Beranda blog Halaman 524

Kemukjizatan Al-Quran: Pengertian dan Tanda-Tandanya

0
Kemukjizatan Al-Quran
Kemukjizatan Al-Quran credit: quranbysubject.com

Kemukjizatan Al-Quran adalah sebuah keniscayaan dalam keyakinan umat Muslim. Secara sederhana kata mukjizat (معجزة) diartikan dengan “sesuatu yang melemahkan atau sesuatu yang membuat pihak lain bungkam dan membuat pihak lain mati kutu menghadapinya.” Bahkan ada ulama yang menyatakan bahwa kata معجزة adalah kata superlative dari kata معجز yang berarti “sangat melemahkan, sangat membuat bungkam, membuat pihak lain sama sekali tidak berdaya untuk menghadapinya.”

Kita tahu bahwa Al-Quran adalah firman-firman Allah Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi, dan Yang Maha Menciptakan. Tidak diragukan bahwa dalam sejarahnya Al-Quran dapat melemahkan ucapan-ucapan atau kalimat-kalimat dari manusia mana pun yang ingin menantangnya.

Kita juga sudah tahu bahwa bahasa-bahasa yang beraneka ragam yang jumlahnya tidak terhitung di dunia ini diciptakan oleh Allah untuk umat manusia. Sehingga manusia dapat melakukan komunikasi antara satu dengan yang lain. Ini berarti bahwa bahasa yang digunakan manusia itu adalah pemberian Allah kepada manusia.

Sehebat apa pun manusia dalam menggunakan bahasa yang diberikan oleh Allah itu tidak akan mungkin dapat menandingi Allah dalam menyampaikan bahasa-Nya itu. Bahasa manusia adalah pemberian Allah sedangkan Al-Quran adalah bahasa Allah sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang diberi sesuatu (bahasa) mampu menandingi Allah yang menciptakan sesuatu (bahasa) itu.


Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil


Sehebat apa pun bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan mungkin dapat menyaingi dan menandingi bahasa Allah. Itu berarti, bahwa bahasa mana pun tidak akan mampu menyaingi bahasa Al-Quran. Karena ayat-ayat Al-Qur’an adalah bahasa (firman-firman) Allah. Manusia maupun jin tidak akan mampu mendatangkan sesuatu yang sama dengan Al-Quran. Kemukjizatan Al-Quran ini ditegaskan oleh Allah di dalam QS. Al-Isra’ [17]: 88:

قُل لَّئِنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُواْ بِمِثۡلِ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٖ ظَهِيرٗا

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.

Agar kita dapat mengentahui secara mendalam pengertian mukjizat, maka dalam uraian ini saya ini mengemukakan 3 definisi mukjizat yang dikemukakan oleh 3 ulama, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Al-Fakhr Ar-Razi, menyatakan bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang sangat berbeda dengan kebiasan disertai dengan tantangan, yang tidak mungkin dilawan oleh siapa pun.

Kedua, Ibn Hamdan menyatakan bahwa mukjizat adalah sesuatu yang menembus atau melintas adat kebiasaan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, yang selaras dengan pengakuan kerasulan, berhubungan dengannya dan sesuai dengannya, yang menimbulkan penentangan, di mana tidak satu pun manusia mampu menandinginya, tidak pula menyamainya, dan tidak pula mampu mennyerupainya.

Ketiga, Hasan Dhiya’ al-Din ‘Itr menyatakan bahwa mukjizat adalah sesuatu yang diberlakukan oleh Allah pada seorang Nabi yang melampaui kemampuan-kemampuan manusia, yang bertentangan dengan hokum alam, dan materi yang khusus, yang dengannya seorang nabi menghadapi tantangan manusia, sehingga tidak seorang pun dari manusia yang mampu melawannya.

Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang disebut mukjizat itu memiliki tiga ciri utama, yaitu 1) Sesuatu kelebihan yang luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada seorang nabi/rasul, 2) Sesuatu itu berlainan dan bertentangan dengan kebiasaan/hukum alam, 3) sesuatu itu tidak mampu ditandingi, disaingi oleh siapa pun.

Kemukjizatan Al-Quran bagi Nabi Muhammad saw karena memiliki tiga ciri itu. Tidak ada satu pun manusia dari dahulu ketika turunnya Al-Quran sampai akhir zaman nanti yang mampu menandingi Al-Quran. Menghidupkan orang mati adalah mukjizat Nabi Isa, karena memiliki tiga ciri itu.

Tidak satu pun manusia yang mampu menghidupkan orang mati. Yang mampu menghidupkan orang mati hanyalah Allah. Tongkat menjadi ular adalah mukjizat Nabi Musa, karena memiliki tiga ciri itu. Tidak ada satu pun manusia yang mampu menjadikan tongkat menjadi ular.

Mukjizat adalah sesuatu yang unik yang dilihat dan dirasakan oleh manusia, yang secara akal sulit atau tidak mungkin terjadi. Oleh sebab, mukjizat adalah sesuatu yang unik yang mungkin dapat dilakukan manusia mana pun, dengan kemampuan apa pun. Manusia terpaku dan tidak berdaua untuk melakukan hal yang sama dengan mukjizat.

Ada beberapa syarat atau kriteria sehingga sesuatu itu dipandang sebagai mukjizat. Krietrianya adalah sebagai berikut:

Pertama, sesuatu yang disebut mukjizat itu hanya ada di tangan para nabi, tidak di tangan manusia yang lain. Kalau Nabi sudah tidak ada, maka mukjizat itu pun sudah tidak ada.

Kedua, sesuatu itu terjadi karena kehendak dan keinginan Allah. Satu pun manusia tidak mampu melakukan atau mewujudkannya, seperti firman Allah di dalam Al-Qur’an, terpancarnya air di celah jari-jari Nabi, dan seperti api yang tidak membakar Nabi Ibrahim.

Ketiga, sesuatu itu terjadi di luar kebiasaan manusia. Hal itu terjadi tanpa ada sebab musabbab yang menimbulkannya.

Keempat, sesuatu itu tidak dapat dibuat tandingannya yang sama dengan itu oleh siapa pun dari manusia.

Kelima, sesuatu itu terjadi pada seseorang yang sesuai dengan pengakuannya. Jika dia mengatakan, bahwa saya dapat menghidupkan orang mati, lalu dia betul-betul dapat melakukannya, maka itulah yang disebut mukjizat.

Kemukjizatan Al-Quran bagi Nabi Muhammad saw telah menunjukkan tanda-tanda di atas. Para ahli Bahasa dan penyair-penyair Arab yang terkenal dengan kemampuannya mengubah syair, tidak mampu mereka menciptakan kalimat yang sama dengan kalimat-kalimat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, maka Kemukjizatan Al-Quran tidak diragukan lagi. Wallahu A’lam

Tafsir Tarbawi: Pendidik Harus Tahan Banting

0
pendidik harus tahan banting
pendidik harus tahan banting

Tahan banting adalah sifat yang harus dimiliki oleh pendidik. Pendidik harus tahan banting, mempunyai kesabaran, ketelatenan, kesehatan fisik dan psikis yang lebih daripada umumnya. Menjadi pendidik adalah panggilan hati. Tidak semua manusia mempunyai jiwa pendidik, meskipun pada satu waktu kita berperan sebagai peserta didik, pada waktu yang lain berposisi sebagai pendidik.

Dengan memiliki sifat tahan banting, seorang pendidik tidak gampang menyerah, letih, lesu apalagi putus asa hingga menyebabkan depresi dan trauma yang berkepanjangan.

Karena itu, ganjaran (kesejahteraan) dari Allah swt kepada-Nya sangatlah besar. Memang berprofesi sebagai pendidik tidaklah mudah, ada banyak sekian rintangan dan cobaan yang harus dilewati sebagaimana kisah Rasul saw yang dilukiskan dalam Q.S. al-Qalam [68]: 2,

مَآ اَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ

Dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila. (Q.S. al-Qalam [68]: 2)

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

Tafsir Surat al-Qalam Ayat 2

Ayat ini turun dalam rangka sebagai pelipur lara Nabi Muhammad saw tatkala beliau dicerca oleh kaum musyrikin. Dalam suatu riwayat yang berasal dari Ibnu Mundzir, dari Ibnu Juraij sebagaimana yang termaktub dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul bahwa kaum kafir Quraisy menuduh Rasul saw sebagau orang gila, bahkan setan. Maka turunlah ayat ini sebagai bantahan atas ucapan mereka itu.

Ibnu Katsir menerangkan bahwa segala puji bagi Allah swt, Rasul saw bukanlah orang gila sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang jahil kafir Quraisy yang mendustakan apa yang Rasul saw dakwahkan kepada mereka yakni berupa petunjuk dan kebenaran yang hak, karenanya mereka mencap Rasul saw sebagai orang gila.

Sedangkan Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir dan al-Baghawy dalam Tafsir al-Baghawy sepakat menafsirkan bahwa ayat ini merupakan bantahan atas perkataan orang kafir Quraisy dalam Q.S. al-Hijr [15]: 6,

وَقَالُوْا يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْ نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ اِنَّكَ لَمَجْنُوْنٌ ۗ

Dan mereka berkata, “Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila. (Q.S. al-Hijr [15]: 6)

Dalam ayat ini surah al-Qalam ayat 2, al-Shabuny mengatakan bahwa yang dimaksud bini’mati rabbika adalah kata alhamdulillah. Artinya segala puji bagi Allah swt yang telah menjadikan Nabi Muhammad sebagai orang yang fadhil (memiliki keutamaan). Sedangkan al-Baghawy lebih kepada nubuwwah (kenabian).

Redaksi bini’mati rabbika dalam penjelasan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an dapat dipahami dalam arti nikmat Tuhanmu engkau bukanlah orang gila. Mereka melabeli Nabi saw gila sebab menyampaikan ayat-ayat Alquran yang antara lain mengecam terhadap kepercayaan mereka yang diyakini kebenarannya selama turun temurun. Ada juga yang mempersepsikan Nabi gila bukan karena menerima wahyu Alquran, melainkan terganggu atau tersusupi oleh jin atau setan sehingga menjadi gila.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Bersikap Sabar Bagi Peserta Didik

Adapun Hamka dalam Tafsir al-Azhar memahaminya sebagai bujukan, hiburan dan pelipur lara oleh Allah swt setelah beliau berdakwah, mengajarkan tauhid dan akhlak mulia, mencela segala perbuatan jahiliyah mereka atas semua yang distigmakan kepadanya di mana memang konsekuensinya Nabi harus rela menerima dan bersabar terhadap semua distigmakan kepadanya, di antaranya adalah stigma bahwa Nabi saw gila.

Sayyid Quthb sendiri juga memaparkan bahwa Allah swt menetapkan nikmat-Nya atas nabi-Nya yang diungkapkan dengan kalimat yang mengesankan sehingga kedekatan dan kecintaan Allah swt kepadanya amatlah dekat. Dia menisbatkan beliau dengan diri-Nya dengan redaksi rabbika (tuhanmu). Dia meniadakan sifat yang dilekatkan orang musyrik kepada Nabi saw yang tidak sinkron dengan nikmat-Nya yang diterima oleh Nabi saw. Yang mengherankan bagi Sayyid Quthb, di satu sisi mereka membenci, menghujat, mencerca dan mencaci maki Nabi saw, tetapi di sisi yang lain mereka mempelajari riwayat hidup Nabi saw, mereka menerima Nabi saw sebagai hakim di antara mereka dalam hal peletakan Hajar Aswa beberapa tahun sebelum Nabi saw. diangkat menjadi Nabi, mereka juga sepakat menerima dan mengakui gelar al-Amin yang disandang Nabi saw, karena beliau dapat dipercaya.

Kata ni’mah, bagi al-Razi dalam Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib adalah nikmat Allah yang tampak pada diri Nabi saw di antaranya kefasihan berbicara, kesempurnaan akal, kehidupan yang bahagia nan harmonis, selamat dari segala cobaan dan perangai yang mulia, sehingga wujud tamtsil di atas dapat menegasikan sifat gila pada diri beliau. Sedangkan al-Qurthuby memaknai ni’mah dengan subhanakallahumma wa bihamdika (Maha suci Engkau, Ya Allah Tuhanku dengan memuji-Mu).

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pendidikan Pertama Berasal dari Pendidikan Keluarga

Pendidik Harus Tahan Banting

Sebagaimana yang kita ketahui, Rasul Muhammad saw selain sebagai Rasul, beliau merupakan pendidik bagi umatnya. Karenanya, beliau selalu mengingat pesan Allah swt dan konsekuensi bahwa dalam mendidik dan membina umat, pasti akan dihadapkan dengan problematika seperti ketidakpatuhan murid terhadap guru, cercaan, makian, fitnah, cemoohan dan hujatan oleh sebagian orang yang tidak menyukainya, sehingga Rasul saw harus siap rela menerima konsekuensi yang “mengelus dada”.

Oleh karena itu, guru harus memiliki kesabaran maksimalis, amarah dan emosi minimalis, rasa percaya diri yang kuat, berani, semangat dan tangguh, bersungguh-sungguh dan pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Rasul saw sebagai manusia terbaik nan sempurna dan kekasih Allah saja tak luput dari cobaan dan rintangan yang ada, apalagi kita sebagai manusia biasa pasti mengalami hal serupa.

Karenanya pendidik harus dibekali kokoh secara keilmuan, mental dan spiritual untuk menopang dan mengatasi segala problem-problem yang ada. Namun, dibalik kepahitan semua itu, ada nikmat Allah swt yang sangat besar yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad saw selaku pendidik. Bini’matika rabbika (dengan nikmat Tuhanmu) siap menyambut kita dengan penuh cinta dan kasih sayang abadi. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Shalat Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?

0
menghadap kiblat
menghadap kiblat

Menghadap kiblat merupakan salah satu dari syarat sah shalat. Arah kiblat umat Islam seluruh dunia adalah Ka’bah yang berada di Mekah. Syarat sah ini tentunya dikecualikan bagi orang yang berada di kondisi tertentu, seperti berada di atas kendaraan atau shalat dalam keadaan khauf (takut).

Pada saat baginda Nabi saw hijrah ke Madinah, Allah sempat memerintahkan untuk menghadap kiblat ke Baitul Maqdis ketika mengerjakan shalat, sebab mayoritas penduduknya saat itu adalah Yahudi.  Namun, Nabi merasa lebih senang jika kiblatnya adalah Ka’bah yang merupakan kiblat moyangnya, yakni Nabi Ibrahim. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginan Nabi tersebut dengan menurunkan ayat:

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

“Sesungguhnya Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab memang mengetahui bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu

Kata kiblat diambil dari lafal muqabalah yang berarti menghadap. Kemudian kata ini dijadikan istilah untuk nama arah yang dituju umat Islam saat melaksanakan shalat. Perintah menghadap kiblat ini merupakan keputusan yang bersifat final, sehingga tidak dibenarkan jika shalat mengahadap ke selainnya tanpa ada uzur yang diperbolehkan syara’.

Pada redaksi ayat di atas, yang dimaksud ‘palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram’ adalah hadapkanlah wajahmu pada Ka’bah. Syathrun dalam ayat ini memiliki arti al-nahiyah atau al-jihah yakni arah. Menariknya, redaksi ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, apakah orang yang shalat harus menghadap Ka’bah atau cukup menghadap kiblat, yakni arahnya?

As-Shabuni menjelaskan bahwa terdapat beberapa ulama yang berpendapat bahwa yang diharuskan adalah menghadap  Ka’bah-nya. Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap Ka’bah.

Namun al-Muzani, murid Imam as-Syafi’i meriwayatkan pendapat lain dari gurunya tersebut yang memperbolehkan mushalli (orang yang shalat) menghadap ke arah Ka’bah, bukan wujud Ka’bah.

Selanjutnya, mazhab Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah untuk mushalli yang dapat menyaksikan Ka’bah. Jika tidak, maka cukup baginya menghadap arahnya saja. Alasannya, tidak mungkin bagi orang yang jauh keberadaannya dari Ka’bah untuk menghadap pada dzatiyah (wujud) Ka’bah itu sendiri.

Andaikata keharusannya adalah menghadap Ka’bah, maka itu akan berpengaruh pada keabsahan shalat seseorang yang lokasinya jauh dari Ka’bah.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya, Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79

Al-Qurthubi memberikan keterangan mengenai pendapat yang mengharuskan untuk menghadap Ka’bah telah ditentang oleh Ibnul ‘Arabi bahwa pendapat tersebut lemah. Sebab, yang demikian itu dianggap membebani seseorang pada sesuatu yang tidak bisa dicapai. Sehingga, pendapat yang dipilih adalah keharusan menghadap kiblat. Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi mengenai pendapat yang dipilih ini:

Pertama, menghadap arah kiblat adalah hal yang memungkinkan untuk dilakukan oleh mushalli di mana pun lokasi keberadaannya. Maka, taklif (pembebanan hukum) ini lebih maslahat bagi umat.

Kedua, perintah Allah yang tertera pada ayat di atas jelas menggunakan lafal syathral masjidil haram seperti yang telah dijelaskan di awal pembahasan.

Ketiga, ulama memberikan gambaran seperti barisan shalat jamaah yang panjang yang luasnya akan berkali lipat dari baitullah. Sehingga, mushalli yang berada di barisan paling belakang bisa jadi terhalang untuk menghadap Ka’bah secara langsung. Maka, kondisi seperti ini tidak akan sesuai dengan keharusan menghadap Ka’bah.

Tentunya, perbedaan di kalangan ulama ini tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab, masing-masing memiliki argumentasi yang jelas dan berdasar. As-Shabuni dalam tafsirnya menuturkan bahwa pengambilan dalil mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah dalam kasus ini berasal dari al-Qur’an, hadis, dan qiyas.

Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah mengambil dari al-Qur’an, hadis, amaliyah sahabat, dan rasionalitas. Bahkan As-Shabuni memaparkan secara rinci dari masing-masing sumber pengambilan dalil tersebut.

Wallahu A’lam.

Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

0
kesetaraan gender
kesetaraan gender

Hingga saat ini ketimpangan gender masih jadi polemik pelik bak jalan tiada ujung bagi umat Islam. Padahal, banyak ayat yang menyerukan pada kesetaraan laki-laki dan perempuan. Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya, menyebutkan ada tiga prinsip kesetaraan gender dalam Al Quran. Berikut ini penjelasannya.

Setara sebagai Hamba

 Allah berfirman dalam Surat Az-Zariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Ayat tersebut memberi pemahaman bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki posisi setara dalam kapasitasnya sebagai hamba. Mereka sama-sama berkesempatan untuk menjadi hamba yang ideal di mata Tuhannya dengan jalan ketakwaan.

Menurut Nasaruddin Umar, untuk mencapai derajat takwa ini, keragaman entis, budaya, gender, dan jenis kelamin, tak jadi persoalan. Asal seseorang mau untuk selalu berusaha patuh terhadap perintah Allah, dia akan bisa memperoleh derajat hamba yang bertakwa.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Setara untuk bisa meraih prestasi

Prinsip ini dijelaskan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 195:

فَٱسۡتَجَابَ لَهُمۡ رَبُّهُمۡ أَنِّي لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٖ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰۖ بَعۡضُكُم مِّنۢ بَعۡضٖۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَٰتَلُواْ وَقُتِلُواْ لَأُكَفِّرَنَّ عَنۡهُمۡ سَيِّـَٔاتِهِمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ ثَوَابٗا مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلثَّوَابِ

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.”

Ayat ini turun untuk merespons kegelisahan Ummi Salamah terhadap ayat Al Quran yang hanya menyapa laki-laki. Dalam Asbabun Nuzulnya, Imam As-Suyuti menyebutkan hadis yang menjadi latar peristiwa ini:

أَخْرَجَ عَبْدُالرَّزَّاق وسَعِيْد بن مَنْصُوْرٍ والترمذي والحاكم وابن أبي حاتم عن أم سلمةَ أنَّها قالتْ يا رَسُوْلَ اللهِ لَا أُسْمِعُ اللهَ ذَكَرَ النِّسَاءِ فِي الهِجْرَةِ بِشَيءٍ فَأَنْزَلَ الله (فَاسْتَجَابَ لَهُمْ أَنّي لَا أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُم مِن ذَكَرٍ وَأُنْثى)إلى أخِرِأيةٍ

“Diriwayatkan dari Umu Salamah, bahwasanya ia berkata: “wahai Rasulullah, saya tidak mendengar Allah menyebut sedikit pun, perempuan pada waktu Hijrah” lalu, turunlah (Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan) sampai akhir ayat” (HR. Abdur Razzaq, Said bin Mansur, Turmudzi, Hakim, dan Ibnu Abi Hatim)

Baca juga: Dua Faktor Pemicu Bias Penafsiran Ayat Relasi Gender

Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa segala usaha selalu Allah beri keberhasilan, dengan tanpa memandang gender baik laki-laki atau perempuan. Maka, perempuan dan laki-laki, tidak ada penghalang baginya untuk mengeksplorasi potensi yang mereka punya. Allah pun memberi kemudahan yang sama pada mereka untuk meraih prestasi. Ayat-ayat lain yang mengandung prinsip ini di antaranya; surat An-Nisa’ ayat 124, Surat An-Nahl ayat 97, dan Surat Ghafir ayat 40.

Setara sebagai penanggung jawab bumi

Prinsip ini sebagimana yang dijelaskan dalam Surat Al-An’am ayat 165:

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”

Kata khalifah menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berarti pengganti Allah di bumi. Artinya, manusia diberi mandat oleh Allah untuk bertanggungjawab atas kesejahteraan alam raya. Sementara itu, penyebutan diksi khalifah, menurut Umar mencakup seluruh jenis manusia, laki-laki maupun perempuan. Dengan pengertian itu, keduanya adalah setara untuk mengemban tugas menyejahterakan bumi dan seisinya.

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Kesejahteraan akan dapat terealisasi bila manusia mampu memenuhi kemaslahatan.  Sesuai dengan pengertian kemaslahatan menurut Jasser Audah dalam Maqashidus Syariah as Philosophy of Islamic Law, kemaslahahatan ialah kebaikan yang bisa dirasakan oleh semua orang. Dan kesetaraan menjadi salah satu kriteria untuk meraih kemaslahatan itu. Jelas sudah, manusia agar bisa berhasil menjadi penanggung jawab bumi, harus sadar benar dengan kesetaraan.

Tiga prinsip kesetaraan gender yang Allah firmankan tersebut merupakan manifestasi dari perintah-Nya untuk senantiasa berusaha adil dan berbuat baik kepada sesama makhluk. Maka, kepada sesama makhlukNya, kita tak pantas untuk merasa lebih unggul, pun terungguli. Dan, seandainya terdapat penafsiran atas Al Quran yang mengandung unsur diskriminasi dan subordinasi terhadap satu pihak, maka tafsir itu layak untuk dikritisi. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam Tentang Zina; Mendekati Saja Dilarang, Apalagi Melakukan!

0
larangan mendekati zina
larangan mendekati zina

Islam melalui Alquran dan hadis telah menerangkan bahwa termasuk di antara dosa besar adalah zina. Zina adalah hubungan intim yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam hubungan pernikahan. Dalam hukum Islam, pelakunya mendapatkan hukuman (had) yang berat sesuai dengan status yang dimilikinya.

Larangan mengenai zina bisa ditemukan dalam Alquran surat al-Isra’ ayat 32 yang berbunyi:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“dan janganlah kamu mendekati zina, sungguh itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ [17]: 32)

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa penggunaan lafal ‘la taqrabu’ sama seperti ‘la tadnun’ berarti janganlah kalian mendekati. Lebih lanjut dijelaskan dalam Tafsir Al-Jalalain, penggunaan kata ‘la taqrabu’  memiliki makna yang lebih tegas daripada ‘la ta’tu’ yang berarti janganlah kalian dekati. Sebab, dalam ilmu ushul fiqh, lafal nahi (larangan) menunjukkan keharaman sesuatu yang dilarang. Maka, jika mendekati zina saja hukumnya haram (manthuq), apalagi jika melakukan perbuatan zina itu sendiri (mafhum). Demikianlah pemahaman yang diperolah dari ayat tersebut berdasarkan kaidah manthuq-mafhum dalam ushul fiqh. Di sinilah letak kehebatan bahasa ِAlquran, untuk melarang pebuatannya maka diungkapkan dengan larangan mendekati hal-hal yang menjurus pada perbuatannya. Menunjukkan betapa Alquran sangat peduli terhadap  manusia untuk selalu pasang badan agar tidak terjerumus.


Baca Juga: Kenali Syarat Menjadi Mufassir


Zina adalah perbuatan fahisyah yakni keji yang termasuk dosa besar dan kemaksiatan yang paling buruk. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencantumkan hadis riwayat Ibnu Abid Dunya, bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ شِرْكٍ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنَ النُّطْفَةِ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحْمٍ لاَ يُحَلِّلُ

Artinya: “Tidak ada dosa yang lebih berat setelah syirik di sisi Allah daripada seorang laki-laki yang menaruh spermanya di dalam rahim wanita yang tidak halal baginya.”

Hadis tersebut cukup menggambarkan bagaimana tercelanya perbuatan tersebut hingga disandingkan dengan dosa menyekutukan Allah swt. Bahkan, dalam riwayat lain baginda Nabi bersabda,

(لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ (رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Pezina tidak dikatakan beriman ketika ia berzina.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Larangan yang Allah berikan kepada hamba-Nya tentu memiliki tujuan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Tujuan tersebut merupakan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Selain untuk menjaga dari rusaknya garis keturunan, larangan tersebut juga memberikan jaminan kesehatan bagi manusia agar terhindar dari penyakit ganas seperti yang disinggung dalam hadis. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah bersabda,

لَمْ تَظْهَرْ الفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا اِلاَّ فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ قَدْ مَضَتْ فِي

(اَسْلاَفِهِمْ الَّذِيْنَ مَضَوْا (رواه ابن ماجه

Artinya: “Tidaklah Nampak perbuatan keji di suatu kaum hingga dilakukan secara terang-terangan, kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6


Menurut pengertian dalam kamus al-Ma’any,yang dimaksud tha’un  adalah suatu penyakit akibat virus yang menular, berbahaya, dan mematikan secara umum. Dalam mengomentari hadis tersebut, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa,

فَفِي هَذَا الْأَحَادِيْثِ اَنَّ الطَّاعُوْنَ قَدْ يَقَعُ عُقُوْبَةً بِسَبَبِ الْمَعْصِيَّةِ

“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tha’un muncul sebagai hukuman akibat maksiat tersebut.”

Dari berbagai keterangan di atas, dapat kita pahami perihal tercelanya zina. Seseorang yang terlanjur melakukannya diharuskan segera betaubat memohon ampun kepada Allah dan bertekad tidak akan mengulanginya kembali. Selain itu, dianjurkan baginya untuk tidak menceritakan dosanya kepada orang lain, sebab itu merupakan aib.

Wallahu A’lam.

Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

0
Syekh Nawawi Al-Bantani
Syekh Nawawi Al-Bantani credit: jatman.or.id

Syekh Nawawi al-Bantani mempunyai nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Ia lahir di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M.  Beliau dikenal sebagai seorang tokoh mufasir, sufi dan ulama fiqih bermazhab Syafi’i. Di kalangan keluarganya, Syaikh Nawawi al-Bantani dikenal dengan sebutan Abu Abd al-Mu’ti.

Nawawi kecil tumbuh dalam keluarga yang religius. Ayahnya, ‘Umar bin ‘Arabi merupakan seorang ulama dan tokoh masyarakat di tanah kelahirannya. Ia juga menjadi pemimpin di masjid yang digunakan sebagai tempat pengajian dan pembelajaran agama bagi orang di desa tersebut. Tidak hanya pengajian dan pembelajaran, masjid juga kerap digunakan sebagai tempat musyawarah untuk membicarakan masalah agama.

Adapun ibunya, Zubaidah dikenal sebagai seorang wanita yang salihah. Ketika Nawawi  masih berada dalam kandungan, ibunya senantiasa mendoakan terhadap kebaikan, kesalihan dan kebaktian anak pertamanya itu. Berkat latar belakang tersebut, Nawawi kecil tumbuh menjadi anak yang soleh dan mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman.

Jejak Intelektual

Sejak belia Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Mata pelajaran yang diterima olehnya antara lain adalah bahasa Arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu, beliau juga berguru kepada Kiai Sahal di Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Berkat pendidikan tersebut, Nawawi al-Bantani bisa menguasai berbagai macam dasar-dasar ilmu agama sebagai bekal pendidikannya kelak.

Pada usia 15 tahun, Nawawi muda merantau meninggalkan tanah air (Indonesia) menuju Mekah untuk menuntut ilmu dan ia tinggal di sana kurang lebih selama 3 tahun. Di Mekah Syekh Nawawi al-Bantani mempelajari berbagai cabang ilmu keislaman dan berguru pada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (para masyayikh Masjid al-Haram ketika itu).

Ia juga pernah belajar di kota Madinah melalui bimbingan Syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau juga melanjutkan belajarnya ke Syam (sekarang Syiria) dan Mesir. Sekitar tahun 1248 H/1831 M beliau kembali ke Indonesia untuk mengabdikan diri. Namun, setelah 3 tahun berada di Tanara, beliau kembali lagi ke Mekkah karena situasi politik yang bergejolak akibat penjajahan Belanda dan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia.

Setelah lebih dari 30 tahun mempelajari dan mendalami pengetahuan agama, pada tahun 1860 beliau mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram (Mekka in Latter Part of The 19th Century: 171). Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia, diantaranya ada yang berasal dari Indonesia, yaitu: KH. Khalil (Bangkalan), KH. Asy’ari (Bawean), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang).

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Kecerdasan dan ketekunan Syekh Nawawi al-Bantani selama proses belajar dan mengajar mengantarkan dirinya menjadi salah satu ulama terpandang di Masjid al-Haram. Bahkan, orang-orang Indonesia maupun masyarakat Mekah mengenal sosoknya sebagai ulama di tanah Hijaz. Karena hal itu, karya-karya hasil tangan emasnya sering dipelajari dan diteliti hingga saat ini (abad 21).

 Tafsir Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid dan Karya-karyanya

Pada tahun 1864 atau 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi al-Bantani mulai giat menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu luang lagi untuk mengajar. Selama hidupnya, Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dalam berbagai bidang persoalan agama. Dictionary of Arabic Printed Books mencatat Setidaknya ada 34 karya Syekh Nawawi al-Bantani.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa jumlah karya tangan Syekh Nawawi al-Bantani mencapai lebih dari 100 judul buku. Hanya saja sebagian karya tersebut tidak tercatat dan tidak terlacak oleh para peneliti. Secara umum, karya Syekh Nawawi al-Bantani meliputi berbagai disiplin ilmu, yakni tauhid, fiqih, sirah nabawi, hadis, lugah (bahasa Arab), retorika, tasawuf, etika dan tafsir.

Diantara karya Syekh Nawawi al-Bantani yang diketahui adalah Nashaih al-‘Ibad,  al-Maraqi al-‘Ubudiyah, Sulalim al-Fudhala, Mishbah al-Zhulam, Tanqih al-Qaul, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, al-Tsamar fi .Riyadh al-Badi’ah, Sulam Munajat, ‘Uqud alLujain, al-Tausyih ibn Qasim, Tijan al-Darari, Qami’ Thugyan, Fath al-Majid, al-Ibriz al Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad.

Selain itu, beliau juga menulis, Bughyah al-Awwam fi Maulid Sayyid al-Anam Fath al-Ghafir al-Khatiyah ‘ala al-Kawakib al-Jaliyah fi Nazham al-Ajrumiyah, al-Fushush al-Yaqutiyah ‘ala Raudhah al-Bahiyah fi Abwab al-Tashrifiyah, Lubab al-Bayan fi al Isti’arah dam Tafsir Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al-Quran al-Majid (sebuah kitab tafsir lengkap 30 juz).

Kitab Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid atau dikenal juga dengan Marah Labid-Tafsir al-Nawawi/al-Tafsir al-Munir ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan menggunakan bahasa Arab, berjumlah 2 jilid. Kitab ini menafsirkan al-Qur’an secara lengkap tiga puluh juz. Di dalamnya, Syekh Nawawi al-Bantani menggunakan metode penafsiran tahlili dan tartib mushafi.

Sumber utama dari kitab tafsir tersebut adalah riwayat-riwayat penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in (ma’tsur). Selain itu beliau juga mengutip pandangan-pandangan ulama tentang penafsiran al-Qur’an (ra’yu) yang terdiri dari kitab-kitab sufi, kitab al-Futuhat al-Ilahiyah karya Sulaiman al-Jamal (w. 970), Mafatih al-Ghaib karya Fakhru al-Din al-Razi (w. 1209), al-Siraj al-Munir karya al-Syirbini (w. 1570), Tanwirul Miqbas karya Fairuzzabadi (w. 1415), dan Tafsir Abi Su’ud karya Ibn Su’ud (w. 1574).

Kitab Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid dipublikasikan pertama kali oleh penerbit al-Razzaq pada tahun 1305 Hijriah di Kairo. Bagi penulis, Tafsir ini adalah magnum opus terakhir dari Syekh Nawawi al-Bantani sebelum beliau wafat (usia 84 tahun) pada tanggal 25 Syawal 1314H/1879 M di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan pinggiran kota Mekah. Hingga saat ini karya beliau tersebut selalu dikaji dan dipelajari, terutama di pondok pesantren Jawa seperti PP. LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta. Wallahu a’lam.

Mengulik Makna Silaturahim dan Manfaatnya

0
makna silaturahim dan manfaatnya
makna silaturahim dan manfaatnya (republika)

Saat menelusuri sebuah jalan di kota Jakarta, saya melihat poster yang bertuliskan “Tetap menjalin silaturahmi di masa pandemi! Tetap menjaga protokol kesehatan”. Di sini, saya menggaris bawahi kata “silaturahmi” yang sering dipakai  hampir seluruh masyarakat Indonesia dalam ajang mengikat persaudaraan.

Sebenarnya, istilah silaturahmi diambil dari bahasa Arab yaitu Silaturahim. Tidak ada istilah silaturahmi dalam bahasa Arab. Namun keduanya melahirkan makna yang sama, keharmonisan (kasih sayang). Istilah yang mana  yang seharusnya tepat untuk digunakan? Lantas, mengapa silaturahim digambarkan dengan rasa kasih sayang (Ruhama)?

Pandangan Ulama tentang Silaturahim

Silaturahim merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata shilah dan rahim. Shilah diambil dari kata washala yang diartikan sebagai menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lainnya sehingga ia bisa mengikatnya. Selanjutnya, kata rahim, ia memiliki makna yang luas. Mayoritas pakar bahasa Arab mengatakan bahwa rahim memiliki makna peranakan. Namun, disisi lain, kata rahim diartikan sebagai kasih sayang atau kelembutan.

Selanjutnya, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah silaturahmi dinilai sebagai persaudaraan atau persahabatan. Istilah persaudaraan selalu identik dengan sifat kasih sayang dan  menjaga keharmonisan antara lingkungannya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa keduanya ada persamaan makna, dan boleh untuk digunakan. Perbedaannya hanya terletak dalam susunan akhir kata dan sama sekali tidak merusak makna yang ada.

Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan, memberikan komentar khusus untuk para pakar bahasa Arab mengenai makna rahim. Perbedaan makna rahim di atas kiranya tidak perlu  diperebatkan.  Menurutnya, sesuatu yang paling dirahmati atau dikasihi oleh makhluk tiada lain ialah apa yang keluar dari rahim atau peranakannya. Oleh sebab itu, ia dinamakan sebagai rahim yaitu memiliki rasa kasih sayang.

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

 Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad saw yang menggambarkan kata rahim. Hadis tersebut bisa ditemukan dalam kitab al-Jami al-Shahih al-Bukhari, yang ditulis oleh Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ju’fi, ia menuliskannya dalam bab Man Washala Washalahu Ila Allah. Hadis tersebut berbunyi:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي مُزَرِّدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرَّحِمُ شِجْنَةٌ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ

“Menceritakan kepada kami Said bin Abi Maryam, Sulaiman bin Bilal, ia berkata menceritakan kepadaku Muawiyah bin Abi Muzarrid, dari Yazid bin Ruman dari Urwah dari Aisyah Radiyallahu ‘Anha (istri Nabi Muhammad Saw) Nabi Muhammad Saw bersabda : (kasih sayang itu seperti akar tumbuhan yang saling berkait. Barang siapa yang menyambungkan (tali persaudaraannya)  maka telah aku sambungkan, jika ia memutuskannya, maka sungguh aku telah memutuskannya.” (HR.Bukhari)

Imam al-Bukhari memberikan ulasan yang lebar tentang ini. Beliau mengkategorikan hadis ini dalam bab Man Washala Washalahu Ila Allah, karena memang sangat berkaitan dengan Allah swt. Hal yang perlu digaris bawahi disini ialah kata syijnah. Ia diartikan sebagai akar yang saling berkait dan terkait pada sesuatu yang Mahakuat, yakni kepada Allah yang memiliki sifat rahman.

Jika ada seseorang yang memutuskan salah satu akar yang paling kecil atau pendek, bahkan halus sekalipun, maka ia telah memutuskan hubungannya dengan seluruh kaitan akar halus itu. Sedangkan, jika ia memutuskan tali hubungan kasihnya dengan Allah swt, maka Allah pun akan memutus hubungan dengannya. Dari teks hadis yang telah dipaparkan dapat kita pahami bagaimana Rasulullah Saw menekankan untuk bersilaturahim kepada sesama manusia seperti yang telah diungkap diatas.

Baca juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

Bersilaturahim: Mewujudkan Keharmonisan Agama

Quraish Shihab mengungkapkan bahwa silaturahim memiliki beberapa tingkatan sesuai dengan objek, kondisi, ataupun situasi yang dihadapi. Ia melanjutkan bahwa jika silaturahim hanya difahami dengan makna yang sempit, yakni menjalani hubungan harmonis antara keluarga, ini telah membawa dampak yang besar bagi seluruh masyarakat. Masyarakat terdiri dari beberapa kumpulan keluarga kecil.

Dengan itu, keluarga kecil akan berkaitan dengan keluarga besar, dan seterusnya. Jika terjadi hungan harmonis antar keluarga, maka ia akan terus merambat kepada keluarga yang lainnya sehingga ia akan mewujudkan masyarakat harmonis tentunya didambakan oleh agama yaitu ruhamau baynahum.

Hal ini terdapat dalam Q.S. al-Fath [48]: 29,

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridlaanNya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah siifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat, dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus diatas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang orang beriman dan mengerjakan kebaikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar.”

Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Surat As-Saffat Ayat 102

Imam al-Qurthubi (1214-1273M) mengklasifikasikan kata rahim menjadi dua macam, umum dan khusus. Pertama, rahim yang bersifat umum ialah kedekatan yang dijalin oleh persamaan agama. Kedua, kedekatan yang dijalin oleh persamaan garis keturunan. Kendati demikian, makna rahim yang pertama mengundang kepada semua manusia untuk memiliki kasih sayang, saling menasihati, saling berkunjung, bersifat adil, dan melaksanakan kewajiban agama yang telah dilakukan kepada mereka.

Makna yang kedua, ia dituntut untuk saling memberi bantuan atau nafkah. Menurut Imam al-Qurthubi, selain memiliki simpati untuk memberi bantuan kepada mereka, hendaklah ringan memaafkan kesalahan mereka. Imam al-Qurthubi melanjutkan kembali, jika yang dimaksud dengan rahim itu ialah kasih sayang, tentunya ia tidak terbatas oleh pihak manapun. Menurutnya, perilaku kasih sayang ini perlu mengundang adanya upaya menyebarluaskan rahmat terhadap siapapun yang ada di persada bumi ini. Wallohu al-Muwaffiq Ila Maa Yuhib Wa Yardha

Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran

0
kisah nabi syuaib dan penduduk madyan
kisah nabi syuaib dan penduduk madyan (sekolahnesia)

Kisah Nabi Syuaib sangat menarik untuk dikaji, karena di dalamnya terdapat kisah perjuangan Nabi Syuaib terhadap kaumnya, penduduk Madyan. Nabi Syuaib adalah putra dari Mikala bin Yasyjan. Ia lahir dan diutus oleh Allah swt untuk menyerukan (berdakwah) dengan kaumnya yaitu para penduduk kota Madyan.

Imaduddin Abu al Fida Ismail bin Katsir atau lebih dikenal dengan sebutan Ibn Katsir dalam Qashas al-Anbiya, menuliskan penduduk Madyan merupakan orang-orang kafir yang senang merompak, menakut-nakuti seorang musafir yang datang ke negerinya, dan penyembah pohon aikah yang berada di semak belukar.

Penduduk Madyan bukanlah penduduk yang tidak diberikan seruan untuk menjadi lebih baik. Hadirnya Nabi Syuaib membawa seruan agar penduduknya meninggalkan perbuatan buruk yang selama ini menjadi kebiasaan. Ada dua seruan Nabi Syuaib kepada penduduk Madyan.

Seruan Tauhid

Tauhid yang murni adalah tauhid yang bebas dari kesyirikan. Tidak bercampur dengan sesuatu apa pun yang dapat mengeruhkan kemurnian iman. Ibarat air yang berasal dari sumber mata air yang jernih, maka segala sesuatu harus selalu murni layaknya sumber mata air yang jernih itu pula.

Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis Dalam Al-Quran

Abdul Mu’ti dalam sebuah pengantar buku Islam Berkemajuan, menuliskan bahwa tauhid adalah doktrin sentral agama. Seperti salah satu misi utama pergerakan dakwah di Indonesia adalah Muhammadiyah menegakkan tauhid yang murni. Begitu juga dengan gerakan Nahdlatul Ulama menyebarkan seruan tauhid yang murni menyebar di Nusantara.

Kisah Nabi Syuaib diabadikan dalam firman-Nya Q.S. Hud [11]: 84.

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗوَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ اِنِّيْٓ اَرٰىكُمْ بِخَيْرٍ وَّاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيْطٍ

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (Kiamat). (Q.S. Hud [11]: 84)

Penduduk Madyan memang mempunyai kebiasaan menyembah pohon aikah yang berada di semak belukar. Hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap yang menciptakan. Selain ayat di atas, hal senada juga seruan mengenai tauhid terdapat dalam Q.S. al A’raf [7]: 85.

Ibn Katsir juga menuliskan dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, bahwa sesungguhnya, “Kami telah menutus Syuaib kepada penduduk Madyan. Mereka merupakan satu suku dari bangsa Arab yang menempati daerah antara Hijaz dan Syam yang berdekatan dengan Ma’an, sebuah negeri yang dikenal dengan sebutan dengan Madyan.”

Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

Allah mengutus Nabi Syuaib dan memerintahkan kepada mereka untuk beribadah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tidak menyekutukan-Nya, dan melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan.

Seruan untuk Adil dalam Menakar Timbangan

وَيٰقَوْمِ اَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.(Q.S. Hud [11]: 85)

Pada ayat ini Ibn Katsir juga menuliskan, Nabi Syuaib melihat penduduk Madyan yang gemar mengurangi takaran timbangan. Kemudian Nabi Syuaib menyerukan kepada mereka untuk berlaku jujur, tidak congkak, dan membuat kerusakan di muka bumi.

Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, menuliskan antonim dari al-fasid adalah as-shalih berasal dari kata shalaha yang berarti baik. Sedangkan, al-fasid merupakan keburukan. Penduduk Madyan tidak mengindahkan seruan kebaikan yang dilakukan Nabi Syuaib. Padahal, kebaikan akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.

Ibn Abbas berkata: “Rizki Allah adalah lebih baik bagimu.” Al-Rabi bin Anas berkata: “Wasiat Allah lebih baik bagimu.” Mujahid berkata: “ Taat kepada Allah.” Qatadah berkata: “Bagian dari Allah lebih baaik bagimu.” Abdurrahman bin Zaib berkata: “Kebinasaan itu dalam siksaan dan keutuhan itu adalah rahmat. Sementara itu, Abu Ja’far bin Jarir mengatakan: “Maksudnya apa yang dianugerahkan Allah kepadamu berupa keuntungan setelah kamu menepati takaran dan timbangan adalah lebih baik dari pada mengambil harta orang lain.”

Baca juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Perjuangan Nabi Syuaib dalam menyerukan kebaikan telah dilakukan. Namun, penduduk Madyan tetap dalam kebiasaannya. Menyembah pohon Aikah, merompak setiap yang datang ke negerinya, dan melakukan kecurangan dalam menimbang. Sehingga, penduduk Madyan diberikan azab. Mereka diazab dengan gempa yang dahsyat.

Bahkan, dalam surat al-Araf dijelaskan Nabi Syuaib diancam akan diusir apabila tidak memeluk kepercayaan yang dianut penduduk Madyan.

فَكَذَّبُوْهُ فَاَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دَارِهِمْ جٰثِمِيْنَ ۙ

Mereka mendustakannya (Syuaib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka. (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 37)

Dijelaskan pula dalam firman-Nya yang lain

فَاَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ

Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka. (Q.S. al-A’raf [7]: 91)

Penduduk Madyan yang tetap dalam kekufurannya diazab dengan suara amat dahsyat hingga mereka tertunduk dan bergelimpangan di sekitar rumah mereka. Hal ini disebabkan karena mereka selalu mengolok-olok Nabi Syuaib, merendahkan, dan mengejeknya.

Dengan demikian, aktivitas menduakan Allah swt curang dalam timbangan masih kita saksikan pada hari ini. Penduduk Madyan telah menjadi contoh bagi kita semua agar tidak meniru apa yang telah diperbuat. Membuat kerusakan hingga azab datang memporak-porandakan penduduknya. Wallahu A’lam

Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Mujahid Ibn Jabir)

0
Mujahid Ibn Jabir
Mujahid Ibn Jabir credit: mominoun.com

Mengenal Mujahid Ibn Jabir

Setelah mengenal Said Ibn Jubair, kali ini  kita akan melanjutkan perkenalan kepada tokoh kedua dari tiga Tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ibn Abbas. Mujahid memiliki nama lengkap Mujahid Ibn Jabir al-Makki. Kunyah-nya Abul Hajjah al-Makhzumi. Lahir pada tahun 21 Hijriyyah di era kekhalifahan Umar Ibn Khattab. Seorang muqri dan mufassir ternama di era Tabi’in.

Berbeda dengan Said Ibn Jubair, Mujahid adalah murid Ibn Abbas yang paling sedikit membawa riwayat. Namun dikatakan bahwa dari semua murid Ibn Abbas, Mujahid adalah yang paling tsiqqah. Hal ini dibuktikan dengan bersandarnya ulama besar di era setelahnya seperti Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari pada riwayat yang dibawanya—khususnya dalam riwayat penafsiran.

Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh al-Fadhl ibn Maimun dikisahkan bahwa Ibn Abbas telah menyetorkan bacaan ِِAl-Qurannya sebanyak 30 kali pada Ibn Abbas. Selama menghadap, Mujahid menyempurnakan bacaannya. Setelah menyempurnakan bacaannya, Mujahid kemudian menghadap 3 kali lagi untuk menanyakan tafsir dan penjelasan mengenai dimensi konteks yang terdapat dalam setiap ayat secara keseluruhan.

Banyak komentar para ulama yang menyatakan betapa tingginya derajat keilmuan Mujahid ibn Jabir. Abdussalam ibn Harb, Qatadah, Ibn Hibban serta Ibn Jarir bersepakat bahwa Mujahid Ibn Jabir ialah seorang yang paling memahami tafsir, tsiqah, faqih, serta banyak meriwayatkan hadis. Sufyan al-Tsauri bahkan mengatakan, “seandainya datang padamu tafsir yang berasal dari Mujahid maka cukuplah itu bagimu”.

Mujahid Ibn Jabir wafat di Makkah pada tahun 104 Hijriyyah dan dikatakan ruhnya dijemput saat dalam keadaan sujud. Kala itu umurnya telah memasuki usia 83 tahun.

Hal Menarik Seputar Mujahid Ibn Jabir

Mujahid ibn Jabir ternyata memiliki sisi yang menarik dalam aktivitasnya dalam menafsirkan al-Qur’an. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Mujahid memberikan kebebasan bagi akalnya dalam memahami sebagian redaksi al-Qur’an. Terkadang ia justru memalingkan redaksi yang sharih (jelas secara makna) kepada makna yang sifatnya perumpamaan atau permisalan.

Ternyata pola atau metode penafsiran yang dibuat oleh Mujahid ini, dikatakan menjadi inspirasi bagi kelompok Muktazilah dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab memberikan kebebasan bagi akal untuk menafsirkan.

Salah satu contoh penafsiran Mujahid ibn Jabir ialah pada Q.S. al-Baqarah [2]: 65 dan riwayat ini dikutip oleh Ibn Jarir. Lafaz “كُوْنُوا قِرَدَةً خَاسِئِيْن” ditafsirkan oleh Mujahid dengan mengatakan bahwa yang berubah itu hati mereka dan bukan rupa serta bentuknya. Hal ini didasarkan pada perumpamaan yang Allah berikan kepada orang-orang Yahudi yang tidak mau mengamalkan ajaran Taurat, “bagaikan keledai yang memikul bertumpuk-tumpuk kitab”.

Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Maka yang dimaksud oleh Mujahid berdasarkan riwayat tersebut ialah bahwa orang-orang Yahudi yang melanggar larangan Tuhan diumpamakan seperti kera namun mereka tidaklah bertranformasi menjadi kera sebagaimana jelas pada dzahir ayat.

Contoh lainnya pada Q.S. al-Qiyamah [75]: 22-23. Mujahid menyatakan bahwa “saat yaum al-thalaq manusia akan menantikan balasan dari Tuhannya, namun tidaklah melihat sedikitpun dari Tuhannya”. Penafsiran inilah yang dikatakan menjadi sandaran yang kuat bagi kelompok Muktazilah dalam menjawab persoalan ru’yatullah.

Gaya penafsiran Mujahid sebagaimana beberapa contoh di atas menjadi alasan beberapa ulama menolak menggunakan penafsirannya. Bahkan mereka juga mencela Mujahid karena terlalu membebaskan akalnya dalam menafsirkan al-Quran. Dalam suatu riwayat Ibn Mujahid (anak dari Mujahid) menceritakan bahwa ada seseorang yang datang kepada ayahnya lalu berkata, “kamukah yang menafsirkan al-Quran dengan akal? Lalu Mujahid menjawab sambil menangis, “sungguh aku berani, sebab aku telah membawa penafsiranku kepada sepuluh sahabat dan mereka meridhai”.

Bagaimanapun Mujahid tetaplah seorang mufassir rujukan yang lahir dari rahim sebuah madrasah tafsir ternama yang diasuh oleh Sahabat yang mumpuni. Gaya penafsiran yang ia lakukan merupakan hasil dari pembelajarannya yang panjang sehingga tidak berhak untuk dihujat melainkan ditelaah dan kemudian diambil faidah yang terdapat di dalamnya. Wallahu a’alam.

Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

0
metode hikmah
motode hikmah/Anacarlya

Meramahkan metode hikmah kepada peserta didik merupakan sarana yang tepat. Sudah jamak bahwa metode hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan. Namun, metode hikmah terlalu sempit untuk diartikan kebijaksanaan. Sebab ia berkelindan dengan apa yang disebut qaulan layyinan (perkataan yang lembut). Ia juga mensyaratkan argumen kebenaran yang disampaikan haruslah valid, tidak menimbulkan keraguan apalagi kekaburan agar memudahkan peserta didik untuk mencerna, mengolah, memahami, dan menginternalisasikan materi pelajaran dengan penuh kesadaran diri.

Sehingga diharapkan dari metode hikmah ini menghasilkann outcome yang akram dan shalih. Penegasan metode hikmah sendiri telah disitir oleh Allah swt dalam firman-Nya surat an-Nahl ayat 125;

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl [16]: 125)


Baca juga: Mufasir-Mufasir Modern: Biografi Muhammad Al-Ghazali


Tafsir Surat an-Nahl Ayat 125

Di berbagai literatur ayat ini sering dihubungkan dengan metode dakwah, namun pada tulisan ini akan dikaji dari sudut tarbawi (aspek pendidikan). Ayat ini menerangkan tiga metode yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran pendidikan Islam yakni bil hikmah (ilmu), mauidzah hasanah (pengajaran yang baik), dan mujadalah (berdebat dengan yang baik pula).

Penafsiran kali ini difokuskan pada metode yang pertama saja, yakni bil hikmah. Para ulama tafsir berbeda pendapat akan penafsiran bil hikmah. Ibnu Katsir misalnya, bil hikmah ia tafsirkan dengan cara yang bijaksana. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang diserukan kepada manusia adalah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Alquran dan sunnah.

Sedangkan ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menafsirkan bil hikmah dan mauidzah hasanah secara satu kesatuan, yakni hendaknya engkau Muhammad mengajak manusia kepada agama Allah dengan bil uslubi al-hakim (dengan diksi yang bijaksana). Diksi yang dimaksudkan adalah lembut dan halus, berkesan dan bermanfaat, bukan dengan kebengisan, kekerasan, cacian, makian dan tekanan.

Kata al-hikmah dalam Kamus al-Munawwir karangan KH. Ahmad Warson Munawwir diartikan kebijaksanaan. Memang kata hikmah sering diasosiasikan dengan filsafat. Sejatinya, makna hikmah lebih mendalam dibanding filsafat.

Jika filsafat hanya dapat dipahamkan kepada mereka yang sudah terlatih fikiran dan logikanya, akan tetapi hikmah dapat menarik orang yang belum mapan secara kecerdasan dan tidak dapat dibantah oleh orang yang lebih pintar.

Maka, hikmah dapat diartikan sebagai mengajak kepada agama Allah (al-din al-Islam) melalui ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan dan penjelasan yang benar. Dalam konteks pendidikan, metode hikmah ini hendaknya selalu mempertimbangkan konteks yang menyelimutinya seperti faktor subjek peserta didik, sarana belajar, media pembelajaran, dan lingkungan pembelajaran.

Sehingga pernak-pernik yang ada dapat disikapi dengan arif dan bijaksana guna mencapai pendidikan yang kondusif (menyenangkan dan tepat sasaran). Al-Qurthuby sendiri lebih memaknai kata al-hikmah dengan lemah lembut atau qaulan layyinan. Hal ini senada dengan firman Allah Q.S. Thaha [20]: 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan kata hikmah lebih utama ketimbang segala sesuatu. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan dan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar, serta menghalangi timbulnya madharat yang lebih besar.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!


Adapun Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir menguraikan hikmah dengan nama himpunan segala ucapan atau pengetahuan yang menjurus kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia secara seimbang. Lebih lanjut, ia menukil pendapat Raghib al-Asfahani bahwa hikmah adalah sesuatu yang mengarah kepada kebenaran berdasarkan ilmu dan akal.

Selaras dengan penafsiran di atas, Thabathaba’i memaparkan hikmah adalah argumen yang menghasilkan kebenaran yang valid, tidak diragukan lagi dan tidak mengandung kelemahan apalagi kekaburan.

Penafsiran serupa juga disumbangkan oleh al-Naisaburi dalam Tafsir Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan bahwa hikmah adalah tanda atau metode yang mengandung argumentasi yang kuat (qath’i) sehingga bermanfaat bagi keyakinan.

Ahmad Shiddiq mengutip Tafsir al-Khazin menjelaskan secara detail yang dimaksud hikmah adalah memberi keterangan yang mantap, kokoh dan benar. Atau menggunakan dalil yang benar-benar tervalidasi kebenarannya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekaburan.


baca juga: Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas


Meramahkan Metode Hikmah Kepada Peserta Didik

Meramahkan metode hikmah kepada peserta didik tentu harus dilakukan oleh setiap pendidik. Sebab melalui metode ini peserta didik dapat memahami dengan mudah materi pelajaran dan mendapatkan kebenaran atau ilmu yang valid, tanpa berbelit-belit.

Tentunya semua ini memerlukan interaksi yang kondusif antara pendidik dan peserta didik agar proses belajar mengajar (PBM) dapat berjalan efektif dan efisien. Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi adalah penyampaian metode harus dilakukan secara qaulan layyinan (penyampaian yang lembut, halus, sejuk dan mendamaikan). Sehingga mampu mengetuk pintu kalbu sehingga mampu menerima cahaya ilahi berupa ilmu yang bermanfaat.

Kemudian diharapkan dari proses ini para peserta didik memiliki keyakinan dan kemantapan dalam menerima materi pelajaran sebagai bekal dan pedoman untuk memperoleh ilmu yang lebih luas lagi, tidak terbatas dalam ruang kelas dan waktu serta dapat mengembangkan apa yang telah dipahaminya sesuai dengan kebutuhan, kemajuan dan tuntutan zaman. Wallahu A’lam.