Beranda blog Halaman 520

Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya

0
Al-Quran adalah Mukjizat
Al-Quran adalah Mukjizat credit: mkomarab.com

Al-Quran adalah mukjizat. Ia merupakan kitab suci hebat yang tidak dimiliki oleh kitab mana pun di dunia. Hal ini terungkap antara lain dari pendapat seorang ulama Al-Quran, Muhammad bin Muhammad bin Abu Syuhbah di dalam bukunya Al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an.

Dia memulai ungkapannya dengan mengatakan bahwa Al-Quran adalah mukjizat yang paling agung, dalil yang paling sempurna, yang kekal abadi. Al-Quran telah menantang seluruh makhluk berakal, baik manusia maupun jin untuk mendatangkan atau membuat yang sama dengannya atau serupa dengannya. Pada akhirnya tidak ada yang sanggup untuk menantangnya.

Baca Juga: Kemukjizatan Al-Quran: Pengertian dan Tanda-Tandanya

Ada 6 kekuatan yang dimiliki oleh Al-Quran sehingga menjadi mukjizat yang paling agung, yaitu:

  1. Al-Quran adalah kitab Bahasa Arab yang paling besar, yang membuat bahasa Arab kekal abadi selamanya. tidak akan pernah punah, karena Al-Qur’an kekal abadi hingga hari kiamat. Al-Qur’an adalah symbol kesatuan dan persatuan bahasa dan bangsa Arab. Seandainya, bukan karena Al-Quran, maka bahasa Arab sudah lama hilang dan punah. Al-Qur’an sejak dahulu, hingga kini, dan bahkan di masa datang menjadi kitab fondasi bahasa Arab yang sangat kuat, yang menyebabkan bahasa Arab itu menjadi bahasa yang kuat.
  2. Al-Quran adalah kitab petunjuk/penuntun yang paling besar dan lengkap yang mencakup segala aspek. Dengan Al-Quran Allah menuntun manusia ke jalan yang benar, jalan kebaikan dan jalan kemaslahatan. Kebenaran al-Quran menjamin segala yang dibutuhkan oleh manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat.
  3. Al-Quran adalah sebuah kitab yang menghapus taklid buta (mengikuti sesuatu tanpa ilmu). Al-Quran mengajak manusia untuk berilmu, berpikir, dan berpandangan luas, dan memperhatikan segala fenomena alam. Fenomena ada dalam manusia sendiri maupun yang ada di luar manusia, yaitu di alam semesta ini. Kitab yang mampu membukakan mata, hati, dan pikiran manusia.
  4. Al-Quran adalah sebuah kitab yang telah membukakan pintu bagi ilmu-ilmu alam dan empirik. Al-Quran tidak hanya dapat membukakan pintu bagi manusia untuk memikir apa yang ada di dalam dirinya dan apa yang ada di alam ini, Akan tetapi juga mendorong manusia untuk mengungkap apa yang ada di balik alam nyata ini, yang terdiri atas hal-hal yang tertutup dan rahasia-rahasia.
  5. Al-Quran adalah sebuah kitab yang telah menghapus dan membasmi rasisme, kecongkakan, dan kesombongan jahiliyyah. Al-Quran menghapus perbdaan ras, keturunan, dan warna kulit manusia. Al-Quran telah menggantikan semua itu dengan dasar kebersamaan dan kesetaraan di antara umat manusia. Al-Quran mengajarkan bahwa semua manusia berasal dari Adam, tidak ada kelebihan seseorang atau suatu kaum atas orang lain atau kaum yang lain, kecuali karena takwanya.
  6. Al-Quran adalah sebuah kitab yang mendorong manusia muslim dan mukmin untuk menjadi umat yang ideal, umat yang menjadi contoh, umat yang menjadi teladan. Ia mendorong agar umat Muslim menjadi panutan bagi umat-umat yang lainnya, dan umat yang tengah-tengah (wasathiyyah), tidak ekstrim, dan tidak kaku. Al-Quran mendorong manusia untuk menjadi muslim, mukmin yang memiliki ikatan persaudaraan yang tinggi, menegakkan keadilan kepada semuanya, dan menjamin keselamatan dan keamanan umat manusia dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara sosial (kelompok).

Kita bisa mendapatkan enam kehebatan Al-Quran itu, kalau kita menguasai dan memahami dengan baik semua pesan-pesan yang disampaikan oleh Al-Quran. Oleh sebab itu, dekatilah Al-Qur’an dengan mempelajari, membaca, memahami, mengkaji, dan mengamalkannya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59: Cadar dan Perdebatan yang Melelahkan

0
Tafsir Al-Ahzab 59
Tafsir Al-Ahzab 59

Beberapa waktu yang lalu, beredar video seorang peremuan yang tengah didiskualifikasi dari perlombaan dikarenakan tidak mau  melepaskan cadarnya. Setelah diklarifikasi, ternyata perermpuan bernama Muyassarah (20 tahun) tersebut merupakan salah satu peserta lomba tahfid 30 juz pada MTQ 37 Provinsi Sumatra Barat. Peristiwa ini memenggulirkan kembali suatu perdebatan tentang cadar dalam tafsir Surat Al-Ahzab ayat 59.

Kronologi peristiwa tersebut terjadi saat itu para dewan juri meminta Muyassarah untuk melepas cadar karena itu memang sudah menjadi aturan perlombaan. Namun peserta tersebut memilih untuk tetap memakai cadar dan tidak melanjutkan perlombaannya. Kisah ini cukup menyita perhatian publik dan tak sedikit yang berempati kepada Muyassarah.

Baca juga: Surat An-Nur ayat 31, Benarkah Dalil Larangan Selfie Bagi Perempuan?

Tafir Surat Al-Ahzab ayat 59 dan perdebatan ulama

Respons masyarakat tentang fenomena tersebut mengajak kita untuk mengulangi perdebatan ulama perihal hukum penggunaan cadar. Setidaknya bagi mereka yang mewajibkan cadar menyandarkan perintah tersebut pada Surah al-Ahzab ayat 59 yakni:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi (Muhammad) katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Al-Ahzab:59)

Turunnya perintah tersebut disebabkan perempuan madinah sewaktu pagi hendak keluar rumah digoda oleh lelaki hidung belang. Para penggoda mengira perempuan tersebut merupakan budak padahal ia adalah perempuan yang merdeka.

Merespons kejadian itu, Al Quran memerintahkan bagi kaum muslimah untuk memakai jilbab dan menutupi wajahnya dalam rangka dikenal sebagai perempuan yang merdeka sehingga tidak diganggu. Perlu diketahui pula jika budak pada masa itu tidak menggunakan jilbab karena bisa memberatkan pekerjaan mereka.

Namun, sebagian kalangan menganggap bahwa dalil tersebut menjadi perintah penggunaan cadar bagi perempuan. Padahal lebih lanjut dalam surat An-Nur ayat 31 juga menjelaskan perihal perintah menutup aurat bagi perempuan. Ayat tersebut yakni:

 وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”

Beberapa mufassir fokus kalimat إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali yang biasa nampak darinya). Salah satunya ialah Imam as-Syuyuti dalam  ad-Durul Mantsur dan mayoritas ulama yang mengutip riwayat Ibnu Abbas. Pendapat ini menyatakan bahwa yang dimaksud frasa illa maa dhahara minha tersebut ialah wajah dan telapak tangan. Adapun sebagian kecil juga berpendapat bahwa yang dimaksud ialah celak dan cincin. (ad-Durul Mantsur juz 6: 179)

Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Cadar merupakan masalah furu’

Meskipun mayoritas ulama sedari dulu membatasi hukum cadar pada perkara mubah (kebolehan), sampai sekarang perdebatan hukum tersebut masih bergulir. Parahnya, hingga memberi dampak negatif ke berbagai pihak. Hal ini karena perdebatan yang seharusnya ada dalam ranah furu’ (fiqih) beralih ke ushul (syariat) sehingga seakan-akan yang tidak sesuai pendapatnya dengan mudah dilabeli sesat dan sebagainya.

Menurut syeikh al-Azhar syeikh Ahmad at-Thayyib, perdebatan yang sekarang terjadi bukan perkara ushul maupun furu’. Melainkan  pertentangan dua golongan yang bersaing demi memberikan pengaruh pada umat Islam.

“Saya banyak merenung tentang pembahasan ini dan saya berpandangan bahwa perseteruannya bukan karena mencari hukum syariat, mereka hanya mencari pendukung dan pengikut, bersaing siapa yang lebih banyak”, ungkap Ahmad at-Thayyib

Lebih lanjut ia menganalogikan pertentangan ini bagai dua perusahaan yang sedang bersaing dalam menguasai pasar.

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Sudah jelas bahwa cadar merupakan persoalan furu’iyyah, yang menyimpan perbedaan pendapat. Sehingga, adalah tidak penting mengangkat kontradiksi itu kembali dan berkali-kali. Jika kita pahami betul bahwa perbedaan pendapat adalah sebentuk rahmat Allah, niscaya perdebatan melelahkan ini bisa kita hentikan. Wallahu a’lam []

Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

0
Surah Al-Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy
Surah Al-Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

Etos kerja merupakan semangat kerja yang menunjukkan kualitas kerja seseorang. Secara sederhana, etos kerja dapat dipahami sebagai sikap mendasar atau cerminan dari sudut pandang seseorang tentang kerja. Dalam Islam sendiri etos kerja dipahami sebagai suatu keyakinan bahwa bekerja bagi seorang muslim bukanlah untuk kepentingan individual semata, melainkan aktualisasi dari amal sholih. Berbicara tentang etos kerja, ternyata Al-quran dalam surah Al-Quraisy ayat 1-4 telah memberikan referensi bagaimana kiat-kiat meningkatan etos kerja.

لِاِيۡلٰفِ قُرَيۡشٍۙ . (1) اٖلٰفِهِمۡ رِحۡلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيۡفِ‌ۚ . (2) فَلۡيَـعۡبُدُوۡا رَبَّ هٰذَا الۡبَيۡتِۙ‏. (3) الَّذِىۡۤ اَطۡعَمَهُمۡ مِّنۡ جُوۡعٍ ۙ وَّاٰمَنَهُمۡ مِّنۡ خَوۡفٍ (4

  1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy
  2. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
  3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah (Ka’bah).
  4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.

Yang menarik adalah fakta bahwa surah ini khusus berbicara tentang suku Quraisy saja. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang besar di balik keistimewaan suku Quraisy yang ingin disampaikan Al-quran melalui kisah ini. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Hani binti Abu Thalib bahwa Rasulullah sendiri telah menyebutkan setidaknya tujuh keutamaan suku Quraisy sehingga kisah mereka diabadikan dalam satu surah khusus

“Rasulullah bersabda, Allah memberikan keistimewaan kepada suku Quraisy dengan tujuh hal. Pertama, saya dijadikan berasal dari mereka. Kedua, kenabian ada pada mereka. Ketiga, tugas menjaga (Ka’bah) ada pada mereka. Keempat, tugas memberi minum pada (jama’ah Haji) ada pada mereka. Kelima, Allah telah menyelamatkan mereka dari serangan tentara bergajah. Keenam, Mereka menyembah Allah tujuh tahun lamanya sementara tidak ada satu kaumpun yang menyembah Allah selama itu. Ketujuh, sesungguhnya Allah telah menurunkan satu surah penuh dalam Alquran yang hanya mereka yang disebut di dalamnya.”

Baca juga: Tetap Istiqamah di Era Disrupsi, Ini Tips dan Ganjarannya dalam Al-Qur’an

Tafsir Surah Quraisy Ayat 1-4

Dalam dua ayat pertama ini dijelaskan bahwa suku Quraisy memiliki kebiasaan berdagang pada dua musim, yakni musim dingin dan musim panas. Secara geografis, suku Quraisy berada di wilayah yang gersang dan tandus. Namun dengan semangat kerja yang tinggi, mereka melakukan perdagangan antar wilayah bahkan antar negara dengan dua jalur perdagangan.

Jalur pertama adalah perjalanan dagang di musim dingin ke negeri Yaman. Perjalanan ini dimaksudkan untuk mendapatkan rempah-rempah yang berasal dari Timur Jauh melalui Teluk Persia. Sementara jalur perdagangan kedua adalah ke negeri Syam pada musim panas. Perjalanan ke Syam ini untuk membeli hasil pertanian untuk dibawa pulang ke negeri mereka.

Ibnu Jarir pada Tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa huruf lam pada permulaan ayat satu dan dua menunjukkan makna ta’ajjub atau kekaguman. Kekaguman ini muncul dari kelimpahan nikmat yang mana tempat tinggal mereka adalah Makkah dengan Ka’bah di dalamnya. Saat itu semua pihak mengagungkan dan menghormati Ka’bah sebagai tempat suci. Sementara suku Quraisy memiliki tampuk tanggung jawab memelihara Ka’bah serta memenuhi kebutuhan setiap peziarahnya. Karenanya mereka memperoleh jaminan rasa aman baik ketika di lingkungan negaranya mapun saat perjalanan di luar sebagai bentuk keseganan masyarakat lain terhadap mereka.

Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Tradisi perjalanan perdagangan suku Quraisy pada awalnya diinisiasi oleh kakek nabi Muhammad, Hasyim Ibn ‘Abd Manaf. Sebelumnya, apabila Makkah mengalami kesulitan pangan, maka kepala rumah tangga akan mengajak seluruh anggota keluarga berkemah untuk mendapatkan sumber pangan sampai mereka mati kelaparan di tempat tersebut. Maka beliau menyarankan kepada masyarakat untuk bersama-sama melakukan perjalanan dagang dengan keuntungan dibagi rata antara si kaya dan si miskin. Pada akhirnya saran tersebut diterima dengan baik dan menjadi tradisi baru suku Quraisy.

Pada ayat tiga Allah Swt memberi perintah untuk menyembahNya. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa pemilihan kata pada ayat ini tidak menggunakan lafaz Allah secara langsung, melainkan “Pemilik rumah ini”. Hal tersebut merupakan bentuk kesengajaan sebagai pengingat bahwa kenikmatan berupa jaminan keamanan dan keuntungan material –dari hasil perdagangan- disebabkan mereka merupakan penduduk Makkah dengan Ka’bah di dalamnya. Seandainya Ka’bah tidak terletak di daerah itu, belum tentu mereka mendapatkan kemudahan-kemudahan tersebut. Sementara mereka tinggal di lembah yang tandus nan gersang, juga penduduk sekitar sering kali melakukan aksi perampokan dan pembunuhan.

Dua hal yang disebut ayat terakhir surat ini, yakni jaminan keamanan dan kesejahteraan pangan merupakan unsur-unsur yang saling berkaitan erat. Kesejahteraan pangan (kestabilan ekonomi) melahirkan stabilitas keamanan. Begitu pula sebaliknya, krisis pangan menyebabkan kerawanan keamanan. Kedua hal ini pula yang di masa modern ini terus diusahakan setiap negara, betapapun canggihnya perkembangan teknologi dan informasi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77: Ingat Akhirat Harus, Tapi Dunia Jangan Dilupakan

Suku Quraisy Memiliki Etos Kerja yang Tinggi

Dari penjelasan surah Quraisy di atas jelas bahwa suku Quraisy memiliki etos kerja yang tinggi.  Mereka menunjukkan kreativitas dan inovasi dalam menghadapi permasalahan sehingga melahirkan kebiasaan positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan keamanan. Selanjutnya adalah citra positif yang dihadirkan dari pelayanan dan pemenuhan tanggung jawab mereka terhadap peziarah Ka’bah sehingga suku Quraisy mendapatkan jaminan rasa aman sebagai bentuk keseganan masyarakat disekitarnya.

Etos kerja lainnya yang contohkan dalam surah ini adalah mobilitas yang tinggi. Mereka melakukan perjalanan dagang baik di musim dingin mapun musim panas. Tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri. Hal ini juga mengajarkan untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru yang lebih menantang.

Terakhir dan yang paling utama dari etos kerja suku Quraisy adalah orientasi ibadah sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3. Hal tersebut mengajarkan dan mengingatkan bahwa segala pencapaian dalam kehidupan tidak lepas dari campur tangan Allah Ta’ala. Selain mengandalkan kemampuan dan kerja keras, sikap bersyukur atas segala kemudahan dan fasilitas yang disediakan juga penting dimiliki oleh setiap muslim. Wallahu a’lam.

Sertifikasi Dai Perlu Dilakukan Atau Tidak? Simak Penafsiran QS. Hud Ayat 93

0
Sertifikasi Dai
Sertifikasi Dai credit: uh.edu

Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa program sertifikasi dai akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Ia menegaskan program ini telah dibahas bersama dengan wakil presiden Ma’ruf Amin dan akan digulirkan pada triwulan ketiga tahun 2020. Fachrul Razi mengatakan program ini bertujuan untuk mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam rahmatan Lil ‘Alamin. Dengan demikian, Masjid tidak hanya menjadi sarana penyebaran iman dan takwa, tetapi juga sarana menguatkan kerukunan bangsa.

Wacana tersebut kemudian direspon oleh berbagai pihak dengan bermacam reaksi, baik positif maupun negatif. Ma’ruf Amin menyebutkan, sertifikasi dai harus dilakukan, sebab hal itu sangat penting untuk menguji kompetensi dan integritas seorang dai. Menurutnya, seorang dai wajib memahami isi dan makna ayat yang disampaikan. Jika tidak, maka penyampaiannya bisa saja salah dan dapat menyebabkan kekeliruan serta kekacauan di tengah Masyarakat.

Di pihak lain, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia K.H Muhyidin Junaidi mengatakan bahwa MUI menolak program sertifikasi dai yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, program tersebut dapat memicu kegaduhan di masyarakat karena ada kekhawatiran intervensi pemerintah. Program ini juga berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengendalikan kehidupan keagamaan masyarakat muslim.

Komisi VIII DPR RI bahkan meminta Kementerian Agama menghentikan program sertifikasi penceramah atau da’i. Ketua Komisi VIII Yandri Susanto menyeletuk bahwa yang berhak melabeli penceramah hanya Allah SWT bukan Kemenag. Yandri juga menyarankan sebaiknya Kemenag berdiskusi secara mendalam bersama ormas-ormas Islam besar mengenai rencana penerbitan sertifikasi penceramah dan mendefinisikan kembali apa itu radikalisme.

Terlepas kontroversi wacana sertifikasi dai, sebenarnya ada beberapa hal penting untuk direnungkan oleh pembaca, yakni apakah sertifikasi dai diperlukan? Seberapa penting itu? Apakah dalam Islam ada sertifikasi atau standarisasi? Bagaimana dampak tanpa adanya standarisasi? Dan sebagainya. Dalam artikel ini penulis akan menjelaskan secara singkat tentang pentingnya kepakaran dalam suatu bidang, terutama mubalig.

Bekerja Sesuai Bidang dan Kapasitas

Memiliki keahlian atau kepakaran pada bidang tertentu adalah keniscayaan yang harus dimiliki seseorang ketika ingin berkecimpung di dunia itu. Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi mufasir, maka hendaknya ia menguasai berbagai keilmuan yang membantu dalam memahami Al-Qur’an. Karena tanpa instrumen-instrumen tersebut, bisa jadi penafsiran yang dihasilkan malah keliru atau bahkan dapat menyesatkan orang banyak.

Masih hangat terdengar di telinga masyarakat Indonesia manakala seorang “ustaz” bernama Evie Effendie yang menyebutkan nabi Muhammad Saw pernah sesat. Ia berkata, “semua orang yang ada di muka bumi ini pernah sesat, termasuk Muhammad. Jadi, orang yang memperingati maulid berarti memperingati kesesatan nabi.” Ceramahnya ini kemudian menuai berbagai protes massif, bahkan ia disebut menistakan nabi.

Baca Juga: Kenali Syarat Menjadi Mufassir

Tindakan “ustaz” di atas adalah gambaran kecil dari ketidakpahaman terhadap Al-Qur’an dan kurangnya kompetensi diri untuk berdakwah. Hal ini apabila tidak dievaluasi dengan baik, maka akan berakibat pada kerusakan signifikan, baik itu kekeliruan pemahaman agama maupun rusaknya kerukunan antar agama. Kejadian ini dapat dianalogikan dengan malapraktek dalam dunia kedokteran yang sering berujung kecacatan atau bahkan kematian.

Al-Qur’an sebenarnya pernah sedikit menyinggung mengenai keharusan bekerja sesuai bidang dan kapasitas dalam QS. al-An’am: 135, QS. az-Zumar: 39: 39 dan QS. Hud: 93 yang memiliki makna senada.  QS. Hud: 93 berbunyi:

وَيٰقَوْمِ اعْمَلُوْا عَلٰى مَكَانَتِكُمْ اِنِّيْ عَامِلٌ ۗسَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ مَنْ يَّأْتِيْهِ عَذَابٌ يُّخْزِيْهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌۗ وَارْتَقِبُوْٓا اِنِّيْ مَعَكُمْ رَقِيْبٌ ٩٣

Dan  (ia berkata): “wahai kaumku! Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah! Sesungguhnya aku bersamamu adalah orang yang menunggu.” (QS. Hud [11]: 93)

Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsir Marah Labid (1: 516), kata i‘malū ‘alā makānatikum pada ayat di atas bermakna i‘malū ‘alā gāyat istaṭā‘atikum, yakni berbuat sesuai kemampuan diri atau semampu mungkin. Jika ayat ini diaktualisasikan dalam konteks menyampaikan dakwah, maka seorang dai juga terlebih dahulu harus memahami semampu mungkin tentang hal-hal yang akan disampaikannya baru kemudian melakukan dakwah sesuai kemampuan yang dimilikinya tersebut.

Sertifikasi Diri Sebelum Sertifikasi Dai

Prof. Muhammad Machasin menyebutkan bahwa daripada meributkan tentang sertifikasi dai karena dinilai terdapat dai yang tidak memenuhi standar mubalig, lebih baik menaikkan taraf pemahaman dan kecerdasan masyarakat. Mereka harus belajar memahami secara mandiri berbagai persoalan melalui perangkat yang telah Allah anugerahkan, yakni akal. Dengan demikian, mereka tidak akan mengikuti ajakan, perintah atau seruan yang tidak mereka pahami dan berpotensi menyesatkan.

Sedangkan menurut penulis, gagasan sertifikasi sebenarnya adalah ide yang bagus sebagai sarana untuk memperkecil kemungkinan adanya “malapraktek” dalam ajaran agama, terutama berkaitan dengan sosial-keagamaan masyarakat Indonesia. Hanya saja perlu pembahasan lebih jauh mengenai bagaimana mekanisme dan peraturan yang jelas agar tidak muncul di tengah masyarakat kekhawatiran “pengendalian” pemerintah terhadap dai-dai bersertifikat ataupun audiensnya.

Sebenarnya bagi seorang dai ada hal yang jauh lebih esensial dibanding Sertifikasi da’i, yakni sertifikasi diri (muhasabah diri). Sertifikasi diri di sini maksudnya adalah refleksi dari seorang dai mengenai kemampuan dirinya. Apakah dirinya memiliki kapasitas untuk menyampaikan dakwah, apalagi terkait problem-problem kompleks dalam sosial-keagamaan? Sebaiknya ia menghindari materi yang tidak dikuasainya dan tidak malu untuk mengatakan tidak tahu. Meskipun demikian, ia juga tetap harus meningkatkan kapasitas diri di masa depan.

Merujuk pada QS. al-An’am: 135, QS. az-Zumar: 39: 39 dan QS. Hud: 93, hendaknya seseorang bekerja sesuai bidang dan kapasitas yang dimilikinya agar tidak menyesatkan orang lain atau konsekuensi-konsekuensi fatal lainnya. Oleh karena itu, seorang harus mempertimbangkan dengan baik kualitas diri. Dalam konteks dai, sebaiknya seorang dai mengevaluasi kemampuan pemahaman agama dirinya sebelum menyampaikan pemahaman tersebut kepada masyarakat luas. Wallahu a’am.

Mufasir Nusantara: Biografi KH. Mudjab Mahalli Al-Jogjawy

0
kiai mudjab mahalli
kiai mudjab mahalli (nu.or.id)

Sekilas nama Mahalli mengigatkan kita pada salah seorang ulama yang kondang di seantero pesantren nusantara, ialah pengarang kitab Tafsir Jalalain, Jalaluddin al-Mahalli. Namun yang penulis maksud nama al-Mahalli ini ialah salah satu pesantren di daerah Bantul yang didirikan oleh kiai Muhammad Mahalli bin Abdullah Umar. Pesantren ini mendapat perhatian besar pada masanya hingga estafet kepemimpinan berlanjut pada generasi kedua dari Kiai Mahalli, Kiai Mujab. Beliau merupakan mufasir nusantara yang menulis kitab Tafsir al-Mahalli dan al-Furqan.

Nama Lengkapnya Ahmad Mujab Mahalli. Ia lahir di Bantul pada 25 Agustus 1958, dari pasangan Kiai Muhammad Mahalli dan Nyai Dasimah. Tidak banyak literatur yang menjelaskan kehidupan masa kecil kiai nyentrik ini. Dari sudut pandang akademis kiai Mujab mengenyam pendidikan yang lengkap dari SD, lalu melanjutkan ke SMP, hingga lulus PGA (Pendidikan Guru Agama) Wonokromo (lulus pada tahun 1972). Setelah menyelesaikan PGA, atas saran dari Kiai Hamid, Kajoran, beliau melanjutkan pendidikan ke pesantren Salafiyah Banjarsari, Tempuran, Magelang pimpinan Kiai Muhammad Syuhudi, selama sembilan tahun.

Semangat juang menimba ilmu kiai Mujab diuji saat baru tujuh bulan di pesantren. Ayahnya, Kiai Mahalli bin Abdullah Umar, meninggal dunia. Kondisi ini menjadi duka tersendiri di hati Mujab muda. Namun, karena amanah dari orang tuanya ketika masih hidup, Mujab muda tetap melanjutkan pendidikannya di pesantren dan semakin tekun belajar. Ia menyadari bahwa estafet keulamaan sang ayah harus dilanjutkannya mengingat ia adalah anak pertama.

Baca juga: Brigjen Bakri Syahid : Mufasir Quran Bahasa Jawa

Sepulang dari nyantri (1982), Kiai Mujab memulai proses membangun pesantren yang pernah dicita-citakan sang ayah. Saat itu kiai Mujab dihadapkan kepada dua pilihan, yakni belajar di Timur Tengah atau mendirikan pesantren sebagaimana impian sang ayah. Atas nasihat Kiai Hamid Kajoran, Kiai Mujab memantapkan hati untuk mendirikan peasntren. Berawal dari pengajian selapanan (35 hari) dan pengajian keliling di berbagai desa, dan atas dukungan dari masyarakat sekitar, maka pada tanggal 10 Oktober 1982 resmilah berdirinya Pondok Pesantren Al-Mahalli yang beralamat di dusun Brajan, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Pesantren ini pada perkembangannya mendirikan banyak lembaga formal untuk mewadahi potensi para santri. Mulai dari madrasan tsanawiyah, LeKPIM (Lembaga Kajian Pengembangan Islam dan Masyarakat, Pos Kesehatan Pesantren, Koperasi, LSM dan lembaga dakwah. Tidak hanya itu kiai Mujab mendirikan pula lembaga Lajnah Ta’lif wan-Nasyr (Penulisan dan Penerbitan) untuk mengembangkan gairah penulisan baik dirinya maupun santri-santrinya.

Sudah sejak muda kiai bertubuh tambun ini rajin menulis. Pada tahun 1979 buku pertamanya, Mutiara Hadis Qudsi, ia tulis yang diterbitkan pada tahun 1980. Ada satu nama yang tidak boleh dilupakan atas kesuksesan Kiai Mudjab dalam dunia kepenulisan, yaitu Mahbub Djunaidi. Mahbub menghadiahi Mudjab muda sebuah mesin ketik, sambil menuliskan surat:

Baca juga: K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan

“Ke mana sarjana-sarjana kita? Sekarang banyak orang membawa ijazah, melamar pekerjaan. Setiap melamar, setiap itu pula ia ditolak. Padahal ada satu perusahaan besar membutuhkan beribu-ribu karyawan dan karyanya tidak pernah ditolak. Perusahaan mana itu? Dunia tulis menulis. Siapa yang menolak karya tulis? Tidak laku sekarang, kan laku besok. Kamu masih muda, tekuni nulis.” (NU Online, Hamzah Sahal: Mengenang Kiai Mudjib Mahalli)

Tertanggal 23 Februari, pada tahun 1989, Kiai Mujab menikah dengan Nyai Nadhiroh, putra kesembilan Kiai Muslih Zuhdi Mustofa (Rembang). Dari pernikahannya tersebut, Kiai Mujab dikaruniai empat orang anak, semuanya laki-laki. Yaitu Ahmad Firdaus Al Halwani, Ahmad Muhammad Naufal, Muhammad Iqbal dan Hadian Sofiyarrahman. Sebagai kenang-kenangan pernikahannya, kiai Mujab membuatkan satu tafsir yang ia beri nama Tafsir al-Mahalli, li Ma’rifati Ayat al-Qur`an wa Nuzulliha.

Karir Politik dan Penulis

Seperti disebut di atas karir kepenulisan kiai Mujab sudah dimulai sejak ia masih muda. Sejak di PGA (pendiikan Guru Agama, setingkat SMA), ia aktif menulis cerpen di majalah. Cerpen pertamanya berkisah tentang cinta segi tiga dan diterbitkan oleh Majalah Kiblat. Tercatat lebih dari 167 buku ditulisnya. Karyanya tidak hanya karya otentik dari pemikirannya sendiri namun banyak juga karya berupa terjemahan, tafsir maupun saduran dari buku dan kitab lain.

Selain produktif menulis, Kiai Mujab juga mahir berpolitik. Ia sempat merasakan hegemoni poloitik orde baru di partai Golkar. Di awal reformasi, Partai yang dibentuk oleh kalangan Nahdiyyin, PKB dimana dia menjadi ketua tanfidiyah Dewan Perwakilan Wilayah, menjadi tempat singgah kiai Mujab dalam memperjuangkan hak-hak bernegara rakyat Indonesia.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Kiprah politik kiai yang mirip Gus Dur ini merupakan suatu langkah untuk memperjuangkan kemaslahatan umat, bukan untuk mencari kepentingan sesaat. Politik baginya merupakan sarana untuk menggapai keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat. Beliau memerankan siyasah, aliyah (politik luhur) untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara.

Kiai dengan talenta besar ini tidak beumur panjang. Pada usia ke45tahun, Kiai Mujab Mahalli wafat, tepatnya pada tanggal 23 November tahun 2003 pukul 13.30.Ia wafat setelah menjalani perawatan 12 jam lebih di Bangsal Lotus RS. Panti Rapih Jogja. Makamnyaberada di kompleks pemakaman Pondok Pesantren Al Mahalli Brajan, Wonokromo, Pleret, Bantul.

Dengan segenap peninggalan dari buah tafsirnya inilah kiai Mujab dikenang. Walaupun kitab tafsir al-Mahalli yang ia persembahkan untuk istrinya ini tidak ia sebutkan sebagai master piece karya tulisnya, namun suatu karya tafsir tentu memiliki nuansanya sendiri yang perlu untuk dikaji kembali.

Surat An-Nur ayat 31, Benarkah Dalil Larangan Selfie Bagi Perempuan?

0
dalil larangan selfie
dalil larangan selfie (dream.id)

Swafoto atau selfie sudah menjadi fenomena sosial, seiring kecanggihan teknologi dan popularitas media sosial. Tren ini di sisi lain, menyulut respons negatif dari sebagian umat Islam. Yang membuat heran, ketika ada fatwa tentang larangan selfie bagi perempuan. Fatwa itu bahkan memakai surat An-Nur ayat 31 sebagai dalilnya. Benarkah ayat ini menjadi dalil larangan selfie?

Surat An-Nur ayat 30-31 membicarakan laki-laki dan perempuan secara beriringan. Berikut ini redaksinya:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. An-Nur Ayat 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur Ayat 31)


Baca juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri


Tafsir Surat An-nur Ayat 30-31 Dalil Larangan Selfie?

Pada prinsipnya, dua ayat di atas menunjukkan perintah kepada laki-laki dan perempuan untuk menjaga diri dan kehormatannya. Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim dijelaskan bahwa dua ayat tersebut menghimpun substansi berupa penjagaan terhadap keturunan dan kehormatan, utamanya mengangkat harkat perempuan. Karena, perempuan di masa Jahiliyyah memang sangat bobrok peradabannya.

Bentuk penjagaan keturunan berupa perintah untuk menjaga diri dari seks bebas. Sementara penjagaan kehormatan berupa perintah untuk menjaga pandangan dan berpakaian yang sopan.

Penjagaan kedua ini tidak lepas dari konteks historis saat ayat ini turun. Hadis yang menjadi konteks turunnya ayat tersebut ialah hadis riwayat Muqatil dalam Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul karya Imam Suyuti:

 أَخرَجَ ابنُ أَبِي حَاتِم عَن مُقَاتِل قَال: بَلَغَنَا أنَّ جَابرٍ بن عبدِ اللهِ حَدثَ أنّ أسماءَ بنتِ مرثِدٍ كانت في نَخلٍ لها فجعلَ النساءُ يدخلْنَ عليها غيرَ مُتَأَزِّرَاتٍ فيبدو ما في أرجلهِنَّ يعني الخَلاَخِلُ ويبدو صدورُهنَّ وذوائبُهنَّ

Diriwayatkan dari Muqatil, ia berkata: telah sampai kepada kami bahwa Asma’ bin Murtsid sedang berada di kebun kurmanya. Kemudian, perempuan lain bergegas masuk ke kebun kurma itu dengan tanpa memakai izar (semacam selendang penutup tubuh bagian bawah). Sehingga tampaklah gelang kakinya, dadanya, dan kepangan rambutnya.

Para mufassir berbeda pendapat dalam memaknai ayat ini. Imam Isma’il dalam Ruhul Bayan, memaknai ayat 31 dengan perintah menutup perhiasannya yang ada di tangan atau bagian tubuh yang biasa digunakan untuk berhias.


Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah


Sementara itu, Menurut Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, dua ayat ini berbicara tentang perintah menjaga pandangan bagi laki-laki dan perempuan, serta larangan bermewah-mewahan bagi perempuan. Zuhaili lebih mengarahkan perintah dan larangan ini sebagai langkah preventif (saduz zari’ah).

pendapat berbeda datang dari Imam Nawawi dalam tafsir Marah Labid. Menurutnya, perintah dalam ayat itu sangat kontekstual. Perintah untuk menguraikan pakaian hingga menutup dada sejatinya agar ada pembeda antara orang merdeka dengan budak dan perempuan jahiliyyah. Sehingga, berpakaian yang sopan menjadi salah satu cara membedakan perempuan baik-baik dan tidak.

Sedangkan terhadap larangan mengumbar perhiasan, Imam Nawawi mengkompromikannya dengan adat masing-masing daerah. Artinya, bila memang perhiasan itu biasa nampak, maka larangan itu tidak berlaku. Al-Ajibah dalam tafsir al-Bahrul Madid juga sepakat dengan Imam Nawawi. Ia cenderung menyerahkan perintah menutup bagian tubuh yang berpotensi mengumbar aurat dan perhiasan dengan adat.

Pendapat Imam Nawawi dan Imam Ibnu ‘Ajibah, bisa dibilang lebih ramah bagi masyarakat heterogen seperti saat ini. Pasalnya nilai dan norma kesopanan masyarakat dalam berbusana memang cenderung berbeda satu sama lain, yang tentu disesuaikan dengan adat masing-masing.


Baca juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi


Dari berbagai perbedaan itu, ayat 30 dan 31 pada intinya bertujuan untuk memberi kita edukasi untuk berpakaian yang sopan dan menjaga diri dari pesona yang berefek negatif. Disebutnya laki-laki dan perempuan secara beriringan menunjukkan dengan jelas bahwa Allah memberikan perintah untuk dua belah piha, tidak perempuan saja. Sekaligus dua ayat ini menjadi bentuk eksplisit dari surat Ali ‘Imran ayat 14, yang tidak secara tegas menyebutkan laki-laki juga berpotensi menjadi sumber pesona.

Selfie Boleh atau Tidak Tergantung Motifnya

Menjadikan ayat 31 sebagai dalil larangan selfie tentu harus mempertimbangkan ada tidaknya motif negatif dari swafoto itu sendiri. Misalnya niat pamer yang menjadi salah satu contoh bermewah-mewahan. Atau poto tersebut mengandung konten yang tidak senonoh, sehingga melanggar rambu kesopanan.

Kita sah-sah saja mengatakan selfie dilarang bila kita benar tahu bahwa yang sedang selfie niatnya ingin pamer. Atau pakaian yang dikenakan menyalahi rambu kesopanan. Tetapi, yang perlu digarisbawahi ialah dalam menilai kesopanan melalui pakaian jangan dari perspektif pribadi. Tapi sesuaikan dengan adat yang berlaku di masyarakat saat ini.

Bila, motif selfie sama sekali bukan hal negatif, maka bukan hak kita untuk menganggapnya salah, apalagi melarangnya. Karena kembali lagi, selama tidak mencederai prinsip kesopanan dan bermewah-mewahan yang ada dalam ayat itu, maka segala cara manusia berekspresi tidak perlu dipermasalahkan.

Satu lagi yang perlu ditegaskan, mendudukan surat An-Nur ayat 31 sebagai larangan berswafoto untuk perempuan secara mutlak dinilai kurang tepat. Hal ini karena sebagaimana penjelasan sebelumnya, , Allah juga menyapa laki-laki di ayat sebelumnya. Sehingga, perintah untuk berpakaian sopan dan menjaga diri dari pesona negatif sejatinya diperuntukkan untuk kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Wallahu a’lam []

Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

0
Maryam Binti 'Imran
Maryam Binti 'Imran

Maryam Binti ‘Imran adalah perempuan yang dipotret secara sempurna di dalam Al Quran. Sejak Ia dikandung Ibunya,  hingga proses kedekatannya dengan Allah. Ia juga merupakan sosok perempuan yang menjadi Wali Allah. Sebagaimana firman Allah pada Surat Ali Imran ayat 42. 

وَإِذْ قَالَتِ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرْيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰكِ وَطَهَّرَكِ وَٱصْطَفَىٰكِ عَلَىٰ نِسَآءِ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)”

Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Nadzar Ibu Maryam dan Buah dari Penyesalannya

Dalam perjalanan hidupnya, ada sepenggal segmen, ketika Ibu Maryam bernadzar kepada Allah. Peristiwa ini diabadikan dalam Surat Ali Imran ayat 35: 

اِذْ قَالَتِ امْرَاَتُ عِمْرٰنَ رَبِّ اِنِّيْ نَذَرْتُ لَكَ مَا فِيْ بَطْنِيْ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ ۚ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS. Ali Imran: 35)

Kesempurnaannya bukan dari kesuksesan atau pencapaiannya dalam memimpin suatu bangsa. Kesempurnaan Maryam digambarkan bagaimana ketauhidan sangat kuat menyatu dan tertanam didalam dirinya. Meski ia pernah rapuh karena fitnah terhadap apa yang menimpanya, tetapi Maryam terus kembali bangkit karena dia memang dipilih Tuhan sebagai i’tibar untuk seluruh alam raya.

Baca juga: Tafsir Surah Maryam Ayat 33: Tiga Bentuk Keselamatan Yang Diminta oleh Nabi Isa

Dalam Nadzmud Durar fi Tanasubil Ayat, al-Biqa’i menyebutkan, Maryam adalah putri Imran dan ibunya bernama Hannah binti Faaqud. (Al Biqa’i) Disaat Hannah hamil, ia telah menadzarkan putra yang dikandungnya kepada Allah agar menjadi Hamba yang hanya Ta’at Ibadah, khidmah dengan Ikhlas hanya kepada Allah.

Namun ketika putranya lahir, Hannah menyesal dan  berkata: “Ya Tuhan dia perempuan”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Hannah berkata demikian karena pada masa itu Nadzarnya tidak akan diterima kecuali berjenis kelamin laki-laki. Tetapi Allah tetap menerima Maryam. (Ali ash shabuni, Shafwatut Tafasir)

Pada proses inilah Allah menunjukkan bahwa DiriNya bersifat Adil dan sangat mengagungkan perempuan, dengan menerima Maryam sebagai putri yang dinadzarkan ibunya. Bahkan Maryam dianugrahi berbagai kesempurnaan dalam ketauhidan dan beribadah kepada Tuhan. Ia diberi nama Maryam yang memiliki arti al-‘Aabidah Khadimah al-Rabb, seorang hamba Tuhan. Nama yang sangat agung. Karena keagungan seorang hamba ialah ketika seluruh jiwa, nafas dan raganya menghamba secara totalitas kepada Dzat yang Maha Agung.

Maryam dalam hidupnya memiliki tempat ibadah khusus, yang ia setiap harinya menghabiskan waktu ditempat ibadah tersebut hanya untuk beribadah kepada Allah. Namun, ketika ia sedang Haid maka ia meninggalkan tempat ibadahnya dan pergi kerumah bibinya.

Allah pun menghidangkan berbagai hidangan khusus untuk Maryam seluruh buah-buahan, baik yang ada dimusim Kemarau maupun Penghujan. Semua terhidang di tempat ‘Ibadah Maryam. Alquran memotret peristiwa ini ketika Nabi Zakariya masuk ke Tempat Ibadah Maryam, nabi Zakariya disebutkan masih saudara Maryam sehingga ia tidak sungkan untuk memasuki tempat Ibadahnya.

Nabi Zakaria terkejut dan bertanya, “dari manakah ini semua Maryam?” 

Maryam pun menjawab bahwa semuanya dari Allah, Allah dapat memberi Rizki kepada siappaun tanpa harus bersusah payah hamba-Nya. Karena kemulyaan Maryam itulah, Nabi Zakariya menjadikan tempat ibadah Maryam sebagai twassul untuk berdoa kepada Allah agar dikaruniai Putra, dan dengan Izin Allah Nabi Zakariya yang sangat Tua pun dikaruniai Putra yang juga seorang Nabi. (Bisri Mustafa, Tafsir Al Ibriz)

 Cobaan atas Maryam dan Kedekatannya dengan Allah 

Suatu hari Malaikat Jibril mendatangi Maryam dengan merubah wujud Jibril sebagai pemuda yang tampan dan menghampiri Maryam. Karena kesalehan Maryam ia pun meminta agar Pemuda tersebut menjauhi dirinya dan ia juga berlindung kepada Allah yang Maha Rahman. Jibril pun menyatakan bahwa ia diutus Tuhan untuk mengabarkan bahwa Maryam akan memiliki seorang Putra.

Maryam pun menanggapi pernyataan Jibril; “Bagaimana aku dapat memiliki seorang putra yang aku sendiri pun tidak menikah apalagi berbuat zina?”

Jibril pun menjawab: “Semua telah ditetapkan Allah, dan hal itu mudah bagi Allah”

Peristiwa ini juga akan menjadi tanda bagi kkekuasan Allah. Diceritakan bahwa saat itu Jibril meniup kepala Maryam dan Maryam saat itu pula hamil. Menurut para mufassir, Maryam tidak mengalami proses mengandung sebagaimana perempuan pada umumnya. Ia mengandung dalam waktu yang singkat dan tidak lama kemudian ‘Isa lahir dipengasingan.

Pada proses ini Maryam mengalami dilema yang luar biasa, kaumnya mencacinya sebagai seorang pezina, ia menanggung malu yang luar biasa karena keluarganya juga termasuk keluarga yang sangat beriman dan menjaga agama dengan sebaiknya. Yaitu keluarga Imran.(Bisri Mushtafa, Tafsir Al Ibriz)

Tetapi, ‘Isa yang masih Bayi pun berkataa, “Ibu tidak perlu sedih, aku adalah hamba Allah yang memang ditakdirkan tanpa Ayah, supaya menjadi Tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala”

Maryam pun kembali bangkit, karena ia sadar dengan pasti bahwa seluruh apa yang ditakdirkan bagi dirinya adalah sebagai tanda kekuasaan Allah.. sunnguh anugrah yang luar biasa. Anugrah yang hanya diperoleh siti Maryam saja.

Dalam proses ini Allah menunjukkan bahwa Allah menciptakan Manusia dalam empat macam; Manusia sebagaimna kita dilahirkan Ibu dan memiliki Bapak, sebagaimana Isa dilahirkan Ibu Tanpa Bapak, sebagaimana SIti Hawa, memiliki Bapak tanpa Ibu, sebagaimana Nabi Adam Tanpa Ibu tanpa Bapak. (Bisri Mushtafa, Tafsir Al-Ibriz)

Maryam adalah potret perempuan yang kedekatannya dengan Tuhan telah diuji dengan berbagai proses yang luar biasa. Maryam sebagaimana perempuan lainnya, ia tetap Haid, melahirkan. Dia mengalami proses reproduksi peempuan tapi allah tidak menunjukkan bahwa karena proses tersebut Maryam kurang akal dan agamanya. Maryam tetap perempuan yang mencapai puncak kehambaan tertinggi.

Baca juga: Penjelasan Al Quran tentang Musibah dan Pandemi

Sebagai potret perempuan yang shalih dan ta’at kepada Tuhan. Maryam dapat kita jadikan sebagai figure perempuan yang terus menginspirasi perempuan untuk dekat dengan Tuhan dan bermanfaat untuk seluruh ‘Alam bersama dan tetap melalui proses reproduksinya. (Yang hal itu tidak akan)  tanpa mengurangi kualitas Ibadah dan Keber-Agamaan kita kepada Tuhan dan sesama. Hai Perempuan, jadilah Maryam seutuhnya, bermanfaat seluasnya!

Konsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi

0
masyarakat ideal
masyarakat ideal

Dilihat dari segi bahasa istilah masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab, syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Pada praktiknya, kata masyarakat ini yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan. Oleh karena itu, masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang kontinyu.

Mengacu pada definisi ini, maka secara sosiologis masyarakat ideal itu setidaknya memiliki empat unsur pokok yakni, manusia yang hidup bersama, bercampur untuk waktu yang cukup lama, mereka sadar bahwa mereka suatu kesatuan hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Jika definisi diatas yang dipakai, maka banyak padanannya dalam Al Quran.

Menurut Said Nursi ada beberapa kata yang dipakai dalam Alquran untuk menunjukkan istilah masyarakat, antara lain qaum, ummah, syu’bu dan qabail (Fathu Jannah, Pemikiran Said Nursi tentang perdamaian, Medan 2012, 56). Suatu tatanan masyarakat ideal tercipta menurut Said Nursi diperoleh dari konsep perdamaian. Lebih lanjut Said Nursi menjelaskan konsep perdamaian yakni berasal dari kata damai dengan sisipan per-an. Damai ialah tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tentram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, rukun. Jadi yang dimaksud dengan perdamaian: penghentian permusuhan (perselisihan, dan lain-lain).

Agama Islam adalah suatu agama yang identik dengan perdamaian. Salah satu arti dari Islam adalah damai. Damai dalam arti penyerahan mutlak kepada Allah swt. Orang yang menyerahkan diri kepada Allah senantiasa hatinya selalu damai, meskipun dalam suasana perang.

Walaupun makna “perdamaian” bukan hanya berarti tidak adanya “perang”, tetapi “perang” merupakan bentuk esktrim dari tidak adanya “perdamaian”. Karena begitu pentingnya penerapan damai dalam kehidupan, maka jika dalam suasana yang mengharuskan perangpun Islam tetap mengajarkan ajaran-ajaran perdamaian dalam suatu peperangan. Inilah makna masyarakat ideal sesungguhnya. Perang dalam Islam hanya dibolehkan kalau diserang.

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror

Ada aturan-aturan mengenai perang dalam Islam yang tidak boleh dilanggar. Misalnya membunuh wanita dan anak-anak, tidak boleh membunuh musuh yang tidak bersenjata, tidak boleh merusak lingkungan. Inilah sebagian contoh dari etika dalam perang yang harus senantiasa diindahkan yang merupakan bagian dari upaya tetap melestarikan perdamaian, atau minimal meminimalisir peperangan.

Berbicara mengenai konteks agama dalam persolan perdamaian, disini pemakalah menelaahnya dari perspektif Islam pemikiran Said Nursi. Islam merupakan agama cinta damai. Islam menghindari peperangan yang diakibatkan rasialisme kebangsaaan. Islam mengakui bahwa semua manusia berasal dari sumber yang satu. Dari sumber yang satu ini maka terciptalah beragama suku bangsa yang tiada lain tujuannya adalah supaya saling mengenal.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah, meskipun Allah telah menciptakan manusia dengan beraneka ragam suku, beraneka ragam bangsa, dengan warna kulit dan bahasa yang berbeda, namun itu semua indah jika tidak adanya perpecahan dan peperangan.

Islam menghindari peperangan yang dikobarkan oleh ambisi untuk memperoleh keuntungan, seperti peperangan yang dicetuskan oleh imperialisme dengan orientasi sebagai ajang eksploitasi, memperbudak penduduk dan tokoh-tokoh negeri serta bermacam niat jahat lainnya. Peperangan dengan niat-niat jahat tidak dibenarkan dalam Islam.Islam memandang bahwa semua manusia merupakan satu keluarga, satu kerabat yang berkewajiban saling membantu.

Baca juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri

Dalam Risalah an-Nur, Nursi juga mengisahkan betapa tidak nyamannya suasana peperangan. Pahitnya saat menjadi tawanan perang dunia I, saat ditawan di kota Kosturma. Malam-malam pekat berselimutkan kepedihan ia lewati dengan ber’uzlah di sebuah mesjid kecil dekat sungai Volga. Nursi menyatakan: “Orang yang melihat peperangan akan menjadi cepat tua, bahkan peperangan akan membuat anak kecil beruban menurut Nursi”. Ini menjelaskan pada kita bagaimana dahsyatnya derita akibat perang yang dialami Nursi.

Oleh sebab itulah, Nursi sangat tidak suka dengan perpecahan, kekerasan dan hal lain yang berdampak pada pudarnya situasi perdamaian. Menjalani masa-masa getir tersebut, Nursi menekankan bahwa ia bukanlah seorang yang cinta akan dunia. Cita-cita bukanlah terletak pada cintanya terhadap dunia. Hatinya telah dipenuhi oleh hal-hal yang berbeda. Ia mengatakan tak ada tempat bagi yang lainnya.

Di sini jelas terlihat bahwa Nursi bukan termasuk orang yang ambisius terhadap kekuasaan dan politik. Konsep cinta lebih utama baginya. Konsep yang digagasnya ini sangat relevan, mengingat beliau seorang sufi. Dengan cinta maka perdamaian akan tercipta. Sebaliknya, tanpa cinta, perpecahan dan segala bentuk tindakan kekerasan yang akan tercipta.

Lebih lanjut Said Nursi dalam masyarakat ideal menungkapkan kata-kata yang sangat bijak yakni “Kami memiliki dua tangan yang dengannya kami memegang cahaya. Apabila kami memiliki seratus tangan kami akan memegang lebih banyak cahaya lagi”. Cahaya dalam pengertian Said Nursi dalam konteks ini adalah perdamaian, harmoni, kecerdasan, dan apapun yang bersifat positif. Menurutnya tak ada seorangpun yang dapat menghalangi cahaya sebab ia akan menguntungkan semua orang.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Dalam tulisan-tulisannya mengenai Perdamaian, Thomas Michael menyimpulkan titik fokus Nursi terletak pada tiga aspek, yaitu:

Pertama, perdamaian merupakan tujuan akhir dan merupakan pahala bagi mereka yang mempelajari serta mempraktekkan suatu ajaran Alquran.

Kedua, perdamaian adalah ketenangan yang diberikan oleh Allah kepada orang percaya yang setia, yang sanggup dan kuat dalam menanggung berbagai kesulitan, menghadapi sikap ketidakadilan, serta tidak melakukan upaya balas dendam.

Ketiga, perdamaian adalah misi, tugas khidmat dari Allah yang ditujukan untuk umat Islam. Oleh sebab itulah Nursi menyatakan bahwasanya umat Islam harus menjadi pembawa damai dan membangun budaya perdamaian dalam kehidupan di dunia ini.

Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

0
harta anak yatim
harta anak yatim

Seorang anak yang ayahnya meninggal biasa disebut dengan istilah anak yatim. Secara bahasa, yatim beramakna infirad atau sendiri. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah seseorang yang ditinggal wafat ayahnya dan belum sampai pada masa baligh. Semua anak pasti menginginkan keberadaan orang tuanya secara utuh, namun takdir tidak ada yang bisa menebak. Sebagian dari anak-anak tersebut harus menerima kondisinya yang kehilangan sosok ayah sebagai figur pemimpin dalam kehidupannya. Sehingga, segala keperluan yang berhubungan dengannya harus diserahkan kepada orang lain, termasuk mengenai harta yang menjadi haknya.

Allah swt berfirman:

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai menjaga harta), maka serahkanlah lepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatuhan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka, maka hendaklah adakan saksi-saksi (penyerahan) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian tersebut). (QS. An-Nisa’ [4]: 6)

Dijelaskan dalam literatur-literatur fiqih bahwa salah satu dari orang yang tidak diperkenankan mengelola harta adalah anak yatim. Oleh sebab itu jika ia memiliki harta, maka harus ada wali atau orang yang menerima wasiat atas pengelolaan harta tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Memang benar menjaga anak yatim sangat besar keutamaannya, seperti jaminan masuk surga dan bisa dekat dengan Rasulullah serta menjadi ladang pahala dan menghindarkan dari siksa api neraka sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran maupun hadis.  Namun, melalui firman-Nya di atas, Allah juga memberikan aturan ketat bagi para wali atau orang yang menerima wasiat mengurus harta anak yatim untuk tidak memakan harta tersebut. Tidak hanya itu, menukar yang baik dari hartanya dengan yang buruk juga dilarang keras. Tak tanggung-tanggung, Allah menyebut perbuatan demikian adalah huban kabiran yakni dosa besar (QS. an-Nisa: 2) serta memberikan gambaran mengerikan, seperti firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (QS. An-Nisa’ [4]: 10)

Kendati demikian, Allah juga tak lupa memperhatikan keadaan wali. Jika wali tersebut miskin, maka ia diperbolehkan menggunakan harta anak yatim sesuai kebutuhannya. Berdasarkan ayat tesebut ulama sepakat mengenai kebolehannya asalkan tidak berlebihan. Lalu timbul pertanyaan, apakah harta yang digunakannya harus ia ganti? Mengingat harta tersebut adalah warisan ayahnya yang memang diserahkan untuk masa depan sang anak.

Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya

Al-Qurthubi menuturkan ada perbedaan di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa harta yang digunakan sekadar untuk kebutuhan sang wali, maka tidak perlu diganti. Sebab, Allah telah memperbolehkan, sehingga hal tersebut dianggap sebagai upah. Ini berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad. Sedangkan sebagian yang lain, berpendapat bahwa harta yang telah digunakannya itu harus diganti berdasarkan perkataan Sayidina Umar.

Mazhab Hanafi sebagaimana yang diriwayatkan al-Jasshash berpendapat bahwa wali tidak diperkenankan mengambil harta tersebut, baik statusnya orang kaya atau fakir. Mazhab ini berhujjah dengan keumuman surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan jangan kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Namun, at-Thabari mengunggulkan pendapat pertama dan inilah yang diikuti oleh al-Qurthubi.

Wallahu A’lam.

Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

0
Amin Al-Khuli
Amin Al-Khuli credit: aman.dostor.org

Amin al-Khuli merupakan salah satu dari sekian mufasir modern yang melakukan pembaharuan terhadap tafsir Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa pemikirannya adalah respon terhadap pemikiran Muhammad Abduh yang menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (kitab hidayah). Menurutnya, Al-Qur’an adalah kitab sastra Arab, oleh karenanya itu harus didekati dengan bahasa Arab agar menghasilkan penafsiran obyektif. Ia kemudian menciptakan metode tafsir sastrawi agar Al-Qur’an terbebas dari berbagai kepentingan.

Bernama lengkap Amin bin Ibrahim bin ‘Abdul Baqi bin ‘Amir bin Ismail bin Yusuf Al-Khuli. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1895 di Menoufia, sebuah kota kecil di provinsi Monufia, Mesir. Ia berasal dari keluarga yang religius, terutama ibu dan kakeknya, yakni Fatimah bint ‘Ali ‘Amir al-Khuli dan syekh ‘Ali ‘Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Shibhi. Beliau merupakan alumni Al-Azhar yang ahli dalam bidang qira’at.

Pada umur tujuh tahun, Amin kecil pindah ke Kairo dan berada di bawah pengawasan pamannya. Di sana ia digembleng untuk mempelajari pendidikan agama Islam secara ketat, yakni dengan menghafal Al-Quran, mempelajari Tajwid Thuhfah, Jazariah, fikih dan nahwu. Ia juga diwajibkan oleh kakeknya untuk menghafal Kitab al-Syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah, dan Matan Alfiah. Berkat dorongan tersebut, pada usia sepuluh tahun ia telah menghafal 30 juz Al-Qur’an dalam qiraat riwayat Imam Hafs (Metode Tafsir Sastra: 64).

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Pada tahun 1907, Amin al-Khuli masuk ke Madrasah al-Qissuni. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah Madrasah Usman Pasa selama tiga tahun. Ketika bersekolah di sana, Amin terkenal sebagai anak yang luar biasa cerdas. Hal ini membuat salah satu gurunya di Usman Pasa, Syekh ‘Abdul Rahman Khalfah kagum dan menyarankannya agar melanjutkan studi ke Madrasah al-Qadha’ Al-Syar’i (Akademi Hukum).

Setelah mempertimbangkan dengan matang saran gurunya tersebut, Amin al-Khuli lalu mengikuti tes masuk dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Ia melewati berbagai tahap ujian, mulai dari tes hafalan, membaca kitab, hingga membuat esai dalam bidang fikih dan nahwu. Di Madrasah inilah Al-Khuli mempertajam kemampuan intelektual, karena selain mendalami ilmu-ilmu keislaman, ia juga mempelajari al-jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah dan geografi.

Selain mendalami berbagai ilmu, Amin al-Khuli juga aktif berorganisasi. Salah satunya adalah organisasi Madrasah Ikhwan al-Safa dengan konsentrasi bidang seni dan sastra. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Ia turut andil bagian dalam membangkitkan perjuangan Mesir pada tahun 1919 melawan kekuatan kolonial Inggris melalui kampanye-kampanye penyatuan kekuatan militer dan intelektual masyarakat sipil.

Amin al-Khuli menamatkan sekolahnya pada tahun 1920 dan diserahi tugas untuk mengajar di Madrasah al-Qadha’ Al-Syar’i. Kemudian pada tahun 1923 ia bertolak ke Italia karena dipilih sebagai imam di kedutaan Mesir di Roma. Ia berada di sana selama tiga tahun lalu dipindahtugaskan menjadi imam di kedutaan besar Mesir di Berlin pada tahun 1926. Perjalanannya ke Eropa inilah yang kemudian hari mempengaruhi perspektifnya terhadap Al-Qur’an dan kajiannya.

Pasca selesai penugasan menjadi imam, Amin al-Khuli kembali ke Mesir dan mengajar di Universitas Kairo. Karirnya terus menanjak sampai ia diberi jabatan ketua jurusan Bahasa Arab, hingga wakil Dekan, dan menjadi guru besar studi Al-Quran di sana. Karirnya ini kemudian meredup manakala ia bersengketa dengan para intelektual Al-Azhar ketika menjadi promotor disertasi doktoral Muhammad Ahmad Khalafallah pada tahun 1947. Keduanya dianggap kafir karena pandangan kontroversial Khalafallah tentang kisah-kisah Al-Qur’an.

Aktivitas intelektual, sosial, dan politik Amin al-Khuli kemudian lebih banyak dicurahkan dengan menulis dan mengkaji seni dan sastra. Di antara karya-karyanya adalah; Fi al-Adab al-Misri: Fikr wa Manhaj, Al-Mujaddidun Fi al-Islam ‘ala asas Kitabay: al-Tanbi’ah Biman Yab’asuhu Allah ‘Ala Kulli Mi’at Li alSuyuti wa Bugyat al-Muqtadin wa Minhat al-Mujiddin ‘Ala Tuhfat al-Muhtadin li al-Maragi al-Jurjawi, Silat al-Islam bi Islah al-Masihiyyah, Mahij Tajdid Fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab dan lain-lain.

Dari berbagai karya di atas, Amin al-Khuli sangat concern mengenai sastra dan bahasa Arab. Perhatiannya ini kemudian ia arahkan ke dalam kajian Al-Qur’an, di mana ia mencoba menafsirkan Al-Qur’an dengan seobyektif mungkin melalui pendekatan sastra. Hal ini dilakukan olehnya karena pendekatan tafsir yang selama ini ada dengan beragam kecenderungan yang melatarbelakangi para mufasir tidak mampu menangkap maksud dan tujuan otentik Al-Qur’an (Al-Tafsir Ma‘alim Hayatihi Manhajuhul Yawma: 11).

Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Dalam berbagai kesempatan suami dari Bint As-Syathi ini mengkritik berbagai metode dan corak tafsir Al-Qur’an. Menurutnya, sikap berlebihan dalam menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an pada aspek tertentu dapat menyebabkan para mufasir menyimpang dari tujuan Al-Qur’an. Ia juga dengan tegas mengkritik tafsir ilmi yang memaksakan teks-teks keagamaan agar senantiasa selaras dengan teori-teori sains kontemporer yang relatif dan bisa berubah-rubah kapan saja teori tersebut diruntuhkan.

Bagi Amin al-Khuli, langkah pertama yang harus dilakukan mufasir adalah memposisikan Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar dan sebagai karya sastra yang tinggi. Selanjutnya, Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab itu didekati dengan pendekatan sastra dan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai atribut utamanya. Ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an dapat dipahami secara proporsional dan apa adanya baik oleh muslim maupun non-muslim (Alquran Kitab Sastra Terbesar: 23). Wallahu a’lam.