Beranda blog Halaman 528

Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah

0
keutamaan surat al fatihah
keutamaan surat al fatihah

Keutamaan surat Al Fatihah tak terhingga banyaknya. Adakalanya digunakan sebagai pengobatan, pengusir kegundahan, meminta petunjuk dan pertolongan, penjagaan diri dan sebagainya. Al Fatihah berasal dari kata fataha, yaftahu, fathan, yang berarti pembukaan juga dapat pula berarti Kemenangan. Diartikan sebagai pembukaan karena surah al Fatihah terletak pada bagian awal dari surah-surah yang lain dalam susunan mushaf Al Quran. Diartikan sebagai kemenangan karena berdasarkan pengertian yang terdapat dalam firman Allah swt yang berbunyi,

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ

Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (Q.S. al-Fath [48]: 1)

Surat Al-Fatihah juga memiliki nama lain, seperti yang dijelaskan oleh Hasbie as Shiddiqie dalam tTafsir Al-Qur’anul Majid, ada beberapa nama lain dari surat Al-Fatihah, yaitu ummul kitab, ummul qur’an, sab’ul matsani, al-asas, fatihatul kitab, al-Kanz (pembendaharaan), al-wafiyah (yang amat sempurna), al-kafiyah (yang amat mencukupi), al-hamd (pujian), al-syukru (ucapan terimakasih), al-du’a (seruan dan permohonan), al-salat (sembahyang dan do’a), al-syafiyah (penyembuh), dan al-syifa’ (penawar).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?

Sedangkan menurut Quraish Shihab, beberapa nama lain dari surat al Fatihah yang dikenal pada masa Rasulullah yaitu al-Fatihah, Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, dan as-Sab’ al-matsani. Adapun terkait dengan keutamaan surah Al-Fatihah, Imam muslim dalam shahih-nya dan An-Nasa’i dalam Sunan-nya menceritakan,

“Diceritakan dari Abu al-Ahwash Salam bin Salim, dari Ammar bin Ruzaiq, dari Abdullah bin Isa bin Abdurrahman bin Abu Layla, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia bercerita, “ketika kami bersama Rasulullah Saw, dan didekat beliau ada malaikat Jibril a.s, tiba-tiba ia mendengar suara dari atas. Jibril memandang ke langit dan berkata, ‘pintu langit dibuka, pintu ini belum pernah dibuka sama sekali.’ Satu malaikat kemudia turun melalui pintu langit tersebut dan kemudian mendekati Rasulullah Saw, lalu berkata, ‘Selamat, berbahagialah atas dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, (dimana cahaya ini adalah) anugerah yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelum engkau, itulah Fatihah al-kitab dan akhir dari surah Al-Baqarah. Tidak ada satu pun huruf yang engkau baca dari keduanya, melainkan akan diberikan (pahalanya) kepadamu.” (Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim)

Dengan mengutip hadits diatas, maka dalam tulisan ini kita berfokus kepada pembahasan keutamaan yang terkandung dalam surat al Fatihah. Ada tiga keutamaan yang perlu kita ketahui dalam surah Al-Fatihah, antara lain;

Merupakan surat yang paling utama dalam Al Quran

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abi Sa’id Al-Mu’alla beliau berkata,

“Aku sedang melaksanakan sholat (dimasjid), lalu Rasulullah Saw lewat, maka beliau memanggilku dan AKu tidak mendatangi beliau hingga shalat selesai, setelah itu aku mendatangi beliau, maka Rasulullah Saw berkata “ apa yang menahanmu sehingga kau tidak mendatangiku? Aku menjawab “ (Ya Rasulullah) saya sedang melaksanakan shalat”, maka beliau berkata “bukankah Allah Swt telah berfirman “wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasulnya, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..”(QS. Al-Anfal:24) kemudian beliau berkata kepadaku , ketahuilah bahwa aku akan mengajarkan kepada kalian surah yang paling mulia di dalam Al-Qur’an sebelum keluar dari masjid, setelah itu beliau pergi. Ketika Rasulullah hendak keluar dari masjid, maka Abi Sa’id Al-Mu’alla mengingatkan beliau (dengan lafadz): kemudian aku mengisyaratkan dengan tanganku ketika beliau hendak keluar, aku berkata “bukankah baginda berkata akan mengajarkan surah yang paling mulia dalam Al-Qur’an ?” beliau bersabda “ Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, adalah tujuh yang berulang-ulang dan Al-Qur’an yang mulia ada di dalamnya”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Menjadi suatu syarat sahnya shalat

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,

“Berkata Muhammad bin ishaq bin Khuzaimah: telah menceritakan Mu’al bin Hisyam al-Yaskura, telah menceritakan Ismail bin Ulyah dari Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepadaku Makhŭl dari Mahmud bin al-Rabi’a dan dia menetap di iliya’ (suatu daerah antara madinah dan baitul maqdis), dari ‘Ubădah bin Shamit berkata “Rasulullah Saw sholat bersama kami pada sholat subuh, maka beliau mengeraskan bacaan sholatnya. Setelah berpaling, beliau berkata “sesungguhnya aku ingin menunjukkan kepada kalian, yang kalian baca pada saat berada dibelakang imam. Aku berkata “ katakanlah kepada kami wahai Rasulullah” beliau bersabda “ maka tak ada bacaan selain ummul kitab, karena sesungguhnya tidak sah sholat bagi seseorang yang tidak membacanya” (HR. Ahmad. No 5/316)

Dalam riwayat lain diceritakan,

“menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah ar-Raqăsyi, menceritakan kepada kami Yazid bin Zari’a, menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq, menceritakan kepada kami Yahya bin Abbăd, dari ayahnya, dari ‘Aisyah r.a berkata “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Setiap sholat yang tidak dibaca dengannya (Al-Fatihah al-kitab) maka sholatnya kurang (tidak sempurna ( HR. Bukhari dalam kitabnya Jaz’ul qiră’ati)

Dapat digunakan untuk mengobati penyakit

Sayyid Muhammad Sa’ad Ibnu Alawi al-Idrus dalam kitab Fadha’il Suwar wa Ayat Qur’aniyyah, menjelaskan bahwasanya Abdul Malik Abu Umair mengatakan,

surah pembuka dalam Al-Qur’an adalah obat untuk segala sesuatu, surah itu adalah surah Al-Fatihah”

Ibnu Qayyim juga mengatakan bahwa Fatihatul Kitab, as-Sab’ul matsani, Ummul Qur’an, merupakan ruqyah yang sempurna, obat yang bermanfaat, penjaga kekuatan, menghilangkan kesedihan, gundah, gelisah, ketakutan, serta kunci kekayaan dan kemenangan bagi orang yang mengetahui rahasia yang terkandung di dalamnya.”

Baca juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran

Kesimpulannya, surah al-Fatihah sungguh merupakan surah yang di dalamnya memuat banyak keutamaan. Tiga bagian diatas hanyalah bagian paling urgen dalam keterangan kitab-kitab hadits pada umumnya. Bagi pembaca yang ingin mengetahui keutamaan lainnya, dapat mencarinya dalam pembahasan yang merujuk pada nama-nama lain dari surat al Fatihah.

Namun penulis merangkum dan mencukupkannya pada tiga keutamaan diatas agar mudah dipahami oleh semua kalangan pembaca. Demikian, semoga kita senantiasa diberikan keberkahan oleh Allah swt, ketika membaca surat al Fatihah.

Pentingnya Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi, Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 38

0
kurikulum anti korupsi
kurikulum anti korupsi (faktualnews.co)

Kejahatan kerah putih itulah sebutan bagi pelaku korupsi. Marwah pendidikan Islam yang seharusnya mencetak outcomes yang bersih, jujur, mumpuni dan berintegritas, harus ternodai oleh ulah sekelompok “oknum” manusia di atas. Pendidikan Islam perlu memasukkan kurikulum khusus pendidikan antikorupsi.

Tujuan mengadakan pendidikan anti korupsi ialah menyumbat diseminasi tumbuhnya benih-benih pelaku korupsi supaya negeri kita terbebas dari cengkraman korupsi yang sudah berurat akar di negeri ini mulai dari hulu hingga hilir.

Pentingnya memasukkan kurikulum pendidikan anti korupsi secara tersirat termaklumatkan dalam firman-Nya Q.S. al-Hajj [22]: 38, 

اِنَّ اللّٰهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُوْرٍ ࣖ

Sesungguhnya Allah membela orang yang beriman. Sungguh, Allah tidak menyukai setiap orang yang berkhianat dan kufur nikmat. (Q.S. al-Hajj [22]: 38)

Tafsir Surah al-Hajj Ayat 38

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah swt membela hamba-hamba-Nya yang bertawakkal dan bertobat kepada-Nya dari perilaku kejahatan dan tipu daya muslihat orang-orang yang durhaka. Allah swt juga menegaskan memelihara, menjaga dan menolong mereka, seperti yang disebutkan dalam ayat lain Q.S. al-Zumar [39]: 36.

Sebaliknya, Allah swt tidak menyukai (membenci) hamba-Nya yang bersifat khianat. Korupsi pun termasuk bagian dari bentuk pengkhianatan kepada Allah swt dan sesama. Sebab ia disumpah berjanji mematuhi apa yang diucapkannya, tetapi ia berkhianat. Sifat lain yang tidak disukai-Nya adalah hamba-Nya tidak mau mengakui bahwa segala nikmat datangnya dari Allah swt.

Penafsiran serupa dituturkan oleh ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir, ia memaknai redaksi innallah yudafi’u ‘an alladzina amanu dengan Allah swt akan dan sedang menolong orang-orang mukmin dan membela mereka dari kejahatan kaum musyrikin.

Adapun pada redaksi berikutnya, innallah la yuhibbu kulla khawwanin kafur, sesungguhnya Allah swt membenci setiap bentuk pengkhianatan dan mereka yang tidak tahu berterima kasih atas nikmat yang dianugerahkan oleh-Nya.

Di lain itu, Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir memberikan analisis semantik bahwa ayat ini merupakan isti’naf bayani (sebagai jawaban dan berisi penjelasan lebih lanjut) dari firman Allah surat al-Hajj ayat 25, innalladzina kafaru wayashuddu ‘an sabilillah (Sungguh orang-orang kafir dan yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah).

Ibnu Asyur juga mempertegas penafsirannya bahwa Allah swt sangat tidak menyukai ornag kafir lagi pengkhianat. Sebab kata khawwan merujuk pada khianat, ingkar janji. Maka siapapun orang yang berkhianat dan ingkar janji ia bisa dikategorikan sebagai orang yang khawwanin kafur (khianat lagi kufur nikmat), tidak hanya koruptor, melainkan berlaku bagi siapa saja yang terindikasi melakukan hal tersebut.


Baca Juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran


Pentingnya Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi

Islam sebagai agama paripurna secara tegas dan jelas memberikan panduan tentang hakikat dan tujuan pendidikan. Mengoptimalkan potensi fitrah manusia dan mencetak  kader bangsa yang mumpuni, berakhlak dan berdaya saing sehingga menjadi the best outcomes (hasil terbaik).

Korupsi telah menggerus nilai moral kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Mengguritanya korupsi mulai tingkat hulu hingga hilir semakin menambah beban panjang dan menghambat kemajuan peradaban Indonesia.

Data indeks persepsi korupsi atau corruption perception index (CPI) menamplikan Indonesia berada di posisi 85 dari 180 negara dengan skor 40. Ya, masih cukup tinggi dan belum menunjukkan penuruan yang signifikan budaya korupsi ini.

Karenanya, untuk menyumbat diseminasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) ini perlu adanya kurikulum khusus pendidikan anti korupsi. Meski penanaman karakter pada peserta didik seperti jujur, tanggungjawab dan sebagainya sudah dilakukan, akan tetapi mereka harus diberi pemahaman melalui materi khusus tentang kurikulum pendidikan antikorupsi yang selanjutnya dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahun 2018, telah disepakati dan diteken nota kesepahaman (MoU) oleh empat kementerian meliputi kemendagri, kemristekdikti, kemdikbud dan kemenag bahwa pendidikan anti korupsi harus masuk pada kurikulum di tahun ajaran baru 2019 pada semua jenjang pendidikan.


Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja


Kurikulum pendidikan antikorupsi ini diinputkan ke dalam mata kuliah dasar (MKD) umum, di mana salah satu isi kebijakannya adalah menyusun dan mendistribusikan pendidikan karakter dan budaya antikorupsi di kurikulum setiap jenjang pendidikan.

Oleh karena itu, pendidikan Islam mempunyai tanggungjawab moral untuk menyukseskan goal (tujuan) pendidikan antikorupsi ini, mesti tanpa embel-embel “korupsi”, sebenarnya pendidikan Islam sudah maju dan sudah menerapkan pendidikan antikorupsi ini jauh sebelum dirumuskannya oleh pemerintah.

Pendidikan tersebut telah terejawantahkan dalam program pendidikan yang secara konsepsional disisipkan pada mata pelajaran dalam bentuk perluasan tema yang ada dalam kurikulum menggunakan pendekatan kontekstual, yakni model pembelajaran antikorupsi integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam.

Akhiran, mari kita sambut kurikulum ini dengan tangan terbuka dan bergandengan tangan, semoga perilaku KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan kawan-kawannya segera terenyahkan dari muka bumi Indonesia tercinta. Aamiin.

Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

0
perbedaan pendapat nasikh mansukh
perbedaan pendapat nasikh mansukh

Sebenarnya bagaimana proses Al-Qur’an diwahyukan atau dikenal dengan istilah Nuzulul Quran? Kapan al-Quran pertama kali turun? Pertanyaan inilah yang sering terlintas di benak para penikmat sejarah Al-Qur’an ketika membaca QS.  Al-Qadr [97]: 1, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.” Padahal sejarah Islam mencatat bahwa Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan kurang lebih 13 tahun sebelum hijrah.

Peristiwa pewahyuan al-Qur’an di atas dikenal masyarakat muslim sebagai malam nuzulul Quran. Biasanya mereka melakukan berbagai macam peringatan untuk mengenang sejarah peristiwa turunnya al-Qur’an yang juga merupakan peresmian Muhammad Saw diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul untuk menyebarkan ajaran Islam dan ihsan.

Kemudian, mungkin juga terlintas dalam pikiran para penikmat sejarah Al-Qur’an berbagai pertanyaan lain. Misalnya, lantas bagaimana menjelaskan perbedaan QS. Al-Qadr [97]: 1 dengan realitas sejarah yang terjadi? Apakah catatan sejarah salah atau malam lailatul qadar yang dimaksud dalam QS. Al-Qadr [97]: 1 terjadi pada tanggal 17 Ramadhan?

Baca Juga: Sejarah Pencetakan al-Quran dari Italia hingga Indonesia

Berbagai pertanyaan tersebut sebenarnya bisa ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayat menyebutkan bagaimana proses dirinya turun ke dunia, hanya saja diperlukan pembacaan kritis dan sistematis agar bisa menangkap pesan yang telah dijelaskan Al-Qur’an. Pesan itu juga dapat ditemukan melalui catatan-catatan ulama tafsir.

Ketika berbicara mengenai proses nuzulul Quran, Al-Qur’an biasanya menggunakan 2 istilah bahasa, yakni anzala dan nazzala. Keduanya sama-sama berasal dari kata n-z-l yang bermakna turun namun memiliki perbedaan spesifik. Secara singkat, anzala dapat dimaknai dengan turun secara keseluruhan dalam satu jumlah sekaligus. Sedangkan nazzala bermakna turun berangsur-angsur atau berulang-ulang.

Kedua istilah anzala dan nazzala di atas adalah kata kunci yang harus dicermati untuk mengetahui rahasia proses nuzulul Quran yang telah diceritakan Al-Qur’an. Dengan mengetahui perbedaan keduanya, seseorang akan bisa memahami bahwa tidak ada pertentangan antara QS.  Al-Qadr [97]: 1 dan catatan sejarah pewahyuan Al-Qur’an, karena keduanya memang berada pada konteks ayat yang berbeda.

ٍَQS. Al-Qadr [97]: 1 berbicara mengenai proses nuzulul qur’an secara sekaligus, yakni dari lauh al-mafuzh ke Baitul Izzah (langit dunia). Sedangkan peristiwa sejarah diturunkannya Al-Qur’an di goa Hira, merupakan kronologi dari ayat yang lain, yaitu; QS. ‘Alaq [96]: 1-5. Pembahasan rinci mengenai kedua tahapan nuzulul qur’an tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

Nuzulul Quran Secara Sekaligus

Sebelum disampaikan kepada nabi Muhammad Saw, Al-Qur’an telah melalui dua proses nuzul, yakni dari Allah Swt ke lauh al-mafuzh dan dari lauh al-mafuzh ke Baitul Izzah (langit dunia). Proses ini dilakukan langsung oleh malaikat Jibril as atas izin Allah Swt. Al-Qur’an yang berada di lauh al-mahfuzh diketahui telah ada jauh sebelum nuzul-nya, bahkan jauh sebelum penciptaan nabi Adam as di surga.

Di dalam Al-Qur’an kata lauh al-mafuzh disebutkan sebanyak satu kali, yakni pada QS. Al-Buruj ayat 22. Dikisahkan bahwa lauh al-mafuzh adalah tempat di mana Allah mencatatkan “takdir” kehidupan alam semesta. Selain itu, semua perkara yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia juga tercatat di dalamnya secara akurat. Meskipun demikian, tidak diketahui bagaimana bentuk catatan tersebut.

Pada tahapan pertama nuzulul qur’an, yakni dari Allah Swt ke lauh al-mafuzh, eksistensi Al-Qur’an masih dalam bentuk “bahasa transendental” yang tidak memiliki huruf, suara, dan kata.  Tidak ada manusia yang mampu memahami bahasa tersebut kecuali atas izin Allah. Di lauh al-mafuzh, Al-Qur’an tersimpan dan terjaga dengan sempurna tanpa kecacatan.

Selanjutnya Al-Qur’an dibawa oleh malaikat Jibril as dari lauh al-mafuzh ke Baitul Izzah (langit dunia) dalam bentuk yang utuh dan komplet. Pada tahap ini, bentuk Al-Qur’an sudah bertransformasi ke dalam bahasa yang mampu “dirasa” manusia. Menurut mayoritas ulama Muslim, pada tahap ini Al-Qur’an diturunkan kepada Jibril dalam bentuk kata dan maknanya. Dengan demikian, Al-Qur’an yang selama ini dibaca umat Islam 100 persen sama dengan Al-Qur’an yang dibawa Jibril as.

Peristiwa nuzulul Qur’an secara sekaligus ini dikisahkan dalam Al-Qur’an pada QS.  Al-Qadr [97]: 1 yang berbunyi:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.”

Nuzulul Qur’an Secara Berangsur-angsur

            Setelah diturunkan ke langit dunia, Al-Qur’an kemudian disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur kurang lebih selama 23 tahun. Proses ini dimulai pada tanggal 17 Ramadan tahun 13 SH di goa Hira, tempat di mana biasanya nabi Muhammad Saw melakukan uzlah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merenungi kehidupan masyarakat Arab yang sudah jauh dari ajaran-Nya.

Proses nuzulul qur’an secara berangsur-angsur bertujuan agar Al-Qur’an dapat dipahami dengan baik dan mudah serta dapat menjawab berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi pada masa nabi Muhammad. Dialektika ini kemudian diistilahkan oleh Nashr Hamid sebagai “al-Qur’an muntaj wa muntij tsaqafi” (Naqd al-Khiṭṭāb: 51), yakni Al-Qur’an merespon budaya dan realitas yang ada kemudian menumbuhkan budaya dan realitas baru.

Secara umum, pada tahap ini Al-Qur’an disampaikan melalui tiga cara, yaitu: Pertama, malaikat Jibril langsung memasukkan wahyu ke dalam hati nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini beliau sama sekali tidak melihat wujud apapun, ia hanya merasa ayat Al-Qur’an sudah berada di dalam hatinya sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Syu’ara [26]: 193-194 “Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan.”

Baca Juga: Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

Kedua, malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Rasulullah, baik dalam wujud aslinya maupun dalam bentuk manusia. Kemudian Jibril menyampaikan ayat Al-Qur’an sebagaimana yang diceritakan dalam kronologi pewahyuan QS. ‘Alaq [96]: 1-5. Ketiga, Wahyu datang secara tiba-tiba seperti gemerincing lonceng. Dikisahkan bahwa cara ini adalah proses paling berat yang dirasakan Baginda Nabi Saw. Terkadang kening beliau berkeringat meskipun sedang musim dingin dan terkadang beliau terpaksa berhenti lalu turun dari unta karena merasa berat ketika wahyu datang. Wallahu a’lam.

Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil

0
Nama al-Quran
Nama al-Quran

Mengetahui dan memahami nama al-Quran adalah salah satu cara untuk mendalami al-Quran. Pada serial kali ini akan diuraikan beberapa nama yang diperkenalkan al-Quran di dalam  ayat-ayatnya. Tulisan pertama akan mengulas tiga nama Al-Quran: al-Qur’an, Al-Furqan, dan At-Tanzil.

Nama al-Quran pertama adalah al-Qur’an sendiri. Nama al-Quran dikenal sebagai sebuah kitab yang mengandung firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kalau ada orang yang menyebutkan kata Al-Qur’an, maka yang dimaksud adalah kitab suci Al-Qur’an itu. Bacalah Al-Quran, yang dimaksud adalah bacalah firman-firman Allah yang terdapat di dalam Al-Quran.

Apapun nama yang disandarkan kepada Al-Quran, tetapi yang jelas bahwa Al-Quran, menurut Ali As-Shabuni, adalah kalamullah (firman-firman Allah) yang melemahkan, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perantaraan Jibril a.s., yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, membacanya adalah ibadah, yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.

Dari definisi Al-Quran dapat dikatakan bahwa pertama, al-Quran adalah firman-firman Allah, bukan ucapan-ucapan selain Allah, seperti ucapan manusia atau ucapan malaikat. Kedua, al-Quran adalah sebuah mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad, yang membungkam kemampuan manusia, orang-orang Arab, sehingga tidak mampu menciptakan kalimat-kalimat yang dapat menandingi Al-Quran.

Baca Juga: Inilah Makna Kata al-Quran

Ketiga, Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tidak diturunkan kepada orang lain, selain Nabi Muhammad. Keempat, Al-Qur’an itu seluruhnya dibawa turun dari Allah oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad saw, mulai ayat yang pertama turun hingga ayat yang terakhir. Tidak satu ayat pun yang diturunkan tanpa dibawa turun oleh malaikat.

Kelima, al-Qur’an itu disampaikan kepada ummat-umat Islam sesudahnya oleh sejumlah banyak orang yang sangat dipercaya, yang tidak tidak diragukan lalu kejujurannya, dan integritasnya. Keenam, Membaca ayat-ayat Al-Qur’an merupakan suatu ibadah kepada Allah swt.

Rasulullah menyatakan: “Siapa yang membaca satu huruf, maka diberi satu pahala, yang setara dengan 10 kebajikan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an harus dibaca agar kita mendapatkan pahala darinya. Ketujuh, al-Qur’an itu terdiri atas 114 surat, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah sebagai surat pertama dan surat terakhir, yaitu surat al-Nas.

Nama al-Quran kerdua adalah al-Furqan (الفرقان). Kata ini berasal dari kata kerja faraqa (فَرَقَ) – yafruqu ( يفرق) yang berarti “memisahkan, membedakan.” Apa sebenarnya makna yang terkandung dari nama itu? Mari kita lihat penjelasannya sebagai berikut.

Al-Qur’an dinamai juga Al-Furqan karena Al-Qur’an adalah kitab yang membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara yang halal dan yang haram, antara yang diperintahkan dan yang dilarang, antara yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, dan antara yang ma’ruf dan yang munkar.

Kata al-Furqan diabadikan juga di dalam Al-Qur’an, tidak hanya sebagai nama dari suatu surat di dalam Al-Qur’an, yaitu surat yang ke-25, tetapi juga diabadikan di dalam ayat pertama dari surat al-Furqan itu, yaitu ayat ke-1, yang menyatakan:

تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا

Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,

Pesan-pesan yang disampaikan oleh Allah di ayat-ayat Al-Qur’an dapat dibagi atas dua bahagian, yaitu bahagian yang berisi perintah-perintah, dan bahagian yang bersisi larangan-larangan. Semua hal yang diperintahkan oleh Allah untuk dilakukan adalah hal-hal yang baik, semua larangan yang dilarang oleh Allah untuk ditinggalkan merupakan hal-hal yang buruk.

Dari sisi lain ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah petunjuk-petunjuk yang mengantar manusia ke jalan benar, dan petunjuk-petunjuk yang menjauhkan manusia dari kesesatan. Jalan yang benar adalah jalan kebaikan yang harus diikuti manusia, jalan yang buruk adalah jalan yang dijauhi oleh manusia.

Nama al-Quran ketiga adalah At-Tanzil (التنزيل). Allah sendiri yang memberi nama Al-Qur’an dengan nama Al-Tanzil. Hal ini antara lain disebutkan di dalam QS. Al-Syu’ara’ [26]: 192-193:

وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ

Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril).

Kata al-tanzil itu secara bahasa adalah bentuk dasar dari kata “nazzala” (نزل) – yunazzilu (ينزل) yang berarti “menurunkan berkali-kali.” Penamaan Al-Qur’an dengan Al-Tanzil bukanlah hal yang kebetulan. Penamaan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diturunkannya Al-Qur’an dari Allah, yang dibawa turun oleh Jibril, hingga kepada Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Al-Qur’an mulai diturunkan oleh Allah pada malam lailatul qadar. Al-Qur’an diturunkan melalui dua tahap. Tahap pertama Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus, dari langit ke tujuh ke langit dunia sekaligus. Lalu dari langit dunia kepada Nabi Muhammad Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, dimulai dengan turunnya 5 ayat dari surat al-Alaq, hingga ayat yang terakhir turun, yaitu ayat 281 Surat Al-Baqarah [2], yaitu turun 7 malam sebelum Rasulullah wafat.

Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan selama 13 tahun di sebelaum Rasulullah berhijrah, dan 10 tahun lamanya diturunkan setelah Nabi berhijar. Ayat yang diturunkan sebelum hijarlah yang kemudian disebut ayat0ayat Makkiyah, dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah disebut Madaniyah. Ini berarti bahwa Al-Qur’an itu dinamai Al-Tanzil karena Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dalam waktu yang lama, yaitu 23 tahun. Wallahu A’lam.

Tafsir Tarbawi: Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

0
story telling
story telling

Salah satu metode dalam pendidikan Islam yang banyak digunakan oleh guru-guru kita dahulu dan pendakwah Islam seperti Walisongo adalah story telling atau metode cerita. Strory telling terbukti efektif dalam memudahkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan. Metode pendidikan yang ampuh inilah yang ternyata sudah lebih dulu Allah swt contohkan dalam Al Quran Surat Hud ayat 120:

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman (QS. Hud [11]: 120)


Baca jugaTafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Perumpamaan dalam Pendidikan Islam


Tafsir Surah Hud Ayat 120

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menceritakan kisah rasul-rasul terdahulu bersama umatnya. Semisal peristiwa ingkarnya pengikut nabi, permusuhan di antara mereka, keluhan nabi atas ketidaktaataan dan ketidakpatuhan terhadap ajarannya, dan lain sebagainya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa segala cerita yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. seperti cerita para rasul terdahulu beserta umatnya, bagaimana peristiwa pedebatan Nabi dan umatnya, serta ketabahan dan keikhlasan para nabi. Semua itu tak lain bertujuan untuk memantapkan dan meneguhkan hati Nabi SAW. Pada konteks inilah, kisah rasul terdahulu menjadi suri tauladan bagi Nabi SAW.

Hal senada juga tertera dalam tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsiril Al Qur’an. Dalam tafsirnya itu, at-Thabari menuturkan semua yang diceritakan Allah SWT kepada Nabi bertujuan untuk memantapkan hatinya. Karena itu, Nabi tidak perlu gundah tatkala kaumnya mendustakan ajaran yang ia bawa. Jangan pula berkecil hati sehingga Nabi meninggalkan sebagian yang telah Allah turunkan kepadanya.

Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib merinci manfaat kisah tersebut di antaranya, pertama, memantapkan hati Nabi untuk sabar dan tak gentar menyampaikan risalah. Karena memang setiap penyemaian benih kebaikan, selalu diusik oleh semak belukar yang Selalu berusaha menggerogotinya.

Cerita itu pula seakan memperlihatkan bahwa Nabi SAW tidak sendirian merasakan kepedihan, sebab rasul terdahulu juga mengalami tantangan berat.

Kedua, dalam surah tersebut telah datang kepada Rasul SAW yaitu suatu kebenaran, mauidzah (nasihat). Selain itu, terdapat peringatan yang amat berharga bagi orang yang dapat mengambil pelajaran darinya

Semua cerita tersebut bertujuan untuk meneguhkan hati Rasulullah bahwa memang tidak mudah menjalankan dan mengemban risalah-Nya.

Di samping itu, kisah-kisah tersebut juga menanamkan nilai-nilai kebenaran. Di antara nilai itu ialah prinsip ketauhidan dan ketakwaan atau amar ma’ruf nahi munkar. Kesemuanya itu merupakan pengajaran dan peringatan yang bermanfaat bagi orang-orang yang mempercayai bahwa diazabnya umat terdahulu dikarenakan mereka telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dan berbuat kerusakan di muka bumi.


Baca juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

Story telling atau metode cerita yang ditegaskan dalam ayat di atas menunjukkan bahwa metode cerita sangat efektif bagi pengajaran peserta didik. Di mana saat itu Rasul SAW berposisi sebagai peserta didik yang diajar langsung oleh Allah SWT.

Dalam konteks pendidikan Islam, seorang pendidik dapat menggunakan metode cerita. Terkhusus, cerita masa lampau atau sejarah yang berkaitan dengan pelajaran dan tema yang sedang diajarkannya. Hal ini karena cerita itu akan mudah diterima oleh murid dan membekas di hati mereka. Sehingga, mereka semakin mudah memahami pelajaran.

Selain itu, Kita tahu bahwa seseorang mulai usia anak-anak hingga dewasa sangat suka sekali dengan cerita-cerita. Terutama jika cerita itu berasal dari pengalaman hidup sehari-hari dan sedang kita alami. Tentu akan sangat membekas dalam hati dan kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari cerita tersebut.


Baca juga: Meneladani Kisah Ashabul Kahfi dalam Al Quran


Pertanyaannya kemudian, mengapa harus metode cerita?

Sebagaimana penjelasan ayat tersebut, Allah ingin membumikan ajaran-Nya kepada makhluk-Nya. Salah satunya, melalui perantara metode cerita yang dapat dipahami oleh mereka. Karena pengetahuan ilahiyah tidak terlepas dari sesuatu yang menerima dan hal yang harus diterima. Artinya, jika hati harus siap untuk menerima pengetahuan ilahiyah, sehingga bisa memperoleh manfaat dengan mendengarkan cerita itu. Dan hal yang harus diterima ialah kebenaran, nasihat, dan peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.

Karena cerita itu penting, maka tak heran bila guru kita seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Kiai Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) juga sering menggunakan metode ini. Kedua tokoh ini dalam menyampaikan ceramahnya selalu sarat akan cerita-cerita yang bermakna, humoris dan konstruktif. Pendengarnya pun tidak merasa digurui. Malah mereka merasa rileks, tertawa bahagia sehingga menyebabkan mereka mampu meresapi dan merefleksikan makna cerita tersebut ke dalam dirinya sendiri. Wallahu A’lam.

Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia

0
Aboebakar_Atjeh (wikipedia.org)

Aboebakar Atjeh dikenal sebagai cendekiawan cum politikus muslim yang produktif setelah kemerdekaan Indonesia. Puluhan karya-karyanya banyak membahas tentang sejarah, tasawuf dan studi keagamaan lainnya. Tentu sebelum tulisan ini, sudah banyak sekali tulisan yang membahasnya.

Dalam jejak digital saja, dapat diketahui bahwa nama Aboebakar Atjeh masuk dalam buku Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia karangan Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza. Selebihnya, tokoh ini lebih didiskusikan berdasarkan karyanya yang menjadi ‘pembabad alas’ dalam kontkes khazanah kajian Islam di Indonesia.

Dalam tulisan ini sosok yang mendapat julukan Ensiklopedi Berjalan akan dilihat dalam konteks lahirnya mushaf Al Quran Pusaka Republik Indonesia mushaf kenegaraan pertama. Di berbagai tulisan tentang Aboebakar Atjeh, termasuk buku Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia memang menyebut bahwa ia memelopori gagasan penulisan Al Quran Pusaka bersama KH Masjkur selaku Menteri Agama pada tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955. Namun banyak yang tidak menyebut bahwa penulisan mushaf yang monumental ini memiliki makna perjuangan yang luar biasa.

Buku yang berjudul Al-Mashaf Risalah Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka Republik Indonesia gubahan Aboebakar Atjeh tahun 1952 merupakan bukti autentik untuk melihat sejarah ini. Peran Aboebakar Atjeh dalam membidani lahirnya mushaf ini sangat kentara, karena ia mencatat runtutan kegiatan dari mulai munculnya gagasan hingga pembentukan Yayasan.

Ia menceritakan bahwa gagasan penulisan Mushaf Pusaka muncul pada masa revolusi Yogyakarta. Memang saat itu Belanda melakukan serangan agresi militer pertama dari 21 Juli 1947. kemudian juga agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, pun Indonesia belum mendapatkan pengakuan kemerdekaannya oleh Belanda sebelum tanggal 27 Desember 1949.

Dalam buku tersebut tertera ungkapan yang cukup menjelaskan awal mula gagasan penulisan mushaf ini, berikut urainnya:

Pada waktu memperingati hari nuzululquran pada tahun yang ke IV, timbullah keinginan dalam hati saya hendak mengadakan sesuatu yang merupakan sejarah.  Yakni, hendak membuat suatu manuskrip (tulisan tangan) dari Alquranulkarim. Kalau Republik menang dalam perjuangannya dapat menjadi syiar dan penghargaan kepada seluruh kaum muslimin yang turut menyumbangkan tenaganya. Dan jikalau terjadi sebaliknya (naudzubillahi min zalik) maka mashaf yang ditulis itu menjadi saksi bahwa umat islam Liilai kalimatillah sudah pernah mengangkat senjata hendak mempertahankan diri dari pada kezaliman. (Aboebakar,1952:5)


Baca juga: Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara


Sebelum acara itu, Aboebakar Atjeh berusaha meyakinkan beberapa tokoh untuk mendukung proyek monumental ini. Namun mayoritas justru menyarankan agar diurungkan niat tersebut. Hingga akhirnya bertemu dengan beberapa tokoh seperti KH. Sradj Dahlan, Ghafar Ismail, H. Syamsir dan Hasandin (mertua presiden Soekarno) yang mana ide ini pun diterima.

Kemudian ide ini didengar oleh KH Masjkur dan mendapatkan respon bagus. Apalagi mushafnya berukuran 2 x 1 meter, dan termasuk mushaf terbesar. Lalu pada malam Nuzulul Qur’an tepatnya pada 23 Juli 1948 H / 17 Ramadhan 1367 M. Diadakanlah upacara menulis huruf yang pertama Al-Quran pusaka, yaitu menggoreskan basmalah. Soekarno menuliskan huruf ba’ di awal basmalah, sedangkan Moh. Hatta menuliskan mim di akhir basmalah.

Ternyata sehabis acara itu, penulisan sempat berhenti karena problem pendanaan dan hal lain yang belum siap.  Ditambah lagi H. Sjamsir yang semula bersedia mendanai justru mengalami kebangkrutan. Titik terang kembali muncul saat Salim Fachry yang kemudian menjadi penulis mushaf ini bertemu dengan KH. Masjkur di Kongres Muslim Indonesia (KMI) Yogyakarta tahun 1949.


Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi


Dukungan ini berlanjut pada tahun 1950 saat KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama. Saat itu didirikanlah sebuah Yayasan Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka Republik Indonesia. Sayangnya di tengah perjalanan, NU berpisah dari Masyumi yang berpotensi untuk memecah belah tim penulisan mushaf karena kader NU dan Masyumi ada di sana.  Beruntungnya, hal itu tidak terjadi dan mushaf diresmikan tahun 1960 saat peringatan Nuzulul Qur’an.

Layaknya bidan, Aboebakar Atjeh berhasil membantu lahirnya mushaf Pusaka. Soekarno pun mengucapkan terima kasih padanya:

Insyaallah saudara-saudara, akan saya simpan dan pelihara Qur’an Pusaka ini dengan sebaik-baiknya dan disinilah tempatnya pula saya mengucapkan saluut kehormatan dan terima kasih kepada semua saudara-saudara yang telah membanting tulang, bekerja keras untuk membuat Al-Qur’ān Pusaka ini, terutama sekali kepada H. Aboebakar Atjeh.(Pidato Soekarno, 15 Maret 1960, dari ANRI, kode arsip nst.1317/60).  Wallahu a’lam bi-al shawab

Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

0
Bersuci
Bersuci

Hikmah bersuci secara tersirat sering disinggung dalam Alquran, seperti dalam ayat yang akan kita bahas ini. Bersuci itu sendiri merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan, karena sebagaimana yang kita tahu, suci (dari hadas dan najis) menjadi syarat sah dari suatu ibadah.

Bersuci identik dengan bersih, tetapi bukan berarti sama. Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kebersihan, baik itu kebersihan badan, pakaian, makanan, dan segala hal di lingkungan yang berhubungan dengan manusia, demikian juga dalam hal kesucian. Bersih dan suci pada dasarnya tidak jauh berbeda. Kata thaharah (bersuci) secara bahasa memiliki arti an-nazhafah (bersih). Namun, terdapat beberapa hal yang dianggap bersih, tapi ternyata belum suci, berlaku juga sebaliknya. Dalam Islam, untuk melaksanakan ibadah-ibadah tertentu, maka yang harus dilakukan adalah bersuci. Seperti yang tertera dalam Alquran:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kalian dalam keadaan junub, maka hendaklah kalian bersuci (mandi janabah). Dan jika kalia sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka tayammumlah dengan tanah yang baik, sapulah wajahmu dan tangamu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Pada ayat di atas, sudah sangat jelas bahwa untuk melaksanakan shalat, seseorang harus dalam keadaan suci, tidak hanya bersih. Sebab, jika hanya bersih, maka orang yang berhadas kecil atau besar cukup membersihkan sisa-sisa kotorannya. Namun Islam memiliki aturan tersendiri agar seseorang tidak hanya berada dalam kondisi bersih tetapi juga suci.

Al-Baihaqi merangkum penjelasan as-Syafi’i dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang macam-macam thaharah atau bersuci, yaitu wudu, mandi, tayamum, serta menghilangkan najis. Masing-masing dari cara bersuci tersebut telah ditetapkan aturan dan ketentuannya sesuai dengan porsinya sendiri. Kegiatan bersuci seperti wudu, mandi dan tayamum dilakukan untuk bersuci dari hadas, sedangkan menghilangkan najis tertuju pada pakaian dan tempat. Dengan demikian, seseorang diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah yang mewajibkan adanya thaharah terlebih dahulu.  Nabi saw bersabda,

لاَيَقْبَلُ اللهُ الصَّلاَةَ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ

Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.” (HR. Muslim)

As-Syafi’i menerangkan bahwa selain sebagai syarat sahnya suatu ibadah, ada beberapa hikmah yang dapat diambil di balik bersuci. Di antaranya:

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Pertama, menunjukkan fitrah Islam sebagai agama yang suci. Hal ini terbukti dari bagaimana Islam mengatur segala ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim saat akan melaksanakan ibadah kepada Allah.

Kedua, menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang Islam. Pada dasarnya, manusia itu cenderung menyukai sesuatu yang bersih dan menjauhi hal-hal kotor, serta senang berkumpul dengan orang-orang bersih. Adanya perintah untuk bersuci dalam agama Islam tentu membawa kehormatan dan kewibawaan agama Islam itu sendiri.

Ketiga, menjaga kesehatan. Kebersihan dapat melindungi diri dari kotoran yang di dalamnya terdapat kuman serta bakteri yang mengundang penyakit. Oleh karenanya, perintah bersuci yang menjadi tuntunan agama memberikan hikmah agar orang Islam terhindar dari penyakit. Caranya dengan membersihkan badan, wajah, tangan, dan kaki, sebab anggota-anggota tubuh tersebut merupakan tempat berdiamnya kotoran yang membawa penyakit.

Kemudian yang terakhir, sebagai perantara dalam mempermudah diri untuk mendekat kepada Allah. Islam yang merupakan agama suci tentu pemiliknya adalah Allah yang Maha Suci. Maka, untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seorang hamba harus mensucikan diri terlebih dahulu baik secara lahir maupun batin. Allah berfirman,

اِنَ اللهَ يُحِبُّ التَوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ اْلمُتَطَهِّرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)

Wallahu A’lam.

Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

0
menyembunyikan nikmat dari pendengki
menyembunyikan nikmat dari pendengki (muslimobsession.com)

Salah satu hal yang dapat kita ambil hikmahnya dari kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub dalam Surat Yusuf adalah senantiasa ada pendengki di sekitar apa yang kita miliki. Inilah yang mendorong Nabi Yaqub menyarankan putranya yang masih kecil; Nabi Yusuf, untuk menyembunyikan nikmat, yaitu mimpi adanya sebelas bintang bersama matahari dan rembulan bersujud padanya yang artinya kelak Nabi Yusuf akan memperoleh kemuliaan di atas saudara-saudaranya.

Sayangnya, mimpi tersebut akhirnya diketahui saudara-saudara Nabi Yusuf. Maka terjadilah kisah pembuangan Yusuf kecil ke sumur, dijual sebagai budak, dirayu istri seorang pejabat, sampai kemudian menjadi menteri di Mesir. Perjalanan Nabi Yusuf meski akhirnya menjadi jalan terbuktinya mimpinya, tapi telah membuktikan bahaya para pendengki.

Komentar Para Ahli Tafsir Tentang Rasa Iri pada Kisah Nabi Yusuf

Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya berkata, saat Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada sang ayah, sang ayah lalu menasihatinya: ““Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu (QS: Yusuf [12] 6). Nasihat ini muncul disebabkan Nabi Ya’qub khawatir, apabila saudara-saudara Yusuf tahu dan kemudian merasa iri, mereka kemudian bisa berbuat jahat pada Yusuf. (Tafsir Ibn Katsir/4/371)

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, memang diantara anak-anak Nabi Ya’qub, Yusuf lah yang paling disayang oleh ayahnya. Ini menimbulkan rasa iri dan dengki dari saudara-saudara Yusuf. Nabi Ya’qub sendiri tahu akan keberadaan rasa iri tersebut lewat berbagai tanda-tanda. Hal itulah yang mendorongnya memerintahkan Nabi Yusuf untuk menyembunyikan kabar tentang mimpinya. (Tafsir Mafatihul Ghaib/8/496)

Lalu bagaimana saudara-saudara Yusuf kemudian bisa tahu tentang mimpi tersebut? Tidak ada riwayat yang jelas tentang hal ini. Yang jelas, sebagaimana diungkapkan Imam As-Sya’rawi, sepertinya Nabi Yaqub mengetahui bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf bisa mengetahu tafsir dari mimpi itu. Sehingga Yusuf dilarang menceritakan mimpi itu pada saudara-saudaranya. (Tafsir Asy-Sya’rawi/11/6850)

Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan, Nabi Yaqub sebagai sang ayah tahu betul watak anak-anaknya. Dan Nabi Yaqub tahu betul bahaya rasa iri tersebut. Karena itu ia berusaha menjaga diri anaknya; Nabi Yusuf, dari bahaya rasa iri dan dengki tersebut. Dari sini para ahli tafsir kemudian mengambil pemahaman anjuran menyembunyikan kabar tentang nikmat yang hendak didapat.

Pentingnya Menjaga Diri dari Para Pendngki

Saran Nabi Yaqub kepada Nabi Yusuf untuk menyembunyikan mimpinya tersebut, adalah upaya menghindari rasa iri dari orang lain. Melindungi diri dari rasa rasa iri orang lain dengan cara menyembunyikan nikmat yang dimiliki, adalah satu ajaran Islam. Ibn Katsir menyatakan, sebaiknya menyembunyikan suatu nikmat yang sedang akan didapat sampai nikmat tersebut benar-benar didapatkan. (Tafsir Ibn Katsir/4/371)

Baca juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Ibn Katsir dan beberapa ahli tafsir juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas serta Mu’adz ibn Jabal:

اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ بِكِتْمَانِهَا، فَإِنَّ كُلَّ ذِيْ نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ

Berusahalah memperoleh kebutuhanmu dengan cara menyembunyikannya. Sesungguhnya setiap nikmat memiliki pendengkinya tersendiri (H.R. At Thabrani dan At-Tirmidzi)

Imam al-Munawi berkomentar, hadis ini mendorong kita agar dalam memperoleh apa yang kita cita-citakan, entah itu memperoleh sesuatu yang bermanfaat atau terhindar dari suatu bahaya, kita menyertainya dengan menyembunyikan hal itu dari telinga orang lain. Hal ini bermanfaat antara lain: 1) Menjaga hati dari bergantung kepada selain Allah; 2) Menjaga diri dari bahaya yang ditimbulkan orang yang iri; 3) Menjaga orang lain agar tidak bersikap iri dan dengki.

Namun, bukankah ada anjuran untuk menceritakan suatu nikmat sebagai rasa syukur kepada Allah (tahaddus bin nikmah)? Ya, benar, tapi hal itu berlaku saat nikmat tersebut sudah didapat bukan hendak didapat sebagaimana kisah Nabi Yusuf yang masih hendak memperoleh kemuliaan. Selain itu, dalam menceritakan suatu nikmat sebagai rasa syukur, juga disyaratkan aman dari rasa iri orang lain. (Faidul Qadir/1491)

Baca juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

Imam Ibn Hajar berkomentar, tentang anjuran saat mengalami mimpi yang indah untuk menceritakan kepada orang lain, bahwa orang lain yang dimaksud adalah orang yang memiliki kecendrungan menyukai kita. Bukan yang sebaliknya. Sehingga apabila orang lain itu orang berpotensi besar merasa iri dan dengki serta membahayakan kita, maka justru jangan sampai ia tahu tentang mimpi indah tersebut. (Fathul Bari/19/454)

Kesimpulannya, dari Kisah Nabi Yaqub dan Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf, kita bisa belajar banyak hal diantaranya adalah bahaya rasa iri dan sebisa mungkin mengatasi menjaga diri dari bahaya rasa iri dan dengki salah satunya dengan menyembunyikan hal-hal yang bisa menimbulkan rasa iri dan dengki. Selain itu, apabila kita terlanjur masuk dalam bahaya rasa iri sebagaimana dalam kisah Nabi Yusuf, maka jalan terbaik adalah bersabar. Kesabaran akan berbuah kebahagiaan.

Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

0
Kisah Nabi Sulaiman
Kisah Nabi Sulaiman credit: almuheet.net

Kisah nabi Sulaiman adalah salah satu kisah dalam al-Quran yang menarik untuk dikaji, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai kesucian jiwa, keluhuran akhlak, kemantapan iman, kecerdasan dan pengabdian kepada agama Allah Swt. Selain itu, Kisah nabi Sulaiman dianggap menarik karena ia memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki manusia lain.

Nabi Sulaiman adalah putra dari nabi Daud yang paling bungsu dari sebelas bersaudara. Ia lahir dari seorang perempuan saleh dan taqwa yang bernama Tasyayu’ bint Sura. Dikisahkan bahwa ibunya senantiasa mendorong nabi Sulaiman untuk tekun beribadah. Ia dijuluki dengan sebutan Sulaiman al-Hakim karena kebijaksanaanya. Sedangkan dalam perjanjian lama, nabi Sulaiman sering disebut sebagai Saloma dan dikenal sebagai seorang raja.

Al-Quran banyak menyebutkan nama Sulaiman as, tepatnya sebanyak 17 kali yang tersebar dalam 7 surah, yaitu: QS. al-Baqarah [2]: 2 kali, QS. al-Nisa [4] 1 kali, al-An’am [6] 1 kali, al-Anbiya [21] 3 kali, al-Naml [27] 7 kali, Saba’ [34] 1 kali dan Shad [38] 2 kali. Sebagian besar ayat tersebut bercerita tentang sifat-sifat dan keutamaan yang Allah berikan kepada nabi Sulaiman (al-Mu’jam al-mufahras li Alfazh al-Qur’an: 357-358).

Diantara kisah nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an yang masyhur di masyarakat adalah kisah tentang nabi Sulaiman dan pasukannya ketika melewati sekelompok semut (QS. An-Naml [27]: 18) serta kisahnya dengan ratu Balqis seorang ratu negeri Saba yang menyembah matahari (QS. An-Naml [27]: 38-39). Dua kisah tersebut mengisahkan bagaimana kehebatan nabi Sulaiman dan pasukannya berkat karunia Allah.

Kisah-kisah nabi Sulaiman di atas, sebenarnya membawa nilai dan tujuan pendidikan Islam yang harus dipahami pembaca Al-Qur’an. Menurut Athiyah al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam ada dua, yaitu: Pertama, tujuan yang berorientasi akhirat, yakni membentuk hamba yang beriman dan bertaqwa. Kedua, tujuan yang berorientasi dunia, yakni membentuk manusia yang mampu menghadapi segala macam rintangan hidup dan bermanfaat bagi orang lain (al-Tarbiyah wa al-Falsafatuha: 286).

Baca Juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Kepribadian Nabi Sulaiman Sebelum Menjadi Raja

            Sejak kecil nabi Sulaiman dikenal saleh dan taat beribadah, sehingga kehadirannya di tengah keluarga dianggap sebagai karunia Allah terutama bagi nabi Daud as (ayah). Sifatnya ini tidak lepas dari hasil pendidikan yang diberikan oleh ibunda nabi Sulaiman, yakni Tasyayu’ bint Sura dan juga atas izin Allah Swt. Ketaatan dan ketakwaan tersebut Allah sebutkan dalam firman-Nya yang berbunyi;

وَوَهَبْنَا لِدَاوٗدَ سُلَيْمٰنَۗ نِعْمَ الْعَبْدُ ۗاِنَّهٗٓ اَوَّابٌۗ ٣٠

Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman; dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” ((QS. Shad [38]: 30)

Kata awwab pada ayat di atas bermakna al-ruju’u yakni kembali. Oleh sebab itu M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat ini merupakan informasi tentang karunia Allah kepada Nabi Daud as berupa seorang anak yang mulia bernama Sulaiman as. Ia merupakan sebaik-baik hamba Allah pada masanya, karena ia selalu taat kepada Allah dan senantiasa mengembalikan segala persoalan kepada-Nya. Nabi Sulaiman as meyakini bahwa segala sesuatu yang direncanakan manusia tidak akan terlaksana tanpa bantuan Allah (Tafsir al-Misbah [12]: 139).

Al-Marāgī menyatakan, kesalehan dan ketakwaan nabi Sulaiman dipertegas melalui kebiasaannya melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. Nabi Sulaiman bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermunajat kepada Allah Swt. Karena ia yakin bahwa untuk mendapatkan pertolongan dan petunjuk Allah Swt, seseorang harus mendekatkan diri kepada-Nya terlebih dahulu (Tafsir Al-Marāgī [23]: 118).

Selain hamba yang taat dan takwa, nabi Sulaiman juga seorang yang cerdas dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Sifatnya ini tidak lepas dari upaya nabi Daud yang menginginkan agar anaknya tumbuh menjadi seorang raja yang cerdas dan bijaksana. Dari sekian banyak anak nabi Daus as, hanya nabi Sulaiman yang mampu memenuhi impiannya.

Selama bertahun-tahun, nabi Daud telah menantikan seorang penerus yang cocok bagi kerajaannya. Namun ia tidak kunjung menemukan pengganti yang mampu mengampu tanggung jawab tersebut. Siang dan malam nabi Daud as berdoa kepada Allah agar diberikan keturunan yang mulia. Doa-doa tersebut kemudian Allah jawab dengan menghadirkan seorang anak yang bernama Sulaiman.

Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Salah satu bukti kecerdasan nabi Sulaiman adalah keputusan bijaknya mengenai sengketa antara pemilik kebun dan kabing. Kisah ini tertuang dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 78-79 yang bermakna:

 “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”

Berkenaan dengan ayat di atas, dikisahkan bahwa suatu ketika dua orang laki-laki (pemilik kebun dan kambing) mengadukan permasalahan mereka kepada nabi Daud terkait tanaman yang dimakan kambing. Beliau berkata, “pergilah dan seluruh kambing itu milikmu (pemilik kebun).” Lantas pemilik kambing kembali dengan keadaan hati yang sedih karena telah kehilangan kambingnya.

Ketika berada di tengah perjalanan, si pemilik kambing bertemu nabi Sulaiman. Ia lantas mengadukan permasalahannya. Mendengar hal tersebut, nabi Sulaiman menghadap nabi Daud dan berkata, “ayahanda sesungguhnya keputusan mengenai perkara ini tidaklah seperti yang engkau putuskan.” Nabi Daud menjawab, “lalu bagaimana keputusan yang seharusnya ku ambil wahai anakku.”

Nabi Sulaiman berkata, “serahkan kambing itu kepada pemilik tanaman, agar ia dapat memanfaatkan susu, anak-anak dan bulunya. Kemudian serahkan ladang itu kepada pemilik kambing, agar ia merawatnya seperti sedia kala. Setelah itu masing-masing dapat mengambil hak mereka kembali.” Mendengar keputusan nabi Sulaiman, nabi Daud tersenyum dan berkata, “aku menyetujui keputusan tersebut.” Wallahu a’lam.

Tiga Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas: (1) Said Ibn Jubair

0
Madrasah Tafsir Ibn Abbas
Madrasah Tafsir Ibn Abbas credit: mosoah.com

Madrasah tafsir Ibn Abbas (Mekkah) menjadi salah satu dari tiga madrasah keilmuan yang populer di era Tabi’in. Dengan dipimpin langsung oleh Ibn Abbas sebagai pengajar utamanya, madrasah ini kemudian dikenal sebagai salah satu institusi keilmuan yang berhasil melahirkan generasi-generasi dengan level keilmuan yang tak kalah dengan para pendahulunya. Luar biasa bukan? Maka pada edisi tulisan kali ini kita akan memperkenalkan dan mengulas secara singkat tiga tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ibn Abbas.

Ketiga orang Tabi’in yang merupakan murid langsung dari Ibn Abbas dan akan diulas secara singkat dalam format edisional ialah Said ibn Jubair, Mujahid, dan Ikrimah. Secara umum—sebelum mengulas satu persatu—ketiga Tabi’in ini memiliki perbedaan dalam riwayat yang mereka sampaikan dari gurunya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan ulama dalam menilai ke-tsiqah-an mereka. Maka menarik untuk mengenal dan mengulas masing-masing dari mereka satu persatu.

Baca Juga: Siapa Saja Mufasir EraSahabat? Edisi Ibn Abbas

Said dan Sepenggal Kisah Menarik

Nama lengkapnya ialah Muhammad Said ibn Jubair ibn Hisyam. Ia memiliki beberapa nama lain diantaranya Abu Abdillah dan Ibn Ummi al-Dahma’. Ia merupakan orang Habasyah asli. Ciri fisiknya digambarkan memiliki kulit yang gelap dan jambul rambut yang putih. Ia merupakan seorang Tabi’in yang gigih dalam menimba ilmu. Dikatakan bahwa ia mendengar seluruh petuah para pembesar Sahabat, menjadi murid sekaligus rawi dari gurunya Ibn Abbas, kemudian Ibn Mas’ud serta sahabat lainnya.

Said ibn Jubair merupakan salah satu Tabi’in utama yang menguasai berbagai keilmuan baik Tafsir, Hadis, maupun Fiqh. Ia juga meriwayatkan qira’at Ibn Abbas, tafsirnya serta menjadi periwayatnya (Ibn Abbas) dengan riwayat paling banyak. Said ibn Jubair juga meriwayatkan qira’at yang tsabit (terkualifikasi) dari Sahabat lainnya.

Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh Ismail ibn Abdil Malik dikatakan bahwa Said ibn Jubair pernah menjadi imam sholat malam di bulan Ramadhan dan ia selalu membaca al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda di setiap malamnya. Malam pertama ia membaca dengan qira’at Ibn Mas’ud, selanjutnya qira’at dengan qira’at Zaid ibn Tsabit dan begitu seterusnya.

Maka tidak heran jika Said ibn Jubair dapat memiliki keluasan ilmu tentang makna redaksi ayat serta rahasia yang ada di baliknya. Namun, meskipun memiliki kapasitas dan level keilmuan yang mumpuni, Said enggan menafsirkan al-Qur’an dengan pandangan pribadinya. Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh Ibn Khulkan dikatakan bahwa Said diminta seseorang untuk menuliskannya tafsir, namun Said langsung marah ketika itu dan mengatakan, “mati sengsara lebih baik untukku dari pada itu”.

Riwayat itu menjadi sepenggal kisah yang menarik. Jika ditelaah mungkin yang dimaksud tafsir yang dibenci oleh Said adalah penafsiran spontan tanpa adanya telaah mendalam yang melibatkan berbagai perangkat keilmuan. Sebab dalam riwayat lainnya tatkala Ibn Abbas ditanya berbagai permasalahan oleh masyarakat Kufah, ia pun mempercayakannya pada Said ibn Jubair. Tentu pertanyaan dari masyarakat bisa saja pertanyaan yang membutuhkan ijtihad, maka jika Said tidak menggunakan ra’y atau logika berpikirnya maka bagaimana ia akan menjawabnya?

Para ulama Jarh wa Ta’dhil menilainya sebagai sebagai seorang yang memiliki hujjah yang tsiqah (kredibel) serta pantas dijuluki Imam umat Islam. Said ibn Jubair pun gugur di tangan seorang penguasa zalim bernama al-Hajjaj di tahun 95 Hijriah sebagai seorang syahid. Kala itu umurnya telah menginjak usia 49 tahun. Kematiannya pun menjadi tangisan bagi alam, Amr ibn Maimun meriwayatkan sebuah ungkapan yang bersumber dari ayahnya, “sungguh telah wafat Said ibn Jubair dan tidaklah satu pun benda yang nampak di bumi ini kecuali membutuhkan ilmunya”.