Beranda blog Halaman 525

Mufasir-Mufasir Modern: Biografi Muhammad Al-Ghazali

0
Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali credit: maktubes.com

Muhammad Al-Ghazali bin Ahmad As-Saqa merupakan seorang ulama Mesir kontemporer. Ia lahir pada tanggal 22 September 1917 di Nakla al-‘Inab provinsi Buhairah Republik Arab Mesir, sebuah desa di Mesir yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka. Tokoh-tokoh tersebut, di antaranya adalah Mahmud Sami al-Barudi, Mahmud Syaltut, Hassan al-Banna, Muhammad Abduh, Salim al-Bisyri, dan Abdullah al-Musyid.

Al-Ghazali lahir dan tumbuh dalam kalangan keluarga yang dikenal karena kecintaannya kepada ilmu dan ulama. Ayahnya merupakan seorang guru agama yang wara’ dan disegani oleh masyarakat. Ibunya juga merupakan seorang yang sangat memberikan perhatian dalam bidang akhlak dan pendidikan Islam. Alhasil, sejak belia ia mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Jejak Intelektual

Persinggungan Muhammad Al-Ghazali dengan Al-Quran dimulai ketika ia menempuh pendidikan dasar di sebuah tempat khusus untuk menghafal Al-Qur’an. Saat berusia 10 tahun, beliau telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz. Bermodalkan hafalan tersebut, dan didukung oleh penguasaan Bahasa Arab yang baik, ia terus mendalami kandungan makna Al-Qur’an.

Kemudian ia meneruskan belajar ilmu-ilmu ke-Islaman di sebuah yayasan agama di bawah naungan al-Azhar al-Syarif di kota Iskandariah. Ia mendapatkan ijazah ibtidaiyyah (Sekolah Menengah Pertama) tahun 1932 dan dari yayasan yang sama ia mendapatkan ijazah tsanawiyah (Sekolah Menengah Atas) al-Azhariyyah tahun 1937.

Setelah itu Al-Ghazali hijrah ke pusat ibukota Mesir, Kairo dan masuk perguruan tinggi Al-Azhar di Fakultas Ushuluddin. Pada pertengahan tahun ketiga di masa studinya, dia mulai menulis di salah satu majalah organisasi Ikhwānul Muslimīn (IM) dan mendapat respon positif dari pendiri jamaah IM tersebut, Hassan al-Banna. Al-Ghazali lulus kuliah pada tahun 1941 M. Pada tahun 1943 M, ia memperoleh gelar magister dari Fakultas Bahasa Arab.

Muhammad Al-Ghazali merupakan seorang da’i dan penulis yang disegani di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah. Ia aktif sebagai aktivis dakwah, di samping itu ia juga berprofesi sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo. Ia mengajar di 4 fakultas, yaitu Fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, dan Fakultas Tarbiyah. Beberapa aktivitas intelektualnya dalam dunia pendidikan dan dakwah mengantar al-Ghazali mendapat beberapa penghargaan baik di Mesir maupun di luar Mesir.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Di negeri kelahirannya, Muhammad al-Ghazali mendapat anugerah bintang kehormatan tertinggi dari pemerintah atas jasanya dalam bidang pengabdian kepada Islam. Al-Ghazali juga menjadi orang Mesir pertama yang mendapat penghargaan Internasional Raja Faishal dari kerajaan Saudi Arabia. Di Aljazair, dia dianugerahi penghargaan al-Aṡīr, bintang kehormatan tertinggi Aljazair dalam bidang dakwah Islam.

Karya dan Gagasan Kesatuan Tematik Surah Al-Quran

Muhammad al-Ghazali  adalah ulama yang sangat produktif. Ia telah menulis 48 buku dalam berbagai bidang. Ada juga yang menyatakan bahwa ia telah menulis 54 buah buku yang kesemuanya dihasilkan dari kajian dan penelaahan yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Walaupun ia bergabung dan turut aktif dalam gerakan al-Ikhwān al-Muslimūn, namun secara tegas ia menyatakan bahwa kepentingan Islam di atas segalanya.

Muhammad al-Ghazali  juga aktif menulis di beberapa majalah Mesir, di antaranya al-Muslimūn, Mimbar al-Islām dan Liwā’ al-Islām. Di samping itu ia juga aktif menulis di media massa di Saudi Arabia,  misalnya Al-Da’wah dan beberapa surat kabar harian dan mingguan. Sementara di Qatar ia menulis untuk majalah al-Ummah dan di Kuwait menulis untuk majalah al-Wa’yu al-Islāmi dan al-Mujtama’.

Di antara karya-karyanya adalah Aqīdah al-Muslim, Fiqh Sīrah, Haẓa Dīnuna, Kaifa Nata’āmal ma’a al-Qur’ān, Jaddid Ḥayātaka, Kaifa Nafham al-Islām, Khulq al-Muslim, dan Nahwa Tafsīr Mauḍu’ī li Suwar al-Qur’ān al-Karīm. Terkadang al-Ghazali dalam beberapa tulisannya terasa sangat tajam karena ia membenci segala bentuk penyimpangan.

Dalam Nahwa Tafsīr Mauḍu’ī li Suwar al-Qur’ān al-Karīm, al-Ghazali menegaskan bahwa al-Quran merupakan satu kesatuan. Susunan dan urutan yang ada di dalamnya merupakan kesatuan yang akurat dan serasi. Ia menyatakan bahwa setiap surah merupakan satu kesatuan tematik yang memuat topik utama di dalamnya. Tema-tema yang saling berhubungan tersebut saling menyempurnakan dan menopang topik utama.

Singkatnya, menurut al-Ghazali al-Quran merupakan satu kesatuan yang saling mengikat. Ayat-ayatnya memuat topik yang spesifik. Ayat-ayat yang membahas satu tema sifatnya saling menyempurnakan dan melengkapi satu sama lain. Ia juga meyakini bahwa setiap surah menggambarkan adanya kesatuan tematik yang saling berhubungan dengan yang lain, seperti satu kesatuan tubuh yang anggotanya saling menyatu, tidak terpisah dan tidak bertentangan.

Selanjutnya, Muhammad al-Ghazali  dikenal sebagai sosok yang mengajak umat untuk membebaskan pemikiran Islam dari belenggu kejumudan dan taqlid. Hal tersebut ia lakukan dengan cara membedakan antara sumber-sumber keislaman yang normatif dan pemikiran-pemikiran Islam yang senantiasa berkembang (historis). Ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya para pendahulu-pendahulu kita tidak memberi ruang untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan bagi yang lainnya.

Baca Juga: Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud

Bagi Muhammad al-Ghazali, Islam adalah agama yang mencetak para mujtahid, sedangkan mereka tidak bisa mencetak/merubah Islam. Sumber-sumber ajaran-ajaran Islam itu selalu terjaga, karena itu bersumber dari Allah. Akan tetapi pintu pemikiran dan  pengambilan hukum selalu terbuka, karena itu datang atas dasar ijtihad seseorang. Al-Ghazali juga mengajak umat agar memahami sumber ajaran Islam yang utama, yaitu Al-Qur`an dengan cara mencermati inti ajarannya.

Pada hari Sabtu tanggal 9 Syawal 1916 H/ 6 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan dengan berita meninggalnya Syaikh al-Ghazali di Riyadh. Berita tersebut mengejutkan umat Islam karena ketika itu al-Ghazali sedang berada di Riyadh Arab Saudi untuk menghadiri sebuah seminar. Jenazahnya kemudian diterbangkan ke Mesir dan dikebumikan di sana.

Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama

0
Mengkhatamkan Al-Quran
Mengkhatamkan Al-Quran credit: arabsiphone.com

Mengkhatamkan Al-Quran adalah suatu ibadah yang besar pahalanya. Namun banyak yang merasa berat karena tebalnya Al-Quran yang memang terdiri dari 30 Juz dan 114 surat. Banyak yang mengira bukan hal mudah untuk mengkhatamkan Al-Quran dalam waktu sebulan. Orang yang mempunyai anggapan ini akan terheran dengan kisah-kisah para ulama dalam mengkhatamkan Al-Quran.

Para ulama yang diterangkan di bawah ini tidak hanya mengkhatamkan Al-Quran dalam jarak sebulan. Bahkan ada yang seminggu. Adapula yang mengkhatamkan saat salat. Rekor-rekor ini dapat menjadi motivasi kita untuk terus rajin membaca Al-Quran, dan tidak lantas bosan sebab merasa perlu waktu lama untuk mengkhatamkannya.

Catatan Imam An-Nawawi Tentang Rekor Mengkhatamkan Al-Quran

Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamlatil Qur’an, mencatat rekor mengkhatamkan Al-Quran dari ulama’ salaf (At-Tibyan/46). Beliau mengutip keterangan Ibn Abi Dawud tentang rekor tersebut. Ada yang sekali khatam dalam dua bulan, sekali khatam dalam sebulan, sekali khatam dalam delapan hari, sekali khatam dalam tujuh hari, sekali khatam dalam enam hari, sekali khatam dalam lima hari dan sekali khatam dalam empat hari.

Lebih dari itu, ada yang sekali khatam dalam tiga hari, sekali khatam dalam dua hari, sekali khatam dalam sehari, dua kali khatam dalam sehari, dan tiga kali khatam dalam sehari. Bahkan ada yang 8 kali khatam dalam sehari, dengan rincian 4 kali khatam di saat siang dan 4 kali khatam saat malam.

Yang tercatat sekali khatam dalam sehari antara lain ‘Utsman ibn Affan, Tamim ad-Dary, Sa’id ibn Jubair, Mujahid, Imam As-Syaf’i dan beberapa ulama’ lain. Sedang yang tercatat tiga kali khatam dalam sehari adalah Sulaim ibn ‘Atar dan Abu Bakr ibn Abi Dawud. Sedang yang tercatat 8 kali khatam dalam sehari adalah Ibn Al-Katib.

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

Melihat dari waktu mengkhatamkan Al-Quran, tercatat nama Manshur ibn Zadan yang khatam al-Qur’an diantara waktu dzuhur dan ashar, serta dua kali khatam di antara waktu maghrib dan isya’ di bulan Ramadhan. Perlu diketahui bahwa di bulan Ramadhan para ulama’ zaman dahulu gemar mengakhirkan salat isya’ sampai seperempat malam yang terakhir. Di waktu antara maghrib dan isya’ ini juga, Imam Mujahid, ‘Ali Al-Azdiy dan Ibrahim ibn Sa’d membacal Al-Qur’an sekali khatam.

Lebih hebat dari itu semua, Imam An-Nawawi bahkan mencatat beberapa ulama’ yang pernah mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rakaat. Diantaranya adalah ‘Utsman ibn Affan, Tamim Ad-Dariy, dan Sa’d ibn Jubair.

Anjuran Ulama Mengenai Jarak Mengkhatamkan Al-Quran

Rekor-rekor yang dipaparkan Imam An-Nawawi di atas bukanlah sesuatu yang mustahil mengingat nama-nam di atas dikenal hafal dan memahami makna-makna Al-Qur’an. Selain itu, mereka adalah ulama’ yang sekaligus kekasih Allah, yang bisa saja dikaruniai Allah berupa dapat melakukan beberapa hal dalam waktu singkat, padahal seharusnya hanya bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lama.

Oleh karena itu, Imam An-Nawawi tidak lantas mendorong untuk meniru rekor-rekor tersebut secara membabi-buta. Bahkan beliau menganjurkan dalam membaca Al-Qur’an sampai khatam, kita perlu melihat kemampuan kita masing-masing. Kalau bisa, jarak mengkhatamkan sebanding dengan kesempurnaan kita dalam memahami apa yang kita baca. Yang terpenting rajin membaca disertai memahami kandungannya. Tidak lantas yang penting membaca secara cepat terlebih dengan mengabaikan makhraj dan tajwid dalam al-qur’an (At-Tibyan/46).

Baca Juga: Inilah 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis

Bagi yang memiliki kesibukan dalam hari-harinya, maka cukup membaca Al-Qur’an dengan kadar waktu yang digunakan tidak sampai mengganggu kesibukannya. Bagi yang tidak memiliki kesibukan seperti di atas, cukuplah membaca Al-Quran dengan kadar tidak sampai membuat bosan dan tak sampai terlalu cepat.

Bukan berarti karena mengkhatamkan Al-Quran pahalanya amat besar sehingga kita boleh meraihnya dengan memaksakan, seperti sekedar membaca dan enggan memahami bahkan sampai mengabaikan makhraj dan tajwid. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ada sebagian ulama’ salaf yang tidak suka bila Al-Qur’an dibaca sekali khatam dalam sehari. Karena itu menandakan ia mengabaikan hal-hal yang wajib diperhatikan saat membaca al-Qur’an.

Di Indonesia masyarakat yang hanya bisa rajin membaca al-Quran tanpa memahami, seyogyanya ada waktu yang digunakan untuk mengkaji tafsir. Sebab tafsir adalah jalan memahami makna-makna Al-Quran. Tidak lantas hanya membaca atau menghafal Al-Quran saja tanpa ada usaha memahami.

Tafsir Tarbawi: Debat Kompetitif, Metode Efektif dalam Pembelajaran

0
metode efektif pembelajaran
metode efektif pembelajaran

Sebagian orang menilai berdebat (jadal) merupakan hal yang harus dihindari terlebih kerap kali menuai konflik dan menyulut amarah. Namun, bagi sebagian lainnya berdebat justru dapat menjadi wahana untuk beradu argumen, memperkaya diri dengan pengetahuan. Dalam konteks pendidikan, debat merupakan salah satu metode efektif dalam pembelajaran.

Penggunaan metode ini sangat bermanfaat untuk membangun, mengasah, dan menajamkan kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis peserta didik. Allah swt telah memerintahkan secara eksplisit penerapan metode berdebat dalam firman-Nya QS. al-Nahl [16]: 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk(Q.S. al-Nahl [16]: 125)

Baca juga: Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

Tafsir Surah Al-Nahl Ayat 125

Jika pada pembahasan sebelumnya mengeksplor ayat ini ke dalam dua metode (hikmah dan mauidzah hasanah), maka pembahasan kali ini mengulas metode yang terakhir ini wa jadilhum billati hiya ahsan (berdebatlah kalian dengan cara yang lebih baik).

Etika berdebat telah dibahas secara rinci oleh Muhammad ‘Ali As-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir-nya. Ia menafsirkannya dengan perintah debat meski perbedaan pendapat itu berlangsung sengit dan tajam, dengan cara ahsan (yang paling baik). Cara ahsan ini ialah penyampaian argumen dengan tutur kata yang halus lagi lembut. Di sisi lain, berdasarkan hujjah yang rasional serta mencerahkan.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quranul Adzim-nya pun menandaskan bahwa ayat itu menyerukan untuk berdebat dengan cara yang terbaik, yaitu tutur kata yang lemah lembut, santun, serta arif dan bijaksana.

Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, kata jadilhum diambil dari kata jidal, bermakna diskusi atau bukti yang mematahkan argumen lawan diskusi kita. Sehingga ia merasa tidak kuasa untuk menyanggahnya, baik yang dipatahkan itu diterima oleh semua orang maupun lawan diskusi kita.

Dalam perspektif Quraish Shihab, kata jadil terdiri dari tiga macam karakter.

Pertama, jadal bermakna buruk, jika disampaikan dengan kasar, mengundang amarah lawan, serta menggunakan dalil yang invalid. Selain itu juga argumen yang di sampaikan menisbikan fakta, mengelabui bahkan mengaburkan bukti yang ada.

Kedua, jadal bermakna baik, apabila dipresentasikan secara halus, lembut, sejuk, menggunakan argumen yang logis dan rasional.

 Ketiga, jadal bermakna terbaik (ahsan), selain penuturan yang halus, jelas, tidak berbelit-belit. Jadal juga disertai argumen yang logis, rasional dan bukti yang valid serta mencerahkan sehingga menemukan benang merah antara keduanya.

Sementara itu, Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menandaskan bahwa ber-mujadalah adalah mengkritisi pendapat/ argumen seseorang dan mematahkan bahkan mementahkan jawaban yang berbeda dengan kita yang dituturkan dari pihak lawan. Hal berbeda disampaikan pula oleh as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain. Adapun maksud redaksi wa jadilhum billati hiya ahsan adalah menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu

Debat kompetitif adalah metode yang efektif

Ayat di atas berisi perintah untuk menggunakan metode berdebat secara ahsan (yang terbaik). Dalam konteks pembelajaran debat merupakan salah satu metode yang cukup efektif untuk membangun kemampuan kritis dan analitis peserta didik.

Tentunya berdebat harus diiringi dengan cara-cara kompetitif dan demokratis. Antara lain, penggunaan diksi kata yang baik dan santun, tidak terkesan menyudutkan lawan, berargumen secara tegas, jelas, logis dan rasional. Selain itu, debat juga disertai dengan bukti yang valid dan mutakhir sehingga menghasilkan titik temu.

Maka, dalam hal ini pendidik harus kreatif. Misalnya, sebelum debat dilakukan, pendidik bersama peserta didik menentukan dan menyepakati topik. Begitu juga, membuat kontrak forum terlebih dahulu antar peserta didik terkait etika maupun tata tertib berdebat, Ini bertujuan untuk membiasakan peserta didik berdebat secara kompetitif dan demokratis.

Pemilihan topik pun harus menggugah jiwa peserta didik. Misalnya, budaya nyontek, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, kasus korupsi, hamil diluar nikah, anarkisme remaja, dampak penggunaan hp dan sebagainya. Hindari topik yang berkaitan dengan SARA kecuali pendidik telah memberikan materi secara mendalam dan berkesinambungan sehingga tidak menimbulkan diskriminasi dan disintegrasi.

Semua hal itu dilakukan guna menghindari debat kusir (debat tak bermutu, dan menyerang pribadi peserta debat). Oleh karena itu, peserta didik harus disiapkan dan dilatih sedemikian rupa agar debatnya bernuansa keilmuan dan ilmiah.

Hal ini senada dengan Kurikulum 2013 (K-13) yang menekankan pada kemampuan peserta didik berpikir kritis dan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/ HOTS). Dan debat menjadi salah satu metode yang efektif untuk merealisasikannya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

Debat juga dapat membangun kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis. Debat juga melatih untuk mengendalikan emosi, membangun sikap demokratis dan kompetitif, belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Tak kalah pentingya, melatih kemampuan public speaking sehingga peserta didik percaya diri dan tidak demam panggung saat tampil berbicara di muka umum.

Dengan demikian, debat adalah sarana untuk menemukan benang merah, menjadi solusi atas peliknya problematika dengan berdasar argumentasi jelas dan valid. Karenanya, para ulama kita mencontohkan perbedaan pendapat adalah rahmat dan keberkahan tatkala disikapi dengan arif dan bijaksana. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!

0
Hati-hati terhadap qadzaf
Hati-hati terhadap qadzaf

Zina adalah suatu pelanggaran syariat yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman (had). Namun tidak hanya pelaku zina, orang yang menuduh zina juga bisa mendapatkan hukuman. Dalam literatur fiqih, penuduhan zina tersebut dikenal dengan istilah qadzaf. Lebih lengkapnya, mari kita bahas di bawah ini.

Jika seseorang menuduh orang lain berbuat zina, maka ia berpotensi terkena hukuman qadzaf, kecuali jika ia mampu mendatangkan empat orang saksi mata dari perbuatan zina yang dituduhkan. Apa hukuman yang dijatuhkan pada pelaku qadzaf? yaitu cambukan sebanyak 80 kali. Ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ  ۙ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik lalu mereka tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka sebanyak 80 kali dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasiq. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur [24]: 4-5)

Qadzaf berasal dari ar-ramyu bil hijarah yakni lemparan menggunakan batu. Kemudian istilah ini digunakan untuk lemparan menggunakan lisan, karena baik lemparan menggunakan batu atau lisan efeknya sama-sama menyakitkan. Seperti perkataan an-Nabighah yang dikutip oleh As-Shabuni dalam Rawai’ul Bayan:

وَجَرْحُ اللِّسَانِ كَجَرْحِ الْيَدِ

Artinya: “luka yang disebabkan lisan seperti halnya luka yang dibuat oleh tangan.”

Baca Juga: Tafsir Surat al-Maidah 44: Maksud Hukum Allah

Kemudian secara istilah, qadzaf berarti menuduh zina atas dasar pencemaran nama baik. Siapakah pemilik nama baik yang dimaksud? Pada ayat di atas, orang tersebut adalah al-muhshanat, perempuan yang dikategorikan terhormat menurut syariat. As-Shabuni melanjutkan, kriteria wanita yang bersifat al-ihshan (terhormat) adalah sebagai berikut:

  1. Al-‘Iffah yakni menjaga kehormatan. Hal ini berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat 5.
  2. Al-Hurriyyah yang berarti merdeka, bukan budak. Dalil yang digunakan adalah an-Nisa’ ayat 25.
  3. At-Tazawwuj atau berstatus menikah seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 23.
  4. Al-Islam yakni beragama Islam.

Mengingat diksi pada redaksi ayat di atas berbentuk jamak muannas (al-muhshanat), menunjuk pada jenis kelamin perempuan. Lantas apakah yang tertuduh harus perempuan dan hukum ini tidak berlaku bagi laki-laki?

Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan tanggapan bahwa dalam ayat ini berlaku hukum aghlabiyah atau representatif. Artinya, meskipun diksi yang digunakan adalah bentuk muannas (perempuan), namun hal itu juga mewakili laki-laki. Sehingga, hukum tersebut ditujukan pada siapa saja baik laki-laki atau perempuan yang memenuhi kriteria terhormat. Inilah pendapat yang disepakati oleh konsensus ulama.

Lalu mengapa tuduhan dalam ayat tersebut hanya disebutkan untuk perempuan? Melalui tafsirnya yang berjudul Fathul Qadir, as-Syaukani menjelaskan bahwa hal itu memang dikarenakan perempuan yang selalu menjadi korban, padahal agama telah mengangkat kedudukan perempuan. Menuduh zina kepada perempuan yang terhormat adalah tindakan hina yang menyinggung agama. Maka, ini adalah bentuk pembelaan dari Islam untuk kaum perempuan yang menjadi korban tuduhan tersebut.

Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Melanjutkan penjelasan ayat di atas, hukuman yang diterima oleh pelaku penuduhan tidak hanya dipidana 80 cambukan, ia juga mendapat hukuman sosial, yaitu kesaksiannya tidak lagi mendapatkan pengakuan serta memperoleh gelar fasik dari Allah swt. Ia kehilangan kepercayaan dari manusia dan dianggap sebagai pelaku maksiat. Tentunya, Allah Sang Maha Pengampun memberikan pengecualian bagi orang yang bertaubat dan memperbaiki dirinya seperti lanjutan bunyi ayat lima. Pertanyaannya, jika seseorang tersebut bertaubat, maka bagaimana hukuman sosial yang diterimanya?

At-Thabari menuturkan, para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai hukum kesaksian seseorang yang telah bertaubat dari dosa qadzafnya. Namun, pendapat yang diambil adalah kebolehan orang tersebut dalam memberi kesaksian, artinya kesaksiannya atas suatu hal bisa kembali diterima sebab ia telah bertaubat. Demikianlah yang dikutipnya dari Sa’id bin al-Musayyab, az-Zuhri, as-Sya’bi, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha, Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar, Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

Terlepas dari beragam penafsiran di atas, ayat tentang qadzaf ini mengajarkan pada kita semua untuk selalu hati-hati dan tidak sembarangan menuduh siapapun, terlebih tuduhan yang diajukan adalah zina, pelanggaran agama dan pelanggaran sosial yang sangat berat.

Wallahu A’lam.

Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas

0
keutamaan surat al ikhlas
keutamaan surat al ikhlas

Surat Al Ikhlas memiliki keutamaan yang luar biasanya di dalamnya dikarenakan berisi perintah mengesakan Allah swt dan menolak menduakan-Nya. Quraish Shibab menuturkan nama surat Al Ikhlas terambil dari kata khalis yang berarti suci atau murni setelah sebelumnya memiliki kekeruhan. Sebab diturunkannya surah al-Ikhlas ini berawal dari pertanyaan kaum musyrikin kepada Rasulullah saw perihal Tuhan kaum Muslimin, yakni Allah swt. Dalam sebuah hadits diceritakan,

قَالَ الْحَكِم : أَخْبَرَ نَا أَبُوْ عَبْدُ الله مُحَمَّدُبْنُ يَعْقُوْب الْحَافِظ وَ أَبُوْ جَعْفَر بْنُ عَلِي قالا ثَنَا الْحَسَن بْنُ الْفَضِل ثَنَأ مُحَمَّدُ بْنُ سَابِق ثَنَا أَبُوْ جَعْفَر الرَّازِيْ عَنْ الرَّبِيْعَ بن أَنَسْ عَنْ أَبِي العَالِيَة عَنْ أُبَيْ بْنُ كَعَب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ الْمُشْرِكِيْنَ قَالُوْا: يَا مُحَمَّدٌ ؛ انسب لَنَا رَبَّكَ ؛ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اللهُ الصَّمَدٌ

“Hakim berkata, mengabarkan kepada kami Abu Abdullah Muhammad bin Ya’qub al-Hafidz dam Abu Ja’far Muhammad bin Ali, berkata, menceritakan kepada kami Husain bin al-Fadhl, menceritakan kepada kami Muhammad bin Săbiq, menceritakan kepada kami Abu Ja’far ar-Răzi, dari ar-Răbi’ bin Anas, dari Abi al-‘Aliyah, dari ‘Ubay bin Ka’ab r.a, sesungguhnya kaum musyrikin berkata “wahai Muhammad! sebutkanlah (beritahukanlah) kepada kami tentang Tuhanmu! Maka Allah azza wa jalla menurunkan ayat (‘qul huwa allăhu ‘ahad, Allăh as-Shamad) sampai pada ayat terakhir)” (HR. Tirmidzi, No.451/5)

Menurut Al Biqa’i, tujuan utama surat al Ikhlas adalah menjelaskan tentang Dzat Allah Yang Maha Suci serta kewajaran-Nya menyandang puncak semua sifat yang sempurna, dan menghindarkan dari-Nya semua sifat kekurangan. Surat Al Ikhlas sering dibaca dalam setiap kesempatan. Sementara masih ada yang belum mengetahui untuk apa surah Al Ikhlas disertakan dalam doa tersebut, bahkan diulang-ulang dalam bilangan tertentu. Karenanya mari kita ulas apa saja keutamaan dari surah Al-Ikhlas.

Membaca tiga kali seperti mengkhatamkan seluruh Al Quran

Penjelasan hadits di bawah ini merupakan gambaran bahwa ketika surah al Ikhlas dibaca dalam bilangan tertentu, akan mempunyai keutamaan seperti pahala orang yang membaca 30 Juz Al Quran.

رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَا لِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْإِخْلَاصِ مَرَّةً فَكَأَنَّمَا قَرَأَ ثُلُثِ الْقُرْآنِ وَمَنْ قَرَأَهَا مَرَّتَيْنِ فَكَأَنَّمَا قَرَأَ ثُلُثَى الْقُرْآنِ وَمَنْ قَرَأَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنِ كُلَّهُ

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, dari Nabi Saw, sesungguhnya beliau bersabda: barangsiapa membaca surat Al-Ikhlas sekali, maka seakan-akan dia membaca sepertiga Al-Qur’an, dan barangsiapa membacanya dua kali, maka seakan-akan membaca dua pertiga Al-Qur’an, dan barangsiapa membacanya tiga kali, seakan-akan ia membaca Al-Qur’an seluruhnya” (HR. Anas bin Malik)

Baca juga: Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran

Membacanya sepuluh kali akan dibangunkan istana di surga

Salah satu amalan seseorang yang oleh Allah akan dibangunkan istana dalam surga adalah dengan berupa bacaan surat Al Ikhlas.

قَالَ أَحْمَدُ: ثَنَا حَسَنُ ثَنَا اِبْنُ لُهَيْعَةِ, قَالَ : وَثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَان ثَنَا رَشدين ثَنَا زَبَان بْنُ فَائدَ الْحُمْرَوِيْ عَنْ سَهَلْ بْنُ مُعَاذ بْنُ أَنَس الْجَهْنِيْ عَنْ أَبِيْهِ مُعَاذْ بْنُ أَنَس الْجَهْنِي صَاحِبُ النَّبِيْ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلًّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلًّمَ قَالَ : مَنْ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ حَتَّى يَخْتِمُهَا عَشَرَ مَرَّتَ بنى اللهُ لَهُ قَصْرًا فِيْ الْجَنَّةً. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَاب : إِذَا أسْتَكْثِرُ يَا رَسُوْلَ الله, فقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللهُ أَكْثَرَ وَ أَطِيْبُ

“Ahmad berkata: menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan kepada kami Ibnu Luhay’ah, dia berkata: dan menceritakan kepada kami Yahya bin Ghaylan, menceritakan kepada kami Rasyidin, menceritakan kepada kami Zuban bin Fa’ida al-Humrawi dari Sahal bin Mu’ădz bin Anas al-Jahni dari bapaknya Mu’ădz bin Anas al-Jahni, sahabat Nabi Saw, dari Nabi Saw, beliau bersabda: barangsiapa yang membaca ‘qul huwa allah al-‘ahad hingga menghatamkannya sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah istana didalam surga. Maka berkata Umar bin Khatab, ‘jika lebih banyak lagi Ya Rasulullah?, Maka Rasulullah Saw menjawab “ Allah memperbanyak (menambahkannya) dan membaikkan (membalasnya dengan yang lebih baik)” (HR. At Thabrani Nomor 183/20)

Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Baqarah

Mendapatkan pengampunan dosa selama lima puluh tahun

Mungkin ada teman-teman yang bertanya apa keutamaan bacaan surat al Ikhlas yang disertakan dalam setiap doa tahlilan atau doa selamatan lainnya. Salah satu alasannya adalah diniatkan sebagai sarana untuk penghapusan dosa. Seperti penjelasan dalam riwayat Ad-Darimi di bawah ini,

قَالَ الدَّارِمِيْ : حَدَّثَنَا نَصَر بْنُ عَلِيْ عَنْ نُوْحِ بْنُ قَيْسِ عَنْ مُحَمَّدٌ أَبِيْ رجَاء عَنْ أم كَثِيْر الْأنْصَارِيَّة عَنْ أَنَسِ بْنُ مَالِكِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ خَمْسِيْنَ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوْبُ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Berkata Ad Darimi: menceritakan kepada kami Nashar bin Ali dari Nuh bin Qais, dari Muhammad Abi Rajă’a dari kebanyakan kaum Ansor dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda “Barangsiapa yang membaca ‘qul huwa allahu ‘ahad’ sebanyak lima puluh kali, niscaya Allah akan mengampuni dosanya selama lima puluh tahun” (HR. Ad-Darimi Nomor 461/2)

Baca juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79

Doanya akan diijabah

Lagi-lagi pada surat ini kita menemukan ismullah al-a’zham, di mana ketika menyertakan nama tersebut dalam setiap permohonan, Inya Allah akan dikabulkan. Seperti yang diriwayatkan dari Buraidah,

قَالَ أَحْمَدُ : ثَنَا وَكِيْع عَنْ مَالِكِ بْنُ مغول عَنْ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُرَيْدَة عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ الْأَحَدٌ الَّذِيْ لَمْ يَلِدُ وَلَمْ يُوْلَدُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقَدْ سَأَلَ اللهُ بِاِسْمُهُ الْأَعْظَمُ الَّذِيْ إِذَا سَّئَلَ بِهِ أَعْطَى وَإِذَا دَعَى بِهِ أَحَابَ

“ Berkata Ahmad: menceritakan kepada kami Waqi’ dari Malik bin Maghŭl dari ‘Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya, sesungguhnya Nabi Saw mendengar seseorang berkata: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, Sungguh Engkau Allah dzat yang ‘Ahad, yang tidak tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Maka Rasulullah Saw, bersabda “Sungguh, dia meminta kepada Allah dengan Nama-Nya yang agung, yang jika seseorang meminta dengan Nama tersebut, maka permintaannya akan diberikan, dan jika berdo’a dengan nama tersebut, maka doanya akan dikabulkan”(HR. Ahmad Nomor 350/5)

Itulah keutamaan dari surat al Ikhlas yang bisa kita jadikan dasar untuk mengamalkannya dalam aktivitas ibadah sehari-hari. Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan menjadi pengetahuan bagi mereka yang belum mengetahui keutamaan surat al Ikhlas ini.

Perbedaan Pandangan Ulama tentang Nasikh dan Mansukh

0
perbedaan pendapat nasikh mansukh
perbedaan pendapat nasikh mansukh

Al Quran yang berisi pedoman hidup manusia meniscayakan fleksibilitasnya dengan tiap kondisi masyarakat. Untuk mewujudkan kesesuaian dengan kondisi itu, metode nasakh (penghapusan) menjadi salah satu alternatif. Akan tetapi, tidak semua ulama sepakat mengakui metode ini. Berikut ini perbedaan pendapat nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus) beserta argumennya.

Ada Penasakhan dalam Al Quran

Perbedaan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dalam Rawa’iul Bayan, ‘Ali As-Shabuni menjelaskan beberapa argumen:

Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 106:

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”


Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili


Firman Allah dalam QS. An-Nahl [16]: 101:

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ ۙ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوٓا۟ إِنَّمَآ أَنتَ مُفْتَرٍۭ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”


Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya


Terdapat ayat-ayat yang mengindikasikan terjadinya penasakhan.

Misalnya, ayat tentang pemindahan arah kiblat dalam QS. Al-Baqarah ayat 142, yang dinasakh (diganti) dengan ayat 144 di surat yang sama. Kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis, kemudian diganti ke arah Ka’bah.

Contoh lain, misalnya, seperti penasakhan ketentuan ‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam QS. Al-Baqarah ayat 240, yang dinasakh dengan ayat 234. Masa ‘iddah yang awalnya genap setahun, kemudian berubah menjadi 4 bulan 10 hari.

Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an memperkuat legalitas metode nasakh ini. Ia berargumen bahwa syariat yang para nabi bawa semata berntujuan untuk kemaslahatan umat. Maka, perubahan syariat adalah suatu hal yang niscaya, sesuai dengan pemenuhan kemaslahat yang berubah-ubah.

Rasulullah SAW dengan ajaran yang ia bawa juga merupakan suatu contoh nasakh (penggantian syariat). Hal ini, karena beberapa bagiannya mengganti sekaligus menyempurnakan syariat terdahulu. Misalnya, puasa yang semula ditunaikan kaum Yahudi, menjadi satu bulan ketika Islam datang.

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib, juga menyontohkan penasakhan syariat Nasrani dengan Syariat Islam. Dalam ajaran Nasrani, terdapat perintah untuk menikahi cucunya sendiri. Kemudian Islam datang, menghapus perintah itu.


Baca juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran


Tidak ada Penasakhan

Pendapat ini berdiri atas beberapa argumen:

  1. Nasakh menunjukkan adanya kesalahan dalam Al Quran, sehingga tidak mungkin Al Quran yang bebas dari kebatilan memuat ajaran-ajaran yang berubah-ubah.
  2. Ayat-ayat di atas bukan bentuk dari nasakh (penghapusan) Al Quran, tetapi, tidak berlakunya syariat yang terkandung dalam suatu ayat pada sebagian orang karena perbedaan situasai. Secara substantif, syariat pada ayat itu tetap ada.
  3. Surat Al-Baqarah ayat 106 di atas tidak menunjukkan adanya penghapusan dalam Al Quran. Tetapi, penghapusan syariat agama-agama samawi sebelumnya, dengan Islam sebagai penggantinya.

Pendapat kedua ini dinilai lemah. Karena, pada kenyataannya sering kita temui di beberapa tempat, ayat-ayat yang mengindikasikan adanya penasakhan, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Tetapi, hemat penulis, Perbedaan pendapat tentang nasikh dan mansukh tersebut di atas sebenarnya menemukan benang merah. Bahwa pada dasarnya, Al Quran, satu ayat pun darinya tidak bisa dihapus dan diubah. Hanya penerapan syariat yang dikandungnya saja yang bisa jadi berubah. Sesuai dengan pemenuhan kemaslahatan umat. Wallahu a’lam.

Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

0
Bint As-Syathi
Bint As-Syathi credit: masralarabia.net

Selama ini mungkin para pengkaji Al-Quran dan Tafsir kebanyakan menemukan tokoh mufasir adalah seorang laki-laki. Baik dari era Sahabat hingga era saat ini, laki-laki masih mendominasi deretan tokoh-tokoh ternama dalam bidang kajian ini. Kelangkaan cendekiawan tafsir perempuan tidak serta merta menandakan adanya perbedaan kualitas nalar antara laki-laki dan perempuan. Bint As-Syathi sang mufassir perempuan telah berhasil membuktikan bahwa perempuan mampu sebanding dengan laki-laki.

Sebagai salah satu mufassir ternama di era Kontemporer, Bint As-Syathi telah memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan kajian ilmu al-Qur’an dan tafsir. Sebagai seorang cendekiawan tafsir yang identik dengan kajian semantiknya yang mendalam, Ia menjadi salah satu mufassir perempuan yang idenya banyak dikaji di kalangan sarjana baik Timur maupun Barat.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai sosoknya, tulisan ini akan mengulas seputar biografi serta salah satu teorinya yang cukup banyak dikaji.

Mengenal Bint As-Syathi

Nama aslinya ialah Aisyah Abdurrahman. 6 November 1913 menjadi tanggal lahirnya. Menjalani masa kecilnya di Dumyat, sebuah daerah yang berada di sebelah barat delta sungai Nil. Lokasi yang geografisnya yang berada di pinggiran sugai menjadi asal-muasal Aisyah Abdurrahman menggunakan nama panggilan Bintu Syathi (gadis tepi sungai) sebagai nama penanya.

Memiliki keluarga yang berlatar belakang pendidikan agama yang tradisionalis, Bint As-Syathi mendapatkan perlakuan berbeda dibanding teman-teman sebayanya. Ayahnya yang merupakan dosen teologi di Universitas al-Bahr hampir selalu mengajaknya untuk mengikuti sima’an Al-Quran dan tidak memberikannya waktu yang panjang untuk bermain. Agenda sima’an rutinan yang ia ikuti itulah yang membuatnya mudah dalam menghafalkan Al-Quran, terutama surah-surah pendek.

Di tanah kelahirannya ayahnya, Shuba bakhum, Bintu Syathi memulai perjalanan akademiknya dengan mengaji dan menghafal Al-Quran dengan Syaikh Mursi. Kala itu usianya baru lima tahun. Setelah berhasil menghafalkan al-Qur’an, Bintu Syathi melanjutkan studinya di sekolah formal yang berada di Dumyat dan mempelajari gramatika bahasa Arab serta dasar-dasar akidah.

Selepas lulus dari sekolah formal di Dumyat, Bint As-Syathi melanjutkan pendidikannya di sekolah keguruan. Banyak drama yang ia jalani karena pandangan tradisionalis ayahnya yang melarangnya keluar dari rumah. Namun berkat berbagai dukungan yang ia dapatkan, Bintu Syathi berhasil lulus dan melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi.

Di tahun 1939, Bint As-Syathi berhasil menamatkan studinya dan mendapatkan gelar Lc./ BA dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Fuad I Cairo. Dua tahun kemudian di Universitas dan bidang yang sama, ia meraih gelar magisternya. Dan di tahun 1950 ia berhasil mempertahankan Disertasinya dan meraih gelar Doktor dibidang Bahasa dan Sastra Arab. Selama berkuliah inilah Bintu Syathi menemukan jodohnya yang merupakan dosennya sendiri yakni Amin al-Khulli.

Setelah mendapatkan gelar doktornya, Bintu Syathi diangkat sebagai lektor bahasa Arab di Universitas Ain Syam dan menjadi assiten Professor di tahun 1957. Akhirnya pada tahun 1967, Bintu Syathi berhasil mencapai puncak karir akademik formalnya sebagai Professor Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Ain Syam.

Selama perjalanan karir akademiknya, Bintu Syathi berhasil mengarang beberapa karya ilmiah. Beberapa karya bertema umum dan lainnya memuat tema kajian al-Qur’an secara khusus. Di antara karya-karyanya yang mengupas kajian al-Qur’an adalah al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, al-Qur’an wa Tafsir al-Ashr, al-Israiliyyah fi Ghazw al-Fikr, al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an.

Mengulas Salah Satu Teori Semantik Bintu Syathi’

Telah disinggung di awal bahwa para peminat kajian al-Qur’an dan Tafsir penting untuk mengenal Bintu Syathi sang penafsir perempuan. Sejatinya mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang mendasar yakni memperluas wawasan bahwa mufassir tidak hanya dari kalangan laki-laki saja serta Bintu Syathi memiliki ciri khas kajian kebahasaan yang mendalam sehingga tesis-tesis yang ia hasilkan menarik untuk dikaji.

Salah satu dari karya Bint ِAs-Syathi yang dikatakan menjadi magnum opusnya yakni al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Karya yang terdiri dari dua jilid ini memuat beberapa teori semantik al-Qur’an yang lahir dari telaahnya yang mendalam terhadap sisi kebahasaan al-Qur’an. Salah satu teori yang ia kemukakan dalam karyanya ini ialah teori la taradufa fi al-qur’an (tidak ada sinonimitas dalam al-Qur’an).

Lahirnya teori ini tidak lepas dari pengaruh pemikiran ulama klasik seperti Abu Hilal al-Asykari, Ibnu al-’Arabiy, Abu Qasim al-Anbariy. Dari pemikiran beberapa ulama klasik tersebut, Bintu Syathi menyimpulkan bahwa setiap kata yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menunjuk pada suatu konteks tertentu serta mengandung illat atau sebab tertentu yang menyebabkan kata tersebut di ucapkan pada konteks tersebut.

Dengan begitu jika terdapat kata yang bersinonim, maka sejatinya tidak berarti memiliki makna yang sama, sebab adanya perbedaan konteks maupun illat. Secara lebih sederhana dapat disimpulkan dengan merujuk pada pernyataan Sa’lab, “ma yuzhannu fi dirasah al-lughawiyyah min al-mutaradifat huwa min al-mutabayyinat”, “apa yang diduga dalam kajian bahasa sebagai sinonimitas sejatinya ialah suatu yang berkontradiksi”.

Dalam bukunya al-Tafsir al-Bayani disana dikemukakan bagaimana metodologi teori anti-sinonimitas yang digagas Bintu al-Syathi’. Beliau berkata: “pertama yang hendaknya dilakukan oleh peneliti makna kosa kata al-Qur’an adalah menghimpun semua kata yang digunakan al-Qur’an menyangkut objek sambil memperhatikan arti-arti yang dapat dikandungnya (variasi makna) menurut penggunaan bahasa, kemudian memperhatikan penggunaan al-Qur’an terhadap kata itu dengan jalan melihat susunan redaksi ayat secara menyeluruh lengkap beserta konteks kalimatnya (siyaq al-kalam)”.

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa ada beberapa langkah atau metode yang dilakukan Bint As-Syathi dalam menerapkan teorinya. Pertama, mencari makna asli sebuah kosa kata berdasarkan kamus serta menghimpun ayat-ayat yang di dalamnya tercakup kosa kata tersebut. kedua, setelah menemukan makna aslinya, maka yang perlu dilakukan adalah mencari makna relasionalnya dalam al-Qur’an dengan membaca redaksi yang mencakup kosa kata tersebut secara utuh. Ketiga, menelaah penisbatan kosa kata tersebut terhadap subjek ataupun objek tertentu.

Salah satu contoh kasus mengenai teori ini ialah pada redaksi aqsama dan halafa. Secara umum kedua diksi ini dimaknai dengan “sumpah/ janji”. Namun dalam penggunaannya dalam al-Qur’an kedua diksi ini ternyata memiliki makna yang berbeda. Dari hasil analisisnya, Bintu Syathi mengemukakan bahwa halafa secara mutlak dimaknai “sumpah palsu” sedangkan aqsama dapat dimaknai “sumpah palsu” maupun “sumpah asli” tergantung pada subjek yang dinisbatkan kepadanya. Jika dinisbatkan pada Allah dan orang beriman maka bermakna positif namun jika dinisbatkan pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam maka bermakna negatif.

Bagaimana menarik bukan tesis-tesis yang diajukan oleh Bint As-Syathi? Maka jangan sampai teman-teman melewatkan untuk mengkaji pemikiran sang mufassir perempuan dari Bumi Kinanah. Wallahu a’lam.

Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

0
Sholeh Darat As-Samarani
Kitab Tafsir Faidhur Rahman Sholeh Darat As-Samarani

Nama lengkap Sholeh Darat As-Samarani adalah KH. Muhammad Sholeh bin ‘Umar al-Samarani Al-Jawi Asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan Mbah Sholeh Darat. Beliau dilahirkan pada tahun 1820 M di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah,. Ayahnya adalah Kyai ‘Umar yang merupakan salah seorang pejuang dan tangan kanan Pangeran Diponegoro di wilayah pesisir utara pulau Jawa.

Tahun kelahiran Sholeh Darat as-Samarani bertepatan dengan tahun kelahiran salah satu ulama karismatik yang dikisahkan mempunyai banyak karimah dan menjadi guru para kyai di tanah Jawa, yakni Syaikh Kholil Bangkalan (1820 M/1235 H). Penambahan kata “Darat” pada akhir namanya dikarenakan beliau bertempat tinggal di daerah yang bernama Darat. Ini adalah sebuah daerah di pantai utara Semarang, tempat berlabuhnya wisatawan dari luar Jawa.

Sholeh Darat as-Samarani tumbuh besar dalam keluarga yang memiliki latar belakang religiusitas tinggi. Oleh karena itu, sejak belia ia dibekali dengan berbagai dasar ilmu agama, terutama bacaan Al-Qur’an dan ilmu tajwid. Dengan privilege yang dimilikinya baik di lingkungan keluarga maupun pesantren, Sholeh Darat as-Samarani, mampu menjadi pribadi yang agamis serta memiliki spritualitas keislaman yang kuat.

Perjalanan Intelektual

Selain ditempa melalui pendidikan internal oleh keluarganya, Sholeh muda juga menuntut ilmu dengan ulama-ulama ternama di tanah Jawa. Dalam buku Sejarah dan Perjuangan Kyai Sholeh Darat diungkapkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu keislaman diawali dengan belajar kitab-kitab fiqih kepada KH. M. Syahid di Pesantren Waturoyo, Margoyoso, Kajen, Pati.

Dalam bidang tafsir, Sholeh Darat as-Samarani mempelajari Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti di bawah bimbingan Kiai Raden Haji Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus. Sedangkan dalam bidang Nahwu dan Sharf, ia berguru kepada Kiai Ishak Damaran Semarang. Selain itu, Sholeh Darat as-Samarani juga belajar Ilmu Falak kepada Kiai Abdullah Muhammad bin Hadi Baquni Semarang.

Selanjutnya, Sholeh Darat as-Samarani belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syeikh Ibrahim al-Laqqoni serta kitab minhaj al-Abidin karya imam Ghazali dengan Sayid Ahmad Bafaqih Ba’alawi Semarang. Ia kemudian mengkaji kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri bersama Syeikh Abdul Ghani Bima dan belajar ilmu tasawuf serta tafsir Al-Quran kepada Mbah Ahmad Alim.

Setelah menikah, Sholeh Darat as-Samarani merantau ke tanah haram, yakni Mekah untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Di sana ia berguru kepada ulama-ulama besar, seperti Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi, Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami dan lain-lain.

Berkat kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmunya, Kiai Sholeh Darat diberi izin oleh beberapa gurunya untuk mengajar di Mekah. Selama periode ini, ia banyak didatangi oleh murid-murid yang berasal dari kawasan Melayu-Indonesia. Pada saat itu, kawasan Indonesia belum menjadi sebuah negara kesatuan (NKRI) dan sering disebut bumi nusantara.

Pulang Ke Tanah Air

Setelah beberapa tahun mengajar di Mekah, Sholeh Darat pulang ke Indonesia dan mendirikan sebuah pesantren di daerah Darat. Ketika mengajar, Ia senantiasa menasihati murid-muridnya agar rajin menuntut ilmu agama, terutama Al-Qur’an. Menurut beliau inti Al-Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili

Dari pesantren tersebut, kemudian lahir tokoh-tokoh Indonesia yang terkenal hingga sekarang, diantaranya: KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Bisri Syamsuri (Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Jombang), KH. Idris (Pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH. Sya’ban (Ulama Ahli Falak di Semarang), KH. Dalhar dan Raden Ajeng Kartini.

Selain aktif mengajar, Kiai Sholeh Darat  juga dikenal produktif dalam menulis buku. Setidaknya ada 12 kitab yang penulis ketahui berasal dari goresan pena-nya, yaitu: Majmu’ah Asy-Syari’ah Al-Kafiyah li Al-Awam, Al-Hakim (petikan-petikan penting dari kitab Hikam karya Syekh Ibnu Atho’ilah As-Sakandari), Munjiyat, Batha’if At-Thaharah, Manasik Al-Hajj, Kitab Ash-Shalah, Mursyid Al-Wajiz, Minhaj Al-Atqiya’, Kitab Hadits Al-Mi’raj, Kitab Asrar As-Shalah dan Faidhur Rahman.

Faidhur Rahman yang dikarang Sholeh Darat as-Samarani adalah salah satu karya tafsir asli produk Nusantara. Kitab ini merupakan tafsir Al-Qur’an yang pertama kali menggunakan bahasa Jawa di Nusantara. Tafsir ini berjumlah sebanyak 13 juz (mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim). Menurut riwayat, satu naskah kitab tafsir tersebut pernah dihadiahkan kepada RA. Kartini ketika mrnikah dengan RM. Joyodiningrat (Bupati Rembang).

Selama masa hidupnya, Sholeh Darat as-Samarani menikah sebanyak tiga kali. Beliau wafat pada usia ke-83 tahun. Sholeh Darat as-Samarani kemudian dimakamkan di Bergota pada 28 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M. Hal ini didasarkan pada catatan KH. Jayadi seorang santri sekaligus “abdi dalem” beliau. Hingga sekarang makamnya sering dikunjungi oleh peziarah, terutama santri-santri yang memiliki sanad-nya. Wallahu a’lam.

Penjelasan Tentang Nama Al Quran: An-Nur dan Al-Huda

0
An-Nur
An-Nur dan Al-Huda

Begitu banyak nama yang disandangkan kepada Al-Quran, sebagaimana telah diulas pada artikel-artikel terdahulu. Nama lain lagi dari Al-Quran adalah An-Nur (النور). Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 174:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُم بُرۡهَٰنٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ نُورٗا مُّبِينٗا

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).

Pertanyaannya adalah mengapa Al-Quran dinamai pula An-Nur (النور)? An-Nur adalah cahaya yang menerangi di dalam kegelapan. Seseorang yang berada di dalam kegelapan tidak akan mampu menemukan jalan keluar. Seseorang yang pikirannya gelap tidak akan mampu memikirkan sesuatu jalan keluar dalam hidupnya. Seseorang yang hatinya gelap tidak akan mampu merasakan sesuatu kebenaran dengan hatinya itu. Al-Quran memancarkan cahaya (Nur Allah) kepada seluruh umat manusia yang mengimani dan memprcayapai Al-Quran.

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: Az-Zikr dan Al-Kitab

Al-Quran sebagai An-Nur memberikan pancaran sinar yang terang benderang kepada manusia yang mengimani dan mengamalkannya sehingga dia selalu berada di jalan yang benar. Al-Qur’an sebagai cahaya memberikan pancaran sinar yang terang benderang dalam pikiran manusia yang mengimani dan mengamalkannya sehingga dia selalu berpikir yang positif dan melahirkan pendapat-pendapat mencerahkan.

Al-Quran sebagai An-Nur memberikan pancaran sinar yang terang benderang di dalam hati manusia yang mengimani dan mengamalkannya sehingga dia selalu merasakan yang benar dan memberi petunjuk kepada hatinya untuk melakukan yang benar.

Firman-firman Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an semuanya menjadi cahaya (Nur) yang memberi sinar, cahaya, pencerahan bagi manusia. Manusia yang mengimani dan mengamalkan Al-Qur’an senantiasa mendapatkan cahaya (Nur) dari Allah sehingga dia selalau dalam kebenaran, tidak dalam kegelapan. Manusia yang tidak mengimani dan mengamalkan Al-Qur’an adalah manusia yang selalu menyimpan dari jalan Allah, karena selalu dalam kegelapan.

Nama lain lagi dari Al-Qur’an adalah Al-Huda (الهدى). Nama ini telah ditunjukkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, surat Fushshilat [41]: 44:

وَلَوۡ جَعَلۡنَٰهُ قُرۡءَانًا أَعۡجَمِيّٗا لَّقَالُواْ لَوۡلَا فُصِّلَتۡ ءَايَٰتُهُۥٓۖ ءَا۬عۡجَمِيّٞ وَعَرَبِيّٞۗ قُلۡ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ هُدٗى وَشِفَآءٞۚ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرٞ وَهُوَ عَلَيۡهِمۡ عَمًىۚ أُوْلَٰٓئِكَ يُنَادَوۡنَ مِن مَّكَانِۢ بَعِيدٖ

Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”.

Penamaan Al-Quran sebagai Al-Huda sangat erat kaitannya dengan fungsi dan peranan Al-Qur’an. Salah satu fungsi Al-Qur’an adalah memberi petunjuk, memberi tuntunan, memberi panduan, memberi pedoman, dan memberi arahan bagi seluruh kaum mukmin untuk nenuju ke jalan yang benar, jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditunjuk Allah untuk menuju surga.

Baca Juga: Nama-Nama Al-Quran dan Tujuannya

Al-Quran sebagai Al-Huda bagaikan sebuah buku petunjuk yang sangat lengkap dan komprehensif yang dapat menunjukkan kepada manusia jalan yang benar, jalan yang harus ditempuh yang sesuai dengan kehendak Allah. Untuk itu, Al-Quran harus dibaca, dipahami, dan diamalkan sehingga manusia dapat mengikuti petunjuk itu ke jalan yang benar.

Al-Quran sebagai Al-Huda bagaikan seseorang yang memiliki pancaindera yang sangat lengkap yang dapat menuntun manusia yang tidak memiliki pancaindera yang lengkap. Al-Quran dapat mengantar manusia ke jalan yang benar dengan kelengkapan yang dimilikinya. Manusia mendapatkan Al-Quran adalah orang-orang yang buta yang tidak dapat memilih mana jalan yang benar. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai penuntun yang memiliki kekuatan dan kelengkapan untuk membawa manusia yang buta untuk menuju ke jalan yang benar.

Al-Quran sebagai Al-Huda menjadi panduan, pedoman, arahan, dan kompas bagi manusia yang hidup di dunia yang sangat luas ini untuk menuju ke tujuan yang ingin dicapai. Manusia dalam hal ini bagaikan perahu yang berlayar menuju ke suatu tempat tujuan. Perahu yang tidak memiliki panduan dan kompas, dapat dipastikan tidak dapat sampai tujuan dengan benar. Sebaliknya perahu yang memiliki kompas akan dapat berlayar dengan baik menuju tempat tujuannya. Al-Quran berfungsi sebagai kompas bagi manusia untuk menuju ke tujuan yang telah ditentukan. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya

0
tata cara tayamum
tata cara tayamum

Setelah mengetahui dalil, kondisi yang memperbolehkan bertayamum dan media yang digunakan untuk bertayamum, selanjutnya akan dibahas tentang syarat sah dan tata cara tayamum. berikut petunjuk Alquran tentang cara tayamum, surat An-Nisa ayat 43,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. an-Nisa’ [4]: 43)

Syarat sah tayamum

Pertama, tayamum dilakukan setelah masuk waktu shalat. Jika dilakukan sebelum masuk waktu shalat, maka tayamumnya tidak sah, terlebih bagi orang yang faktor tayamumnya karena tidak ada air. Demikian karena waktu ketika menunggu tiba waktu shalat masih bisa memungkinkan baginya untuk mendapatkan air dengan berusaha mencarinya terlebih dahulu.

Kedua, menggunakan debu yang suci. Ini menurut pendapat mazhab Syafi’iyah yang mengartikan sha’idan hanya pada debu. Kamudian, Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa debu tersebut sifatnya harus berhambur (lahu ghubar) yang dapat melekat pada wajah dan tangan. Tidak bercampur dengan hal lain seperti kapur, tepung, kotoran, serta tidak musta’mal atau bukan debu bekas tayamum lain.

Baca Juga: 

Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Tata cara tayamum

Tata cara tayamum identik dengan anggota tayamum, dan ini yang akhirnya memunculkan rukun tayamum. Berpegang pada dalil ayat tentang tayamum, bagian tubuh yang disebutkan di situ adalah wajah dan kedua tangan. Untuk memperjelasnya, As-Shabuny dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam menukil keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, ‘tayamum itu dua bagian, satu bagian untuk wajah dan satu bagian lagi untuk kedua tangan hingga siku’. Hal yang sama terdapat dalam Tafsir al-Qurthubi. Dari sini kemudian dirumuskan tentang rukun tayamum yang meliputi mengusap wajah dan kedua tangan hingga siku, ditambah dengan niat di awal pelaksanaan dan tertib di akhir pelaksanaan.

Terdapat perbedaan tentang batasan tangan yang harus diusap dalam tayamum. As-Shabuni menjelaskan bahwa ulama madzhab Hanafi dan madzhab Syafi mengatakan bahwa batas tangan yang dimaksud kedua tangan hingga siku, mengikuti batasan wudu. Sementara ulama madzhab Maliki dan madzhab Hanbali berpendapat hanya sampai pergelangan tangan mengacu pada pemaknaan ‘yad’ pada ayat ‘as-sariq was saridat faqtha’u aidiyahuma‘ Kedua pendapat ini sama-sama argumentatif, tingal memilih mana yang mau diikuti, tapi ingat jangan sampai talfiq (mencampur adukkan satu pendapat dengan lainnya dalam satu ibadah)

Lebih detail tentang tata cara tayamum seperti berikut:

  1. Siapkan debu yang suci
  2. Mengahadap kiblat dengan mengucapkan basmalah lalu meletakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari tangan dirapatkan
  3. Usapkan pada seluruh wajah dan meratakannya disertai niat dalam hati,

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ لِلهِ تَعَالَى

Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah.

  1. Meletakkan telapak tangan lagi pada debu dengan jari-jari yang direnggakan, jika orang yang bertayamum kebetulan menggunakan cincin atau aksesoris yang lain maka dilepas terlebih dahulu
  2. Menempelkan telapak tangan kiri pada punggung tangan kanan sekiranya ujung-ujung jari salah satu tangan tidak melebihi yang lain.
  3. Usapkan telapak tangan kiri ke punggung lengan kanan hingga ke bagian siku, lalu balikkan telapak tangan kiri tersebut ke bagian dalam lengan kanan, kemudian usapkan hingga ke pergelangannya
  4. Usapkan bagian jempol kiri ke bagian punggung jempol kanan. Setelah itu lakukan hal yang sama pada tangan kiri.
  5. Pertemukan kedua telapak tangan dan usapkan diantara jari-jarinya
  6. Dianjurkan berdoa sebagaimana doa sesudah wudhu.

Selain itu, ada beberapa hal juga yang perlu diketahui terkait tayamum. Tayamum merupakan pengganti wudu dan mandi yang menhilangkan hadas, bukan najis. (namun dalam hal ini niat tayamum dilakukan agar diperbolehkan shalat). Sehingga, jika di anggota tayamum ada najis yang kebetulan menempel, maka najis tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu. Perlu diingat juga bahwa satu kali tayamum hanya bisa digunakan untuk satu kali shalat fardu, berbeda dengan wudu yang bisa digunakan untuk lebih dari shalat fardu selama tidak batal. Namun, jika orang yang bertayamum tersebut melakukan ibadah sunah setelah shalat fardu, maka yang demikian diperbolehkan.

Wallahu A’lam.