pada tradisi dan kebiasaan masyarakat, tidak paten. Kembali lagi, jika seseorang benar-benar dikawatirkan akan terjerumus pada perkara haram seperti zina, maka pernikahan itu hukumnya wajib, tidak bisa diganngu gugat.

Wallahu A’lam.

Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

0
mensyukuri nikmat kemerdekaan
mensyukuri nikmat kemerdekaan

Bulan Agustus merupakan bulan kegembiraan bagi seluruh anak bangsa Indonesia karena pada bulan ini berhasil meraih kemerdekaan. Kini negeri ini memasuki usia ke 75 tahun, menandakan sudah sejauh itu Indonesia mampu mepertahankan kemerdekaan. Karenanya, kita harus mensyukuri nikmat kemerdekaan itu. Salah satu cara dapat kita lakukan dengan belajar dari kisah negeri Saba’.


Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah


Tentang kisah itu, Allah berfirman dalam QS. Saba’ ayat 15-16:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ

فَاَعْرَضُوْا فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ. ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِمَا كَفَرُوْاۗ وَهَلْ نُجٰزِيْٓ اِلَّا الْكَفُوْرَ.

“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan). Di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar. Dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir” (QS. Saba`: 15-16)

Nikmat untuk Negeri Saba’

Menurut Imam Abu Ja’far at-Tabari ayat di atas menjelaskan surat Saba` ayat 15 mengenai keadaan negeri Saba`. Negeri itu diberi kenikmatan berupa posisi teritorial diantara dua gunung dan di dalamnya terdapat dua kebun yang luas juga besar.

Negeri yang berada di Yaman ini memiliki salah satu sarana untuk menghidupi masyarakat berupa bendungan Ma’rib. Kaum dari Ratu Balqis ini hidup makmur dan tentram dengan segala fasilitas yang dimiliki. Lalu Allah Swt. menyeru kepada mereka untuk mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Sehingga negeri tersebut termasuk Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.


Baca jugaTafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama


Ada pun maksud dari kalimat tersebut adalah negeri yang dikaruniai Allah Swt. berupa tanah yang subur dan hijau. Kemudian masyarakat yang ada dalam negeri tersebut menggunakan dan mengolah fasilitas yang ada di dalamnya dengan baik dan tidak melakukan kejahatan yakni eksploitasi alam.

Balasan untuk Kaum Saba’ yang Membangkang

Ayat 16 menjelaskan bahwa kaum tersebut pasca wafatnya Ratu Balqis, mulai berpaling dari Allah Swt. Maksudnya, rakyat pun mulai tidak peduli kembali dengan fasilitas berupa perkebunan dan negeri yang aman damai. Sesama anak negeri saling berseteru memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya.

Karena keberpalingannya itu, Allah Swt. memberikan balasan berupa bencana banjir besar yang menjadi akibat dari jebolnya bendungan Ma’rib. Seketika, Negeri Saba’ porak poranda.

Perkebunan yang tadinya ditumbuhi buah-buahan segar berubah menjadi pekarangan yang berisi pepohonan yang berbuah pahit. Pepohonan yang rindang berubah menjadi pohon yang tandus juga lahan pun berubah menjadi lahan yang gersang.


Baca jugaTafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?


Kemudian pada ayat selanjutnya Allah Swt. Menjelaskan mengenai balasan-Nya terhadap orang-orang kafir. Maksudnya adalah orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah termasuk melupakan nikmat Allah berupa negeri yang aman menjadi negeri yang kacau. Negeri yang subur berubah menjadi negeri yang gersang. Parahnya lagi, kedamaian yang ada pada negeri tersebut hilang karena adanya konflik antar kepentigan diantara warga negeri Saba`. (Muhammad ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan ‘An Ta`wilil Ayil Qur`an, Juz 6, hal. 215-217)

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Berdasarkan penjelasan Imam at-Tabari dapat dipahami bahwasanya kisah negeri Saba` dapat dijadikan ibrah bagi bangsa Indonesia terutama dalam hal mensyukuri kemerdekaan. Negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi merupakan salah satu bentuk nikmat Allah.

Apabila melihat pada pembukaan undang-undang dasar, maka kemerdekaan Indonesia merupakan bentuk dari Rahmat Allah Swt. bagi seluruh hamba-Nya yang bermukim di negeri ini. Mungkin pertanyaan mendasar pasca kemerdekaan adalah “Bagaimana mensyukuri nikmat kemerdekaan?”. Tentu banyak jawaban dari kita semua selaku anak bangsa. Namun salah satu jawaban yang penting adalah menjaga keamanan dan ketertiban negeri.

Salah satu bentuk syukur nikmat kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah menjaga dan merawat kebhinekaan dan sumber daya alam negeri. Ada pun yang pertama yakni merawat kebhinekaan merupakan langkah utama dalam syukur nikmat Allah. Dengan jalan menyadari bahwa bangsa ini terdiri dari berbagai macam warna baik suku, bangsa dan ras. Tentu untuk melakukan hal tersebut perlu perlu saling mengenal antara satu dengan yang lain sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13.


Baca juga: Kebhinnekaan dalam Al-Quran


Lalu yang kedua adalah merawat sumber daya alam baik di darat, laut maupun udara. Hal ini diperlukan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan individu maupun kelompok tertentu. Jika melanggar, maka yang terjadi adalah kehancuran dan kerusakan sebagaimana yang terdapat dalam surat ar-Rum ayat 41.

Dengan demikian, mari sebagai anak bangsa kita bersatu padu merawat dan menjaga segala yang ada di negeri ini. Semoga dengan usia 75 tahun, tanah air yang kita cintai semakin maju dan berkembang. Wallahu a’lam.

Anugerah Terbesar itu Menjadi Manusia

0
anugerah menjadi manusia
anugerah menjadi manusia

Keberuntungan terbesar bagi manusia adalah ia menjadi manusia, bukan yang lain. Manusia itu merupakan makhluk paling sempurna sehingga digambarkan dalam Al Quran sebagai ahsani taqwim (bentuk yang sebaik-baiknya). Terkadang manusia merasa bosan hidup hanya karena ada beberapa permasalahan yang tidak sanggup dia hadapi. Padahal hidup itu merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri oleh setiap manusia.

Ada Alasan mengapa Allah swt menciptakan kita sebagai manusia dan memberikan kita kesempatan untuk hidup di dunia ini. Oleh karena itu, mari kita renungkan sejenak, apa anugerah terciptanya makhluk yang bernama manusia?

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)

Kata Khalifah pada ayat di atas berkenaan dengan peristiwa penciptaan manusia pertama, yakni Nabi Adam a.s. Dalam KBBI, “manusia” diartikan sebagai makhluk yang berakal, berbudi, dan berperasaan. Sementara dalam bahasa Arab, kata “manusia” sepadan dengan kata nas, basyar, insan, dan masih banyak lagi persamaan-persamaan lainnya.

Akan tetapi walaupun memiliki persamaan, tiga kata tersebut ternyata memiliki kecenderungan arti masing-masing seperti nas yang lebih merujuk kepada makna manusia sebagai makhluk sosial. Insan lebih merujuk kepada manusia dengan seluruh totalitas jiwa dan raganya. Sedangkan basyar lebih merujuk kepada makna manusia sebagai makhluk biologis.

Lantas apa keberuntungan diciptakannya manusia?  Di dalam Al Quran akan kita temukan banyak redaksi ayat yang menjelaskan hal tersebut, antara lain;

Pertama. manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Seperti dalam firman-Nya

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ ۖ

“ Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin:4)

Muhammad Mahmud Hijazi dalam kitab Tafsir Al-Wadhih (Jilid 3) menjelaskan bahwa ahsani taqwim adalah Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang dapat berdiri tegap dengan kepala lurus kedepan, kemampuan makan dengan tangan, memiliki akal dan pemikiran yang dengannya manusia dapat memanfaatkan alam, serta memiliki kekuasaan untuk menundukkan makhluk yang lain seperti hewan dan tumbuhan.

Baca juga: Dari Manakah Tumbuhnya Cinta Manusia Kepada Sesama ?

Dalam Tafsir Al-Maraghi manusia diciptakan dengan ukuran tubuh yang memadai, memakan dengan menggunakan tangan, tidak seperti makhluk lain yang mengambil makanan dengan mulutnya. Diistimewakan karena akalnya sehingga bisa berfikir dan menimba ilmu yang dengannya manusia bisa berkuasa atas semua makhluk.

Kedua, manusia mendapat gelar Ahsan al-taqwîm dianugerahi aql (pikiran) seperti dijelaskan dalam Al Quran

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. al-Hajj [22]: 46)

Dari kutipan ayat diatas, kita bisa menemukan kata aql. Kata ini terkadang digunakan Al-Qur’an sebagai padanan terhadap kata qalb, sehingga aql bukan hanya bermakna pikiran (rasio) tetapi juga mengandung makna hati yang berfungsi untuk merasa.

Baca juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Ketiga, manusia kemudian dimuliakan dalam penciptaannya. Allah swt berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Q.S. al-Isra [17]: 70)

Manusia adalah makhluk yang dimuliakan. Bahkan lebih mulia daripada malaikat. Hal itu terbukti setelah Allah menciptakan Manusia pertama, Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberi hormat sebagai tanda memuliakannya. Peristiwa ini diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya,

فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ

Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 29)

Keempat, manusia dikarunia agama yang hanif (lurus)

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Q.S. ar-Rum [30]: 30)

Baca juga: Potret Romantisme Islam dan Kristen dalam Al Quran

Agama akan menjadi pedoman dalam kehidupan manusia. Dengan memiliki agama seseorang akan selalu berada pada jalan lurus serta kebenaran yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri ataupun orang lain. Dan tentunya agama yang lurus seperti yang dimaksudkan ayat diatas adalah agama islam. Sebagimana firman Allah swt,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (Q.S. al-Maidah [5]: 3)

Kelima, diberikan sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, dan hati sehingga memperoleh pengetahuan, meskipun ia dilahirkan dalam kondisi tidak berpengetahuan. Seperti dalam firman Allah

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (Q.S. an-Nahl [16]: 78)

Itulah beberapa anugerah yang dapat kita pelajari dari penciptaan manusia. Pemaparan yang telah disebutkan di atas hanyalah secuil dari apa yang bisa penulis sampaikan untuk kita renungi bersama. Sehingga kita bisa mensyukuri bahwa menjadi manusia adalah anugerah yang dikaruniakan Allah kepada kita. Selagi diberikan kesempatan untuk hidup, maka manfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Bukti Kekuasaan Allah Dalam Kisah Uzair Yang Wafat Selama 100 Tahun

0
Kisah Uzair
Kisah Uzair credit: qpedia.org

Kisah Uzair dalam al-Qur’an adalah salah satu kisah dari banyak kisah Al-Qur’an yang menunjukkan bukti kekuasaan Allah Swt. Kisah tersebut diceritakan Allah agar para pembaca al-Qur’an dapat mengambil pelajaran di dalamnya.  Dengan demikian, mereka dapat mengimani Allah dengan sepenuh hati karena Dia adalah Tuhan yang Maha Kuasa.

Ketika mendengar nama Uzair. Sebagian orang Islam mungkin akan mempertanyakan siapa dia? Apa keistemewaan dirinya sehingga diceritakan oleh Al-Qur’an? Pertanyaan-pertanyaan tersebut lumrah ditanyakan, karena ia tidak banyak diceritakan maupun dikisahkan oleh ahli sejarah. Terlebih lagi, Al-Qur’an hanya menceritakan beberapa penggal kisah tentangnya

Ulama berbeda pendapat mengenai status Uzair. Sebagian ulama menyebutkan dia hanya manusia biasa, bukan nabi atau rasul. Karena tidak ada catatan yang membuktikan ia adalah seorang utusan Allah. Sebagian lain meyakini bahwa Uzair adalah seorang nabi. Pendapat ini didasarkan kepada hadis nabi yang menyatakan bahwa jumlah nabi ada 124 ribu.

Lantas siapakah Uzair yang kisah wafat 100 tahunnya diceritakan Al-Qur’an? Quraish Shihab menyebutkan dalam Tafsir al-Misbah ([5]: 576) bahwa Uzair adalah salah seorang ulama Yahudi. Ia termasuk tawanan yang dibebaskan oleh Kursy raja Persia dan diperbolehkan kembali ke Yerusalem pada tahun 451 SM. Uzair adalah orang yang berhasil mengumpulkan kembali kitab suci Yahudi setelah sebelumnya menghilang.

Setelah mampu mengumpulkan kembali kitab suci Yahudi, Uzair memiliki posisi yang penting di kalangan orang-orang Yahudi. Bahkan sebagian mereka menyebutnya sebagai “anak Allah.” Tindakan ini sebenarnya merupakan bentuk perumpamaan kedekatan Uzair dengan Allah, namun disalahpahami oleh orang-orang Yahudi sebagai hakikat yang sesungguhnya. Alhasil, mereka tersesat karena menganggap Uzair benar-benar anak Tuhan.

Kisah Uzair dianggap “anak Allah” oleh orang Yahudi termaktub dalam QS. at-Taubah [9]: 30 yang berbunyi:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ ٣٠

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. at-Taubah [9]: 30)

Terlepas dari perdebatan siapakah Uzair, kisahnya di dalam Al-Qur’an memiliki tujuan khusus. Menurut Khalafullah, sebuah kisah dalam Al-Qur’an seringkali tidak disebutkan secara spesifik latar belakang sosio-historisnnya,karena tujuan utama dari kisah tersebut adalah aspek psikologis, yaitu peringatan dan pelajaran. Dalam konteks kisah Uzair, yang dituju adalah pelajaran tentang kekuasaan Allah (Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah: 102-103).

Uzair Diwafatkan Allah Selama 100 Tahun

Diriwayatkan, pada suatu hari Uzair sedang melewati sebuah perkampungan yang telah porak-poranda. Perkampungan tersebut merupakan sebuah negeri yang hancur karena peperangan. Sebagian penduduknya mati terbunuh dan sebagian lainnya telah pergi ke negeri seberang untuk meneruskan kehidupan. Alhasil kampung itu terlihat sepi sekali dan tidak berpenghuni.

Ketika Uzair memasuki bangunan-bangunan yang ada di dalam perkampungan, Hatinya bertanya-tanya, “bagaimana cara Allah menghidupkan (memakmurkan) kembali kampung ini setelah kematiannya?” Pertanyaan tersebut muncul sebab Uzair melihat keadaan kampung yang sangat porak-poranda. Siapa sangka, pertanyaan itu dijawab oleh Allah dengan cara mewafatkannya selama 100 tahun agar ia dapat melihat jawaban atas pertanyaannya.

Kemudian Allah menghidupkan Uzair kembali. Bagian pertama dihidupkan adalah mata agar ia dapat melihat anggota tubuhnya yang lain dibangkitkan. Ketika Uzair terbangun, Allah bertanya kepadanya melalui para malaikat, “berapa lama kamu tinggal di sini?” Uzair menjawab, “satu hari atau setengah hari.” Karena Uzair merasa hanya berdiam sebentar dan karena waktu kebangkitan sama dengan waktu ia diwafatkan, yakni siang hari.

Lalu Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 259)

Setelah melihat kekuasaan Allah itu, Uzair kemudian kembali mengelilingi kampung di mana ia diwafatkan dengan menaiki keledainya. Ia menyaksikan kampung itu sudah banyak diisi oleh manusia dan begitu makmur, berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya. Ketika melewati orang-orang ia sama sekali tidak dikenali dan terasa asing.

Lalu Uzair kembali ke rumahnya dan ia bertemu seorang wanita tua berusia 120 tahun. Wanita tersebut merupakan salah satu tetangga Uzair dahulu dan ia mengenalnya dengan baik. Lantas Uzair bertanya kepadanya, “wahai ibu, apakah itu rumah Uzair?” Wanita tersebut menangis, sebab selama 100 tahun tidak ada seorangpun yang menyebutkan nama tersebut.

Uzair lantas memperkenalkan dirinya dan menceritakan tentang kematiannya selama 100 Tahun. Karena Wanita tersebut buta, ia tidak mengetahui apakah itu benar-benar Uzair. Untuk membuktikan hal tersebut, wanita tua itu kemudian meminta didoakan agar bisa melihat kembali, karena Uzair terkenal sebagai seorang yang mustajab doanya. Uzair berdoa dan dikabulkan oleh Allah. Lantas perempuan tersebut menyebarkan kepada Bani Israil tentang apa yang telah dialami Uzair.

Dari kisah Uzair di atas, setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil dan dihayati, yakni; Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuas, Dia mampu untu melakukan apapun termasuk menghidupkan kota yang telah mati dan membangkitkan keledai yang jasadnya telah terurai. Selanjutnya, dari rentan waktu 100 tahun dapat dipahami bahwa segala sesuatu di dunia ini memerlukan waktu tertentu untuk berkembang sesuai sunatullah. Wallahu a’lam.

Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran

0
Kepemimpinan Transformatif
Kepemimpinan Transformatif menurut Al Quran (mosoah.com)

Kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai kekuatan untuk menggerakkan dan mempengaruhi orang lain guna mencapai tujuan bersama yang dikehendaki. Pemimpin tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai top-down semata, tetapi harus button-up. Dalam arti, ia harus mendengar aspirasi mereka dan mengakomodasinya dengan beberapa pertimbangan. Sederhananya, kepemimpinan transformatif ialah mereka yang mampu bertransformasi secara mindset, perilaku dan hasil.

Kepemimpinan semacam ini telah direalisasikan oleh Rasulullah saw, jauh sebelum istilah kepemimpinan transformatif tercetus. Sebab, kalau kita berbicara tentang hal itu maka pasti merujuk pada baginda Rasulullah saw. Karena kepemimpinan beliau selalu didasarkan pada saripati ajaran Alquran dan al-hadits. Kepemimpinan beliau oleh Allah swt diabadikan dalam firman-Nya di bawah ini,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran [3]: 159)

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159

Ayat ini memuat pesan-pesan kepemimpinan transformatif Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw tidak hanya teladan di satu aspek saja, melainkan seluruh kehidupan Rasulullah saw adalah teladan bagi kita. Sunnah rasul saw tidak terbatas satu aspek saja, melainkan banyak. Amat disayangkan jika yang diambil adalah bentuk simbolitas saja, bukan substansinya.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kepemimpinan transformatif Rasulullah tercermin dalam empat aspek berikut ini.


Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik


Berikut 4 Karakter Kepimpinan Transformatif:

Lemah Lembut

Sesuai redaksi fabima rahmatin minallahi linta lahum. Ibnu Katsir dan ‘Ali al-Shabuny menjelaskan bahwa Rasulullah saw dapat bersikap lemah lembut kepada mereka sebab rahmat Allah swt. Huruf ma merupakan silah, orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim ma’rifat, sebagaimanan termaktub dalam firman-Nya fabima naqdhihim mitsaqahum (Q.S. al-Nisa [4]: 55).

Rasulullah saw bersabda sembari memegang tangan sahabat Abu Umamah al-Bahili, “Hai Abi Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melunakkan hatinya. “(H.R. Imam Ahmad).

Tidak Kasar baik dalam Ucapan maupun Perbuatan

Karakter tidak kasar, tidak bengis tercermin dari redaksi berikutnya, walau kunta fadzan ghalidzal qalbi lanfaddhu min haulika (sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Ibnu Katsir menafsirkan kata al-fadzu dengan keras, namun makna yang dikehendaki ialah keras dan kasar dalam berbicara.

Sedangkan al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menandaskan sekiranya engkau (Muhammad) bersikap bengis lagi berhati kasar, kejam dan diktator, mereka tidak hanya sekadar menjauhi, melainkan memisahkan diri dari sekelilingmu.

Dengan kata lain, sekiranya Nabi saw berbicara kasar dan berkeras hati, tidak sabar dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar dan meninggalkan Nabi saw. Namun, Allah swt menghimpun mereka di sekelilingnya dan membuat hati Nabi saw lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukai Nabi saw dan loyal kepadanya.

Dikatakan oleh Abdullah bin Umar, “Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasul saw, bahwa beliau dicitrakan tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, melainkan memaafkan dan merelakan.”

Pemaaf dan Demokratis

Meskipun Rasulullah dihina, dicaci, difitnah, dikucilkan, diboikot bahkan dilempari kotoran oleh mereka, beliau tetap memaafkan bahkan al-Baghawy menuturkan Rasulullah tetap memberi syafaat kepadanya jika bertaubat. Selain pemaaf, pribadi Rasulullah saw sangat demokratis.

Wa syawirhum fil amr, Rasulullah saw dalam memutuskan sesuatu selalu mengedepankan musyawarah agar aspirasi mereka terakomodasi dan berkenan untuk melaksanakannya dengan kesadaran diri sendiri tanpa dipaksa.

Sikap demokratis ini tergambar dalam beberapa peristiwa penting misalnya dalam perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Tawaran itu ditolak oleh dua orang Sa’d, yaitu Sa’d bin Mu’az dan Sa’d bin Ubadah. Akhirnya nabi saw menerima usulan mereka.

Perjanjian Hudaibiyah misalnya, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan untuk berumrah.” Lalu Nabi saw memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.

‘Ali al-Shabuny melukiskan Rasulullah saw itu pribadi demokratis, sangking demokratisnya Ia gemar berdiskusi dan bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Bahkan dalam beberapa kitab tafsir dijelaskan bahwa perintah bermusyawarah ini bukan karena Nabi saw membutuhkan pendapat orang lain, akan tetapi lebih untuk menjaga dan menghargai perasaan orang lain agar tetap merasa dihargai dan dihormati, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah nguwongno uwong atau ngerumangsani (menghargai orang dan memberi tempat kepada orang lain)

Di samping itu, watak tokoh-tokoh Arab memiliki perasaan sangat sensitif, jika tidak dimintai pendapatnya, mereka gampang tersinggung atau baper. Maka mengajak bermusyawarah merupakan keniscayaan untuk menjaga keseimbangan.

Hal ini menunjukkan Rasul saw sangat demokratis dalam memutuskan suatu persoalan, tidak gegabah, tidak mementingkan ego sektoral, sehingga semua sama suka, sama senang dan sama suka rela untuk melaksanakan perintah Rasul saw sebab aspirasi mereka didengar dan menjadi bahan pertimbangan rasul saw.


Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Surat As-Saffat Ayat 102


Komitmen dan Tawakkal

Fa idza ‘azamta (Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad). Ibnu Katsir menafsiri redaksi ini dengan apabila engkau pasca bermusywarah dengan mereka dalam urusan itu dan telah berkomitmen untuk menjalankannya, hendaklah engkau Muhammad saw bertawakkal kepada Allah swt.

Adapun al-Shabuny memaparkan jika Rasulullah saw sudah menetapkan dalam hatinya, pantang untuk menyerah, dan beliau bertawakkal dan mengembalikannya kepada Allah swt karena apa yang dilaksanakannya tidak lepas dari campur tangan Allah swt.

Dengan demikian, jauh sebelum Stephen Robbins dan Mary Coulter menyatakan bahwa kepemimpinan transformatif itu harus mampu memberikan stimulus dan inspirasif untuk mencapai hasil yang luar biasa, Rasulullah saw sudah mampu melakukan itu.

Bahkan lebih dari sekadar itu, Rasulullah saw adalah sosok pemimpin yang ideal, sempurna dan berintegritas. Beliau mampu mengintegrasi-interkoneksikan antara Iman, Islam dan Ihsan, sehingga sejatinya beliau lah yang harusnya kita idolakan. Wallahu A’lam.

Inilah Telaah Makna Kata Al-Quran

0
kata al-Quran
kata al-Quran

Dari aspek bahasa kata al-Quran (القرآن) yang sudah menjadi nama dari kitab suci kaum muslimin ini adalah kata dasar (masdar) yang menggunakan pola bentuk kata al-fu’lan (الفعلان). Menurut para ulama Al-Quran, kata al-Quran (القرآن) berakar dari dua kata kerja yang berbeda, yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda. Dari kata mana saja, kata al-qur’an (القرآن) itu berasal? Mari kita lihat uraian berikut.

Kata al-Quran berakar dari kata kerja qara’a (قَرَأَ) – yaqra’u (يقرأ), yang bartinya “membaca, menelaah, dan mempelajari.” Karena kata قرآن  itu adalah bentuk dasar dari kata kerja qara’a, maka kata ini berarti “bacaan, telahan, pelajaran.” Lalu para ulama menyatakan bahwa bentuk dasar قرآن itu dipahami sebagai kata benda yang menunjukkan makna pasif (isam maf’ul = اسم مفعول), yang bentuknya adalah (المقروء). Jadi yang dimaksud dengan al-Qur’an (القرآن) itu adalah al-maqru’ (المقروء), artinya “sesuatu yang dibaca, sesuatu yang ditelaah, dan sesuatu yang dipelajari.”

Al-Qur’an (القرآن) itu adalah suatu kitab suci yang harus dibaca, yang harus dipelajari, dan yang harus ditelaah. Itulah sebabnya, maka setiap orang yang membaca Al-Qur’an diberikan oleh Allah pahala yang amat besar, sebagaimana Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang mendengarkan al-Quran.

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

Arti lain dari kata al-Quran (القرآن) itu juga dipahami sebagai kata dasar yang berakar dari kata kerja qarana (قَرَنَ) – yaqrinu (يَقْرِنُ) yang berarti “menyambung, menghubungkan sesuatu dengan sesuatu.” Makna kata ini lebih ditekankan pada hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain, sehingga Al-Quran itu diyakini sebagai kitab suci yang ayat yang satu memiliki hubungan atau persambungan dengan ayat yang lain, dan antara satu surat dengan surat yang lain.

Dari makna itu pulalah, maka setiap ayat Al-Qur’an memiliki hubungan atau persambungan antara suatu ayat dengan ayat sesudahnya, antara satu surat dengan surat yang sesudahnya. Persambungan antara ayat dan surat ini oleh ulama Al-Qur’an disebut munasabat (مناسبة).

Dari makna-makna yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Quran adalah sebuah kitab suci, yang ayat-ayat dan surat-surat yang ada di dalamnya saling berhubungan, saling bersambungan, dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sebuah kitab suci yang utuh dan lengkap. Juga Al-Qur’an adalah kitab suci yang ayat-ayat dan surat-surat yang ada di dalamnya harus dibaca, ditelaah, dan dipelajari oleh kaum muslimin, agar terpancar darinya hidayah, cahaya, dan petunjuk Allah.

Pemahaman arti kata Al-Qur’an sebagai “bacaan” bukan tanpa dasar, alasan atau dalil. Allah swt telah menjelaskan hal ini dalam sebuah firmannya di dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 17:

إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُۥ

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Ada dua kata qur’an (قرآن) yang terdapat di dalam rangkaian ayat di atas, yaitu pada ayat 17 dan ayat 18, yang semuanya menunjukkan arti “bacaan.” Dari sinilah para ulama al-Quran memahami kata qur’an (قرآن) itu sebagai “bacaan,” yang berakar dari kata qara’a (قرأ).

Baca Juga: Tahukah Anda Perbedaan Makna Antara Kata Walid (وَالِدٌ) dan Abu (أَبُوْ) dan Kata Umm (أم) dan Walidah (وَالِدَة)?

Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa jaminan Allah yang membuat manusia dapat mengumpulkan ayat-ayat di dadanya (menghafal dan memahaminya), yang membuat manusia dapat mengikuti bacaan-bacannya, dan yang membuat manusia dapat mengikuti penjelasannya.

Kata نا (naa) yang terdapat pada kata-kata عليناdi ayat ke-17, pada kata قرأنا di ayat ke-18, dan kata علينا pada ayat 19, menunjukkan makna “Kami.” Kata jamak seperti ini dipahami oleh ulama Al-Qur’an, sebagai kata tidak hanya menunjukkan kepada Allah, tetapi juga kepada para malaikat, dan juga kepada manusia sebagai ahli al-Quran.Wallahu A’lam.

Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

0
istighfar
istighfar

Istighfar dalam Alquran disampaikan dengan bentuk beragam. Kata yang sudah meng-Indonesia ini dimuat dalam Alquran terkadang dengan bentuk perintah (fiil amar), ada pula dalam bentuk kata kerja biasa (Fiil madhi dan mudhori’), juga ada beberapa yang berbentuk masdar. Meskipun demikian, beberapa model penyebutan istighfar tersebut seringnya bermakna dan bertujuan sama, yaitu memerintah untuk beristighfar, sebagaimana yang terdapat dalam dua ayat surat An-Nisa’, ayat 64 dan 110 berikut ini. Bagaimana istighfar pada ayat tersebut dipahami oleh beberapa mufasir, istighfar seperti apa yang dimaksud dalam dua ayat ini? 

Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengutip riwayat dari Sufyan dari Abi Ishaq dari al-Aswad dan Alqamah, keduanya menyatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa membaca dua ayat dari surat an-Nisa’ ini kemudian beristighfar maka diampunilah ia.”  

(وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُوراً رَحِيماً)

 (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً)

Yang pertama adalah ayat 110 dan yang kedua adalah ayat 64 dari surat an-Nisa. Mengenai ayat 110 ini Imam al-Qurthubi mengutip ad-Dhahhak yang menyebut bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Wahsyi, seorang yang sebelumnya kafir sekaligus pembunuh Hamzah ra. yang merupakan paman Nabi saw. Wahsyi mendatangi Rasulullah saw untuk menyampaikan penyesalannya dan menanyakan apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat. Kemudian turun ayat ini.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Imam Al-Qurthubi pun menyebut pendapat bahwa maksud dari ayat ini adalah umum untuk segenap makhluk. Berbeda dengan al-Qurthubi, Imam at-Thabari tidak berfokus pada asbab an-nuzul ayat melainkan lebih pada kaitan ayat 110 ini dengan ayat sebelumnya. Imam al-Thabari menyoroti perihal jenis dosa yang disebutkan dalam ayat ini.

Sebelumnya at-Thabari menyebut pendapat yang menyatakan bahwa dosa yang dimaksud adalah kaitannya dengan sifat khianat, ayat 107. Beliau juga menampilkan pendapat lain bahwa ayat ini kaitannya dengan dosa membela mereka yang khianat, ayat 109. Meski begitu Imam at-Thabari menyimpulkan bahwa yang betul adalah ayat ini berlaku universal untuk segala keburukan dan kezaliman meskipun turunnya berkaitan dengan dua ayat sebelumnya tersebut.

Kaitannya dengan istighfar seperti yang telah disebutkan oleh Ibn Mas’ud di atas, al-Qurthubi menambahkan bahwa yang dimaksud istighfar pada ayat ini adalah disertai dengan taubat di dalam hati. Menurut beliau istighfar secara lisan saja tidak cukup. Lain dengan al-Qurthubi, Imam ar-Razi berpendapat bahwa teks ayat ini tidak mencantumkan pengikat yang menjadi syarat istighfar. Oleh karenanya jika dipaksakan untuk mensyaratkan istighfar pada ayat ini dengan taubat serta meyakini bahwa tiada manfaat beristighfar jika maksiat tetap jalan, menurut Imam al-Razi, hal ini mendistorsi tujuan ayat ini untuk memotivasi kita dalam beristighfar itu sendiri.

Baca Juga: Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Sebenarnya pendapat dua mufasir di atas dapat disatukan jika dibaca dengan hati dan keyakinan. Kita bisa memaknai pernyataan Ibn Mas’ud di atas dengan penghayatan akan ayat Al-Qur’an. Bahwa istighfar yang diucapkan setelah membaca ayat ini adalah reflek dari hati, bukan hanya gimmick belaka. Penyesalan serta permohonan ampun yang tulus ketika mengucapkan istighfar, jika ia muncul dari hati maka itu adalah wujud dari ampunan serta rahmat Allah SWT.

Jangan sampai kekhawatiran mengulangi kesalahan yang sama menghalangi kita untuk beristighfar kepada Allah SWT. Justru hilangnya penyesalan dan kehendak untuk memohon ampunlah yang perlu kita khawatirkan, karena hal ini menurut Imam al-Ghazali adalah sebagian dari tanda hitam dan kerasnya hati.

Wallahu A’lam

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Perumpamaan dalam Pendidikan Islam

0
pentingnya metode perumpamaan
pentingnya metode perumpamaan

Matsal (perumpamaan) dalam Al Quran merupakan salah satu metode dalam pendidikan Islam. Ciri khas metode ini adalah memvisualisasikan hal yang abstrak dengan cara menganalogikan sesuatu dengan hal serupa atau sebanding agar lebih mudah dipahami. Pentingnya metode perumpamaan dalam pendidikan Islam dapat dicermati dari firman Allah Surat Ibrahim ayat 24-25:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ

تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ بِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (QS. Ibrahim [14]: 24-25)


Baca jugaTiga Makna Metode Matsal Menurut Para Ulama


Tafsir Surah Ibrahim Ayat 24-25

Kata amtsal adalah bentuk jamak dari kata matsal. Dalam Al Quran disebutkan sebanyak 19 kali dalam berbagai ayat dan surat. Sedangkan bentuk-bentuk lain sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an al-Karim berjumlah 146 kali.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan redaksi matsalan kalimatan thayyibah yakni syahadat lailahaillah (tidak ada tuhan selain Allah). Sedangkan kasyajaratin thayyibah dimaknai orang mukmin. Adapun ashluha tsabit adalah kalimat “Lailahaillah” tertancap dalam hati orang mukmin. Wa far’uha fis sama’ artinya berkat kalimat tersebut amal orang mukmin dinaikkan ke langit.

Bagi al-Dhahhak, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, dan Mujahid, mengatakan bahwa sesungguhnya ayat ini menerangkan perumpamaan tentang amal perbuatan orang mukmin. Yakni, tutur katanya baik, dan amalnya yang shalih. Dan orang mukmin dianalogikan seperti pohon kurma. Hal ini karena amal shalihnya terus merangkak naik, menjulang tinggi ke atas langit baginya di setiap waktu pagi dan petang.


Baca juga:Kunci Kemajuan Pendidikan Islam Terletak pada Learning by Doing


Pada ayat selanjutnya, redaksi tu’ti ukulaha kulla hinin bermakna setiap pagi dan malam. Ada yang berpendapat setiap bulan, setiap dua bulan. Pendapat lain mengatakan setiap tujuh bulan, atau setiap tahun.

Makna lahiriah konteks ayat ini menunjukkan bahwa perumpamaan orang mukmin sama dengan pohon yang selalu mengeluarkan buahnya setiap waktu. Demikian pula keadaan orang mukmin, yang amal shalihnya terus menerus menjulang tinggi kapan pun itu.

Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir, kata amtsal di sini bermakna dua yakni li kalimatil iman wa kalimatil isyrak. Kalimat iman diibaratkan seperti pohon yang baik, sedangkan kalimat isyrak diandaikan seperti pohon busuk. Ibnu Abbas berkata, kalimat iman yang digunakan sebagai matsal tersebut yakni kalimat thayyibah la ilaha illah.

Urgensi Metode Perumpamaan dalam Pendidikan Islam

Ayat di atas secara gamblang menyatakan bahwa Allah SWT membuat perumpamaan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit. Dia mengumpamakan kalimat yang baik (La ilaha illah) dengan pohon yang baik, dan sebaliknya. Perumpamaan-perumpamaan seperti banyak kita jumpai dalam Al Quran, baik bentuk jamak (amtsal) maupun mufrad-nya (matsal).

Dan tujuan Allah SWT membuat perumpamaan itu adalah agar manusia dapat mengambil hikmah dari perumpamaan itu. Dengan menggunakan amtsal pula, para peserta didik akan merasakan seolah-olah pesan yang disampaikan terlihat langsung dan sesuai dengan pengalaman hidupnya.

Metode matsal juga kerap kali digunakan oleh Rasulullah SAW untuk memperjelas sesuatu tatkala memberikan pengajaran kepada para sahabat. Di samping memberikan pengajaran, beliau juga menerapkan metode lain seperti teladan yang baik. Mengutip Yakhsyallah Mansur dalam ash-Shuffah-nya, ia menyebut metode perumpamaan (dharb al-amtsal) digunakan untuk memudahkan menyampaikan materi.


Baca jugaBelajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir Dan Musa


Dikisahkan suatu ketika Rasulullah SAW mendatangi para sahabatnya di emperan masjid. Lantas menanyakan, siapa di antara sahabatnya yang suka pergi ke lembah Batha’ dan al-Aqiq dan membawa pulang dua unta dengan punggung besar.

Para sahabat menjawab, “mereka gemar melakukan itu”

“Mengapa salah seorang dari kalian tidak pergi ke masjid lalu belajar dan membaca dua ayat Kitabullah (Al Quran) yang itu lebih baik ketimbang dua ekor unta.” Ucap Rasulullah (HR. Abu Nu’aim)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah mengumpamakan kegiatan belajar dengan unta yang gemuk. Melalui hal itu, Rasul SAW secara implisit mendorong agar para sahabatnya tetap semangat dalam menuntut ilmu.

Karenanya, metode matsal (perumpamaan atau analogi) memiliki peranan sentral dalam dunia pendidikan, sebab ruh pendidikan Islam itu sendiri senada dengan maqashid (tujuan) dikemukakannya matsal Alquran tersebut.Yakni di samping sebagai nasihat dan peringatan bagi manusia, juga dapat membantu mengakselerasi proses pemahaman yang berkenaan dengan tujuan pembelajaran.

Lebih-lebih, proses dinilai lebih lebih menarik, efektif dan efisien apabila dituangkan dalam cerita dan ungkapan yang indah. Dan, salah satu strateginya ialah dengan menerapkan metode amtsal. Wallahu A’lam.

Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

0
kisah alquran kisah terbaik
kisah alquran kisah terbaik

Setiap muslim meyakini bahwa kisah di dalam Al Quran adalah kisah terbaik. Namun saat mereka ditanya “Apa sebabnya?” Mereka hanya menjawab sebab kisah itu disebutkan di dalam Al Quran. Sebuah jawaban yang dangkal dan jauh dari pemahaman mendalam terhadap makna-makna Al Quran. Bahkan para pakar tafsir tidak ada yang memahami sesimpel itu.

Khazanah kitab tafsir berbicara panjang lebar lebih dari apa yang bisa seorang muslim biasa pelajari dari kisah-kisah Al Quran. Terutama yang mempelajari lewat terjemah. Keistimewaan kisah-kisah di dalam Al Quran tidaklah sebab hanya “menumpang” terhadap kemuliaan Al Quran. Namun sebab kisah-kisah tersebut memiliki banyak hal yang dapat dipelajari pembacanya.

Keistimewaan Kisah-Kisah di dalam Al Quran

Kisah atau dalam bahasa Arab di tulis قصة, menurut Ar-Raghib Al-Asfahani dalam kitab Mufradat fi Gharibil Qur’an, maknanya adalah bekas, jejak atau tapak tilas. Sedang “mengkisahkan” maknanya adalah mengulas suatu jejak atau sesuatu yang sudah terjadi (Mufradat Fi Gharibil Qur’an/ 404).

Ada hal lain yang dapat kita fahami selain bahwa makna “kisah” adalah sesuatu yang sudah terjadi, yaitu sesuatu yang sudah terjadi tidak akan dibahas kembali tanpa ada hal penting di dalamnya. Mengapa sesuatu yang sudah terjadi tidak ditinggalkan begitu saja? Mengapa masih terus diulas berulang-ulang? Tentu karena ada hal penting di dalamnya.

Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Kisah-kisah di dalam Al Quran adalah satu yang istimewa sebab tidak hanya ada hal penting di dalamnya, tapi juga karena Allah menyatakan ia adalah “kisah terbaik”, di beberapa ayat. Diantaranya Allah berfirman pada dua tempat di dalam Surat Yusuf:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ اَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ هٰذَا الْقُرْاٰنَۖ وَاِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الْغٰفِلِيْنَ

Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui. (Q.S. Yusuf [12]: 3)

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Yusuf [12]: 111)

Baca juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Beberapa Uraian Pakar Tafsir

Para pakar tafsir berkomentar panjang lebar tentang bagaimana kisah-kisah dalam Al Quran menjadi kisah yang terbaik:

Pertama, Imam Ibn ‘Asyur dalam Tafsir At-Tahrir Wat Tanwir menjelaskan bahwa kisah-kisah di dalam Al Quran menjadi kisah terbaik sebab ia disampaikan dengan susunan yang indah serta merupakan yang paling baik di antara kisah-kisah dengan tema sama di luar Al Quran (Tafsir At-Tahrir Wat Tanwir /7/223).

Ini dapat kita fahami, sebab selain karena Al Quran kitab sastra terbesar, kisah-kisah di dalamnya juga memiliki kelebihan. Di antaranya diperankan oleh sosok-sosok mulia seperti para nabi dan orang-orang salih. Sebagaimana film dan pertujukan teater akan menyedot perhatian bila pemerannya adalah tokoh terkenal, begitu pula sebuah kisah yang diceritakan.

Baca juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Kedua, Imam Al-Fahkru Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan tentang sebab turunnya Surat Yusuf. Suatu kali kaum Yahudi memberi ide para pembesar kafir Quraish, untuk bertanya perihal kisah berpindahnya Nabi Ya’qub dari kota Syam menuju kota Mesir serta kisah Nabi Yusuf, kepada Nabi Muhammad. Lalu Allah pun menurunkan ayat tentang kisah Nabi Yusuf. (Mafatihul Ghaib/8/492)

Kisah-kisah dalam Al Quran adalah kisah yang menjadi jawaban terhadap rasa penasaran orang-orang Yahudi. Hal ini menjadi kelebihan tersendiri sebab tak mungkin orang-orang yahudi yang notabene bersebrangan dengan Umat Islam, menanyakan sesuatu yang tak penting. Minimal sebagai petunjuk bagi mereka bahwa ada kaitan antara Islam dengan agama Yahudi.

Ketiga, kisah dalam Al Quran menjadi kisah terbaik, sebab menyinggung banyak hal dalam dinamika kehidupan manusia. Imam As-Suyuthi mengutip penjelasan Imam Al-Karmani, bahwa dalam Kisah Nabi Yusuf ada ada banyak hal tentang dinamika kehidupan manusia yang dapat di pelajari. Di antara tentang keberadaan pendengki dan orang yang ia dengki, pemimpin dan bawahan, orang yang rindu serta sosok yang dirindukan, serta tentang penjara dan diri yang tertekan (Al-Itqan/1/423).

Imam Al-Fahkru Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa dalam kisah Nabi Yusuf, pembaca bisa mempelajari tentang keberadaan iri dan dengki serta manfaat bersabar dalam menghadapinya (Mafatihul Ghaib/8/493). Munculnya rasa iri diantara saudara, apalagi saudara tiri, adalah suatu hal yang sering terjadi. Manusia bisa meneladani Kisah Nabi Yusuf untuk menghadapi hal-hal tersebut.

3 Model Interaksi Manusia dengan Al Quran Menurut Farid Esack

0
Model interksi dengan al Quran
Interaksi dengan al Quran

Al quran sebagai kitab suci meniscayakan interaksinya dengan manusia. Dengan begitu ada model interaksi manusia dengan al Quran. Gadanmer menyebut proses interaksi ini dengan ‘fusion of horizons’ (peleburan cakrawala pikiran pembaca dan penulis teks yang dibaca). Dengan pengertian demikian, manusia yang sedang berinteraksi dengan teks Alquran, selain dia memperoleh informasi yang tertuang di dalamnya (mereproduksi kandungan teks), ia juga dapat memproduksi pemahamannya sendiri tentang teks itu (memroduksi perspektif pribadi tentang teks). Dua benefit ini didapat bila ‘fusion of horizons terjadi dilakukan dengan baik.

Isi kepala dan latar belakang yang variatif menghasilkan model interaksi manusia dengan Al quran yang berbeda pula. Dalam bukunya, al-Qur’an: a Short Introduction, Farid Esack membagi model interaksi tersebut ke dalam 3 tingkatan.

Berikut 3 Model Interaksi Manusia dengan al Quran Menurut Farid Esack:

Pertama, the uncritical lover (pencinta yang tak kritis). Ini merupakan analogi bagi manusia yang menganggap suci Alquran. Ia menerima seluruh isinya, tidak pernah mempertanyakan atau bahkan mengkritisi sepenggal ayat pun dari Alquran.

Model interaksi pertama ini biasanya dapat dijumpai dalam masyarakat awam dan tradisi pengobatan atau pembacaan ayat al Quran sebagai ritual dan media pengobatan. Praktis, masyarakat yang memraktikkan ini pada umumnya menganggap Alquran sebagai sesuatu yang sakral dan tidak layak menjadi objek kritik.


Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi


Kedua, ‘the scholarly lover’ (pencinta yang akademisi). Model kedua ini adalah analagi bagi pencinta Alquran yang tidak mentah-mentah mencintai. Artinya, mereka menyodorkan sejumlah pertanyaan atau mendiskusikan isi Alquran untuk memperkuat cintanya.

Dengan kualifikasinya sebagai intelektualis, mereka menggali makna Alquran dari beragam aspek dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya, aspek sejarah, hikmah, struktuk kata dan keindahan sastra al Quran. Tentunya, ini dilakukan atas dasar semangat kecintaannya dengan Alquran sekaligus pembuktian Alquran adalah relevan dengan nalar manusia.

The scholary lover ini mencangkup para mufassir serta pakar keilmuan Alquran dan tafsir seperti at-Thabari, az-Zamakhsyari, al-Alusi, ad-Dhahabi, dan ilmuan muslim lain.

Ketiga, ‘the critical lover’ (pencinta yang mengkritik kandungan Alquran). Berbeda dengan tingkat pertama dan kedua, tingkat ketiga ini menjadi analogi bagi pencinta yang berani menjanggalkan kandungan Alquran. Kejanggalan ini timbul karena saking cintanya terhadap Alquran, sehingga tidak hanya pembuktian yang sudah mainstream, mereka menggunakan peranti ilmiah modern untuk turun menjadi alat pembuktian kebenaran Alquran.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?


Berbagai pendekatan modern, seperti antropologi, hermeunitika, sosiologi, bahkan filsafat dipakai sebagai pendekatan untuk berinteraksi dengan Alquran. Pendekatan anti mainstream ini dilakukan selain atas motif kecintaannya, juga karena keinginan untuk membuktikan bahwa al Quran dapat berdialog, berdialektika, dan senantiasa mampu menjawab tantangan zaman. Berangkat dari harapan itu, kelompok ketiga ini mengelaborasi Alquran sedemikian rupa agar menghasilkan pembaruan di masa sekarang (fresh from the oven). 

Tokoh yang termasuk tingkatan ketiga ini antara lain ialah Fazlur Rahman (penggagas double movement), Amina Wadud (penggagas hermeunitika tauhidik), Thalal Asad (pakar antropologi Islam),dan lain sebagainya.

Tiga tingakatan di atas merupakan klasifikasi umum yang mencangkup ilmuan muslim pengkaji Alquran. Faried Esack juga memiliki klasifikasi tersendiri untuk para pengkaji Alquran dari kalangan non muslim, yakni; ‘the friends of lover’ (teman bagi pencinta Alquran), ‘the voycur’ (pengkritik yang mencoba melemahkan Alquran), dan ‘the polemicist’ (pengkritik yang ‘negatif buta’ terhadap seluruh isi Alquran). Wallahu a’lam[]