Beranda blog Halaman 527

Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

0
Dua Anak Nabi Adam
Dua Anak Nabi Adam credit: sotor. com

Qabil dan Habil adalah dua anak nabi Adam yang diceritakan oleh Al-Qur’an. Cerita keduanya merupakan kelanjutan dari episode kisah perjalanan nabi Adam dan keturunannya di dunia. Di dalam kisah tersebut terdapat pesan-pesan ilahi yang memuat banyak hikmah, pelajaran dan peringatan bagi seluruh manusia setelah mereka, terkhusus pembaca al-Qur’an al-Karim.

Diceritakan bahwa setelah nabi Adam bisa bertemu kembali dengan Hawa di Jabal Rahmah pasca diturunkan ke dunia (bumi), keduanya melangsungkan kehidupan berumah tangga. Kemudian nabi Adam dianugerahi 4 orang anak, yakni Qabil, Iklima, Layutsa dan Habil. Qabil dan Iklima dilahirkan secara beriringan (kembar), begitu pula Layutsa dan Habil.

Anak-anak nabi Adam tumbuh sebagaimana anak-anak biasanya. Mereka bermain, belajar, berinteraksi dan beribadah di bahwa bimbingan nabi Adam dan Hawa. Meskipun anak-anak Adam as memiliki privilage yang sama, perbedaan sikap dan sifat di antara mereka tidaklah bisa dihindari. Karena ini berkaitan dengan cara masing-masing anak merespon peristiwa atau realitas yang terjadi di sekitar mereka.

Ketika dua anak Nabi Adam ini menjelang usia dewasa, Ayahandanya memberikan dua tanggung jawa kepada keduanya. Qabil diserahi tanggung jawab untuk mengurus ladang pertanian, sedangkan Habil diberi amanah untuk mengurus peternakan domba. Dari kedua pekerjaan tersebut, terlihat bahwa Habil lebih rajin dan telaten dibandingkan Qabil yang suka bermalas-malasan.

Kemudian Allah mewahyuan kepada nabi Adam untuk mengawinkan Habis dengan Iqlima dan Layutsa dengan Qabil. Ini bertujuan untuk meneruskan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Mendengar perintah Allah itu, Qabil menolak dan berkata, “Aku tidak akan kawin kecuali dengan Iqlima, karena ia dilahirkan bersamaku dalam satu kandungan. Aku lebih mencintainya daripada saudari sekandung Habil.”

Nabi Adam kemudian menegur Qabil, “Wahai anakku, janganlah engkau menentang Allah Swt dalam urusan yang telah diperintah oleh-Nya kepadaku.” Qabil tetap bersikeras dan mengatakan, “Kalau demikian, aku tidak akan membiarkan saudara laki-lakiku mengambil Iqlima bagaimanapun keadaannya.” Dikisahkan bahwa Qabil melakukan ini karena Iqlima jauh lebih cantik dibandingkan Layutsa.

Baca Juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Agar permasalahan tersebut selesai, dua anak nabi Adam ini kemudian diperintahkan untuk berkurban kepada Allah. Siapa yang kurbannya diterima, maka ia berhak mendapatkan Iqlima. Mendengar itu, Qabil dan Habil setuju. Mereka berdua pergi menuju Makkah sambil membawa kurban. Habil mengurbankan domba yang paling bagus, sedangkan Qabil mengurbankan buah-buahan yang paling jelek.

Api pun turun menyambar kurban Habil dan membiarkan kurban Qabil. Qabil tidak menerima hal itu, karena ia akan kehilangan Iqlima. Ia berkata dengan sangat marah, ”Sungguh aku akan membunuhmu, sehingga engkau tidak dapat menikah dengan saudara perempuanku.” Habil lantas menjawab, “Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” Pembicaraan selesai dan keduanya pulang ke rumah.

Abu Ja’far al-Baqir menyebutkan: Adam merasa gembira dengan kurban kedua anaknya tersebut dan merasa senang dengan diterimanya kurban Habil, walaupun kurban Qabil tidak diterima. Mengetahui respon ayahnya, Qabil dengan hati yang dengki lantas berkata, “Allah menerima kurban Habil sebab engkau berdoa untuknya dan tidak berdoa untukku.” Ia masih tidak rela melepaskan Iqlima dan berencana untuk membunuh Habil.

Pada suatu hari, Habil tidak pulang dari menggembala. Maka nabi Adam mengutus Qabil untuk mencari tahu kenapa ia tidak pulang. Setelah bertemu Habil, Qabil kembali mengancam Habil dengan berkata, “Seandainya engkau mengambil Iqlima, pasti aku akan membunuhmu. Aku tidak akan memberikan saudara perempuanku yang cantik kepadamu dan aku tidak akan menikahi saudara perempuanmu yang jelek itu.”

Mendengar ancaman saudaranya, Habil menjawab, “Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Maidah: 28) Habil menunjukkan rasa takut kepada Allah dan keengganan melawan tindakan buruk saudaranya, sekalipun dirinya jauh lebih kuat dibandingkan Qabil.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Pada saat itu, Iblis mencoba memanas-manasi Qabil dan membisikkan rencana-rencana jahat yang seharusnya ia lakukan. Akibat bisikan tersebut, emosi Qabil memuncak dan ia mengambil sebongkah batu lancip lalu memukulkannya ke kepala Habil hingga ia tewas terbunuh. Menurut sebagian ahli kitab, peristiwa ini terjadi di gunung Qasiyyun, selatan kota Damaskus.

Setelah Qabil membunuh Habil, ia kebingungan mau dibawa ke mana dan mau diapakan mayat saudaranya tersebut. Sebagian ulama tafsir menyebutkan bahwa Qabil membawa mayat Habil di pundaknya selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Al-Suddy mengatakan bahwa Qabil selalu membawa mayat Habil kemanapun ia pergi, hingga Allah mengirim dua ekor gagak yang mencontohkan cara mengubur mayat. Firman Allah Swt:

“Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah [5]: 31)

Akibat dari tindakan pembunuhan tersebut, Qabil diberikan balasan setimpal, yakni menanggung dosa yang amat besar. Firman Allah Swt, “Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 29)

Ahli sejarah mengatakan bahwa nabi Adam sangat sedih ketika mengetahui kematian Habil. Ibnu Abbas juga mengatakan hal senada: “Setelah Adam as merasa yakin anaknya terbunuh, ia menangis beserta istrinya Hawa. Tahun itu menjadi tahun musibah bagi anak-anak mereka.” Dikisahkan, nabi Adam bahkan melantunkan syair kesedihan (syair Arab), namun pendapat ini lemah karena Adam termasuk orang yang berbahasa Suryani. Wallahu a’lam.

Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

0
Ibn Jarir At-Thabari
Tafsir Ibn Jarir At-Thabari

Para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir wajib mengenal Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir. Dijuluki sebagai bapak tafsir sebab ia memiliki sebuah karya tafsir fenomenal yang sampai saat ini masih menjadi rujukan yang wajib dipelajari oleh para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir.

Penasaran bukan siapa sebenarnya Ibn Jarir At-Thabari dan apa karya fenomenal yang menyebabkannya dijuluki bapak Tafsir? Tulisan ini akan mengulas biografi serta karya fenomenalnya. Meskipun tidak komprehensif, namun tulisan ini penulis dedikasikan kepada para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir untuk lebih mengenal Ibn Jarir.

Mengenal Ibn Jarir At-Thabari

Nama lengkapnya Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib At-Thabari. Ia juga dipanggil dengan sebutan (kunyah) Abu Ja’far. Perlu dicatat bahwa mengetahui kunyah Ibn Jarir sangat penting untuk tidak terkecoh dalam membaca tafsirnya. Ibn Jarir ialah seorang ulama yang berasal dari Amol, Thabaristan (sebelah selatan laut Kaspia) dan lahir di sana pada tahun 224 Hijriyah.

Abu Ja’far mulai mengembara mencari ilmu saat usinya baru menginjak 12 tahun. Ia melintasi berbagai daerah demi memenuhi rasa hausnya akan ilmu. Mulai dari Mesir, Syam serta Irak telah ia jelajahi. Pada akhirnya ia menetap di Baghdad hingga akhirnya wafat di tahun 310 Hijriyah.

Selama hidupnya, Ibn Jarir dikenal sebagai salah seorang cendekiawan yang pendapatnya atau fatwanya selalu dirujuk. Ia merupakan seorang ulama yang dikatakan menguasai seluruh keilmuan yang tidak tertandingi di masanya. Seorang penghafal al-Qur’an dan Hadis yang lengkap dengan pengetahuan akan makna dan kandungan fiqhnya serta cabang-cabang keilmuan yang ada di dalamnya.

Sebagai bukti atas keluasan ilmunya, Ibn Jarir memiliki banyak sekali karya-karya ilmiah yang sampai saat ini menjadi rujukan para pengkaji Islamic Studies. Dua dari karya-karyanya yang fenomenal antara lain Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir), Tarikh al-Umam wa al-Mulk (Sejarah). Adapun ia juga menulis dalam bidang-bidang lainnya yang tidak diketahui judulnya yaitu dalam bidang Qira’at, Asbabun Nuzul, Perbandingan Madzhab, Rijalul Hadis, Hukum Syari’at/ Fiqh.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Hanya dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita dan lainnya tidak ditemukan rekam jejaknya. Itulah yang menyebabkan banyak dari karya Ibn Jarir tidak diketahui judulnya. Meskipun begitu dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita sudah cukup untuk membuatnya dijuluki sebagai bapak Tafsir serta bapak Sejarah. Sebab dua kitab itu dinilai sebagai karya yang memiliki muatan ilmiah yang tinggi sehingga sangat pantas dijadikan sebagai rujukan utama.

Ibn Khulkan mengakui bahwa Ibn Jarir adalah seorang Imam Mujtahid (Mujtahid Mutlak) yang tidak bertaqlid pada siapapun, maka Ibn Ishaq asy-Syairazi pun menempatkannya pada kategori faqih-mujtahid. Dengan kedudukannya yang tinggi, banyak yang mengatakan bahwa Ibn Jarir telah merintis madzhabnya sendiri dan pengikutnya disebut “Jaririyah”.

Sebelum merintis jalan ijtihadnya sendiri, Ibn Jarir diketahui bermadzhab Syafi’i. Dalam kitab Al-Thabaqat al-Kubra yang dikarang oleh Imam al-Subki dikatakan bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang bermadzhab Syafi’i dan ia juga berfatwa di bawah naungan madzhab Syafi’i selama 10 tahun di Baghdad. Hal tersebut juga senada dengan komentar as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Mufassirin.

Dari sisi penilaian akan kualitas riwayatnya serta pribadinya, Ibn Hajar dalam kitabnya Lisan al-Mizan memberikan penilaian bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang tsiqah (kredible). Ia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa Ibn Jarir adalah ulama yang memiliki keterkaitan dengan Syi’ah dan menegaskan bahwa dalam menilai seorang ulama dibutuhkan kehati-hatian.

Metode Ibn Jarir dalam Tafsirnya

Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an merupakan kitab tafsir 30 Juz yang terdiri dari beberapa volume atau jilid. Dahulu kitab ini nyaris tidak bisa kita dapati hari ini, sebelum akhirnya ditemukan versi lengkapnya di era Amir Hamud ibn Amir Abdur Rasyid dan kemudian segera disalin dan dicetak.

Seluruh pengkaji al-Qur’an baik dari Timur maupun Barat bersepakat akan tingginya level kitab ini. al-Suyuthi berpendapat bahwa karya Ibn Jarir ini merupakan karya tafsir yang paling agung dan memuat berbagai penjelasan keilmuan yang begitu luas. Al-Nawawi berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyaingi karya Ibn Jarir ini.

Cendekiawan Barat seperti Noldeke mengatakan bahwa jika seorang pengkaji tafsir telah membaca karya Ibn Jarir maka ia tidak membutuhkan karya-karya tafsir muta’akhir. Beberapa pendapat para cendekiawan itu membuktikan level dari karya Ibn Jarir ini sehingga tidak heran jika ia dijuluki sebagai bapak Tafsir.

Adapun dalam penulisan tafsirnya, Ibn Jarir memiliki beberapa metode yang penting untuk diketahui. Namun sebelumnya ada beberapa ciri khas dari tafsir Ibn Jarir ini yang akan disebutkan. Pertama, memiliki kalimat pembuka sebelum masuk ke penafsiran. Kalimat pembuka tersebut berbunyi seperti ini, “al-qaul fi ta’wil qauluhu ta’ala”. Kedua, mengutip seluruh riwayat penafsiran yang ada dari Sahabat maupun Tabi’in. Ketiga, tidak meringkas riwayat yang didapat dan melakukan tarjih atasnya. Keempat, menyajikan penjelasan I’rab namun tidak pada semua penafsiran. Kelima, memberikan hasil istinbat hukum dan pilihan yang dipilihnya.

Adapun secara lebih luas ada beberapa pokok metode penulisan tafsir Ibn Jarir At-Thabari yaitu: 1) mengingkari penafsiran yang hanya bersandarkan praduga tanpa adanya telaah ilmiah yang memadai (al-tafsir bi mujarrad al-ra’y); 2) memperhatikan kelengkapan dan keshahihan sanad dalam kutipannya terhadap perkataan Sahabat maupun Tabi’in; 3) menggunakan hasil ijmak umat Islam pada masalah fiqhiyah; 4) menjelaskan sisi qira’at baik asal dan kualitasnya serta melakukan analisa makna; 5) mengambil riwayat Israiliyyat dan menyertakan rantai riwayatnya dengan lengkap; 6) tidak menafsirkan redaksi yang tidak begitu penting untuk ditafsirkan secara mendalam; 7) menggunakan istilah-istilah yang lazim diketahui dalam percakapan bahasa Arab untuk mencari variasi makna; 8) menunjukan perbedaan madzhab bahasa (al-madzahib al-nahwiyah) dalam menjelaskan suatu redaksi; 9) merujuk pada sya’ir jahiliyah; 10) menampilkan diskusi di antara madzhab fiqh; 11) memasukkan diskusi madzhab kalam.

Jika ingin mendapatkan ulasan yang lebih detail mengenai Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir, para pembaca bisa merujuk langsung pada kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun yang dikarang oleh Adz-Dzahabi. Di sana pembaca akan mendapati contoh dari masing-masing metode yang tidak bisa dituliskan dalam tulisan ini sebab keterbatasan teknis. Wallahu a’lam.

Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

0
living quran
living quran

Living Quran adalah sebuah diskursus dalam studi Alquran yang mulai banyak diminati akademisi tafsir dewasa ini karena menawarkan perspektif baru dalam melihat relasi Alquran dengan pembacanya.

Studi Alquran yang selama ini terpaku pada studi berbasis teks, kini diperluas pada aspek fenomena di lapangan. Ini terkait bagaimana teks Alquran dipahami, diresepsi dan dipraktikkan oleh masyarakat, sehingga Alquran secara tidak langsung seakan-akan ‘hidup’ di tengah-tengah mereka.

Dari sini muncul istilah living quran, di mana resepsi atas Alquran melahirkan berbagai fenomena praktik, tradisi dan ritual di masyarakat. Dengan kata lain, suatu bentuk pemahaman Alquran yang berada pada level praksis di lapangan. 

Tentunya dalam kajian ini, berbagai fenomena tersebut tidak untuk dikritisi kesesuaiannya dengan ajaran Alquran atau tidak, melainkan dipandang sebagai keragaman fenomena sosial keagamaan.

Baca Juga: 3 Model Interaksi Manusia dengan Al Quran Menurut Farid Esack

Living Quran sebagai penelitian sosial

Sebagai sebuah kajian sosial, kajian living quran menggunakan analisis dan pendekatan ilmu sosial pula, tidak lagi hanya mengandalkan perangkat ulumul quran yang telah dirumuskan para ulama tafsir.

Buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis merupakan karya yang pertama kali mengenalkan istilah living quran sebagai sebuah diskursus baru dalam ranah kajian Al Quran sekaligus sebagai sebuah metodologi penelitian.

Buku tersebut menawarkan beberapa metode riset, di antaranya penelitian kualitatif, pendekatan sosiologi dan fenomenologi. Tentunya ini bukanlah ketentuan baku, karena sebagai sesuatu yang baru, model kajian ini masih belum matang dan pakem.

Salah satu contoh penelitian living quran ialah disertasi Ahmad Rafiq yang berjudul, The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community. Karya ilmiah ini ia tulis pada tahun 2014 di The Temple University, USA.

Rafiq meneliti bagaimana masyarakat Banjar yang notabene bukan penutur bahasa Arab berinteraksi dengan Alquran. Alquran menempati peran sentral di kalangan warga Banjar dan mengisi banyak aspek kehidupan mereka sejak masih dalam kandungan ibu hingga detik-detik terakhir menjelang ajal menjemput.

Berbagai bentuk upacara dan praktik terkait dengan Alquran tersebut menurut Rafiq merupakan wujud dari tafa’ul (optimisme) warga Banjar dengan firman Allah SWT yang diyakini keberkahannya.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim IndonesiaHikmah Membaca Surat Maryam bagi Ibu Hamil

Resepsi Al Quran di Indonesia

Kajian living qur’an sangat cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki struktur sosio-kultural masyarakat yang khas. Melalui kajian ini, kita dapat mengenalkan kekayaan budaya lokal kepada orang luar. Menarik melihat berbagai keunikan resepsi Alquran di bumi Nusantara, hasil dari asimilasi antarbudaya.

Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Rafiq membagi resepsi Alquran menjadi tiga macam varian.

Pertama, resepsi eksegesis yang berkaitan dengan interpretasi terhadap makna teks Alquran. Misalnya kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara, baik dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia maupun bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Madura, Sunda, Melayu dan Bugis.

Kedua, resepsi estetis yang berupa interaksi pembaca yang menekankan pada aspek estetika Alquran atau mendekati Alquran dengan cara yang estetis. Di antaranya adalah fenomena Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ)  dan penerjemahan Alquran secara puitis oleh H.B. Jassin. 

Ketiga, resepsi fungsional, di mana Alquran diresepsi berdasarkan fungsi Alquran itu sendiri sebagai sesuatu yang dipraktikkan dan diamalkan pembaca baik melalui lisan maupun tulisan. Contohnya pembacaan ayat-ayat Alquran dalam praktik ruqyah dan terapi murottal Alquran yang diperdengarkan kepada pasien di rumah sakit.

Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

0
Membudayakan mauidzah hasanah
Membudayakan mauidzah hasanah

Mauidzah hasanah  didefinisikan dengan pengajaran yang baik melalui penyampaian tutur kata dan perilaku yang lembut, sejuk dan mendamaikan. Baik tidaknya cara menyampaikan materi memang penting bagi pemahaman siswa. Karena itulah pendidik harus membudayakan mauidzah hasanah dalam proses belajar mengajar.

Konten atau isi pelajaran jika tidak ditopang dengan penyampaian yang baik; penuturan pendidik yang meneduhkan, maka pesan materi pelajaran tidak membekas dalam kalbu siswa. Justru yang ada, mereka enggan menerimanya.

Sayangnya, institusi pendidikan kita masih ditemui beberapa pendidik yang arogan, gemar menghujat, memaki, tidak sabar dan menihilkan potensi peserta didik. Karenanya Allah swt dalam firman-Nya QS. An-Nahl [16]: 125, mengingatkan kita untuk menyampaikan sesuatu dengan cara yang baik:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 125)


Baca juga: Rambu Berdebat dalam Al Quran dan Hadis


Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125

Pada pembahasan ini akan concern pada metode selanjutnya yaitu mauidzah hasanah. Redaksi mauidzah hasanah dapat diartikan dengan nasehat, wejangan, pitutur, pengajaran dan pendidikan yang baik. Para mufassir berbeda-beda dalam menjelaskan kata mauidzah. As-Suyuthi misalnya dalam Tafsir Jalalain mendefinisikan mauidzah dengan muwa’adzah aw al-qaulur rafiq (perkataan yang lembut). Sedangkan Ibnu Katsir menafsiri mauidzah hasanah sebagai peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga diharapkan mereka akan mengingat Allah swt.

Adapun At-Thabari menyebutnya dengan al-‘ibrul jamilah (perumpamaan yang indah) yang bersumber dari Al Quran sebagai argumentasi dalam proses penyampaian. Sementara, Muhammad ‘Ali As-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir memaknainya dengan luthfin wa layyinin (perkataan yang halus, ramah lagi lembut).

Di sisi lain, Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi  menafsirkannya dengan ad-du’a ilallah bi targhib wa tarhib (mengajak kepada jalan Allah dengan motivasi dan ancaman).

Penafsiran senada juga disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wat Tanwir. Mauidzah hasanah dimaknainya dengan perkataan yang mendamaikan jiwa manusia sebab dilakukan dengan cara-cara yang baik. Mauidzah hasanah juga dapat diartikan peringatan yang baik yang mampu menyentuh akal dan hati.

Definisi yang lain mengatakan mauidzah hasanah diartikan dengan memberi petunjuk yang membawa spirit kepada kebenaran. Selain itu, menunjukkan bahaya dari perbuatan buruk, yang mengesankan bagi pendengarnya. Tidak ada metode yang paling baik kecuali yang disampaikan dengan ahsan (yang lebih baik).


Baca juga:Tafsir Tarbawi; Mengulik Metode Tanya-Jawab Ala Rasulullah Saw.


Membudayakan Mauidzah Hasanah

Sudah jamak kita pahami bahwa materi yang bagus harus dikemas dengan baik dan semenarik mungkin. Begitu juga dalam konteks pendidikan, materi pelajaran yang baik harus dikemas dengan penuturan yang lembut pula. Dan yang penting pula, harus diiringi dengan perilaku baik.

Melalui metode mauidzah hasanah, pendidik dapat membimbing dan mengarahkan siswa pada hal-hal positif melalui penanaman nilai-nilai agama dan norma yang berlaku . Inilah yang menjadi salah satu lantaran mereka memiliki pengetahuan untuk memilah dan memilih mana yang baik serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh


Pendidikan Islam tidak hanya mengaksentuasikan transfer of knowledge (ilmu pengetahuan), melainkan transfer of value (nilai). Sehingga, pendidikan Islam mempunyai distingsi pada aspek nilai kejujuran, kebaikan, kesopanan, integritas, tanggungjawab, dan kepemimpinan. Pendek kata mencetak peserta didik yang berakhlakul karimah.

Karena itulah, tujuan yang mulia itu harus dibarengi dengan metode penyampaian yang baik pula (mauidzah hasanah). Melalui prinsip mauidzah hasanah diharapkan dapat memberikan sumbangsih pendidikan yang ramah terhadapan siswa, dan kita sebagai manusia pada umumnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

0
kebahagiaan dengan beristighfar
kebahagiaan dengan beristighfar

Diantara kunci kebahagiaan hidup adalah dengan beristighfar (memohon ampun) serta bertaubat kepada Allah swt. Sudah menjadi fitrah, bahwa manusia tidak dapat mengelak dari melakukan dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Namun demikian, sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah yang beristighfar dan taubat. Peluang ampunan ini merupakan anugerah rahmat yang terbesar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.

Allah swt memberi janji kebahagiaan bagi siapapun yang beristighfar. Disebutkan dalam firman-Nya,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Huud [11]: 3)

Baca juga: Tafsir Surah An Nahl Ayat 97: Tips Meraih Hidup Bahagia

Alquran ketika menyebutkan perintah beristighfar selalu beriringan dengan perintah taubat. Menurut az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, bahwa cara mendapatkan ampunan dari Allah hanyalah dengan bertaubat. Istighfar adalah memohon ampunan, dan taubat adalah penyesalan akan kesalahan masa lalu, melepas ikatan-ikatan (jaringan) kemaksiatan dalam segala bentuk, serta tekad yang tulus tidak mengulangi kembali perbuatan-perbuatan dosa di masa yang akan datang. Berbeda dengan pendapat al-Farra’, bahwa makna istighfar dan taubat adalah sama. (Al-Baghawi, juz 12, hlm. 438)

Kedua pendapat di atas tidak saling bertentangan. Karena esensi dari istighfar dan taubat adalah pengakuan diri sebagai hamba dan beribadah semata-mata karena-Nya. Keduanya sama-sama merupakan perintah dan kewajiaban bagi seseorang untuk memohon ampunan dari kesyirikan dan dosa-dosa, begitu juga bertaubat dengan kembali taat dan beribadah kepada-Nya. (Az-Zuhaili, juz 12, hlm. 14)

Baca juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

Ketika menafsiri ayat di atas, az-Zuhaili menyebutkan juga dalam tafsirnya tentang  agungnya keutamaan beristighfar dan bertaubat.

إن ثمرة الاستغفار والتوبة أمر عظيم واسع شامل الدنيا والآخرة، ففي الدنيا تمتيع إلى نهاية العمر المقدر بالمنافع من سعة الرزق ورغد العيش، وعدم الاستئصال بالعذاب كما فعل بمن أهلك من الأمم السابقة وفي الآخرة إيتاء كل ذي عمل من الأعمال الصالحة جزاء عمله

“Sesunguhnya buah dari istighfar dan taubat adalah suatu karunia yang agung, meliputi kebaikan dunia dan akhirat. Di dunia seseorang akan mendapatkan kebahagiaan sampai akhir hayatnya, berupa lapangnya rizki, hidup yang indah, dan aman dari adzab sebagaimana yang telah membinasakan umat-umat terdahulu. Dan di akhirat dia akan diberi balasan-balasan dari amal shaleh yang telah dikerjakan.”

Secara aplikatif, sebenarnya kebiasaan beristighfar sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw, padahal beliau insan yang terjaga dari maksiat. Tercatat dalam sebuat riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah (memberi pelajaran kepada umatnya) senantiasa beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan diriwayat Imam Bukhari beliau beristighfar setiap hari lebih dari 100 kali.

Pelajaran yang dapat diambil dari perilaku Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah melakukan kesalahan. Tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita tanpa terkecuali. Tidak hanya ketika merasa melakukan kesalahan, karena semakin seseorang dekat dengan Allah, maka akan selalu merasa belum memenuhi hak-hak-Nya. Melalui istighfar pula, kebahagiaan juga akan diraih.

Baca juga: Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Dalam konteks ini, Ibnu katsir menafsirkan surat Hud ayat 52 dengan menukil hadits Rasulullah saw,

من لزم الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا ومن كل ضيق مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang mampu mulazamah atau kontinyu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberi rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”. (HR. Ibnu Majah)

Wallahu A’lam.

Inilah 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis

0
perbedaan pendapat nasikh mansukh
perbedaan pendapat nasikh mansukh

Keutamaan membaca al Quran yaitu mampu mendapatkan pahala, akan tetapi ternyata juga menyimpan banyak keutamaan yang masih jarang diketahui banyak orang. Syeikh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Riyadus Shalihin menampilkan keutamaan membaca al Quran dalam pandangan hadis. Ia mengumpulkan beberapa hadis yang menjelaskan tentang keutamaan membaca al quran.

Berikut 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis: 

Mendapatkan Syafaat di Hari kiamat
Keutamaan ini seperti yang disabdakan Rasulullah SAW pada riwayat Imam Muslim pada kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim:

عن أبي أُمَامَةَ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ  اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ رواه مسلم

“Diriwayatkan dari Umamah ra., ia berkata: “Saya mendengan Rasulullah SAW bersabda: “bacalah Al Quran! Sungguh itu akan menjadi syafaat bagi yang membacanya kelak di hari kiamat” (HR. Imam Muslim)

Hadis di atas menjadi dalil keutamaan membaca Al Quran. Bahwa ia akan menolong pembacanya untuk dapat selamat di hari kiamat. Muhammad bin ‘Allan Ash-Shadiqi menerangkan dalam Dalilul Falihin bahwa yang dimaksud perintah membaca Al Quran ialah membacanya dengan rajin dan menjadikannya sebagai pedoman, serta mengamalkan isinya (mematuhi perintahNya dan menjauhi laranganNya).


Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah


Menjadi Umat Terbaik
Keutamaan ini tertera dalam Hadis riwayat Utsman bin ‘Affan:


خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ رواه البخاري

“Golongan terbaik dari kalian ialah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya” 


Yang dimaksud dalam hadis ini ialah para pembaca Al Quran yang mempelajari dan mendalami maknanya. Selain itu, ia juga mengamalkannya dengan meneladani nilai moral, hukum, dan hikmah, serta menyampaikannya kepada sesama manusia.

Keutamaan belajar dan mengajar Al Quran juga dikuatkan sebuah hadis muttafaqun ‘alaih (yang ditakhrij Imam Bukhari dan Muslim):


مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَقَدِ اسْتَدْرَجَ النُّبُوَّةَ بَيْنَ جَنْبَيْهِ ، غَيْرَ أَنَّهُ لا يُوحَى إِلَيْهِ


“Barangsiapa membaca Al Quran, maka keluarlah nuansa kenabian dari dua sisinya. Hanya saja, tidak melalui pewahyuan”

Hadis tersebut dapat dipahami bahwa seorang yang telah mempelajari bacaan maupun makna Al Quran, serta mengamalkan isi kandungannya, secara tidak langsung ia menyambung estafet dakwah Nabi. Karena, ia telah menerapkan nilai-nilai Qurani untuk dirinya dan menyampaikannya kepada yang lain. Orang yang mampu belajar sekaligus mengamalkannya inilah yang turut menjadi pewaris Nabi, sebagaimana alim ulama.

Bermanfaat untuk Diri Sendiri dan Sesama

Keutamaan ini bersumber dari hadis riwayat Abu Musa Al-Asy’ari, pada kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim:

مَثَلُ المؤمن الذي يقرأ القرآن مثل الأُتْرُجَّة؛ ريحُها طيِّب وطعمُها طيِّب، ومَثَل المؤمن الذي لا يقرأ القرآنَ مثَل التمرة؛ لا ريحَ وطعمُها حُلو، ومثل المنافق الذي يقرأ القرآن مثل الرَّيحانة؛ ريحُها طيِّب وطعمُها مُرٌّ، ومثل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة؛ ليس لها ريحٌ وطعمُها مُرٌّ. متفق عليه

“Mukmin yang membaca Al Quran ialah bak buah jeruk; baunya harum rasanya pun manis. Perumpamaan mukmin yang tidak membaca Al Quran ibarat buah kurma; tidak berbau tapi manis rasanya. Sedangkan, orang munafik yang membaca Al Quran seperti bunga kantil; baunya harum tapi rasanya pahit. Dan, orang munafik yang tidak membaca Al Quran ibarat daun bratawali; bau dan rasanya pahit” (HR. Bukhari dan Muslim)


Ash-Shadiqi mengartikan perumpaan pertama dengan kebermanfaatan mukmin yang membaca Al Quran dari dua sisi. Bermanfaat untuk dirinya sendiri karena kepercayaannya pada ajaran Islam dan untuk orang lain yang mendengarkannya membaca Al Quran karena dengan mendengar secara saksama, akan mendatangkan rahmatNya. Sebagaimana dalam firman Allah surat Al-A’raf ayat 204.

Sementara perumpamaan kedua, ia maknai dengan kebermanfaatan mukmin yang tidak membaca Al Quran hanya untuk dirinya sendiri berupa keimananan. Orang lain tidak memperoleh manfaat darinya, karena ia tidak menyampaikan isi Al Quran. Ibarat kurma, yang sendirinya manis, tetapi orang lain tidak dapat mencium bau manis itu.

Perumpamaan ketiga menunjukkan bahwa orang munafik ketika membaca Al Quran, bisa saja bermanfaat untuk yang mendengarnya. Tetapi, bagi dirinya sendiri tidak, karena tidak ada iman di hatinya. Sedangkan dalam perumpamaan keempat, adalah sama sekali tidak ada hal baik yang dihasilkan oleh seorang munafik yang tidak membaca Al Quran.


Baca juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79


Ladang Pahala
Keutamaan ini bersumber dari hadis Nabi riwayat Ibnu Mas’ud, pada kitab Jami’ al-Kabir karangan Sunan at-Tirmidzi

مَن قرأ حرفًا من كتاب الله فله به حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، لا أقول الم حرف بل ألف حرف ولام حرف وميم حرف رواه الترمذي

“Barangsiapa membaca satu huruf saja dari Al Quran, maka ia mendapat satu pahala yang bernilai 10 kali lipat. Saya tidak menghitung alif laam miim menjadi satu huruf. Tetapi, alif satu huruf sendiri, lam satu huruf sendiri, dan mim satu huruf sendiri” (HR Turmudzi)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa membaca satu huruf pun dari Al Quran sudah bernilai ibadah, dan Allah akan melipat pahala ibadah itu sepuluh kali. Hadis ini diperkuat dengan firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 160:


مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُون


“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”

Ibnu Kathir dalam Tafsir Al Quranul Adzim menjelaskan perbuatan baik dalam bentuk apapun akan diganjar Allah 10 kali lipat atau 700 kali, atau bahkan tak terhingga. Ini sebagai bukti atas kasih sayang Allah pada hambanya.

Berbagai keutamaan di atas semoga dapat memacu semangat kita untuk membaca Al Quran, memahami isinya, dan menjadikannya pedoman hidup. Sehingga Al Quran bisa menuntun kita sampai pada tujuan kita kelak. Wallahu a’lam.

Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79

0
shalat tahajud
shalat tahajud

Keutamaan shalat tahajud tersebar di beberapa ayat dalam Alquran. Selain itu juga banyak hadis yang mendukungnya. Bahasan keutamaan shalat tahajud kali ini berangkat dari surat Al-Isra ayat 79. Penjelasan lebih detail akan kita dapati pula dalam tafsirnya.  

Shalat tahajud adalah salah satu shalat sunah yang sangat dianjurkan. Dalam bahasa Arab, tahajud memiliki arti shalat malam, sebab pelaksanaannya terjadi di malam hari tepatnya sepertiga malam hingga waktu menjelang subuh. Terkadang, shalat tahajud disebut juga sebagai qiyamul lail (menghidupkan malam) dan ini dibenarkan. Namun, untuk maksud qiyamul lail sendiri cakupannya lebih umum, sebab ibadah yang dilakukan tidak hanya berupa shalat melainkan juga bisa dengan berzikir, membaca Alquran, atau muthalaah. Shalat tahajud dipercaya menjadi salah satu amalan yang bisa membawa orang yang melaksanakannya mencapai impian yang dimaksud. Telah difirmankan oleh Allah swt,

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا

“Dan pada sebagian malam, maka kerjakanlah shalat tahajud sebagai sutu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra [17]: 79)

Keutamaan Shalat Tahajud

Beberapa keutamaan shalat tahajud dapat kita peroleh dari beberapa penjelasan berikut:

  1. Shalat paling utama setelah shalat fardu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَاَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ الَّليْلِ

“Sebaik-baiknya puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan Allah –Muharram- dan sebaik-baiknya shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Saat mengomentari hadis ini, an-Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi berpendapat bahwa hadis ini menjadi dalil tentang keutamaan shalat sunah di malam hari. Shalat sunah yang dikerjakan di malam hari lebih utama dari shalat sunah di siang hari. Sedang shalat tahajud adalah shalat yang dilakukan di malam hari. Bahkan, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat malam lebih baik daripada shalat sunah rawatib.

Dalam tafsirnya, Imam al-Qurtubi mengatakan tahajud adalah bangun setelah tidur (di malam hari), kemudian menjadi nama shalat karena seseorang bangun untuk mendirikan shalat. Maka, tahajud berarti shalat yang dilakukan usai tidur. Demikian juga pengertian yang dijelaskan oleh mayoritas ulama fiqih.

Waktu untuk melakukan shalat tahajud adalah mulai dari sepertiga malam hingga menjelang subuh, namun yang lebih utama adalah di akhir malam. Ini berdasar pada riwayat Aisyah. Saat ia ditanya perihal shalat malam yang dilakukan oleh Nabi saw, ia menjawab:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidur di awal malam, lalu beliau bangun di akhir malam. Kemudian beliau melaksanakan shalat, lalu beliau kembali lagi ke tempat tidurnya. Jika terdengar suara muadzin, barulah beliau bangun kembali. Jika memiliki hajat, beliau mandi. Dan jika tidak, beliau berwudhu lalu segera keluar (ke masjid).” (HR. Al-Bukhari)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

  1. Shalat tahajud adalah ciri-ciri dari orang yang bertakwa dan calon penghuni surga

Dalam Alquran, Allah menyifati shalat tahajud sebagai ciri dari orang yang bertaqwa dan calon penghuni surga, seperti yang terdapat dalam surat Adz-Dzariyat. Berikut terjemahannya:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohon ampunan di waktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 15-18)

Dengan kata lain, sedikit tidur di waktu malam, karena sibuk dengan ibadah, seperti shalat tahajud.

Baca Juga: Inilah Tiga Amalan Utama dalam Menyambut Tahun Baru Islam

  1. Shalat tahajud adalah kebiasaan orang-orang salih, dapat menghapus kesalahan dan dosa, mencegah penyakit

Keutamaan yang ketiga ini bisa kita temui dari keterangan yang disampaikan oleh Nabi saw dalam hadisnya,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ

“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang salih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat dengan Allah. Shalat malam dapat menghapus kesalahan dan dosa serta mencegah penyakit dari tubuh.” (HR. At-Tirmidzi)

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha

  1. Shalat tahajud dapat mendatangkan kemuliaan dan kewibawaan

Tidak mengherankan jika Rasulullah saw menjadikan orang-orang salih sebagai teladan yang patut dijadikan teladan bagi umatnya sebagaimana hadis sebelumnya. Sebab, orang salih senantiasa mendekatkan diri kepada Allah sehingga ia mendapat kemuliaan serta kewibawaan. Maka, dengan melaksanakan shalat tahajud yang merupakan kebiasaan orang salih, seseorang akan mendapatkan hal yang sama. Ini relevan dengan sabda Nabi,

“Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya.” (HR. Al-Hakim)

Setidaknya, jika seseorang tidak mampu menjadi seperti orang salih, maka teladanilah apa yang ada pada mereka. Seperti bunyi syair:

فَتَشَبَّهُوْا اِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ # اِنَّ التَّشَابُهَ بِالرٍّجَالِ فَلَاحٌ

“jika kau tidak mampu menjadi seperti orang-orang salih, maka setidaknya tirulah mereka. Sebab, meniru orang-orang salih adalah suatu keberuntungan.”

Wallahu A’lam

Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis Dalam Al-Quran

0
Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis
Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Pada artikel kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran: Kepribadiannya sebelum menjadi raja lalu telah dijelaskan seputar kepribadian Nabi Sulaiman yang saleh, taat, cerdas, dan berwibawa. Setelah menjadi raja Nabi sulaiman tetap dikenal sebagai yang saleh dan berwibawa. Dalam al-Quran terdapat cerita menarik soal perjumpaan Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut episode tersebut.

Selain sifat-sifat yang melekat seperti disebutkan di atas, al-Quran juga menceritakanbahwa Nabi Sulaiman mampu memahami bahasa binatang dan menundukkan bangsa Jin. Karena kewibawaan dan kelebihannya tersebut, nabi Sulaiman sangat disegani dan dipatuhi oleh penduduk dan bala tentara kerajaannya.

Diceritakan suatu ketika nabi Sulaiman mengadakan rapat besar-besaran dan mengundang seluruh anggota tentaranya yang terdiri dari manusia, jin dan binatang. Semua divisi tentara hadir kecuali burung hud-hud. Hal ini membuat nabi Sulaiman jengkel karena pada saat itu burung hud-hud seharusnya melaporkan hasil pekerjaannya, yaitu mencari sumber mata air baru. Nabi Sulaiman kemudian mempertanyakan keberadaan hud-hud namun tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Setelah beberapa saat, barulah burung hud-hud dengan kecepatan terbang maksimal dan dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia berkata, “mohon ampun baginda raja, hamba baru saja melakukan perjalanan yang sangat jauh dan hamba menemukan sebuah negeri yang sangat subur dan damai. Namun pemimpin negeri itu adalah ratu yang menyembah matahari sebagai Tuhannya.”

Baca Juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Mendengar cerita hud-hud nabi Sulaiman tidak langsung mempercayainya, karena ia khawatir hal itu hanya dijadikan hud-hud sebagai alasan keterlambatan. Kemudian untuk membuktikan ceritanya, hud-hud diminta untuk mengirimkan sebuah surat kepada ratu negeri tersebut. Diriwayatkan, negeri ini adalah negeri Saba yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Balqis.

Kemudian hud-hud berangkat ke negeri Saba untuk menyampaikan surat nabi Sulaiman. Ketika sampai di Istana ratu Balqis, hud-hud masuk melewati ventilasi udara dan langsung menuju kamar ratu. Lalu ia menjatuhkan surat tepat di atas kepala ratu Balqis yang sedang beristirahat (tidur) di ruangannya. Karena merasakan sesuatu jatuh mengenai kepalanya, ratu Balqis terbangun dan terkejut ternyata itu adalah sebuah surat.

Dalam surat tersebut nabi Sulaiman mengajak ratu Balqis agar tidak berlaku sombong di muka bumi dan berserah diri kepada Allah Swt. Potongan isi surat itu termaktub dalam QS. An-Naml: 30-31 yang bermakna, “Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Selesai membaca surat dari nabi Sulaiman, ratu Balqis kemudian mengumpulkan penasihat-penasihat kerajaan untuk meminta wejangan bagaimana menanggapi ajakan nabi Sulaiman tersebut. Setelah mempertimbangkan kekuatan pasukan Sulaiman as dan karena tidak ingin berperang, ratu Balqis dan jajarannya berinisiatif untuk memberikan hadiah untuk menyenangkan nabi Sulaiman. Namun, semua hadiah beliau tolak mentah-mentah.

Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis kembali berunding dengan para pembesar dan mengambil keputusan bahwa mereka akan langsung menghadap raja Sulaiman. Dalam perjalanannya, ratu Balqis akan diiringi oleh pembesar kerajaan dan dikawal oleh pasukan secukupnya. Keputusan ini kemudian disampaikan kepada nabi Sulaiman melalui surat.

Ketika mengetahui kedatangan ratu Balqis, Sulaiman lalu berinisiatif untuk memberi kejutan dengan membawa tahta ratu Balqis ke kerajaannya. Dia (Sulaiman) berkata, “Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri? Ifrit dari golongan jin berkata, “Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh, aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya.” (QS. An-Naml [27]: 38)

Kemudian, salah seorang dari tentara manusia nabi Sulaiman menanggapi tawaran Ifrit di atas dengan menyatakan bahwa ia akan membawakan singgasana tersebut lebih cepat. Ini diceritakan dalam QS. An-Naml [27]: 40 yang bermakna, “Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip…..” Berkat izin Allah, singgasana itu dapat dipindahkan dengan cepat tanpa kerusakan apapun.

Setibanya ratu Balqis di kerajaan nabi Sulaiman, ia terkagum-kagum akan kemegahan dan keindahan istana nabi Sulaiman as. Kekaguman Ratu Balqis terutama atas keajaiban perpindahan singgasana miliknya ke kerajaan Sulaiman tersebut. Nabi Sulaiman lantas membawa ratu Balqis untuk mengelilingi istana. Di sela-sela tur mereka, ratu Balqis diajak untuk masuk agama Islam dan ia menerimanya dengan sepenuh hati.

Ratu Balqis lantas mengucapkan “syahadat” di depan nabi Sulaiman dengan penuh keyakinan. Mulai hari itu ia resmi menjadi pemeluk agama Islam dan menjadi bagian dari kerajaan nabi Sulaiman. Dikisahkan bahwa setelah itu nabi Sulaiman dan ratu Balqis menikah. Inilah titik awal bersatunya dua kerajaan besar, yakni kerajaan Saba dan kerajaan Sulaiman. Wallahu a’lam.

Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha

0
taubat nasuha
taubat nasuha

Bagi orang yang ingin bertaubat nasuha, ada begitu banyak pintu terbuka. Tidak ada kata putus asa dan terlambat untuk bertaubat. Dalam Islam, putus asa itu sendiri merupakan sikap yang perlu dihindari bahkan dilarang. Penting diingat, ada sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: 

لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ، كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ: إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي

Tatkala Allah swt memutuskan sesuatu kepada makhluk, tertulis di sisi-Nya di atas ‘Arasy, Firman Allah swt: “Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku” (H.R Muttafaq Alaih).

Dalam kitab Dalil al-Falihin li Tharq Riyad al-Shalihin, Syekh As-Shiddiqi menjelaskan bahwa rahmat dan murka Allah swt. kembali kepada kehendak-Nya (iradah). Kehendak Allah swt adalah memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang taat dan menghukum mereka yang bermaksiat. Rahmat-Nya mendahului atau melingkupi murka-Nya menandakan betapa besar kasih sayang Allah swt kepada para hamba-Nya.

Baca Juga: Doa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati

Selain itu, dalam Alquran diajarkan sebuah doa bagi orang yang ingin taubat nasuha. Dalam QS. At-Tahrim [66]: 8 Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ   

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sugai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka bekata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnaknalah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal yang perlu digaris bawahi bagi orang yang ingin taubat nasuha. Pertama, bertaubat dengan menyesali sepenuh hati atas apa yang telah diperbuat. Kedua, memiliki tekad yang kuat untuk tidak mengulangi dosa yang sama.

Baca Juga: Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

Kemudian doa yang terdapat dalam akhir QS. At-Tahrim ayat 8 di atas dapat dijadikan doa yang terus dibaca setiap setelah shalat fardu dan shalat-shalat sunnah yang lain. Berikut penulis kutipkan kembali doanya:

رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ya Tuhan kami, sempurnaknalah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

0
hasbunallah wa ni'mal wakil
hasbunallah wa ni'mal wakil

Kalimat hasbunallah atau biasa juga dilanjutkan dengan wa ni’mal wakil yang memiliki arti “cukuplah bagi kami Allah sebagai penolong. Dia adalah sebaik-baiknya pelindung”. Kalimat ini tercantum dalam beberapa ayat Al Quran dan hadis Nabi. Salah satunya tertuang dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 172-173. Ayat itu bercerita tentang kisah dzikir  hasbunallah wa ni’mal wakil yang dibaca 70 sahabat Nabi. Ayat tersebut berbunyi:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar”

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”


Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah


Kisah 70 Sahabat Nabi Membaca Dzikir Hasbunallah Wa Nikmal Wakil

Ungkapan ayat di atas menceritakan tentang peristiwa perang Uhud yang terjadi pada Bulan Syawal 3 H. Moenawar Chalil yang berjudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, menjelaskan terdapat 70 sahabat yang berpartisipasi dalam Perang Uhud. Salah satu diantaranya ialah paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Hamzah Ibn Abd Muthalib.

Hamzah telah gugur di peperangan ini. Nabi pun mengalami luka parah karena serangan lemparan potongan besi oleh Utbah Bin Abi Waqqash. Dalam sebuah riwayat dikatakan, salah satu gigi Nabi bagian depan pun patah.

Kemudian, Nabi dan para sahabat pulang ke Madinah. Hingga di suatu daerah bernama Hamra’al Asad, Nabi menerima kabar bahwa kaum musyrik Mekkah sedang bersiap diri untuk menyerang kaum muslim. Sementara waktu itu, kaum muslim sedang dirundung sedih dan letih akibat perang.

Kemudian, Nabi memerintahkan kembali semua anggota perang Uhud untuk kembali berperang. Saat itu, mereka mengucapkan kalimat yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 173. Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Baca juga: Islam Melarang Berperang di Bulan Haram


Beragam Makna Kalimat Hasbunallallah

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, kalimat dzikir tersebut memang berpotensi untuk melawan rasa takut dan diberikan rasa kecukupan. Yang dimaksud ialah Allah akan memberi apa yang hambanya butuhkan. Selain itu, makna dari hasbunallah ini mengajak manusia untuk bersabar agar ia mampu mempersiapkannya dengan baik dan semoga diberikan kemuliaan yang hakiki.

Shihab meneruskan kembali dalam bukunya bahwa kata hasb ini ternyata menguasai banyak makna. Ada tiga makna diantaranya yaitu:

  1. Hitungan. Hal ini selaras dengan Surat ar-Rahman ayat 5, yang melahirkan makna “kemuliaan”. Shihab mengungkap bahwa kemuliaan seseorang itu diperhitungkan dari

kedudukan orangtuanya atau para leluhur.

  1. Kecukupan. Makna kedua ini selaras dengan kalimat hasbunallah wa ni’mal wakil dalam arti Allah akan memberi apa yang aku butuhkan atau yang terbaik atas setiap situasi yang dihadapi. Sekaligus akan bermakna dengan yang kami hadapi. Kami akan menerima dengan sabar dan akan menjadi bekal untuk kami siapkan untukmakemudian hari dan mengaharap agar kemuliaan selalu bersama kami.”

Keutamaan Membaca hasbunallah

Imam Abu Daud dalam kitabnya Syarh Sunan Ibn Daud menjelaskan tentang keutamaan membaca dzikir hasbunallah disaat kesulitan yang sulit dipatahkan. Hadis tersebut berbunyi:

قال أبو داود رحمه الله تعالى: حَدَّثَنَا عَبدُ الوَهَّابِ بنُ نَجدَةٍ، وموسى بن مروانَ الرَقِي قَالَا َثنَا بَقِيَّة بن الوَلِيدِ عن بَحِير بن سعدٍ عن خالدٍ بن مَعدانَ عن سيفٍ عن عوفٍ بن مالكٍ أنه حَدَثَهُم أَنّ النبي صلى الله عليه وسلم قَضَى بَينَ رَجُلَينِ فَقَالَ المقضي عليه لمِا أَدبَرَ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيلُ، فَقَالَ النبي صلى الله عليه وسلم: إنَّ الله يَلُومُ عَلى العَجْزِ، ولَكِن عَليكَ بِالكَيْسِ، فَإذا غَلَبَكَ أَمرٌ فَقُل: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيلُ

“Diriwayatkan dari ‘Auf Bin Malik bahwa Nabi Muhammad Saw telah menghakimi dua orang pihak, dan orang terdakwa pun mundur lalu mengucapkan Hasbiyallah Wa Ni’ma al-Wakil. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengecam seseorang yang lemah atau enggan dalam membela diri. Pandailah saat menghadapi situasi. Namun, jika engkau sudah tidak mampu, maka ucapkanlah hasbiyallah wa ni’mal wakil” (HR. Abu Daud)

Imam Abu Daud melanjutkan:

أَمَّا أَن يَقُولَ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيل مَعَ العَجزِ ومَعَ عَدَمِ الأَخذِ بِالأَسبَابِ، فَإنَّ الكَيسَ هُوَ خِلَافُ ذَلِكَ، وَالكَيسُ هُوَ أَنَّ الإنسَانَ يَأخُذُ بِالأَسبَابِ، وَإذَا فَاتَهُ الشَّيءُ الذِي أَرَادَهُ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيل، وهَذا مِثلُ مَا جَاءَ فِي الحَدِيثِ الذِي رواه مُسلِمٌ فِي صَحيحِهِ عَن أَبِي هُرَيرَةَ أَنَّ النَّبِّي صلى الله عليه وسلم قال: (المُؤمِنُ القَوِيُّ خَيرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللِه مِنَ المُؤمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلِّ خَيرٍ، احرِصْ عَلى مَا يَنفَعُكَ، واستَعِنْ بِالله ولا َتَعجَزْ) يعني: استَعِنْ بِالله عز وجل مَعَ أَخذِكَ بِالأَسبَابِ، وَلَا تَقْصِرْ

“Kalimat hasbiyallah wa ni’mal wakil lebih baik dilantunkan saat kondisi sulit dan tidak ada upaya untuk mewujudkan yang ia inginkan. Sesungguhnya orang yang pandai itu sebaliknya, ia mampu mewujudkan apa yang ia inginkan. Maka, ketika ia kehilangan sesuatu yang diinginkannya ia berkata” hasbiyallah wa ni’mal wakil”. Hadis ini sama dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya yang mengutip dari Abu Hurairah:” Mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai oleh Allah daripada orang yang lemah. Lakukanlah apa yang bermanfaat bagimu. Memohonlah kepada Allah dan jangan lemah! Mintalah pertolongannya untuk mewujudkan apa yang kau inginkan. Jangan kau remehkan!.”

Dari dua hadis tersebut tampak bahwa membaca hasbiyallah (atau hasbunallah dalam bentuk jamak) wa ni’mal wakil lebih diutamakan ketika dalam kondisi sulit. ini menunjukkan, dzikir ini sebagai simbol berserah diri bagi seorang hamba kepada Allah, yang sedang berada pada titik nadir kehidupannya.


Baca juga: Tiga Keutamaan Membaca Surah Al-Waqiah


Wallahu A’lam