Beranda blog Halaman 523

Tiga Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary)

0
Ikrimah Ibn Abdillah
Ikrimah Ibn Abdillah

Tulisan kali ini merupakan edisi terakhir dari materi “Tiga Tabi’in Utama Jebolah Madrasah Tafsir Ibn Abbas”. Tabi’in terakhir yang akan diulas ialah Ikrimah Ibn Abdillah. Seorang mawali (bekas budak) yang memiliki kisah menarik mengenai perdebatan ulama terhadap ke-tsiqahannya. Bagaimana sejatinya perdebatan itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Mari simak tulisan ini sampai tuntas.

Mengenal Ikrimah Ibn Abdillah

Ikrimah memiliki nama lengkap Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary al-Maghriby. Ia merupakan seorang Tabi’in yang meriwayatkan riwayat dari Ibn Abbas, Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, serta para kibar Tabi’in lainnya. Ikrimah lahir pada tahun 25 Hijriyah dan wafat diusinya yang telah 80 tahun pada 104 Hijriyah. Adapun mengenai tempat lahir serta wafatnya, penulis belum menemukan datanya.

Ia merupakan seorang Tabi’in yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam keilmuan, khususnya tafsir. Para Ulama bersepakat atas kepakaran Ikrimah di bidang Tafsir. Ibn Hibban misalnya berkata bahwa Ikrimah adalah tergolong Ulama di zamannya yang menguasai Fiqh serta keilmuan Al-Qur’an. Al-Sya’bi bahkan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih paham mengenai al-Qur’an kecuali Ikrimah.

Tidak mengherankan jika Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary mampu mencapai level keilmuan yang sangat tinggi. Sebab sebagaimana para kibar Tabi’in lainnya yang berguru pada Ibn Abbas, kesemuanya berhasil menjadi pewaris estafet keilmuan gurunya dan menjadi penerang di generasi selanjutnya.

Baca Juga: Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Mujahid Ibn Jabir)

Bahkan dikatakan bahwa hubungan guru dan murid antara Ikrimah dan Ibn Abbas bagaikan dilekatkan oleh sebuah belenggu di kaki mereka. Sebab Ikrimah tidak bisa lepas dari pengajaran Ibn Abbas dan begitupun sebaliknya, Ibn Abbas merasa ingin terus mengisi Ikrimah dengan samudera ilmunya.

Begitulah Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary, bagaikan penampungan air yang telah diisi sempurna dan siap untuk mengisi penampungan lainnya.

Hal Menarik Seputar Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary

Telah sedikit disinggung bahwa Ikrimah ternyata memiliki kisah menarik yang Persoalan yang memicu terjadinya perdebatan dan melahirkan golongan pro dan kontra.

Persoalan ini mengenai ke-tsiqah-an Ikrimah yang tentunya berimplikasi pada diterima atau ditolaknya riwayat yang berasal darinya. Sebagian Ulama yang menolak Ikrimah berpendapat bahwa Ikrimah adalah seorang yang lancang dalam ilmu. Sebab ia telah mengklaim dirinya menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan al-Qur’an sedangkan Ikrimah sendiri justru mendustakan Ibn Abbas. Tuduhan lainnya, Ikrimah dikatakan berideologi Khawarij.

Tuduhan-tuduhan negatif yang diutarakan para penolak Ikrimah bukanlah tudahan yang remeh. Sebab dinisbatkan kepada nama-nama besar seperti Thawus, Ibn Umar, Sa’id ibn Musayyab, dan lainnya.

Menepis tuduhan miring atas Ikrimah, Adz-Dzahabi mengatakan bahwa semua tuduhan negatif yang mengarah pada Ikrimah adalah tuduhan yang tak berdasar. Ia menunjukkan bagaimana seorang Abu Hurairah yang dikatakan sebagai seorang yang tsiqah dan memiliki riwayat paling banyak dari Nabi bisa dikatakan hilang ke-tsiqah-annya karena banyaknya riwayat yang ia bawa. Sungguh hal itu menjadi suatu yang mustahil diterima.

Baca Juga: Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi

Ternyata perkara ini diketahui oleh Ikrimah. Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Hakim ia berkata, “aku sedang duduk bersama Abi Umamah Sahl ibn Hanif, lalu datanglah Ikrimah seraya berkata, “wahai Abu Umamah, jujurlah! Pernahkah kamu mendengar Ibn Abbas berkata, “apa yang Ikrimah ucapkan dan berasal dariku maka percayailah karena ia tidak pernah berbohong atas namaku”, lalu Abu Umamah menjawab, “betul”.

Sedangkan beberapa tuduhan lainnya yang berasal dari riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada nama-nama besar yang disebutkan sebelumnya, bukan merupakan riwayat yang shahih. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajar al-Atsqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib. Dikarenakan banyaknya riwayat yang tidak jelas asal-usul rawinya serta ada rawi yang bahkan tidak diketahui (anonim).

Bahkan ulama Hadis sebesar Imam al-Bukhari mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan riwayat dari Ikrimah. Begitupun ulama Hadis lainnya seperti al-Nasa’i, Abu Daud dan Muslim. Al-Maruzi menegaskan bahwa ahli Hadis telah berijma’ akan kebutuhan mereka terhadap riwayat Ikrimah, di antara para ahli Hadis tersebut ialah Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Ibn Rahawaih, Abu Tsaur dan lainnya.

Dengan begitu banyaknya persaksian ahli Hadis akan ke-tsiqah-an Ikrimah, rasanya begitu sulit atau bahkan mustahil untuk berdiri di pihak yang berani menuduhnya dan bahkan menolak riwayatnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

0
pendidikan Islam
pendidikan Islam

Dalam tradisi Jawa, kita mengenal istilah pekerti adiluhung untuk menggambarkan sosok yang berbudi pekerti luhur atau dalam Islam sering disebut akhlakul karimah. Sebagai seorang muslim, kita seyogyanya mewarisi pekerti adiluhung tersebut dari Rasulullah SAW.

Pekerti adiluhung Rasul SAW ditegaskan dengan, “kaana khuluqul qur’an, seluruh perilaku dan perangai Nabi adalah cerminan dari nilai-nilai luhur yang ada dalam Al Quran” Allah SWT bahkan memujinya sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya Q.S. al-Qalam [68]: 4:

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Q.S. al-Qalam [68]: 4)

Baca juga: Rasulullah Pun Pernah Mempraktikan Metode Bandongan

Tafsir Surah Al-Qalam Ayat 4

Ayat ini secara eksplisit menegaskan betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW, sehingga Allah SWT memujinya dan menyebutnya dalam Al Quran. Sebagaimana dituturkan as-Suyuthi dalam Lubabun Nuqul fi Asbab al-Nuzul, asbabun nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitabud Dalail dan al-Wahidi dengan sanad yang berasal dari ‘Aisyah. Bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki dan mewarisi akhlak yang lebih mulia daripada akhlak Rasulullah.

Apabila seseorang memanggil beliau, baik sahabat, keluarga ataupun penghuni rumahnya, beliau selalu menjawab, “Labbaika (Saya memenuhi panggilanmu)”. Lalu, ayat ini turun sebagai penegasan bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang sangat terpuji.

Al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menafsirkan kata khuluq dengan budi pekerti luhur, tingkah laku atau karakter terpuji. Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, ‘ala khuluq yaitu ‘ala dinin adzim minal adyan (di atas kemuliaan agama dari beberapa agama).

Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Aisyah bahwa khuluquhu kana Alquran (akhlaknya adalah Alquran). Pakerti adiluhung Rasul saw tidak hanya dilukiskan dengan kata innaka (sesungguhnya engkau), akan tetapi juga dengan tanwin pada kata khuluqin. Sedangkan huruf lam yang terdapat pada kata ‘ala berfungsi untuk mengukuhkan kandungan kata ‘ala sehingga berbunyi la’ala (bahwa akhlak rasulullah tidak hanya sekadar di atas atau terpuji saja, melainkan benar-benar amat terpuji).

Adapun lafaz adzim di bagian akhir ayat adalah penyifatan khuluq oleh Allah. Jika Allah swt menyifati sesuatu dengan lafaz adzim (agung) maka tidak terbayangkan bagaimana mulianya keagungan akhlak baginda Rasul.

Al-Thanthawi misalnya dalam Tafsir al-Wasith mengatakan sebagaimana perkataan Imam al-Razi bahwa kata khuluq bermakna mulkahu nafsaniyyah (kepemilikan pribadi). Artinya, psikis Rasulullah sudah menunjukkan akhlak yang mulia. Sedangkan al-adzim, al-Qurthuby melukiskannya dengan tingginya derajat, tampak kemuliaannya, dan kedudukan yang agung.

Penafsiran terperinci juga disampaikan oleh Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah al-Tafasir, bahwa akhlak Rasulullah saw meliputi ilmu dan bijaksana, tegar dan tidak mudah menyerah, banyak beribadah dan dermawan, sabar dan syukur, tawadhu’ dan zuhud, kasih sayang dan welas asih, sopan dalam bergaul dan beretika, dan akhlak-akhlak mulia lainnya.

Arti pernyataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al Quran menunjukkan bahwa Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan Al Quran sebagai karakternya. Tatkala Al Quran memerintahkan sesuatu maka beliau akan melaksanakannya. Dan kapan saja Al Quran melarang, maka Rasul pasti meninggalkannya.

Hamka dalam Tafsir al-Azhar mengemukakan sebagaimana telah ditegaskan dalam H.R. Bukhari Muslim dari Anas bin Malik, “Aku telah menjadi pembantu Rasul saw selama 10 tahun, namun tidak pernah mengatakan, “huss” walaupun sekali saja. Dan belum pernah mengomentari perbuatanku dengan mengatakan, “mengapa kamu lakukan itu?” Dan tidak pernah mengomentari apa yang belum aku kerjakan, “mengapa kamu belum mengerjakan juga?” Beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya.

Beliau tidak pernah memakai pakaian dari sutra. Tidak ada sesuatupun yang lebih lembut daripada telapak tangan Rasul. Dan aku tidak pernah mencium wangi-wangian yang semerbak melebihi keringat Rasul.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Pekerti adiluhung merupakan akhlak luhur yang memiliki seperangkat nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, kasih sayang dan welas asih, arif dan bijaksana, adil, menghormati sesama, tidak mementingkan kepentingan pribadi, menjunjung tinggi rasa persaudaraan, dan pekerti luhur lainnya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Penguasaan Teknologi Bagi Pendidik

Rasulullah sebagai representasi manusia berbudi pekerti luhur, la’ala khuluqin adzim seperti yang digambarkan dalam ayat di atas. Dalam Maulid al-Barzanji yang ditulis Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhamamd al-Barzanji, tepatnya di halaman 123, mengisahkan sebagai berikut,

وَيُحِبُّ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِيْنُ وَيَجْلِسُ مَعَهُمْ وَيَعُوْدُ مَرْضَاهُمْ وَيُشَيِّعُ جَنَائِزَهُمْ وَلاَ يُحَقِّرُ فَقِيْرً

“Rasulullah mencintai fakir miskin, duduk bersama mereka, membesuk mereka yang sedang sakit, mengiring jenazah mereka, dan tidak pernah menghina orang fakir”

Hadis di atas menandai bahwa Rasulullah tidak membeda-bedakan kedudukan seseorang baik antara “orang besar dan orang kecil” dalam memperlakukan jenazah mereka. Artinya Rasulullah adalah sosok yang egaliter, sosok yang memandang semua manusia sama, sama-sama harus dihormati,– meminjam bahasa Gus Dur – memanusiakan manusia. Jasa orang besar juga diapresiasinya, pun begitu pula dengan orang-orang kecil. Sebagaimana dalam sabda-Nya,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا

“Bukanlah umatku orang yang tidak berbelas kasih kepada orang kecil dan bukan pula umatku orang yang tidak menghormati orang besar”

Kandungan hadis ini bersifat umum, tidak hanya terkhusus bagi umat Islam saja. Namun sebagai umat Islam, kita punya tanggungjawab moral untuk mewarisi dan meneladani akhlak Rasulullah.

Pendidik misalnya harus memiliki dan mewarisi sifat kasih sayang kepada peserta didik agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang lagi nyaman. Ayat keempat dari surah Al-Qalam memberikan gambaran bagaimana akhlak dan pekerti adiluhung Nabi Muhammad saw begitu mulia. Dan teladan terbaik (uswatun hasanah) bagi kita semua umatnya. Semoga kita semua mampu mewarisi dan meneladani akhlak Rasul. Amin.

Tafsir Ahkam: Mengapa Menikah dengan Non-Muslim itu Dilarang?

0
Larangan menikah dengan non-muslim
Larangan menikah dengan non-muslim

Pemilihan pasangan, baik suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan. Sebab, kelangsungan rumah tangga sangat bergantung pada keduanya. Alquran telah mengatur cara memilih pasangan tersebut, utamanya dalam hal agama, meski masih tetap banyak perbedaan pendapat tentang menikah dengan non-muslim.

Dalam permasalahan menikah dengan non-muslim, tentu yang menjadi fokusnya adalah keyakinan yang berbeda, cara beribadah yang berbeda pula, ritual dan yang lainnya pun juga berbeda. Lalu, bagaimana Alquran menanggapi hal ini?

Allah berfirman,

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ

Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik bagimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221

Baca Juga: Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya, Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini. Mengutip dari Muqatil dikatakan bahwa ayat ini diturunkan pada Mirtsad bin Abu Mirtsad, namanya adalah Kanaz bin Husain Al-Ghanawi. Dia diutus oleh Rasulullah secara rahasia untuk membebaskan dua orang sahabatnya. Sementara di Makkah ia mempunyai seorang istri yang ia cintai pada masa jahiliyah. Wanita itu bernama Anaq. Anaq mendatangi Mirtsad dan meminta untuk menikahinya. Mirtsad kemudian meminta izin kepada Nabi, dan Nabi tidak mengizinkannya, sebab Mirtsad adalah laki-laki muslim sedang Anaq adalah perempuan musyrik.

Siapakah musyrik itu?

Dalam Tafsir Rawai’ul Bayan dijelaskan bahwa musyrik adalah al-majusiyyah dan al-watsaniyyah yakni kaum majusi dan para penyembah berhala (kaum pagan). Mereka tidak menganut agama samawi seperti Islam dan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Dengan demikian, apakah boleh menikahi ahli kitab yang notabene-nya non-muslim? Sementara itu, At-Thabari berpendapat tidak sama. Yahudi dan Nashrani termasuk kategori musyrik.

Jumhur ulama memperbolehkan pernikahan untuk laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Mereka berpendapat bahwa kata musyrikat dalam ayat tersebut tidak mencakup perempuan ahli kitab. Ini berdasarkan redaksi beberapa ayat lain dalam Alquran yang membedakan antara musyrik dan ahli kitab, seperti dalam surat Al-Baqarah:105 (ma yawaddul ladzina kafaru min ahlil kitabi wa lal musyrikin) dan surat Al-Bayyinah: 8 (lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitabi wal musyrikin). Pada dua ayat ini lafal musyrikin di-athaf-kan menggunakan huruf penghubung wawu, sedangkan athaf berfungsi untuk membedakan.

Kemudian, terdapat riwayat dari Qatadah yang menafsirkan kata musyrik tersebut dengan perempuan musyrik Arab yang memang tidak memiliki kitab. Serta, ada pula riwayat tentang sahabat Hudzaifah yang menikahi perempuan Yahudi. Kedua riwayat ini menguatkan pendapat sebelumnya.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i, ahli kitab di sini adalah Bani Israil yang mendapatkan Taurat dan Injil. Adapun mereka yang baru masuk ke agama tersebut, maka tidak dapat digolongkan sebagai ahli kitab.

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa ahli kitab juga termasuk musyrik. Ini berdasarkan firman Allah surat At-Taubah ayat 30. Pada ayat itu disampaikan bahwa Yahudi ialah orang yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah’, sedangkan Nasrani adalah orang yang mengatakan ‘Isa al-Masih lah anak Allah’. Oleh sebab itu, Allah menyifati mereka dengan musyrik pada ayat selanjutnya.

Perbedaan pendapat tentang kategorisasi musyrik dan ahli kitab ini membuat Sayyidina Umar tidak mengharamkan menikah dengan non-muslim, akan tetapi ia lebih mengambil sikap ihtiyath (berhati-hati) dengan tidak langsung membolehkan, pun melarangnya.

Baca Juga: Tafsir QS al-Baqarah 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?, Kawan dan Lawan Islam di Masa Silam 

Bagaimana dengan pernikahan laki-laki musyrik dengan perempuan muslim?

Mengenai pernikahan antara laki-laki yang musyrik dengan perempuan muslim, ulama sepakat mengenai larangan hal ini. Lantas, mengapa hal ini berbeda dengan kasus pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik?

Tradisi sebelum dan pada saat Alquran diturunkan, bahkan hingga sekarang, lumrahnya seorang laki-laki bertindak sebagai kepala keluarga. Jika kepala keluarga berstatus musyrik, sangat dimungkinkan ia akan mendidik anggota keluarganya sesuai dengan keyakinannya. Mengenai hal ini, As-Shabuni pernah diprotes oleh salah seorang pelajar non-muslim yang menganggap bahwa hal ini menunjukkan kefanatikan umat Islam. Lalu dibantahnya, “Kami umat Islam beriman pada Nabi dan kitab kalian. Jika kalian juga bersikap demikian pada kami, maka kami akan menikahkan kalian dengan perempuan dari golongan kami. Lalu, dari segi manakah kami dianggap fanatik?” Pelajar itu pun terdiam.

Baca Juga: Apakah Benar Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-Laki? Tafsir Surat An-Nisa ayat 1

Pernikahan dan Tujuannya

Pernikahan dalam Alquran disimbolkan dengan ungkapan Mitsaqan Ghalidha (ikatan yang kuat dan berat), ikatan atau perjanjian yang tidak hanya antara dua individu, tetapi dua keluarga; juga ikatan atau perjanjian yang mendatangkan tanggung jawab yang besar di antara keduanya, sebagai suami, istri, anak, menantu dan bahkan ketika menjadi orang tua. Terlebih pula tanggung jawab terhadap agama. Ini berarti pernikahan bukan suatu perjanjian yang remeh yang hanya seputar legalisasi hubungan seksual laki-laki-perempuan dan formalitas tanggungan finansial.

Untuk tujuan pernikahan, disinggung oleh Alquran dalam surat Ar-Rum ayat 21 bahwa menikah, hidup dengan pasangan diharapkan akan menciptakan kehidupan yang sakinah (tentram), di samping juga mawaddah dan rahmah. Sakinah atau tentram yang disebut dalam hasil pernikahan ini meliputi segala hal, misal tentram dalam berkomunikasi, tentram dalam melakukan segala aktifitasnya, termasuk tentram dalam beribadah. Jika dua individu yang serumah, bahkan sekamar itu berbeda keyakinan, berbeda agama, sangat dikawatirkan akan terjadi konflik dan tidak tenang juga tidak tentram dalam kehidupannya, terutama dalam hal beribadah. Oleh karena itu, pikirkan ulang tentang menikah dengan non-muslim.

Wallahu A’lam

Muhammad Rasyid Ridha: Mufasir Penerus Gagasan Pembaharuan Islam

0
Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha credit: surour.net

Muhammad Rasyid bin Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini dilahirkan pada tahun 1865 M di Al-Qalamun, sebuah desa yang terletak tidak jauh dari kota Tripoli, Lebanon. Di desa inilah Muhammad Rasyid Ridha dibesarkan oleh ayahnya yang terkenal alim, bersikap moderat dan sangat dihormati oleh penduduknya.

Meskipun Muhammad Rasyid Ridha dan ayahnya hidup dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama, tidak membuat mereka menunjukkan sikap eksklusif atas pemeluk agama yang berbeda. Ayahnya bahkan sering bergaul dengan pemuka-pemuka agama setempat sebagaimana ia bergaul dengan sesama Muslim. Mereka saling menghormati tanpa ada sikap saling curiga, membenci apalagi mencerca.

Rasyid Ridha kecil sering memperhatikan sikap dan cara bergaul ayahnya tersebut. Berbagai sikap baik ayahnya terhadap penduduk desa membekas dan mengakar kuat pada diri Rasyid Ridha sehingga pada masa-masa perjuangan dakwahnya di kemudian hari, ia tidak pernah bersikap fanatik dan selalu menunjukkan sifat toleransi kepada umat agama lain.

Berkat contoh dari ayahnya tersebut, Muhammad Rasyid Ridha belajar untuk melihat kebaikan-kebaikan manusia secara obyektif tanpa memaksakan kebaikan berdasarkan versi-nya sendiri. Menurutnya, eksistensi umat beragama harus dibarengi dengan adanya toleransi dan kerjasama diantara mereka atas dasar keadilan dan kebaikan yang dibenarkan oleh agama agar keamanan serta kemakmuran sebuah negara bisa tercapai.

Perjalanan Intelektual dan Kehidupan Muhammad Rasyid Ridha

Ketika belia, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah madrasah tradisional di desanya (Qalamun) untuk belajar membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. Sejak kecil Rasyid Ridha dikenal berbeda dengan anak-anak seumurannya, karena ia lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar dan membaca daripada bermain seperti anak-anak biasanya.

Setelah menyelesaikan pembelajaran di sekolah tradisional Qalamun, Rasyid Ridha kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah nasional Islam (Madrasah al-Wathoniyah al-Islamiyah) di Tripoli. Di Sekolah ini, Rasyid Ridha mempelajari pengetahuan agama, bahasa Arab, ilmu-ilmu modern, bahasa Perancis dan Turki. Peristiwa ini terjadi ketika ia berumur kurang lebih 17 belas tahun.

Di tengah pendidikan Rasyid Ridha di sekolah nasional Islam, terjadi gejolak politik yang cukup besar di kota Tripoli. Akibatnya, beberapa sekolah dan lembaga keislaman ditutup, termasuk sekolah yang ditempati Rasyid Ridha. Ia kemudian pindah ke sebuah sekolah agama yang ada di kota Tripoli. Meskipun Rasyid Ridha telah berpindah sekolah, namun ia selalu menjaga hubungan baik dengan guru utama sekaligus pendiri sekolah nasional Islam, yakni Syekh Muhamamd Al-Jisr.

Syekh Al-Jisr adalah seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Beliau lah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam jiwa Rasyid Ridha muda. Berkat stimulan tersebut, Rasyid Ridha menjadi sangat concern terhadap gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya mengenai pendidikan dan pemikiran keislaman.

Selain menekuni pembelajaran di sekolahnya, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti perkembangan dunia Islam melalui majalah al-‘Urwah al-Wusqo. Majalah ini merupakan majalah yang diterbitkan di Paris oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada tahun 1884. Di dalamnya terdapat berbagai macam isu menarik mengenai pengetahuan dan pembaharuan.

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Dari majalah al-‘Urwa, Rasyid Ridha banyak menerima konsep pemahaman Islam yang segar. Semula ia melihat Islam hanya terbatas mengenai ajaran keimanan kepada Allah, namun berkat majalah al-‘Urwa, pandangannya terhadap ajaran Islam menjadi lebih luas dan bijaksana. Dari majalah tersebut juga Rasyid Ridha mengenal pembaharuan pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Bahkan dikatakan bahwa ia sangat mengagumi keduanya dan sangat ingin menjadi murid Jamaluddin al-Afghani.

Pada kenyataannya, keinginan Rasyid Ridha tidak bisa tercapai karena Jamaluddin al-Afghani wafat terlebih dahulu sebelum ia dapat menemui beliau. Namun ketika Muhamad Abduh dibuang ke Beirut Rasyid Rida berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengannya. Perjumpaan dan dialognya ini semakin memperkuat kesan dan semangatnya untuk mengikuti arus pemikiran pembaharuan melalui Muhamad Abduh yang kemudian menjadi guru utamanya.

Menurut Harun Nasution, Rasyid Ridha mencoba menjalankan ide-ide pembaruan dari al-Afghani dan Muhammad Abduh di Suriah, tetapi usahanya tersebut menabrak “dinding kokoh” kerajaan Usmani dan gagal. Kemudian pada bulan Januari 1898 Rasyid Ridha pindah ke Mesir agar bisa berdekatan dengan gurunya Muhammad Abduh sekaligus untuk mengembangkan pemikiran pembaruannya.

Pada tahun 1898 juga Rasyid Ridha berkeinginan menerbitkan majalah untuk meneruskan perjuangan pembaharuan al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dengan bemodal dukungan Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah dan menamainya dengan Al-Manar. Majalah ini mempunyai haluan dan tujuan yang serupa dengan al-Urwah al-Wusqo. Selain memuat ide-ide pembaharuan secara umum, majalah ini juga secara langsung banyak memuat tulisan Muhamad Abduh.

Rasyid Ridha kemudian menyarankan agar gurunya menulis tafsir Al-Quran modern yang mendukung kerangka pikiran pembaharuan. Gagasan ini awalnya tidak ditanggapi dengan serius oleh Abduh, namun karena Rasyid Ridha terus mendesaknya, akhirnya pada tahun 1899 Abduh setuju untuk memberikan kuliah tafsir Al-Quran di Al-Azhar. Hasil kuliah tersebut lalu disusun oleh Ridha di bawah arahan gurunya dan diterbitkan di Al-Manar.

Dengan cara inilah kemudian Tafsir al-Manar tercipta. Sebagaimana diketahui, setelah gurunya wafat, Rasyid Rida meneruskan karya penafsiran tersebut yang dimulai dari surat An-Nisa ayat 126, karena Muhamad Abduh hingga wafatnya hanya berhasil menafsirkan Al-Quran sampai ayat 125 dari surat An-Nisa. Rasyid Rida seorang pembaharuan asal Libanon ini wafat pada Agustus 1935 M. Wallahu a’lam.

3 Mufassir Populer Dengan Pendekatan Maqashidinya

0
mufassir pendekatan maqasid
mufassir pendekatan maqasid

Embrio tafsir maqashidi sejatinya sudah ada sejak zaman Sahabat. Misalnya, Umar ra. pernah menerapkan pendekatan ini pada suatu kasus pencurian yang dilakukan orang miskin dengan tidak menjatuhkan hukum potong tangan atas dasar kemaslahatan. Tetapi, dalam bentuk yang lebih mapan, setidaknya terdapat 3 mufassir yang representatif dalam menerapkan pendekatan maqashidi dalam tafsirnya. Mereka bertiga ialah; Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha dengan Tafsir al-Manarnya, dan Muhammad Thahir bin ‘Asyur dengan Tafsir at-Tahrir wat Tanwir.


Baca juga: Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama


Berikut 3 Mufassir dengan Pendekatan Maqasidnya: 

Manfaat, dasar penafsiran ‘Abduh

Seorang mufassir sekaligus refirormis Mesir awal abad 19 M ini menjadikan manfaat sebagai dasar untuk menafsirkan Al Quran. Manfaat yang menjadi titik pertimbangan ini memiliki beberapa bentuk, berupa maslahat (maslahat mursalah), istishab (melanggengkan hukum yang sudah ada sampai ada indikasi untuk menegasikannya), dan istihsan (mendahulukan hukum minoritas atas hukum mayoritas, karena pertimbangan kemanfaatan).

Tiga terminologi ini menjadi bagian dari kinerja akal, yang mana dalam proses pencapainnya, memerlukan peran maqasid sebagai pertimbangan manfaat yang hendak dicapai. Kendatipun demikian, pemikiran rasional yang dilakukan ‘Abduh ini tidak membuatnya berat sebelah dalam menakar pemikirannya atas Al Quran. Ia sangat hati-hati dalam menginventarisir manfaat agar tidak berbenturan dengan Al Quran.

Kinerja istihsan dan istishlah yang dilakukan ‘Abduh adalah suatu bentuk aplikasi maqashidus syariah dalam menafsirkan ayat. Dengan kedua cara ini, Pesan Al Quran akan dapat tersampaikan kepada manusia dengan lebih mendekati objektif, sehingga mudah diterima dan dipraktikkan.

Salah satu karakter pendekatan maqashidi ‘Abduh ada pada jangkauannya yang belum menyentuh aspek akidah.  Menurut Kusmana dalam Epistemologi Tafsir Maqashidi, ‘Abduh memberikan ruang yang dinamis untuk akal dalam merumuskan syariat yang selalu berkembang. Tetapi, dalam bidang akidah, ia menjadikannya sebagai sesuatu yang tetap, tidak bisa diubah.


Baca juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat


Mashlahat dan Tujuh cara perumusannnya ala Rasyid Rida

Kemudian mufassir dengan pendekatan maqasid selanjutnya ialah Rasyid Rida, ia juga mewarnai penafsirannya atas Al Quran dengan corak maqashidi. Dalam al-Wahyul Muhammady-nya, Rida menformulasikan maslahat yang menjadi basis penafsirannya atas tujuh pertimbangan.

Pertama, penelusuran bentuk murni Islam dalam Al Quran, hadis, dan konsensus para sahabat.

Kedua, Memposisikan Al Quran sebagai tendensi utama Islam.

Ketiga, Hadis Nabi yang berkaitan dengan ‘ubudiyyah bersifat statis, sedangkan yang lainnya bersifat dinamis.

Keempat, sebagai konsekuensi dari persoalan mengenai ibadah, maka Tuhan telah  menyempurnakannya, sehingga tidak boleh diubah sampai kapanpun. Sedangkan muamalat, Tuhan hanya menyebutkan prinsip-prinsip dasarnya, sehingga manusia harus selalu mengembangkan sendiri, sesuai dengan dinamika zaman.

Kelima, mengutamakan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan duniawi.

Keenam, Sekularisasi Hukum Islam tidak dilegalkan karena prinsip universalitasnya bagi setiap adat dan tradisi.

Ketujuh, konsensus selain sahabat tidak dapat dijadikan landasan, karena cenderung salah dalam menyimpulkan hukum.

Tujuh pertimbangan ini, ia tawarkan untuk merumuskan syariat yang moderat, di tengah ekstemitas pemikir tradisionalis dan sekularis.

Selain tabik dengan gurunya. Rida berhasil memproduksi pemahamannya sendiri tentang maqashidul Quran (tujuan-tujuan Al Quran). Setidaknya, ada 10 poin yang ia rumuskan dalam al-Wahyul Muhammadi. 10 maqashid itu antara lain; Islam itu agama suci, rasional, penuh hikmah, bebas, setara dan merdeka.

Rasyid Ridha dan Muhammad ‘Abduh merupakan murid dan guru yang berkolaborasi menyusun tafsir Al-Manar. Salah satu tafsir pendobrak kejumudan pemikiran keagamaan masyarakat Mesir kala itu. Sekaligus tafsir yang menperkenalkan Al Quran sebagai kitab petunjuk (the book of guidance).


Baca juga: Tafsir Ahkam: Shalat, Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?


Dinamisasi fitur Maqashid oleh Ibnu ‘Asyur

Muhammad Thahir bin ‘Asyur atau yang biasa dipanggil Ibnu ‘Asyur merupakan pakar Maqashid kontemporer asal Tunisia juga sebagai mufaasir dengan pendekatan maqasid. Ia ialah tokoh yang menginisiasi maqashidul ‘ammah (maqashid universal) dan maqashidul khassah (maqashid parsial). Ia juga yang membebaskan maqashid dari ushul fiqh, sehingga bisa beridiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang mandiri.

Yang menonjol dari pendekatan maqashidi Ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan Al Quran ialah fitur-fitur yang ia kembangkan. Berdasarkan Maqashidus Syari’ah al-Islamiyyah, karyanya tentang teori maqashid, terdapat beberapa fitur yang selaras dengan zaman sekarang. Fitur itu antara lain; kesetaraan (al-musawah), universalitas ajaran Islam (‘umumus syariatil Islam), toleransi (as-Samahah), fitrah, dan masih banyak lagi.

Fitur-fitur moderat inilah yang membuat Ibnu ‘Asyur berbeda dengan pemikir sebelumnnya. Selain juga karena ia memasukkan logika dan filsafat ke dalam kerangka Pikiran. Menurut Balqasim Ghali dalam Syaikhul Jami’il A’dzam Muhammad Thahir bin ‘Asyur: Hayatuhu wa Atsaruhu, Ibnu ‘Asyur merekonstruksi logika tradisional demi fleksibilitasnya dengan dinamika zaman.

Aplikasi pendekatan maqashid dalam penafsiran Ibnu ‘Asyur adalah dengan meletakkan tujuan tafsir sebagai perbaikan bagi manusia, baik dari sudut peradabannya, sosial, ataupun individu.

Caranya, dengan mencari makna yang tepat dan dapat memberi petunjuk bagi akal yang baru. Pendekatan ini ia dedikasikan dalam rangka mengungkap hikmah, ‘illat, dan makna teks, yang sesuai dengan tujuan pembuat syariat dengan metode deduktif (kebahasaan) dan induktif (penelusuran relevansi teks dengan konteks).

Mufassir dengan pendekatan maqashidi ala Ibnu ‘Asyur ini dapat kita telusuri dari karya tafsirnya, at-Tahrir wat Tanwir. Meskipun tafsirnya menggunakan metode tahlili (sesuai tertib surat dan kompleks), Ibnu ‘Asyur cukup jeli menganalisis maqashid di tiap ayat-ayat yang ia tafsirkan.

Mufassir dengan pendekatan maqasid yang telah disebutkan, baik ‘Abduh, Ridha, mapun Ibnu ‘Asyur, sebenarnya belum sepenuhnya menerapkan pendekatan ini di seluruh bagian Al Quran. Mereka sepakat tidak mengulik ayat-ayat tentang akidah. Ini menunjukkan upaya yang telah dilakukan mereka belum mencapai final. Karena berdasarkan prinsip awal, bahwa Al Quran, seluruhnya pasti memiliki tujuan penurunan. Wallahu a’lam []

Kekhasan Al-Quran Sebagai Mukjizat Bagi Nabi Muhammad Saw

0
Al-Quran Sebagai Mukjizat
Al-Quran Sebagai Mukjizat credit: sotor.com

Al-Quran sebagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw sangat berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang lain yang diberikan kepada nabi-nabi yang lain. Mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi yang lain, hanya berlaku sesaat, atau sekali saja pada saat nabi-nabi itu hidup, tidak akan berlaku sesudah nabi-nabi itu meninggal.

Tongkat Nabi Musa sebagai mukjizat hanya berlangsung sekali pada saat Nabi Musa menghadapi tantangan dari kaumnya yang melemparkan potongan-potongan tali yang kemudian menjadi ular. Saat itu Allah memerintahkan kepada Nabi Musa untuk melempar tongkat yang ada di tangannya. Tongkatnya itu menjadi ular raksasa, yang kemudian melahap semua ular yang dilemparkan tukang-tukang sihir ketika itu. Mukjizat ini bukan dari Allah, tetapi diberikan oleh Allah.

Menghidupkan orang mati sebagai mukjizat Nabi Isa hanya diberikan sekali saja kepadanya, dan tidak akan terjadi lagi sesudah Nabi Isa wafat. Mukjizatnya diberikan oleh Allah kepadanya untuk menandingi kelebihan dan kemampuan kaumnya yang dapat mengobati segala penyakit. Mukjizat ini bukan dari datang dari Allah, tetapi diberikan oleh Allah.

Mukjizat Nabi Ibrahim adalah badannya tidak terbakar ketika dilemparkan masuk ke dalam api oleh kaum kafir. Allah Swt memberikan kekuatan pada badan Nabi Ibrahim lebih dari kekuatan api yang membakar. Badan Nabi Ibrahim tidak dapat dibakar oleh api. Api tidak sanggup membakar badan Nabi Ibrahim. Api, ketika itu, dicabut kekutan membakarnya oleh Allah sehingga api tidak dapat membakar Nabi Ibrahim. Kekuatan Nabi Ibrahim ini hanya berlaku pada saat itu. Sesudah itu, api tetap bisa membakar siapa pun.


Baca Juga: Kemukjizatan Al-Quran: Pengertian dan Tanda-Tandanya


Berbeda dengan mukjizat-mukjizat di atas, Al-Quran sebagai mukjizat Nabi Muhammad memiliki kekhasan yang sangat berbeda. Paling tidak, menurut ulama, ada dua hal yang membuat Al-Qur’an berbeda dengan mukjizat nabi-nabi yang lain:

Pertama, Al-Quran adalah mukjizat yang langsung datang dari Allah, karena Al-Qur’an adalah firman-firman Allah Yang Maha Suci. Firman-firman-Nya itu diberikan kepada Nabi Muhammad saw sebagai mukjizatnya.

Kedua, Al-Qur’an sebagai mukjizat tidak hanya berlaku sesaat, dan hanya pada masa hiduopnya Rasulullah saw, tetapi mukjizat ini akan berlangsung sepanjang masa, mulai dari masa awal turunnya hingga akhir zaman. Mukjizat Al-Quran akan berlangsung sepanjang maza. Tidak mungkian ada satu pun manusia yang dapat menandingi dan menyainginya.

Dengan penjelasan ini, semoga wawasan dan kecintaan kita terhadap Al-Quran semakin bertambah. Wallahu A’lam

Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat

0
tafsir maqashidi
tafsir maqashidi

Tafsir maqashidi merupakan pendekatan penafsiran Al Quran yang diadopsi dari disiplin ilmu Ushul Fiqh. Tapi, ternyata pendekatan ini tidak hanya dapat diterapkan pada ayat hukum (legal formal). Seluruh bagian Al Quran bisa dipahami melalui pendekatan ini.

Al Quran adalah satu kesatuan

Menurut At-Turabi dalam At-Tafsir At-Tawhidi, pendekatan maqashidi meniscayakan sebuah kesimpulan bahwa seluruh bagian Al Quran adalah satu kesatuan yang menyatu. Dengan menjadikan nilai substansial suatu ayat sebagai basis, pendekatan ini bisa menjangkau ayat-ayat kisah, hari akhir, dan alam semesta.

Bila seseorang memahami Al Quran dari sisi substansinya, iya akan menemukan nilai moral atau pesan di balik penurutannya. Sehingga, ia tidak lagi melihat teks dari sisi luarnya saja, dengan analisis hukum misalnya (ketika yang dibicarakan ayat hukum). Tapi lebih menekankan pada nilai substansinya. Karena itulah, pendekatan ini mampu diaplikasikan pada semua bagian Al Quran. Karena Al Quran secara keseluruhan memuat tujuan penurunannya.

Nilai substansial sebagai basis penafsiran

Pendekatan tafsir maqashidi mengacu pada nilai-nilai substansial suatu ayat. Dalam At-Tafsirul Maqashidi li Suwaril Qur’anil Karim, washfi Asyur Abu Zaid mengistilahkan nilai substansial ini dengan al-ghayah (tujuan) dan al-ma’ani (makna-makna) dalam Al Quran. Ia menyebutkan:

لون من ألوان التفسير الذي يبحث في الكشف عن المعاني والغايات التي يدور حولها القرآن الكريم كليا أوجزئيا مع بيان كيفية الإفادة منها في تحقيق مصلحة العباد

Corak penafsiran yang berorientasi pada pengungkapan makna dan tujuan dalam Al Quran, baik yang berlaku secara universal maupun parsial. Serta menjelaskan upaya realisasi kemaslahatan umat di dalamnya.


Baca juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran Versi Ibnu ‘Asyur


Ungkapan Washfi Asyur di atas merupakan pengertian dari tafsir maqashidi. Ia menekankan untuk mengungkap makna dan tujuan Al Quran, sebagai jalan utama mewujudkan kemaslahatanan umat. Upaya pengungkapan tujuan (maqashid/nilai universal) ini diambil karena selalu selaras dengan kemaslahatan.

Maslahat selaras dengan nilai universal Al Quran

Maslahat yang menjadi tujuan dari pendekatan tafsir maqashidi selaras dengan nilai-nilai universal yang terkandung dalam Al Quran. Ibnu ‘Asyur dalam Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah-nya merumuskan isi kandungan Al Quran dalam beberapa nilai universal. Di antaranya, toleransi (As-Samahah) dari Surat Al-Baqarah ayat 143 & 185, dan Al-Hajj ayat 75; Universalitas Ajaran Islam (‘Umumus Syariatil Islam) dari Surat Al-A’raf ayat 158 dan Saba’ ayat 28; kesetaraan (Al-Musawah) dari Surat An-Nahl ayat 97 dan Adz-dzariyat ayat 56.

Nilai-nilai yang berlaku secara universal ini berarti menjadi ruh dari seluruh elemen Al Quran, baik yang berhubungan dengan keimanan, persoalan legal formal, kisah, dan lain sebagaianya. Itulah mengapa pendekatan tafsir maqashidi applicable dengan Al Quran secara keseluruhan.

Sepakat dengan Ibnu ‘Asyur, Jasser ‘Audah dalam Maqashid As Shari’ah as Philoshophy of Islamic Law dan Abdul Mustaqim dalam Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqasidi Sebagai Basis Moderasi Islam, mengakui kelayakan pendekatan ini untuk menafsirkan Al Quran seluruhnya.


Baca juga: Tafsir Surat Shad Ayat 29: Memahami Tujuan Diturunkannya Al Quran


Pendapat dua tokoh ini berdiri atas argumen tafsir maqashidi sebagai sebuah falsafah tafsir. Al Quran yang shalih likulli zaman wa makan (relevan kapanpun dan di mana pun), meniscayakan dirinya harus selalu hidup dengan jalan selaras dengan konteks yang berkembang. Dan tafsir maqashidi inilah yang menjadi salah satu ikhtiar agar dapat melestarikan keselarasan itu. Karena, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tafsir maqashidi bertujuan menciptakan kemaslahatan yang merupakan penentu suatu ajaran bisa diterima oleh manusia atau tidak.

Lebih lanjut, kedua tokoh ini juga meyakini bahwa pendekatan maqashidi bisa diterapkan pada selain ayat-ayat hukum, kendati bermuasal dari ilmu Ushul Fiqh. Menurut mereka, seluruh Al Quran bisa digali maknanya menggunakan tafsir maqashidi, karena Al Quran selalu memiliki nilai moral atau tujuan penurunannya. Maka, tidaklah berlebihan bila pendekatan ini dinilai sebagai pendekatan yang applicable untuk semua ayat. Wallahu A’lam

Inilah Keutamaan dan Manfaat Buah dalam Al Quran

0
keutamaan dan manfaat buah
keutamaan dan manfaat buah

Di dalam Al Quran, banyak ayat yang membahas mengenai buah-buahan. Penjelasan dari ayat-ayat ini tentu mengandung keutamaan dan makna yang harus diperhatikan oleh manusia. Buah sendiri memiliki berbagai macam jenis dan manfaat yang baik bagi kesehatan tubuh. Terdapat beberapa buah yang disebutkan oleh Allah swt dalam Al Quran, di antaranya buah tin, zaitun, delima, anggur, dan kurma.

Ada yang berpendapat bahwa buah yang namanya disebutkan dalam Al Quran disinyalir merupakan buah yang juga tumbuh di dalam surga. Sehingga banyak para ilmuwan meneliti seberapa utama dan manfaat yang dikandung buah-buahan tersebut daripada buah yang tidak disebutkan dalam Al Quran. Setidaknya ada enam jenis buah yang disebutkan dalam Al Quran, sebagaimana berikut.

Buah Anggur (vitis vinifera L)

Dalam Al Quran, buah anggur disebutkan sebanyak 14 kali. Satu di antaranya adalah dalam ayat berikut.

يُنۢبِتُ لَكُم بِهِ ٱلزَّرْعَ وَٱلزَّيْتُونَ وَٱلنَّخِيلَ وَٱلْأَعْنَٰبَ وَمِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. an-Nahl [16]: 11)

Salah satu manfaat dari buah anggur adalah dapat memberikan efek bagi daya ingat, termasuk perlindungan terhadap penyakit Alzheimer (Hasil penelitian oleh Dr. Daniel Silverman, University of California)

Baca juga: Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran

Buah Tin (ficus carica L)

Nama “tin” terambil dari bahasa Arab juga dikenal dengan nama “Ara” (buah Ara/pohon Ara). Buah tin yang disebutkan dalam Al Quran dapat kita temukan pada surat at-Tin sebagaimana berikut,

وَالتِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.”(Q.S. at-Tin [95]: 1)

Dalam Tafsir al–Munir dijelaskan bahwa Allah swt mengkhususkan buah Tin di antara buah-buah yang lain untuk dijadikan sebagai simbol qasam (sumpah), karena Tin adalah buah yang baik dan dapat dimakan tanpa sisa. Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam Zădul Ma’ad, mengutip cerita dari sebuah hadits,

“Disebutkan dari Abu Darda’, Nabi Saw, pernah diberi sepiring buah Tin. Kemudian beliau bersabda, ‘silahkan kalian makan!’ maka beliau juga ikut memakan sebagian diantaranya. Lalu beliau bersabda, ‘ sekiranya aku boleh mengatakan bahwa ada buah-buahan yang diturunkan dari surga, tentu kukatakan inilah dia. Sebab buah-buahan surga tidak mempunyai biji. Makanlah buah ini, karena ia dapat menyembuhkan wasir…”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Buah Zaitun (Olea europaea L)

Selain pada surat at-Tin, keutamaan buah Zaitun juga disebutkan dalam ayat lain, seperti di bawah ini,

يُنۢبِتُ لَكُم بِهِ ٱلزَّرْعَ وَٱلزَّيْتُونَ وَٱلنَّخِيلَ وَٱلْأَعْنَٰبَ وَمِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. an-Nahl [16]: 11)

Dalam bahasa Arab buah ini dikenal dengan sebutan Zaitŭn, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Olive, karena dapat diolah dan diekstrak menjadi minyak sehingga menghasilkan olive oil yang berarti minyak Zaitun. Para ulama banyak menyebutkan tentang keutamaan minyak zaitun di mana salah satunya adalah berkhasiat untuk mencegah penyakit kanker.

Buah Pisang (Musa paradisiaca)

Buah ini bahkan pernah disebutkan ciri-cirinya dalam Al Quran, seperti dalam potongan ayat berikut,

وَطَلْحٍ مَمْضوْدٍ

“dan pohon pisang yang (buahnya) bersusun-susun” (Q.S. al-Waqiah [56]: 29)

Ibnu Hatim mengutip keterangan dari para sahabat bahwa penduduk Yaman menamakan pisang dengan sebutan Talh. Menurut Prof. Ayle Baysal dalam karyanya Beslenme mengatakan, buah pisang bermanfaat mampu menurunkan tekanan darah dan dapat berguna sebagai obat penyembuh beragam alergi.

Baca juga: Keutamaan Surat Yasin dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

Buah Delima (Punica granatum L)

Dalam Al Quran Allah swt, berfirman.

فِيْهِمَا فَا كِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ

“didalam keduanya (terdapat berbagai) buah-buahan dan kurma serta delima”(Q.S. ar-Rahman [55]: 68)

Juga disebutkan dalam surat al-An’am, Allah swt berfirman,

وَهُوَ الَّذِيْ أًنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْئٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۗ اُنْظُرُوْآ اِلٰى ثَمَرِهٖ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ ۚ إِنَّ فِيْ ذٰلِكُمْ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Al-An’Am: 99)

Dari sekian banyak manfaat buah Delima, al-Harb meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: “Makanlah buah delima dan bagian dagingnya sekaligus, karena buah ini berfungsi membersihkan lambung”

Buah Kurma (Phoenix dactylifera L)

Buah ini disebutkan dalam Al Quran, Allah swt berfirman,

وَهُزِّيْٓ اِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ۖ

“ dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”(QS. Maryam:25)

Baca juga: Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas

Ayat diatas berhubungan dengan kisah persalinan Maryam, saat melahirkan Nabi Isa a.s. Ketika diteliti dalam ilmu kedokteran, ternyata kurma mengandung 50% gula. Pada saat seorang ibu melahirkan, pasti mengeluarkan banyak darah dimana dengan sendirinya gula darah akan menurun. Sehingga buah kurma menjadi makanan yang tepat untuk dikonsumsi oleh seorang ibu selepas persalinan, agar kadar gula darah yang ada dalam tubuhnya dapat kembali normal seperti semula.

Ibnu Qayyim juga menjelaskan bahwa kurma merupakan salah satu jenis obat-obatan yang digunakan oleh Nabi Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan Rasulullah saw bersabda,

“Barangsiapa yang sarapan dengan tujuh Tamr (kurma kering) maka dia akan terbebas dari racun dan sihir (yang menimpa) pada hari itu”

Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Al Quran juga menjelaskan rahasia dan manfaat terhadap apa yang dikandung buah-buahan. Tidak semua buah disebutkan dalam Al Quran. Akan tetapi, dengan adanya sejumlah buah yang disebutkan oleh Al Quran menyebabkan penelitian secara panjang lebar dalam dunia pengetahuan sains.

Hal ini menandakan adanya keutamaan dan rahasia yang tersimpan dari buah-buahan tersebut. Apapun jenis buah yang ada di dunia ini, tidak akan menandingi besarnya manfaat kandungan buah yang pernah disebutkan dalam Al Quran.

Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

0
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh Islam yang tersohor di Abad modern. Ia dikenal sebagai seorang reformer yang menggaungkan pembaharuan pemikiran rasional lewat karya masterpiece-nya risalah al-tauhid. Selain itu, ia juga seorang aktivis penggerak yang selalu memompa semangat nasionalisme Arab. Syekh Muhammad Abduh berkeinginan untuk membongkar “tembok kejumudan” dengan membuka lebar-lebar pintu ijtihad dalam rangka mengorkestrasi ajaran teologi Islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern.

Secara nasab Ia adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nasr di al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah adalah keturunan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, Junainah binti Uthman al-Kabir merupakan silsilah keturunan pemimpin besar Islam, yaitu Umar bin Khattab. Kedua tuanya tersebut adalah pemeluk agama yang taat pada ajaran Islam, sehingga mereka mendidik Muhammad Abduh dengan ajaran Islam yang ketat.

Sebelum kelahirannya, kedua orang tua Abduh sering berpindah tempat tinggal. Bahkan, dalam jangka satu tahun mereka bisa berpindah kediaman berkali-kali. Hal ini disebabkan karena penguasa-penguasa pada akhir masa pemerintahan Muhammad Ali (1805-1849) mengumpulkan pajak dari penduduk desa secara massif. Akibatnya, banyak petani-petani selalu pindah tempat untuk menghindari beratnya beban pajak yang diwajibkan pemerintah terhadap mereka.

Pada suatu hari, orang tua Muhammad Abduh membeli sebidang tanah di desa Nasr untuk digarap sebagai lahan pertanian. Kemudian mereka memilih tinggal dan menetap di desa tersebut. Di tempat inilah Ia diasuh dan dibesarkan oleh orangtuanya. Kendati tidak memiliki latar pendidikan sekolah, namun dengan kepribadian mereka yang saleh dan taat, keduanya mampu mengantarkan putranya menjadi sosok pemuda dewasa dan cerdas.

Perjalanan Intelektual

Sejak belia sosok Abduh muda sudah diajari tulis menulis oleh kedua orang tuanya. Ia mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia 12 tahun. Ketika berumur 13 tahun Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di masjid Ahmadi. Bagi masyarakat Mesir, masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi pembelajaran Al-Qur’an dan hafalan.

Metode pembelajaran di masjid Ahmadi didominasi oleh hafalan, baik berupa hafalan teks keagamaan (Al-Qur’an dan al-Hadis) maupun ulasan-ulasan terkait di dalamnya. Hal ini kemudian membuat Muhammad Abduh tidak puas dan merasa frustrasi. Menurutnya, metode ini tidak memberi ruang yang luas bagi murid untuk memahami persoalan secara mendalam dan kritis. Alhasil, Abduh meninggalkan masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis.

Kemudian setelah beberapa waktu, Muhammad Abduh bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari beliau Abduh mempelajari disiplin ilmu etika, moral dan praktiknya dalam tarekat. Berkat gurunya tersebut, Abduh kembali bersemangat untuk meneruskan pendidikannya lagi dan memasuki pusat kajian keislaman terbesar pada waktu itu, yakni Universitas Al-Azhar Mesir.

Ketika memasuki tahun ke-4 pendidikannya di al-Azhar, Ia kembali merasa kecewa dengan metode pembelajaran yang ada, yakni hafalan. Menurutnya, metode ini adalah metode pembelajaran yang kolot dan tidak dapat merangsang mahasiswa untuk berfikir kritis sebagaimana pengalaman yang pernah dialami Abduh di Tanta dahulu. Pengalaman-pengalaman historis tersebut kemudian membangunkan pikiran-pikiran reformatifnya.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Pada tahun 1871, Abduh menjadi murid Jamaluddin Al-Afghani yang terkenal rasional. Melalui Jamaluddin Al-Afghani, Abduh mempelajari dan mendalami pengetahuan-filsafat, matematika, teologi, politik dan jurnalistik. Pada saat itu, teologi dan filsafat dianggap dan disamakan dengan bid’ah. Oleh karenanya, Muhammad Abduh minta izin kepada Syaikh Darwisy dan beliau mengizinkan. Menurut beliau filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan terbaik untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Al-Azhar, Muhammad Abduh mengajar di Al-Azhar, Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857. Kesempatan ini dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah pendidikan nasional.

Pada akhir tahun 1882, Ia diasingkan ke Beirut kemudian ke Paris karena turut serta memainkan peran penting dalam revolusi Urabi Pasya. Tindakan ini dianggap berbahaya dan mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Abduh baru bisa kembali ke Mesir pada tahun 1888 setelah pergolakan politik mulai surut. Kemudian ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun 1889 ia diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini berlangsung sampai ia meninggal dunia pada tahun 1905.

Muhammad Abduh meninggalkan banyak karya tulis yang sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar dan majalah. Ada beberapa buku yang pernah ditulisnya, yaitu: Durus Min Al-Qur’an, Risalah al-Tauhid, Hasyiyah ‘Ala Syarh al-Dawani Li al-Aqaid al-Adudiyah, al-Islam Wa al-Nashrinayah Ma’a al-Ilmi al-Madaniyah, Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juzz Amma, dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.

Tafsir Al-Manar terdiri dari 12 jilid, mulai dari surah Yusuf ayat ke-52. Meskipun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya. Karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dimuatnya ini kepada Abduh dan beliau terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.

Tafsir Al-Manar mencitrakan dirinya sebagai kitab tafsir pertama yang menggunakan pendekatan adabi ijtima’i. Itu juga menjadi salah satu kitab tafsir utama yang menghimpun riwayat-riwayat sahih dan pandangan akal dalam menjelaskan hikmah syariat serta sunatullah terhadap manusia, serta menjelaskan fungis Al-Qur’an sebagai kitab hidayah (petunjuk) untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tafsir ini menghindari istilah-istilah kompleks dan mengubahnya menjadi istilah yang lebih mudah dipahami orang-orang awam. Wallahu a’lam.

Makna Kata ‘afwan, Istilah yang Sering Disebut Dalam Do’a Al Quran

0
makna kata al-'afwu
makna kata al-'afwu

Kata ‘afwan kerap diartikan sebagai permohonan maaf dari seseorang karena melakukan kesalahan. Begitu juga, ‘afwan sering digunakan saat merespons ucapan syukran (terimakasih) dari seseorang. Di sisi lain, kata al-‘afwu yang merupakan derivasi ‘afwan sering ditemukan dalam do’a Al Quran. Lalu, bagaimana makna kata ‘afwan dalam Al Quran? Simak penjelasannya berikut ini!


Baca juga: Makna Insyaallah dan Biidznillah Sama atau Beda? Ini Penjelasannya!


Makna ‘Afwan dan ‘Afiyah: Menjauhkan dari Hal Negatif

Kata ‘afwan diambil dari bahasa Arab ‘afa-ya’fu-‘afwan. Kata ini terbentuk atas tiga huruf yaitu ‘ain, fa’, dan waw. Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, istilah ‘afwan memiliki dua makna dasar. Pertama, meninggalkan sesuatu dan yang kedua, dimaknai dengan meminta. Dari dua makna tersebut, lahir dan berkembang dengan beragam makna.

Dalam konteksnya, kata ‘afa ialah sesuatu yang tadinya ada kemudian ia menjadi lapuk karena terpengaruhi oleh jauhnya perjalanan masa. Dalam arti ia telah meninggalkan keasliannya bahkan telah dihapusnya. Quraish Shihab mengulas konteks ini dengan sederhana. Ia mengutarakan bahwa memaafkan orang yang telah bersalah adalah meninggalkan sebuah tuntutan hidup. Tak hanya itu, ia pun berusaha untuk menghilangkan kecaman atasnya serta menghapus segala bekas luka yang ada di hatinya.

Selanjutnya, ‘afwan  dikaitkan dengan kata al‘afiyah. Yang dimaksud dengan al‘afiyah ialah kondisi yang bisa menjauhkan diri dari perilaku negatif. Berkat kehadirannya, segala yang negatif akan meninggalkannya. Ada banyak redaksi doa yang menggunakan kata al‘afiyah, yang manfaatnya adalah terhindar atau ditinggalkan dari sesuatu yang negatif.  Salah satunya terdapat dalam kitab Mushnaf bin Abi Syaibah, yang ditulis oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah:

 عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ، قَالَ: مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ ثَلَاثًا: اللَّهُمَّ إِنِّي أَمْسَيْتُ أَشْهَدُ، وَإِذَاأَصْبَحَ قَالَ: اللَّهُمَّ أَصْبَحْتُ أَشْهَدُ أَنَّهُ مَا أَصْبَحَ بِنَا مِنْ عَافِيَةٍ وَنِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ، لَمْ يُسْأَلْ عَنْ نِعْمَةٍ كَانَتْ فِي لَيْلَتِهِ تِلْكَ وَلَا يَوْمِهِ إِلَّا قَدْ أَدَّى شُكْرَهَا 

“diriwayatkan dari Bukair bin al-Akhnas, ia berkata: (ketika ia di penghujung sore atau di pagi hari, maka berdoalah dengan doa ini sebanyak tiga kali: yaa Allah, aku sudah melewati  hari soreku, maka aku bersaksi. Dan jika pagi hari “yaa Allah, di pagiku ini aku bersaksi bahwa sesungguhnya pagi yang telah kami rasakan ada dalam keadaan baik (positif) dan dianugerahu kenikmatan, dan hanya kepadamu seorang tidak ada yang menyekutukan engkau, kepadamu segala pujian, tidak patut untuk dipertanyakan nikmat di malam dan harinya kecuali kesyukurannya telah ditunaikan.”


Baca juga: Mengulik Makna Silaturahim dan Manfaatnya


Beragam Makna ‘Afwan dalam Al Quran

Ada tiga surat dalam Al Quran diantaranya yang menjelaskan tentang kata ‘afwan dalam beberapa redaksi kata yang berbeda. Diantaranya QS. Al-Baqarah (2): 219, QS. Al-A’raf (7):199, dan Aurat Al-Insan (76): 9.

  1. Al-Baqarah (2): 219, kata al‘afwu menjelaskan tentang kadar harta yang disedekahkan.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَ يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ 

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, namun dosanya lebih besar ketimbang manfaatnya. Dan mereka menanyakan kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan. Maka katakanlah “kelebihan (dari apa yang diperlukan)”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berfikir.”

Ayat ini menjelaskan tentang sesuatu yang berlebih (al-‘afwu) sangat wajar jika diberikan kepada pihak lain. Dalam arti, kata al-‘afwu disini menjawab pertanyaan tentang apa dan sebesar apa kiranya kadar yang harus disedekahkan. Oleh karena itu, kata al‘afwu tersebut mengandung makna kemudahan. Karena ia diartikan sebagai sesuatu yang berlebih, banyak kemudahan, dan tidak sulit untuk dikeluarkan.

  1. Al-A’raf (7): 199, kata al-‘afwu dipahami sebagai menerima semua anugerah yang ada.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan perintahkan untuk mengerjalan kebaikan, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”.

Kata al-‘afwu disini dipahami sebagai perintah untuk menerima semua anugerah Allah dan manusia tanpa adanya susah payah atau menyulitkan diri sendiri. Dengan kata lain, ia mampu mengambil yang mudah atau ringan dari semua tingkah manusia. Ia bisa menerima dengan tulus apa yang mudah untuk dilakukan, dan jangan sekali-kali menuntut kesempurnaan dari manusia, karena itu akan memberatkan mereka.

  1. Al-Insan (76): 9, kata al-‘afwu dipahami sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan balasan.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih darimu.”

Quraish Shihab mengutip ayat ini sebagai bukti bahwa kata ‘afwan selain diartikan sebagai permohonan maaf atau perlindungan, ia juga serupa dengan makna “terimakasih kembali”. Bahkan, menurut Shihab, makna al-‘afwu disini bermakna meninggalkan. Beliau melanjutkan, bahwa di daerah kampung halamannya, Sulawesi Selatan, ada yang menjawab ucapan terimakasih dengan kalimat “ambil saja terimakasihnya”. Dalam arti lain, tinggalkan ucapan itu, karena ia tidak membutuhkan ucapkan kata terimakasih atau syukur.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 56: Selawat adalah Bentuk Terima kasih


Hal ini selaras dengan respon “jazakallahu khairan katsiran (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan yang banyak)”. Di satu sisi, ia merupakan doa, dan disisi lain ia menggambarkan bahwa yang bersangkutan tidak perlu membalas kebaikan dari sisinya, karena ia berdoa agar Allah memberi balasan yang banyak. Wallahul muwafiq ila maa yuhib wa yardha.