Beranda blog Halaman 521

Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri

0
Sertifikasi Da'i
Sertifikasi Da'i credit: bciegypt.com

Ribut-ribut tentang sertifikasi da’i muncul karena ada banyak da’i yang dinilai tidak memenuhi persyaratan minimal untuk melakukan dakwah. Dalam bahasa agama lā yakūnu lahu jumlatun minal ‘ulūmī yaṣiḥḥu ‘indahā al-da‘wah atau tidak memiliki kadar ilmu yang dengannya seseorang dapat berdakwah.

Akan tetapi, masalahnya siapa yang berhak menyatakan kecakapan atau kelengkapan persyaratan berdakwah itu? MUI, Kementerian Agama, organisasi keagamaan Islam sudah banyak disebut orang dengan berbagai pro dan kontra di sekitar masing-masing pihak ini.

Nanti dulu! Bukankankah ada ayat yang menyatakan bahwa orang-orang yang tidak menyampaikan pesan Allah akan dilaknat oleh Allah dan semua pelaknat? (QS. Al-Baqarah [2]: 159). Juga ada anjuran dari Rasulullah untuk menyampaikan pesan beliau, walaupun sebenarnya orang tidak paham? Karena orang yang mendengar mungkin akan lebih paham daripada yang menyampaikan?

Nah ini dia. Rasulullah menyatakan:

فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Hendaknya orang yang hadir (dalam pertemuan denganku) menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena banyak orang yang ditabligi lebih paham daripada mubalignya.”

Jadi, kalau mubalignya tidak memenuhi pemahaman yang cukup, ya umatnya saya yang dinaikkan taraf pemahamannya. Biarlah dainya menyampaikan pesan agama sekadar pemahamannya, tapi umat harus cerdas. Harus mempunyai pemahaman yang lebih baik. Setidak-tidaknya, sikap yang baik.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا 

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isrā’ [17]: 36)

Jangan kau ikuti ajakan, perintah, seruan yang tidak kau mengerti betul, karena nanti yang bertanggung jawab atas perbuatanmu adalah dirimu sendiri degan perangkat pemahaman yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6)

Kalau ada berita dari orang fasiq (orang yang banyak melanggar aturan, termasuk orang yang tidak kau kenal sebagai orang yang dapat dipercaya), lakukanlah konfirmasi atau tabayyun, karena kalau kau nanti melakukan tindakan yang merugikan orang-orang lain karena termakan berita itu, kau akan menyesal.

Sertifikasi Da’i dan Serifikasi diri

Siapa yang boleh melakukan sertifikasi terhadap umat? Sertifikasi dirilah. Tanyakan kepada diri sendiri, jangan menelan begitu saja fatwa orang lain. Istafti qalbak, wain aftauk, kata Abū Darda’, seorang sahabat Nabi?

Bagaimana kalau diri belum mampu? Belajar kepada orang yang betul-betul mengerti. Jangan asal dai, mubalig atau ustadz.

Baca Juga: Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

Bolehlah didengar pesan orang tua: Lamun sira megurua kaki, amiliha sujanma kang nyata, ingkang becik martabaté, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah tur kang wirangi. Sukur olèh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan pamrih wèwèhing liyan.

(Kalau kau berguru, anakkua, pilihlah orang yang jelas, bermartabat, yang mengindahkan aturan, yang rajin beribadah dan menjaga diri dari hal-hal yang tidak patut. Sangat baik kalau kau temukan orang yang sudah selesai dengan dirinya sehingga tidak berpikir tentang honorarium).

Sertifikasi diri atau muḥāsabah. Tilik terus menerus, apa yang mesti aku tingkatkan dari pemahaman dan sikap terhadap hal-hal yang kutemui, termasuk ajakan dan seruan yang disampaikan orang.

Itu barangkali lebih diperlukan daripada membicarakan apakah sertifikasi dai perlu atau siapa yang perlu melakukan sertifikasi.

4 Bentuk Kurikulum Pendidikan Islam

0
kurikulum pendidikan islam
kurikulum pendidikan islam

Hakikat kurikulum adalah model yang diacu oleh pendidikan dalam upaya membentuk citra sekolah dengan mewujudkan tujuan pendidikan yang disepakati. Kurikulum tidak bersifat kaku, tetapi dinamis, aktual, teoretis, dan aplikatif. Maka dengan itu, kami uraikan bentuk kurikulum pendidikan Islam, sebagaimana tertera dalam firmanNya, surat al- Hujarat ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Hujurat [49]: 11)

Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11

Diriwayatkan dalam kitab Sunan yang empat (Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah) yang bersumber dari Abu Jubair al-Dhahhak. Menurut al-Tirmidzi hadits ini hasan. Bahwa seorang laki-laki mempunyai dua atau tiga laqob (julukan).

Namun, orang-orang sering memanggilnya dengan julukan yang buruk yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai bentuk larangan menggelari orang dengan nama yang buruk.

Ayat di atas mengandung empat pesan sebagai bentuk kurikulum pendidikan Islam, yaitu:

  1. larangan merendahkan orang lain,
  2. larangan menertawakan maupun memperolok orang lain,
  3. larangan mencela dirinya sendiri maupun orang lain,
  4. larangan memanggil dengan panggila (gelar) yang buruk.

Pertama, Allah swt melarang menghina orang lain, termasuk juga meremehkan, merendahkan dan mengejek mereka. Ayat di atas secara keseluruhan menyiratkan pesan untuk dilarang keras meremehkan orang lain sebab bisa jadi yang diremehkan itu lebih baik ketimbang orang yang meremehkan. Seperti juga yang disabdakan oleh Rasulullah saw,

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْصُ النَّاسِ، وَيُرْوَى: وَغَمْطُ النَّاسِ

Takabbur ialah menentang kebenaran dan meremehkan orang lain; menurut riwayat yang lain, dan menghina orang lain.

Dalam konteks pendidikan Islam, larangan menghina dan meremehkan orang lain adalah perbuatan tercela. Terlebih fenomena bullying yang kerapkali terjadi di lingkungan sekolah. Sekelompok temannya mengucilkan temannya sendiri, mirisnya hal ini tidak jarang juga dilakukan oleh gurunya sendiri. Padahal hal ini diharamkan karena barangkali orang yang diremehkan, direndahkan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih dicintai, lebih diridhai-Nya daripada yang meremehkannya.


Baca juga : Tafsir Tarbawi: Larangan Bullying dalam Pendidikan Islam


Kedua, Allah swt melarang menertawakan atau memperolok orang lain. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam redaksi laa yaskhar. Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai sukhriyyah (menertawakan) atau istihza’ (ejekan).

Sedangkan kata yaskhar sendiri bermakna memperolok-olok dengan menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Contoh mengolok-olok misalnya sekelompok peserta didik menggunakan bahasa isyarat atau gerak tubuh dengan tujuan menertawakan perkataan atau perbuatan temannya yang lain, atau di antara guru juga demikian semua kemungkinan bisa terjadi. Shukriyyah juga dapat diartikan menghina dan menganggap rendah orang lain.

Ketiga, dalam ayat ini pula Allah swt juga melarang mencela diri sendiri mauppun orang lain. Dan janganlah kamu mengejek dirimu sendiri. Kata talmizu berasal dari kata al-lamz. Para ulama berbeda pendaat dalam memaknai kata ini. Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir misalnya memahaminya dalam arti ejekan yang ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik secara isyarat, ucapan, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini merupakan salah satu bentuk kekurangajaran dan pelecehan.

Sedangkan Yusuf al-Qardhawi memaknai al-lamz dengan al-wakhzu (serangan) dan al-tha’nu (tusukan atau celaan). Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan pedang dan ujung belatinya kepadanya. Penafsiran ini tepat sekal, bahkan serangan lidah, ujaran kebencian (hate speech) lebih dahsyat dan lebih menyakitkan.

Mencela juga kata Ibnu Katsir juga dapat dilakukan dengan perbuatan (al-hamz) dan perkataan (al-lamz). Kedua-duanya sama-sama perbuatan terlarang. Mengadu domba adalah termasuk bentuk mencela melalui perkataan, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Humazah [104]: 1. Begitu pula larangan mencela diri sendiri sama halnya sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Nisa [4]: 29.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Nasihat dalam Pendidikan Islam


Keempat, larangan memanggil dengan sebutan yang buruk. Pendidikan Islam hadir untuk memanusiakan manusia. Tapi tampaknya, di zaman ini orang lebih suka memanggil atau menggelari seseorang yang lainnya dengan sebutan yang tidak manusiawi misalnya sebutan hewan, sebutan buruk dan sebagainya.

Terlebih dalam dunia Pendidikan tak terkecuali pendidikan Islam hal ini sudah terjadi. Para guru beserta orang tua harus berperan aktif dalam membina akhlak para siswa siswi dan anaknya guna membentuk kepribadian yang akhlakul karimah.

Larangan in termaktub dalam redaksi wa la tanabazu fil alqab. Ibnu Katsir menafsirkannya dengan janganlah kamu memanggil orang dengan gelar yang buruk yang tidak didengar dan disukai oleh yang bersangkutan. Al-Shabunyi dalam Shafwah at-Tafasir misalnya janganlah kalian membuat gurauan dengan sebutan yang buruk, jangan pula memanggilnya dengan gelar yang buruk.

Allah swt juga melarang sesama mukmin saling memanggil dengan gelar yang buruk. Akan tetapi, perlud digarisbawahi memang terdapat sekian gelar atau julukan yang secara lahiriah dapat dinilai buruk, namun karena telag populer sebutan itu sehingga penyandanganya pun tidak lagi keberatan atau tersinggung dengan sebutan itu misalnya Abu Hurairah (bapak kucing) laqob ini disandang oleh sahabat Rasul saw yang menyukai kucing yakni Abdurrahman bin Shakhr. Hal yang demikian ini dapat ditoleransi oleh agama.


Baca juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?


Empat Bentuk Kurikulum Pendidikan Islam

Sebagaimana dijelaskan di muka ayat ini berisi empat pesan sebagai pengejawantahan kurikulum Pendidikan Islam yakni larangan untuk merendahkan, menertawakan/ memperolok, mencela, dan memanggil dengan gelar atau sebutan yang buruk. Ayat ini memberi bimbingan dan nasehat khususnya bagi kaum muslim, pendidik dan peserta didik agar keempat larangan tersebut dijauhi sejauh-jauhnya.

Alih-alih melakukan keempat hal tersebut, ada baiknya berintrospeksi diri dan mempertimbangkan apakah diriku lebih baik ketimbang dengannya?.

Apabila setiap pendidik atau peserta didik, orang mukmin khususnya selalu berpikir dan merenungi sebelum melontarkan kata-kata atau perbuatan, maka ia akan menyadari bagaimana semestinya bersikap dan berperilaku. Dengan kesadaran tersebut, dia dapat mengambil langkah-langkah perbaikan diri dan menahan dirinya dari melakukan keempat hal di atas. Wallahu A’lam.

Doa Sapu Jagat dan Tafsir Surah al-Baqarah [2]: 201

0
Doa Sapu Jagat

Umat Islam pada umumnya pasti mengetahui doa Sapu Jagat. Sebuah doa yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 201. Sejak kecil umat Islam di Indonesia misalnya, selalu diajarkan doa ini baik oleh kedua orang tuanya maupun guru yang mengajarkannya mengaji. Doa ini juga menjadi sebuah doa yang selalu hadir dalam setiap aktivitas keagamaan yang digelar oleh umat Islam.

Sejatinya mengapa disebut Sapu Jagat? Menurut pendapat mayoritas dikatakan bahwa dinamai Sapu Jagat sebab mencakup segala kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Ternyata definisi ini dikuatkan secara formal dan dapat dilacak di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Nah, sebenarnya mengapa doa ini begitu dahsyat? Maka menarik untuk mengulas doa yang sering dilafalkan ini dan melihat penafsiran ulama terhadapnya.

Doa Sapu Jagat yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 201 berbunyi:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

Ada riwayat yang menunjukkan bahwa asal mula doa tersebut dianjurkan ialah tatkala ada seorang Sahabat yang sedang sakit dan kondisinya bagaikan anak burung yang belum tumbuh bulu. Maka Rasulullah menjenguknya dan bertanya kepadanya, “apakah kamu pernah berdoa atau meminta sesuatu kepada Allah?”

Sahabat tersebut menjawab, “aku berdoa agar Allah tidak memberikanku siksa di akhirat dan menyegerakannya di dunia.” Maka Rasulullah pun menjawab, “sungguh tidak ada yang mampu menanggung siksa Allah” maka sebaiknya engkau berdoa, “ya Allah berikanlah aku kebaikan di dunia dan akhirat serta lindungilah aku dari azab neraka.”

Terdapat beberapa pandangan ulama mengenai makna fi al-dunya hasanah. Dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdapat beberapa riwayat yang mengatakan maknanya ialah keselamatan (‘afiyah), lalu mendapat ilmu dan kekuatan dalam beribadah (‘ilm wa ‘ibadah) dan harta (mal).

Ibn Jarir sendiri memilih untuk tidak men-takhshish lafaz fi al-dunya hasanah ke dalam makna tertentu dan lebih menganjurkannya dihukumi sebagai lafaz ‘am. Dengan begitu, manusia tidak akan membatasi dirinya sendiri terhadap kebaikan yang akan Allah karuniakan kepadanya di dunia.

Baca Juga: Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah Yang Halal

Pada lafaz fi al-akhirah hasanah, mayoritas riwayat memaknainya sebagai surga yang akan diberikan di akhirat kelak. Ibn Jarir pun mengamininya dan mengatakan bahwa “surga” adalah makna terbaik. Adapun sebagai tambahan, dalam Fath al-Qadir juga terdapat riwayat yang mengatakan bahwa fi al-dunya hasanah ialah pasangan dan fi al-akhirah hasanah ialah bidadari.

Jika dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka ayat ini menjadi pembeda antara kaum Jahiliyah dengan umat Islam. Dahulu kaum Jahiliyyah tatkala usai melangsungkan Haji, mereka beramai-ramai mengingat-ngingat nenek moyang mereka dan membangga-banggakannya. Lalu mereka juga berdoa dan meminta segala kebaikan di dunia tanpa peduli akhirat, sebab mereka tidak percaya jika adanya kehidupan setelah hari akhir.

Maka Islam dengan ayat ini menyeru kepada umatnya agar selepas melangsungkan ibadah Haji agar senantiasa mengingat Allah dengan berbagai ibadah yang bisa dijalani di tanah suci dan melafalkan doa Sapu Jagat. Sebab, Islam menginginkan agar umatnya selalu mengingat Allah dan mendoakan kebaikan bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat.

Lalu jika dikaitkan dengan ayat selanjutnya, maka akan didapati sebuah kesimpulan bahwa setiap insan akan mendapatkan balasan sesuai yang diusahakan. Maka bagi umat Islam yang gemar membaca doa Sapu Jagat dan gemar menebar kebaikan, niscaya kebaikanlah yang akan menjadi balasan baginya baik di dunia mapun di akhirat. Wallahu a’lam.

Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Mas’ud di Irak

0
Madrasah Tafsir
Madrasah Tafsir credit: arab-box.com

Seri terakhir dari materi madrasah tafsir di era Tabi’in akan ditutup dengan mengulas madrasah tafsir yang berada di Irak. Sebuah madrasah tafsir yang didirikan oleh Sahabat utama yang diakui keilmuannya dalam bidang tafsir. Ia adalah Abdullah ibn Mas’ud atau yang dipanggil sebagai “al-ustadz al-awwal” sebab ia dikatakan sebagai penginisiasi berdirinya madrasah tafsir serta orang yang paling tinggi derajatnya dalam bidang tersebut.

Abdullah ibn Mas’ud diutus bersama Ammas ibn Yassar ke Kufah oleh Umar ibn Khattab yang kala itu memimpin kekhalifahan Islam. Ia ditugaskan menjadi wazir (pejabat pemerintahan) sekaligus pengajar bagi para Tabi’in yang berada di sana. Bahkan sebelum tibanya Ibn Mas’ud, umat Islam di Kufah telah diberikan pesan oleh Umar untuk menimba lautan ilmu Ibn Mas’ud yang begitu luas dan dalam.

Dari sekian banyak Tabi’in yang menuntut ilmu di madrasah tafsir Ibn Mas’ud, ada beberapa nama yang masyhur. Mereka adalah para tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ibn Mas’ud yang dianggap sebagai pewaris estafet keilmuan di generasi sebelumnya. Di antara nama-nama yang masyhur tersebut ada tiga nama yang akan diulas dalam tulisan kali ini yaitu Amir al-Sya’bi, Hasan al-Bashri dan Qatadah.

Amir al-Sya’bi

Amir al-Sya’bi atau biasa dipanggil Abu Amr memiliki nama lengkap Amir ibn Syarahil al-Sya’bi. Lahir pada tahun 20 Hijriyyah dan wafat pada tahun 109 Hijriyyah. Ia adalah seorang hakim di Kufah. Meriwayatkan riwayat yang berasal dari para kibar Sahabat seperti Umar, Ali, Abu Hurairah, Ibn Mas’ud dan yang lainnya.

Banyak pujian yang disematkan para ulama kepadanya. Ia dikatakan sebagai Ibn Abbas di zamannya. Ibn Syubrumah meriwayatkan perkataan Amir al-Sya’bi yang memperlihatkan kejujuran, keceradasan dan semangat akademiknya, “aku tidak pernah menulis hitam menjadi putih, dan tidak ada seorang pun yang menyampaikan hadis padaku kecuali aku menghafalnya, dan tidak ada seorang pun yang menyampaikan hadis kepadaku kecuali aku begitu menyukai jika ia mengulanginya lagi padaku”.

Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Al-Sya’bi adalah seorang Tabi’in yang tsiqah. Ulama bersepakat atas penilaian tersebut dan mengakui derajat keilmuannya yang tinggi. Meskipun begitu, al-Sya’bi bukanlah seorang yang mudah melakukan penafsiran berdasarkan ijtihad. Ia begitu berhati-hati dalam menjawab persoalan yang ditanyakan kepadanya. Ia hanya akan menjawab dengan ijtihad nalarnya tatkala tidak didapati jawabannya dari riwayat para salafussalih.

Namun pandangan al-Sya’bi ini kerapkali menjadi alasan ia menolak pandangan ulama lainnya yang terkesan gemar melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’an seperti al-Suddi. Dalam sebuah majelis tafsir al-Suddi, ia pernah berkata kepada para jama’ah, “bermain gendang lebih baik bagi kalian daripada majelis ini”.

Mungkin ada alasan yang mendasari al-Sya’bi melakukan itu pada al-Suddi. Namun bagi penulis, perkataan dan sikap al-Sya’bi yang cukup menohok ini tidak patut untuk ditiru kecuali didasari alasan yang jelas. Sebagaimana pembubaran majelis tertentu yang harus didasari bukti bahwa majelis itu menyesatkan aqidah ataupun justru mengarahkan pada rusaknya ukhuwah Islamiyah.

Al-Hasan al-Bashri

Dikenal dengan julukan Abu Said dan bernama lengkap al-Hasan ibn Abul Hasan Yassar al-Bashri. Lahir di dua tahun terakhir kekhalifahan Umar atau pada tahun 21 Hijriyyah dan besar di Wad al-Qura. Ia seorang Tabi’in yang dikenal fasih, wara’ dan zuhud. Dikatakan bahwa tidak ada yang menandingi kepiawaiannya dalam berkhutbah atau memberi nasihat serta dalam memberikan bekas di hati para pendengarnya.

Kemampuannya dalam menyampaikan pesan dari Kitabullah serta Sunnah dengan baik serta kemapananannya dalam ilmu membuatnya berada pada derajat yang tinggi. Bahkan Abu Bakar al-Baqir mengatakan bahwa kalam Hasan seperti halnya kalam Nabi, sebab pembawaannya yang santun lagi berisi.

Di kalangan ahlu hadis, Hasan al-Bashri dinilai sebagai seorang yang tsiqah. Ia juga seorang Tabi’in yang mampu menafsirkan al-Qur’an secara tepat dan mampu memberikan contoh riilnya yang aktual. Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh Hammad ibn Salamah dari Hamid yang menceritakan bahwa ia saat itu membaca al-Qur’an di depan al-Hasan al-Bashri, lalu kemudian sang Imam Bashrah itupun menafsirkan ayat yang dibaca Hamid (ayat tentang takdir) seraya memberikan contoh agar Hamid semakin memahaminya, lalu berkata, “barangsiapa yang mendustakan takdir maka telah kufur”.

Imam al-Bashrah al-Hasan al-Bashri wafat di usia 88 tahun pada tahun 110 Hijriyyah.

Qatadah

Qatadah ibn Da’amah al-Sudusi al-Akmah ialah nama lengkapnya. Ia dijuluki Abul Khattab. Seorang Tabi’in yang merupakan orang Arab asli yang menetap di Bashrah. Dikatakan bahwa Qatadah adalah seorang yang memiliki hafalan yang kuat, keluasan pengetahuan mengenai syair-syair Arab serta makna mengenai hari-hari tertentu menurut bangsa Arab serta silsilah nasabnya.

Kemampuan menghafalnya yang kuat mendapat pujian dari berbagai ulama. Sa’id ibn Musayyab bahkan heran ternyata Allah menciptakan orang dengan kekuatan hafalan seperti Qatadah. Kelebihannya ini menjadikannya mampu menghafal banyak riwayat serta ilmu yang diwariskan oleh Sahabat, sehingga ia pun di tempatkan sebagai Tabi’in yang paling piawai mengenai tafsir al-Qur’an.

Baca Juga: Tiga Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary)

Kekuatan hafalannya juga membuatnya ditempatkan sebagai rawi yang dipercaya serta diterima riwayatnya. Sebagaimana para ulama ahli hadis menilai bahwa Qatadah adalah seorang yang tsiqah dan riwayatnya dibutuhkan sebagai rujukan. Qatadah wafat di usia yang belum menginjak 60 tahun (56 tahun) pada 117 Hijriyyah.

Itulah ulasan ringkas mengenai para Tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ibn Mas’ud. Mengetahui biografi dan penilaian ulama atas mereka menjadi salah satu jembatan dalam mempermudah melakukan kajian kritik sanad. Maka semakin banyak para pengkaji mengenal tokoh-tokoh yang menjadi rawi/ pembawa riwayat, maka semakin mudah untuk menilai sisi kualitas riwayat berdasarkan rantai sanadnya. Wallahu a’lam.

Brigjen Bakri Syahid : Mufasir Quran Bahasa Jawa

0
Brigjen Bakri Syahid
Brigjen Bakri Syahid

Tafsir al-Huda Karya Brigjen Bakri Syahid, seorang mufasir Quran bahasa Jawa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya tentu menjadi khazanah tafsir nusantara kita. Penggunaan bahasa Jawa yang tegas dan lugas, tentu kehadiran tafsir ini sangat diperlukan ditengah-tengah masyarakat Jawa. Sesuai dengan latar belakang penulisan tafsir ini yang didasari rasa keprihatinan minimnya tafsir yang menggunakan bahasa jawa huruf latin.

Kecenderungan dan dominasi Bakri Syahid dalam menafsirkan sangat jelas terlihat. Mulai dari corak sosial-kemasyarakatan, unsur politik dan beberapa penafsiran yang dipengaruhi oleh corak militer dan kenegaraan. Hal ini tentu tidak lepas dari latar belakang keluarga dan pendidikan, serta karirnya sebagai perwira ABRI.


Baca juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah


Latar Belakang Brigjen Bakri Sahid

Lahir di kampung Suronatan, Ngampilan Yogyakarta pada hari Senin Wage, 16 Desember 1918 M.(Al Huda Tafsir Quran Basa Jawi hal.9)  Nama Aslinya adalah Bakri, sedangkan syahid diambil dari nama Ayahnya, Muhammd Syahid. Dan Ibunya bernama Dzakirah. Bakri Syahid merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Dan ia wafat pada usia 76 tahun yaitu pada tahun 1994 M pada saat sholat tahajud.

Keluarga Bakri Syahid dikenal dengan keluarga yang agamis dan aktif dalam organisasi ke Muhammadiyah an. Ketika masuk di madrasah Muallimin, ia masuk menjadi salah seorang gerilyawan. Keaktifannya sebagai anggota gerilyawan ini pula yang menjadi cikal bakal dirinya sebgai seorang ABRI (sekarang TNI).

Bakri Syahid menikah dengan seseorang bernama Siti Isnainiyah yang merupakan wasiat dari sesepuhnya. Dari pernikahan tersebut dia mempunyai seorang anak laki laki bernama Bagus Arafah. Namun tak lama kemudian, anak tersebut meninggal di usia 9 bulan.

Kemudian untuk mengenangnya, namanya diabadikan menjadi nama perusahaan PT. Bagus Arafah yang berjalan di bidang percetakan, laboratorium dan lain-lain. Termasuk Tafsir Al Huda ini juga di cetak oleh percetakan Bagus Arafah.

Setelah pensiun, Bakri Syahid menginginkan mempunyai anak lagi, tapi setelah lama menunggu dan tidak kunjung dikaruniai anak, ayah dari Bakri Syahid menyuruh beliau menikah lagi dengan seorang perempuan yang merupakan mantan murid nya di Madrasah Muallimat yang bernama Sunarti pada tahun 1983 M. Dari pernikahan tersebut beliau dikarunia dua orang anak bernama Siti Arifah Manishati dan Bagus Hadi Kusuma.( Imam Muhsin, Al Quran dan Budaya Jawa, hal. 34)


Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya


Riwayat Pendidikan dan Karir Brigjen Bakri Syahid

Dimulai dari pendidikan formal di Kweekschool Islam Muhammadiyah (sekarang madrasah Muallimin) dan lulus pada tahun 1935. Setelah itu dia dikirim untuk dakwah ke Sidoarjo dan disana menjadi guru H.I.S Muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian dia dikirim ke bengkulu sampai tahun 1942.

Sepulang dari Bengkulu beliau diangkat menjadi Pusroh TNI AD di Jakarta. Karena kinerjanya yang bagus, pada tahun 1957 beliau mulai kuliah di Fakultas Syariah IAIN SUNAN KALIJAGA sebagai tugas mahasiswa belajar, dan lulus pada tahun 1963. Dan pada tahun 1964  beliau mendapat tugas dari Jend. A. Yani untuk melanjutkan pendidikan militer di Fort Hamilton, New York.

Beberapa jabatan Bakri Syahid selama karir dalam bidang militer diantaranya:

  1. Komandan Kompi
  2. Wartawan Perang No.6-MBT
  3. Kepala Staf Batalyon STM-Yogyakarta
  4. Kepala Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islan AD
  5. Wakil Kepala Pusroh AD
  6. Asisten Sekretaris Negara RI

Pangkat terakhir dalam bidang militer yaitu Kolonel Infantri AD NRP-15382. Selain karir dalam bidang militer, Bakri Syahid juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga periode 1972-1976. Beliau menggantikan Prof. Mr. R.H.A. Soenarjo, dan dilantik pada tanggal 15 Juli 1972.


Baca juga: K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan


Bakri juga pernah menjabat sebagai anggota MPR RI dari fraksi ABRI pada tahun 1977. Selain menjadi rektor IAIN Sunan Kalijaga, Bakri Syahid juga di daulat menjadi rektor pertama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Yang merupakan universitas yang dirintis bersama Mawardi dan Dasron Hamid pada tahun 1981.

Berikut Contoh Tafsir al-Huda (Tafsir berbahasa Jawa):

Karya-karya Bakri Syahid antara lain:

  1. Tata Negara RI
  2. Ilmu Jiwa Sosial
  3. Kitab Fikih
  4. Kitab Aqaid
  5. Ilmu Kewiraan
  6. Pertahanan dan Keamanan Nasional
  7. Ideologi Negara Pancasila Indonesia
  8. Al Huda Tafsir Quran Basa Jawi

Dan tafsir al Huda sendiri ini mulai ditulis pada tahun 1970. Tepatnya saat ia masih bertugas sebagai Asisten Sekretaris Negara RI dan terus berlanjut sampai menduduki jabatan rektor IAIN Sunan Kalijaga.(Pengakuan ini penulis tulis di kata pengantar tafsirnya (purwaka), al Huda, hal. 8)

Allahumma dan Yaa Rabbana dalam Al Quran, Samakah maknanya?

0
doa dalam Al Quran
doa dalam Al Quran

Kita sering menemukan redaksi doa dalam Al Quran. Di antaranya ada yang menggunakan redaksi Allahumma dan Yaa Rabbana seperti pada keterangan dalam beberapa ayat  diantaranya QS. Ali ‘Imran [3]:26.

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Al-Maidah [5]:114

قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama”.

Yunus [10]:10

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Doa mereka didalamnya (Maha Suci Engkau Yaa Allah, sapaan penghormatan antar mereka adalah salam dan mereka menutip doa mereka dengan memuji Tuhan seru sekalian alam”.

Baca juga: Mengulik Makna Silaturahim dan Manfaatnya

Para pakar bahasa menyatakan bahwa kata Allahumma terdiri dari kata Allah yang disertai dengan mim berganda sehingga gabungannya adalah Allahumma. Huruf mim tersebut berfungsi sebagai pengganti kata yaa yang berarti “wahai”. Kendati demikian, istilah Allahumma diartikan sebagai “wahai Allah”. Hal tersebut selaras dengan pendapat seorang  Mufassir Al Quran, Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’alimut Tanzil.

Imam al-Baghawi berkata:

 وقد قال البغوي في التفسير : قل: اللهم  قيل : معناه يالله فلما حذف حرف النداء زيد الميم في آخره ، وقال قوم : للميم فيه معنى ، ومعناها ياالله أمنا بخير أي : اقصدنا.

“Imam al-Baghawi berkata dalam tafsirnya; kata Allahumma diartikan sama dengan kata Yaa Allah, ketika dibuang huruf Nida (panggilan) maka ditambahkanlah huruf mim di akhir kata tersebut. Ada sekelompok yang mengatakan ‘kata mim disini memiliki makna (yaa Allah jagalah kami dengan segala kebaikan)”.

Baca juga: Mubarak Atau Mabruk, Manakah yang Lebih Pas?

Menyelami makna Yaa Rabbana dan Rabbana

Selain redaksi Allahumma diatas, ada juga redaksi Rabbana atau menambahkan kata Yaa sebelumnya, sehingga menjadi Yaa Rabbana. Seperti halnya dalam QS. Al-Baqarah [2]:201, redaksi ayat doa yang tidak menggunakan kata yaa.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan diantara mereka berkata, wahai Tuhan kami berikanlah kebaikan bagi kami di dunia dan di akhirat, dan jauhkanlah aku dari siksa neraka”.

Ayat  Al Quran yang telah dikemukakan diatas jelas tidak menggunakan kata yaa didalamnya. Ia disebutkan dengan langsung menggunakan kata Rabbana. Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, hal ini disebabkan karena yaa mengesankan panggilan kepada yang jauh. Sedangkan, berdoa adalah suatu hal yang perlu meyakinkan kedekatan antara si pendoa dengan Tuhan.

Sederhananya, seseorang yang berdoa sedang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan begitu, kiranya tidak perlu menggunakan suara yang keras ketika berdoa, karena Allah Maha Mendengar. Innallaha Sami’un Basyir.

Penulis menemukan dua ayat dalam  Al Quran yang menggunakan kata yaa diantaranya:

  • Al-Furqan [25]:30

وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

“Dan Rasul (Muhammad) berkata ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini diabaikan”.

  • Az-Zukhruf [43]:88

وَقِيلِهِ يَارَبِّ إِنَّ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ لَا يُؤْمِنُونَ

“Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad), ‘Ya Tuhanku,sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman”.

Menurut Quraish Shihab, kedua doa atau keluhan ini disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berada di tengah umatnya yang durhaka mempersatukan Allah dan mengabaikan tuntunan Al Quran. Quraish Shihab pun melanjutkan bahwa kedua ayat diatas menggunakan kata “yaa” dan mengisyaratkan bahwa orang yang mempersatukan Allah dan meninggalkan tuntunan Al Quran pasti ia akan jauh dari rahmat Allah. Namun, hal yang perlu diketahui bahwa Rasulullah memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dan selalu ingin dekat dengan umatnya.

Lantas, redaksi mana yang lebih diutamakan, menggunakan Allahumma atau Yaa Rabbana?

Quraish Shihab menyatakan bahwa keduanya sama-sama utama dan memiliki keistimewaan.

Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan

Berikut dua keistimewaan yang sama-sama dimiliki oleh kedua istilah diatas

  1. Redaksi Allahumma menggambarkan seseorang yang mengajukan harapan kepada Tuhan yang menyandang aneka sifat kesempurnaan yang tentunya sangat berdampak kepada makhluk. Misalnya, Tuhan memiliki sifat Maha Pengasih, Pemberi Rezeki. Pun hal yang tidak berdampak kepada makhluk seperti kesucian atau keindahan (Jamal).
  2. Dengan redaksi Yaa Rabbana, atau Rabbi, istilah ini lebih ditekankan kepada sifat-sifat Tuhan yang berdampak pada manusia seperti sifatNya yang Maha Kasih, Maha Pemaaf, dan lain-lain. Wallohu a’lamu bi Muradihi.

Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?

0
Alquran terjemah
Alquran terjemah. credit: nu.or.id

Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab menjadikan umat Islam yang non-Arab sering sekali kesulitan memahami arti kata yang terlafalkan di dalamnya. Di saat yang sama banyak dari mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap bahasa Arab. Oleh karena itu, keberadaan Alquran terjemah menjadi alternatif solusi yang paling praktis untuk membantu memahami makna Alquran.

Firman Allah dalam surat Al-Waqiah ayat 77-779,

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ () فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ  () لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ  

Artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”. (QS. Al-Waqiah [56]: 77-79)

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai hukum menyentuh mushaf Alquran. Berdasarkan firman Allah di atas, ulama sepakat bahwa mushaf hanya boleh disentuh oleh seseorang yang suci dari hadas dan najis, sebab Alquran adalah kalamullah yang wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk memuliakan dan mengagungkannya. Termasuk bentuk memuliakannya yaitu dengan menyentuh, membaca dan mempelajarinya dalam keadaan suci.

Pertanyaannya, apakah Alquran terjemah statusnya sama dengan mushaf Alquran, ataukah berbeda? Bagaimana kemudian aturan menggunakannya?

Baca Juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!

Pertama, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah maksud dari terjemahan Alquran itu sendiri. Dalam kitab Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi al-Bantani berkata:

اَمَّا تَرْجَمَةُ الْمُصْحَفِ الْمَكْتُوْبَةِ تَحْتَ سُطُوْرِهِ فَلاَ تُعْطَى حُكْمُ التَّفْسِيْرِ بَلْ تَبْقَى لِلْمُصْحَفِ حُرْمَةُ مَسِّهِ وَحَمْلِهِ كَمَا اَفْتَى بِهِ السَّيِّدُ اَحْمَدُ دَحْلاَنُ

Artinya: “Adapun terjemahan mushaf al-Qur’an yang ditulis di bagian bawahnya, maka tidak dihukumi tafsir, namun tetap berstatus mushaf yang haram disentuh dan dibawa (dalam keadaan hadas) sebagaimana yang difatwakan oleh Sayid Ahmad Dahlan.”

Namun, Sayid al-‘Alawi bin Sayid al-‘Abbas dalam karyanya yang berjudul Faidhul Khabir, memberikan penjelasan bahwa terjemah secara bahasa berarti memindah. Sedangkan menurut istilah memiliki dua pengertian. Pertama, terjemah ma’nawiyah tafsiriyah yaitu menjelaskan makna suatu ucapan yang menggunakan bahasa lain tanpa terikat dengan susunan huruf dan tetap menjaga gaya bahasa serta runtutan aslinya.

Kedua, terjemah harfiyah yakni mengganti kata yang asli dengan kata lain yang sama arti namun dengan bahasa yang berbeda. Kategori yang kedua ini tidak merubah arti dari teks yang asli. Maka dengan melihat pada Alquran terjemah yang ada saat ini, Sayid al-‘Alawi menyatakan bahwa dalam khazanah ilmu Alquran dan tafsir, terjemahan tersebut masuk kategori pertama yakni terjemah ma’nawiyah tafsiriyah seperti halnya kitab tafsir. Sebab, jika diteliti, ditemukan banyak lompatan makna yang yang tidak sesuai dengan dengan runtutan kata yang terdapat dalam Alquran, sehingga hukum menyentuhnya tanpa memiliki wudu adalah boleh.

Baca Juga: Problem Status Terjemah dan Tafsir Al QuranTafsir, Takwil dan Terjemah

Lalu, bagaimana hukum menyentuh kitab tafsir?

Menurut jumhur ulama, orang yang sedang hadas termasuk hadas besar, diperbolehkan menyentuh kitab tafsir, membawa serta mempelajarinya. Sebab, tujuan dari tafsir adalah memaknai Alquran, bukan hanya membaca lafad-lafadnya. Meski demikian, as-Syafi’i menegaskan bahwa diperbolehkannya menyentuh tafsir itu dengan syarat huruf tafsirnya lebih dominan daripada huruf teks asli Alquran. Banyak sekali tafsir yang seperti kriteria ini, misalnya Mafatihul Ghaib Ar-Razi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an al-Qurthubi, dan lain-lain. Sedangkan untuk Tafsir Jalalain yang sering digunakan di Indonesia, menurut sebagian pendapat jumlahnya lebih banyak dua huruf dibandingkan huruf ayat Alquran, sehingga juga boleh menyentuhnya, meski tanpa wudu. Namun, untuk memastikan mana jumlah huruf yang dominan antara tafsir dan ayat Alquran tentunya sangat sulit dan bisa jadi terdapat kekeliruan seperti kelebihan atau kekurangan huruf. Maka, Syekh Syatha’ ad-Dimyati, pengarang I’anatut Thalibin mengungkapkan,

وَجَرَى اِبْنُ حَجَرٍ عَلَى حِلِّهِ مَعَ الشَّكِّ فِي الْأَكْثَرِيَّةِ اَوِ الْمُسَاوَةِ، وَقَالَ: لِعَدَمِ تَحَقُّقِ الْمَانِعِ وَهُوَ الْإِسْتِوَاءُ

Artinya: “Imam Ibnu Hajar al-Haytami berpendapat bolehnya menyentuh (terjemah maknawiyah) ketika ragu akan jumlah hurufnya apakah lebih banyak atau sama. Ia menjelaskan, hal itu karena tidak ada kepastian jika jumlahnya sama dengan al-Qur’an.”

Baca Juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Kesimpulannya, menyentuh Alquran terjemah dalam keadaan tidak suci (hadas kecil maupun besar) itu diperbolehkan. Namun, alangkah baiknya jika seseorang berwudu terlebih dahulu sebelum memegangnya, sebab bagaimanapun juga Alquran memuat firman Allah yang maha Mulia Suci dan Maha Mulia.

Wallahu A’lam

Inilah Empat Manfaat Hujan dalam Al Quran

0
manfaat hujan
manfaat hujan (kompas.com)

Hujan dalam perspektif sains merupakan pangkal dari siklus air yang ada di muka bumi. Uap air yang dibawa oleh angin menuju daratan pada proses akhirnya akan menjadi hujan yang menurunkan butiran-butiran air sehingga dapat diserap oleh tanah yang menyuburkan berbagai tanaman, dan menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, ataupun tumbuhan.

Di samping memberikan manfaat bagi kehidupan, hujan pun ternyata dapat menjadi bencana. Akan tetapi, hal itu tidak kita bahas dalam tulisan ini. Kita hanya menelaah manfaat atau ibrah dari proses terjadinya hujan, dan untuk apa ia diciptakan. Allah swt, berfirman,

وَلَقَدْ صَرَّفْنٰهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوْا ۖ فَاَبٰࣤى اَكْثَرَ النَّاسِ اِلَّا كُفُوْرًا

“Dan sungguh, kami telah mempergilirkan (hujan) itu diantara mereka agar mereka mengambil pelajaran; tetapi kebanyakan manusia tidak mau (bersyukur), bahkan mereka mengingkari (nikmat)”(QS. al-Furqan: 50)

Dalam konteks ayat ini, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa makna kufur yang dikaitkan dengan hujan dapat berarti sikap mengabaikan peranan AllahwSwt dalam pengaturan hukum-hukum alam tentang turunnya hujan. Hujan memang ada sebabnya seperti berdasarkan hukum alam yang telah dijelaskan oleh para ilmuwan tentang bagaimana proses terjadinya hujan.

Akan tetapi, kita tidak boleh berhenti pada penjelasan hukum-hukum alam itu, kita harus percaya bahwa dibalik hukum alam, ada kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui, yakni Allah ‘al-‘Aziz al-Hakim. Dia lah yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam yang terjadi.

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ketika hujan turun dengan sangat deras, Rasulullah saw mengajarkan kita untuk mengucapkan doa, sebagaimana dalam hadits berikut,

حَدَّثَنَا اَلْمَرْوَزِيِّ قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الله عَنْ نَافِع , عَن الْقَسِم بْنُ مُحَمَّدٍ, عَنْ عَائِشَةَ : اَنَّ رَ سُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا الْمَطَرَ قَالَ: اَللّٰهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Menceritakan kepada kami Al-Mawarzi, dia berkata: mengabarkan kepada kami Abdullah dari Nafi’, dari Qasim bin Muhammad, dari ‘Aisyah : sesungguhnya setiap kali Rasulullah Saw, melihat hujan, berdoa ‘Allahumma shoyyiban năfi’an’ (Ya Allah, jadikanlah hujan (ini) bermanfaat” (HR. Al-Bukhari)

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Dengan dalil hadits diatas, untuk itu mari coba kita ulas apa saja manfaat hujan seperti yang disebutkan dalam Al Quran.

Dapat Menyuburkan Tanah

Allah swt, berfirman,

وَالَّذِيْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءًۢبِقَدَرٍ ۚ فَاَنْشَرْنَا بِهٖ بَلْدَةً مَّيْتًا ۚ كَذٰلِكَ تُخْرَجُوْنَ

“ Dan yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan) lalu dengan air itu kami hidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)”(QS. Az-Zukhruf: 11)

Tanah akan menjadi subur Ketika hujan turun di daerah yang tandus. Sehingga di sana akan tumbuh berbagai macam tanaman. Di samping itu juga menjadi peringatan dari Allah swt untuk umat manusia bahwa di hari kiamat kelak akan ada penghidupan jasad yang telah mati, seperti halnya hujan menghidupkan tetumbuhan di tanah yang sebelumnya tandus, mati.

Sumber Air bagi kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan

Pada saat hujan turun, air yang dihasilkan adalah air tawar. Air jenis ini sangat di butuhkan makhluk hidup di bumi. Seperti halnya manusia dan hewan yang minum dengan air tawar. Selain itu air tawar juga digunakan untuk mengairi tanaman yang menjadi sumber makanan hewan dan manusia. Allah swt berfirman,

لِّنُحْيِيَ بِهٖ بَلْدَةً مَّيْتًا وَّنُسْقِيَهٗ مِمَّا خَلَقْنَآ اَنْعَامًاوَّاَنَاسِيَّ كَثِيْرًا

“Agar (dengan air itu) kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan kami memberi minum sebagian apa yang telah kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak”

Baca juga: Inilah Keutamaan dan Manfaat Buah dalam Al Quran

Di ayat lain Allah swt berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً لَّكُمْ مِّنْهُ شَرَابٌ وَّمِنْهُ شَجَرٌ فِيْهِ تُسِيْمُوْنَ

“Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kami, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu.”(QS. An-Nahl: 10)

Menyuburkan segala jenis tumbuh-tumbuhan.

Bagi mereka yang bekerja di bidang pertanian dan perkebunan, hujan menjadi salah satu kontribusi bagi keberhasilan panen yang baik. Saat curah hujan turun normal, maka tanaman yang ada diladang perkebunan dan pertanian menjadi subur, sehingga hasil panen akan menuai keuntungan seperti yang diharapkan.

Allah swt berfirman,

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً مُّبٰرَكًا فَاَنْبَتْنَابِهٖ جَنّٰتٍ وَّحَبَّ الْحَصِيْدِ

“Dan dari langit kami turunkan air yang memberi berkah lalu kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen”(Q.S. Qaf: 9)

Lebih spesifik lagi dijelaskan dalam ayat berikut,

يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَ الزَّيْتُوْنَ وَ النَّخْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanaman-tanaman, zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berfikir”(QS. An-Nahl: 11)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Salah satu fenomena alam yang mendatangkan rezeki

Bisa jadi turunnya hujan akan mendatangkan rezeki kepada kita. Salah satunya adalah berupa kelimpahan panen. Allah swt, berfirman,

الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً ۖ وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“ (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan)itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui”(QS. Al-Baqarah: 22)

Di sisi lain, hujan pun menjadi penyebab ditemukannya alat berupa payung. Nah, pada saat musim hujan, otomatis para pedagang payung akan mendapatkan keutungan dari menjajakan barangnya untuk digunakan orang-orang agar tidak basah saat beraktivitas dijalanan.

Seperti itulah manfaat hujan yang dapat dirasakan langsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Andaikan hujan malah menimbulkan mudharat bagi kehidupan kita, bisa jadi itu merupakan petunjuk dari Allah bahwa manusialah penyebabnya (Q.S. Ar-Rum: 41), karena tidak memaksimalkan manfaat yang dianugerahkan oleh-Nya.

Semoga kita menjadi manusia yang selalu bersyukur atas segala rahmat yang diberikan Allah swt kepada kita dan menjadikan kita sebagai pribadi yang bersyukur, walaupun hanya dengan cara memperhatikan dan memaknai apa yang manfaat yang dapat kita pelajari dari penciptaan hujan.

K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan

0
K.H Ahmad Sanusi
K.H Ahmad Sanusi credit: masaginews.com

K.H Ahmad Sanusi adalah seorang putera Sukabumi yang pernah berkiprah di kancah nasional pada tahun 1920 sampai 1950. Ia merupakan ulama sekaligus pejuang yang turut ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia bersama BPUPKI. Berkat perjuangan tersebut, ia dianugerahi Bintang Maha Putera oleh presiden Soekarno Utama pada tahun 1992 dan penghargaan Bintang Maha Putera Adipradana oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 (Kiyai Ahmad Sanusi dan Karya-Karyanya: Khasanah Literasi Ilmu-Ilmu Ajaran Islam di Nusantara: 5).

Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 18 September 1888 M di desa Cantayan kecamatan Sukabumi, Jawa barat. Desa ini adalah sebuah perkampungan kecil yang terletak di antara dua gunung, yakni gunung Sunda dan gunung Walat. Letak geografis tersebut membuat akses jalan menjadi sulit. Diceritakan bahwa hingga tahun 1970-an, jika seseorang ingin berkunjung ke sana maka ia harus turun dari kendaraan yang melintasi jalur Cibadak-Sukabumi persis di ujung jembatan Cimahi.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Menurut penuturan masyarakat sekitar Cantayan, Ahmad Sanusi adalah keturunan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, seorang ulama yang menyebarkan Islam di Tasikmalaya. Beliau pindah ke Sukabumi pasca terusir dari Tasikmalaya akibat pertentangan dari pemerintahan Belanda. Setelah menetap di desa Cantayan, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan kemudian menjadi ajengan (tokoh agama) di sana dan mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan (K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional: 223).

Perjalanan Intelektual

Di pesantren Cantayan inilah Sanusi kecil dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya, KH. Abdurrohim. Di sana ia mempelajari berbagai cabang ilmu keislaman dan kepesantrean bersama saudara-saudaranya di bawah bimbingan langsung K.H. Abdurrohim. Proses pembelajaran ini berlangsung selama kurang lebih 16 tahun. Berkat privilege tersebut, K.H Ahmad Sanusi belia menjadi sosok anak yang taat dalam beragama.

Kemudian pada usia 17 tahun, Sanusi muda melanjutkan pendidikannya ke pesantren-pesantren lain selama 4 tahun, yaitu: Pesantren Salajambe Cisaat (6 bulan), Pesantren Sukamantri Cisaat (2 bulan), Pesantren Sukaraja (6 bulan), Pesantren Cilaku Cianjur (1 tahun), Pesantren Ciajag Cianjur (5 bulan), Pesantren Gentur Warung Kondang Cianjur (6 bulan), Pesantren Buniasih (3 bulan), Pesantren Keresek Blubur Limbangan (7 bulan), Pesantren Sumursari (4 bulan), dan Pesantren Gudang Tasikmalaya (1 tahun).

Pada tahun 1909, yakni beberapa bulan pasca pernikahannya, Sanusi yang baru menginjak usia 21 tahun melaksanakan Ibadah haji ke Mekah. Setelah melaksanakan haji, beliau tidak langsung pulang dan bermukim di sana selama 7 tahun. Ini ia lakukan dengan tujuan menambah dan memperdalam ilmu agama serta pengetahuan lainnya. Tindakan K.H Ahmad Sanusi merupakan hal lumrah pada masa itu, sebab prosesi haji memakan waktu yang cukup panjang. Untuk mengisi waktu luang biasanya masyarakat Indonesia di Mekah memperdalam ilmu agama.

Pada akhir tahun 1915, Ahmad Sanusi kembali ke tanah air Indonesia. Pada mulanya, ia membantu mengajar di Pesantren ayahnya dahulu, namun setelah beberapa waktu ia kemudian mendirikan sebuah pesantren di kampung Genteng, Desa Lembur Sawah, Cibadak Sukabumi yang dinamakan Pesantren Babakan Sirna. Santri pertama pesantren ini adalah santri-santri ayahnya yang ikut membuka pemukiman baru.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Selain mengurus pesantren, K.H Ahmad Sanusi juga sering memberikan ceramah dari desa ke desa di sekitar jawa barat. Banyak persoalan-persoalan sosial-keagamaan di masyarakat yang mampu ia selesaikan dengan bijaksana, termasuk permasalahan terkait kenegaraan. Ia seringkali menekankan kepada masyarakat tentang pentingnya kecintaan terhadap agama, negara dan bangsa agar mereka sadar dan mampu bergerak demi kemerdekaan Indonesia.

Dengan penuh kecintaan dan harapan, K.H Ahmad Sanusi tanpa lelah mendorong masyarakat supaya sadar akan pentingnya sebuah negara merdeka demi kebebasan penduduk untuk melaksanakan perintah agama (syariat). Dengan kemerdekaan juga, bangsa dan negara dapat dibangun sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri. Karena tindakan tersebut, Ia ditangkap oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1927 karena dianggap dapat menimbulkan pemberontakan dan baru dibebaskan ketika Belanda dikalahkan Jepang.

Selain dikenal sebagai ulama yang aktif berdakwah, K.H Ahmad Sanusi juga merupakan ulama yang produktif menulis. Setidaknya ada 125 judul kitab hasil tangan emasnya yang terdiri dari 101 judul kitab berbahasa Sunda dan 24. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia 1986 mencatat bahwa selama hidupnya K.H. Ahmad Sanusi telah menulis 480 buah judul kitab. (K.H Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional: 20-21).

Salah satu bidang ilmu yang ditekuni kiai yang akrab disapa Ajengan Cantayan ini adalah tafsir. Dalam bidang ini beliau meninggalkan sebuah magnum opus yang berjudul Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an. Tafsir ini ditulis menggunakan aksara Pegon dengan bahasa Sunda lengkap 30 juz Al-Qur’an sebanyak 1255 halaman. Juz 1 hingga juz 15 dan juz 29 serta 30 ditulis langsung oleh beliau sebelum wafat (1950 M), sedangkan sisanya ditulis oleh putra-putranya, yakni Ahmad Zarkasih (juz 16-18, juz 26-29 ) dan Badri Sanusi (juz 19-25).

Dalam menulis Rawdat al-‘Irfan Fi Ma’rifat al-Qur’an, K.H Ahmad Sanusi banyak menggunakan ra’yu yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis. Secara umum, penafsiran beliau ini dapat dikategorikan sebagai tafsir ijmali, karena pembahasan di dalamnya bersifat umum, tanpa uraian apalagi penjelasan yang panjang dan luas mengenai ayat. Selain itu, ada aspek lokalitas tafsir yang menarik untuk dilihat, di mana beliau melakukan vernakularisasi makna ayat Al-Qur’an agar mudah dipahami pembaca masyarakat Sunda. Wallahu a’lam.

Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

0
Kota Madinah
Kota Madinah credit: madainproject.com

Kharisma Kota Madinah sebagai salah satu kota paling bersejarah menjadi suatu alasan bagi sejumlah Sahabat untuk setia menetap di dalamnya. Mereka memilih tinggal dari pada berhijrah ke kota-kota makmur lainnya yang telah menjadi wilayah kekuasaan Islam. Mereka juga yang mengisi Madinah dengan berbagai aktivitas belajar-mengajar, terutama yang menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai objek kajiannya.

Berkat aktivitas ilmiah yang terjadi di Kota Madinah, berdirilah sebuah madrasah tafsir yang terkenal dengan sebutan “Madrasah Tafsir Madinah”. Di sanalah para Tabi’in berguru kepada para Sahabat yang terkenal sebagai mufassir. Di antara mereka, ada satu nama yang menjadi sorotan para Tabi’in Kota Madinah dan dikenal sebagai pengasuh madrasah tafsir, ialah Ubay ibn Ka’ab.

Abu Mandzur atau Abu Thufail Ubay ibn Ka’ab ibn Qais ialah seorang Sahabat yang menjadi penulis pertama Nabi setibanya Nabi di Madinah. Sebelum memeluk Islam, ia merupakan salah satu dari uskup Yahudi yang memahami isi kitab-kitab suci terdahulu. Maka tatkala memeluk Islam, ia menjadi seseorang yang memiliki keilmuan asbabun nuzul yang mapan. Selain itu ia juga tidak pernah melewatkan satu ayat pun yang ia tidak ketahui kecuali ia tanyakan maknanya pada Rasulullah.

Maka tidak mengherankan jika Ubay menjadi sahabat yang begitu berpengaruh keilmuannya di Madinah dan dijadikan sebagai pusat oleh kalangan Tabi’in—khususnya yang berada di Madinah—dalam memperoleh keilmuan al-Qur’an dan Sunnah.

Tentunya dari keseluruhan muridnya, ada beberapa yang menonjol dan dikatakan sebagai pewaris estafet keilmuan gurunya. Oleh karena itu, tulisan kali ini akan membahas para tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ubay ibn Ka’ab. Mereka adalah Abul Aliyah, Muhammad ibn Ka’ab al-Qardzhi dan Zaid ibn Aslam.

Abul Aliyah

Abul Aliyah adalah kunyah yang dinisbatkan padanya. Nama aslinya ialah Rufai’ ibn Mahran. Seorang Tabi’in yang memeluk Islam setelah dua tahun wafatnya Nabi. Ia menjadi salah satu Tabi’in yang paling tsiqah dan masyhur dalam bidang Tafsir. Ia juga seorang periwayat yang meriwayatkan riwayat yang berasal dari Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab dan kibar Sahabat lainnya.

Baca Juga: Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Mujahid Ibn Jabir)

Para Imam Kutub al-Sittah bersepakat atas ke-tsiqah-an seorang Abul Aliyah. Ia adalah salah satu Tabi’in yang mutqin dalam hafalan Qur’annya. Ia juga menjadi salah satu murid Ubay yang sangat banyak meriwayatkan tafsirnya, sehingga banyak ulama yang mengambil riwayatnya. Di antara ulama tersebut ialah Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, al-Hakim, serta Imam Ahmad.

Abul Aliyah wafat pada tahun 90 Hijriyyah sebagaimana yang disampaikan dalam riwayat yang paling rajih menurut para ulama.

Muhammad Ibn Ka’ab al-Qarzhi

Muhammad ibn Ka’ab ibn Salim ibn Asad al-Qarzhi al-Madani ialah seorang Tabi’in yang berasal dari suku Aus. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kota Madinah dan memiliki kunyah Abu Hamzah dan Abu Abdullah. Ia menjadi periwayat dari riwayat-riwayat yang berasal dari Ali ibn Abi Thalib, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas serta kibar Sahabat lainnya. Terkhusus riwayat dari gurunya Ubay ibn Ka’ab.

Ia terkenal sebagai seorang yang tsiqah, adil, dan wara’. Dalam pandangan Imam Kutub al-Sittah, Muhammad ibn Ka’ab adalah seorang yang paham mengenai kitabullah. Ibn Aun berkomentar bahwa ia tidak pernah mendapati seorang yang begitu paham isi kitabullah selain al-Qarzhi. Ibn Hibban juga menambahkan bahwa al-Qarzhi adalah salah seorang yang paling mulia di Madinah sebab kealiman dan kefaqihannya. Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhi wafat di usia 87 tahun pada tahun 118 Hijriyyah.

Zaid Ibn Aslam

Zaid ibn Aslam ialah nama lengkapnya. Kunyah-nya Abu Usamah. Seorang Tabi’in yang termasuk golongan kibar Tabi’in yang memahami tafsir dan terpercaya riwayatnya. Imam Kutub al-Sittah bersepakat bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dan adil sehingga riwayatnya dapat dijadikan sebagai rujukan.

Zaid ibn Aslam terkenal sebagai seorang Tabi’in yang biasa melakukan penafsiran dengan menggunakan keilmuan dan nalar yang ia miliki. Ia menilai bahwa melakukan penafsiran yang sesuai dengan kaidah keilmuan adalah suatu hal yang diperbolehkan sebagaimana banyak Sahabat dan Tabi’in yang mempratekkannya.

Baca Juga: Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Ikrimah Ibn Abdillah al-Barbary)

Beberapa ulama setelahnya yang menjadikan penafsiran Zaid sebagai rujukan antara lain: anaknya sendiri, Abdurrahman ibn Zaid serta Annas ibn Malik guru dari Imam al-Syafi’i sekaligus salah satu Imam dari empat madzhab fiqh yang mu’tabarah. Zaid ibn Aslam diriwayatkan wafat pada tahun 136 Hijriyyah.

Demikian ulasan singkat atas ketiga Tabi’in yang masyhur sebagai Tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ubay ibn Ka’ab yang berada di Kota Madinah. Keterbatasan data yang dimiliki tidak memungkinkan untuk mengulas aspek menarik seputar kisah hidup mereka. Namun, semoga ini bisa menambah pengetahuan akan nama-nama Tabi’in yang terkenal aktif dalam aktivitas penafsiran al-Qur’an. Wallahu a’lam.