Beranda blog Halaman 519

Doa Untuk Orang Tua dalam Al-Quran dan Tafsir Surat Al-Isra’ [17]: 24

0
Doa Untuk Orang Tua
Doa Untuk Orang Tua

Dalam sebuah riwayat Hadis dikatakan bahwa ridla Allah bergantung pada rida orang tua dan murkanya Allah juga bergantung pada murka orang tua. Ini menandakan betapa tingginya derajat orang tua di sisi Allah. Ini juga menandakan betapa pentingnya seorang anak berbakti kepada orang tua. Salah satu tanda bakti dari sang anak adalah melafalkan doa untuk orang tua.

Begitu pentingnya seorang anak untuk berbakti dan melafalkan doa untuk orang tua sehingga Al-Quran mengajarkannya sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Isra [17]: 24 yang berbunyi:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”

Dalam penafsiran Ulama ada beberapa redaksi dalam ayat ini yang didiskusikan mengenai maksud dan maknanya. Pada lafaz (وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ), dijelaskan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi bahwa redaksi جَنَاحَ الذُّلِّ merupakan majaz isti’arah yang melambangkan sebuah ketawadluan bagaikan sayap yang direndahkan (tidak merasa tinggi di hadapan orang tua).

Kemudian huruf (مِنَ) di sana memiliki faidah ta’lil atau menjelaskan sebab bahwa seorang anak harus bersikap tawadlu terhadap orang tua karena itu merupakan bagian dari bentuk kasih sayang anak pada keduanya.

Selanjutnya bentuk rahmat yang dimohonkan kepada Allah dalam ayat ini berupa rahmat dunia dan akhirat. Adapun rahmat yang dimaksud secara spesifik tidak diberikan penjelasannya, karena bentuk rahmat itu banyak sehingga untuk tidak membatasi maknanya maka tidak ditakhsis masing-masing dari bentuk rahmat di dunia maupun akhirat.

Memang dalam beberapa redaksi yang memuat tentang kebaikan yang Allah berikan kepada manusia (sebagaimana dalam tulisan tafsir doa Sapu Jagat), Ulama jarang memberikan takhsis sebab justru akan membatasi kekuasaan Allah yang dapat memberikan kebaikan berupa apa saja kepada makhluk-Nya.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan

Pada lafaz كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًا terdapat penjelasan yang menarik dalam men-taqdir faidah huruf (ك). Ada yang mengatakan bahwa faidahnya adalah tasybih sehingga maknanya ialah permohonan agar orang tua mendapatkan rahmat yang setara dengan kasing sayang dan didikan mereka terhadap anaknya. Dan jika mengikuti faidah kedua yakni ta’lil, maka permohonan rahmat yang diajukan oleh sang anak disebabkan oleh sikap orang tua yang telah mendidik dan menyayanginya sejak kecil.

Faidah manapun yang dipilih sebenarnya tidak menghilangkan makna positif dari doa tersebut dan juga tidak menghilangkan esensi bahwa doa yang dilafalkan itu sendiri juga merupakan bentuk bakti anak terhadap orang tuanya.

Penjelasan menarik selanjutnya yang ditambahkan al-Alusi setelah mengulas tafsir dari ayat ini ialah memberikan beberapa referensi hadis mengenai sikap ideal terhadap orang tua. Salah satunya tatkala ia menegaskan bahwa seorang anak tidak cukup hanya berbakti kepada orang tua saat mereka hidup namun juga tatkala mereka telah tiada.

Al-Alusi mengutip hadis yang diriwayatkan Ibn Majah yang menceritakan seseorang yang datang menghadap Rasulullah lalu menanyakan cara berbakti kepada orang tua selepas mereka wafat.

Maka Rasulullah pun menjawab ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai bentuk bakti anak kepada orang tua selepas mereka wafat. Di antaranya adalah mendoakan mereka, meminta ampunan bagi mereka, memenuhi janji yang mereka tinggalkan, bersilaturrahim kepada kerabat keluarga mereka, dan menghormati teman-teman mereka.

Penjelasan tambahan dari al-Alusy memberikan penekanan bahwa kewajiban berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang harus terus dilaksanakan oleh seorang anak selama hayat masih dikandung badan. Wallahu a’lam.

Menangis saat Membaca Al Quran, Sikap Lebay atau Ada Ajarannya?

0
menangis saat membaca Al Quran
menangis saat membaca Al Quran

Terdapat macam-macam tipe umat muslim tatkala membaca Al Quran. Ada yang saat membaca Al Quran, ia benar-benar tahu maknanya. Sehingga bisa meresapi maknanya dan membuat ia menangis saat membaca Al Quran. Bahkan sampai berteriak dan pingsan. Adapula yang entah karena tak faham dengan makna ayat yang ia baca, atau sebab pikirannya tatkala membaca sudah melayang kemana-mana, ia sama sekali tak menunjukkan sikap menghayati ayat yang ia baca, apalagi sampai menangis.

Bagi yang biasa-biasa saja tatkala membaca Al Quran, kadang saat melihat orang lain membaca Al Quran sampai menangis, ia menganggap itu sikap lebay. Namun, benarkah itu sikap lebay? Atau, sebenarnya ada yang bisa kita teladani dalam membaca Al Quran sampai menangis? Lalu, apabila kita sudah berusaha untuk menangis lalu tidak bisa, apa yang sebaiknya kita lakukan? Ini penjelasannya berdasar keterangan para ulama.

Baca juga: Sujud Tilawah, Sujud Tatkala Membaca Ayat Sajdah

Anjuran Membaca Al Quran Sampai Menangis

Menangis tatkala membaca Al Quran adalah suatu kebaikan dan merupakan perilaku orang-orang yang berimana kepada Allah. Allah berfirman:

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا

 قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ سُجَّدً

وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا

وَيَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia. Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: “Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’” (QS. Al-Isra’ [17]: 106-109).

Dalam sebuah hadis yang sanadnya dinilai bagus oleh Imam Al-‘Iraqi dan diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqash dinyatakan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ قَدِمَ عَلَيْنَا سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ وَقَدْ كُفَّ بَصَرُهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ أَنْتَ فَأَخْبَرْتُهُ. فَقَالَ مَرْحَبًا بِابْنِ أَخِى بَلَغَنِى أَنَّكَ حَسَنُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ  إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا

“Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Saib, ia berkata: Sa’d bin Abi Waqash datang kepada kami dengan mata tertutup. Lalu aku mengucapkan salam padanya. Ia berkata: “Siapa engkau?” Lalu aku memberi tahunya. Ia lalu berkata: “Selamat datang wahai anak saudaraku. Aku dengar engkau memiliki suara indah dalam membaca Al Quran. Aku mendengar Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya Al Quran ini turun bersama hal-hal yang membuat menangis (saat meresapi maknanya). Apabila engkau membacanya, maka menangislah. Apabila tidak bisa mengis, maka paksakan dirimu menangis’” (HR. Ibn Majah).

Imam al-Ghazali menyatakan, bahwa cara menghadirkan rasa sedih dalam hati adalah dengan menghayati makna ayat-ayat Al Quran yang berisi tentang ancaman serta janji-janji Allah, kemudian mengingat-ingat kesalahan-kesalahan yang dilakukan diri dalam menjalankan perintah serta menjahui larangan Allah. Apabila tetap tidak bisa, maka cukup ia menangisi diri sendiri sebab tak bisa menghayati ancaman-ancaman Allah dengan sepenuh hati (al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin/1/287).

Baca juga: Inilah 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis

Para Ulama Salaf Yang Menangis Saat Membaca Al Quran

Selain dinyatakan oleh Al Quran dan hadis, perihal menangis saat membaca Al Quran juga dinyatakan oleh tindakan-tindakan ulama’ salaf. Imam an-Nawawi bercerita, suatu kali ‘Umar bin Khattab salat subuh berjamaah. Beliau lalu membaca Surat Yusuf. Beliau pun menangis sampai air matanya meleleh ke tenggorokan beliau. Dalam riwayat lain, tangis sahabat ‘Umar sampai terdengar ke shaf belakang (as-Suyuthi, At-Tibyan/68).

Kejadian hampir sama juga dialami sahabat Abu Bakar, Ibn ‘Abbas, serta Muhammad bin Sirrin. Dan Imam an-Nawawi juga menyatakan, kisah-kisah serupa masih terdapat amat banyak lagi. Bahkan tidak hanya menangis, tapi juga menjerit, pingsan serta meninggal dunia sebab sang pembaca keadaan hatinya memang benar-benar dekat dengan Allah. sehingga setiap apa yang dinyatakan Al Quran, sungguh amat mengena di hatinya.

Baca juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?

Meski membaca Al Quran dengan menangis ada anjurannya, hendaknya hal itu dilakukan tanpa tujuan dibuat-buat dengan niatan semacam pamer dan hal buruk lainnya. Menangis tatkala membaca Al Quran ada dalam rangka meresapi kandungan Al Quran. Bukan sekedar tangis dengan hati serta pikiran yang kosong dari menghayati makna Al Quran, serta introspeksi diri yang belum bisa sepenuhnya menjalankan ketaatan kepada Allah.

Moh. E. Hasim, Tokoh Mufasir Sunda Aktifis Muhammadiyah

0
mufasir sunda
mufasir sunda. credit: pustakaaksara.com

Muhammad Emon Hasim atau disebut Moh. E. Hasim mencatatkan namanya dalam list para mufasir Sunda. Ia adalah seorang budayawan, akademisi, dan penulis tafsir berasal dari Sunda Priangan. Ia merupakan  anak dari seorang petani kelapa di Desa Ciseurih, lahir di Kampung Bangbayang Kidul, Kawali Kabupaten Ciamis pada tanggal 15 Agustus 1916. Hasim dikenal sebagai tokoh masyarakat yang baik, dermawan dan bijaksana. Hasim  merupakan seorang guru dan aktifis Muhammadiyah yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Jepang. (Muhammad Khoirul Anwar, Khazanah Mufasir Nusantara : 102).

Mufasir Sunda ini mendapatkan anugerah Sastra Rancage pada tahun 2001, yaitu sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage untuk orang-orang yang telah berjasa mengembangkan bahasa dan sastra daerah seperti bahasa Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh dan lainnya. E. Hasim mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut karena dianggap memberikan kontribusi dalam pemeliharaan bahasa Sunda melalui karya tafsirnya. (Jajang A Rohmana, Tafsir Al-Qur’ān dari dan untuk Orang Sunda: Ayat Suci Lenyepaneun Karya Moh. E. Hasim : 3).

Baca Juga: K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan

Perjalanan Intelektual

Semasa kecil, Hasim belajar di Sekolah Dasar selama tiga tahun, kemudian melanjutkan ke sekolah rakyat (Schakelschool) Muhammadiyah dan HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Sekolah menengah pertamanya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), melanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) namun tidak selesai. Kegagalan tersebut membuat Hasim terus belajar melalui buku-buku dan perkawanan yang mengantarkan ia menguasai berbagai bahasa dan pedagogi. Sehingga Hasim diterima sebagai guru HIS Pasundan, kemudian setelah itu menjadi kepala Schakel School Islam Miftahul Huda. (Muhammad Khoirul Anwar, Khazanah Mufasir Nusantara : 102).

Hasim hidup pada masa penjajahan Jepang, Ia sempat mengajar di Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko) kemudian menjadi Pengarah Tenaga Kerja dan pengajar bahasa di Kabupaten. Namun, jiwa nasionalisme Hasim tidak diragukan lagi. Ia terlibat dalam berdirinya BARA, BKR, TKR di Ciamis, Hasim juga memimpin Persatuan Perjuangan Nasional yang merupakan gabungan dari organisasi Sabililah, Hisbullah, BPRI dan Tentara Pelajar. Hal tersebut membuat Hasim tertangkap dan melarikan diri ke Bandung, dan di sana Hasim melanjutkan profesinya sebagai guru bahasa di berbagai lembaga pendidikan. (Ajip Rosidi, Apa Siapa Orang Sunda : 180).

Pada tahun 2009 Hasim wafat pada usia 93 tahun dan dimakamkan di daerah tempat tinggalnya Pasir Kaliki Bandung. Karya-karya lain dari Hasim selain tafsir Lenyepaneun di antaranya, Grammar and Exercise Elementary Grade, Hadis Penting Pelita Hati, Rupa-rupa Upacara Adat Sunda Jaman Ayeuna (1984), Kamus Istilah Islam (1987), Hadis Penting Papadang Ati (1997) Ayat Suci dalam Renungan 30 Jilid (1998) Khatbah Shalat Juma’ah (2006)

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Sekilas Tentang Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun

Penghargaan Rancagè yang diperoleh Hasim merupakan buah dari karya tafsirnya yaitu tafsir Ayat Suci Lenyepaneun yang disusun lengkap 30 jilid sejak tahun 1990. Tafsir tersebut berbahasa Sunda sesuai dengan bahasa daerah asalnya, ditulis untuk kepentingan masyarakat umum dan disusun selama tiga tahun. Penggunaan bahasa Sunda dalam tafsirnya memperlihatkan hubungan antara rasa bahasa ibu (bahasa jiwa) dengan upaya penjabaran ayat suci Alquran sehingga lebih menyentuh untuk orang-orang Sunda.

Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun merupakan tafsir Alquran pertama yang menggunakan bahasa Sunda dengan aksara Roman yang orisinal, dengan menggunakan bahasa Sunda lancaran atau ringan. Selain misi keagamaan, penggunaan bahasa daerah dalam tafsirnya menunjukkan kecintaan Hasim kepada bahasa Sunda yang perlu dilestarikan. Tafsir ini menggunakan pendekatan bil al-ra’yi dengan corak adab al-ijtimā’i, dari segi sumber, mufasir Sunda tersebut lebih sering merujuk kepada tafsir Al-Azhar karya Hamka juga beberapa kamus Sunda, Arab dan Inggris. (Jajang A Rohmana, Tafsir Al-Qur’ān dari dan untuk Orang Sunda: 8-10).

Aspek lokalitas yang menjadi ciri khas tafsir Ayat Suci Lenyepaneun ini selain bahasa daerah yang digunakan terdapat pula beragam respons sang mufasir Sunda tersebut atas situasi sosial, politik serta keagamaan di sekitar masyarakat. Contohnya seperti penggunaan tatakrama (aturan-aturan bertutur bahasa Sunda), penggunaan ungkapan tradisional dalam penafsiran, gambaran alam pasundan dengan berbagai keindahannya, cerita keseharian orang Sunda dan respons atas wacana sosial keagamaan seperti kritikannya terhadap pandangan Islam tradisional hingga masalah yang berkaitan dengan Orde Baru. (Jajang A Rohmana, Tafsir Al-Qur’ān dari dan untuk Orang Sunda : 16).

Tanggapan terhadap Islam tradisional ini bisa ditemukan dalam muqaddimah Hasim, seperti yang dikutip oleh Jajang A. Rohmana dalam artikelnya, Ideologisasi Tafsir Al-Quran di Jawa Barat: Kecenderungan Islam Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun,

Seueur ummat Islam di lembur urang nu ngagaduhan kayakinan yen Al-Quran teh cekap diaos wungkul teu peryogi kaharti eusina…pola pikir sapertos di luhur bakal ngagiring ummat Islam kana golngan ummat anu taklid sareng jumud, gampil dibantun sumarimpang kaluar tina pituduh Nu Maha Agung dina sadaya widang, akidah dicampur syirik, ubudiah katut muamalah pinuh ku bid’ah sareng khurafah…. (Banyak umat Islam di daerah kita yang memiliki keyakinan bahwa Al-Qur’an cukup dibaca saja tidak perlu dipahami isinya…pola pikir seperti di atas akan menggiring umat Islam pada golongan umat yang taklid dan jumud, mudah dibawa menyimpang keluar dari petunjuk Yang Maha Agung dalam segala bidang, akidah dicampur dengan syirik, ubudiah dan muamalah penuh dengan bid’ah dan khurafah)

Baca Juga: Brigjen Bakri Syahid : Mufasir Quran Bahasa Jawa

Berdasar muqaddimah ini dapat kita lihat bagaimana respon para pengkaji Alquran ketika itu tentang isu-isu keagamaan. seperti diketahui Muhammadiyah mengusung pembaharuan pemikiran dalam Islam, berbeda dengan kelompok Islam tradisional. Di sinilah terlihat ideologi mufasir memberi pengaruh yang sangat kuat pada ideologi karya tafsirnya.

Inilah Makna Dibalik Penamaan Ayat Kursi, Simak Penjelasannya

0
makna ayat kursi
makna ayat kursi

Membaca ayat kursi tentunya sudah tidak asing lagi bagi umat muslim karena ia sering dibaca saat shalat dan di beberapa dzikir tentunya. Kandungan ayatnya memiliki makna penegasan bahwa Allah swt. ialah satu-satunya Sang Penolong dan Sang Pemberi apapun di muka bumi. Ayat yang sering disebut-sebut sebagai ayat kursi ini cukup populer dan terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 255. Lantas, mengapa dinamakan sebagai ayat kursi? Apa makna dibalik istilah ayat kursi disini? Mari kita simak.

Makna Dibalik Istilah Ayat Kursi

Sebelum memaknai istilah ayat kursi, penulis ingin membahas sekilas tentang makna dari kata ayat. Kata ayat terambil dari bahasa Arab أية yang jika dilihat dari segi bahasa berarti kumpulan. Makna kata ini kemudian berkembang sehingga ia bermakna juga “bukti yang nyata”, pelajaran, dan “sesuatu yang menakjubkan”.

Pernyataan ini penulis temukan dalam buku Quraish Shihab yang berjudul Kosakata Keagamaan. Quraish Shihab mengutarakan bahwa ayat bisa dimaknai sebagai tanda. Mengapa demikian? Karena tanda berpotensi untuk menjadi bukti sekaligus pelajaran yang menakjubkan. Ayat kursi yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 255 menjadi satu-satunya ayat Al Quran yang menggunakan kursi.

Berikut kutipan ayatnya:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.

Baca juga: Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi

Pada akhir ayat diatas, wasi’a kursiyyuhu al-samawat wal-ardh, telah jelas menggunakan kata Kursi dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 255. Hal ini sangat jelas mengapa dinamakan ayat kursi, karena kata kursi telah ada dalam surat tersebut. Mengapa demikian? Ulama berbeda pendapat memaknai hal ini. Secara umum, kata “kursi” tidaklah sama dengan arti yang biasa digunakan yaitu tempat duduk.

Ibrahim bin ‘Umar al-Biqai (809-855 H) dalam tafsirnya Nadhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar menafsirkan kata kursi dalam surat Q.S. al-Baqarah [2]: 255.

{وسع كرسيه} ومادة كرس تدور على القوة والاجتماع والعظمة

“(Wasi’a Kursiyyuhu), luas nya kursi tersebut menunjukkan kekuatan, besar, dan agung”.

Sebenarnya, makna dari kursi ini memiliki ragam penafsiran dalam perspektif ulama tafsir. Ada yang mengatakan bahwa kursi dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 255 diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah yang juga dinamai sebagai ‘Arsy yang secara harfiah berarti singgasana, namun tidak diketahui hakikatnya.

Quraish Shihab mengungkapkan bahwa dalam Ayat Kursi terdapat tujuh belas kali kata yang menunjuk kepada Allah, satu diantaranya tersirat. Selanjutnya, terdapat lima puluh kata dalam susunan redaksinya. Quraish Shihab melanjutkan bahwa pengulangan tujuh belas kata yang menunjuk nama Allah tersebut bila dicamkan dan dihayati akan memberikan kekuatan tersendiri bagi para pembacanya. Disisi lain, Imam al-Biqai meneruskan penafsirannya tentang kekuatan ikatan Ayat Kursi dengan Allah, ia berkata:

“Lima puluh kata adalah lambang dari lima puluh kali shalat yang pernah diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw ketika dirinya berada di tempat yang Maha tinggi dan saat peristiwa Mi’raj. Lima puluh kali itu kemudian diringankan menjadi lima kali dengan tujuh belas rakaat sehari semalam. Disisi lain, perjalanan menuju Allah ditempuh oleh malakaikat dalam lima puluh tahun menurut perhitungan manusia”

Baca juga: Agar Terhindar dari Kejahatan? Baca Surah Muawwidzatain

Selaras dengan (Q.S. al-Ma’arij [70]: 4,

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya mencapai lima puluh tahun”.

Hal ini membuktikan bahwa makna ayat kursi dalam pandangan ulama tafsir sebagai ayat yang selalu dikaitkan dengan perlindungan Allah. Jika ayat tersebut selalu ada dalam hadirat Allah, gangguan tidak mungkin menyentuh sesorang. Setan tidak mungkin mendekat, bahkan ia akan menjauh. Itulah mengapa Ayat Kursi selalu menjadi bacaan andalan untuk mengusir para setan atau jin yang menghadang manusia.

Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak

0
Hukum talak
Hukum talak

Sebuah pernikahan tidak selalu berjalan mulus, pasti ada kerikil-kerikil yang menjadi ujian bagi sepasang suami-istri. Jika mereka mampu melewati rintangan tersebut, maka mereka telah menyelamatkan bahtera rumah tangganya. Namun, tak sedikit juga yang memilih jalan talak atau bercerai untuk menyudahi pernikahannya. Tidak ada yang pernah baik-baik saja dengan bercerai, akan ada bekas yang selalu dibawa oleh pasangan setelah itu. Oleh karena itu meski diperbolehkan, talak atau cerai dibenci oleh Allah. Mengapa bisa demikian, lantas bagaimana pendapat para ulama terkait hukum talak atau cerai ini?

Allah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ  لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا

“Wahai Nabi, apabila engkau menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah ceraikan mereka pada waktu mereka mendapatkan (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertaqwalah pada Tuhanmu. Janganlah engkau keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (mengijinkan) keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.” (QS. At-Thalaq [65]: 1)

Secara bahasa, talak berasal dari lafal al-ithlaq yang berarti melepas atau meninggalkan. Lalu menurut istilah syara’, talak berarti hillu qaidin nikah yakni melepas ikatan pernikahan. Selain di surat At-Thalaq, ayat seputar talak juga tertera pada surat al-Baqarah ayat 229. Ijma’ ulama menyatakan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa hukum asal talak adalah mubah (boleh), karena bisa saja suatu pernikahan hanya membawa mafsadah atau kerusakan.

Baca Juga: Kisah Romantis Khaulah bint Tsa’labah Dibalik Ayat-Ayat Zihar

Sementara itu, madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa jika hukum asal talak atau cerai hukum adalah mahzhur (dilarang), sebab dianggap mengingkari nikmat pernikahan dari Allah. Ini tentu berbeda dengan pendapat umum.

Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menukil pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan perihal hukum talak dengan melihat faktor-faktornya.

Pertama, berhukum wajib. Hukum talak atau cerai menjadi wajib saat dirasa perselisihan yang terjadi antara sepasang suami istri tidak mungkin lagi untuk diperbaiki. Keberadaan orang-orang terdekat atau hakim yang membantu menyatukan juga tidak lagi mampu mecapai al-ishlah (perdamaian) antara keduanya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Mengapa Menikah dengan Non-Muslim itu Dilarang?

Kedua, sunnah. Hukum talak yang ini berlaku jika seseorang tidak mampu untuk memenuhi hak-hak istrinya atau karena istrinya tidak memiki sifat ‘afifah yakni menjaga kehormatan diri.

Ketiga, talak atau cerai bisa menjadi haram jika talaknya adalah talak bid’iy. Maksudnya adalah talak yang tidak sesuai petunjuk al-Qur’an dan sunah yaitu dijatuhkan saat istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah digauli. Kebalikan dari talak ini adalah talak sunni.

Keempat, berhukum makruh yaitu saat kondisi rumah tangganya terbebas dari hal-hal di atas atau yang serupa. Maka, di sinilah berlaku sabda Nabi Muhammad saw:

(اَبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ (رواه ابو داود وابن ماجه

Artinya: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!

Kendati al-Baihaqi menghukumi dhaif, namun hadis ini bisa dijadikan pengingat bagi orang yang berumah tangga untuk tidak  menganggap remeh talak sehingga bisa diucapkan kapan saja, terlebih bagi laki-laki, ia tidak boleh sembarangan mengucapkan kata talak. Rasulullah bersabda,

(ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ (رواه ابو داود

Artinya: “Tiga hal yang seriusnya dianggap serius, dan berguraunya dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Abu Daud)

Seperti diketahui, tujuan pernikahan sangat mulia, tidak hanya penting secara sosial karena bertujuan mempertahankan eksistensi jenisnya, namun secara personal pernikahan juga bisa menjaga diri dari hal-hal yang merusak kehormatan. Maka dari ini, ada benarnya ungkapan madzhab Hanafi dan Hanbali di atas, bahwa talak tanpa alasan-alasan yang diperbolehkan syariat berarti mengingkari kenikmatan pernikahan yang telah dianugerahkan Allah swt.

Wallahu A’lam

Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran

0
Nabi Nuh As
Nabi Nuh As credit: magltk.com

Nabi Nuh As adalah nabi ketiga yang wajib dipercayai oleh umat Islam setelah nabi Adam dan Idris. Secara silsilah beliau merupakan keturunan kesembilan dari nabi Adam melalui jalur nabi Syits. Menurut Ibnu Jarir, silsilah lengkapnya adalah Nuh bin Lamik bin Mutawasysyilakh bin Khanukh (nabi Idris) bin Yazid bin Malayil bin Qanin bin Anusy bin Syits (Qashash al-Anbiya [1]: 115).

Nama nabi Nuh berasal dari bahasa Syria yang berarti bersyukur. Hal ini senada dengan gelar abdussyakur yang Allah berikan padanya. Artinya nabi Nuh adalah seorang hamba yang pandai bersyukur sebagaimana tertuang dalam QS. al-Isra’: 3, (Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh. Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.”

Dalam sejarah agama-agama samawi, nabi Nuh as terkenal dengan kisah pembuatan bahtera dan banjir besar yang terjadi pada zamannya. Dalam pandangan umat Islam, hal tersebut merupakan azab yang Allah Swt berikan kepada kaum Nuh akibat pembangkangan yang mereka lakukan. Mereka tidak hanya menolak dakwah nabi Nuh, tetapi juga mengolok-olok bahkan sampai menyakiti beliau.

Baca Juga: Tafsir Surat As-Shaffat Ayat 78-81: Terima Kasih Allah kepada Nabi Nuh

Kisah-kisah di atas dapat ditemukan pada beberapa tempat dalam Al-Qur’an al-Karim, yaitu surah al-A’raf, surah Yunus, surah Hud, surah al-Anbiya’, surah al-Mukminun, surah asy-Syu’ara, surah al-Ankabut, surah ash-Shaffat, dan surah al-Qamar. Bahkan Allah menurunkan satu surah penuh berkaitan dengan kisah nabi Nuh, yakni surah Nuh (Kisah Para Nabi dan Rasul: 97).

Dakwah Nabi Nuh dan Azab Allah Terhadap Kaumnya

Nabi Nuh diutus oleh Allah Swt untuk menyeru ajaran tauhid kepada bani Rasim yang menyembah berhala berupa patung-patung (kawasan sekitar sungai Eufrat dan Tigris). Pada masa pengutusan nabi Nuh ini, terdapat seorang raja yang zalim bernama Darmasyil. Dikatakan bahwa ia adalah manusia pertama yang membuat dan meminum arak. Ia juga merupakan manusia pertama yang melakukan judi dan membuat pakaian berhias emas.

Darmasyil dan rakyatnya adalah para penyembah berhala. Diceritakan bahwa pada saat itu terdapat 5 berhala utama, yakni Wadd, Suwa’, Yaghus, Ya’qut dan Nashr. Menurut Ibnu Jarir, berhala-berhala ini pada mulanya ada patung penghormatan terhadap lima orang saleh keturunan nabi Adam. Namun seiring waktu dan adanya distorsi agama serta rayuan Iblis, generasi selanjutnya menganggap patung tersebut sebagai Tuhan dan menyembah mereka hingga sampai pada masa nabi Nuh as.

Ketika nabi Nuh diutus kepada mereka, beliau menyeru agar manusia mengesakan peribadatan hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, terutama dengan patung-patung, berhala dan thagut yang mereka sembah pada waktu itu. Menurut Ibnu Katsir, pengutusan Nuh ini adalah rahmat bagi manusia dan dikatakan bahwa beliau adalah Rasul pertama yang diutus kepada penghuni bumi (Kisah Para Nabi dan Rasul: 98).

Nabi Nuh kemudian berdakwah kepada kaumnya kurang lebih selama 950 tahun. Ia menyeru mereka kepada Allah siang dan malam dengan berbagai macam bentuk dakwah, baik secara sembunyi maupun terang-terangan, terkadang dalam bentuk ajakan (targhib) dan terkadang dalam bentuk ancaman (tarhib). Namun semua usahanya tersebut tidak berhasil membawa keimanan bagi mereka.

Mayoritas bani Rasim tetap berada dalam kekufuran. Mereka tidak mau menerima ajakan nabi Nuh dan merendahkan orang-orang yang telah mengikutinya serta mengancam akan mengusir dan merajam mereka. Bahkan bani Rasim menuduh nabi Nuh sebagai orang yang sesat, Pemuka-pemuka kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” Dia (Nuh) menjawab, “Wahai kaumku! Aku tidak sesat; tetapi aku ini seorang Rasul dari Tuhan seluruh alam (QS. al-A’raf [7]: 61-60).

Meskipun dakwahnya senantiasa ditolak dan ditentang, nabi Nuh tidak pernah putus asa dan selalu mengajak mereka kepada Allah Swt. Saking kuatnya penolakan bani Rasim terhadap dakwah nabi Nuh, diceritakan bahwa setiap ayah akan memberi wasiat kepada anaknya agar tidak mengikuti ajaran nabi Nuh selama-lamanya. Akhirnya, timbul kebencian turun-temurun kepada nabi Nuh. Oleh karenanya Allah menyebutkan, “…dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS. Nuh [71]: 27)

Puncak keingkaran bani Rasim adalah ketika mereka menantang Allah Swt, Mereka berkata, “Wahai Nuh! Sungguh, engkau telah berbantah dengan kami, dan engkau telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang engkau ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.” Dia (Nuh) menjawab, “Hanya Allah yang akan mendatangkan azab kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu tidak akan dapat melepaskan diri. (QS. Hud [11]: 32-33)

Kemudian Allah mewahyukan kepada nabi Nuh bahwa “…Ketahuilah tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat. Allah juga memerintahkan nabi Nuh untuk membuat kapal, “Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Hud [11]: 36-37)

Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Mulailah nabi Nuh membuat bahtera di bawah bimbingan Allah. Pada saat yang bersamaan, bani Rasim mengejeknya sebagai orang gila, karena tidak mungkin akan terjadi banjir sedangkan saat itu sedang musim panas yang kering. Menurut mereka janji Allah hanyalah ancaman palsu belaka. Nabi Nuh menjawab, “…Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). (QS. Hud [11]: 38)

Pada hari yang dijanjikan, nabi Nuh mengajak seluruh manusia memasuki kapal dan membawa hewan-hewan secara berpasang-pasangan agar tidak punah.  Namun, hanya pengikut setia berjumlah 80 orang yang mau mengikuti seruan beliau.  Lalu datanglah hujan yang sangat deras dan terjadi air bah yang begitu dahsyat. Dalam sekejap seluruh bani Rasim tenggelam termasuk anak dan istri nabi Nuh yang membangkang. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

0
kunci kemenangan
kunci kemenangan (pinterest)

Dalam sejarah peradaban umat manusia, sering kita temukan peristiwa peperangan. Hal ini memang sulit dipungkiri karena watak manusia yang berjiwa kompetitif dan hasrat untuk berkuasa. Padahal jika kita cermati, Kemenangan terbesar Islam justru terjadi tanpa peperangan, malainkan perdamaian. Ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah sebuah kunci kemenangan.

Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Tafsir Surat Al-Fath ayat 1-3

Kemenangan terbesar yang diraih umat Islam ini diabadikan dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3, yakni:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

وَيَنْصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat”

Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkamil Quran, mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang makna al-fath. Setidaknya ada 3 interpretasi terhadap kata al-fath. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud al-fath ialah peristiwa bai’atur ridwan. Yang kedua berpendapat bahwa yang al-fath ialah peristiwa fathu makkah, sedang yang ketiga ialah saat diadakannya perjanjian Hudaibiyyah.

Adapun as-Suyuthi dalam Durul Mantsur juga menukil beberapa riwayat yang menjelaskan arti al-fath pada ayat pertama tersebut. Namun selain ia mengutip pendapat yang sama dengan al-Qurthubi, as-Suyuthi juga mencantumkan riwayat dari Ibnu Mundzir bahwa yang dimaksud pada ayat pertama ialah peristiwa penaklukan Khaibar.

Baca juga: Perintah untuk Berdamai dalam Perspektif Al Quran

Sebab penurunan ayat

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quranul ‘Adzim, menyatakan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini ialah sewaktu Rasulullah SAW kembali dari Hudaibiyyah pada tahun ke-6 H. Sebelumnya Rasullulah SAW hendak menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh bersama para pengikutnya. Namun kaum kafir Quraisy mengira perjalanan tersebut dalam rangka penyerangan kota Makkah.

Karena itu, Kaum Quraisy mengadakan perjanjian dengan Rasulullah SAW yang kemudian dikenal dengan perjanjian Hudaibiyyah.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Perjanjian Hudaibiyyah

Perjanjian ini merupakan suatu kesepakatan yang melahirkan dampak sangat besar bagi umat Islam. Meskipun isi perjanjiannya tidak menguntungkan bagi para sahabat pada waktu itu. Dalam Tarikh Daulatul Arabiyyah, Abdul Aziz Salim menyebutkan, selain perjanjian untuk mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun, salah satu perjanjian yang dianggap merugikan umat Islam ialah;

“Siapa saja yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya maka harus dikembalikan. Dan siapa saja yang datang kepada pihak Quraisy dari golongan Muhammad maka tidak dikembalikan”

Perjanjian ini sangat menyakiti perasaan para sahabat hingga sahabat Umar ra sempat memprotes secara halus tentang isi perjanjian ini. namun Rasulullah SAW tetap mengikuti perjanjian tersebut dan memerintahkan kepada seluruh rombongannya untuk kembali ke Madinah. Ia juga menginstruksikan untuk menunda ibadah umrah.

Hingga di tengah perjalanan kembali ke madinah, turunlah surah al-fath ayat 1 sampai 3. Wahyu ini menjadi kabar paling menggembirakan yang diterima Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kabar tersebut menjadi pelipur lara dari gagalnya ibadah umrah dan perjanjian Hudaibiyyah yang pada saat itu merugikan sahabat. Tidak lama setelah peristiwa itu (sekitar dua tahun), umat Islam berhasil menduduki kota Makkah atau yang kita ketahui sebagai peristiwa Fathu Makkah.

Baca juga: Konsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi

Dari peristiwa tersebut sebenarnya sudah bisa kita lihat bahwa mangangkat senjata dan menumpahkan darah tidak bisa serta merta dilekatkan pada sejarah peradaban Islam. Justru harusnya, kita semakin memahami bahwa kemenagan terbesar bukan diraih melalui peperangan. Melainkan dengan perdamaian sehingga tidak ada yang perlu ditumpahkan darahnya. Wallahu a’lam []

Siapa yang Disebut Ulama? Simak Penafsiran Surat Fathir Ayat 28

0
siapa yang disebut ulama
siapa yang disebut ulama

‘Ulama’, istilah yang lagi naik daun akhir-akhir ini. Pelabelan ulama juga banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, hingga muncul banyak sekali ulama. Lantas, siapa yang disebut ulama, siapa yang seharusnya menyandang status mulia tersebut? Apakah mereka yang telah terdaftar dalam list kepengurusan Majelis Ulama Indonesia? Ataukah mereka yang banyak mengisi ceramah-ceramah, berdalil dengan ayat Alquran dan hadis baik di dunia nyata maupun virual? Ataukah mereka yang berpakaian jubah dan bersorban?

Alquran di surat Fathir ayat 28 mengatakan bahwa orang-orang yang takut kepada Allah, itulah ulama.

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.

Kriteria ulama menurut beberapa mufasir

Pada ayat di atas sekilas sudah disinggung tentang ulama, yaitu hamba Allah yang takut kepadaNya. Kemudian, bagaimana beberapa mufasir menjelaskan definisi ulama yang sangat singkat ini, sehingga diketahui siapa yang disebut ulama?

Baca Juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri

Ibnu Abbas mendefinisikan ulama adalah orang yang mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah, karena semakin seseorang mengenal Allah, maka semakin bertambah pula takutnya (khosyyah) Hal ini menjadi dasar bahwa ahli ilmu (ulama) lebih baik daripada ahli ibadah (‘abid). Rasululullah Bersabda: seandainya kalian semua mengetahui apa yang Aku ketahui (tentang Tuhan) maka sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (Ibnu A’dil, Al-Lubab fi Ulum al-Kitab)

Ulama memiliki jiwa yang kuat namun sangat lembut terhadap sesama, karena seorang ulama itu memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dengan membantu manusia menuju Allah. Setiap umat yang dibimbingnya selalu ditunjukkan jalan-jalan yang diridlai oleh Allah. (As-Sulami, Haqaiq al-Tafsir)

Pada ayat 28 surat Fathir Allah menggunakan kata Khashyah sebagai term yang dikhususkan bagi ulama.  Kata khasyyah berbeda dengan kata khawf. Term khashyah juga berbeda dengan term rahaba. Khasyyah menghasilkan seseorang untuk tetap bersama yang ia takuti, disini ulama ketika khasyyah kepada Allah, maka ulama tersebut selalu ingin mengingat dan hanya bersama Allah. Sedangkan kata rahaba, memiliki makna bahwa orang tersebut akan lari dari apa yang ditakutinya.

Perbedaan khawf  dan khasyyah juga dapat kita lihat di Ali Imran ayat 175. Pada ayat ini khawf menghendaki keimanan, sementara term khasyah menghendaki pengetahuan (al-ilm). (Al-Qushairi, Lathaif al-Isyarat)

Selain itu, Ibnu Arabi menggambarkan dalam tafsirnya bagaimana khasyahnya para ulama terhadap Allah, khasyyah bukanlah khawf yang takut akan siksaan di dunia dan di Akhirat nanti. Khasyyah adalah sebuah bentuk khusyu’ di dalam hati ketika menggambarkan sifat-sifat agung Allah. Hati tersebut benar-benar hadir ketika tadabbur, sehingga hati tersebut mengetahui secara jelas bagaimana kegaungan Allah yang tiada batas. Pengetahuan inilah yang dihasilkan dari khasyah. (Ibnu Arabi, Tafsir al-Quran).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa siapapun orang yang menekuni ilmu apapun yang dapat mengantarkan pada khasyyah dialah Ulama. Allah tidak membatasi ilmunya, seluruh ilmu yang dapat memberikan manfaat kepada umat dan mendekatkan diri kepada Allah adalah ilmu Allah. Jelas disini bahwa ilmu yang dimaksud bukan hanya ilmu agama, ilmu geografi, kedokteran, pertanian, matematika dan yang lain juga ilmu Allah. Dengan demikian kemasalahatan umatlah yang menjadi acuan.

Baca Juga: Sertifikasi Dai Perlu Dilakukan Atau Tidak? Simak Penafsiran QS. Hud Ayat 93

M. Quraish Shihab dalam Membumikan Alquran juga mencoba memberikan kriteria siapa yang disebut ulama. Seorang ulama memiliki beberapa tugas yang diemban. Pertama, seorang ulama harus menyampaikan ajaran-ajaran Allah sesuai dengan syariat (Al-Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas). Kedua, menjelaskan kepada manusia tentang ajaran-ajaran agama berdasarkan keempat sumber tadi. Ketiga, memutuskan problema masyarakat berdasarkan syariat. Terakhir, memberikan teladan berupa pengamalan yang telah dicontohkan oleh Nabi, karena ulama disebut dengan Waratsatul Anbiya’

Pada fase ini, kita juga mengalami krisis ulama, dalam arti para ulama yang memiliki bekal literasi dan wawasan yang luas juga dekat dengan masyarakat, sehingga permasalahan yang ada dapat diputuskan dengan tepat dan seimbang. Ulama itu tidak cukup berpaku pada satu literasi, ditambah satu madzhab dan satu manhaj pula, ia harus menguasai berbagai metode pendekatan penyelesaian masalah untuk menjadi pondasi baginya menemukan solusi-solusi baru yang maslahah bagi masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, siapa yang disebut ulama? Gus Mus, sapaan KH. Mustafa Bisri pernah menyampaikan bahwa ada lima macam ulama versi orang Indonesia. Pertama, ulama produk masyarakat, karena laku dan ilmunya. Kedua, ulama produk pers, karena pers menyebutnya ulama dan yang lainnya ikut-ikutan. Ketiga, ulama produk pemerintah, karena aktif di Majelis Ulama Indonesia. Keempat, ulama produk politisi. Kelima, ulama produk sendiri, menggunakan atribut ulama seperti peci putih, jubah dan sorban, hafal 3-4 ayat Alquran dan hadis pendek yang sangat populer, ditambah dengan sedikit kemampuan akting. 

Ulama anda ada di kriteria yang mana?  

Fashabrun Jamil, Kisah Kebijaksanaan Sang Ayah Saat Ditipu Anak-Anaknya

0
fashabrun jamil
fashabrun jamil

Kadang beberapa muslim yang sedang terkena musibah dan hendak mengungkapkan keinginan hatinya untuk bersabar, mendorong ـmembuat status di medsos berupa kata fashabrun jamil, yang kurang lebih maknanya adalah kesabaran yang indah. Kata tersebut seakan menggambarkan bahwa si pengucap atau si pembuat status sedang menginginkan tidak sekadar sikap sabar, dalam menghadapi musibah yang mengenainya. Namun, kesabaran yang mendorong dirinya untuk dapat terus tersenyum atau bersikap elegan.

Pemakaian kata fashabrun jamil seperti di atas agak melenceng dari kisah yang melatari kemunculan lafal tersebut di dalam Al Quran. Lebih tepatnya dalam Surat Yusuf ayat 18. Yang sebenarnya terjadi adalah lafal tersebut muncul dari seorang ayah yang sedang mengalami ujian amat berat, yakni kehilangan orang yang paling disayangi, sekaligus dikibuli secara beramai-ramai oleh anak-anaknya.

Kehilangan Orang Yang Paling Disayangi

Lafad fa shabrun jamil berkaitan dengan kisah prilaku buruk kesepuluh anak Nabi Ya’qub, yang mencelakai saudara tiri mereka sekaligus orang yang paling disayang Nabi Ya’qub, yakni Nabi Yusuf. Didorong rasa iri atas karunia Allah kepada Nabi Yusuf, kesepuluh anak Nabi Ya’qub merayu sang ayah agar memberikan izin membawa Nabi Yusuf untuk diajak mengembala bersama. Mereka berjanji akan menjaga Nabi Yusuf, sekaligus memberi kesempatan dirinya yang saat itu masih kecil, untuk bermain.

Nabi Ya’qub dengan berat hati memberikan izin. Kekhawatirannya kemudian terbukti. Kesepuluh anaknya menyingkirkan Nabi Yusuf dari hadapannya. Sepulang dari mengembala, mereka menangis sembari mengaku bila Nabi Yusuf diterkam serigala. Untuk menguatkan cerita bohong mereka, mereka menyodorkan baju Nabi Yusuf yang berlumuran darah. Padahal Nabi Yusuf dengan sengaja mereka jatuhkan ke sebuah sumur.

Baca juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Sayangnya mereka menyodorkan bukti yang janggal kepada Nabi Ya’qub. Mereka menyodorkan baju berlumuran darah, tapi tidak ada bekas terkoyak padanya. Sebuah keanehan mengingat mereka berkata bahwa Nabi Yusuf diterkam serigala. Nabi Ya’qub pun mengetahui bahwa ia sedang dikibuli secara beramai-ramai oleh kesepuluh anak-anaknya sendiri.

Kisah bagaimana Nabi Ya’qub dikibuli anak-anaknya dan bagaimana sikap Nabi Ya’qub kemudian, disinggung oleh Allah dalam Surat Yusuf ayat 16-18:

وَجَاءُوا أَبَاهُمْ عِشَاءً يَبْكُونَ () قَالُوا يَا أَبَانَا إِنَّا ذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوسُفَ عِنْدَ مَتَاعِنَا فَأَكَلَهُ الذِّئْبُ وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ () وَجَاءُوا عَلَى قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ

Kemudian mereka (ke-10 saudara Nabi Yusuf) datang kepada ayah mereka (Nabi Ya’qub) di sore hari sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami. Lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya diri kalian berbuat sesuatu yang membuat diri kalian nyaman; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS: Yusuf [12] 16-18)

Makna Fashabrun Jamil

Nabi Ya’qub berkata, Fashabrun Jamil untuk menunjukkan sikapnya tatkala tahu ia kehilangan Nabi Yusuf dan dikibuli anak-anaknya. Ia memilih tidak meluapkan amarah serta tidak mengorek terlalu dalam keterangan kesepuluh anaknya. Bisa jadi, Nabi Ya’qub tidak melakukan hal itu sebab keadaan tidak mengizinkan melakukan hal itu. Hal ini membuat beliau memilih bersabar saja, daripada menambah panjang permasalahan.

Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis dalam Al Quran

Ibn Katsir dalam tafsirnya mengutip hadis mursal saat Nabi Muhammad saw ditanya mengenai makna fashabrun jamil. Diriwayatkan dari Habban ibn Abi Jabalah bahwa Nabi menjawab:

صَبْرٌ لَا شَكْوَى فِيْهِ

Sabar yang tidak ada mengeluh padanya (Tafsir Ibn Katsir/4/375)

Ibnu Katsir kemudian mengutip keterangan Imam Al-Bukhari, yang mengaitkan lafal tersebut dengan kejadian hadisul ifki atau kabar bohong tentang perselingkuhan Sayyidah ‘Aisyah. Dimana Sayyidah ‘Aisyah merasa kesulitan menepis isu tersebut dan memilih bersabar sebagaimana sabarnya Nabi Ya’qub. Sayyidah ‘Aisyah kemudian mengutip ayat tersebut, sebagai gambaran begitu beratnya permasalahan tersebut di benak beliau (Sahih Bukhari/2/942). Siapakah yang tak teramat marah dan malu, bila ia berposisi istri orang yang paling terkenal dan dikabarkan selingkuh?

Imam Ar-Razi menyatakan, redaksi fashabrun jamil (sabar yang indah atau baik) menunjukkan bahwa adapula sabar yang tak baik. Sabar yang baik adalah sabar disertai kesadaran, bahwa Allah lah yang menurunkan ujian itu. Dan Allah bebas melakukan apa saja pada apa yang dimiliki-Nya. Kesadaran itulah yang membuat si pelaku merasa malu, bila memperlihatkan sikap tidak terima atau mengeluh pada Allah. (Tafsir Mafatihul Ghaib/9/11)

Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

0
Mushaf tertua Nusantara
Mushaf tertua Nusantara

Potret Mushaf tertua Nusantara di Rotterdam, setelah Potongan sejarah tentang mushaf Al-Quran tertua Nusantara yang kini tersimpan di Perpustakaan Rotterdam telah usai dipaparkan di edisi sebelumnya. Kali ini, fokus pada pembahasan potret fisik dan karakteristik mushaf tersebut. (untuk sebelumnya bisa klik di sini)

Salah satu yang menarik dari mushaf Al-Qur’an dengan kode MS 96 D 16 ini adalah rasm-nya. Gaya penulisan mushaf ini nyatanya tidak keseluruhan menggunakan rasm usmani. Bisa dikatakan cenderung menggunakan rasm imla’i, sebuah gaya penulisan yang menitikberatkan pada kaidah bahasa Arab.

Seperti yang mafhum diketahui bahwa gaya penulisan mushaf telah dianggap paripurna pada masa Usman bin Affan. Gaya penulisan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah rasm usmani.

Kembali pada rasm yang digunakan dalam mushaf tertua Nusantara tadi. Pengunaan rasm imla’i semakin memperkuat hasil penelitian Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, bahwa pola penulisan Al-Qur’an Indonesia sebelum adanya Mushaf Al-Quran Standar Indonesia cenderung menggunakan rasm imla’i. Bahkan pada abad ke-17 dan 18 rasm imla’i lah yang paling mendominasi khazanah mushaf Nusantara.


Baca juga: Hizb Mushaf Al-Qur’an, Apakah Sama dengan Hizb Wirid? Begini Penjelasannya!


Untuk mengetahui penggunaan rasm imla’i, mari kita cermati surat Al-Fatihah dalam MS 96 D 16 berikut ini:

Dari gambar di atas, kita cermati pada kata العالمين  dan مالك. Penulisan dua kata ini menggunakan kaidah imla’ bahasa Arab yang ditandai dengan penulisan alif, karena dibaca panjang.  Adapun penulisan rasm usmani untuk dua kata ini adalah  العلمين  dan ملك tanpa adanya alif, meski biasanya ada fathah berdiri. Hal ini dalam ilmu rasm Qur’an masuk dalam kategori kaidah Al-Hadzf (pembuangan) dari enam kaidah total menurut Imam Al-Suyuthi (w. 911 H).

Ulama penulis kitab Al-Itqan ini merumuskan 6 kaidah pokok rasm usmani. Pertama membuang huruf (al-hadzf), kedua menambah huruf (az-ziyadah), ketiga penulisan hamzah (al-hamzu), keempat penggantian huruf (al-badal), kelima menyambung dan memisah tulisan (al-fasl wal wasl), dan terakhir kalimat yang bacaanya lebih dari satu (ma fihi qira’atani wa kutiba ala ihdahuma). Terkait enam kaidah ini kita akan uraikan di artikel lain agar bisa lebih terperinci.

Sayangnya, tidak mudah untuk mengakses manuskrip yang sekarang masih di Belanda ini. Sehingga tidak ditampilkan contoh lain seperti penulisan kata  الصلوة  yang dalam imla’ bahasa Arabnya tertulis dengan  الصلاة . Contoh ini juga menjadi sampel standar dalam menentukan suatu mushaf apakah menggunakan rasm usmani atau tidak.

Sesuatu yang perlu dipahami terkait penggunaan rasm imla’i adalah konteks penggunaan dan bagaimana hukum penulisannya. Tentu saat ini mushaf-mushaf yang lolos pentashihan merupakan mushaf yang menggunakan rasm usmani.

Berbeda dengan era penyalinan manuskrip. Saat itu mushaf ditulis dengan rasm imla’i karena bersinggungan erat dengan pengajaran baca tulis Al-Qur’an. Tak dapat dipungkiri memang, pembacaan ayat Al-Qur’an dengan rasm imla’i lebih memudahkan pembacanya. Karena alasan pendidikan inilah sebagian ulama memperbolehkannya.


Baca juga: Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia


3 Pendapat Penulisan Rasm Al Quran

Sesungguhnya ada tiga pendapat terkait penulisan rasm Al-Quran. Pendapat pertama menyebut bahwa rasm usmani adalah tauqifi (aturan dari awal mula), pendapat yang dipelopori oleh Malik bin Annas (w.795 H) ini membuat wajibnya penulisan Al-Qur’an dengan rasm usmani.

Pendapat kedua menyebut bahwa rasm usmani bukan tauqifi, melainkan produk ijtihadi dari para sahabat Nabi di masa Usman. Sehingga pola penulisan bebas dengan gaya apapun yang terpenting adalah memudahkan pembaca. Adapun pendapat ini dikemukakan oleh al-Baqillani (w.403 H) dan Ibnu Khaldun (w.808 H).

Pendapat terakhir merujuk pada al-Izz ibnu ‘Abd as-Salam (w. 661 H) dan Az-Zarkasy (w.794 H) yang mengatakan, bagi orang awam boleh disesuaikan dengan rasm imla’i (pola konvensional). Sedangkan orang tertentu, tetap harus dengan rasm usmani. Namun secara garis besar, penulisan rasm usmani merupakan upaya untuk melestarikan khazanah Al-Qur’an dan memberikan kehati-hatian yang lebih dari suatu perbedaan.

Sementara itu, potret fisik mushaf tertua Nusantara ini menyimpan kekhasan tersendiri. Tebal manuskrip tercatat 4,8 cm dan berjumlah 485 halaman dengan terdiri dari 4 bagian. Peter G. Riddel menyebut kertas yang digunakan 3 bagian pertama terdapat garis tebal (chain lines), ini menunjukkan karakteristik kertas Eropa. Sementara bagian terakhir tidak ada garis tebalnya (chain lines).

Mushaf ini ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah. Tinta hitam untuk huruf dan harakat. Sedangkan tinta merah digunakan untuk tanda baca, simbol dan nama surahnya. Mushaf goresan tangan Abd Idris Faqran ini juga rapi dan menampilkan khat naskhi dengan sentuhan kufi, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.


Baca juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya


Perihal kesalahan kata, sang penulis menyertakan versi kata yang benar. Penulis juga menuliskan kata atau ayat yang kelewatan di pinggir halaman. Uniknya, mushaf yang diteliti oleh Riddel ini acap kali diperlakukan dengan cara sederhana untuk menghapus tulisan. Keunikan ini seperti adanya bekas gosokan tangan pada tulisan yang dirasa salah.

Di balik karakteristik mushaf tertua seperti penggunaan rasm imla’i dan berbagai keunikan fisik lainnya. Mushaf ini merupakan bukti autentik khazanah keagamaan dengan sejarah yang syarat akan makna. Wallahu a’lam bi al-shawab