Beranda blog Halaman 522

Ngaji Gus Baha’: Bisakah Manusia Berdialog dengan Hewan dan Tanah?

0
berdialog dengan hewan
berdialog dengan hewan

Bisakah manusia berdialog dengan hewan dan tanah?. Berikut penjelesan yang telah disinggung Kyai Ahmad Bahauddin Nursalim, dalam pengajiannya bersama santri Gayeng. Tokoh yang biasa disapa Gus Baha’ ini menjelaskan Tafsir surat Al-Furqan ayat 17 tentang cara manusia berdialog dengan tanah hewan dan makhluk lainnya. 

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَقُولُ أَأَنْتُمْ أَضْلَلْتُمْ عِبَادِي هَؤُلَاءِ أَمْ هُمْ ضَلُّوا السَّبِيلَ

“Dan ingatlah pada hari ketika Allah mengumpulkan mereka bersama apa yang mereka sembah selain Allah. Lalu dia berfirman (kepada yang disembah)Apakah kamu menyesatkan hamba-hambaKu itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?” (QS. Al-Furqan ayat 17)

Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

Tafsir Surat Al-Furqan Ayat 17

Pada kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Suyuti. Pada suatu hari ketika Allah menghimpunkan mereka, yakni malaikat; Nabi Isa, dan Nabi Uzair, serta jin. (Lalu Allah berkata) kepada mereka yang disembah untuk memantapkan hujjah-Nya terhadap orang-orang yang menyembah mereka.

Kemudian lafal Fayaquulu dapat pula dibaca Fanaquulu, artinya “Kami berkata”. Lafal  a antum dapat kita baca secara tahqiq yaitu dengan menyatakan kedua Hamzahnya. Bisa juga dengan membaca Tashil yaitu dengan menggantikan Hamzah yang kedua menjadi Alif sehingga bacaan Hamzahnya menjadi panjang.

Artinya, apakah kalian telah menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dengan perintah kalian kepada mereka, supaya mereka menyembah kalian? (atau mereka sendirilah yang sesat dari jalan yang benar?

Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

Bisakah Manusia Berdialog dengan Hewan dan Tanah?

Gus Baha’ memaparkan tentang penafsiran surat Al-Furqan ayat 17. Beliau menganolagikan, bahwa Nabi Adam itu mempunyai akal, dan Nabi dibuat dari Tanah. Jadi Nabi Adam dengan tanah tidak ada bedanya. Kenapa bisa seperti itu?

Artinya Nabi Adam memiliki akal juga tidak mengetahui caranya, mempunyai hati pun tidak mengetahui caranya. Nabi Adam hanya mengetahui bahwa ia sebagai khitab (titahnya) Allah. Hal demikian, Allah juga tidak masalah memberi khitab pada tanah, karena tanah juga makhluk Allah. Dan Allah juga mempunyai cara untuk berdialog dengan tanah.

Maka sesngguhnya Allah pernah berkata dengan langit dan bumi, “Hai langit, hai bumi, kalian sudah Saya buat, sekarang secara sukarela apa kalian mau nurut dengan saya atau kamu terpaksa”. Jadi pada intinya, Allah berdialog dengan tanah, dengan tumbuhan dan dengan Nabi Adam itu tidak ada bedanya.

Akan tetapi, beratus-ratus kita bilang bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai akal, sebenarnya para wali keberatan, lantas apa beda manusia dengan tanah?. Namun kita dibodohkan ratusan tahun, bahwa yang bisa diajak berfikir dan berbicara hanyalah manusia.

Oleh sebab itu, ketika mendengar cerita Nabi Sulaiman bisa berbicara dengan hewan, seakan kita bingung. Kenapa bisa seperti itu? Karena kita terlalu lama dan hanya berbicara dengan manusia.

Untuk memahami manusia bisa berbicara dengan tanah ialah dengan mengingat bahwa Nabi Adam terbuat dari tanah. Otomatis Allah juga mempunyai cara untuk berbicara dengan tanah dan semua makhlukNya.

Baca juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Bukti lain jika bumi atau tanah memang bisa berbicara, ketika manusia menggunakan bumi dengan kejahatan seperti korupsi maksiat dan lain sebagainya. Pada intinya bumi kecewa dan tersiksa, namun bumi hanya diam dan berbicara ketika menjadi saksi di akhirat.

Seperti halnya dengan ketika kita sujud sholat dibanyak tempat, maka bumi pun aku bersaksi dari setiap tempat yang pernah kita sujudi. Karena kesunnahan sholat adalah di banyak tempat. Nanti bumi akan menjadi saksi ke ibadah kita, percaya atau tidak. Sebab esok di akhirat kita dipersatuan dengan semua makhluk Allah SWT. Wallahu a’lam.

Siapa Orang-Orang Suci yang Boleh Menyentuh Mushaf Al-Quran?

0
Menyentuh Mushaf Alquran
Menyentuh Mushaf Alquran

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam senantiasa dibaca tidak hanya dalam shalat, tetapi juga di luar shalat. Oleh karenanya, mushaf Al-Quran zaman sekarang ini dibentuk sedemikian rupa agar praktis dibawa kemanapun oleh pemiliknya. Membawa mushaf berarti seseorang juga menyentuhnya. Membawa dan menyentuh mushaf Al-Quran pun memiliki aturan tersendiri. Siapa saja dan bagaimana kriteria orang-orang yang boleh menyentuh mushaf Al-Quran?

Al-Qur’an adalah kalamullah, kitab suci yang menjadi pegangan umat. Tidak hanya membacanya yang memiliki aturan, membawa dan menyentuh mushaf Al-Quran pun jga sama, ada aturan tersendiri yang telah disinggung oleh Al-Quran. Allah berfirman,

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ () فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ  () لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ   

Artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 77-79)

Dalam literatur fiqih, ulama empat mazhab sepakat bahwa orang yang berhadas dilarang menyentuh mushaf Al-Quran dan pendapat ini berdasarkan pada ayat di atas serta beberapa riwayat sahabat. Namun, tidak demikian dengan para mufasir. Beragam penafsiran dikemukakan oleh para ulama tafsir terkait ayat di atas, utamanya pemaknaan tentang lafad ‘kitab maknun’ dan ‘mutahhirun’. Di sini akan dijelaskan penafsiran tersebut.

Baca Juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

Pertama, redaksi fi kitabin maknun. Al-Baghawi menafsirkan bahwa pilihan redaksi ayat dengan menggunakan ‘kitab yang terpelihara/terjaga di sisi Allah’ menunjukkan bahwa Allah yang menjamin Al-Quran terjaga dari tahrif (perubahan) seperti yang terjadi pada kitab samawi terdahulu. Ada pula sebagian ulama yang menafsirkannya dengan terjaga dari kebatilan. Kedua penafsiran ini memiliki maksud yang tidak jauh berbeda. Sedangkan Ibnu Jarir at-Thabari mengutip pendapat Jabir bin Zaid dan Ibnu ‘Abbas bahwa redaksi tersebut berarti menunjukkan lauh mahfuzh. Namun, al-Mawardi dalam an-Nukat wal ‘Uyun, mengemukakan pendapat Imam Mujahid dan Qatadah yang menafsirkannya dengan al-mushaf alladzi fi aydina yakni mushaf yang ada di tengah-tengah umat muslim saat ini.

Kedua, lafal al-muthahharun. Siapakah yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang suci’? Anas dan Sa’id bin Jubair menafsirkan dengan orang-orang yang suci dari dosa yakni para malaikat.  Lalu Abu al-‘Aliyah dan Ibnu Zaid menambahkan pada orang-orang suci ini adalah para rasul. Ada pula yang yang menafsirkan dengan orang-orang yang suci dari kesyririkan serta dosa atau orang-orang yang mengesakan Allah. Sedangkan Imam Qatadah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah orang yang suci dari hadas dan najis.

Dari semua perbedaan pendapat ini, ulama sepakat mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa ‘kitab’ yang dimaksud adalah mushaf yang kita pegang sampai saat ini. Sehingga, tidak diperkenankan menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci dari hadas maupun najis. Hal ini juga berdasarkan hadis yang tertera dalam al-Muwattha’ riwayat ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, bahwa:

 اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ اِلَى اَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيْهِ: لاَ يَمَسُّ الْقُرْأَنَ اِلاَّ طَاهِرٌ  

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci.” (HR. Malik bin Anas)

Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Kata ‘suci’ pada hadis ini pun juga beragama pemahaman. Ada yang berpendapat bahwa kata ‘suci’ bersifat musytarak (bermakna lebih dari satu). Artinya, ‘suci’ di sini bisa bermakna suci dari syirik, bisa juga bermakna suci dari hadas. Oleh karena sifat maknanya yang musytarak, maka Daud az-Zhahiri (mazhab Zhahiriyah) mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Namun, dalam Nailul Authar, as-Syaukani berpendapat sebaliknya, ia mengatakan bahwa memaknai kata yang bersifat musytarak  dengan semua makna yang dikandungnya nya adalah pendapat yang kuat. Hal ini juga diperbolehkan oleh mayoritas pakar fiqih dari mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta banyak pakar dari ilmu kalam.

Wallahu A’lam.

Ketahui Manfaat Gunung sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Alquran

0
gunung sebagai pasak bumi
gunung sebagai pasak bumi

Ayat-ayat Allah swt di dalam Al Quran ada yang berupa qauliyah (tersurat) dan kauniyah (tersirat). Salah satu bentuk ayat-ayat kauniyah-Nya ialah gunung. Gunung merupakan salah satu makhluk Allah yang patut untuk kita perhatikan. Dalam Al Quran kita akan menemukan penjelasan langsung mengenai manfaat gunung. Salah satunya sebagai pasak bumi.

Allah swt berfirman,

وَالْجِبَالَ اَوْتَادًا

“dan gunung-gunung sebagai pasak.”(Q.S. An-Naba’[78]:7)

Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi dalam Tafsir Jalaian menjelaskan kata autâdan adalah bentuk jamak dari kata watadun yang artinya pasak seperti halnya pasak untuk mengikat tali kemah. Allah menjadikan gunung-gunung sebagai pasak untuk mengokohkan bumi, sehingga tidak bergoyang karena guncangan-guncangan yang ada di bawahnya.

Al Quran menyebutkan gunung dalam dua perkataan, yakni  kata جبل (jabal) dan رواسي (rawasy). Menurut Rosihan dan Fadlulah, istilah جبل (jabal) lebih kepada makna gunung pada umumnya, sedangkan kata رواسي (rawasy) lebih kepada penyebutan gunung yang berfungsi sebagai pasak bumi. Seperti yang terdapat dalam kutipan ayat berikut.

وَجَعَلْنَا فِيْ الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِهِمْ ۖ وَجَعَلْنَا فِيْهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَّعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ

“dan kami telah menjadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar ia (tidak) guncang bersama mereka, dan kami jadikan (pula) disana jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk”. ( Q.S. Al-Anbiya [21]: 31)

Kemudian pada ayat yang lain, juga dijelaskan,

وَ اَلْقٰى فِيْ الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهَارًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

“Dan dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. “(QS. An-Nahl:15)

Baca juga: Tafsir Surah al-Hadid Ayat 25: Fungsi Besi bagi Kehidupan Manusia

Kata rawasiya pada kedua ayat diatas bermakna sesuatu yang dapat membuat benda yang berguncang menjadi diam. Pada konteks ini yang berguncang adalah bumi, sedang sesuatu yang menjadikan bumi diam dan berhenti berguncang adalah gunung. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan Allah swt memerintahkan gunung-gunung yang berada di bumi untuk tetap diam agar makhluk hidup yang berada di atasnya khususnya manusia dapat menjalankan hidupnya dengan aman dan tenang.

Mengomentari kedua ayat di atas, Zaghlul An-Najjah, seorang mufasir sains kontemporer mengutip sebuah hadits,

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami al-Awam bin Khausyab, dari Sulaiman bin Abi Sulaiman, dari Anas bin Malik, dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda, ‘ Begitu Allah usai menciptakan bumi, bumi ini berguncang (bergoyang), sehingga Allah segera menciptakan gunung-gunung, lalu berfirman kepada gunung-gunung tersebut, ‘jadilah dan menetaplah diatasnya’, lalu bumi pun tenang. Para malaikat takjub dengan kehebatan gunung dan berkata, ‘Ya Allah, apakah ada diantara makhluk-Mu yang lebih hebat daripada gunung?’, Allah menjawab, ‘ada;api’, malaikat bertanya lagi, ‘Ya Allah, apakah ada diantara makhluk-Mu yang lebih hebat daripada api?’, Allah menjawab, ‘ada;air’, malaikat bertanya lagi, ‘Ya Allah, apakah ada diantara makhluk-Mu yang lebih hebat daripada air?’, Allah menjawab, ‘ada;angin’, malaikat bertanya lagi, ‘Ya Allah, apakah ada diantara makhluk-Mu yang lebih hebat daripada angin?’, Allah menjawab, ‘ada; anak keturunan Adam (Manusia) yang memberikan sedekah dengan tangan kanannya sambil menyembunyikan dari tangan kirinya” (HR. At-Tirmidzi)

Baca juga: Inilah Keutamaan dan Manfaat Buah dalam Al Quran

Penjelasan dari Al Quran dan hadits seperti yang telah diuraikan sebelumnya, memberikan inspirasi kepada para ilmuwan untuk melakukan suatu riset dan pengkajian tentang gunung, dimana informasi ini tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu .

Dalam buku Al-Qur’an vs Sains, Ramadhani mengutip salah satu pendapat dari Zakir Naik, yang mengatakan bahwa kerak bumi yang menjadi lapisan terluar bumi menyerupai kulit yang padat. Sementara bagian dalamnya, terdapat cairan yang panas. Nah, dengan struktur seperti ini, akan menimbulkan adanya pergerakan kulit bumi sehingga menghasilkan suatu getaran atau goncangan. Getaran yang dihasilkan itu menyebabkan adanya tumbukan lempeng raksasa yang membentuk kerak bumi.

Ketika dua lempengan itu bertumbukan, lempeng yang paling kuat akan mengarah ke bawah, sedang yang satunya akan terlipat mengarah ke atas dan membentuk dataran tinggi yang kemudian berkembang menjadi gunung. Menurut penelitian Prof. Emeritus Frank Press (seorang geolog dari Amerika Serikat ), lempeng yang mengarah kebawah tersebut menghujam sedalam 35 km dari permukaan tanah. Ukuran ini mengindikasikan bahwa gunung memiliki akar yang mencapai kedalaman melebihi tinggi permukaan yang berada di atasnya. Fenomena yang terjadi di bagian bawah inilah kemudian disebut Al Quran sebagai pasak.

Baca juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia

Al Quran menyebut gunung sebagai pasak bukan berarti gunung itu membentuk seperti pasak yang biasa kita kenal, karena sejatinya yang menjadi objek perhatian Al Quran adalah bahwa gunung sebagaimana halnya pasak-pasak yang dapat mencegah robohnya bagian-bagian yang bersambung. Singkatnya peran gunung sebagai pasak yang dibuktikan oleh temuan para ilmuwan geologi modern sebenarnya telah dinyatakan dalam Al Quran jauh sebelumnya.

Hal ini merupakan suatu bukti hikmah dari penciptaan Allah swt yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Namun, kembali lagi kepada pribadi manusia itu sendiri, apakah dia mau memperhatikan apa yang Allah swt ciptakan atau hanya menganggapnya sebagai ketetapan alam yang tidak bermakna sama sekali. Wallahu A’lam

Hikmah Bagi Seorang Pendidik: Tafsir Surat al-Qalam Ayat 3

0
hikmah seorang pendidik
hikmah seorang pendidik (al-qalam)/Al-Islam

Hikmah bagi seorang pendidik. Sebagai seorang pendidik dan manusia biasa, tentu Rasul SAW risau dan gundah gulana mendapatkan ujian dan cobaan, namun Allah swt menghiburnya sekaligus memberikan ganjaran yang begitu besar sebagaimana firman-Nya surat al-Qalam ayat 3

وَاِنَّ لَكَ لَاَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍۚ

Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. (Q.S. al-Qalam [68]: 3)


Baca juga: Viral Slogan Kembali Kepada Al Quran dan As Sunnah, Benarkah?


Tafsir Surat al-Qalam Ayat 3

Ayat ini berisi penjelasan bahwa dibalik upaya kebaikan seseorang yang dilakukan sepenuh hati, pasti mendapatkan pahala yang teramat besar di sisi-Nya. Ayat ini pula berisi motivasi sekaligus pelipur lara bagi siapa saja yang tengah melakoni setiap pekerjaan kebaikan, khususnya dalam konteks ini adalah pendidik.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bagi Rasul saw adalah pahala yang berlimpah tiada putusnya, dan tidak akan lenyap karena Rasul saw telah menyampaikan risalah mulia, risalah ilahiah kepada makhluk. Kesabaran-Nya atas gangguan mereka (orang kafir Quraisy) yang menyakitkan menjadi sebab atas dikaruniakannya pahala ini. Seperti firman-Nya dalam Q.S. Hud [11]: 108, ‘Atha’an ghairu majdzudz (sebagai karunia yang tiada putus-putusnya).

Mujahid mengatakan bahwa ghairu mamnun bermakna tiada terhitung. Sedangkan al-Qurthuby memaknainya dengan ghairu maqtu’ wa la manqush (tiada terputus apalagi berkurang). Al-Dhahhak berkata, ajrun bighairi ‘amalin (pahala tanpa harus beramal).

Senada dengan di atas, al-Thanthawy dalam Tafsir al-Wasith mengatakan pahala yang besar bagi Rasul saw di mana kisaran bilangan pahala itu tidak ada yang mengetahui kecuali Kami (Allah). Pahala ini merupakan pahala yang tiada terputus namun ia tetap mengalir terus bersambung hingga ke Allah swt. Sungguh balasan yang mulia nan agung.

Muhammad ‘Ali al-Shabuny misalnya, dalam Shafwah at-Tafasir ia mengartikan kata mamnun berasal dari manna, yang berarti putus. Artinya jika digabung kata ghairu, maknanya adalah Allah swt menganugerahkan pahala kepada Nabi saw terus menerus, tidak terputus.


Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan


Siapa yang mengajarkan suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang dia ajar itu hingga hari kiamat nanti, tanpa berkurang sedikitpun pahala orang yang diajarnya. Kita dapat membayangkan betapa banyak orang yang sudah diajar oleh Nabi saw, dan seterusnya hingga masa kini.

Al-Jaza’iri dalam Aisaru at-Tafasir li Kalami ‘Aliyyi al-Kabir berpendapat pahala Nabi Muhammad saw adalah pahala yang tiada putus selamanya. Dalam artian pahala itu terus mengalir hingga hari kiamat dan bersambung (muttashil) kepada Allah swt. Dikarenakan beliau telah mewariskan amal dan umat yang shaleh, sehingga barang siapa yang melakukan perbuatan baik, maka baginya pahala, demikian pula halnya pahala dari orang-orang yang melaksanakan semua hal itu.

Hikmah Bagi Seorang Pendidik

Rasulullah saw di samping berperan menjadi nabi, rasul dan pemimpin umat, beliau juga mendeklarasikan dirinya sebagai pendidik. Tatkala mendengar kata “kesejahteraan”, kita sering kali mengasosiasikannya dengan gaji dalam bentuk uang atau bisyarah. Memang tak dapat dipungkiri, di zaman serba modern semuanya membutuhkan uang, tapi hidup tak serta merta melulu dengan uang.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya


Kesejahteraan atau rezeki yang kita terima dalam bentuk uang persentasenya kecil sekali. Selebihnya, rezeki kesehatan, kebahagiaan bersama keluarga, ilmu yang bermanfaat, anak-anak yang shalih shalihah, orang tua yang masih sehat, diberikan kemudahan dan kelancaran dalam segala hal. Tidak terkena bencana, dan sebagainya itulah yang kita terima sehari-hari. Hal-hal semacam itulah justru persentasenya lebih besar daripada rezeki berwujud uang.

Karenanya, bagi seorang pendidik tak perlu merisaukan akan kesejahteraannya sebab Allah pasti menganugerahkan pahala yang terus menerus, tidak terputus. Hikmah sebagai seorang pendidik memang tiada tara. Kita dapat membayangkan betapa banyak peserta didik, murid, santri bahkan mahasiswa yang sudah kita ajar, dan demikian seterusnya, sungguh pahala yang teramat fantastis.

Hal ini merupakan kabar gembira bagi para pendidik agar senantiasa meningkatkan kompetensinya terutama etos kerja, kreatif dan rasa tanggung jawab terhadap profesi yang diembannya. Wallahu A’lam.

Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern

0
Tantawi Jauhari
Tantawi Jauhari credit: elsada.net

Tantawi Jauhari adalah seorang cendekiawan muslim asal Mesir yang terkenal dengan kegigihannya dalam gerakan pembaharuan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Bahkan ia mendapatkan julukan ‘mufasir ilmu’ lantaran keluasan ilmu yang dimilikinya. Menurut Tantawi, umat Islam perlu membaca ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dengan ilmu-ilmu modern agar kekuasaan Allah semakin jelas terlihat.

Syekh Tantawi Jauhari memiliki nama lengkap Tantawi bin Tantawi al-Misri al-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada tahun 1287 H/1862 M di desa ’Iwadhillah Hijazi bagian timur Mesir. Keluarga Tantawi merupakan keluarga sederhana, sebab ayahnya adalah seorang petani. Meskipun demikian, keluarganya tersebut memiliki latar belakang agama yang kuat. Alhasil Tantawi kecil tumbuh menjadi anak yang sangat mencintai agama (Evolusi Tafsir: 176).

Jejak Intelektual

Tantawi Jauhari memulai pendidikan melalui asuhan ayah dan pamannya Syekh Muhammad Syalabi. Pada saat bersamaan, beliau juga belajar di Madrasah Hukumiyah yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Meskipun ayah Tantawi tidak memiliki latar pendidikan tinggi, beliau selalu mendorong anak-anaknya menjadi orang terpelajar. Berkat dukungan tersebut, Tantawi dapat menyelesaikan pendidikan menengah dengan gemilang.

Selanjutnya, Tantawi Jauhari meneruskan pendidikan ke Universitas Al-Azhar. Di sana ia menekuni ilmu-ilmu agama dan sangat memperhatikan pendidikan bahasa Inggris yang kemudian menjadi faktor utama pada keluasan wawasan dan pengetahuan ilmiahnya. Setelah lulus dari Al-Azhar, ia menjadi tenaga pengajar di Universitas Darul ’Ulum dan menyampaikan seminar di Jami’ah Al-Misriyyah.

Di samping kesibukan mengajar, Tantawi Jauhari sangat aktif menulis. Nama dan artikel-artikelnya selalu muncul di harian Al-Liwa’. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis tidak kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban, yaitu agama dan perkembangan modern. Tantawi Jauhari juga dianggap sebagai orang pertama yang menafsirkan al-Quran secara keseluruhan dengan corak ‘ilmi (Al- Mufassirun: Hayatuhum wa Manhajuhum: 429)

Dalam banyak kesempatan, Tantawi Jauhari selalu menyampaikan pentingnya penguasaan bahasa asing bagi umat Islam di timur tengah, terutama bahasa Inggris. Karena menurutnya, secara garis besar ilmu pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Tantawi Jauhari menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi (termasuk Al-Qur’an), sebab bahasa merupakan alat untuk menguasai berbagai macam bidang ilmu.

Diantara karya-karya Tantawi Jauhari adalah Jawahir al-’Ulum, Al-Quran wa al-’Ulum al-’Asriyah, al-Nizam wa al-Islam, al-Taj wa al-Murassa, Nizam al-‘Alam wa al-Umam, Aina al-Insan, Ashlu al-‘Alam, al-Hikmah wa al-Hukama’, Bahjah al-‘Ulum fi al-Falsafah al-‘Arabiyah wa Muwazanatuha bi al-‘Ulum al-‘Asriyah, al-Qawa‘id al-Jauhariyah fi al-Turuq al-Nahwiyah, Jamal al-‘Alam, al-Arwah dan al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim.

Salah satu buku yang paling terkenal dari beberapa karya di atas adalah al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kitab tafsir ini dinamai al-Jawahir karena di dalamnya Tantawi Jauhari berusaha melihat Al-Qur’an sebagai himpunan ayat-ayat tentang segala keajaiban dan keindahan penampakan alam semesta yang digambarkan olehnya seperti mutiara-mutiara gemerlap (al-Jawahir) dan berkilauan.

Nama al-Jawahir di atas secara filosofis bermakna bahwa Al-Qur’an berisi himpunan ayat-ayat kauniyah laksana mutiara yang di dalamnya terkandung isyarat-isyarat ilmiah untuk menggali segala macam ilmu pengetahuan yang berkilau (berharga). Makna ini penulis interpretasi dari judul kecil kitab tafsir tersebut, yakni al-Musytamil ‘Ala ‘Ajaib Badai‘ al-Mukawwanat wa Ghara’ib al-Ayat al-Bahirat.

Tafsir al-Jawahir terdiri dari 13 jilid dan dicetak pertama kali oleh Muassasah Mustafa al-Bab al- Halabi pada tahun 1350 H/ 1929 M. Pada mulanya sebagian tafsir ini ditulis oleh Tantawi Jauhari ketika ia mengajar di Darul ’Ulum sebagai buku pegangan untuk mahasiswa. Kemudian bagian lain ia tulis dan publikasikan pada majalah al-Abbasiyah, sedangkan sisanya diselesaikan oleh Tantawi Jauhari pada subuh selasa 21 Muharram/11 Agustus 1925 M.

Melalui tafsir al-Jawahir, Tantawi Jauhari berharap agar dapat mendorong kaum muslimin melakukan kajian terhadap sains-sains kealaman, sehingga Islam dapat bangkit dan mengungguli Eropa dalam berbagai bidang, baik di bidang agraris, medis, pertambangan, matematika, arsitektur, astronomi serta sains-sains dan industri-industri lainnya (Ulumul Quran: Profil para Mufassir al-Quran dan para Pengkajinya: 171).

Menurut Tantawi juga, tidak mengherankan jika Islam mengalami kemunduran di tengah hiruk-pikuk kemajuan yang didapatkan oleh negara-negara Barat karena selama ini pengkajian Al-Qur’an yang dilakukan umat Islam hanya menekankan pada aspek fikih (legal formal) bukan pada pembacaan al-Quran melalui pendekatan modern dan ilmiah. Padahal mukjizat ilmiah Al-Quran akan terus terungkap hari demi hari sebagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan penemuan-penemuan baru.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Tantawi Jauhari punya keinginan luhur dalam penulisan kitab tafsir al-Jawahir. Beliau meninggal pada tahun 1358 H/ 1940 M di Kairo, Mesir. Terlepas dari perdebatan penggunaan corak tafsir ilmi’ di kemudian hari, karya Tantawi sudah memberi kontribusi tinggi kepada dunia tafsir modern dan memiliki pengaruh kuat hingga saat ini sebagaimana tertuang dalam Tafsir Ilmi Kemenag RI. Wallahu a’lam.

Belajar Metode Demonstrasi dari Kisah Nabi Khidir dan Musa

0
metode demonstrasi
metode demonstrasi/ Slideshare

Metode Demonstrasi dari Khidr a.s dan Musa a.s merupakan metode pembelajaran dengan cara memperagakan media pembelajaran baik berupa material maupun substansial, secara langsung maupun tidak langsung yang relevan dengan pokok bahasan materi yang sedang disajikan (Muhibbin Syah).

Metode ini menjadi penting karena terdapat aspek visualisasi sehingga memudahkan peserta didik untuk tetap fokus pada proses pembelajaran yang tengah berlangsung.

Kita mungkin masyhur akan ungkapan, “Aku dengar, aku lupa; aku lihat, aku ingat; aku lakukan, aku paham; aku sampaikan, aku pintar”. Sepintas ungkapan ini terlihat remeh, tetapi maknanya mendalam.

Terutama pada point, aku lihat aku ingat. Inilah titik tekan metode demonstrasi. Melalui visualisasi alat peraga peserta didik cepat memahami materi yang disampaikan. Sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa a.s. yang termakstub dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 77,

فَانْطَلَقَا ۗحَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةِ ِۨاسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗقَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”  (Q.S. al-Kahfi [18]: 77)

Tafsir Surat al-Kahfi Ayat 77

Dalam konteks pendidikan Islam, ayat ini secara tersirat pentingnya menggunakan metode demonstrasi yang dicontohkan oleh Nabi Khidir dan Nabi Musa a.s. Ayat ini juga menceritakan tentang kisah bergurunya Nabi Musa kepada Nabi Khidir, dan ayat ini berhubungan erat (munasabah) dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya, yakni Q.S. al-Kahfi [18]: 60-82.

Di dalam ayat tersebut terkisah proses pembelajaran yang ditempuh oleh Nabi Musa kepada Nabi Khidir.  Nabi Khidir banyak mengajarkan melalui praktik langsung atau metode demonstrasi.

Seperti melubangi perahu milik nelayan miskin, membunuh anak kecil dengan sebab tertentu, dan menegakkan dinding rumah anak yatim yang tersimpan banyak harta kekayaaan. Di akhir peristiwa itu, lalu Nabi Khidir memberikan klarifikasi atas hal yang dilakukannya.


Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan


Jika ditilik lebih dalam, ternyata al-Baghawy dalam Ma’alim at-Tanzil meriwayatkan sebuah hadits riwayat Imam Bukhari sebagai berikut,

“Dari Sa’id bin Jabir, dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah saw bersabda, “Nabi Musa berdiri pada hari di mana orang-orang menyebutkan hingga ketika mata membanjiri dan hati dicuri pergi, membuat seseorang pria bertanya kepada Nabi Musa: Wahai utusan Allah, apakah di bumi ini terdapat seseorang yang lebih ‘alim daripada engkau?

Jawab Musa, “Tidak,” kemudian Allah menegurnya sebab tidak menginginkan ilmu kepada Allah, dikatakan kepada Musa: “ada, (utusan Allah yang lebih pandai yaitu Nabi Khidir).” Musa bertanya, “Ya Rabb, di mana dia?” Allah menjawab, “di pertemuan dua lautan”. Musa berkata, “Ya Rabb jadikanlah untukku ilmu yang aku bisa mengetahui dengan Engkau darinya”.

Allah menjawab, “Ambillah ikan yang mati sekiranya dapat diberikan ruh, dalam sebuah riwayat dikatakan, “berbekallah ikan yang digoreng, maka sesungguhnya dia berada saat sekiranya kamu kehilangan ikan tersebut,” kemudian Nabi Musa mengambil ikan dan memasukannya ke tempat ikan.”

Dari penjelasan hadits di atas dapat diketahui bahwa Allah swt sebagai Sang Khalik memberikan petunjuk-Nya melalui metode demonstrasi, yaitu mengajar dengan menggunakan alat peraga (meragakan) untuk memperjelas suatu pengertian, atau untuk memperlihatkan bagaimana cara melakukannya.

Sedangkan redaksi yang menggambarkan metode demonstrasi terfokus pada,

فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗ

“…. kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya…”

Ibnu Katsir menafsirkan redaksi tersebut dengan iradah (kehendak) disandarkan kepada dinding, dalam ayat ini merupakan ungkapan isti’arah (kata pinjaman), karena sesungguhnya pengertian kehendak hanyalah disandarkan kepada makhluk yang bernyawa berarti kecenderungan. Inqaddha artinya runtuh (roboh).

Adapun lafadz fa-aqamah, Ibnu Katsir dan ‘Ali al-Shabuny memaknainya dengan mengembalikannya ke posisi tegak kembali. Dalam hadits yang terdahulu disebutkan bahwa Nabi Khdir menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya, yaitu dengan mendorongnya sehingga tidak miring lagi; hal ini merupakan peristiewa yang luar biasa.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya


Pembuktikan lain adanya metode demonstrasi ini disampaikan oleh sabda Nabi saw terkait perintah shalat,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

“Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.” (H.R. al-Bukhari No. 226)

Hadits ini dengan jelas dan gamblang bahwa Rasulullah saw menunjukkan tata cara salat Rasululah kepada para sahabat sehingga para sahabat dipesankan oleh-Nya agar mempraktikkan shalat seperti yang dicontohkan-Nya. Kemudian mereka bisa mengajari keluarganya, sahabatnya, dan seterusnya.

Belajar Metode Demonstrasi Dari Kisah Nabi Khidir dan Musa

Dari kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa di atas serta Rasulullah saw kita dapat memetik pesan bahwa beliau semua pernah mempraktikkan metode demonstrasi guna memperjelas pesan yang dimaksud. Beliau tidak segan untuk mempraktikkannya terlebih dahulu sebelum ditiru oleh umatnya.


Baca juga: Viral Slogan Kembali Kepada Al Quran dan As Sunnah, Benarkah?


Maka hendaknya seorang pendidik menerapkan metode demonstrasi dengan mempertimbangkan segala kondisi yang ada. Hal ini baik untuk melatih kemampuan kognitif dan psikomotorik peserta didik untuk dapat mengingat, memahami materi pembelajaran dalam waktu yang cukup lama. Setidaknya tidak mudah lupa.

Visualisasi pembelajaran dapat dilakukan baik oleh pendidik maupun peserta didik yang diminta mempraktikkan suatu pekerjaan. Metode ini dapat membantu memfokuskan perhatian peserta didik pada proses belajar dan tidak tertuju pada hal-hal lain, dan meminimalisir kesalahan dalam mengambil kesimpulan, dibandingkan hanya melulu membaca buku tanpa dibarengi dengan demonstrasi.

Demikian juga, metode demonstrasi ini akan tidak efektif jika peraga atau media yang digunakan tidak relevan dengan materi atau pemahaman peserta didik, misal alat peraga tampak minimalis, peraga A materi B, dan sebaliknya.

Maka strategi dan desain pembelajaran juga harus link and match dengan metode demonstrasi. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan agar metode ini menjadi metode yang tepat dan menjadikan siswa lebih aktif dan paham terhadap materi pembelajaran. Wallahu A’lam.

Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

0
Al-Quran Memperhatikan Perempuan
Al-Quran Memperhatikan Perempuan credit: dw.com

Telah dimaklumi bersama bahwa banyak sekali tema tentang perempuan dalam Al-Quran.  Dari kritik Al-Quran atas penguburan anak perempuan hidup-hidup hingga kisah tentang Maryam sebagai representasi perempuan suci dan dimuliakan. Tindakan responsif Al-Quran ini oleh sekelompok orang disambut dengan senyum lebar, lega sekaligus bangga. Inilah Al-Quran, kitab suci yang ramah perempuan. Mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan sedemikian serius, mengapa Al-Quran datang memberikan ruang khusus bagi perempuan?

Al-Quran adalah kitab suci Allah yang diamanahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada manusia lainnya. Nabi Muhammad saw. dengan bekal kitab suci tersebut membawa misi menyebar dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya’: 107).

Selain itu, bersama Al-Quran ini juga Nabi Muhammad saw. ditugaskan untuk mengakomodir tuntunan Allah yang pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya, (QS. Al-Maidah: 48).

‘Sebagai rahmat bagi seluruh alam’, inilah misi utama Al-Quran yang kemudian membawa banyak tuntunan dan revolusi peradaban untuk makhluk Allah seluruhnya, termasuk tentang perempuan. Alasan lebih detail mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan dan menyapanya secara khusus, kita lanjutkan di bahasan berikut.

Rekaman Sejarah Kelam Kehidupan Perempuan Sebelum Islam

Sejarah perjalanan perempuan sebelum Islam menjadi alasan pertama mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan. Nabi Muhammad saw. hidup di tengah masyarakat yang mempunyai banyak ketimpangan, ambil satu kasus yaitu tentang perlakuan terhadap perempuan. Beberapa riwayat di balik banyak ayat Al-Quran menunjukkan hal tersebut, misal anak perempuan dikubur hidup-hidup (QS. Al-An’am: 15; QS. Al-Isra’: 31) perempuan dianggap kotoran (QS. Al-Baqarah: 222) perempuan menjadi barang yang diwariskan (QS. An-Nisa: 11, 127, 176) perempuan (ibu) bahkan tidak berhak untuk menjadi nama belakang anaknya sendiri (QS. Luqman: 14) dan lainnya.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Di saat yang sama, pemahaman terhadap kitab suci sebelumnya banyak yang seolah mendukung tradisi tersebut, misal persoalan tentang penciptaan perempuan yang dikisahkan berasal dari bagian tubuh laki-laki sehingga membuat perempuan diperlakukan seperti barang miliknya (Kitab Kejadian. 2: 21-23).

Rekaman ketimpangan ini juga disumbang oleh peradaban besar sebelum Islam seperti Yunani yang berpandangan kurang lebih sama tentang perempuan, misal tentang topik women’s original sin. Kisah Yunani kuno mengatakan bahwa perempuan adalah pangkal kekacauan dan kejahatan dunia. Segala kejahatan, penyakit, kekacauan dan penderitaan yang menghantui dunia itu karena ulah Pandora, wanita bodoh yang tidak patuh pada suaminya, Epimetheus. Pandora telah melanggar pesan suaminya dengan membuka kotak yang berisi segala hal yang negatif. (Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam, Satu Pengantar Untuk Tiga Buku”)

Tema penciptaan perempuan dan dosa pertama manusia ini dikuatkan lagi oleh Quraish Shihab dalam Perempuan sebagai bias pandangan lama yang ada hingga saat ini, dan dijadikan sebagai alasan untuk berlaku diskiriminasi terhadap perempuan.

Selain itu, catatan sejarah kelam kehidupan perempuan juga berasal dari dokumen hukum kenegaraan. Leila Ahmed mencatat dalam Women and Gender in Islam: historical roots of a modern debate bahwa Undang-Undang Hammurabi pernah menyatakan bahwa seorang laki-laki boleh menggadaikan istri atau anaknya dengan batasan waktu selama tiga tahun dan dengan syarat tidak boleh memukul dan menindas. Ia juga membolehkan seorang suami dengan gampang menceraikan istrinya, lebih-lebih ketika istri tersebut tidak bisa mempunyai anak dengan –masih – memberikan mas kawinnya. Tidak jauh beda dengan Undang-Undang Assyrian yang memperbolehkan tindak kekerasan suami ketika menghukum istri, seperti memukul, menarik rambut dan melintir telinganya tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.

Kondisi di atas direspon oleh Al-Quran dilengkapi teladan Nabi Muhammad saw dengan berusaha memperbaiki dan meluruskan segalanya, meski dengan cara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Hal ini tidak lain untuk memberikan rahmat bagi perempuan guna mewujudkan rahmat untuk seluruh alam.

Dominasi laki-laki di setiap lini kehidupan dari dulu hingga sekarang

inilah alasan kedua mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan. Mulai dari rumah, tempat belajar, tempat kerja, tempat ibadah, tempat mengabdi, atau semacamnya; mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum, budaya, agama dan lainnya; mulai dari perumus ide, pelaksana dan pemutus kebijakan semuanya didominasi oleh laki-laki. Padahal kita ketahui bersama bahwa permasalahan kehidupan yang terjadi tidak hanya tentang laki-laki tetapi juga menyangkut perempuan. Mengapa demikian? tampaknya sejarah perjalanan perempuan mempunyai andil besar menciptakan kondisi ini. Perempuan seringnya diberi tugas dan disibukkan untuk urusan domestik di rumahnya. Ini juga pernah disampaikan oleh Khair Ramadhan Yusuf dalam Al-Muallifat Min an-Nisa sebagai sebab sedikitnya perempuan yang menulis.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Dominasi laki-laki ini baik secara sadar maupun tidak, sering sekali masih membawa bekas dan bias terhadap perempuan, bahkan seorang cendekiawan sekalipun, seperti dikatakan oleh Quraish Shihab dalam Perempuan. Ini salah satunya dapat dilihat pada kasus pemahaman teks keagamaan. Sebagai contoh yaitu ketika memahami ungkapan seorang suami yang dikihianati istrinya dalam potongan ayat ‘inna kaidakunna ‘adhim (sesungguhnya tipu daya perempuan sangatlah besar)’ (QS. Yusuf: 28). Az-Zamakhsyari mengutip pendapat ulama laki-laki dalam tafsirnya menyatakan bahwa dari ayat ini dipahami bahwa rayuan perempuan lebih besar dan lebih berbahaya daripada rayuan setan. Kesimpulan ini kemudian diambil menjadi kaidah umum di masyarakat.

Menyinggung dominasi laki-laki atas perempuan di segala bidang ini bukan berarti perempuan harus anti laki-laki. Sambil terus menyuarakan kesetaraan dan partnership antara laki-laki dan perempuan, mari para perempuan senantiasa mengupgrade diri dengan maksimal, gali dan kembangkan potensi yang ada dalam diri kita, dan jangan lupa wujudkan kemampuan itu dalam karya nyata.

Wallahu A’lam

Sujud Tilawah, Sujud Tatkala Membaca Ayat Sajdah

0
ayat sajdah
ayat sajdah

Sujud tidaklah hanya melulu yang ada dalam salat. Adapula sujud yang tidak disertai dengan gerakan I’tidal atau ruku’ sebagaimana dalam salat. Di antaranya Sujud Tilawah. Dalam Sujud yang dilakukan karena membaca ayat sajdah ini, tak perlu ruku dan i’tidal. Ia hanya cukup takbiratul ihram dan langsung sujud. Setelah itu, duduk dan mengucapkan salam.

Salah satu ibadah yang disunnahkan tatkala membaca Al Quran, adalah Sujud Tilawah. Sujud ini dilaksanakan setelah selesai membaca ayat sajdah. Bahkan meski saat si pembaca membaca ayat tersebut, ia berada di dalam salat. Ada 14 tempat ayat sajdah di dalam Al Quran. Imam An-Nawawi mengupas secara lengkap tentang tata cara Sujud Tilawah dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamlatil Qur’an (At-Tibyan/107).

Baca juga: Inilah Empat Keutamaan Surat Al Ikhlas

Hukum Sujud Tilawah

Para ulama’ bersepakat bahwa sujud tilawah adalah salah satu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam. Hanya saja, mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya. Apakah hukumnya hanya Sunnah, ataukah wajib? Kebanyakan ulama’ menyatakan bahwa Sujud Tilawah hukumnya Sunnah. Beberapa ulama’ yang meyakini pendapat ini adalah Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedang Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Sujud Tilawah hukumnya wajib.

Kebanyakan ulama’ yang berpendapat bahwa Sujud Tilawah hukumnya Sunnah berpijak salah satunya dengan tindakan sahabat ‘Umar Ibn Khattab dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari Rabi’ah ibn Abdillah ibn Hudair at-Taimiy:

قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ . وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ

“Suatu kali, di hari jum’at, saat di minbar Umar ibn Khattab membaca Surat An-Nahl. Sampai pada ayat sajdah, beliau bersujud lalu orang-orang ikut bersujud. Sampai datang jum’at berikutnya. Sahabat ‘Umar kembali membaca An-Nahl. sampai ayat sajdah beliau berkata: “Wahai orang-orang, aku memerintahkan kalian bersujud. Siapa yang bersujud, maka ia melakukan hal benar. Apabila tidak, maka ia tidak berdoa”. Dan Umar sendiri tidak melakukan sujud” (H.R. Al-Bukhari)

Baca juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Syarat Serta Tata Cara Sujud Tilawah

Imam An-Nawawi menyatakan, Sujud Tilawah sebagaimana salat Sunnah. Bagi pelakunya diharuskan suci dari hadas kecil maupun besar, serta suci dari najis. Selain itu diharuskan menghadap kiblat dan menutup aurat (At-Tibyan/111). Maka dari itu, orang yang di tubuhnya ada najis yang tidak dimaafkan, maka ia tidak boleh mengerjakan sujud tilawah.

Sedang yang dianjurkan sujud tilawah adalah orang yang membaca ayat sajdah, orang yang mendengarkan bacaan ayat sajdah, serta orang yang tak sengaja mendengar bacaan ayat sajdah. Sama saja hukumnya apakah si pembaca membaca ayat sajdah di dalam salat maupun di luar solat, dan apakah si pembaca melakukan Sujud Tilawah atau tidak. Bahkan andai si pembaca adalah orang non-muslim, anak kecil, orang yang hadas atau perempuan, orang yang mendengar atau tidak sengaja mendengar tetap disunnahkan Sujud Tilawah.

Mengenai tata caranya, apabila orang tersebut di luar salat, maka setelah selesai membaca atau mendengar ayat sajdah, berdiri kemudian takbiratul ihram dengan niat Sujud Tilawah. Lalu takbir kembali tanpa mengangkat tangan sembari bergerak menuju sujud. Saat sujud membaca tasbih dan doa sujud tilawah. Setelah itu takbir menuju duduk dan kemudian mengucapkan salam. Sedang apabila di dalam salat, saat berdiri, maka cukup membaca takbir tanpa mengangkat tangan kemudian bersujud. Setelah itu takbir kembali dan berdiri.

Baca juga: Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran

Bacaan dalam Sujud Tilawah

Sedang bacaan dalam sujud tilawah diantaranya membaca bacaan tasbih tiga kali:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلٰى

Subhaana rabbiyal a’laa (tiga kali)

“Maha suci Allah yang maha luhur”

Kemudian membaca doa sebagai berikut:

اَللّٰهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بَحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنَ الْخَالِقِيْنَ . سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوْحِ . اَللّٰهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا وَضَعْ عَنِّي وِزْرًا وَاقْبَلْهَا مِنِّي كَمَا قَبِلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ صَلّٰى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Allaahumma laka sajadtu wabika aamantu walaka aslamtu sajada wajhii lilladzi khalaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu bihaulihi wa quwwatihi tabaarakallahu ahsanal khaaliqiin. Subbuuhung qudduusur rabbul malaaikati wa ruuhhi. Allaahummak tublii bihaa ‘indaka ajran waj’alhaa lii ‘indaka dzukhran wa dha’ ‘annii wizran waqbalhaa minnii kamaa qabiltahaa min ‘abdika daawuda sallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Ya Allah, aku bersujud pada-Mu. Aku beriman pada-Mu. Aku menyerahkan diri pada-Mu. Diriku bersujud pada dzat yang menciptakannya, memberikannya rupa, memberi pendengaran dan penglihatan, dengan daya upaya dan kekuatan-Nya. Maha baik Allah, sebaik-baiknya pencipta. Maha suci, maha bersih, tuhan malaikat dan ruh. Ya Allah, dengan sujud tersebut, catatlah untukku pahala di sisi-Mu, jadikan ia simpanan untukku di sisi-Mu, hapus dosa-dosa dariku, sebagaimana engkau menerimanya dari hamba-Mu; Dawud- semoga Allah memberikan doa solawat serta salam padanya.

Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan

0
doa agar diringankan dari beban kehidupan
doa agar diringankan dari beban kehidupan

Di masa pandemi covid-19 selain isu kesehatan, masyarakat juga dihadapkan dengan isu ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, dan konsumsi masyarakat juga ikut terjun bebas. Bagi kita selaku umat Muslim, ini merupakan tantangan sekaligus cobaan yang harus dilewati. Kita perlu yakin bahwa apa pun yang terjadi, Allah Swt tidak akan membebani hamba-Nya di luar kapasitas. Selain dengan ikhtiar sekuat tenaga, kita juga perlu memanjatkan doa agar diringankan dari beban kehidupan yang terus menghimpit.

Sebagai Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam, di dalam Alquran terkandung banyak doa yang dapat diamalkan dan dibaca setiap hari. Terdapat doa-doa yang diteladankan para Nabi dan juga doa agar diringankan dari beban kehidupan. Doa ini terdapat dalam ayat al-Quran yang cukup masyhur di masyarakat yaitu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 286. Allah Swt berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membenani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Baca Juga: Doa Al Quran: Doa untuk Keteguhan Hati

Imam al-Qusyairi dalam tafsirnya Lathaif al-Isyarat memahami bahwa ayat di atas adalah bentuk kasih sayang Allah Swt kepada umat Nabi Muhammad Saw dan keunggulan mereka atas umat yang lain. Bila umat terdahulu hendak meminta sesuatu, perlu meminta kepada Nabi mereka. Hal ini sebagaimana terjadi kepada umat Nabi Musa dan Nabi Isa. Sedangkan umat Nabi Muhammad dapat langsung berdoa kepada Allah Swt. Begitu pun dengan segala macam kesulitan dan kepayahan, umat Nabi Muhammad mendapatkan pahala bila bersabar menghadapinya.

Sebagai umat Muslim, penting untuk kita agar selalu yakin dengan janji Allah Swt. Yakin dalam arti sikap hati yang disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk menghadapi masalah. Terus kreatif untuk selalu menemukan jalan keluar bagi setiap masalah juga merupakan tugas kita sebagai manusia. Tidak lupa juga dengan saling tolong menolong antar sesama.

Baca Juga: Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah Yang Halal

Doa agar diringankan dari beban kehidupan di atas dapat kita amalkan setiap saat. Selain sebagai doa, ayat di atas juga dapat diamalkan sebagai wirid untuk menguatkan hati kita bahwa kita masih punya Allah Swt yang Maha Besar, lebih besar dari masalah yang sedang menimpa kita. Wallahu A’lam.

Viral Slogan Kembali Kepada Al Quran dan As Sunnah, Benarkah?

0
Al Quran dan As Sunnah
Al Quran dan As Sunnah

Seruan ‘kembali kepada Al Quran dan As Sunnah‘ adalah kalimat yang hak, tapi jangan disalahpahami. Jika yang dimaksud adalah merujuk secara langsung kepada Al Quran dan As Sunnah dalam mengambil hukum syariat tanpa mengetahui pandangan para mujtahid, maka ini adalah pemahaman yang salah.

Allah swt telah memberi pedoman hidup agar manusia tidak salah jalan. Dalam firman-Nya disebutkan:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “maka bertanyalah kepada yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. an-Nahl [16] : 43).

Apabila seseorang tidak mempunyai kapasitas memahami Alquran dan hadits untuk mengambil hukum Islam, maka ia wajib taqlid (mengikuti) kepada para mujtahid. Dalam hal ini seseorang bisa mengikuti satu di antara empat Imam Madzhab, Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Bahkan taqlid kepada mereka di zaman ini sudah menjadi syiar Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). (Anas as-Syurfawi, al-Madzahib al-Arba’ah hum as-Sawad al-A’dzam, hal. 19)

Baca juga: Kemukjizatan Al-Quran: Pengertian dan Tanda-Tandanya

Amin al-Kurdi memberikan komentar terhadap slogan yang selalu diserukan oleh sebagian kelompok:

ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعمل والعدالة والاطلاع

“Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari Imam Madzhab dan berkata: ‘saya beramal berdasarkan Alquran dan hadits’, juga mengaku telah memahami hukum-hukum Alquran dan hadits, maka orang itu tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan.  Lebih-lebih pada masa sekarang ini, dimana kefasikan dan dakwah yang salah banyak tersebar, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa”. (Tanwiir al-Quluub, hlm. 74-75)

Baca juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Mengambil hukum dari Al Quran dan As Sunnah membutuhkan keahlian berijtihad, tidak cukup difahami hanya secara tekstual. Pembahasan terkait syarat-syarat ijtihad telah diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, diantaranya adalah Al-Wajiz karya Prof Hasan Hitou.

Ketika menjelaskan hal tersebut, beliau menyebutkan setidaknya ada delapan syarat seseorang  dapat disebut sebagai mujtahid, yaitu: baligh dan berakal, al-‘Adl (tidak fasik), Fiqh an-Nafs, mengetahui hal-hal terkait Al Quran (Nasikh-Mansukh, ‘Am-Khash, Mutlak-Muqayyad, Asbab Nuzul), mengetahui hal-hal terkait hadits (Shahih-Dhaif, Tarikh wa Rijal, Asbab Jarh wa Ta’dil), mengetahui permasalahan ij’ma’, mengetahui ushul fiqh, dan mengetahui bahasa arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah).

Al Quran bertentangan dengan As Sunnah?

Tidak semua ayat Al Quran maupun sunnah nabi diamalkan, meskipun derajat haditsnya adalah shahih. Jika seseorang yang bukan mujtahid langsung memahami dalil dari Al Quran maupun As Sunnah, maka bisa dipastikan ia akan kebingungan ketika menemukan Al Quran dan hadits saling bertentangan. Bahkan terdapat juga sesama ayat Al Quran saling bertentangan. Demikian jika difahami secara tekstual.

Sebagai contoh:

Pertama: antara Al Quran dan hadits

Firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 180,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ

“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf”.

Baca juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Sabda Nabi Muhammad saw. HR. at-Tirmidzi:

إن الله أعطى كل ذي حق حقه، لا وصي لوارث

“sesungguhnya Allah telah memberikan setia orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris”.

Kedua: antara sesama Al Quran

Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah [2]: 240,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”.

Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah [2]: 234,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”.

Beberapa ayat dan hadits di atas terdapat Nasikh dan Mansukh (revisi hukum). Kita tidak mampu mengetahuinya tanpa perantara para ulama yang telah memenuhi syarat ijtihad. Dan masih banyak lagi contoh seperti di atas yang memerlukan ijtihad dalam menentukan hukum. Wallahu A’lam.