Beranda blog Halaman 518

Mufasir Nusantara: Oemar Bakry asal Danau Singkarak

0
tafsir rahmat oemar bakry
tafsir rahmat oemar bakry

Nama Oemar Bakry mungkin terasa asing bagi telinga pembaca saat ini. Bahkan mungkin kita hanya mendengar nama Oemar Bakry lewat bait lagu yang dinyanyikan oleh salah seorang musisi tanah air yakni Iwan Fals. Padahal pada tahun 1978 nama Oemar Bakry begitu terkenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama oleh kaum akademisi dan cerdik-cendikia. Hal ini terkait dengan keberanianya mengkritisi buku Al Quran Bacaan Mulia karya H.B. Yassin paus sastra nusantara.

Oemar Bakry merupakan salah seorang yang memiliki ketertarikan dan kepedulian yang mendalam dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Bahkan Menurut Howard M. Federsfiel, Oemar Bakry termasuk salah satu ilmuan independen, penulis yang produktif serta aktif berdakwah dalam menegakan dan menyebarkan agama Islam. Selain itu Bakry juga merupakan pengusaha yang sukses di bidang percetakan.

Baca juga: Moh. E. Hasim, Tokoh Mufasir Sunda Aktifis Muhammadiyah

H. Oemar Bakry lahir di Desa Kacang di pinggir Danau Singkarak Sumatera Barat pada tanggal 26 juni 1916. Pendidikan awal yang beliau tempuh di Sekolah Desa di kacang. Setelah tamat disana dan Sekolah Sambungan di Singkarak, beliau meneruskan pelajaran pada Sekolah Thawalib dan Diniyah Putra Padang Panjang. Tamat diniyah tahun 1931 dan Thawalib 1932.

Kemudian melanjutkan pelajaran pada Kulliyatul Mu’allimin Islamiyah Padang. Tamat tahun 1936 dengan angka terbaik. Tahun 1954 masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tidak sampai tamat. Umar bakry adalah salah satu staf pengajar pada sekolah thawalib padang panjang tahun 1933 sampai 1936. dan menjadi direktur sekolah guru Muhammadiyah di padang Sidempuan 1937. Ia juga guru thawalib padang panjang 1938, direktur The Public Typewriting School yang didirikan 21 Januari 1938 di padang panjang. Kemudian namanya diganti dengan Taman kemajuan dan masih berdiri sampai sekarang.

Selain guru, beliau juga merupakan seorang aktifis dakwah yang sangat kritis, ini terbukti ketika beliau mengomentari karya H.B.Yasin Al Quranul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1978. Namun berkat sikap kritis beliau tersebut, ia sering diundang untuk mengisi ceramah di berbagai universitas di Indonesia seperti, IAIN Sunan Ampel surabaya 11 Februari 1984, di IAIN Imam Bonjol Padang pada 26 maret 1984 dan di Universitas Bung Hatta pada 28 Maret 1984. Bahkan geliat dakwahnya juga sampai ke internasional yakni dengan diundangnya beliau untuk memberikan ceramah di Universitas Al Azhar kairo pada tanggal 22 Desember 1983.

Baca juga: Brigjen Bakri Syahid : Mufasir Quran Bahasa Jawa

Selain sebagai seorang pengajar atau guru dan juga dai, dibidang politik beliau adalah anggota Partai Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) pada tahun 1930-an, anggota MASYUMI dan pernah menjadi pimpinan MASYUMI sumatera tengah. Selain itu, beliau juga seorang pengusaha percetakan dan pernah menjadi ketua IKAPI (Ikatan Percetakan Indonesia) Jakarta Raya beberapa periode, ketua Yayasan al-Falah, Yayasan Pemeliharaan Kesucian al-Qur’an al-karim, dan yayasan Thawalib Jakarta. Pimpinan penerbit angkasa di Jakarta dan Mutiara di Bandung.

Salah satu karya tafsir nusantara yang berbahasa Indonesia adalah kitab Tafsir Rahmat karangan H.Oemar Bakriy. Tafsir Rahmat merupakan tafsir Alquran pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lebih lengkap terbit dalam satu jilid (tahun 1981). Tafsir ini terbit pada abad modern (zaman ilmu pengetahuan dan teknologi).

Karya-karya beliau yang lain di antaranya, yaitu:

  1. Tafsir Rahmat
  2. Kamus Arab-Indonesia
  3. Kamus Indonesia-Arab
  4. Kamus Arab-Indonesia-Inggris/Indonesia-Arab-Inggris
  5. Tafsir Madrashi (bahasa Arab)
  6. Uraian 50 hadis
  7. Memantapkan rukun Iman dan Islam
  8. Makarimul Akhlak (Arab)
  9. Al-Ahadis As-Sohihah(Arab)
  10. Apakah ada nasikh dan Mansukh dalam al-Qur’an.
  11. Akhlak Muslim
  12. Islam Mengangkat Derajat Wanita
  13. Tafsir Hidayah
  14. Al-Qur’an Mukjizat yang terbesar kekal dan abadi.
  15. Keharusan memahami isi al-Qur’an
  16. Pelajaran Sembahyang
  17. Kebangkitan umat Islam di abad ke-15 Hijriyah
  18. Polemik Haji Umar bakry dengan H.B.Yasin tentang al-Qur’an bacaan mulia.
  19. Islam menentang sekulerisme
  20. Bung Hatta selamat cita-citamu kami teruskan

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan

0
Islah
Islah credit: hmak.org

Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan menyerukan pada penganutnya untuk senantiasa mentranformasikan Islah (perdamaian) dalam kehidupan. Islam tidak sekalipun menginginkan penganutnya menjadi sumber perselisihan dan hilangnya kerukunan. Islam bahkan memerintahkan kepada penganutnya agar senantiasa mengedepankan islah sebagai solusi utama jika mendapati perselisihan.

Hal ini sebagaimana ditemukan dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 9:

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Penafsiran Ayat

Di awal penafsiran ayat ini, Ibn Asyur dalam tafsirnya Al-Tahrir wa al-Tanwir mengutip Q.S al-Hujurat:6 (اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ) dan menjelaskan bahwa terjadinya perselisihan antara dua kelompok umat muslim—dalam konteks Indonesia dapat berupa perselisihan antar dua kelompok yang berbeda afiliasi dalam hal ideologi ataupun organisasi masyarakat (ormas)—disebabkan oleh jahalah. Jahalah ini dapat berupa berita bohong (hoax), berita yang sifatnya mengadu domba dan merendahkan satu kelompok dengan kelompok lainnya (hate speech) maupun informasi yang berupa pencucian otak dengan ideologi tertentu.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya perselisihan antar kelompok tentunya lebih besar daripada perselisihan yang terjadi antar individu. Oleh sebab itu terkadang upaya tabyin atau tabayyun (meluruskan disinformasi) sebagai usaha preventif untuk mencegah terjadinya perselisihan itu tidak berhasil. Akhirnya usaha tabyin baru disadari pentingnya saat api fitnah sudah berkobar dan penyesalan tidak lagi berguna.

Dalam menjelaskan asbab al-nuzul ayat ini, Ibn Asyur mengutip beberapa riwayat yang sebagian besar menceritakan tentang kisah perselisihan yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj saat hari-hari pertama Nabi Muhammad berada di Madinah. Sosok Nabi datang sebagai pihak yang mendamaikan dan mengedepankan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Setelah itu Ibn Asyur memberikan komentarnya secara umum mengenai riwayat yang dikutipnya dengan mengatakan bahwa dalam ayat ini berlaku status hukman ‘aman nazala fi sabab al-khas.

Maksudnya meskipun peristiwa yang mengiringi ayat ini sifatnya sebuah kisah yang spesifik akan tetapi kandungan hukum (ibrah) dalam ayat ini tidaklah berlaku hanya pada saat peristiwa itu terjadi saja, namun sifatnya umum. Jadi sikap islah Nabi Muhammad dalam menginisiasi rekonsiliasi konflik yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj haruslah diaktualisasikan dalam setiap konflik lainnya yang terjadi.

Baca Juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Penjelasan kebahasaan menjadi salah satu ciri khas dari penafsiran Ibn Asyur. Pada ayat ini, ia mengurai harfu syarth  (اِنْ) dengan fi’il (اقْتَتَلُوْا). Ia menjelaskan bahwa masuknya harf syarth memberikan makna bahwa kejadian yang direkam al-Quran dengan shigot madhi memiliki potensi akan terjadi di masa-masa selanjutnya. Maka dapat dimaknai bahwa perselisihan ataupun konflik akan senantiasa menghantui kehidupan manusia, maka perintah islah tidaklah hanya diaktualisasikan saat konflik terjadi, melainkan harus sudah dilanggengkan dalam kehidupan agar konflik tidak sampai terjadi.

Pada pembahasan penggalan ayat selanjutnya (فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى) Ibn asyur menjelaskan bahwa apabila ada kelompok yang memulai kembali perselisihan atau konflik setelah terlaksananya rekonsiliasi, maka kelompok itu (al-thaifah al-baghiyah) haruslah diperangi (diluruskan kembali). Dalam pembahasan ini hal yang menarik adalah mengenai penjelasan Ibn Asyur terhadap kata al-baghy. Ibn Asyur memaknai kata al-baghy dengan al-dzulm wa al-i‘tida’ ‘ala haq al-ghair (tindak kedzaliman dan agresi atas hak orang lain). Definisi itu ia ambil dari makna lughawy bukan makna fiqhy.

Penafsiran selanjutnya pada penggalan ayat (فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ), Ibn Asyur menegaskan kembali kewajiban menindak tegas al-thaifah al-bhagiyah. Selain demi menjaga hak-hak orang lain, tindakan itu diambil sebagai langkah solutif, sebab membiarkannya tetap ada berarti menginginkan praktik kedzaliman terus berlangsung. Maka karena yang diperangi adalah sebuah thaifah (kelompok) bukan individu, maka sudah sepantasnya masyarakat beserta pemerintah turut serta dalam upaya menanggulanginya.

Namun yang perlu diperhatikan bahwa upaya penanggulangan dengan memerangi ini bertujuan agar kelompok itu kembali pada jalan Islam yang adil dan menghindari tindak kedzaliman. Dalam konteks kekinian, kelompok ini bisa saja disebut sebagai kelompok Islam radikal yang sejatinya memang harus dikembalikan ideologinya agar bersesuaian dengan ajaran Islam yang mengedepankan rahmat daripada laknat.

Penggalan (فَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا) mengisyaratkan keadaan dimana posisinya telah berhasil melakukan upaya penanggulangan. Maka tatkala kelompok al-baghiyah itu telah kembali kepada jalan yang benar, selanjutnya upaya rekonsiliasi (mengembalikannya lagi ke kehidupan sosial) haruslah dengan penuh keadilan. Agar mereka merasa diterima di masyarakat dan tidak melakukan kesalahan yang sama kembali.

Dari penafsiran Ibn ‘Asyur tersebut, dapat ditarik beberapa poin pembahasan penting mengenai paradigma rekonsiliasinya. Pertama, tabyin sebagai langkah preventif. Di awal penafsirannya, Ibn Asyur menggunakan metode riwayah dan mengutip Q.S al-Hujurat: 6. Dari metodenya itu, dapat diketahui bahwa Ibn Asyur ingin memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik—terutama dalam tubuh umat Islam sendiri. Dari sana Ibn Asyur juga mengisyaratkan pentingnya tabyin atau tabayun sebagai langkah preventif terhadap lahirnya konflik akibat dari adanya hoax dan hate speech maupun informasi yang berupa brainwash.

Kedua, menjadikan islah sebagai sikap seorang muslim. Pada penjelasan aspek asbab al-nuzul dan lughah didapati pernyataan kesimpulan Ibn Asyur yang menyatakan bahwa islah bukanlah perkara yang hanya ada di masa Nabi Muhammad. Karena ayat itu dikatakan termasuk dalam kategori ayat dengan muatan hukmun ‘am fi sabab al-khas. Serta faidah istiqbal dalam fi’il madhi karena masuknya harf syarth yang mengindikasikan bahwa konflik akan selalu menghantui manusia. Sehingga sikap islah tidaklah hanya wajib diaktualisasikan saat konflik sudah berkobar namun semestinya telah ditranformasikan dalam kehidupan agar terjadinya konflik dapat diredam.

Ketiga, pentingnya penegakan ham. Ibn Asyur menekankan bahwa jika yang dihadapi adalah sebuah thaifah bukan individu maka akan susah meredamnya. Sehingga perlu adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, Ibn Asyur benar-benar menekankan bahwa upaya-upaya yang dilakukan itu bertujuan untuk menjaga keberlangsungan HAM setiap orang. Sehingga hak masing-masing manusia tidak tercederai oleh tindakan-tindakan manusia yang lain.

Keempat, adil sebagai landasan membangun islah. Adil merupakan lawan kata dari dzalim, maka terjadinya tindak kedzaliman disebabkan oleh runtuhnya bangunan keadilan. Maka bersikap adil tidaklah hanya dilakukan dalam prosesi pendamaian saja, namun semestinya mampu ditranformasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan begitu tindakan-tindakan yang dapat memicu terjadinya konflik dapat diminimalisir. Wallahu a’lam.

Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran

0
Nabi Hud As
Nabi Hud As credit: ar.osmannuritopbas.com

Nabi Hud As adalah seorang tokoh yang disebutkan Allah Swt dalam Al-Qur’an. Dia merupakan seorang rasul keempat yang wajib ketahui oleh umat Islam setelah nabi Adam, nabi Idris dan nabi Nuh. Kisah nabi Hud banyak tersebar dalam Al-Qur’an, yakni pada QS. at-Taubah, QS. Ibrahim, QS. al-Furqan, QS. al-‘Ankabut, QS. Shad, dan QS. Qaf. Bahkan namanya diabadikan sebagai nama surah Al-Qur’an, yakni surah Hud, surat kesebelas dari 114 surah.

Nabi Hud As memiliki silsilah yang sampai kepada nabi Nuh, yakni Hud bin Syalikh bin Arfakhasyadz bin Sam bin Nuh as. Pendapat lain mengatakan bahwa silsilah Hud as adalah Hud bin Abdullah bin Rabah bin al-Jarud bin ‘Ad bin ‘Aush bin iram bin Sam bin Nuh as. Terlepas dari pendapat mana yang tepat, dapat disimpulkan bahwa nabi Hud adalah keturunan nabi Nuh dari anaknya Sam (Kisah Para Nabi dan Rasul: 129).

Beliau berasal dari kabilah ‘Ad. Mereka adalah sekelompok bangsa Arab yang tinggal di bukit-bukit pasir di sekitar Yaman, yakni antara Oman dan Hadramaut. Perbukitan tersebut memanjang di sepanjang laut asy-Syahar dan memiliki lembah bernama Mughits. Mayoritas kaum ‘Ad tinggal di bangunan-bangunan dengan tiang yang sangat besar sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. al-Fajr: 6-7;

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍۖ ٦ اِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِۖ ٧

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (QS. al-Fajr: 6-7)

Nabi Hud As merupakan nabi pertama yang berasal dari bangsa Arab dan berbahasa Arab. Hal ini diterangkan dalam Shahih Ibnu Hibban pada hadis panjang terkait para rasul dan nabi yang diriwayatkan dari Abu Dzarr. Dalam hadis tersebut Rasulullah Saw bersabda, “diantara para nabi dan rasul ada empat nabi yang berasal dari bangsa Arab, yaitu: Hud, Shalih, Syu’aib dan Nabimu, wahai Abu Dzarr.”

Baca Juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran

Hadis tersebut menginformasikan bawah hanya ada 4 nabi yang berasal dari bangsa Arab. 2 orang berasal dari al-‘Arab al-‘Aribah, yakni Hud dan Shalih, sedangkan dua lainnya berasal dari al-‘Arab al-Musta’ribah, yakni Syu’aib dan Muhammad Saw. Lalu bagaimana dengan nabi Ibrahim dan Ismail? Keduanya bukan berasal dari bangsa Arab (pendatang) dan tidak memiliki leluhur yang menetap di Arab. Hal ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw yang memiliki leluhur di tanah Arab (nabi Ismail dan keturunannya).

Dakwah Nabi Hud Kepada Kaum ‘Ad

Kehidupan kaum ‘Ad sangat makmur, mereka bahkan memiliki peradaban yang tinggi dan unggul dalam bidang pertanian dan arsitektur. Mereka juga memiliki banyak harta dan binatang ternak. Sebagian besar lembah tempat tinggal mereka dijadikan ladang pertanian yang subur dan hijau. Namun semua kenikmatan tersebut tidak menjadikan kaum ‘Ad hamba-hamba yang beriman kepada Allah.

Kemudian Allah mengutus Nabi Hud As untuk memberi peringatan kepada mereka dan mengajak mereka menyeru hanya kepada-Nya. Ini dilakukan karena pada waktu itu mereka menyembah berhala yang bernama Shamud, Shada dan al-Haba. Menurut Ibnu Katsir, kaum ‘Ad adalah kaum pertama yang melakukan penyembahan berhala pasca banjir besar di masa nabi Nuh as (Kisah Para Nabi dan Rasul: 143).

Penggalan kisah permulaan dakwah Nabi Hud As di atas dapat disimak dalam QS. Hud: 50-60. Diantara seruan beliau adalah, “…Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?” Beliau tanpa lelah dan tiada henti mengajak mereka ke jalan yang benar.

Ketika nabi Hud as berdakwah kepada Kamud ‘Ad, mereka tidak mau menerima dakwah tersebut bahkan menuduh Hud adalah orang gila dan pembohong, “…Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar kurang waras dan kami kira kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” Kemudian nabi Hud menjawab, “Wahai kaumku! Bukan aku kurang waras, tetapi aku ini adalah Rasul dari Tuhan seluruh alam.” (QS. al-A’raf: 66-67).

Akibat dari keingkaran kaum ‘Ad kemudian Allah menurunkan azab kepada mereka berupa bencana kekeringan yang melanda ladang dan kebun mereka. Kekeringan tersebut berakibat pada habisnya stok makanan dan membuat banyak orang dari kaum ‘Ad kelaparan. Meskipun demikian, mereka masih saja tidak percaya terhadap peringatan nabi Hud dan tetap menyembah berhala.

Mereka berkata, “Wahai Hud! Engkau tidak mendatangkan suatu bukti yang nyata kepada kami, dan kami tidak akan meninggalkan sesembahan kami karena perkataanmu dan kami tidak akan mempercayaimu.” (QS. Hud: 53). Mereka terus meminta nabi Hud untuk mendatangkan bukti dari semua ajakan dan peringatannya. Hal ini direspon beliau dengan baik dan tanpa lelah kembali mengingatkan mereka.

Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran

Puncak dari kekufuran kaum ‘Ad adalah ketika mereka berkata, “…Sama saja bagi kami, apakah engkau memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu, dan kami (sama sekali) tidak akan diazab.” (QS. asy-Syu’ara: 136-138). Lantas Allah mewahyukan kepada Hud agar menjawab, “Sungguh, kebencian dan kemurkaan dari Tuhan akan menimpa kamu…..” (QS. al-A’raf: 71)

Kemudian Allah mendatangkan azab kepada mereka berupa awan hitam beserta angin yang sangat pedih untuk membinasakan mereka semua sebagaimana tercatat dalam QS. al-Ahqaf ayat 24-25 yang bermakna, “…itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” Wallahu a’lam.

Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

0
pembeda qiraat dan tajwid
pembeda qiraat dan tajwid/ ruangmuslimah

Ilmu membaca Al Quran ternyata begitu banyak istilah. Setidaknya itu yang dirasakan oleh pengakaji dan pembelajar Al Quran. Bagi umat muslim secara umum (awam), ilmu tentang cara membaca Al Quran hanyalah ilmu tajwid. Tapi ternyata di balik itu ada ilmu lain yang sebenarnya kita praktekkan, namun kita tidak menyadarinya. Ilmu ini bernama ilmu qira’at.

Untuk mengetahui perbedaan apa itu tajwid dan qiraat, pertama kali yang perlu kita ketahui adalah definisinya.

Qira’at merupakan bentuk jama’ dari kata qira’ah. Secara bahasa kata ini memiliki makna bacaan. Kemudian secara istilah ada beberapa definisi. Syekh Manna’ul Qaththan menyebut bahwa qiraat adalah salah satu madzhab pembacaan Al Quran yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.

Adapun Muhammad ‘Abd al-Azhim Az-Zarqani dalam Manahilul Irfan, menyebut bahwa qiraah merupakan suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam pengucapan Al Quran Al-Karim serta sepakat atas riwayat-riwayat dan jalur-jalur (thariq) darinya. Baik perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan tertentu.

Sementara tajwid secara bahasa berasal dari kata jawwada- yujawwidu- tajwiidan yang memiliki arti membuat sesuatu menjadi bagus. Kemudian menurut istilah juga  terdapat beberapa definisi.


Baca juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran


Muhammad al-Mahmud dalam Hidayatul Mustafid fi ahkamit tajwid, mendefinisikan tajwid sebagai berikut.  Ilmu yang memberikan segala pengertian mengenai huruf, baik hak-hak huruf (haqqul huruf) maupun hukum baru yang timbul seusai hak-hak huruf terpenuhi yang terdiri atas sifat-sifat, hukum mad dan sebagainya (mustahaqqul huruf).

Sementara Imam as-Suyuthi dalam kitab Al-itqannya, menyebut bahwa tajwid yaitu mengucapkan huruf sesuai hak-hak dan tertib aturannya. Serta mengembalikan huruf sesuai dengan makhraj asal (sifat)nya, dan melembutkan bacaan secara sempurna tanpa berlebih-lebihan, ngawur bebas, tergesa-gesa dan dipaksakan.

Lantas apa saja poin-poin yang membedakan antara ilmu qiraat dan tajwid itu?


Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?


Empat Poin Pembeda Qiraat dan Tajwid

Pertama, qiraat fokus terhadap pengucapan lafadz, kalimat dan dialek (lahjah) kebahasaan Al Quran. Sedangkan tajwid fokus pada pengucapan huruf-huruf Al-Qur’an secara tertib, sesuai makhraj dan sifatnya.

Contohnya, qiraat itu menampilkan bacaan isymam, imalah, Panjang pendek yang berbeda, harakat yang berbeda dan lainnya. Sementara tajwid memaparkan seperti jahr, syiddah, qalqalah, tarqiq, tafkim dan lainnya.

Kedua, qiraat itu segi ragam artikulasi lafadz.  Adapun tajwid itu teknis artikulasinya. Misalnya begini, ملك merupakan lafadz yang memiliki berbagai ragam bacaan. Ada yang dibaca Panjang dan ada yang dibaca pendek. Keragaman ini merupakan penerapan ilmu qiraat. Sementara ilmu tajwid fokus pada teknis artikulasinya. Jika Imam ‘A’ katakanlah menggunakan bacaan ma Panjang, maka ilmu tajwid terpakai dalam contoh ini yakni pembacaan mad thabi’i. Sementara jika imam lain tidak membaca Panjang, secara otomatis bacaan tersebut tidak menggunakan hukum tajwid mad thabi’i.

Ketiga, qiraat itu riwayat dari Rasulullah SAW yang mana mengedepankan rantai sanad. Sedangkan tajwid berpedoman atas dirayah (disiplin ilmu) yang mana berbasis pada penelusuran dan pelafalan suara yang tepat.

Keempat, qiraat bertujuan untuk mempertahankan orisinalitas bacaan Al-Qur’an sekaligus berfungsi sebagai instrumen tafsir. Sementara tajwid untuk menghindari adanya kesalahan bacaan lafadz-lafadz Al-Qur’an.

Dari sini terlihat bahwa qiraat dan tajwid merupakan rangkaian ilmu yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, meski berbeda. Bisa saja disebut bahwa keberadaan qiraat tidak akan tampak tanpa adanya ilmu tajwid. Begitu juga dengan keberadaan tajwid tidak akan sah kebenarannya tanpa ada penerapan qiraat.


Baca juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern


Di penghujung tulisan, kita perlu merefleksikan diri bahwa jangan sampai kita menyalahkan bacaan Al Quran orang lain yang tidak sama dengan kita. Bisa saja itu terjadi karena perbedaan qiraat, yang mana kita tidak sadar dan belum mengetahui aplikasi qiraat tersebut.

Tentu kita tidak perlu khawatir pula akan kebenaran bacaan kita selama ini. Karena mushaf Al-Qur’an yang saat ini kita gunakan sudah terdesain merujuk pada salah satu qiraat yang mutawattir, yakni qiraah imam Ashim riwayat Hafs. Oleh karena itu, umat muslim secara umum bisa fokus pada ilmu tajwid saja, tanpa perlu ragu qiraatnya.

Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya

0
tata cara itikaf
tata cara itikaf

Itikaf merupakan salah satu kesunahan yang kerap dilakukan oleh umat Islam. Itikaf dilakukan sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Orang yang sedang itikaf disunahkan untuk melakukan ibadah-ibadah sunah, seperti berzikir, membaca Alquran, shalat sunah serta memperbanyak tafakur dan muhasabah. Apa saja yang dilakukan ketika itikaf? Bagaimana tata cara itikaf, waktu, tempat dan hukumnya?

Dijelaskan bahwa ibadah ini telah ada jauh sebelum Islam datang. Allah berfirman,

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ  وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

“Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah (ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibraim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang itikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud.” (QS. Al-Baqarah [2]: 125)

Menurut as-Syafi’i, itikaf secara bahasa bermakna mulazimatun lisyay’i atau menetapi sesuatu, bisa berupa hal yang baik dan juga hal yang buruk. Sedangkan menurut istilah adalah berdiam/menetap di dalam masjid dengan niat ibadah.

Baca Juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Tata cara itikaf, waktu dan tempatnya

Penjelasan tentang tata cara itikaf dan lainnya dapat dilihat pada firman Allah yang berbunyi:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ  ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ  كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Pada ayat di atas, disampaikan bahwa tempat itikaf itu di masjid. Terkait penyebutan masjid ini, As-Shabuni menjelaskan, sebagian ulama mengkhususkan kata masjid dalam ayat tersebut pada tiga masjid utama, yakni masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil Aqsha. Namun, jumhur ulama sepakat bahwa pendapat yang sahih terkait tempat itikaf adalah di masjid manapun, tidak harus di tiga masjid yang disebut sebelumnya, sebab kata masjid di atas bersifat umum. Andaikata dikuhususkan pada masjid tertentu, maka akan ada kata lain sebagai petunjuk kekhususannya.

Terkait tempat itikaf, khususnya dalam masa pandemi seperti sekarang, maka perlu dipertimbangkan lagi untuk pergi ke tempat umum seperti masjid. Bukankah Nabi Muhammad saw pernah bersabda dalam hadis riwayat Said Al-Khudry dalam Sunan at-Tirmidzi no. 291 bahwa seluruh bagian bumi adalah masjid (tempat sujud) atau tempat beribadah kepada Allah. 

Adapun masa minimal yang digunakan untuk itikaf menurut mazhab Hanafi sehari semalam. Sedangkan Imam Malik berpendapat sepuluh hari, dan mazhab Syafi’i berpendapat lahdzatan atau sebentar serta tidak ada masa maksimal. Ukuran sebentar tersebut diperkirakan lebih lama sedikit dari tuma’ninah (keadaan diam) dalam rukuk, sehingga tidak ada keharusan untuk tinggal di masjid.

Baca Juga: Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya

Mengenai hukum pelaksanaan itikaf kaitannya dengan durasi waktunya, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memiliki pemahaman bahwa itikaf dihukumi sunah dilaksanakan setiap waktu, meskipun tanpa berpuasa. Itikaf tidak hanya bisa dilakukan saat bulan Ramadan, akan tetapi juga bisa dilakukan di bulan yang lain. Menurut as-Syafi’i, tanpa berpuasa seseorang sudah bisa dikatakan ‘akif (orang beritikaf). Jika dilakukan dengan berpuasa, maka itu lebih utama. Berbeda lagi dengan jumhur (mayoritas ulama) yang berpendapat bahwa itikaf harus disertai puasa.

Hal ini karena pada redaksi ayat di atas, itikaf disebutkan bersama puasa, sehingga petunjuknya mengarah pada wajib. Sedangkan Hanafiyah membaginya menjadi tiga kategori. Pertama, hukumnya mandub (dianjurkan) dilakukan kapan saja. Kedua, sunah muakkad dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Ketiga, wajib segera melaksanakan itikaf yang didahului oleh nazar.

Baca Juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79

Lalu, bagaimana hukum perempuan beritikaf?

Perempuan diperbolehkan melakukan itikaf sebagaimana yang tertera dalam hadis sahih Bukhari yang diriwayatkan Aisyah, bahwa istri-istri Rasulullah juga melakukan ibadah tersebut. Namun demikian, masih ada perdebatan tentang tata cara itikaf bagi perempuan, khususnya terkait tempatnya.

As-Shabuni menjelaskan bahwa kebolehan ini jika dilakukan di rumah, sebab menurutnya tidak ada nash yang menunjukkan perempuan melaksanakannya di masjid. Sedangkan ulama dari empat mazhab berpandangan bahwa hukum itikaf perempuan sama halnya dengan laki-laki, tidak sah jika dilakukan di tempat lain selain masjid. Namun demikian, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan seperti mendapatkan ijin suami bagi perempuan yang berstatus menikah. Untuk yang terakhir ini, berlaku juga bagi suami, agar tercipta kerja sama yang apik di antara keduanya.

Wallahu A’lam.

Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi

0
ummatan wasatha
ummatan wasatha

Ummatan wasatha yang disampaikan oleh M. Thalibi sedikit berbeda dengan kebanyakan penjelasan para mufassir terdahulu. Terlepas dari semua itu, misi penyebutan ummatan wasatha di dalam Alquran adalah untuk memuliakan umat yang menerima risalah terakhir. Untuk memuliakan risalah ini Allah swt menjadikannya berbeda dengan ajaran-ajaran yang telah lalu, yaitu dengan perubahan-perubahan hal yang dianggap fundamental seperti arah kblat, tradisi keagamaan yang melawan tradisi sosial dan lain sebagainya.

Mengenal Lebih Dekat M. Thalibi

M.Thalibi adalah Profesor Emeritus di Universitas Tunis, sebagai sarjana muslim ia menulis beberapa karya ilmiah dengan tema besar sejarah Islam dan Maroko (Maghrib). Ia lahir di Tunis pada tahun 1921 dan menempuh pendidikan di sana pula, kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Paris.

Thalibi memiliki karir yang cukup terkenal, baik sebagai sejarawan Afrika Utara abad pertengahan dan juga sebagai pemikir teoritis mengenai sifat dan misi Islam di dunia modern. Dalam konteks yang lebih umum pemikirannya adalah tentang eksegesis al-Qur’an, analisis historis dan epistemologi agama.

Berikut redaksi ummatan wasatha yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)

Dalam surah Al Baqarah ayat 143 Thalibi mengambil penjelasan ulama dalam hal sebab turunnya ayat tersebut, bahwasannya ayat ini turun berkaitan dengan pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Makkah. Menurut al-Razi kiblat yang mengarah ke Baitul Maqdis adalah sikap keramahan kepada kaum Yahudi, dan ini juga tidak terdapat dalam Alquran. Ibnu Katsir juga mengambil penjelasan dari Ikrimah, Abu al-Aliyah dan Hasan al-Basri, bahwa arah kiblat ke Baitul Maqdis merupakan ijtihad Nabi sendiri.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam

Sedangkan pemindahan arah kiblat ke arah Ka’bah menurut al-Razi karena Ka’bah adalah pusat dan lokasi tengah bumi. Dan juga merupakan kiblat dari Nabi Ibrahim, tempat kelahiran Ismail serta tempat yang dimuliakan Allah. Ketika itu Nabi Muhammad saw. berharap kiblat Baitul Maqdis dipindah agar berbeda dengan kaum Yahudi. Kemudian Allah mengabulkan permohonan kekasih-Nya ini.

Menurut penjelasan al-Ashfahaniy, wasatha adalah tengah-tengah sesuatu yang memiliki dua sisi yang ukurannya sama. وَسَطَ dengan dibaca fathah huruf sin maka digunakan untuk sesuatu yang memiliki kesatuan bentuk yang menempel, seperti anggota badan kepala. Sedangkan وَسْطَ dengan dibaca sukun sin, digunakan untuk kesatuan yang terpisah, seperti di tengah-tengah suatu masyarakat.

Dengan kata ini terkadang juga dipakai untuk maksud yang tengah-tengah, yaitu posisi yang terhindardari pandangan yang fanatik dan juga pandangan yang menyepelekan (Al-Asfahaniy, Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 522). Kata “umat” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan kata sya’bu dan jumhur yang berarti rakyat atau bangsa (Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 40). Kata wasth atau wasath memiliki makna sesuatu yang berada di tengah-tengah suatu tempat atau yang berada di tengah di antara dua hal.

Secara kebahasaan konteks wasatha dalam ayat tersebut dapat diartikan dengan kata al-‘adlu yaitu seimbang, sesuai dan tidak berat sebelah, juga mengandung makna pilihan. Dikatakan al-‘adlu karena adil adalah setelah adanya kesamaan di antara dua sisi dan berada tepat di tengah keduanya.

Wasath juga berarti tidak lebih condong dan berlebihan pada satu sisi. Sehingga maknanya adalah umat Islam dalam beragama memposisikan diri di tengah-tengah di antara yang berlebihan dan yang menyia-nyiakan, di antara yang fanatik dan yang meremehkan. Karena umat Islam dalam beragama tidak fanatik sebagaimana kefanatikan umat Nasrani dan juga tidak meremehkan sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi.

Baca juga: Tafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?

Ummatan wasatha yang dimaksudkan dalam al-Baqarah ayat 143 adalah umat tengah-tengah yang dipilih Allah tanpa memandang fisik, sehingga Allah tidak memandang bangsa Arab lebih unggul dari pada bangsa lain. Bangsa Arab lebih dianggap salah satu bangsa yang tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lain dari seluruh manusia di dunia. Ummatan wasatha dan persaksian disebutkan dalam al-Qur’an dengan posisi yang sempurna. Umat pilihan Allah yang diberikan amanah untuk menyampaikan risalah terakhir.

Ketika hal-hal sejarah yang bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Makkah maupun era awal di Madinah, sesungguhnya ini memang berat. Karena terdapat perubahan besar-besaran dari ajaran Ibrahim terdahulu, tetapi pada dasarnya perubahan ini menjadikan agama Islam lebih maju dan melampaui semua ajaran yang telah lalu.

Arah kiblat yang diperintahkan kepada ummatan wasatha untuk sholat menghadapnya pada dasarnya bukanlah kiblat baru. Karena kiblat ini merupakan pondasi yang telah ditinggikan oleh Ibrahim dan Ismail. Bahkan dengan pemindahan kiblat ini, ajaran Islam telah dengan cepat melampaui semua ajaran dengan mengambil asal pokok ajaran tauhid, bukan cabangnya.

Ummatan wasatha pernah diakui oleh orang-orang Yahudi bahwasannya umat yang termasuk adalah masyarakat di samping Arab, Persia dan Afrika. Padahal ummatan wasatha yang dimaksudkan Alquran adalah semua umat manusia tanpa adanya batasan. Jika ada batasan pun batasannya adalah satu, yaitu umat satu yang menyembah Allah. Sebagaimana dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 92.

Baca juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas

Ummatan wasatha juga disebut sebagai ummat syahadah, apa yang ditentukan dalam setiap detil kepada umat Nabi Muhammad ini adalah untuk mempersiapkan mental agar dapat mengemban tugas menyebarkan syahadat kepada seluruh manusia. Sebagaimana syahadat yang disampaikan oleh Rasul saw terakhir, sehingga ummat ini menjadi perantara langsung dari rasul secara terus menerus. Dalam surat Ali Imran ayat 110 juga disebutkan bahwa umat ini adalah umat yang paling baik.

Tetapi penjelasan di atas tidak sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir terdahulu yang berpendapat bahwa sesungguhnya Allah tidak membutuhkan syahadat dari suatu umat untuk membangun hujjah kepada hamba-hamba-Nya. Dan persaksian manusia tidak diperhitungkan secara bersama-sama, tetapi lebih pada persaksian perseorangan.

Terlepas dari semua penjelasan yang bertentangan, ummatan wasatha menjadi saksi dalam penyampaian risalah kenabian yang juga diberikan tanggung jawab meneruskan penyampaian tersebut kepada semua manusia. Sedikit banyak ummat ini juga berkontribusi dalam dakwah dan kehidupan Nabi, sehingga mereka bersaksi atas kerasulan, kebaikan dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw, begitu juga sebaliknya Nabi Muhammad saw menyaksikan apa saja yang mereka lakukan dalam membantu penyebaran agama Islam

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62: Benarkah Semua Agama Setara?

0
kesetaraan agama
kesetaraan agama

Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup di tengah pluralitas suku hingga agama, sudah seyogianya kita menjaga keragaman tersebut demi keutuhan bangsa dan negara. Namun beberapa tahun kebelakang, justru sering ada gesekan antar agama yang sebenarnya itu tak perlu terjadi. Hal ini menyebabkan sebagian orang menyuarakan semua agama setara agar kesatuan bangsa terjaga.

Baca juga: Muhammad Rasyid Ridha: Mufasir Penerus Gagasan Pembaharuan Islam

Tafsir surah Al-Baqarah Ayat 62

Para pemikir yang berpendapat bahwa semua agama adalah setara sebenarnya tidak bisa serta merta kita terima mentah-mentah, melainkan juga mengerti sebab munculnya statmen tersebut. Mereka sering menisbahkan pada surah al-Baqarah ayat 62 yakni:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”

Dalam Tafsir al-Mizan, Muhammad Husain Thabathaba’i mengatakan bahwa Allah swt memberikan dua syarat yakni mengimani Allah swt juga hari akhir dan beramal saleh. Apabila dua syarat tersebut terpenuhi, maka seluruh umat manusia (apapun agamanya) akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan abadi kelak di akhirat.

Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar mengatakan bahwa pada ayat tersebut ke empat golongan (Islam, Yahudi, Nashrani, dan Sabi’in) dikumpulkan menjadi satu. Mereka semua tidak akan merasakan kekhawatiran, duka cita dan bersedih hati asalkan mereka menunaikan syarat yang diberikan Allah swt yakni mau beriman kepada-Nya dan hari akhir serta keimanan tersebut diikuti oleh perbuatan yang baik. Apabila keempat golongan tersebut mau melaksanakannya, maka Allah swt akan memberikan ganjaran di sisi-Nya (Hamka, tafsir al-Azhar juz 1)

Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Qur’an

Sebab turunnya ayat

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil riwayat yang menyebutkan bahwa suatu ketika Salman al-Farisi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang nasib teman-temannya yang seagama di masa lalu. Salman mengatakan kepada Nabi SAW bahwa teman-temannya itu juga menunaiakan ibadah sesuai syariat agama terdahulu dan mengimani bahwa kelak, Nabi SAW akan diutus menjadi seorang Nabi.

Tetapi, Rasulullah SAW menjawab bahwa teman-teman Salman ra termasuk ahli Neraka. Jawaban tersebut sangat berat diterima oleh Salman hingga turunlah surah Al-Baqarah ayat 62.
Ibnu Katsir melanjutkan penjelasannya bahwa yang dimaksud Yahudi pada ayat tersebut ialah mereka yang berpegang pada kitab Taurat dan Sunnah Nabi Musa As. Hingga sebelum datangnya syariat Nabi Isa As.

Begitu pula kaum Nasrani ialah mereka yang berpegang pada kitabnya dan menjalankan syariat Nabi Isa As. hingga datangnya Nabi Muhammad SAW. Namun menurut Ibnu Abbas, ayat ini dijawab dengan ayat lain dalam surah ‘Ali Imran ayat 85 yakni:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

Ayat ini merupakan pemberitahuan bahwa tak akan diterima segala amal perbuatan kecuali mereka menjalankan syariat Nabi Muhammad SAW. Adapun kaum sebelum masa itu, asalkan mereka berpegang pada rasul dizamannya maka mereka berada pada jalan keselamatan. (Ibnu Kathir, Tafsir Al Quranul ‘Adzim juz 1)

Baca juga: Kebhinnekaan dalam Al-Quran

Perihal kesetaraan agama

Saat merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 62, hampir membuat sebagian golongan berpendapat bahwa semua agama sama. Tentunya, selema mereka beriman pada hari kiamat dan beramal saleh. Akan tetapi, setelah adanya Islam, semua agama memiliki akidah dan model peribadatan yang berbeda-beda.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa tidak mungkin semua agama dipersamakan sedang mereka saling mengingkari dan menyalahkan satu sama lain.
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa surga dan neraka ialah kewenangan mutlak Allah SWT. Jadi, umat manusia tidak perlu menyibukan diri untuk melabel dirinya sebagai penganut yang diridhai-Nya dan yang lain sesat. Caranya adalah dengan hidup damai dan berserah kepada-Nya semata terhadap segala keputusan di hari kemudian. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah juz 1)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Terlepas dari kontroversi kesetaraan agama, kesan menarik yang ingin disampaiakan pada ayat ini ialah semangat perdamaian dalam hidup berdampingan. Meskipun telah mengaku sebagai Islam, Yahudi, dan sebagainya, jika pengakuan tersebut hanya sampai di mulut dan tak sampai ke dalam hati, maka sangat tidak etis menganggap dirinya yang paling benar. Sementara yang lain dianggap sesat. Wallahu a’lam.

Doa Nabi Zakaria dan Tafsir Ali Imran [3]: 38

0
Doa Nabi Zakaria
Doa Nabi Zakaria credit: almoreed.com

Dalam redaksi ayat Al-Quran terdapat doa-doa Nabi terdahulu. Selain untuk diamalkan, penting untuk ditelusuri mengenai konteks kejadian dan pesan yang ada di dalamnya. Salah satu doa Nabi yang dikaji dalam tulisan kali ini ialah doa Nabi Zakaria yang terdapat di Q.S. Ali Imran [3]: 38. Doa Nabi Zakaria ini berisi permohonannya untuk mendapatkan keturunan yang akan meneruskan estafet perjuangan dakwahnya kepada Bani Israil.

Berikut redaksi doanya yang termaktub dalam Q.S. Ali Imran [3]: 38:

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهٗ ۚ قَالَ رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۚ اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ

Artinya: “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.

Ada dua hal yang akan dikaji dalam redaksi doa ini sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya yakni sisi konteksnya dan pesan yang ada di dalamnya. Untuk mendapatkan kedua informasi tersebut maka perlu menyimak bagaimana para mufasir mengkaji masing-masing kalimat dalam redaksi ayat.

Lafaz (هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهٗ) jika ditelaah melalui penafsiran Ath-Thabari, maka akan didapati informasi konteks dari doa yang akan dilantunkan pada redaksi selanjutnya. Ath-Thabari menguraikan bahwa pada suatu saat Zakaria masuk ke dalam mihrab (tempat beribadah) yang biasa ditempati oleh Maryam, seorang anak perempuan yang dititipkan oleh istri Imran kepada Zakaria.

Di dalam mihrab itu, Zakaria melihat di sisi Maryam telah ada makanan yang mustahil didapati di rumahnya yakni sebagaimana penjelesan ulama berupa buah-buahan musim panas di musim dingin dan buahan-buahan musim dingin di musim panas. Maka Zakaria kemudian menanyakannya pada Maryam mengenai asal-muasal makanan itu ia dapatkan, lalu Maryam menjawab bahwa makanan itu merupakan rizki yang Allah berikan kepadanya.

Baca Juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Setelah mendengar jawaban Maryam, Zakaria pun mengingat kondisinya yang memiliki istri yang dalam keadaan manusia pada umumnya sudah mustahil memiliki keturunan. Maka harapannya yang hampir pupus pun kembali membara dan pikirannya pun kembali positif. Sebab ia yakin bahwa segala hal yang menurut pandangan umumnya manusia itu tidak mungkin, tidak berlaku bagi Allah Sang Maha atas segalanya.

Ia pun pada waktu dan di tempat itu juga (mihrab) langsung melantunkan doanya. Salah satu doa yang ia lantunkan termaktub dalam ayat yang sedang dikaji ini dan lainnya juga direkam oleh al-Qur’an dalam Q.S. Maryam [19]: 3-6. Maka Allah pun menjawab doanya dengan lanjutan Q.S. Maryam [19]: 7.

Meskipun pada ayat selanjutnya Zakaria yang mungkin sedang sangat senang dengan berita yang dibawa malaikat kembali mempertanyakan bagaimana bisa Allah memberinya keturunan padahal istrinya sudah mustahil memberi keturunan. Dan Allah pun menegaskan kembali pada Zakaria pada Q.S. Maryam [19]: 9, bahwa menjadikan hal yang mustahil menjadi mungkin itu adalah perkara mudah.

Lalu lahirlah Yahya ibn Zakaria seorang anak yang saleh dan begitu berbakti pada orang tuanya serta penerus estafet dakwah ayahnya. Lahirnya Yahya juga menjadi pembuktian Allah pada Zakaria sekaligus kepada Bani Israil yang pada saat itu gemar mendustakan dakwah yang disampaikan Zakaria, bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha atas segala sesuatu dan satu-satunya yang memiliki hak untuk disembah oleh manusia.

Dari uraian mengenai konteks dan penafsiran mengenai redaksi ayat doa ini, ada beberapa ibrah yang bisa diambil. Pertama, tiada satupun keinginan maupun impian manusia yang mustahil dikabulkan dan diwujudkan oleh Allah, sebab Allah Maha Mampu atas segala sesuatu. Oleh karena itu sebagai manusia tiada alasan untuk berhenti bermimpi dan berkeinginan selama itu merupakan hal yang baik maka gantungkanlah hanya pada Allah semata.

Kedua, berdoa adalah salah satu dari kunci kesuksesan. Kisah Nabi Zakaria memperlihatkan betapa doa memiliki signifikansi yang sangat besar bagi terwujudnya suatu keinginan. Maka jangan lupa untuk selalu menyandingkan doa dengan ikhtiyar. Sebab sekeras apapun ikhtiar yang dilakukan jika Allah belum meridlainya maka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal/ terbaik.

Ketiga, lafaz doa yang dilantunkan oleh Nabi Zakaria dapat menjadi amalan doa keseharian bagi umat Islam yang ingin memiliki keturunan agar keturunan yang lahir dikaruniai oleh Allah sebagai keturunan yang saleh nan berbakti dan juga bagi yang sedang susah memiliki keturunan agar senantiasa dipermudah untuk memperoleh keturunan oleh Allah dan dikaruniai keturunan yang baik. Wallahu a’lam.

9 Sumber Rezeki Yang Disebutkan dalam Al-Quran

0
Sumber Rezeki
Sumber Rezeki

Secara singkat rezeki dapat dimaknai sebagai segala pemberian dari Allah Swt yang bermanfaat bagi kehidupan manusia berupa uang, makanan, pakaian hingga pasangan hidup. Rezeki juga bisa berupa keturunan yang saleh serta nikmat sehat pendengaran, penglihatan dan lain-lain. Dengan demikian, rezeki bisa berbentuk apa saja, baik itu material maupun non-material. Namun ada satu hal yang pasti, yakni sumber rezeki yang utama adalah Allah Swt.

Kata rezeki merupakan terjemah dari kata bahasa Arab rizqun. Kata ini dan derivasinya disebutkan sebanyak 108 kali dalam ayat Al-Qur’an. Kata rizqun seringkali dibarengi dengan kata-kata berkonotasi positif seperti karim, halal, tayyib, dan tidak pernah dibarengi dengan kata berkonotasi negatif atau buruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua sumber rezeki dari Allah untuk manusia adalah sesuatu yang halal dan bermanfaat.

Meskipun secara umum rezeki yang Allah berikan berupa sesuatu yang halal dan bermanfaat, manusia tetap harus memilah. Sumber rezeki haruslah berasal dari yang baik, sehat dan tidak berpotensi buruk bagi mereka. Seperti makan makanan yang sehat dan bergizi, bukan asal makan makanan yang tidak menyehatkan. Firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 172)

Manusia juga harus memperhatikan bagaimana mereka mengalokasikan rezeki yang Allah berikan. Jangan sampai mereka malah menyelewengkan nikmat tersebut kepada hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Berkenaan dengan pengalokasian ini, Allah berfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُون

Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.”  Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?” (QS. Yunus [10]: 59)

9 Sumber Rezeki Menurut Al-Qur’an

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sumber rezeki pada hakikatnya adalah Allah Swt. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab datangnya rezeki tersebut sebagai salah satu sunnatullah bagi manusia di dunia, yaitu:

  1. Rezeki yang telah Allah Jamin

Allah Swt berfirman, “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Hud [11]: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa rezeki manusia dan segala makhluk hidup di alam semesta telah dijamin oleh Allah Swt dengan kadar tertentu.

  1. Rezeki karena berusaha (Bekerja)

Berkenaan dengan ini Allah berfirman, “dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. an-Najm [52]: 39-41). Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa rezeki yang didapatkan manusia berbanding lurus dengan usaha mereka (takdir mu‘allaq).

  1. Rezeki karena bersedekah

Allah telah menjanjikan manusia bahwa diri-Nya akan memberi banyak ganjaran bagi mereka yang mau mengeluarkan sebagian harta di jalan-Nya. Firman Allah, “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” 9QS. Al-Baqarah [2]: 245).

Berkenaan dengan sedekah ini (sarana tolong-menolong), Rasulullah bersabda, ”Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim). Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebesar perhatian seseorang terhadap mereka yang membutuhkan, yakni yatim piatu, fakir miskin, mereka yang tertindas dan sebagainya, sebesar itu pula perhatian Allah terhadap hamba tersebut (Sahih Muslim [4]: 2074).

  1. Rezeki karena bersyukur

Allah berfirman, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7). Dengan demikian, seorang muslim seyogyanya selalu bersyukur agar nikmat ditambah Allah Swt.

  1. Rezeki karena menikah

Dalam hal ini Allah berfirman, “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur [24]: 32).

  1. Rezeki karena istighfar atau taubat

Taubatnya seseorang terkadang menjadi penyebab rezeki diberikan sebagaimana firman Allah Swt, “maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh [71]: 10-12).

  1. Rezeki karena anak, cucu dan keluarga

Keluarga-terutama anak-adalah salah satu pintu rezeki bagi kedua orang tuanya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS. al-Isra’ [17]: 31). Dengan demikian, jangan pernah takut kekurangan uang atau harta benda sebab kehadiran mereka. Selama seseorang mau berusaha, maka Allah akan bukakan pintu rezeki-Nya.

  1. Rezeki yang tidak terduga

Dalam QS. at-Talaq ayat 3 disebutkan bahwa Allah akan memberi rezeki yang tidak disangka-sangka manusia. Firman-Nya, “Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”

  1. Rezeki karena mati syahid

Mereka yang mati syahid akan diberikan oleh Allah rezeki yang melimpah sebagaimana firman-Nya, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran [3]: 169). Wallahu a’lam.

Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?

0
Qiraat Ashim Riwayat Hafs
Qiraat Ashim Riwayat Hafs credit: masrawy.com

Mayoritas muslim Indonesia tidak menyadari bahwa gaya bacaan Al-Quran yang kita lantunkan hanyalah salah satu gaya dari qiraat sab’ah. Bahkan, sering kali kita tidak mengetahui gaya bacaan siapa yang sebenarnya kita ikuti. Di belahan dunia muslim termasuk Indonesia saat ini yang paling banyak dilantunkan adalah qiraat Ashim riwayat Hafs. Berbeda dengan Maroko dan Aljazair yang mempertahankan qiraat Nafi’ riwayat Warsy.

Sebelum membahas mengapa mayoritas umat muslim dunia dan Indonesia menggunakan qiraat Ashim riwayat Hafs, terlebih dahulu kita ketahui apa saja qiraat sab’ah itu.

Alkisah pada tahun 322 H di bawah kepemimpinan dinasti Abbasiyah, melalui menterinya Ibnu Isa dan Ibnu Muqlah ada penunjukan ulama ahli qiraat untuk menerbitkan kitab tentang qiraat. Ibnu Mujahid pun terpilih karena kepakarannya.  Saat itu banyak sekali gaya bacaan yang membuat umat muslim kebingungan mana gaya bacaan yang mutawatir.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Ibnu Mujahid akhirnya menerbitkan kitab dengan judul As-Sab’atu fi al-Qiraa’aat. Dalam kitab ini, disebutkan tujuh gaya bacaan melalui para imam Qiraat yang mutawatir. Mereka yaitu imam Nafi’ dari Madinah, imam Ibnu Katsir dari Mekkah, imam Ibnu Amir dari Syam, imam Abu ‘Amr dari Basrah, serta imam ‘Ashim, Hamzah, dan Al-Kisai, ketiganya dari Kufah.

Pemilihan tujuh varian bacaan ini oleh sebagian peneliti disebut bahwa, Ibnu Mujahid terinspirasi dari hadis Rasulullah berikut.

هَكَذَا أُنْزِلَتْ. إِنّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ. فَاقْرَأُوا مَا تَيَسّرَ مِنْهُ

“Demikianlah Kitab ini diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Seiring berkembangnya waktu, dari tujuh imam tersebut menurut Mustofa, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an hanya ada bacaan empat imam yang dipraktekkan oleh umat muslim. Keempat Imam ini adalah Imam Nafi‘, Imam Abu ‘Amr, Imam Ibnu Amir, dan imam Ashim melalui perawinya masing-masing.

Dan dari empat imam tersebut, hanya satu imam yang bacaanya mendominasi di dunia yakni qiraat Ashim. Lebih mengerucut lagi, dari qiraah ini yang dominan hanyalah qiraah yang diriwayatkan Hafs saja sementara Syubah tidak.

Di sinilah pembahasan sesungguhnya, mengapa bisa terjadi demikian?

Mustofa telah menerbitkan sebuah tulisan di Jurnal Suhuf dengan judul Pembakuan Qiraat Ashim Riwayat Hafs dalam Sejarah dan Jejaknya di Indonesia”. Tulisan ini menyebutkan ada tiga faktor yang melatarbelakangi mengapa qiraat Ashim riwayat Hafs begitu populer.

Faktor pertama, Sanad yang dimiliki imam Ashim sangatlah kuat. Dari urutan sanad, imam ini menempati rangkaian ketiga dari seluruh sanad yang ia miliki dari gurunya yang bersambung ke Rasulullah. Ketiga gurunya yaitu Abdurrahman bin as-Sulami, Zirr bin Hubaisy dan Sa’ad bin Iyas.

Kemudian, Abdurrahman bin as-Sulami mendapatkan qiraahnya melalui lima sahabat senior yakni Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit. Lalu Zirr bin Hubaisy mendapatkan qiraahnya melalui Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Sementara Sa’ad bin Iyas mendapatkan qiraahnya melalui Abdullah bin Mas’ud saja. Persambungan sanad melalui Abdurrahman bin as-Sulami inilah yang menyebabkan sanad imam ‘Ashim sangatlah kuat.

Faktor kedua, pengaruh Ibnu Mujahid yang membakukan qiraat tujuh dan peran penyalinan mushaf serta percetakan. Seusai  pembakuan tujuh qiraat oleh Ibnu Mujahid, hanya empat bacaam imam yang bertahan. Setelah itu persebaran agama Islam semakin kuat dan qiraat Ashim riwayat Hafs disebut sebagai bacaan paling mudah.

Hingga ada teknologi percetakan, pada tahun 1694 percetakan Abraham Hincklemann di Hamburg, Jerman mencetak secara sempurna mushaf Al-Qur’an. Mushaf ini lengkap menggunakan huruf Arab yang disertai dengan tanda baca, tanda huruf, dan penomoran ayat. Dan qiraah yang digunakan dalam percetakan ini adalah qiraat Ashim riwayat Hafs.

Baca Juga: Sejarah Pencetakan Al-Quran dari Italia hingga Indonesia

Faktor Ketiga, kebijakan pemerintah Mesir pada tahun 1924/1925 untuk mencetak dan menyebar luaskan ke seluruh penjuru dunia. Saat itu Raja Fuad secara resmi menggunakan qiraat Ashim riwayat Hafs dan dinilai proyek percetakan Al-Qur’an yang berhasil untuk pertama kali. Sehingga mayoritas umat muslim menggunakan gaya bacaan ini, meski mereka tidak menyadarinya.

Adapun di Indonesia, pengaruh-pengaruh tiga faktor tersebut memang kentara terlebih setelah beredar mushaf cetak. Namun sebelum adanya mushaf cetak itu, manuskrip mushaf kuno pun mayoritas menggunakan qiraat ini dan terkadang ada yang mencantumkan varian qiraat lain di pinggir halaman.

Seiring berjalan waktu, penggunaan mushaf cetak semakin dominan sampai saat ini hanya menggunakan satu qiraah saja, yakni qiraah Ashim riwayat Hafs. Wallahu a’lam bi al-shawab