Beranda blog Halaman 529

Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah

0
puasa asyura bentuk rasa syukur
puasa asyura bentuk rasa syukur (kaltim.tribunnews.com)

Puasa Asyura merupakan puasa yang dilakukan pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Hari ini mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain, karena di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa agung bersejarah yang patut diperingati sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt.

Muharam sendiri merupakan bulan yang mulia. Bahkan bulan yang paling utama diantara Asyhurul Hurum (bulan-bulan mulia), yakni rajab, dzulqa’dah, dzulhijjah dan Muharram. Para ulama sangat menganjurkan untuk memperbanyak amal saleh di bulan-bulan tersebut, dan pahala amal akan dilipatgandakan.

Di antara peristiwa tersebut adalah keselamatan Musa, as. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Peristiwa ini diabadikan dalan (QS. al-Baqarah [2]: 50)

وَاِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَاَنْجَيْنٰكُمْ وَاَغْرَقْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 50)

Peristiwa lainya adalah diterimanya taubat Adam as. (QS. al-Baqarah [2]:37), berlabuhnya bahtera Nuh as. setelah terjadi banjir bandang selama enam bulan (QS. al-Ankabut [29]: 15), diterimanya taubat umat nabi Yunus as. (QS. Yunus [10]: 98) dan terbebasnya Yunus as. dari perut ikan, dikeluarkannya  Yusuf as. dari sumur, dikembalikannya penglihatan Ya’qub as. sehingga dapat melihat seperti semula, selamatnya Ibrahim as. dari api Namrud. (Nihayatuz Zain, juz 1 hlm. 196-197).

Ketika menafsiri ayat di atas, Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa hari diselamatkannya Musa as. dan kaumnya adalah hari ‘Asyura. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: setibanya Rasulullah saw. di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa di hari Asyura. Lalu bertanya, kalian sedang puasa hari apa? (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Mereka menjawab, ini adalah hari yang baik, yaitu hari dimana Allah swt.menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka di hari ini Musa as. berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah swt. lalu Rasulullah saw. berkata: kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Kemudian beliau perpuasa, dan memerintah untuk perpuasa. (Ibnu Katsir, jilid 1, hlm. 63).

Pada ayat di atas, Az-Zuhaili dalam tafsirnya menyebutkan tentang alasan puasa di hari Asyura,

وكان الإنجاء عيدا، مستوجبا شكر الإله، وصار يوم عاشوراء وهو اليوم العاشر من شهر المحرّم يوم صيام الشكر

“Dan hari keselamatan (dari kejaran fir’aun) ialah hari Ied (kebahagiaan), yang semestinya dibalas dengan rasa syukur kepada Tuhan. Dan hari Asyura (hari ke 10 dari bulan Muharram) menjadi hari puasa untuk syukur. (Tafsir al-Munir)

Makna Syukur dan Hikmahnya

Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyebutkan maksud syukur kepada Allah swt., yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Dalam konteks ini, Implementasi bersyukur atas suatu karunia telah dipraktikkan Musa as. ketika selamat dari Fir’aun, dan Nuh as. ketika selamat dari banjir bandang, keduanya berpuasa pada hari Asyura.  Begitu pula Rasulullah saw. mensyukuri hari tersebut dengan puasa. (Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus)

Maka sudah sepantasnya kita menjadikan utusan-utusan Allah sebagai suri tauladan dalam mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, agar yang dikaruniakan tidak berganti adzab. Allah swt. telah berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. (Q.S. Ibrahim [14]: 7)

Ayat di atas merupakan kabar gembira bagi orang yang mensyukuri atas nikmat-nikmat-Nya, juga merupakan warning bagi yang mengkufurinya. Termasuk hikmah bersyukur adalah terjaganya nikmat yang telah dikaruniakan.

Ibnu Athaillah berpesan dalam kitabnya al-Hikam: “Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan, berarti ia telah berusaha untuk menghilangkan nikmat itu. Dan barangsiapa mensyukuri nikmat, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kuat.”  Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 125-126

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 125

Tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya dari orang yang melakukan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ada tiga macam ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan ketinggian suatu agama dan keadaan pemeluknya, yaitu:

  1. Menyerahkan diri hanya kepada Allah,
  2. Berbuat kebaikan, dan
  3. Mengikuti agama Ibrahim yang hanif.

Seseorang dikatakan menyerahkan diri kepada Allah, jika ia menyerahkan seluruh jiwa dan raganya serta seluruh kehidupannya hanya kepada Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Karena itu ia hanya berdoa, memohon, meminta pertolongan dan merasa dirinya terikat hanya kepada Allah saja.

Ia langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada sesuatu pun yang menghalanginya. Untuk mencapai yang demikian seseorang harus mengetahui dan mempelajari sunah Rasul dan sunatullah yang berlaku di alam ini, kemudian diamalkannya karena semata-mata mencari keridaan Allah.

Jika seseorang benar-benar menyerahkan diri kepada Allah, maka ia akan melihat dan merasakan sesuatu pada waktu melaksanakan ibadahnya, sebagaimana yang dilukiskan Rasulullah saw:

قَالَ يَا رَسُوْلُ الله مَا اْلاِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ الله َكَأَنَّكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ

(رواه البخاري عن أبي هريرة)

Jibril bertanya ya Rasulullah, “Apakah ihsan itu?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (Riwayat al-Bukhār³ dari Abu Hurairah)

Mengerjakan kebaikan adalah manifestasi dari pada berserah diri kepada Allah. Makin sempurna penyerahan diri seseorang, makin baik dan sempurna pula amal yang dikerjakannya. Di samping mengerjakan yang diwajibkan, seseorang sebaiknya melengkapi dengan yang sunah dengan sempurna, sesuai dengan kesanggupannya.

Mengikuti agama Ibrahim yang ¥an³f ialah mengikuti agama Ibrahim yang lurus yang percaya kepada keesaan Allah, yaitu kepercayaan yang benar dan lurus. Allah berfirman:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖٓ اِنَّنِيْ بَرَاۤءٌ مِّمَّا تَعْبُدُوْنَۙ  ٢٦  اِلَّا الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَاِنَّهٗ سَيَهْدِيْنِ   ٢٧  وَجَعَلَهَا كَلِمَةً ۢ بَاقِيَةً فِيْ عَقِبِهٖ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَۗ   ٢٨

Ayat 126

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,(27) kecuali (kamu menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (28) Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (az-Zukhruf/43:26-28)

Sekalipun ada perintah agar mengikuti agama Ibrahim, bukanlah berarti bahwa Ibrahim-lah yang pertama kali membawa kepercayaan tauhid, dan agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya tidak berasaskan tauhid. Maksud perintah mengikuti agama Nabi Ibrahim ialah untuk menarik perhatian bangsa Arab, sebagai bangsa yang pertama kali menerima seruan agama Islam. Ibrahim a.s. dan Ismail adalah nenek moyang bangsa Arab.

Orang Arab waktu itu amat senang mendengar perkataan yang menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut agama Nabi Ibrahim, sekalipun mereka telah menjadi penyembah berhala. Dengan menghubungkan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim akan menarik hati dan menyadarkan orang Arab yang selama ini telah mengikuti jalan yang sesat.

۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى

Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa … (asy-Syµra/42:13)

Agama yang dibawa Nabi Muhammad bukan saja sesuai dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, tetapi juga berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa yang diutus sesudah Nabi Ibrahim. Demikian pula agama Islam berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah terdahulu.

Perintah mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim di sini adalah karena kehidupan Ibrahim dan putranya Ismail dapat dijadikan teladan yang baik serta mengingatkan kepada pengorbanan yang telah dilakukannya dalam menyiarkan agama Allah. Hal ini dapat pula dijadikan iktibar oleh kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir yang selalu berusaha menghancurkan Islam dan Muslimin.

Ibrahim telah menjadi kesayangan Allah, karena kekuatan iman, ketinggian budi pekertinya dan keikhlasan serta pengorbanannya dalam menegakkan agama Allah. Seakan-akan Allah menyatakan bahwa orang yang mengikuti jejak dan langkah Nabi Ibrahim dan hal ini tampak dalam tingkah laku dan budi pekertinya, berhak menamakan dirinya sebagai pengikut Ibrahim.

Bukan seperti orang Yahudi, Nasrani dan orang musyrik Mekah yang mengaku sebagai pengikut Nabi Ibrahim, tetapi mereka tidak mengikuti agama yang dibawanya dan tidak pula mencontoh budi pekertinya.

(126) Ayat ini menegaskan tentang kekuasaan Allah atas alam semesta, sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Ayat ini merupakan penutup dari ayat-ayat yang sebelumnya, dan mengandung beberapa hikmah:

  1. Untuk mengingatkan bahwa Allah Mahakuasa, pemilik seluruh alam, karena itu Dia pasti menepati janjinya yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu.
  2. Untuk menerangkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk berserah diri, mohon pertolongan, mengemukakan harapan, bukan kepada yang lain, karena yang selain Allah adalah milik-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
  3. Untuk menjelaskan maksud perkataan Ibrahim Khalilullah (Ibrahim kesayangan Allah), dengan adanya ayat ini jelaslah bahwa Ibrahim itu bukanlah teman Allah, seperti anggapan sebagian Ahli Kitab, tetapi hamba kesayangan-Nya, karena ia tunduk dan berserah diri kepada Allah, selalu berkorban dan berbuat baik. Ibrahim adalah milik Allah, seperti makhluk yang lain, bukanlah orang yang berserikat dengan Allah dalam memiliki alam ini.

(Tafsir Kemenag)

Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

0
Abdullah Ibn Abbas
Abdullah Ibn Abbas credit: www.alkawthartv.com

Setelah membahas sedikit pengantar mengenai aktivitas penafsiran di era Sahabat, kali ini kita akan membahas masing-masing penafsir yang terkenal dan dijadikan rujukan. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa ada 10 orang sahabat yang paling terkenal di era ini sebagai rujukan utama penafsiran. Salah satu dari 10 sahabat tersebut ialah Abdullah Ibn Abbas.

(BacaJuga: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?)

Sekilas Tentang Ibn Abbas

Nama lengkapnya ialah Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Sejak kecil ia telah istimewa. Ia lahir saat Rasulullah serta keluarganya sedang berada di Mekkah dan waktu itu sekitar 13 tahun sebelum Hijriyyah. Sebagai bagian dari ahlu bait, Rasulullah pun mendatanginya serta men-tahniknya langsung. Adanya faktor kekerabatan dengan Rasulullah juga membuatnya dapat ber-mulazamah langsung dengan Rasul sejak kecil.

Pada saat Rasulullah wafat, ia baru menginjak usia remaja. Dikatakan bahwa umurnya pada saat itu sekitar 13-15 tahun. Maka kemudian ia pun ber-mulazamah dengan para pembesar di kalangan sahabat dan banyak mengambil ilmu serta riwayat-riwayat hadis dari mereka.

Ia pun  wafat dan dimakamkan di Thaif dan usianya saat itu dikatakan sekitar 68-70 tahun. Selepas dimakamkan, ada sebuah ungkapan yang mempersaksikan tingginya derajat ilmu Ibn Abbas, “Demi Allah telah wafat tinta (ilmu) umat ini”.

Level Keilmuan

Sebab tingginya level keilmuannya, Abdullah Ibn Abbas mendapat laqob  al-habr (tinta ilmu) dan al-bahr (lautan ilmu). Dalam majlis Ibn Abbas, Umar ibn Khattab dan para sahabat memujinya dengan berbagai pujian. Mulai dari fisik, etika, keilmuan hingga keluhuran batinnya. Umar ibn Khattab juga tak jarang meminta nasihat dari Ibn Abbas tatkala mendapati masalah yang susah untuk dipecahkan.

Ada beberapa hal yang dikatakan menjadi penyebab kecerdasan Ibn Abbas. Pertama, doa yang diberikan Rasul kepadanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa doa yang dimohonkan langsung oleh Nabi untuk Ibn Abbas telah menjadikannya sosok yang faqih dalam urusan agama serta memahami takwil dari ayat-ayat al-Qur’an.

Kedua, Ibn Abbas tumbuh dan berkembang di lingkungan terdekat dengan Rasulullah. Sebagai bagian dari ahlu bait Rasulullah, Ibn Abbas memiliki akses yang lebih mudah untuk ber-mulazamah dengan Rasul. Dari sanalah ia mendapati banyak kisah serta konteks yang membersamai turunnya ayat. Sebagaimana yang dikatan oleh al-Wahidi bahwa pengetahuan mengenai kisah dan konteks yang mengiringi ayat (asbab al-nuzul) sangat berpengaruh terhadap ketepatan dalam memahami ayat.

Ketiga, ber-mulazamah dengan para pembesar sahabat setelah wafatnya Nabi. Melalui para sahabat ini, Ibn Abbas mendapatkan banyak ilmu yang ia belum dapati selama bersama Nabi. Dalam sebuah riwayat, Ibn Abbas berbicara tentang dirinya yang tidak sungkan serta tetap menjaga adab dalam meminta ilmu kepada para sahabat.

Keempat, kemapanan penguasaan bahasa Arab. Ibn Abbas dikenal sebagai sahabat yang memahami seluk-beluk bahasa Arab secara komprehensif. Mulai dari struktur/ uslub, lafaz gharib, sastra serta syair-syair Arab. Penguasaan bahasa yang komprehensif memperkaya pemahamannya dalam memaknai al-Qur’an. Kelima, telah sampai pada level mujtahid serta berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya sebagai kebenaran.

Hal Menarik Seputar Ibn Abbas

Ada salah satu hal menarik yang bisa didiskusikan mengenai Ibn Abbas yakni benarkah Ibn Abbas gemar mengambil informasi dari ahli Kitab dalam menafsirkan al-Quran?

Selain dengan tafsir Nabi, kemudian ijtihad dengan berbagai ilmu seperti asbab al-nuzul serta faktor eksternal seperti ilham, Ibn Abbas juga dikatakan kerapkali mengutip informasi dari ahlu kitab dalam menafsirkan al-Qur’an. Terkhusus pada ayat-ayat mujmal yang didapati tafshil­-nya dalam Taurah maupun Injil.

Maka sebenarnya bagaimana sikap Ibn Abbas terhadap informasi dari ahlu Kitab? Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa baik Ibn Abbas maupun sahabat lainnya memang dahulu seringkali bertanya kepada para Ulama Yahudi yang mengakui Islam sebagai agama. Akan tetapi mereka tidak menanyakan hal-hal yang menyentuh Aqidah.

Adapun hal-hal yang dipertanyakan adalah mengenai kisah-kisah serta khabar-khabar masa lampau. Informasi itupun tidak langsung diterima begitu saja melainkan difilter terlebih dahulu. Maka informasi-informasi yang diterima itulah yang dijadikan sebagai tambahan referensi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang harus dipahami melalui jalur ijtihad sebab ketiadaannya riwayat tafsir Nabi.

Diskursus menarik seputar Abdullah Ibn Abbas ini menjadi inspirasi dalam melakukan penelitian. Di mana penggunaan riwayat-riwayat Israiliyyah dalam penelitian dapat dibenarkan untuk mendapatkan rekonstruksi konteks yang lebih komprehensif khususnya dalam kajian yang menjadikan konteks historis sebagai elemen penting, seperti dalam memahami ayat eticho-legal. Namun juga tetap melakukan filterisasi agar terhindar dari informasi yang mungkin menyebabkan keraguan dalam aqidah serta kesalahan dalam memahami redaksi ayat al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 123-124

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 123

Tidak ada keistimewaan bagi seseorang, kecuali dengan amal baktinya dan tidak mungkin ia luput dari azab Allah dan mustahil ia masuk surga semata-mata dengan mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling baik dan sempurna, serta nabi-nabi dan rasul-rasul yang mereka ikuti adalah yang paling tinggi derajatnya dalam pandangan Allah, seperti yang dikatakan Ahli Kitab itu.

Hendaklah orang yang beriman mengerjakan amal yang saleh, melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya karena pahala itu diberikan Allah berdasarkan amal yang dilakukan dengan ikhlas, bukan berdasarkan perkataan dan angan-angan kosong. Allah mendatangkan agama bukan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga dengan agama itu, tetapi agama didatangkan untuk diamalkan dan dilaksanakan.

Di antara sebab yang menimbulkan salah sangka dan angan-angan yang demikian, ialah karena kesalahan manusia dalam memahami agama atau mereka sengaja berbuat demikian agar dianggap lebih tinggi dari umat atau bangsa yang lain, karena Allah mengangkat nabi-nabi atau rasul-rasul dari bangsa-bangsa mereka.

Dengan kemuliaan dan kemaksuman (terpelihara dari dosa) nabi-nabi dan rasul-rasul itu, mereka merasa telah mendapatkan kemuliaan dan terpelihara pula dari azab Allah. Karena itu menurut anggapan mereka, mereka akan masuk surga dan terlepas dari siksa neraka, tanpa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.

Persangkaan dan angan-angan kosong yang demikian telah menjalar pula di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Sikap yang demikian telah dinyatakan pula oleh Ahli Kitab, sebagaimana tersebut dalam ayat lain:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصٰرٰى نَحْنُ اَبْنٰۤؤُا اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗ

Orang Yahudi dan Nasrani berkata, ”Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” … (al-Ma’idah/5:18)

;وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً

Dan mereka berkata, ”Neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hari saja.” … (al-Baqarah/2:80)

Setiap kejahatan yang dilakukan manusia, akan dibalas Allah, karena segala macam perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh seseorang, tanggung jawabnya dipikul oleh orang yang mengerjakannya, tidak dipikul oleh orang lain. Karena itu orang yang benar-benar beriman hendaklah meneliti dan memperhitungkan setiap pekerjaan yang akan dikerjakannya, sehingga sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Zuhair, bahwa pada waktu turunnya ayat ini Abu Bakar sangat memperhatikannya dan merasa khawatir. Maka beliau bertanya kepada Rasulullah saw, “Siapakah yang selamat berhubungan dengan ini ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Apakah kamu tidak pernah susah, apakah kamu tidak pernah sakit, dan apakah malapetaka tidak pernah menimpamu?” Abu Bakar menjawab, “Pernah ya Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Itulah dia (pembalasan dari kesalahanmu).”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini kaum Muslimin merasa berat dan sampailah kepada mereka apa yang dikehendaki Allah,” maka mereka mengadu kepada Rasulullah saw. Rasulullah menjawab, ”Ambillah tempat olehmu dan saling mendekatlah, sesungguhnya setiap musibah yang menimpa manusia itu adalah sebagai tebusan (bagi perbuatannya) sampai kepada duri yang menusuknya dan musibah yang menimpanya.”

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa segala musibah yang menimpa manusia baik kecil maupun besar, sedikit atau banyak adalah sebagai balasan dari kelalaian, kesalahan dan perbuatan buruk yang telah dilakukannya, karena mereka tidak lagi berjalan mengikuti sunatullah. Allah berfirman:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (asy-Syµra/42:30)

Sebagian mufasir berpendapat bahwa musibah yang menimpa manusia di dunia ini tidak dapat menghapus azab di akhirat, kecuali bila yang ditimpa musibah itu berusaha menghapus kesalahan dan tindakan buruknya dengan amal yang saleh, dengan menguatkan imannya, dengan meninggalkan perbuatan jahat dan bertobat selama ia hidup di dunia. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang mengerjakan kejahatan pasti mendapat azab dari Allah dan ia tidak mempunyai penolong dan pelindung selain Allah untuk menghindarkan diri dari azab itu, dan setan yang menjanjikan perlindungan dan pertolongan itu tidak kuasa menenepati janjinya.

Ayat 124

Orang yang beramal saleh dan membersihkan dirinya sesuai dengan kesanggupannya, memperbaiki budi pekertinya, memperbaiki hubungannya dengan orang lain dalam pergaulannya di masyarakat dan orang yang tidak mau mengikuti tipu daya setan, Allah berjanji membalas kebaikan mereka dengan balasan yang sempurna dengan menyediakan surga bagi mereka, dan Allah tidak akan mengurangi pahala amalan mereka walau sedikit pun.

Ayat ini merupakan peringatan dan pelajaran bagi kaum Muslimin bahwa manusia tidak dapat menggantungkan harapan dan cita-citanya semata-mata kepada angan-angan dan khayalan belaka, tetapi hendaklah berdasarkan usaha dan perbuatan. Orang yang berbangga-bangga dengan keturunan dan bangsa mereka adalah orang yang sesat, tidak akan mencapai apa yang dicita-citakannya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

0
menunaikan zakat
menunaikan zakat

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah zakat. Secara bahasa, zakat berarti bersih, suci dan baik. Sedangkan jika ditinjau dari istilah fiqih, zakat adalah harta tertentu yang wajib diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Perintah kewajiban zakat ini bisa kita temukan di beberapa ayat dalam Alquran, seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 43 yang berbunyi:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ  

“Dririkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Rasulullah saw. juga menegaskannya dalam sebuah hadis:

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقَامِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَان 

“Islam dibangun di atas lima hal: kesaksian sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat, membayar zakat, haji, dan puasa ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim)

Dua dalil otoritatif di atas menjadi dasar yang kuat tentang kewajiban zakat. Berdasar hadis Nabi itu pula zakat menjadi salah satu rukun Islam. Zakat wajib ditunaikan oleh orang Islam yang sudah memenuhi persyaratan. Seperti apa teknis menunaikan zakat?

Dalam tafsir al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, dikatakan bahwa jika zakat hanya diartikan sebagai tindakan mengeluarkan bagian dari harta tertentu maka definisi tersebut dirasa masih kurang sempurna. Zakat itu tidak sekadar memberikan bagian harta yang dimiliki sehingga berkurang, melainkan zakat adalah bentuk pengembangan harta secara positif serta manifestasi akhirat bagi pemiliknya. Ini yang kemudian diistilahkan Al-Qurtubi dalam tafsirnya dengan yanmu bil barakah aw bil ajril ladzi yutsabu bihil muzakki.

Selain itu, penting juga diketahui bahwa zakat adalah bentuk pembersihan dan penyucian harta yang dimiliki oleh seseorang, sebagaimana disinggung dalam surat At-Taubah [9] ayat 103. Ini sejalan dengan arti zakat secara bahasa, yaitu bersih, suci dan baik. Untuk itu, agar yang dimiliki itu bersih, baik dan juga barakah, bernilai pahala juga bagi pemiliknya, maka tunaikanlah zakat!

Sesuai jenisnya, zakat terbagi menjadi dua: zakat mal dan zakat fitrah. Terdapat tiga komponen utama yang harus dipenuhi agar zakat bisa dilaksanakan sesuai dengan prosedur, yaitu ada harta yang dizakati, orang yang memberi zakat (muzakki) dan golongan penerima zakat (mustahiq).

Pertama, harta yang wajib dizakati. Dalam literatur fiqih, ada 5 jenis harta yang berkewajiban untuk dizakati: al-mawasyi (binatang ternak) berupa kambing, sapi dan unta, az-zuru’ (hasil pertanian) yang lebih khusus pada bahan makanan pokok, ats-atsman (barang berharga) yang dikhususkan pada emas dan perak, buah-buahan, dan barang dagangan, dan baru-baru ini ada zakat profesi (penghasilan)

Kedua, muzakki. Ia harus beragama Islam, merdeka, dan memiliki harta yang terhindar dari hutang. Harta yang wajib dizakati harus mencapai pada nishab (batas minimal kadar harta yang wajib zakat). Kadar harta tersebut setelah dikurangi dengan pengeluaran biaya hidupnya serta orang-orang yang berada dalam tanggungannya.

Ketiga, orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiqqun). Hal ini telah disebutkan secara jelas dalam Alquran. Allah berfirman dalam surat At-Taubah [9]: 60

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Berikut penjelasan tentang delapan orang yang berhak menerima zakat:

  1. Fakir, mereka adalah orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tanggungannya.
  2. Miskin, orang yang memiliki harta atau pekerjaan tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhannya.
  3. Amil adalah panitia penerima dan pengelola dana zakat.
  4. Muallaf, merupakan orang yang dianggap masih lemah imannya karena baru masuk Islam.
  5. Riqab yaitu hamba sahaya atau budak.
  6. Gharim, yakni orang yang memiliki hutang, menanggung hutang, dan tidak sanggup membayarnya.
  7. Sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah)
  8. Ibn Sabil, orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan, musafir, dan para pelajar perantauan.

Perlu kita tahu bahwa sifat kewajiban zakat adalah ma’lum minad din bid dharuriy (ajaran agama yang telah diketahui pasti secara umum). Oleh sebab itu, jika kewajibannya diingkari, maka akan berdampak kufur, karena dengan sadar ia mengingkarinya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat FarduTafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

Selain itu, zakat secara subtansial termasuk dari kewajiban yang mempunyai dua sisi tinjauan. Pertama yaitu ta’abbudi (penghambaan diri kepada Tuhan). Di bagian ini berarti zakat menjadi urusan antara manusia dengan Allah. Kedua, sisi sosial, karena melihat pada tujuan utamanya, yaitu pemenuhan kebutuhan mustahiqqun. Tinjauan yang kedua ini, berarti zakat merupakan bentuk kepedulian sosial sesama umat.

Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 119-122

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 119

Pada ayat ini diterangkan tindakan dan usaha setan dalam menggunakan potensi jahat yang ada pada manusia, agar cita-citanya mencelakakan manusia dapat tercapai yaitu dengan:

  1. Berusaha memalingkan manusia dari kepercayaan yang benar dengan mengaburkan petunjuk Allah ke jalan yang benar, sehingga mereka tersesat dan menempuh jalan yang diinginkan setan.
  2. Berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan khayalan-khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, sehingga mereka memandang baik segala perbuatan yang dilarang, serta menanamkan di dalam hati dan pikirannya bahwa kesenangan hidup di dunia itu adalah kesenangan yang pasti tercapai sedang kesenangan dan kebahagiaan di akhirat adalah kesenangan yang diragukan adanya.
  3. Berusaha menyesatkan manusia dengan menjadikan mereka memandang haram suatu perbuatan yang halal, sebaliknya memandang yang halal sebagai sesuatu perbuatan yang haram, sebagaimana yang terdapat di kalangan Arab jahiliah. Menurut kepercayaan Arab jahiliah sebagian binatang yang akan dikorbankan untuk berhala dipotong atau dibelah telinganya.

Bila binatang itu telah dipotong atau dibelah telinganya berarti telah menjadi kepunyaan berhala, karena itu tidak boleh lagi dikendarai atau dipergunakan untuk suatu keperluan; binatang itu dibiarkan lepas dan tidak boleh diganggu seorang pun.

  1. Mengubah ciptaan Allah, menurut sebagian mufasir, ialah mengubah ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah, seperti mengebiri orang laki-laki agar ia dapat dijadikan penjaga istri-istri atau budak-budak perempuan seorang pembesar, sebagaimana yang banyak dilakukan di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri lain zaman dahulu. Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan ciptaan Allah ialah agama Allah, karena agama Allah telah menjadi fitrah bagi manusia. Allah berfirman:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rµm/30:30)

Manusia diciptakan Allah mempunyai fitrah beragama tauhid, mengakui keesaan Allah, tidak bersekutu dengan sesuatu, hanya Allah saja yang berhak disembah. Seandainya ada manusia tidak mengakui keesaan Allah, berarti pengaruh lingkungan alam sekitarnya telah mengalahkan fitrahnya. Termasuk yang mempengaruhi manusia itu ialah usaha setan untuk melenyapkan naluri itu, sebagai yang disebutkan hadis:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حَمَّادِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: اِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاحْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ

(رواه مسلم)

Dari ‘Iyād bin Hammād, Bersabda Rasulullah saw, berfirman Allah ‘Azza wajalla, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku cenderung kepada (agama-Ku), maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan itu memalingkan mereka dari agamanya dan ia mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.” (Riwayat Muslim)

Allah memperingatkan hamba-Nya dengan pernyataan bahwa barang siapa yang mengikuti bisikan, tipu daya dan keinginan setan berarti dia telah jauh dari rahmat dan karunia-Nya dan telah merugi di dunia (dan di akhirat), karena setan itu selalu berusaha menggunakan segala kelemahan manusia untuk melaksanakan janjinya kepada Allah.

Ayat 120

Setan selalu menjanjikan yang muluk-muluk dan menimbulkan angan-angan kosong serta menimbulkan khayalan-khayalan di dalam hati dan pikiran manusia. Jika seseorang ingin menafkahkan hartanya di jalan Allah dibisikannyalah kepada orang itu bahwa menafkahkan itu mengakibatkan kemiskinan, dan dijanjikan kesenangan dan kemuliaan bila manusia itu kikir. Kepada penjudi diiming-imingi kebahagiaan dan kekayaan tanpa usaha, kepada peminum khamar dibisikkannya kegembiraan dan kesenangan bila seseorang telah mabuk dan sebagainya.

Termasuk di dalam janji setan, ialah janji dan iming-iming yang ditanamkan kepada orang-orang yang mau melanggar larangan-larangan Allah untuk kepentingan dirinya. seperti pangkat, kehormatan dan sebagainya. Janji setan itu tidak lain hanyalah tipuan belaka, tidak ada satupun yang akan dapat ditepatinya dan tidak dapat diharapkan hasilnya sedikit pun, seperti janji dan angan-angan yang ditanamkan kepada penjudi, peminum khamar, pezina, orang yang gila pangkat dan gila hormat. Mereka mengkhayalkan kesenangan dan kebahagiaan dari hasil perbuatan mereka itu, tetapi hasil itu tidak pernah mereka nikmati.

Ayat 121

Karena orang-orang yang mengikuti dan memenuhi keinginan setan telah sesat, maka buku amalannya telah dipenuhi oleh perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu, tempat mereka adalah neraka Jahanam, mereka tidak dapat keluar dari padanya, karena tidak mempunyai suatu kebaikan yang dapat membebaskan dan menyelamatkan mereka dari azab neraka itu.

Ayat 122

Orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka tidak terperdaya dengan godaan setan, mereka tidak mau menjadi pembantu setan, mereka mengikuti petunjuk-petunjuk Allah, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Mereka diberi balasan dengan surga yang penuh nikmat, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalam surga, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat mengeluarkan mereka dari tempat yang penuh kesenangan dan kebahagiaan.

Itulah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bukan janji palsu, bukan pula angan-angan kosong yang tidak ada hasilnya yang dibisikkan setan, tetapi janji yang pasti ditepati, karena yang menjanjikan itu adalah Yang Mahakuasa, Maha Perkasa, Mahakaya, Pemilik seluruh alam. Janji setan mustahil ditepati, karena dia sendiri tidak mempunyai kesanggupan untuk menepatinya. Allah berfirman:

وَقَالَ الشَّيْطٰنُ لَمَّا قُضِيَ الْاَمْرُ اِنَّ اللّٰهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُّكُمْ فَاَخْلَفْتُكُمْۗ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطٰنٍ اِلَّآ اَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِيْ ۚفَلَا تَلُوْمُوْنِيْ وَلُوْمُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ مَآ اَنَا۠ بِمُصْرِخِكُمْ وَمَآ اَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّۗ اِنِّيْ كَفَرْتُ بِمَآ اَشْرَكْتُمُوْنِ مِنْ قَبْلُ ۗاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, ”Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim/14:22).

(Tafsir Kemenag)

Belajar Ontologi Filsafat dari Kisah Nabi Ibrahim

0
Filsafat Nabi Ibrahim
Filsafat Nabi Ibrahim

Ontologi filsafat merupakan satu dari tiga bagian cabang filsafat yang mengulas tentang hakikat yang ada. Islam mengistilahkan ontologi dengan al-wujud (tidak hanya tampak secara kasat mata). Nabi Ibrahim pernah menggunakan al-wujud tatkala memperingatkan, membantah dan mementahkan keyakinan ayah dan kaumnya kala itu. Bahwa apakah pantas menjadikan berhala sebagai tuhan? Atau bintang, dan segala benda yang muncul dan tenggelam bisa dianggap sebagai tuhan?

Melalui pertanyaan ini, Nabi Ibrahim ingin menyampaikan pesan tersirat bahwa pentingnya memahami sesuatu dengan menggunakan al-wujud. Bukan ontologi yang didefinisikan oleh Barat yang hanya berpatok pada sesuatu yang terlihat atau tampak secara kasat mata. Kisah Nabi Ibrahim ini diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya Q.S. al-An’am [6]: 74,

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. al-An’am [6]: 74)

Tafsir Surah al-An’am Ayat 74

Ayat ini dan ayat berikutnya pada bahasan selanjutnya menguraikan sekelumit pengalaman Nabi Ibrahim a.s “menemukan” Allah swt. Serta bantahan beliau terhadap tesis bahwa Tuhan ya berhala itu. Kaum musyrikin yang selalu mempertuhankan bintang-bintang, membuat dan mengada-ada bahwa setiap bintang yang mereka puja dapat menolongnya.

Al-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya nama ayah Nabi Ibrahim bukanlah Azar, melainkan Tarikh (Terakh). Sedangkan ibunya bernama Syani. Istri Nabi Ibrahim adalah Sarah dan Siti Hajar, budak Nabi Ibrahim. Dalam riwayat yang lain Mujahid dan al-Saddi mengatakan bahwa Azar adalah nama berhala. Berdasarkan pendapat ini, dia (ayah Nabi Ibrahim) dikenal dengan Azar sebab dialah yang menjadi pelayan dan pengurus berhala-berhala itu. Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Surat As-Saffat Ayat 102

Pertanyaan berikutnya yang muncul dalam redaksi ayat tersebut adalah atattakhidzu ashnaman alihatan (pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?). Ibnu Katsir menafsirkannya dengan Hai ayahku, pantaskah kamu menjadikan Azar sebagai berhala yang disembah. Secara kaidah kebahasaan (lughawy) hal ini jauh dari kebenaran, sebab lafal yang jatuh sesudah istifham (pertanyaan) tidak dapat beramal terhadap lafaz sebelumnya, mengingat huruf istifham berkedudukan di awal kalimat.

Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menyampaikan penafsiran falsasfi bahwa melalui ayat ini kita diingatkan bahwa pantaskah kita menjadikan berhala sebagai tuhan? Di mana berhala itu kita buat sendiri, memahat dengan tangan kita berbahan dasar batu, kayu, logam dan pohon.

Apabila kita menuhankan berhala-berhala tersebut sedangkan kita dianugrahi akal untuk berfikir, apakah tuhan itu diam, apakah tuhan itu berwujud patung?. Tentu tidak, jika kita sebagai manusia sadar bahwa dianugerahi akal oleh Allah swt. Maka, Nabi Ibrahim kala itu mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia beserta kelompoknya berada dalam kesesatan yang nyata (fi dhalalin mubin).

Lalu, Ibnu Katsir menguraikan maksud kesesatan yang nyata, yaitu mereka tersesat dan tidak mendapat petunjuk dari-Nya sehingga berjalan dalam keadaan gamang dan penuh kebingungan. Hal ini jelas bagi orang yang berakal waras. Karena menurut orang waras sebagaiamana dijelaskan dalam Tafsir al-Maraghi mana mungkin berhala lebih mulia dan tinggi kedudukannya ketimbang manusia.

Sedangkan Quraish Shibab dalam Tafsir al-Misbah lebih menekankan pada aspek penuturan dakwah Nabi Ibrahim kepada orang tuanya. Redaksi inni araka wa qaumaka, bukan redaksi makian. Nabi Ibrahim memperingatkan dengan bernada tegas bahwa apa yang dilakukan ayahnya atau pamannya adalah bentuk kesesatan yang nyata. Ini sangat wajar, dan dibenarkan. Baca juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran

Quraish Shihab mengatakan “Ia tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata Azar sebagai makian, karena hal ini bertentangan dengan sifat ajaran Islam yang selalu mengajak berdakwah dengan hikmah dan peringatan yang menyentuh serta diskusi yang sebaik-baiknya. Bahwa kalimatnya tegas adalah wajar dan dibenarkan karena ini adalah masalah akidah yang menyangkut persoalan prinsip.”

Sedangkan kalimat: Menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan mengandung kecaman serta penolakan mempertuhan berhala. Sekaligus penolakan terhadap politeisme (syirik).

Belajar Ontologi FIlsafat dari Nabi Ibrahim

Ayat di atas mengandung ontologi filsafat yang mendalam, berisi bantahan yang menukik tajam atas kemapanan kepercayaan lama (old paradigm) bahwa Tuhan ya berhala itu. Kepercayaan-kepercayaan semacam itu yang terklasifikasi dalam animisme dan dinamisme, dibantah.

Selain itu, dimentahkan oleh istifham (pertanyaan) ontologi filsafat Nabi Ibrahim kepada ayahnya melalui redaksi atattakhidzu ashnaman alihatan. Inni araka wa qaumaka fi dhalalin mubin (pantaskah berhala itu engkau jadikan Tuhan. Sungguh aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata).

Redaksi tersebut mengandung aspek ontologi filsafat yang sangat mendalam. Kita tahu bahwa ontologi filsafat dalam Islam diistilahkan dengan al-wujud. Istilah al-wujud mempunyai konsekuensi terhadap pemahaman dan penerapan cara berfikir manusia.

Jika Barat memaknai ontologi adalah hanya yang sekadar tampak terlihat secara kasat mata. Maka tak ayal mereka mengatakan kehidupan itu berasal dari air, udara, angin, dan sebagainya. Sedangkan Islam memahami hakikat yang ada sebagai al-wujud. Ia tidak hanya sekadar terlihat secara kasat mata, lebih dari itu mempunyai aspek yang metafisis (yang tak kasat mata).

Hal-hal semacam ini yang menyebabkan pemahaman umat Islam mampu menangkap pesan-pesan Alquran baik secara tersurat (qauliyyah) maupun tersirat (kauniyyah).

Karenanya, untuk memahami sesuatu kita tidak boleh melihat dari satu aspek atau menggunakan kacamata kuda. Melainkan komprehensif (secara menyeluruh) sehingga tidak terjebak pada kesesatan berpikir dan pada akhirnya kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ulul albab (orang-orang berakal). Wallahu A’lam.

Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

0
amalan sunnah 10 muharram
amalan sunnah 10 muharram (inibaru.id)

Amat banyak kita saksikan betapa beranekaragamnya amalan sunnah 10 Muharram di Indonesia. Berbagai macam selebrasi dan penyambutan tahun baru Islam gegap gempita. Bahkan terutama ketika memasuki hari kesepuluh sebagaimana kita kenal sebagai hari Asyura. Asyura sendiri diambil dari kata bahasa Arab yang berarti sepuluh. Banyak sumber dan penjelasan baik dari Al-Quran, Al-Hadits maupun ulama Nusantara kita terkait amalan sunnah 10 Muharram. Berikut penjelasannya,

Membaca Doa Asyura (Sepuluh Muharram)

بسم الله الرحمن الرحيم, اَللَّهُمَّ يَا مُفَرِّجَ كُلِّ كَرْبٍ, وَيَامُخْرِجَ ذِي النُّوْنِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاجَامِعَ شَمْلِ يَعْقُوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ،  وَيَاغَافِرَ ذُنُوْبِ دَاوُوْدَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاكَاشِفَ ضُرِّ أَيُّوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَاسَامِعَ دَعْوَتِيْ مُوْسَى وَ هَرُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ،  وَيَاخَالِقَ رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَبِيْبِكَ وَمُصْطَفَاكَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ, وَيَارَحْمَنَ الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ, لَاإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ, إِقْضِ حَاجَتِي فِى الدُّنْيَا وَ الْأَخِرَةِ, وَأَطُلْ عُمْرِي فِي طَاعَتِكَ وَمَحَبَّتِكَ وَرِضَاكَ يَأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ, وَأَحْيِنِي حَيَاةً طَيِّبَةً وَتَوَفَّنِى لِلْاِسْلَامِ وَ الْإِيْمَانِ, يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Adapun keutamaan membaca doa tersebut, “Barang siapa yang membaca doa ini, maka semua hajat di dunia dan di akhirat akan diberi kemudahan oleh Allah dan diberi keberkahan atas usia yang taat kepada Allah serta dilimpahkan kehidupan yang baik dan khusnul khatimah”.

Mengerjakan Shalat Tasbih

Pelaksanaan shalat tasbih ini dikarenakan banyaknya bacaan tasbih di dalamnya. Amaliyah kedua ini berdasarkan penjelasan dalam kitab Nihayah al-Zain karya Imam Nawawi al-Bantani. (Baca juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam)

Berpuasa

Keutamaan melaksanakan puasa di hari Asyura ini, berdasarkan Riwayat al-Baihaqi, Muslim dan Ibnu Hibban, yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

عن أبي قتادة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “صيام يوم عرفة كفارة السنة والسنة التي تليها, وصيام يوم عاشوراء يكفر سنة

“Puasa hari Arafah adalah penglebur (dosa) satu tahun dan tahun setelahnya, dan puasa hari Asyyura( hari kesepuluh bulan Muharram) mampu mengelebur (dosa) satu tahun.

Bersedekah

Amalan bersedekah ini sebagaimana keterangan Hadis berikut;

وَمَنْ تَصَدَّقَ فِيْهِ بِصَدَقَةٍ فَكَأَنَّمَا لَمْ يَرُدَّ سَائِلًا قَطُّ

Barangsiapa yang bersedekah pada hari tersebut (hari Asyura), maka seakan-akan ia tidak pernah menolak orang yang meminta-minta. (Baca juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya)

Memberikan Tambahan Nafkah kepada Keluarganya

Hal ini sebagaimana yang di riwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitabnya;

عن عبد الله، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَزَلْ فِيْ سَعَةٍ  سَائِرَ سَنَتِهِ

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa melonggrakan nafkah atas keluarganya pada hari Asyura maka ia akan selalu dalam kemudahan selama satu tahunnya” (Baca juga: Inilah Larangan di Bulan Haram yang Perlu Diketahui)

Mandi Sunnah

Amalan ini sebagaimana keterangan Hadis:

وَمَنْ اغْتَسَلَ وَطَهَّرَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِيْ سَنَتهِ اِلَّا مَرْضَ المَوْتِ

Barangsiapa mandi sunnah dan bersuci pada hari (Asyura) maka tidak akan mengalami sakit pada tahun itu kecuali sakit yang berupa kematian. (HR. Ath-Thabrani)

Menenjenguk Orang Sakit

Amalan ini berdasarkan keterangan Hadist;

وَمَنْ عَادَ مَرِيْضَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا عَادَ مَرْضَى أَوْلاَدِ اَدَمَ كُلِّهِمْ

Barang siapa menjenguk orang sakit pada hari Asyura maka seakan-akan ia telah menjenguk orang-orang sakit dari keturunan Adam seluruhnya.

Mengusap Kepala Anak Yatim

Sudah lazim, hari Asyura juga dikenal dengan hari raya anak yatim. Tentu, karna pada bulan ini manusia dianjurkan memperbanyak bersedekah, salah satunya bersedekah kepada anak yatim. Selain itu, mengusap kepala anak yatim juga merupakan amalan yang bisa dilakukan pada hari Asyura. Ini berdasarkan riwayat berikut;

وَمَنْ مَسَحَ فِيْهِ عَلَى رَأْسِ يَتِيْمٍ أَوْ أَحْسَنَ إِلَيْهِ فَكَأَنَّمَا أَحْسَنَ إِلَى اَيْتَامِ وَلَدِ اَدَمَ كُلِّهِمْ

Barangsiapa pada hari Asyura mengusap kepala anak yatim, atau mengasihi kepadanya maka seakan-akan ia telah berbuat baik kepada keturunan adam seluruhnya. (Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus)

Inilah amalan pada 10 Muharram atau hari Asyura yang dapat kita amalkan di bulan Muharram.  Semoga kita dapat mengamalkannya dan meraih keutamaan-keutamaan tersebut. Aamiin.

Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 115-118

0
Tafsir Surat An-Nisa' 171
Tafsir Surat An-Nisa'

Ayat 115

Seseorang yang menentang Rasulullah setelah nyata baginya kebenaran risalah yang dibawanya, serta mengikuti jalan orang yang menyimpang dari jalan kebenaran, maka Allah membiarkan mereka menempuh jalan sesat yang dipilihnya.

Kemudian Dia akan memasukkan mereka ke dalam neraka, tempat kembali yang seburuk-buruknya. Ayat ini erat hubungannya dengan tindakan Tu’mah dan pengikut-pengikutnya, dan perbuatan orang-orang yang bertindak seperti yang dilakukan Tu’mah itu.

Dari ayat ini dipahami bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia kemauan dan kebebasan memilih. Pada ayat Alquran yang lain diterangkan pula bahwa Allah telah menganugerahkan akal, pikiran dan perasaan serta melengkapinya dengan petunjuk-petunjuk yang dibawa para rasul. Jika manusia menggunakan dengan baik semua anugerah Allah itu, pasti ia dapat mengikuti jalan yang benar.

Tetapi kebanyakan manusia mementingkan dirinya sendiri, mengikuti hawa nafsunya sehingga ia tidak menggunakan akal, pikiran, perasaan, dan petunjuk-petunjuk Allah dalam menetapkan dan memilih perbuatan yang patut dikerjakannya. Karena itu ada manusia yang menantang dan memusuhi para rasul, setelah nyata bagi mereka kebenaran dan ada pula manusia yang suka mengerjakan pekerjaan jahat, sekalipun hatinya mengakui kesalahan perbuatannya itu.

Allah menilai perbuatan manusia, kemudian Dia memberi balasan yang setimpal, amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang perbuatan buruk diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan itu.

Ayat 116

Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mengakui adanya tuhan lain selain Allah atau menyembah selain Allah, tetapi Dia mengampuni dosa lainnya. Dari ayat ini dipahami bahwa ada dua macam dosa, yaitu:

  1. Dosa yang tidak diampuni Allah, dosa syirik.
  2. Dosa yang dapat diampuni Allah, dosa selain dosa syirik.

Jika seseorang mensyarikatkan Allah, berarti di dalam hatinya tidak ada pengakuan tentang keesaan Allah. Karena itu hubungannya dengan Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah terputus: Ini berarti tidak ada lagi baginya penolong, pelindung, pemelihara, seakan-akan dirinya telah lepas dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia telah sesat dan jauh menyimpang dari jalan yang lurus yang diridai Allah, maka mustahil baginya mendekatkan diri kepada Allah.

Seandainya di dalam hati dan jiwa seseorang telah tumbuh syirik berarti hati dan jiwanya telah dihinggapi penyakit yang paling parah; tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Segala macam bentuk kebenaran dan kebaikan yang ada pada orang itu tidak akan sanggup mengimbangi, apalagi menghapuskan kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh syirik itu.

Hati seorang musyrik tidak berhubungan lagi dengan Allah, tetapi terpaut kepada hawa nafsu, loba dan tamak kepada harta benda yang tidak akan dapat menolongnya sedikit pun. Itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa dosa syirik itu amat besar dan tidak akan diampuni-Nya.

Seandainya hati dan jiwa seseorang bersih dari syirik, atau ada cahaya iman di dalamnya, maka sekalipun ia telah mengerjakan dosa, hatinya akan ditumbuhi iman dan datang kepadanya petunjuk, maka ia akan bertobat, karena cahaya iman yang ada di dalam hatinya dapat bersinar kembali. Karena itulah Allah akan mengampuni dosanya karena bukan dosa syirik.

An-Nisa’ 48 telah menerangkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi akan mengampuni dosa selain dari dosa itu. Pengulangan pernyataan itu adalah untuk menegaskan kepada orang yang beriman agar mereka menjauhi syirik. Hendaklah mereka memupuk tauhid di dalam hati mereka, karena tauhid itu adalah dasar agama.

Ayat 117

Telah menjadi adat kebiasaan orang Arab jahiliah menyeru, menyembah dan memohon pertolongan kepada patung-patung yang mereka buat sendiri. Mereka mempercayainya sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan mereka namai dengan nama-nama perempuan (inasan), seperti al-Lata, al-‘Uzza dan Manat. Berhala atau patung-patung itu mereka beri hiasan dan pakaian seperti perempuan. Setiap kabilah atau suku mempunyai berhala sendiri yang mereka beri nama dengan nama-nama perempuan.

Sebagian ahli tafsir mengartikan inasan dengan “orang yang telah mati , karena orang yang telah mati itu lemah dan tidak berdaya. Orang-orang Arab jahiliah mengagungkan dan memuja nenek moyang mereka yang mati. Mereka mempercayai bahwa orang yang telah mati itu dapat dijadikan perantara untuk menyampaikan hajat atau keinginan kepada kekuatan gaib yang tidak mereka ketahui keadaan dan ujudnya. Kepercayaan yang seperti ini secara tidak sadar banyak dianut oleh Ahli Kitab dan sebagian kaum Muslimin pada masa kini.

Kepercayaan menyembah berhala, menyembah benda, memuja dan menyembah orang yang telah mati itu adalah kepercayaan yang timbul karena mengikuti hawa nafsu dan karena mengikuti tipu daya setan yang durhaka yang selalu berusaha untuk menyesatkan anak cucu Adam dari jalan yang lurus, sebagaimana mereka dahulu telah mengikrarkannya.

Ayat 118

Setan itu selain mempunyai sifat durhaka, ia juga telah mendapat laknat dan murka dari Allah. Mereka telah bertambah jauh dari rahmat dan karunia-Nya, karena mereka selalu berusaha mengajak manusia mengerjakan kejahatan dan mengerjakan larangan-larangannya, dengan membisik-bisikan dan menjadikan manusia memandang baik perbuatan-perbuatan terlarang itu.

Setan menyatakan kepada Allah bahwa ia akan mempengaruhi sebagian manusia, sehingga mereka mengikuti kehendaknya, serta menjadi hamba yang durhaka seperti dia. Pernyataan ini akan dilaksanakannya dengan segala macam cara dan usaha dan dengan segala kepandaian yang ada padanya.

Dipahami pula dari ayat ini bahwa manusia itu ada yang taat kepada Allah dan tidak dapat digoda setan serta ada pula yang tidak taat kepada Allah dan dapat digodanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang  menyatakan bahwa manusia itu mempunyai kesediaan untuk berbuat baik dan kesediaan untuk berbuat jahat. Allah berfirman:

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (al-Balad/90:10)

Setan berusaha memanfaatkan potensi untuk berbuat jahat yang ada pada manusia untuk melaksanakan pernyataannya kepada Allah. Pada sebagian manusia potensi untuk berbuat jahat itu tidak dapat dimanfaatkan oleh setan, karena potensi untuk itu telah dihambat pertumbuhannya oleh potensi kebaikan yang telah berkembang dan tumbuh pada dirinya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Tarbawi; Mengulik Metode Tanya-Jawab Ala Rasulullah Saw.

0
buku catatan

Alquran banyak memberi informasi mengenai metode tanya-jawab atau biasa disebut juga dialog. Metode tanya-jawab ala Rasulullah saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Tanya jawab juga akan memberi kesempatan pada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang belum mereka pahami.

Selain itu, metode tanya jawab juga bisa mengasah dan menilai sejauh mana kemampuan nalar kritis seseorang dalam merespons dan memahami pertanyaan tersebut. Praktik metode tanya jawab ala Rasulullah saw termaktub dalam firman-Nya Q.S. al-Baqarah [2]: 189,

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. al-Baqarah [2]: 189)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 189

Dalam Alquran sendiri terdapat 11 (sebelas) ayat yang menggunakan diksi yas-alunaka ‘ani (mereka bertanya tentang) yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 186, 189, 217, 219, 280, 222; Q.S. al-A’raf [7]: 187; Q.S. al-Naziat [79]: 42; Q.S. al-Kahfi [18]: 83; Q.S. al-Isra [17]: 85; Q.S. Thaha [20]: 105. Ini menunukkan bahwa metode tanya jawab pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.

Al-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan asbabun nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Aufi dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasul saw tentang peredaran bulan.” Dalam sumber yang lain yang berasal dari Abi al-‘Aliyah dikatakan bahwa orang-orang bertanya kepada Rasul saw, “untuk apa diciptakan bulan sabit?” Maka turunlah ayat ini sebagai penjelasan.”

Pada riwayat lain yang bersumber dari al-Bukhari, dari al-Barra mengatakan diturunkannya ayat ini berkenaan dengan kebiasaan orang jahiliyah yang gemar memasuki rumah dari pintu belakang selepas menunaikan ihram di Baitullah. Pada ayat ini terdapat tiga keterangan, yaitu pertanyaan sahabat tentang hilal beserta jawabannya, keterangan memasuki rumah melalui pintu belakang, dan perintah bertakwa kepada Allah swt.

Pada redaksi yas-alunaka ahillah (mereka bertanya tentang bulan sabit). Dari hal ini kita mengetahui bahwa telah terjadi tanya jawab atau dialog antara sahabat dengan Nabi saw. Mengenai sabab-musabab turunnya ayat ini al-Alusy dalam Ruh al-Ma’ani menrangkan bahwa Ibnu ‘Asakir menceritakan dengan sanad dha’if (lemah) bahwa Muadz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanam bertanya kepada Rasul saw,

“Ya Rasul, bagaimana keadaan hilal yang nampak dan muncul kecil seperti benang, lalu bertambah besar, rata dan bulat, lalu ukurannya berkurang dan mengecil sehingga kembali seperti semula, bulan itu tidak menetapi pada bentuk yang tetap (satu bentuk)? Kemudian turunlah ayat tersebut.

Terkait kemunculan pertanyaan tersebut dan jawaban yang “didiktekan” oleh Allah swt kepada Nabi saw, ar-Razi mencoba menjelaskan maksud firman-Nya yas-alunaka ahillah.

Redaksi ini tidak menguraikan alasan mengapa mereka bertanya, namun jawabannya itu seperti menunjukkan pada maksud pertanyaan. Karena redaksi yang digunakan qul hiya mawaqitu linnasi wal hajj menunjukkan bahwa pertanyaan mereka menghendaki pada  faedah dan hikmah. Terkait perubahan keadaan hilal yang mengecil dan membesar, kemudian Alquran dan hadits senada dalam perihal pertanyaan tersebut.

Sementara itu, Ibnu Katsir menafsirkan qul hiya mawaqitu linnasi wal hajj adalah dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.

Pada redaksi selanjutnya laisal birru …. ila akhiri ayat, Hasan al-Bashri mengatakan di mana dulu kaum jahiliyah tatkala melakukan suatu perjalanan. kemudian keluar rumahnya, dan terbesit mengurungkan niat kepergiannya. Maka dia tidak memasuki pintu depan, melainkan menaiki tembok bagian belakang. Maka turunlah ayat ini.

Nabi saw bersabda dan hadits ini sebagai bukti bahwa Rasul saw pernah mempraktikkan metode tanya jawab,

“dari Abu Hurairah ra, Ia berkata seseorang laki-laki datang pada Rasulullah SAW, kemudian ia bertanya, wahai Rasulullah siapa orang yang paling berhak aku hormati?. Beliau menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: Ibumu. Ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: kemudian bapakmu, kemudian saudara terdekatmu.” (H.R. Bukhari No. 5626)


Baca Juga:


Mengulik Metode Tanya-Jawab ala Rasulullah SAW

Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad saw juga menggunakan metode tanya jawab dalam memberikan pengajaran kepada para sahabat. Metode tanya jawab mengajak para pendengar agar tetap fokus dengan pembahasan. Metode tanya-jawab atau dialog berusaha mengkoneksikan pemikiran seseorang dengan orang lain.

Karenanya metode tanya jawab memungkingkan adanya komunikasi dua arah, sebab pada saat yang sama terjadi proses berfikir terhadap diri sendiri tatkala mengajukan pertanyaan, pada saat yang lain pendengar merespons dan memberikan jawaban, sehingga memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pendidik dan peserta didik.

Tanya jawab juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang belum mereka pahami. Sejatinya, tanya jawab adalah rencana tindak lanjut (RTL) dari sajian verbal yang disampaikan pendidik. Bahkan Rasulullah saw tak segan menanyakan sudah sampai mana pemahaman sahabat terkait penyampaiannya. Wallahu A’lam.