Beranda blog Halaman 526

Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya

0
Dalil Salat Jumat
Salat Sebagai Kontrol Sosial

Salat Jumat merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki. Tetapi, tahukah anda mengapa Allah memilih hari Jumat?, padahal, ada hari-hari lain yang konon juga dianggap baik dalam Islam seperti Senin dan Kamis. Berikut ini tafsir QS. Al-Jumu’ah [62]: 9 tentang dalil Salat Jumat dan alasan pemilihan harinya. 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika (kalian) dipanggil untuk melaksanakan salat di hari jumat, maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)


Baca juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43


Tafsir Ayat

Ayat tersebut merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan kata al-jumu’ah dalam Al Quran. Melalui ayat itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melaksanakan Salat Jumat sebagai bentuk zikir kepada-Nya. Mereka diperintah melalui lafal fas’au untuk bersegera melaksanakannya. Dalam Rawa’i’ul Bayan, ‘Ali As-Shabuni mengutip pendapat Pakar Bahasa, yakni Al-Farra’ bahwa as-sa’yu (asal dari fas’au) bukan berarti tergesa-gesa dengan berlarian. Melainkan bergegas melaksanakan salat dengan sungguh-sungguh dan semangat. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah:

اِذَا سَمِعْتُمْ الإِقَامَةَ فَامْشُوا اِلىَ الصَّلاَةِ، وَعَلَيْكُمْ السَّكِيْنَةُ وَالْوَقَارُ، وَلَا تُسْرِعُوا، فَمَا اَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا رواه البخاري

“Jika kalian mendengar iqamah, maka jalanlah menuju ke sana. Dan wajib bagi kalian untuk tetap tenang dan anggun, dan janganlah kalian tergesa-gesa. Maka, jika kalian mendapati (shalat masih dilaksanakan), segeralah shalat. Jika kalian ketinggalan, maka sempurnakanlah.” (HR. Al-Buhkari)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks


Latar belakang dipilihnya Hari Jumat

Pada mulanya, Hari Jumat yang kita kenal sekarang bernama ‘Arubah. Dulu, Hari ‘Arubah dijadikan kebiasaan oleh masyarakat Arab untuk memamerkan segala yang mereka miliki, seperti hasil dagangan, syair, sihir, dan lainnya. Kemudian, saat Islam datang, nama-nama hari yang digunakan pada masa jahiliyah mengalami perubahan.

Orang yang pertama kali mengubahnya menjadi Jumat adalah Ka’ab bin Luay. Sebelum kedatangan Nabi ke Madinah, penduduk di sana berkumpul dan membahas perihal Ahli Kitab yang memiliki hari tertentu sebagai waktu berkumpul. Lalu mereka bersepakat menjadikan Hari ‘Arubah sebagai hari berkumpulnya umat Islam untuk beribadah dan mengganti nama ‘Arubah menjadi Jumat.

Ada tiga versi cara membaca kata jumat dalam bahasa Arab, yaitu Jumu’ah, Jum’ah, dan Juma’ah. Namun, penyebutan yang populer adalah Jumu’ah. Menurut Al-Farra’, ketiga bacaan tersebut  merupakan sifat hari, artinya berkumpulnya manusia.

Demikian pula mengenai asal penamaan kata Jumat, ada banyak pendapat. Pendapat yang lebih sahih, seperti yang tertera dalam riwayat Imam Ahmad bahwa Allah menghimpun penciptaan Nabi Adam as pada hari itu.


Baca juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia


Perintah meninggalkan kesibukan saat Salat Jumat

Selanjutnya, pada ayat di atas, Allah juga mengingatkan hamba-Nya agar meninggalkan aktivitas jual beli saat panggilan salat dikumandangkan. Hal ini karena saat hari mulai siang, orang-orang Islam masih terbawa kebiasaan penduduk Arab sebelumnya yang melakukan aktivitas seperti berdagang. Sehingga, Allah mengajak mereka untuk bersegera dalam aktivitas transaksi akhirat dan meninggalkan transaksi dunia sampai salat selesai dilaksanakan. As-Shabuni menyebutkan, larangan ini tidak hanya berlaku untuk jual beli, tetapi berlaku juga untuk aktivitas muamalah yang lain, seperti sewa-menyewa, pinjaman, pesanan, dan lainnya.

Hikmah Salat Jumat

Ada beberapa hikmah yang perlu kita tahu di balik pensyariatan Salat Jum’at.

Pertama, memperkuat silaturahim serta penyatuan visi dan misi umat. Hal ini bisa dilihat dari larangan berbicara bagi jamaah ketika khatib telah membacakan khutbahnya. Mereka juga bersama-sama mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan dalam khutbah yang memotivasi diri dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.


Baca juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6


Kedua, pengingat diri akan pentingnya sungguh-sungguh dan semangat menuju Allah Sang Pemberi Rezeki. Dengan demikian, rezeki itu akan dicurahkan pada kita tanpa harus melalaikan ibadah kepada-Nya.

Wallahu A’lam.

Inilah Enam Keutamaan Surat Ali Imran

0
keutamaan surat ali imran
keutamaan surat ali imran

Al Quran dan seisinya mengandung banyak keutamaan, salah satunya adalah dalam surat Ali Imran. Quraish Shihab menerangkan di dalam surat ini mengemukakan tentang kisah keluarga Imran, yaitu Nabi Isa, Yahya, Maryam dan ibunya. Sedangkan Imran adalah ayah dari Maryam, ibu dari Nabi Isa. Lantas keutamaan apa saja yang bisa kita petik selain hikmah kisah keluarga Imran di atas? Simak penjelasannya berikut ini,

Pelindung pada hari kiamat

Keutamaan yang pertama adalah sebagai perlindungan pada hari kiamat. Dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dikatakan,

قَالَ الْبَزَار: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُوْر عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوْا الزَّهْرَوَيْنِ اقْرَءُوْا الْبَقَرَةَ وَ آل عِمْرَان فَإِنَّهُمَا تَأْ تِيَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ الحديث

“Berkata al-Bazări: menceritakan kepada kami Ahmad bin Mansur… dari Abî Hurairah berkata : Rasulullah Saw bersabda: bacalah al-zahrawayni, (yakni) bacalah surah al-Baqarah dan surah Ali Imran, karena sesungguhnya kedua surah tersebut akan mendatangi kalian pada hari kiamat seperti dua buah awan yang menaungi…al-hadits” (Diriwayatkan dari Abu Hurairah, hadits Nomor 52)

Jadi, menurut hadits di atas ketika seseorang membiasakan membaca dua surah, wa bil khusus surat Ali Imran, maka surah ini dapat menjadi tabungan amalan yang akan mendatanginya pada hari kiamat kelak.

Membiasakan membaca surat ini termasuk golongan orang kaya

Keutamaan yang kedua adalah bagi yang membacanya ia termasuk golongan orang kaya. Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengatakan,

حَدَّثَنَا أَبُوْ نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائيْلُ عَنْ أَبِيْ إِسْحَاق عن سَلِيْمُ بْنُ حَنْظَلَة الْبَكْرِيِّ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ مَنْ قَرَأَ آل عِمْرَانَ فَهُوَ غَنِيُّ وَالنِّسَاءُ مُحَبِّرَةٌ: قَالَ أَبُوْ مُحَمَّدٌ مُحَبِّرَةٌ مُزَيِّنَةٌ.

“Menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, menceritakan kepada kami Isra’il, dari Abi Ishaq, dari Salim bin Hanzalah al-Bakri, berkata: berkata Abdullah bin Mas’ud ‘barangsiapa yang membaca surah Ali Imran, maka dia adalah orang yang kaya, dan jika seorang perempuan, maka dia adalah orang yang berhias: Abu Muhammad berkata ‘Muhabbiran berarti perempuan yang berhias” (HR. Ad-Darimi, No. 3261)

Baca juga: Inilah 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis

Amalan untuk kaum Fakir Miskin

Keutamaan yang ketiga ialah Surat Ali Imran apabila di-dawam-kan (dibiasakan untuk dibaca tiap hari), akan menjadi pembendaharaan (tabungan) untuk kaum fakir miskin. Surat ini dapat dibaca pada waktu shalat malam. Sebagaimana dalam hadits,

حَدَّثَنَا الْقَاسِم بْنُ السَّلَامِ أَبُوْ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنِيْ عُبَيْدِ اللهِ الْأَ شْجعي حَدَّثَنِيْ مسعر حَدَّثَنِيْ جَابِر قَبْلَ أَنْ يَقَعَ فِيْمَا وَقَعَ فِيْهِ عَنْ الشُعْبَى قَالَ: قَالَ عَبْدُ الله نعم كَنْزُ الصُّعْلُوْكِ سُوْرَةُ آل عِمْرَانَ يَقُوْمُ بِهَا فِيْ آخِرِ اللَّيْلِ

“menceritakan kepada kami Qasim bin Salăm, Abu ‘Ubaid berkata, menceritakan kepada kami Abdullah as-Syujă’i, menceritakan kepada kami Mus’ari, menceritakan kepada kami Jabir sebelum terjadi hal itu padanya, dari Syu’ba berkata: berkata Abdullah ‘sebaik-baik pembendaharaan orang fakir adalah surah Ali Imran yang dibacanya pada saat hendak melakukan shalat di akhir malam”(H.R. ad-Darimi Nomor 3264)

Terkandung ismul a’dzam yang dapat mengabulkan doa

Sama seperti surat al Baqarah pada pembahasan sebelumnya, di dalam surah Ali Imran juga terdapat ismul a’dzam (Nama-nama Allah yang Maha Agung) yang ketika kita berdoa dengannya, maka doa yang kita panjatkan akan terkabul. Seperti penjelasan Rasulullah saw dalam hadits berikut,

قَالَ الفَرْيابِيْ : حَدَّثَنَا هِشَام بْنُ عُمَارحَدَّثَنَا الوَلِيْد بْنُ مُسْلِم أَنَّا عَبْدُ اللهِ بْنُ العلَاءِ بْنُ زَبِرأَنَّهُ سَمِعُ الْقَاسِم أَبَا عَبْدُ الرَّحْمنِ يُحْدَثُ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ يَرْفَعُهُ قَالَ : اِسْمُ اللهِ الأَعْظَمِ الَّذِيْ إِذَا دَعَي بِهِ أَجَابَ فِيْ سُوَرِ ثَّلَاثَةِ فِيْ الْبَقَرَةِ وَ الْعِمْرَانِ وَ طه – يَعْنِيْ الْحي الْقَيُّوْمُ –

“Berkata Faryăbî: menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Umar, menceritakan kepada kami Walîd bin Muslim, sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Ulă’ bin Zabir mendengar al-Qasim Abă ‘Abdurrahman menceritakan, dari Abi ‘Umamah menyampaikan : Nama-nama Allah yang agung, yang ketika berdo’a dengannya akan dikabulkan, terdapat dalam tiga surah; dalam surah al-Baqarah, dan surah al-Imran, dan Surah Taha-yakni al-hayy al-qayyŭm”(Ditakhrij oleh Faryăbî Nomor 185)

Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzîm (Jilid 2), yang dimaksud dengan ‘ismu allah al-a’zham’ pada surah ini adalah terdapat pada redaksi pertama dan kedua dari surah Ali Imran,

الۤمّۤ اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُۗ

Dapat menjadi doa pelunas hutang

Bagi siapa saja yang berkeinginan untuk terhindar dari jeratan hutang, dapat mendawamkan ayat tertentu dari surah Ali Imran, sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam sebuah hadits,

“Wahai Mu’adz ! maukah engkau aku ajarkan suatu doa, yang bilamana engkau memiliki tanggungan hutang sebesar gunung Uhud, lalu engkau berdoa dengan doa tersebut, niscaya Allah akan membayarkan hutangmu?. Bacalah (QS. Ali Imran:26-27), kemudian ucapkanlah “wahai zat yang maha Pemurah di dunia dan akhirat, yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat, Engkaulah yang berhak dan berkuasa untuk memberikan kedua-nya pada siapa saja yang Engkau kehendaki dan Engkau pula yang berhak dan berkuasa menghalangi dari kedua-nya pada siapa pun yang Engkau kehendaki. Ya…Allah, curahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku, hingga aku tidak membutuhkan kasih sayang dari selain-Mu” (HR. Thabrani)

Terdapat ayat yang sering dibaca oleh Rasulullah ketika shalat fajar

Ketika hendak melaksanakan sholat rak’atil fajri (sholat dua rakaat sebelum subuh), disunnahkan membaca satu bagian ayat dari surah Ali Imran. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw,

قَالَ عَبْدٌ بْنُ حَمِيْدٍ: ثَنَا أَبُوْ نُعَيْم عَنْ اِبْنُ عَبَّاسٍ: أًنَّهُ كَثِيْرًا مَا كَانَ يَقْرَأُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (فِيْ رَكْعَتِيْ الْفَجْرِ) وَفِيْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ (مِنْهُمَا) امنا باالله واشهد بأنا مسلمون

“Berkata Abd bin Hamid: menceritakan kepada kami Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas: sesungguhnya dia banyak mendapati Rasululla Saw membaca (dalam sholat raka’at fajar)dan dalam rakaat terakhir (ămanna billăhi wa syhad bi annă muslimŭn (QS. Al-Imran: 52) (Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Hadits Nomor 59)

Dari pemaparan diatas kita bisa menyimpukan ternyata beberapa ayat dari surah Ali Imran dapat didawamkan menjadi sebuah doa, juga ada ayat pilihan yang sering dibaca oleh Rasulullah saw ketika hendak menunaikan shalat sunnah fajar. Demikianlah keutamaan dari surah Ali Imran. Semoga penjelasan yang telah disebutkan di atas dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

0
teknologi bagi pendidik
teknologi bagi pendidik

Penguasaan teknologi bagi pendidik merupakan hal sentral demi akselerasi pendidikan di tengah disrupsi teknologi. Pendidik adalah garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaiamana amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa salah satu kualifikasi akademik yang harus dimiliki guru dan dosen adalah kompetensi pedagogik.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Dan penguasaan teknologi bagi pendidik adalah bagian dari kompetensi pedagogik tersebut. Penguasaan teknologi dalam Alquran dilukiskan dalam kata al-Qalam sebagaimana firman-Nya Q.S. al-Qalam [68]: 1,

نۤ ۚوَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ

Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, (Q.S. al-Qalam [68]: 1)


Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar


Tafsir Surat al-Qalam Ayat 1

Surat al-Qalam sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir adalah surah nun. Surat nun merujuk pada madinah (sebuah kota). Keterangan klasik menunjukkan awalan huruf hijaiyah di awal surat-surat Alquran, seperti surah al-Baqarah, surah nun, surah qaf, surah shad, dan sebagainya telah cukup dijelaskan dalam tafsir surah al-Baqarah sehingga tidak perlu diulang penjelasannya. Huruf nun juga tatkala ditafsirkan, hanya Allah lah yang mengetahui artinya seperti halnya huruf-huruf lain yang disebut sebagai fawatihus suwar.

Menurut suatu pendapat, nun adalah nama seekor ikan yang sangat besar di lautan lepas, dialah penghuni dan penyangga tujuh lapis bumi, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ja’far bin Jarir: telah diceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, Yahya, Sufyan, al-Tsauri, Sulaiman, al-A’masy, dari Abi Dzayban, dari Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa pertama kali yang diciptakan oleh Allah adalah al-Qalam.

Allah swt berfirman, “Tulislah!” Qalam bertanya, “Apa yang harus aku tulis?”, Allah swt menjawab, “Tulislah takdir”. Maka Qalam mencatat semua yang akan terjadi sejak hari itu hingga hari kiamat. Lalu, Allah ciptakan nun dan menaikkan uap air, terciptalah darinya langit dan terhamparkan bumi di atas nun. Kemudian nun bergetar, bumi pun terhampar luas, lalu dikokohkan dengan gunung-gunung. Sesungguhnya nun itu benar-benar bangga terhadap Kami.

Sedangkan al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan bahwa nun adalah tinta. Makna ini dikutip dari riwayat Imam Mujahid, Ibnu ‘Abbas, Hasan, Qatadah dan al-Dhahhak. Pemaknaan serupa juga disampaikan Hamka bahwa nun adalah dawat atau tinta. Sedang, kata al-Qalam bermakna sejenis pena yang digunakan untuk menulis. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt Q.S. al-‘Alaq [96]: 4, “Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.”

Ali al-Shabuny misalnya dalam Shafwah at-Tafasir menjelaskan Allah swt bersumpah dengan al-Qalam di mana dengannya Dia menuliskan takdir manusia berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Hal ini mengindikasikan al-Qalam memiliki keistimewaan khusus di hadapan-Nya sehingga Allah swt sampai bersumpah menggunakan nama al-Qalam.

Keistimewaan lain adalah dengan al-Qalam, Dia menuliskan sifat shiddiq (jujur) Rasul saw dan menyelamatkannya dari nasab (keturunan) yang bodoh lagi gila. Melalui al-Qalam pula, betapa Dia ingin menunjukkan bahwa pentingnya untuk menulis dan membaca sebagai bekal manusia dalam mengarungi hidup dan mengemban tugasnya sebagai khalifah fil ardh.

Sedangkan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah merinci makna al-Qalam sebagai berikut. Al-Qalam berarti pena tertentu atau alat tulis apapun termasuk laptop, hp, notebook, dan sebagainya.

Adapula yang berpendapat al-Qalam bermakna pena tertentu dalam bentuk lain seperti pena yang digunakan oleh para malaikat untuk menulis takdir baik dan buruk manusia serta segala kejadian yang tercatat dalam Lauh Mahfudz, atau juga bisa bermakna pena yang digunakan oleh para sahabat untuk menuliskan Alquran.


Baca juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79


Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

Dalam konteks pendidikan, al-Qalam bisa diartikan sebagai media teknologi atau IT (information technology). Teknologi ini menjadi penting bagi pendidik dan semua orang yang terlibat atau menekuni dunia pendidikan. Terlebih di era disrupsi teknologi dan pandemi Covid-19, pengakselerasian penggunaan teknologi dalam pendidikan adalah keniscayaan. Terutama bagi seorang pendidik harus memiliki kompetensi IT.

Pendidik harus bisa beradaptasi sesuai dengan konteks zamannya. Sebab kompetensi pedagogik jika diperluas pengertiannya, penguasaan teknologi adalah bagian dari pedagogik itu sendiri. Media pembelajaran sekarang juga sudah berbasis internet. Peserta didik bahkan bisa mengakses materi pembelajaran secara leluasa, bahkan kadang-kadang gurunya kalah pintar, kalah cepat dengan peserta didik.

Itulah sebabnya mengapa Allah swt bersumpah dengan kata al-Qalam, sebab dampak dan manfaatnya begitu luar biasa bagi manusia khususnya dalam pendidikan. Dampak itu bisa berupa berkah, atau juga musibah. Semua bergantung siapa yang mengoperasionalkannya. Dalam hal ini, guru harus menjadi pionir dalam penguasaan teknologi agar penggunaannya terarah, bijak dan mampu mengakselerasi kecerdasan anak bangsa.

Dalam hal ini pula Allah swt seakan sedang mengatakan, “Wahai pendidik ini ada media teknologi, gunakanlah dengan bijak, integrasikan strategi dan metode pembelajaranmu dengan media teknologi, agar siswa-siswimu dapat berkembang potensinya dengan maksimal sesuai zamannya.” Wallahu A’lam.

Mubarak Atau Mabruk, Manakah yang Lebih Pas?

0
makna mabruk

Seringkali kita mendengar kata “Mabruk Alfa Mabruk” diberikan kepada orang yang sedang ulang tahun. Sederhananya, lafal tersebut jika diartikan adalah berkah seribu berkah seribu berkah. Namun, banyak edaran pesan-pesan di media sosial bahwa lafal tersebut tidak mengandung makna diberkahi. Lafal yang mestinya diucapkan ialah mubarak (diberkahi). Keduanya diucapkan agar orang didoakan senantiasa mendapatkan keberkahan. Lantas, mana yang lebih baik untuk diucapkan? Simak penjelasan singkat kedua kata tersebut.

Lafadz Mubarak dalam al Quran

Kata Mubarak atau Baarakallah adalah sesuatu yang memperoleh atau didoakan agar memperoleh kebajikan yang melimpah. Biasanya, kata Mubarak maupun Barakallah, mengandung sebuah ucapan selamat kepada siapapun yang memperoleh nikmat.

Selain itu, ia juga mengandung makna keberkahan yang bersumber dari Allah yang sering tidak diduga atau dirasakan secara material tanpa batas dan ukuran. Hal ini selaras dengan ayat al-Quran surat al-Mu’minun (20):29 dan Qaf (50):9 sama-sama menjelaskan tentang nilai keberkahan yaitu:

وَقُلْ رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلًا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ

“Dan berdoalah (ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi,dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat).” (QS. al-Mukminun 29)

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

“Dan langit kami turunkan air yang memberi berkah, lalu kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dari biji-bijian yang dapat dipanen.” (QS. Qof 9)


Baca juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir


Mubarakan Thayyiban : Doa Andalan Nabi Selesai Makan.

Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, ia mengulas sebuah contoh tentang seseorang yang mendapati berkah dalam hal waktu. Pastinya, ia akan diberikan kesempatan untuk meraih kebajikan yang dapat terlaksana saat itu melalui segudang aktivitasnya.

Waktu yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia itu sama banyaknya, namun sedikit yang memperoleh keberkahan waktu. Selanjutnya, berkah yang selalu dinanti oleh semua orang ialah pada makanan.

Tentunya, kita berharap makanan itu bisa mengenyangkan, melahirkan kesehatan, menolak penyakit, dan mendorong aktivitas positif setiap harinya. sedikit Melihat dari kedua contoh ini, sangat terlihat bahwa keberkahan itu berbeda-beda dan menyesuaikan dengan fungsi sesuatu yang diberkati itu.

Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari dalam karya fenomenalnya al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari, Rasulullah sering kali berdoa dengan menggunakan kata Mubarak apabila hidangan diangkat setelah selesai disantap. Hadis tersebut berbunyi:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ: «الحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ، رَبَّنَا»

“Menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, Abu Sufyan, dari Tsaur dari Khalid Bin Ma’dan dari Abu Umamah, ia berkata, saat Nabi Muhammad Saw mengangkat hidangannya beliau berdoa : (segala puji bagi Allah pujian yang banyak yang baik dan diberkati tidaklah cukup dan tiada akhir dengan makanan itu wahai Tuhan kami). (HR.Bukhari)


Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror


Imam al-Bukhari memberikan catatan dalam bab ini, yang dimaksud dengan Goiru Makfiyyin (tidak cukup) ialah apa yang telah kami makan tidaklah cukup namun nikmatmu terus berlanjut mengalir kepada kami, bahkan tidak sedikitpun hilang sepanjang hidup kami.

Telah jelas paparan kata Mubarak diatas, lalu bagaimana dengan ucapan Mabiperruk yang telah menjelma selama ini? Bolehkah kata tersebut diucapkan sama seperti Mubarak?


baca juga: Viral Aksi Meludahi Al Quran, Ini Cara Pilih Sikap menurut Al Quran!


Pandangan Ulama Bahasa Arab Tentang Mabruk

Mabruk merupakan isim maf’ul yang berasal dari fi’il Baraka-Yabruku diartikan sebagai berdiam diri. Sebagian ulama menolak kata Mabruk atas landasan tersebut. Salah satu contohnya ialah ungkapan Baraka al-Jamalu atau diartikan sebagai unta yang menderum. Hal ini sebagaimana bisa ditemukan dalam sebuah redaksi hadis Nabi yang berbunyi:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ»

“Menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur, Abdul Aziz bin Muhammad, bercerita padaku Muhammad bin Abdillah bin Hasan dari Abi al-Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: (apabila salah seorang dari kalian sujud maka janganlah dia menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR.Bukhari)

Namun, dalam referensi ilmu bahasa Arab, Mukhtar Umar dalam kitabnya, Mu’jam al-Shawab al-Lughawi menjelaskan bahwa kata Baraka merupakan musytaq dari ba,ra, dan ka, yang merupakan asal huruf dari kata al-barakah.

Jika kata tersebut bersandingan dengan kata Fihi, dengan versi lengkapnya baraka fihi, ia memiliki arti da’a Lahu bi al-barakah (mendoakan semoga diberkahi). Dengan begitu, ketika diambil isim maf’ulnya dapat berbunyi mabruk fihi. Maka, tidak ada batasan jika kata mabruk memiliki arti yang sama dengan kata mubarak. Perkataan mabruk tidak lain ialah bermaksud mendoakan keberkahan. Dengan begitu, kata mabruk dapat semakna dengan kata mubarak dalam bahasa Arab.

Jadi, baik kata mabruk atau mubarak sama-sama bisa digunakan serta memiliki makna yang sama yaitu diberkati, semoga selalu diberkati, atau berkah. wallahu’alam

Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili

0
Abdurrauf As-Singkili
Abdurrauf As-Singkili credit: republika.co.id

Nama lengkap Abdurrauf As-Singkili adalah ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Fanshuri al-Jawi. Ia merupakan seorang keturunan melayu dari daerah pantai barat laut Aceh, yakni Singkel. Karena itulah kata As-Singkili sering kali disematkan pada namanya. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan ia dilahirkan, namun diperkirakan sekitar tahun 1615 M/1024 H.

Ayah Abdurrauf as-Singkili bernama Syekh Ali al-Fanshuri. Ia adalah seorang ulama yang terkenal membangun dan memimpin sebuah dayah (institusi seperti pondok pesantren) di pedalaman Singkel. Akibat pengaruh latar belakang keluarga yang religius tersebut, Abdurrauf as-Singkili sejak kecil menjadi anak yang soleh dan menyukai ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan agama.

Bagi masyarakat Aceh, Abdurrauf as-Singkili adalah salah satu ulama besar yang berpengaruh di kalangan mereka. Ia memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Aceh, Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Ia juga dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan tarekat syattariyah di Indonesia. Sebutan gelarnya yang terkenal ialah Teungku Syiah Kuala.

Perjalanan Intelektual

Sejak belia Abdurrauf kecil telah diajarkan oleh Ayahnya berbagai pengetahuan agama yang meliputi tauhid, fiqih, tasawuf dan lain-lain. Selain belajar dengan ayahnya, ia juga berguru kepada ulama-ulama yang berada di Singkel dan Banda Aceh. Perjalanan menuntut ilmu di Aceh ini berlangsung hingga ia berumur 25 tahun, yakni sebelum berangkat ibadah haji.

Setelah menyelesaikan pendidikan di tempat asalnya, Abdurrauf muda merantau untuk menuntut ilmu di berbagai negara timur tengah yang terdiri dari Doha, Qatar, Yaman Jeddah, Madinah dan Makkah. Ia melakukan hal tersebut sambil menunaikan ibadah haji. Diceritakan bahwa proses pembelajarannya ini memakan waktu kurang lebih selama 19 tahun.

Baca Juga: Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia

Berdasarkan catatannya dalam Umdat al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak al-Mufridīn’, Syaikh Abdurrauf menuliskan 19 orang guru utama di mana dia mempelajari berbagai cabang disiplin ilmu Islam serta 27 ulama lainnya. Ia belajar di sejumlah tempat, yang tersebar sepanjang rute perjalanan haji, dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan Madinah.

Pada tahap akhir pengembaraannya, Syaikh Abdurrauf mempelajari tasawuf dengan dua orang tokoh sufi besar di tanah haram yang memegang posisi penting dalam jaringan ulama di dunia Islam. Dua ulama besar tersebut adalah Syaikh Shafiuddin Ahmad al-Dajjani al-Qusyasyi (1583-1660 M) dan Syaikh Ibrahim al-Kurani (1616-1689 M) seorang ulama besar asal Madinah.

Abdurrauf As-Singkili pulang ke Aceh pada tahun 1661 M, tepatnya satu tahun setelah al-Qusyasyi meninggal. Pandangan-pandangannya segera mendapat tempat dan merebut hati Sultanah Safiyyatuddin yang sedang memerintah Aceh pada saat itu. Alhasil ia kemudian diangkat sebagai qāḍi qālik al-‘ādil atau mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah keagamaan.

Pada masa itu, terjadi gejolak ideologis dalam masyarakat Aceh di mana Nuruddin al-Raniri (1637-1644 M) mengeluarkan fatwa bahwa penganut paham wujudiyah adalah murtad. Implikasi dari fatwa ini ialah banyak pengikut paham wujudiyah yang dibunuh dan karya-karya mereka dibakar, termasuk karya-karya yang ditulis oleh Hamzah Fansuri (w. 1600 M) dan al-Sumatrani (w. 1630 M).

Abdurrauf As-Singkili yang datang menjadi mufti belakangan lebih toleran dan tidak menyalahkan paham wujudiyah. Menurutnya pemahaman yang demikian sangat berbahaya kalau disampaikan kepada orang awam. Ia juga mengutuk keras perlakuan al-Raniri yang menghukum mati mereka. Sikap ini diambil setelah mendapat saran dari gurunya Ibrahim al-Kurani (w. 1690 M).

Tafsir Tarjuman Al-Mustafid dan Karya-Karyanya

Sebelum meninggal dunia, Abdurrauf As-Singkili telah menulis sejumlah karya buku namun jumlahnya tidak dapat dipastikan dengan tepat. Azyumardi Azra mengatakan jumlah karyanya sebanyak 22 buah. Tetapi Oman Faturrahman menyebutkan bahwa karyanya tidak kurang dari 36 buah, meliputi berbagai bidang ilmu keislaman, terutama tafsir, hadis, tasawuf dan fikih.

Salah satu karya monumental Abdurrauf As-Singkili adalah tafsir Tarjumân al-Mustafîd. Karya ini merupakan tafsir al-Quran yang pertama dalam bahasa Melayu dan berpengaruh luas. Karya ini pernah dicetak di beberapa negara, seperti Istanbul, Singapura, Pulau Pinang dan Jakarta. Bahkan, tafsir ini pernah dijumpai di pemukiman masyarakat Melayu yang tinggal Afrika Selatan.

Pada bidang hadis, Abdurrauf As-Singkili menulis kitab berjudul Syarh Lathîf ‘alâ Arba‘în Hadîtsan li Imâm al-Nawawî dan Mawâ‘iz al-Badî‘ah. Selain itu, Ia juga menuliskan sejumlah karya dalam bidang tasawuf yang berjumlah setidaknya 23 kitab, diantaranya: 1) Tanbih al-Mâsyî al-Mansûb ila Tarîq al-Qusyâsyi; 2)‘Umdah al-Muhtâjîn ilâ Sulûk Maslak al-Mufarridîn; 3) Sullam al-Mustafidin; 4) Piagam Tentang Dzikir dan lain-lain.

Sejumlah karya di atas menunjukkan bahwa Abdurrauf As-Singkili adalah seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu keislaman, salah satunya tafsir. Hanya saja ia banyak memfokuskan diri dalam kajian-kajian sufistik. Semua karya Abdurrauf as-Singkili tersebut ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab Melayu (Jawa Pegon), karena hal itu merupakan tren yang berkembang di bumi Nusantara.

Abdurrauf As-Singkili wafat pada tahun 1105 H/1693 M, diperkirakan dalam usia 78 tahun dan dimakamkan di samping makam Teungku Anjong dekat Kuala Sungai Aceh. Inilah sebabnya Abdurrauf as-Singkili dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala. Meskipun ia telah wafat berabad-abad lamanya, namanya terus disebut-sebut hingga sekarang berkat karya-karya yang ditulisnya. Wallahu a’lam.

Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: Az-Zikr dan Al-Kitab

0
Az-Zikr
Az-Zikr dan Al-Kitab credit: kataraquran.com

Pada artikel yang lalu berjudul Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil telah diuraikan secara singkat penamaan tersebut dan makna dibaliknya. Selain dinamakan al-Quran, al-Furqan dan At-Tanzil, nama lain dari al-Quran adalah Az-Zikr dan Al-Kitab. Pada tulisan kali ini penulis akan menguraikan mengenai makna dibalik dua nama tadi. 

Allah Swt sendiri yang memberi nama Al-Qur’an dengan nama Az-Zikr. Hal ini antara lain disebutkan di dalam QS. Al-Hijr [26]: 9-10:

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Kata Az-Zikr itu secara bahasa adalah bentuk dasar dari kata “zakara” (ذكر) – yazkuru (يذكر) yang berarti “mengingat.” Jadi, kata Az-Zikr (الذكر) berarati “peringatan.” Penamaan Al-Quran dengan Az-Zikr bukanlah hal yang kebetulan. Penamaan seperti ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi Al-Qur’an yang memberi peringatan kepada seluruh umat manusia agar bertauhid, beriman kepada Allah dan melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang.

Baca Juga: Nama-Nama Al-Quran dan Tujuannya

Al-Qur’an sebagai Az-Zikr memperingatkan seluruh umat manusia akan segala hal yang berkaitan dengan manusia dan kehidupannya. Semua ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan akidah, syari’at, dan akhlak, baik yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian, baik yang berkaitan kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, menjadi peringatan bagi manusia. Dengan peringatan-peringatan itu, manusia akan memahami keberadaan dirinya, memahami eksistensi dirinya, dan memahami peranan dirinya, dan memahami kehidupan lain yang berada di balik kehidupan yang sekarang ini. 

Selain nama-nama yang telah disebutkan di atas, Al-Qur’an juga memiliki nama lain lagi yaitu Al-Kitab (الكتاب). Allah sendiri yang memberi nama Al-Qur’an dengan nama Al-Kitab (الكتاب). Ada sejumlah ayat yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an itu juga dinamai Al-Kitab. Nama itu disebutkan antara lain di dalam QS. Al-Zukhruf [43]: 1-3:

حمٓ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ إِنَّا جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Haa Miim. Demi Kitab (Al Quran) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).

Kata Al-Kitab (الكتاب) itu secara bahasa adalah bentuk dasar dari kata “kataba” (كتب) – yaktubu (يكتب) yang berarti “menulis, mencatat, menetapkan, mewajibakan.” Jadi, kata Al-Kitab (الكتاب) berarti “tulisan, catatan, ketetapan, dan kewajiban.” Penamaan Al-Qur’an dengan Al-Kitab (الكتاب) bukanlah hal yang kebetulan. Penamaannya dengan Al-Kitab (الكتاب) ini dikaitkan dengan keberadaan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sebuah tulisan yang lengkap, catatan yang sempurna yang berisi ketetapan-ketetapan yang wajib ditaati oleh umat manusia dan orang-orang yang beriman.

Ketetapan-ketetapan Allah di dalam Al-Qur’an berbentuk perintah-perintah Allah yang harus dilaksanakan umat manusia, dan berbentuk larangan-laranag yang harus ditinggalkan oleh manusia. Perintah-perintah dan larangan-larangan itu wajib ditaati dan dipatuhi oleh manusia, demi kebaikan dan kebahagiaan mereka sendiri. Wallahu A’lam.

Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

0
dalil tayamum
dalil tayamum

Dalam Islam kita mengenal istilah tayamum. Tayamum adalah alternatif bersuci selain wudu dan mandi wajib. Tayamum dijadikan sebagai syarat boleh melaksanakan ibadah. Dasar tayamum ini dapat kita temukan dalam Alquran, surat An-Nisa’ ayat 43.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. an-Nisa’ [4]: 43)

Tayamum adalah satu di antara beberapa cara yang ditawarkan oleh Alquran untuk bersuci dari hadas. Sebagaimana diketahui bahwa keadaan suci menjadi syarat wajib dan sah bagi suatu ibadah, maka wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui tayamum.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan tayamum secara bahasa memiliki arti bertujuan. Seperti perkataan orang Arab, “tayammamakallahu bi hifzhihi” artinya semoga Allah berkenan memelihara dirimu yakni bertujuan untuk melindungimu. Adapun dalam istilah fiqih, tayamum adalah cara bersuci pengganti wudu dan mandi untuk menghilangkan hadas kecil dan besar tanpa menggunakan air sebab dalam keadaan mendesak.

Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Kapan boleh bertayamum?

Berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 43 di atas, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan seseorang boleh melakukan tayamum. Pertama, saat berada dalam kondisi sakit. Kedua, ketika sulit mendapatkan air atau ketersediaan air yang ada tidak cukup.

Imam Al-Ghazali dalam dalam Ihya’-nya juga menjelaskan lebih rinci tentang faktor yang memperbolehkan tayamum,

مَنْ تَعَذذَّرَ عَلَيْهِ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ لِفَقْدِهِ بَعْدَ الطَّلَبِ اَوْ بِمَانِعٍ لَهُ عَنِ الْوُصُوْلِ اِلَيْهِ مِنْ سَبُعٍ اَوْ حَابِسٍ اَوْ كَانَ الْمَاءُ الْحَاضِرَ يَحْتَاجُ اِلَيْهِ لِعَطَشِهِ اَوْ لِعَطَشِ رَفِيْقِهِ اَوْ كَانَ مِلْكًا لِغَيْرِهِ وَلَمْ يَبِعْهُ اِلاَّ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِ الْمِثْلِ اَوْ كَانَ بِهِ جَرَاحَةٌ اَوْ مَرَضٌ وَخَافَ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ فَسَادَ الْعَضْوِ اَوْ شِدَّةَ الضَّنَا فَيَنْبَغِيْ اَنْ يَصْبِرَ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ وَقْتُ الْفَرِيْضَةِ

Artinya: “Siapa saja yang keesulitan menggunakan air, baik karena ketiadaannya setelah berusaha mencari, atau karena ada yang menghalangi, seperti takut binatang buas, karena dipenjara, air yang ada hanya cukup untuk minumnya atau kawannya, air yang menjadi milik orang lain dan tidak dijual kecuali dengan harga yang lebih mahal dari harga normal, atau karena luka, karena penyakit yang bisa menyebabkan rusaknya anggota tubuh atau makin menambah rasa sakit jika terkena air, maka hendaknya ia bersabar sampai masuk waktu fardu.”

Dalam kitab-kitab fiqih yang berafiliasi pada mazhab Syafi’iyah, penjelasan mengenai faktor-faktor ini bahkan diperluas. Seperti dalam kitab al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzahib al-Imam as-Syafi’i dijelaskan, termasuk faktor diperbolehkannya tayamum adalah cuaca yang sangat dingin. Jika seseorang menggunakan air lalu kedinginan, sementara tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai penghangat tubuh, maka diperbolehkan tayamum. Hal ini pernah dilakukan oleh salah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin ‘Ash yang bertayamum dari junubnya karena kedinginan. Rasulullah saw yang mendengar hal tersebut kemudian mendiamkannya. Namun, penulis kitab tersebut melanjutkan bahwa untuk kondisi yang disebutkan terakhir ini seseorang tersebut diharuskan mengqadha shalatnya.

Masih dari ayat yang sama, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tayamum tidak hanya berlaku sebagai pengganti wudu melainkan berlaku pula sebagai pengganti mandi wajib. Hal ini sebagaimana penafsiran sebagian ulama terhadap lafal la mastumun nisa’ yang mengandung makna berhubungan badan.

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya, Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya

Dengan apa kita bertayamum?

Adapun media yang digunakan untuk tayamum adalah tanah yang baik/suci. Sebagaimana Nabi bersabda,

فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ: جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفُ الْمَلاَئِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا اِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

“Kita diberi keutamaan di atas semua orang (umat) karena tiga hal, yaitu barisan kita dijadikan seperti barisan para malaikat, bumi dijadikan bagi kita semua sebagai tempat sujud (shalat), dan tanah dijadikan bagi kita suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.” (HR. Muslim)

Melanjutkan penjelasan Ibnu Katsir, kata ‘sha’idan’ memiliki versi berbeda di antara ulama. Imam Malik mengatakan yang dimaksud dengan kata tersebut adalah segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Hal ini mencakup debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya sebagai sesuatu yang sejenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur. Sementara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sepakat bahwa maksud dari tanah (sha’idan) hanya berlaku untuk debu, tidak pada yang lain. Pendapat ini berangkat dari firman Allah surat Al-Kahfi ayat 40 yang memahami sha’idan juga dengan debu atau tanah yang licin.

Wallahu A’lam.

Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

0
agar tidak mudah kecewa
agar tidak mudah kecewa

Menjaga emosi agar tidak mudah kecewa tentu memiliki trik khusus. Salah satunya seperti yang disampaikan Kyai Ahmad Bahauddin Nursalim, dalam pengajiannya bersama santri Gayeng. Tokoh yang biasa disapa Gus Baha’ ini menjelaskan Tafsir surat An-Nur ayat 22-26 tentang cara agar tidak mudah kecewa dengan orang. Ayat tersebut mengisahkan perasaan Abu Bakar As-Shiddiq ketika mengetahui anaknya yang bernama Aisyah difitnah berzina. Berikut firman Allah surat An-Nur ayat 22:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”


Baca juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka


Tafsir Surat An-Nur Ayat 22-26

Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsir Al Quranul ‘Adzim, bahwa Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Abu Bakar As-Siddiq saat ia bersumpah tidak akan memberikan sedekah lagi kepada Mistah bin Asasah. Hal ini terjadi setelah Mistah menuduh zina terhadap putrinya, ‘Aisyah.

Setelah Allah menurunkan wahyu yang membersihkan diri Aisyah, sehingga hati Aisyah lega. Di samping itu, Allah menerima tobat orang yang membicarakan berita bohong itu dari kalangan mukmin serta menghukum sebagian mereka yang berhak menerimanya.

Lantas, Khitab Allah beralih kepada sahabat Abu Bakar As-Siddiq yang memerintahkan kepadanya agar berbelas kasih kepada kerabatnya, yaitu Mistah bin Asasah. Mistah bin Asasah adalah anak dari bibi Abu Bakar, yang berarti sepupunya. Mistah adalah orang yang miskin, tidak berharta kecuali apa yang ia terima dari uluran bantuan Abu Bakar.

Mistah termasuk salah seorang dari kaum Muhajirin yang berjihad di jalan Allah. Tetapi, ia terpeleset dan melakukan suatu kesalahan. Kemudian Allah menerima tobatnya, dan telah menjalani had (hukuman) yang harus diterimanya akibat kesalahannya itu. Kemudian Abu Bakar kembali memberikan sedekah kepada Mistah seperti biasanya. Ia juga memaafkan tuduhannya atas ‘Aisyah.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah


Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

Menurut Gus Baha’ tafsir surat an-Nur ayat 22-26 sungguh ayat yang luar biasa, dan patut untuk diteladani. Ayat ini mengisahkan ‘Aisyah yang kena tuduhan zina yang disebut dengan haditsul ifki (berita bohong/hoaks).


Baca juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran


Gus Baha menceritakan kisah tersebut dari sudut pandang seorang bapak, yaitu Abu Bakar as- Shidiq. Ketika mengetahui anaknya dituduh zina, ia merasa dendam kepada orang-orang yang telah mefitnah Aisyah. Bahkan, saudara sepupu Abu Bakar yang bernama Mistah bin Asasah, juga ikut mefitnah Aisyah.

Karena sepupunya ini turut mefitnah Aisyah, Abu bakar bersumpah tidak mau lagi bersedakah padanya. Fenomena ini sangat wajar ketika seorang bapak merasa dendam pada orang yang telah mefitnah anaknya. Namun Allah merespons melalui surat An-Nur di atas, bahwa sikap Abu Bakar ini kurang tepat.

Allah menuntun Abu Bakar untuk legawa dan tetap bersedekah kepada siapa saja yang membutuhkan. Dengan legawa, seseorang bisa mengendalikan emosinya, sehingga kemarahannya tidak mencegah perbuatan baik yang lain.  

“Ayat ini adalah wujud keteladanan, bahwa jangan sampai jika kita merasa sakit dengan orang, langsung besumpah yang tidak bagus. Karena Allah juga tidak menyukai pada orang yang bersumpah yang tidak bagus”, tegas Gus Baha’.

Menurut Gus Baha’, dalam ayat tersebut, Allah memerintakah bersedekah bagi siapapun yang memiliki harta lebih, tak peduli mau atau tidak. Syariatnya Allah itu tidak bisa dikalahkan dengan rasa kecewa dengan orang. Jadi, kejadian semenyakitkan apapun, kita tetap harus jaga emosi.

Jika merasa kecewa, rasakanlah apa yang Allah berikan selama ini. Allah memberi rejeki tak terhingga, akan tetapi tetap belum banyak yang menyembah Allah, apalagi bersyukur kepada Allah. Dalam kisah ‘Aisyah ini kita melihat, bahwa terhadap istri seorang Nabi pun, masih ada manusia yang tidak suka. Apalagi manusia-mausia biasa. Karena itu, biasakan diri untuk jaga emosi jika merasa kecewa dengan orang. Wallahu a’lam.

 

 

Viral Aksi Meludahi Al Quran, Ini Cara Pilih Sikap menurut Al Quran!

0
Bersikap menurut Alquran
Bersikap menurut Alquran

Aksi peludahan Alquran di Norwegia beberapa hari lalu menuai respon negatif dari berbagai lini masyarakat. Bahkan, sederet pihak mengecamnya dengan keras. Dilansir dari detik.com (1/9), Kemenlu Turki mendesak pemerintah Norwegia untuk segera menindak tegas aksi penistaan agama yang dilakukan oleh anggota Stop Islamisation of Norwegia (SIAN) tersebut.

Kejadian ini bukan kali pertama di Norwegia. Dilansir dari kumparan.com (26/11), di penghujung tahun lalu, penistaan agama juga dilakukan oleh organisasi ini dengan membakar Alquran. Setelah diusut, tindakan tersebut dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap Islam (Islamophobia), yang kemudian menginspirasi mereka untuk membuat komunitas anti Islam (SIAN).

Melihat peristiwa tersebut, sebagai muslim harusnya punya cara tepat meresponnya, di satu sisi mempertimbangkan prinsip toleransi yang tekandung dalam Alquran, dan di lain sisi tidak terlalu lengah, agar tidak menyebabkan Islam melemah.

Baca Juga: 3 Model Interaksi Manusia dengan Al Quran Menurut Farid Esack

Tafsir ayat tentang penistaan agama

Dalam Alquran, penistaan agama diistilahkan dengan istihza’ dan dengan berbagai derivasinya (menghina, merendahkan, menistakan). Penistaan juga disebut sukhriyyah, yang relatif sama maknanya dengan istihza’. Allah berfirman dalam QS. Az-Zukhruf [43]: 6-7:

 ()وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِن نَّبِىٍّ فِى ٱلْأَوَّلِينَ
وَمَا يَأْتِيهِم مِّن نَّبِىٍّ إِلَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ

“Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Tidak ada satu orang nabi pun datang kepada mereka melainkan mereka selalu mengolok-olok”

Mengutip dari al-Ghazali, Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani mendefinikan istihza’ dengan:

وذكر حجة الإسلام الغزالي أن الإستهزاء: الإستحقار والإستهانة والتنبيه على العيوب والنقائص على وجه يضحك منه وقد يكون ذلك بالمحاكه في الفعل والقول والإشارة والإيماء

“Hujjatul Islam Al-Ghazali menyebutkan bahwa istihza’ ialah penghinaan, merendahkan, mengungkap aib dan kekurangan orang dengan cara menertawakannya. Hal tersebut biasanya diungkapkan dengan meniru perilaku, perkataan, atau isyarat”

Dalam Tafsir Al-Munir karya Wahbah Az-Zuhayli, ayat ini turun untuk menghibur Nabi setelah cacian bertubi-tubi yang diterimanya dari kafir Quraisy. Melalui ayat ini, Allah juga membesarkan hati Nabi, bahwa utusan-utusan terdahulu juga mendapat penghinaan seperti yang ia alami saat itu.

Di antara penistaan yang dilontarkan Kafir Quraisy kepada Nabi ialah menghinakan salat saat Nabi mengajaknya (surat Al-Maidah ayat 58) dan menuduhnya gila (Surat Ad-Dukhan ayat 14)

Sementara itu, bentuk penistaan agama yang berkaitan dengan Alquran antara lain saat Kafir Quraisy mencemarkan Alquran dengan menganggapnya buatan Nabi (Surat Yunus ayat 38). Selain itu sikap antipati dan memperolok Al Quran juga dilakukan oleh pamannya sendiri.

Abu Jahal menistakan surat Al-Muddatsir ayat 30 “‘alayha tis’ata ‘asyara” (di atasnya (neraka) terdapat 19 (malaikat penjaga).

Ia berujar, “kalau hanya 19 malaikat yang menjaga, saya siap menghadapinya sendirian).

Baca Juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan AlquranTafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?

Cara pilih sikap harus tahu penyebabnya dulu

Tindakan penistaan pasti memiliki penyebab yang melatarinya. penyebab ini bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merespon tindakan tersebut. Apakah harus dibalas dengan keras dan tegas, atau lebih bijak meresponnya dengan ramah.

Alquran setidaknya memberikan 2 indikasi utama tentang penyebab ini.

Pertama, penistaan timbul karena rasa gumede (sombong) yang menjadi akibat dari budaya hedonisme . Misalnya dapat kita cermati dalam firman Allah, QS. Al-Jatsiyah [45]: 8-9:

يَسْمَعُ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ تُتْلَىٰ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا ۖ فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
وَإِذَا عَلِمَ مِنْ ءَايَٰتِنَا شَيْـًٔا ٱتَّخَذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“Dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri, seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka, berilah kabar gembira kepadanya dengan azab yang pedih. Bila dia mengetahui sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.”

Az-Zuhayli menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan Nadr bin Harits yang menyogok orang-orang non-Arab agar masyarakat tidak lagi mau mendengarkan Alquran. Memang pada waktu itu, banyak orang bisa menjangkau pembacaan Alquran, tak terlepas para kafir Quraisy. Sayangnya, sebanyak apa pun mereka mendengarkan Alquran, tidak ada satu ayat pun yang menggugah hati mereka untuk mempercayainya.

Penyebab pertama ini juga ditemukan dalam dalam QS. Al-Jatsiyah [45]: 35:

ذَٰلِكُم بِأَنَّكُمُ ٱتَّخَذْتُمْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا ۚ فَٱلْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ

“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan cacian dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia. Maka, pada hari ini, mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat”

Kedua, ketidaktahuan. Tindakan penistaan juga bisa timbul lantaran seorang penista tidak tahu yang sebenarnya. Bisa jadi karena informasi yang ia terima salah, atau sama sekali belum menerima informasi tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 104:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

“dan apabila dikatakan kepada mereka “marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul”. Mereka menjawab, “cukup bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya)”. Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak tahu apa pun dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”

2 sikap terhadap penistaan agama

Penistaan yang timbul karena kesombongan serta berdampak besar harus disikapi dengan tegas, karena mereka melakukan itu bukan atas dasar tidak tahu. Mereka sengaja menghina agama karena ingin menghancurkannya.

Salah satu sikap tegas bisa dengan mengecam aksi penistaan yang tidak bisa ditolerir lagi. Sikap ini pernah Nabi lakukan seusai hijrah ke Madinah. Waktu itu, ia mengecam orang yang berpura-pura masuk Islam lantaran ingin meneror dan menghancurkan Islam. Nabi menjulukinya munafik dan mengancamnya akan masuk neraka. Sikap tegas yang dilakukan Nabi ini berada dalam konteks turunnya surat An-Nisa’ ayat 140.

Sementara itu, bila penistaan timbul karena ketidaktahuan atau informasi yang salah (hoax), maka lebih baik melakukan klarifikasi kebenaran sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 6. Tentunya, pengungkapan fakta dan informasi yang sebenarnya harus dilakukan dengan cara yang ramah serta kooperatif. Hal ini tak lain sebagai ikhtiar menjaga pilar Islam sebagai agama yang toleran dan cinta kedamaian.

Tetapi, dalam kasus di Norwegia, sebaiknya kita menunjukkan sikap kritis. Pasalnya, kasus itu dimotori oleh komunitas yang jelas anti Islam, dan ini bukan pertama kalinya. Ditambah lagi, pelakunya pernah didakwa atas kasus ujaran kebencian. Beberapa fakta ini menunjukkan penistaan agama atas dasar kebencian sangat kentara sehingga melewati batas toleransi. Selain itu, untuk menghindari melemahnya agama Islam. Wallahu A’lam

Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Baqarah

0
keutamaan surat al baqarah
keutamaan surat al baqarah

Dikisahkan bahwa penamaan al-Baqarah (sapi betina) dalam surat ini erat kaitannya dengan masyarakat Bani Israil. Sebagaimana dituturkan oleh Quraish Shihab bahwa asbabun nuzul surah ini ialah bermula dari terbunuhnya seseornag namun tidak diketahui pelakunya. Sontak, masyarakat Bani Israil saling tuding menuding tentang siapa pelakunya.

Lantas, mereka menghadap Nabi Musa, meminta agar beliau berdoa kepada Allah swt dan menunjukkan siapa pelakunya. Maka Allah swt memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi. Dari sinilah penamaan al-Baqarah (sapi betina) menjadi nama surah dalam Al Quran Sehubungan dengan keutamaan yang akan kita dapatkan ketika membaca surat al Baqarah, di bawah ini terdapat 3 uraian tentang keutamaannya, antara lain;

Menjadikan diri terlihat awet muda

Beberapa ayat ada yang diyakini ketika membacanya akan menjadikan wajah cantik atau tampan. Seperti surah Yusuf terkenal di kalangan masyarakat dibaca pada saat ibu mengandung dengan harapan anaknya akan lahir setampan nabi Yusuf. Namun ternyata surat Al Baqarah juga bisa diamalkan untuk tujuan seperti itu. Hal ini seperti yang disampaikan dalam sebuah hadits,

قَالَ الحميدي : ثَنَا سُفْيَان قَالَ: ثَنَا مَنْصُوْر عَنْ إبْرَاهِيْم عَنْ عَبْدُ الرَّحْمن بْنُ يَزِيْدُ عَنْ عَلْقَمَة عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْد أَنَّ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمن بْنُ يَزِيدُ : ثُمَّ لَقِيْتُ أَبَا مَسْعُوْدِ فِيْ الطَّوَافِ فَسَأَلْتُهُ عَنْهُ فَحَدَّثَنِيْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ.

“ Berkata Humaidi: menceritakan kepada kami Sufyăn: menceritakan kepada kami Mansur dari Ibrahim dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari ‘Alqamah dari Abi Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “barangsiapa yang membaca dengan dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah pada malam hari, maka dia akan terlihat muda”. Berkata Abdurrahman bin Yazid: kemudian aku berjumpa dengan ‘Abă Mas’ud pada saat sedang melaksanakan Thowaf, maka aku bertanya kepadanya mengenai hal itu, maka dia menyampaikan kepadaku, “sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan terlihat muda” (Diriwayatkan dari al-Humaidi, no. 215/1)

Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid

Mengeluarkan setan dari dalam rumah

Bagi rumah yang tidak berpenghuni ataupun diyakini ada makhluk gaib di dalamnya, bisa dibacakan surat al-Baqarah. Insya Allah dengan keutamaan surat al-Baqarah, orang yang tinggal di rumah itu akan terbebas dari segala bentuk kejanggalan yang mendatangkan mudharat. Seperti yang disampaikan Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

قَالَ الفَرْيَابِي: حَدَّثَنِيْ إِسْحَاق بنُ سَيَارَ ثَنَا اِبْنُ وَهَبْ أَخْبَرَنِيْ عَمْرُوْ بْنُ الْحَارِثْ وَاِبْنُ لُهَيْعَة عَنْ يَزِيْدُ بْنُ أَبِيْ حَبِيْب عَنْ سُنَان بْنُ سَعِدٌ عَنْ أَنَسٍ بْنُ مَالِكِ عَنِ رَّسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسِلَّمَ قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لِيَخْرُجُ مِنْ البَيْتِ إِذَا سَمِعُ سُوْرَةَ الْبَقَرَةُ تُقْرَأُ فِيْهِ

“Berkata Faryăbî: menceritakan kepadaku Ishaq bin Sayăra, menceritakan kepadaku Ibnu Wahab, mengabarkan kepadaku ‘Amru bin Hărits dan Ibnu Luhay’ah, dari Yazîd bin Abi Habîb dari sunan bin Sa’id, dari Anas bin Malik, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “sesungguhnya syetan akan keluar dari rumah bilamana mendengar surah Al-Baqarah yang engkau bacakan di dalamnya” (Ditakhrij oleh Faryăbî dalam kitabnya Fadhă’il;185)

Juga dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah,

قَالَ مُسْلِمٌ : حَدَّثَنَا قُتَيْبَة بْنُ سَعِيْدٌ حَدَّثَنَا يَعْقُوْب وَهُوَ اِبْنُ عَبْدُ الرَّحْمنِ الْقَارِي عَنْ سَهِيْل عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَجْعَلُ بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرْ إِنَّ الشَّيْطَانَ يُنْفِرُ مِنْ البَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَة البَقَرَة: وَفِيْ لَفْظِ : (يفر) وَفِيْ رِوَايَةِ : (( وَإِنَّ الْبَيْتِ الَّذِيْ تَقْرَأُ فِيْهِ الْبَقَرَةِ لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَان))

“Berkata Muslim: menceritakan kepadaku Qutaiybah bin Sa’id, menceritakan kepadaku Ya’qub dan dialah Ibnu ‘Abdurrahman al-Qărî, dari Sahîl, dari bapaknya, dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw, bersabda: Jangan jadikan rumahmu kuburan. Sehungguhnya Syaitan akan menghindar dari rumah yang dibacakan didalamnya surah Al-Baqarah: dan dalam lafadznya “(Setan)Melarikan diri”. Dan dalam riwayat lain: “dan sesungguhnya rumah yang dibacakan surah Al-Baqarah didalamnya tidak akan dimasuki oleh syaitan”” (HR. Muslim, no.64/6)

Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?

Mengabulkan permohonan doa

Jika selama ini kita merasa doa kita belum dikabulkan, cobalah merutinkan bacaan surat al-Baqarah. Di dalam surat al Baqarah terdapat ‘ismu allah al-a’zham’ (Nama-nama Allah yang Agung) yang ketika kita berdoa dengan menggunakan nama-nama itu, maka doa tersebut akan dikabulkan. Seperti penjelasan Rasulullah saw dalam sebuah hadits,

قَالَ الفَرْيابِيْ : حَدَّثَنَا هِشَام بْنُ عُمَارحَدَّثَنَا الوَلِيْد بْنُ مُسْلِم أَنَّا عَبْدُ اللهِ بْنُ العلَاءِ بْنُ زَبِرأَنَّهُ سَمِعُ الْقَاسِم أَبَا عَبْدُ الرَّحْمنِ يُحْدَثُ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ يَرْفَعُهُ قَالَ : اِسْمُ اللهِ الأَعْظَمِ الَّذِيْ إِذَا دَعَي بِهِ أَجَابَ فِيْ سُوَرِ ثَّلَاثَةِ فِيْ الْبَقَرَةِ وَ الْعِمْرَانِ وَ طه – يَعْنِيْ الْحي الْقَيُّوْمُ –

“Berkata Faryăbî: menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Umar, menceritakan kepada kami Walîd bin Muslim, sesungguhnya ‘Abdullah bin ‘Ulă’ bin Zabir mendengar al-Qasim Abă ‘Abdurrahman menceritakan, dari Abi ‘Umamah menyampaikan : Nama-nama Allah yang agung, yang ketika berdo’a dengannya akan dikabulkan, terdapat dalam tiga surah; dalam surah al-Baqarah, dan surah al-Imran, dan Surah Taha-yakni al-hayy al-qayyŭm”( ditakhrij oleh Faryăbî, no.185)

Itulah tiga keutamaan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penulis mendapatkan banyak informasi dari hadits-hadits yang menyangkut keutamaan surat al-Baqarah, dan ternyata hikmah yang paling cenderung  pada surat al-Baqarah ini adalah untuk menjauhkan diri dari godaan dan gangguan setan, salah satu alasannya adalah karena di dalamnya terdapat ayat kursi. Semoga tiga keutamaan ini menjadi bahan awal para pembaca untuk menemukan keutamaan lain dari surat al-Baqarah.