Beranda blog Halaman 517

Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

0
Berprasangka Baik
Berprasangka Baik Tafsir Surat Al Hujurat Ayat 12

Telah disebutkan sebelumnya bahwa langkah awal dalam toleransi beragama adalah menyadari keniscayaan perbedaan antar sesama manusia. Perbedaan meniscayakan toleransi dan interaksi antar identitas, baik suku maupun agama dalam berbagai aspek. Selanjutnya pada artikel ini akan dibahas tentang pentingnya berprasangka baik dalam rangka toleransi beragama.

Dalam keseharian sebagian umat Islam, mereka memiliki pola interaksi “tertentu” terhadap umat agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani. Seringkali pola interaksi tersebut didominasi oleh mosi ketidakpercayaan dan prasangka negatif terhadap pemeluk agama lain, seperti anggapan bahwa semua orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela sampai umat Islam mengikuti ajaran mereka.

Mosi ketidakpercayaan atau prasangka negatif ini kemudian menimbulkan ketidaksukaan secara tidak langsung di dalam hati mereka dan mereka sulit untuk berprasangka baik. Akhirnya, dalam masyarakat multikultural seringkali timbul “sekat sosial” yang membatasi interaksi antara umat Islam dengan umat-umat agama lain. Bahkan terkadang menimbulkan kebencian mendalam yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Sikap mereka tersebut didasarkan pada Firman Allah Swt:

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 120)

Menurut Quraish Shihab, ayat ini sering “disalahpahami” sebagai bukti bahwa semua orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela hingga kaum muslimin mengikuti agama mereka. Pemahaman ini tidak sejalan dengan redaksi dan munasabah ayat serta berbeda jauh dengan penafsiran yang dikemukakan oleh ulama tafsir terdahulu seperti Fakhruddin al-Razi, Jalaluddin al-Syuyuti dan Ibn ‘Asyur (Tafsir Al-Misbah [1]: 307-309).

Singkatnya, Ayat di atas tidak bisa dijadikan sebagai landasan bahwa semua Ahl al-Kitāb berusaha untuk meng-Kristen-kan umat Islam, apalagi me-Yahudi-kannya, karena agama Yahudi bukan agama misi (non-missionary religion). Mungkin ada sebagian dari mereka yang berusaha untuk melakukan kristenisasi dan hal ini tidak dapat disangkal, namun bukan berarti ayat ini berbicara tentang permasalahan tersebut sebagaimana dituduhkan sebagian kelompok.

Sebenarnya, ayat ini bertujuan untuk menghilangkan kerisauan Nabi Saw disebabkan keengganan orang-orang Yahudi untuk beriman kepada beliau, karena disebutkan bahwa beliau sangat menginginkan keimanan seluruh manusia. Ini berkorelasi dengan ayat sebelumnya yang mengatakan bahwa tugas nabi hanya menyampaikan berita gembira dan peringatan, sedangkan persoalan mereka beriman atau tidak merupakan urusan mereka dengan Allah Swt.

Kemudian, penggabungan kata lan dan lā pada ayat tersebut menunjukkan bawha pe-nafi-an tidak mengandung makna selama-lamanya, sehingga dapat diterjemahkan “tidak akan rela atau tidak rela orang Yahudi dan Nasrani.” Lebih jauh menurut Quraish Shihab, yang dimaksud Yahudi dan Nasrani pada ayat di atas adalah orang-orang tertentu di antara mereka, bukan semua Ahl al-Kitāb, karena sejarah mencatat ada sebagian orang dari bani Israil yang memeluk agama Islam.

Pentingnya Berprasangka Baik Terhadap Sesama Manusia

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, berprasangka baik adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh masyarakat, karena tanpanya keharmonisan dan kedamaian hanya menjadi sebuah ungkapan belaka dan tidak akan terealisasi. Dengan berprasangka baik, seseorang juga dapat membersihkan hati dari berbagai penyakit batin seperti berprasangka negatif yang seringkali merupakan bisikan setan (waswas al-syaitan)

Berkenaan dengan prasangka negatif, Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ١٢

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS.Al-Hujurat [49]: 12)

Ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam secara sungguh-sungguh agar menjauhi berprasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki indikator memadai, karena sebagian besar prasangka yang tidak memiliki landasan tersebut adalah perbuatan dosa. Maksudnya, seorang muslim dilarang memiliki prasangka negatif, terutama jika prasangka tersebut tidak memiliki bukti yang kuat atau sebatas asumsi (dugaan) saja (Tafsir Al-Misbah [13]: 257-258).

Selain itu, umat Islam juga dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini disebutkan pada ayat berkaitan dengan prasangka buruk karena tidak jarang su’uan mengarah kepada upaya mencari tahu keburukan atau kesalahan orang yang menjadi korban prasangka buruk. Lebih jauh, Al-Qur’an juga melarang membicarakan kesalahan atau aib orang lain, karena hal itu sama saja dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Dalam kehidupan bermasyarakat, prasangka buruk wajib dihindari kecuali berkaitan dalam hukum-hukum pidana. Dengan begitu, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan menghabiskan energi kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat dari kekacauan yang diakibatkan prasangka buruk.

Prasangka buruk juga tidak semestinya dilakukan dalam konteks kehidupan beragama, karena akan berakibat pada ketidaksukaan dan kebencian yang terkonstruksi. Mungkin sebagian non-muslim memiliki tujuan tertentu terhadap umat Islam, namun bukan berarti semua non-muslim patut dicurigai secara membabi buta tanpa bukti yang kuat. Oleh karena itu, umat Islam semestinya berprasangka baik terhadap non-muslim, terutama mereka yang memang ingin hidup damai (Dzimmi). Wallahu a’lam.

Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara

0
4 presiden Indonesia
4 presiden Indonesia

Artikel ini berkisah tentang empat presiden Indonesia yang berperan dalam dunia permushafan di Indonesia. Empat presiden itu adalah Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gus Dur. Tentu kisah mereka berbeda-beda namun peran mereka meninggalkan jejak yang berharga bagi khazanah mushaf nusantara.

Soekarno dan Mushaf Pusaka

Kita mulai dari kisah Soekarno, presiden pertama. Soekarno memilik peran dalam penulisan mushaf pusaka yang saat ini ada di Museum Bayt Al-Qur’an Taman Mini Indonesia Indah. Di leaflet yang mendeskripsikan mushaf pusaka, menyebut bahwa mushaf ini diprakarsai oleh Bung Karno.

Begini keterangan itu berbunyi,

Al-Qur’an Mushaf Pusaka

‘’Mushaf ini ditulis oleh Prof.Drs.H. Salim Fachri, Guru Besar IAIN Jakarta. Jenis mushaf  sudut, ukuran teks 50 x 80 cm. Penulisan mushaf ini diprakarsai oleh Bung Karno, dengan kurator khattat K.H. Abdurrazaq Muhilli. Penulisannya dimulai pada 24 Juli 1948, 17 Ramadhan 1367 H, dan selesai pada 15 Maret 1950. Huruf  ba’ sebagai huruf pertama Basmalah ditulis oleh Bung Karno, dan sin sebagai huruf terakhir pada surah an-nas digoreskan oleh Bung Hatta.’’


Baca juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i


Dalam berbagai literatur, sebenarnya yang memiliki ide justru seorang ulama yang bernama Abu Bakar Atjeh. Ulama yang sekaligus pegawai departemen Agama ini mencatat awal mula proyek penulisan mushaf pusaka, mendokumentasikan pendirian Yayasan Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka, bahkan turut menulis buku sejarah Al-Qur’an yang mengiringi adanya penulisan mushaf monumental ini.

Namun, usaha Abu Bakar Atjeh ini dapat berjalan hingga selesai juga atas dukungan Bung Karno. Dalam catatan yang dibuat Abu Bakar Atjeh, ia pernah berdiskusi dengan mertua Bung Karno Hasandin, ayah dari Fatmawati terkait rencana penulisan mushaf ini. Respon pun datang menyambut dengan baik hingga akhirnya pada 24 Juli 1948 atau 17 Ramadhan 1367 H pemerintahan Soekarno menyelenggarakan peringatan nuzulul Qur’an.

Di acara nuzulul Qur’an ini lah, Soekarno secara seremonial meresmikan proyek penulisan mushaf Pusaka. Ada pun tanda peresmian itu ditunjukkan dengan goresan huruf ba’ sebagai huruf pertama basmalah oleh Bung Karno. Sementara Bung Hatta menggoreskan huruf mim di basmalah.

Sesungguhnya leaflet yang ditampilkan di atas, memiliki beberapa catatan karena memungkinkan adanya kesalahan. Kesalahan itu seperti tahun selesai penulisan mushaf, bukan tahun 1950 melainkan 1960. Kemudian Bung Hatta semestinya tidak mungkin menggores huruf sin dalam surat An-Nas, karena saat itu baru penggoresan pertama. Bisa saja Bung Hatta menggoreskan huruf mim dalam basmalah.

Kemudian penulisan ini mengalami berbagai pasang surut problem internal, namun pada 15 Maret 1960 dalam peringatan nuzulul Qur’an mushaf ini resmi diluncurkan. Dalam peresmian ini, Soekarno berpidato dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Abu Bakar Atjeh yang mendampingi hingga selesai.


Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani


Untuk keterangan lebih lanjut, khususnya tentang autentisitas mushaf pusaka ini, penulis pernah memublikasi dalam Journal Quhas UIN Syarif Hidayatullah dengan judul Eksistensi Qur’an Pusaka dalam Perkembangan Mushaf Indonesia”. 

Soeharto dan Mushaf Prakarsanya

Kisah kedua tentang Soeharto. Presiden kedua ini berkontribusi penting atas projek penulisan Mushaf Istiqlal dan Mushaf Tien. Selain itu, Soeharto juga membangun museum Bayt Al-Qur’an di TMII dan menyelenggarakan dua kali festival Qur’ani dengan tajuk Festival Istiqlal.

Penulisan Mushaf Istiqlal secara resmi dimulai saat Festival Istiqlal I pada 15 Oktober 1991 (7 Muharram 1412 H). Mushaf yang dikerjakan selama 4 tahun ini digawangi oleh para khattat handal. Mereka yaitu KH Abdurrazaq Muhili (perancang pola), HM Fa’iz AR (ketua), M Abdul Wasi AR, H Imron Ismail, Baiquni Yasin, Mahmud Arham, Islahuddin (anggota), serta HM Idris Pirous (asisten). Sementara tim iluminasi terdiri atas para pakar desain grafis ITB (Institut Teknologi Bandung).

Akhirnya mushaf ini diluncurkan oleh Presiden Soeharto saat Festival Istiqlal II pada 23 September 1995 (27 Rabi’ul Akhir 1416 H). Sebelum diresmikan, mushaf ini telah mengalami pentashihan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen (sekarang Kementerian) Agama RI, selesai pada 6 Juni 1995 (7 Muharam 1416).

Adapun mushaf Tien, merupakan mushaf yang diprakarsai oleh Soeharto untuk mengenang almarhum istrinya Tien Soeharto. Antara mushaf Istiqlal dan Mushaf Tien, keduanya sama-sama memberikan ornamen khas kebudayaan Indonesia.

Terkait dua mushaf ini, silahkan baca lebih lanjut dalam artikel yang dibuat oleh Ali Akbar dan Athoillah, peneliti mushaf di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an sebagai berikut. Bisa klik di sini.


Baca juga: Membaca Al-Quran Untuk Pamer, Simak Peringatan Nabi Berikut!


Habibie dan Gus Dur: Peran yang Berbeda

Habibie dan Gus Dur memiliki peran yang berbeda terkait mushaf Al-Qur’an. Habibie, presiden ketiga ikut andil dalam projek penulisan mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi yang diprakarsai oleh HB.Jassin. Mushaf yang kemudian sempat heboh karena kontreversial ini, didanai secara tidak langsung oleh BJ Habibie saat masih menjadi Menristek era Soeharto.

Kisah ini dituturkan oleh penulis mushaf itu langsung, yakni Didin Sirajuddin pengasuh Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an yang terekam dalam artikel yang publis di Republika “Habibie, HB Jassin: Kisah Naik Haji dengan Menulis Alquran”

Didin Sirajuddin mengisahkan bahwa semula HB Jassin menanyakan harga penulisan mushaf tersebut, dan Didin menjawab 15 juta karena akan digunakan untuk haji bersama istrinya. HB. Jassin merasa keberatan, karena pada tahun 1993 uang 15 juta merupakan uang yang sangat besar. Singkat cerita, sastrawan ini menghibahkan 40.000 buku sastra ke Pusat Dokumentasi Sastra di Taman Ismail Marzuki dan ia pun mendapatkan uang dari Habibie sebesar 25 juta, dan berhasil menghajikan Didin yang menulis mushaf tersebut.

Adapun peran Gus Dur sangat berbeda dengan pendahulunya. Gus Dur justru mengoleksi berbagai manuskrip kuno pesantren dan menghibahkan ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Total ada 67 manuskrip dan 12 di antaranya adalah mushaf Al-Quran. Saat itu Gus Dur belum menjadi presiden, namun sebagai Ketua Umum PBNU. Manuskrip mushaf itu, saat ini bisa diakses secara langsung di Perpusnas lantai 9.

Keempat presiden yang telah disebutkan tadi, memiliki peran yang mampu mewarnai khazanah mushaf Nusantara. Tidak hanya terbatas pada penulisan mushaf, namun juga pada tahap pelestarian. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan juga berperan dan berposisi strategis dalam mewariskan mushaf Al-Qur’an untuk generasi selanjutnya. Layaknya Usman bin Affan yang memiliki peran penting dalam menentukan keseragaman mushaf di dunia Islam.

Semoga berkah.

Wallahu a’lam bi al-shawab  

 

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran

0
Saling Menghina
Larangan Saling Menghina dalam Al-Quran credit: @ayat_el_quraan

Fenomena saling menghina dan merendahkan di dunia digital di Indonesia sejatinya lahir dari adanya rasa “paling” dari diri masing-masing individu maupun kelompok. Rasa “paling” ini bisa berbentuk “paling benar”, “paling mampu”, “paling baik” dan lain sebagainya. Ironisnya, banyak dari fenomena-fenomena tersebut yang melibatkan umat Islam di dalamnya.

Tentu Islam sebagai agama yang membawa kedamaian tidak sekalipun mengajarkan hal yang demikian. Islam justru melarang dan mengancam umatnya yang gemar menghina dan merendahkan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 11:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Berdasarkan makna leksikal dari ayat di atas saja, sebenarnya sudah bisa didapatkan bagaimana Islam mengajarkan betapa terlarangnya perilaku saling menghina dan merendahkan. Namun untuk lebih memperdalamnya maka mari simak beberapa penjelasan mufassir mengenai ayat tersebut.

Penafsiran Ayat

Dalam tafsir al-Alusi, seorang mufassir yang biografi ringkasnya bisa dilihat di Instagram tafsiralquran.id, ditemukan beberapa uraian penjelasan lanjutan dari beberapa redaksi dalam ayat ini.

Pada redaksi (يَسْخَرْ), al-Alusi memaknainya sebagai al-huz’u yakni memandang orang lain dengan pandangan serba kekurangan sehingga ada celah untuk saling menghina. Al-Alusi juga memberikan beberapa contoh sukhriyah (penghinaan) yang ia kutip dari al-Qurthubi yaitu menertawakan seseorang tatkala sedang berbicara dan membuat kesalahan atau karena profesinya maupun hasil kerjanya atau karena buruknya rupa yang dihina.

Maka sebagaimana dikatakan di awal bahwa sikap mudah menghina itu muncul tatkala seseorang telah dirasuki rasa “paling”. Sebab perasaan itu akan membuat dirinya mudah untuk melihat kekurangan orang lain dan susah melihat kekurangan dirinya sendiri.

Selanjutnya pada redaksi (عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ /عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ) al-Alusi mendiskripsikan redaksi ini sebagai penyebab mengapa dilarang untuk menghina dan merendahkan. Hal ini dimaksudkan dari sisi derajat orang yang dihina di mata Allah. Sebab bagaimanapun hanya penglihatan Allah-lah yang paling adil dan jernih dalam melihat kualitas makhluknya.

Kemudian redaksi (وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ) Al-Alusi memberikan penjelasan menarik bahwa redaksi ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang muslim menghina muslim yang lain maka seakan ia juga mencela dirinya sendiri. Maka digunakannya lafaz (اَنْفُسَكُمْ) menegaskan bahwa perilaku menghina dan merendahkan bukan hanya berdampak negatif bagi objek yang disasarkan melainkan juga turut mengenai subjek yang melakukan.

Oleh karena itu jika ada kelompok-kelompok umat Islam yang saling menghina, maka yang merasakan dampak negatifnya tidak hanya kelompok-kelompok tersebut. Namun Islam sebagai payung yang mereka bawa juga turut serta terkena imbasnya. Citra Islam sebagai agama yang membawa kedamaian bisa saja luntur akibat ulah penganutnya yang gemar menyulut api perpecahan dengan berperilaku suka menghina dan merendahkan.

Pada redaksi (وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِ) al-Alusi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laqab (gelar) dalam redaksi ayat tersebut ialah laqab yang buruk. Maka pemberian gelar-gelar panggilan kepada orang lain yang sifatnya penghormatan dan tidak dengan tujuan merendahkan dikecualikan (diperbolehkan). Seperti halnya Gus Baha’ yang digelari “manusia al-Qur’an”, maka itu sah-sah saja. Dan bentuk terburuknya terdapat pada redaksi selanjutnya (بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِ), menyebut seorang muslim sebagai fasiq tanpa ada tujuan selain menghina dan merendahkan.

Redaksi terakhir dari ayat ini (وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ) memberikan penegasan bahwa perilaku menghina dan merendahkan merupakan bagian dari tindak kedzaliman. Maka seseorang yang melakukan tindakan negatif tersebut haruslah bertaubat dan tidak mengulanginya. Sebab itu adalah aturan agama yang seharusnya dipergunakan untuk menjadi pedoman kehidupan dan bagi yang melanggarnya terdapat konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan baik di dunia (terjerat pasal undang-undang) maupun di akhirat.

Ada beberapa poin pokok penafsiran yang dapat diuraikan dan dijadikan sebagai pedoman dalam mencegah perilaku suka menghina dan merendahkan. Pertama, mencegah diri dari rasa “paling” dengan selalu melakukan muhasabah (penilaian diri) sebelum menilai orang lain. Kedua, menanamkan keyakinan dalam hati bahwa hanya Allah yang mengetahui hakikat kualitas masing-masing individu serta meyakini bahwa masing-masing individu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan

Ketiga, memikirkan dampak bahwa perilaku menghina dan merendahkan akan menghasilkan rantai penghinaan dan perendahan, sebab itu merupakan bentuk balasan di dunia bagi perilaku manusia. Keempat, memikirkan dampak dari perilaku suka menghina dan merendahkan terhadap citra Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan menjunjung kerukunan. Kelima, selalu mengutamakan sopan-santun dalam berkehidupan sosial, salah satunya dengan tidak menyebut orang lain dengan gelar-gelar negatif.

Terakhir, menjaga kerukunan dengan tidak saling menghina dan merendahkan (mengedepankan humanisme) merupakan hal yang wajib dilakukan dalam status sebagai umat beragama maupun sebagai masyarakat Indonesia. Sebab kerukunan akan membawa pada persatuan, dan persatuan akan mewujudkan etos kerakyatan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (hilangnya kesenjangan dalam kehidupan sosial). Wallahu a’lam.

Membaca Al-Quran Untuk Pamer, Simak Peringatan Nabi Berikut!

0
Membaca Al-Quran untuk pamer
Membaca Al-Quran untuk pamer

Memiliki sesuatu yang istimewa kadang membuat orang merasa bahwa ia bisa berbuat sesukanya. Ia lupa bahwa yang ia miliki adalah karunia Allah dan harus ia pertanggung jawabkan penggunaannya. Memiliki harta semisal, kadang membuat orang khilaf memandang orang miskin dengan pandangan hina. Padahal dengan harta itu ia mempunyai tanggung jawab berbagi. Semua hal yang istimewa bisa membuat orang lalai, tak terkecuali karunia berupa dapat membaca Al-Quran dengan baik yang akhirnya tujuan membaca Al-Quran untuk pamer.

Memiliki hafalan Al-Quran atau hanya sekedar bakat membaca Al-Qur’an dengan baik kadang juga membuat khilaf, memandang masyarakat yang minim agamanya dengan pandangan sebelah mata. Merasa bahwa bacaan Al-Quran yang dikuasainya adalah sesuatu yang dapat ia gunakan sekehendak hatinya, sampai merasa bahwa ia paling paham tentang Al-Quran, sebab sudah merasa seperti membawa Al-Qur’an kemana-mana. Tidak jarang orang tersebut kemudian membaca Al-Quran untuk pamer.

Baca Juga: Inilah 4 Keutamaan Membaca Al Quran dalam Pandangan Hadis

Hadis Tentang Orang Yang Pamer, Suka Menjual Serta Mempolitisir Al-Qur’an

Imam Al-Bukhari dalam Sahih ِAl-Bukhari membuat satu bab khusus tentang hal ini, dengan judul:

بَابُ إِثْمُ مَنَ رَأَى بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ تَأَكَّلَ بِهِ أَوْ فَجَرَ بِهِ

(Bab dosanya orang yang pameran dengan bacaan Al-Qur’an, mencari makan dengan hasil membaca Al-Qur’an, atau melakukan sesuatu yang keji dengan bacaan Al-Qur’an.)

Dalam bab ini, Imam Bukhari mencantumkan tiga hadis. Salah satunya diriwayatkan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib dan berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « يَأْتِى فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الأَسْنَانِ ، سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، لاَ يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ ، فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Aku mendengar Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: “Kelak di akhir zaman ada sekelompok orang yang berusia muda, dungu pikirannya, mereka mengucapkan firman Allah dan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak sampai melewati tenggorokan mereka. Apabila kalian bertemu mereka, maka bunuhlah mereka. Membunuh mereka merupakan pahala bagi pembunuhnya di hari kiamat”  (H.R Bukhari).

Imam Al-Munawi menjelaskan, maksud dari “iman tak sampai melewati tenggorokan” adalah, bacaan mereka tidak sampai hati mereka (Faidul Qadir/4/166). Sedang Ibn Hajar menjelaskan lafad tersebut sebagai membaca Al-Qur’an sembari mengimani lewat ucapan, tidak dengan hati (Fathul Bari/19/385). Imam An-Nawawi menjelaskan lebih detail. Maksud “iman tak sampai melewati tenggorokan” adalah, yang mereka lakukan hanya sekedar menjadikan Al-Qur’an ada di mulut mereka, membaca Al-Quran untuk pamer, dan tidak sampai melewati tenggorokan terlebih sampai ke hati (Faidul Qadir/4/166). Ini menunjukkan bahwa ia tidak sampai meresapi atau memahami apa yang sedang ia baca.

Hadis ini sering dikaitkan dengan perilaku kaum Khawarij. Mereka adalah orang seakan-akan paling salih sebab hafal Al-Quran, rajin salat malam serta berpuasa, tapi bertindak tidak sesuai dengan ajaran Islam. mereka bertindak dengan akal pikiran mereka yang secara dangkal memahami ajaran Islam. sehingga sering menggunakan firman Allah yang sudah pasti benar, demi mendukung tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya batil.

Baca Juga: Menangis saat Membaca Al Quran, Sikap Lebay atau Ada Ajarannya?

Mendasari Perilaku Dengan Tujuan Yang Tak Baik

Imam Ibn Katsir menjelaskan, hadis di atas adalah salah satu hadis yang memperingatkan tidak membaca Al-Quran untuk pamer, karena membaca Al-Quran merupakan ibadah paling agung. Lebih keras lagi diingatkan bahwa orang yang pamer dengan bacaan al-Qur’an dapat dihukum mati, sebab tujuan pamer tersebut, atau sebenarnya mereka tidak bertujuan pamer, hanya saja sudah sejak awal niat mereka untuk mengumbar bacaan Al-Qur’an. Inipun niat yang keliru (Fadhailul Qur’an/173).

Ibn Katsir menyamakan orang yang membaca Al-Qur’an dengan niat yang keliru, sebagaimana kasus dirobohkannya Masjid Dlirar. Dimana meski Masjid Dlirar sebagai sebuah tempat adalah tempat yang mulia. Namun pembangunannya yang didasari tujuan politis berupa adu domba diantara umat Islam, menjadikannya ia pantas untuh dirobohkan. Dan Allah melarang untuk mempergunakan tempat itu sebagai ibadah. Allah berfirman mengenai Masjid Dlirar:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ () لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ () أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim (Q.S at-Taubah [9] 107-109).

Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?

Sebagaimana masjid bisa digunakan untuk tujuan pribadi, orang yang berdalil dengan Al-Qur’an pun begitu. Berdalil dengan Al-Quran tanpa tujuan ihklas untuk menyampaikan firman Allah, maka bisa menimbulkan perpecahan umat Islam. Bahkan sampai menciderai jiwa, harta serta kehormatan umat Islam. Nabi Muhammad memerintahkan kita untuk tidak gemar mengumbar bacaan Al-Quran demi tujuan pribadi, terlebih membaca Al-Quran untuk pamer.

Inilah Alasan Mengapa Umat Islam Harus Mengenal Rasulullah SAW

0
mengenal rasulullah saw
mengenal rasulullah saw (alif.id)

Banyak para pujangga Arab yang telah menggoreskan penanya untuk riwayat hidup dan sanjungan-sanjungan kepada Rasulullah saw. Bentuknya pun beragam, dari yang berupa narasi hingga bait-bait syair. Demikian diantara tujuan mereka ialah untuk mengenalkan Rasulullah saw. kepada umatnya, sehingga tertanam kecintaan dan mudah untuk meneladaninya.

Sirah sejarah hidup dan akhlak mulia Nabi Muhammad saw. yang biasa dibaca masyarakat Indonesia antara lain; Maulid al-Barzanji, Simtut dhurar, ad-Daiba’I, ad-Dhiya’u Lami’, dan Qashidah al-Burdah. Dengan membacanya dan menghayati kandungannya, seseorang tidak hanya mendapatkan pengetahuan untuk meneladani sang Rasul. Tapi juga akan tumbuh girah baru dalam menegakkan syiar-syiar agama Islam.

Jika kita menilik sejarah penulisan kitab-kitab maulid tersebut, maka akan menemukan kisah-kisah inspiratif penggugah jiwa. Misalkan aspek kesejarahan maulid al-Barzanji. Kitab ini merupakan kitab terbaik pada sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Kegiatan ini diprakarsai oleh Shalahudin al-Ayyubi pada perayaan maulid nabi yang pertama kali pada 580 H.  untuk membangkitan kembali semangat juang umat Islam melawan tentara salib Eropa.   

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka dengan perayaan maulid nabi. Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Baca juga: Tafsir Surah Al Nahl Ayat 125: Metode Dakwah Rasulullah SAW

Sadar dan mengenal Rasulullah merupakan perintah Allah swt. Disebutkan dalam firman-Nya (QS. Al-Hujurat [49]: 05),

 وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ

“dan ketahuilah, bahwa ditengah-tengah kalian ada Rasulullah …”.

Mengenal Rasulullah adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat mengamalkan Islam secara sempurna. Kehadirannya memberikan panduan dan bimbingan kepada kita bagaimana cara mengamalkan Islam. Dengan demikian, wawasan tentang Rasulullah merupakan keperluan bagi seorang muslim sebagai metode atau cara mendekatkan diri kepada Allah swt.

Wajibnya seorang muslim mengenal Rasulullah ini sesuai pendapat Abdullah Sirajuddin, seorang Ahli tafsir dan hadits dari Suriah, dalam kitabnya tentang riwayat hidup Rasulullah saw. (Sayyiduna Muhammad saw. hlm. 3).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Beliau menyebutkan, setidaknya ada lima alasan mengapa setiap orang Mukallaf harus mengetahui kepribadian Rasulullah saw, yaitu:

Pertama: perintah untuk iman kepada Rasulullah (QS. At-Taghabun [64]: 08). Keimanan kepada Rasulullah saw membutuhkan pengetahuan seorang hamba terlebih dahulu tentang sosok yang diimani. Dan rasa-rasanya tidak mungkin seseorang dipercaya  oleh manusia sekalian  sebagai utusan Allah jika ia tidak diketahui latarbelakangnya, kepribadian dan keistimewaan yang Allah berikan kepadanya.

Kedua: perintah untuk mengikuti Rasulullah (QS. Al-Baqarah [02]: 31). Pada ayat ini Allah swt. menjadikan peneladanan Rasulullah saw. sebagai dalil kecintaan kepada Allah. Dan seseorang tidak dapat meneladani rasulullah tanpa mengetahui perkataannya, perilakunya dan akhlak mulianya. Maka dari itu, dahulu para sahabat betul-betul memperhatikan rasulullah saw. pada setiap tingkanya dan mengikutinya secara sempurna, kecuali hal-hal yang terkhususkan bagi Rasulullah saw.

Ketiga: perintah untuk mencintai Rasulullah di atas kecintaan kepada orang tua, anak, isteri, keluarga, dan harta. Serta adanya ancaman siksa bagi siapapun yang melanggarnya. (QS. At-Taubah [09]: 24). Faktor kecintaan itu tumbuh dari tiga hal; keindahan, kesempurnaan, dan kedermawanan. Ketiga-tiganya terdapat pada diri Rasulullah saw., ‘karena jika tak kenal, maka tak sayang’, maka menelaah dan menambah wawasan tentang Rasulullah menjadi keharusan. Semakin bertambah pengetahuan tentang kebaikan sang kekasih, makin bertambah pula kecintaan kepadanya.

Baca juga: Trend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

Keempat: seseorang yang menelaah keagungan sifat-sifat Rasulullah dan kepribadiannya yang mulia, niscaya akan tergambar sosoknya di dalam hati, hingga kemudian terbayang dengan jelas seakan-akan melihatnya.

Kelima: pembacaan riwayat hidup Rasulullah dan mendengarkan sifat-sifatnya dapat menghidupkan hati, membangkitkan jiwa, dan menambah kerinduan bagi para pecintanya.

Semoga dengan banyak membaca sirah Nabi Muhammad saw., juga menghayati dan meneladani sunah-sunahnya kita semakin dekat dengannya di dunia maupun di akhirat kelak. Al-Habib Umar bin Hafidz berkata;  

المرء من حيث قلبه لا من حيث جسده

“seseorang itu dilihat (dimana) keberadaan hatinya, bukan (dimana) keberadaan jasadnya”.

Wallahu A’lam.

Inilah Golongan yang Boleh Mengumpat dalam Al Quran

0
mengumpat
mengumpat

Masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda sempat digegerkan dengan larangan mengucapkan istilah “anjay”. kata tersebut diyakini memberi dampak yang buruk bagi kehidupan sosial karena dianggap mengumpat. Sedangkan bagi sebagian lain berpendat bahwa tidak ada konotasi yang negatif di dalamnya.

Memang semua kata kotor tidak bisa dibenarkan oleh norma hingga agama. Hal ini dikarenakan semua ucapan tersebut bisa menyakiti perasaan orang. Namun, dalam Al Quran ternyata ada golongan yang dibolehkan untuk mengumpat.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Mewarisi Pekerti Adiluhung Rasulullah SAW

Tafsir QS. an-Nisa’ ayat 148-149

Mengumpat ialah perkataan yang menjelekan orang lain dengan kata yang keji dan celaan yang keras. Perilaku tersebut biasanya muncul dari orang yang jengkel, kecewa dan sebagainya. Akan tetapi dalam Al Quran perbuatan tersebut bisa dibolehkan bagi orang yang terdzalimi. Ayat yang menyatakan demikian yakni:

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

 إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali bagi orang-orang yang terdzalimi, dan Allah adalah Maha Mengetahu lagi Maha Mendengar. Jika kamu melahirkan suatu kebaikan atau menyembunyikannya, atau memaafkan suatu kesalahan, maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan Jika kalimat “tidak menyukai” itu datangnya dari Allah, maka bermakna tidak meridloi hingga tidak memberi pahala. Bahkan menjatuhkan sangsi atas pelaku sehingga kata tersebut bermakna pelarangan. Adapun yang dimaksud perkataan kotor dalam ayat tersebut ialah perkataan buruk yang dilakukan secara terang-terangan yakni yang jelas bagi pendengaran dan penglihatan. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah juz 2, hal 634)

Allah sangatlah benci terhadap perkataan kotor. Sebaliknya, yang disukai-Nya ialah perkataan yang sopan, tidak menyinggung dan merusak akhlak seperti dijelaksan pada ayat ke 149. Namun, pada ayat tersebut terdapat pengecualian yakni bagi orang-orang yang teraniaya maka diperbolehkan untuk mengatakan keburukan (mengumpat).

Hamka dalam tafsirnya menyatakan bahwa pengecualian tersebut merupakan rukhshah bagi yang teraniaya. Apabila doa keburukan dan cacian itu ditujukan kepada si penganiaya, maka tidak dibenci oleh-Nya. Lebih lanjut ia mengambil contoh dalam kasus persidangan dimana pihak yang dirugikan berhak menceritakan keburukan pelaku penganiaya. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan perlindungan hak (Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 1, hal 6)

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

Sebab turunnya ayat

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menukil riwayat Abdur Razaq yang menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang bertamu kepada orang lain. Tetapi, tuan rumah tersebut tidak memberikan jamuan. Setelah ia keluar, maka ia ceritakan kepada semua orang bahwa ia tidak diberi hak jamuan. itulah yang dimaksud perkataan buruk yang diucapkan secara terang terangan. Dan perbuatan tersebut tidak Allah senangi (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quranul Adzim, juz 2)

Ibnu kathir juga mencantumkan hadis riwayat Ahmad:

عَنِ الْمِقْدَامِ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “أَيُّمَا مسلمٍ ضَافَ قَوْمًا، فَأَصْبَحَ الضَّيْفُ مَحْرُومًا، فَإِنَّ حَقًا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ نَصْرَه حَتَّى يَأْخُذَ بقِرى لَيْلَتِهِ مِنْ زَرْعِهِ وَمَالِهِ”

“Dari Miqdam bin Abi Karimah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “siapa saja diantara muslim yang bertamu kepada suatu kaum. Lalu tamu itu tidak mendapat jamuan, maka wajib bagi setiap muslim untuk menolong tuan rumah. Hingga ia mengambil jamuan malamnya dari ladang dan hartanya” (HR. Ahmad)

Dari dua riwayat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa untuk menghindari tamu mencela secara terang-terangan, saudara sesama muslim harus membatu tuan rumah. Dari hadis itu kita dapat pahami, Islam tidak hanya memberi larangan, melainkan juga memberi solusi agar hal itu tak terulang kembali.

Mengumpat boleh, tapi memafkan lebih utama

Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa yang dibolehkan mengumpat ialah bagi korban penganiayaan dalam rangka mendapat perlindungan. Namun jika merujuk pada ayat berikutnya justru Allah menawarkan pilihan lain dan lebih baik yakni memberikan maaf atas kesalahan.

Allah swt mempersilahkan umat manusia untuk melakukan perbuatan baik, meskipun itu dilakukan secara terang-terangan atau secara sembunyi. Karena tindakan itu dicintai Allah SWT. Di sini manusia diberi kebebasan memilih karena ada kalanya kebaikan perlu ditampakan dan ada pula yang lebih bermanfaat jika disembunyikan.

Baca juga: Ini Makna Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan Menurut Mufassir

Secara keseluruhan. Kita sebagai manusia memang dituntut untuk lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Semisal dalam kondisi teraniaya, meskipun kita diperbolehkan berkata keburukan, namun ada yang lebih utama dari itu, yakni memaafkan semua kesalahan. Wallahu A’lam

Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

0
Toleransi Beragama
Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Topik toleransi beragama belakangan ini hangat diperbincangkan, terutama berkenaan dengan toleransi antara agama. Hal ini dilakukan sebagai sarana merajut kembali harmoni sosial-keagamaan yang carut-marut akibat kontestasi politik yang menyebabkan banyak konflik, intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Fenomena tersebut jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat pada rusaknya kerukunan beragama

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dimaknai sebagai sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dengan demikian, toleransi adalah sikap menghargai seseorang terhadap orang lain mengenai aspek yang berbeda dengannya.

Dalam bahasa Arab, toleransi diterjemahkan sebagai al-tasāmuh atau al-samāhah. Kata ini berasal dari kata samaha yang bermakna mengizinkan, membolehkan, membiarkan, memberi hak dan menyetujui. Selain itu, kata samhun juga dapat diartikan sebagai murah hati, dermawan, pemaaf dan besar hati.  Dalam suatu hadis nabi Muhammad Saw pernah menyebutkan bahwa Islam adalah agama al-hanīfiyyah al-samhah, yakni agama yang lurus dan penuh toleransi (Wawasan Al-Qur’an: 67).

Kata al-tasāmuh atau al-samāhah dan derivasinya memang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Kendati demikian, bukan berarti Al-Qur’an tidak mengajarkan tentang toleransi ataupun hal serupa lainnya. Sebaliknya, Al-Qur’an banyak mengajarkan nilai-nilai toleransi melalui kata kunci atau istilah-istilah lain terkait al-tasāmuh atau al-samāhah, seperti al-rahmah, al-afw dan al-shafhu.

Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai panduan atau rambu-rambu toleransi beragama yang Al-Qur’an ajarkan kepada manusia, terutama pembacanya. Panduan tersebut akan memandu pembaca kepada toleransi beragama yang proporsional (sesuai), tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas (bercampur aduk). Dan dengan rambu-rambu tersebut diharapkan dapat tercipta masyarakat yang toleran sebagaimana masyarakat Madinah dahulu.

Kesadaran Akan Keniscayaan Perbedaan

Langkah pertama yang diisyaratkan Al-Qur’an adalah kesadaran akan keniscayaan perbedaan. Tanpa kesadaran ini, maka seseorang tidak mungkin untuk menghargai apalagi menerima perbedaan. Karena ketika dalam benak seseorang terdapat pemahaman bahwa realitas manusia itu tunggal (semua manusia sama), maka realitas yang berbeda dengan realitas dalam benaknya tersebut akan dianggap salah. Bahkan mungkin ada kecenderungan untuk menghapus realitas yang berbeda itu.

Berkenaan dengan keniscayaan ini, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat di atas secara umum berbicara mengenai uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Penggalan pertama Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan menunjukkan bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku yang lain, karena mereka semua sama-sama manusia dan berasal dari satu sumber yang sama (Tafsir Al-Misbah [13]: 261).

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Qur’an

Secara eksplisit ayat di atas juga menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan hanya antar satu bangsa, suku, atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka. Tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan kecuali tingkat ketakwaan mereka.

Berkenaan dengan kesamaan derajat manusia, Rasulullah pernah bersabda, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak juga non-Arab atas orang Arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (HR. al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah)

Selanjutnya pada bagian ayat kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal menunjukkan bahwa dalam kenyataannya manusia itu beragam, baik ras, suku, kebangsaan, warna kulit, maupun jenis kelamin dan sebagainya. Perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang tidak bisa dihindari dan harus diterima dengan bijaksana.

Setelah menyadari keniscayaan perbedaan, manusia seharusnya tidak menjadikan hal tersebut sebagai alat pemecah belah ataupun wadah kesombongan, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk saling mengenal antara satu sama lain. Menurut Quraish Shihab, Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada pihak lain, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Perkenalan itu dibutuhkan untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi (saleh sosial) dan kebahagiaan ukhrawi (saleh ritual) (Tafsir Al-Misbah [13]: 262).

Dalam konteks perbedaan agama dan toleransi beragama, seorang muslim harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas manusia yang tidak bisa dihindari. Dengan kesadaran tersebut, ia semestinya dapat bertoleransi dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain dalam aspek sosial-kemasyarakatan, tanpa membedakan antara sesama muslim dengan non-muslim. Karena pada hakikatnya mereka semua adalah makhluk yang Allah ciptakan.

Singkatnya, seorang muslim wajib meyakini dengan penuh keyakinan terhadap ajaran Islam, namun pada sisi yang lain ia harus menghargai pemeluk agama atau kepercayaan lain sebagai sesama manusia. Ia juga tidak boleh menyombongkan keislamannya dan tidak boleh merasa lebih baik dari manusia lain, karena pada bagian akhir ayat disebutkan Innallāha ‘alīmun khabīr yang berarti Sesungguhnya (hanya) Allah yang mengetahui tingkatan ketakwaan manusia dan hampir mustahil manusia mengetahuinya. Wallahu a’lam.

Pendengaran dan Penglihatan dalam Al-Quran, Bagaimana Mensyukurinya?

0
pendengaran dan penglihatan dalam Alquran
pendengaran dan penglihatan dalam Alquran

Allah Swt menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna dari makhluk lain. Allah membekali manusia dengan indera dan dilengkapi dengan akal, bagian yang tidak diberikan oleh Allah pada makhluk lainnya. Ada dua indera anugerah Allah yang disinggung dalam Alquran sebagai bekal manusia sejak lahir, yaitu pendengaran dan penglihatan. Apa isyarat yang ada di balik informasi penyebutan pendengaran dan penglihatan dalam Alquran tersebut? Allah Swt Berfirman,

وَاللهُ اَخْرَجَ كُمْ مِّنْ بُطُوْنِ اُمَّطهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًاۚ وَّجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.

“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (QS.An-Nahl:78)

Baca Juga: Anugerah Terbesar itu Menjadi Manusia

Kenapa pendengaran disebutkan paling awal?

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa awal penciptaan manusia itu dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Kemudian Allah menciptakan pada manusia pendengaran, penglihatan, dan hati, agar dengan bekal tersebut manusia bisa mendapatkan berbagai macam pengetahuan.

Informasi pertama di balik penyebutan pendengaran dan penglihatan dalam Alquran itu berkaitan dengan urutannya. Pada ayat diatas, kita menemukan suatu redaksi dimana pendengaran mendahului redaksi penglihatan. Ini merupakan hal yang sangat unik untuk kita ketahui bersama. Quraish Shihab menjelaskan dalam Tafsir Al-Misbah, didahulukannya indera pendengaran sebelum indera penglihatan merupakan urutan yang sangat tepat.

Setelah diteliti, ilmu kedokteran mengatakan bahwa saat manusia dilahirkan, indera yang pertama kali berfungsi adalah pendengaran, lalu beberapa hari kemudian barulah penglihatannya mulai berfungsi. Hal ini dibuktikan pada saat seorang bidan mendatangi bayi yang baru lahir lalu menggerakkan jarinya dihadapan bayi itu, maka kelopak matanya akan diam saja, namun pada saat membunyikan sesuatu di dekat telinganya, maka bayi itu akan bergerak atau menangis.

Isyarat lain yang tersirat dari penyebutan pendengaran dan penglihatan dalam Alquran pada ayat di atas dapat dilihat dari bentuk lafad yang digunakan. Kita menemukan redaksi dimana kata mendengar berbentuk mufrad (tunggal), sedangkan untuk kata melihat berbentuk jamak. Alasannya karena menurut penafsiran Quraish Shihab, segala sesuatu yang didengar oleh manusia akan selalu sama, baik yang di dengar dari satu orang maupun dari banyak orang dan dari arah mana saja datangnya suara itu. Sedangkan mengenai apa yang dilihat, posisi dan tempat berpijak seseorang yang berbeda akan menghasilkan informasi pandangan yang berbeda pula.

Baca Juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Sedikit sekali orang yang mau menyukuri anugerah ini

Begitu pentingnya anugerah pendengaran dan penglihatan ini, sampai Allah Swt menghimbau kepada manusia untuk menyukuri anugerah tersebut dengan memanfaatkan keduanya semaksimal mungkin Sungguh sangat merugi ketika potensi ini tidak digunakan dengan baik. Allah Swt berfirman,

قُلْ اَرَاَيْتُمْ اِنْ اَخَذَ اللهُ سَمْعَكُمْ وَاَبْصَارَكُمْ وَخَتَمَ عَلَٰى قُلُوْبِكُمْ مَّنْ اِلٰهٌ غَيْرُ اللهِ يَأْ تِيْكُمْ بِهٖ ۗ اُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الاٰيٰتِ ثُمَّ هُمْ يَصْدِفُوْنَ.

“Katakanlah (Muhammad), ‘terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?’ perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang (kepada  mereka) tanda-tanda kekuasaan (kami), tetapi mereka tetap berpaling”(QS. Al-An’am:46)

Konteks turunnya ayat diatas berkenaan dengan orang-orang yang menyembah berhala dan meminta segala sesuatu kepada sesembahanىya tersebut. Kepada mereka, Allah mengandaikan bagaimana jika pendengaran dan penglihatan mereka dicabut? Akankah tuhan yang disembah oleh mereka dapat mengembalikan semua anugerah itu?

Seruan ini menandakan betapa besarnya anugerah telinga dan mata hingga tidak ada yang berkuasa mengembalikannya saat anugerah itu dicabut kecuali atas kekuasaan Allah Swt. tapi sayangnya banyak manusia yang tidak menyadarinya, bahkan mengingkarinya. Itulah mengapa Setelah diciptakannya pendengaran dan penglihatan, manusia diseru untuk bersyukur atas kemampuan yang telah Allah anugerahkan pada dirinya. Allah Swt berfirman,

قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

“Katakanlah,’Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani bagi kamu. (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”(QS.Al-Mulk:23)

Selain fungsi utamanya yaitu mendengar dan melihat, pendengaran dan penglihatan dalam Alquran juga mengisyaratkan fungsinya sebagai sumber informasi dan juga merupakan piranti untuk memahami ayat-ayat Allah, dan dari kemampuan yang dihasilkannya itulah manusia daat mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan. Ayat diatas dapat menjadi renungan kita bersama untuk menyukuri potensi yang telah dititipkan Allah pada diri kita sebagai manusia.

Bayangkan apa yang terjadi jika seseorang tidak melihat dan mendengar. Dari mana manusia memperoleh informasi jika ia tidak dapat mendengar dan melihat? Secacat-cacatnya manusia, belum pernah ada yang lahir tanpa mata dan telinga. Meskipun ada, itupun karena beberapa sebab yang terjadi kemudian, misal mengalami kecelakaan yang akhirnya ia kehilangan salah satu fungsi dari kedua indera tersebut.

Di samping mengarahkan pendengaran dan penglihatan, Allah Swt juga memerintahkan manusia untuk mengasah akal yakni daya pikir dan mengasuh daya hati. Apabila hanya mengandalkan pendengaran dan pendengaran saja dan mengabaikan hati (al-‘af’idah), maka akan menghasilkan keputusan yang lebih banyak menimbulkan mudharat, karena pada hakikatnya hati (al-‘af’idah) menjadi panduan dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didapat dari metode pendengaran dan penglihatan tadi. Berawal al-‘af’idah inilah ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang diatas landasan nilai-nilai yang islami.

Baca Juga: 9 Sumber Rezeki Yang Disebutkan dalam Al-Quran

Kesimpulannya, marilah kita gunakan kemampuan mendengar dan melihat ini pada hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan. Telinga jangan digunakan untuk mendengar suara yang tidak pantas untuk didengarkan, pun mata jangan digunakan untuk melihat sesuatu yang mengandung maksiat. Gunakanlah telinga dan mata kita untuk mendengar dan melihat ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta, karena menggunakan kedua potensi ini pada aktifitas yang baik adalah merupakan bentuk rasa syukur kita kepada Allah Swt atas anugerah yang telah diberikan-Nya. Wallahu A’lam

Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i

0
KH A. Musta’in Syafi’i
KH A. Musta’in Syafi’i/ tebuireng

Di era digital sekarang, ada banyak sekali platform yang mewartakan dan memberi ruang tafsir Al Quran hingga pembahasan piranti keilmuannya. Salah satunya adalah tafsiralquran.id, media yang sedang kita baca saat ini.

Dari berbagai kanal rubrik yang ada di tafsiralqura.id, salah satu yang patut dibaca adalah tafsir tahlili. Sebuah rubrik yang secara runtut menyajikan penafsiran ayat per ayat. Tentu tendensi ini bukan berdasarkan tema, karena tafsir berdasarkan tema disebut dengan tafsir maudhu’i.

Namun sebelum ada media tafsiralquran.id, pernahkah kita sadar bahwa ada salah satu Kyai yang sejak tahun 2000 sudah rutin menyajikan tafsir di koran dengan gaya tahlili? Beliau adalah KH. A. Musta’in Syafi’I. Kyai yang merupakan Mudir di Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang ini mengenyam pendidikan di Pesantren Tebuireng, S1 di Universitas Hasyim Asy’ari, S2 UIN Sunan Kalijaga dan S3 di UIN Sunan Ampel.

Kyai Musta’in, begitu sapaan akrabnya sejak tahun 2000 telah menyajikan rubrik khusus bernama Tafsir Al-Qur’an Aktual di Harian Bangsa. Jejak-jejak media pun mengiyakan bahwa rubrik yang diampu Kyai Musta’in ini merupakan buah trobosan yang luar biasa.

Mengapa demikian? Jawaban pastinya karena media-media sebelum itu, hanya menampilkan rubrik tafsir Al Quran secara mingguan, tengah bulanan dan bulanan belaka. Sedangkan Kyai Musta’in menyanggupi rubrik ini saban hari. Meski beliau sesekali tidak mengisi jika terkendala, namun konsistensinya patut diakui karena hingga hari ini Tafsir Aktual masih bisa kita baca.


Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?


Format dan Gaya Penulisan Kyai Musta’in

Tentu kita bisa membaca karya-kaya KH A. Musta’in Syafi’i di Harian Bangsa, yang saat ini format digitalnya bernama bangsaonline.com. Kita bisa membaca salah satu contoh penafsiran teranyarnya pada Selasa (16/09/2020) yang berjudul Tafsir Al-Kahfi 30-31: Desainer Inggris Menyoal Warna Hijau Dalam al-Qur’an.

Kyai Musta’in mengawali dengan tulisan ayat Al-Qur’an dengan huruf Latin, bukan Arab (baca: penulisan transliterasi), kemudian di bawahnya dicantumkan terjemahan. Setelah penyebutan ayat, Kyai Musta’in langsung membahas tafsir aktual mengenai seorang desainer Inggris yang pernah menyoal warna hijau. Mengapa hijau menjadi warna pakaian favorit penghuni surga menurut Al Quran?

Sang desainer yang tidak disebutkan namanya ini secara kepakaran disebut sebagai ahli colour combining yang handal. Menurutnya, warna hijau bukanlah warna spesial, pun bukan kesukaan orang Eropa. Semula ia hanya iseng saja mempertanyakan keistimewaan warna hijau yang disebut Al Quran dalam Surat Al-Kahfi ayat 31 ini. Namun ternyata, keisengan tersebut berbuah viral dan sang desainer pun dikenal menggugat Al Quran.

Seiring berjalannya waktu, ungkap Kyai Musta’in, keistimewaan warna hijau itu Allah tampakkan dalam dua keputusan penting di Amerika dan Inggris. Pertama, warna hijau berhasil didaulat sebagai warna ruang operasi bedah dan seragam para dokter yang bertugas mengoperasi pasien. Keputusan tersebut hingga saat ini diikuti oleh seluruh rumah sakit dunia. Karena warna hijau dianggap mampu membawa ketenangan, kesejukan dan mampu meminimalisir risiko kegagalan operasi bedah, bahkan hingga nol persen.


Baca juga: Tafsir QS al-Baqarah 208: Makna Islam Kaffah


Kedua, warna hijau juga dijadikan sebagai solusi di salah satu tikungan yang rawan terjadi kecelakaan di suatu pedesaan Inggris. Banyaknya kasus kecelakaan membuat Departemen Perhubungan mengadakan seminar untuk mengatasi problem tersebut. Akhirnya ada salah satu usulan psikiater untuk menghijuakan lokasi tersebut dengan berbagai pepohonan, dan sarana lainnya. Saran itu diterima dan hasilnya angka kecelakaan turun drastis. Dari berbagai jawaban itu, Kyai Musta’in menyebut bahwa sang desainer pun akhirnya masuk Islam.

Format dan gaya penulisan Kyai Musta’in cenderung ringan dan tidak menyebut beberapa pendapat Mufassir akan hal itu. Melainkan mengambil substansi tafsir dan mengelaborasi sesuai konteks sosial yang aktual. Hal ini sejalan dengan itikad awal penulisan rubrik tafsir ini. Dalam buku kumpulan tulisan Kyai Musta’in di awal rubrik yang berjudul Tafsir Al Quran Bahasa Koran, beliau memang menggunakan sudut pandang tertentu yang anti mainstream, serta mengedapankan keaktualan dan tren sosial.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62: Benarkah Semua Agama Setara?


Karya-karya Kyai yang aktif di organisasi Jam’iyatul Qurro’ wal Huffadz ini juga banyak dijadikan objek penelitian oleh para pengkaji tafsir Al Quran. Kepakaran Kyai Musta’in sebagai ahli Al Quran, mufassir dan kepiawaian dalam menulis membuat karya-karyanya renyah dibaca oleh siapapun.

Kita beruntung hingga saat ini bisa terus belajar dari KH A. Musta’in Syafi’i, sang pionir tafsir tahlili berbahasa koran yang alim. Semoga berkah.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ini Makna Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan Menurut Mufassir

0
tentang fitnah
penjelasan tentang fitnah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitnah berarti perkataan bohong atau tanpa berdasar kebenaran. Perkataan ini bertujuan untuk menjelekan orang sehingga menodai dan merugikan kehormatan orang. Namun makna fitnah dalam Al Quran justru beragam. Salah satu yang sering terdengar ialah “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Sebenarnya bagaimana maksud dari kalimat tersebut.

Baca juga: Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal? Baca Surah Al Kahfi

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 191: fitnah lebih kejam dari pembunuhan

Dalam Lisanul ‘Arab, Ibnu Manzur menyatakan bahwa kata fitnah memiliki makna yang beragam sesuai degan konteksnya. Antara lain: cobaan, ujian, syirik, kufur, bencana  dan sebagaianya. Sama halnya kata fitnah dalam Al Quran juga memiliki beragam makna bergantung pada konteks yang melingkupi. Salah satu kata fitnah bisa ditemukan pada surah Al-Baqarah ayat 191, yakni:

وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمْ عِندَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمْ فِيهِ ۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمْ فَٱقْتُلُوهُمْ ۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْكَٰفِرِينَ

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka. Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Ayat ini merupakan satu dari rangkaian ayat-ayat yang turun pertama kali dalam perintah berperang. Mulai dari waktu yang tepat untuk memulai dan mengakhiri peperangan, hingga aturan perang (kode etik) disebutkan dalam rangkaian ayat tersebut.

Al-Qurthubi menjelaskan perihal kedudukan ayat ini. Menurutnya, sebagian ulama menyatakan bahwa ayat ini sudah dimansukh sedang yang lain tidak demikian. Hal ini berkaitan pada aturan berperang di tanah Haram. (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi juz 2). Tapi, tulisan ini lebih fokus pada pemaknaan kata fitnah pada ayat tersebut.

Imam at-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud fitnah pada ayat tersebut ialah kesyirikan. Maknanya ialah kembalinya orang-orang beriman kepada kemusyrikan dan kekufuran. Hal itulah yang menjadikan kesyirikan lebih berbahaya dibandingkan pembunuhan (Imam at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Qur’an, juz 1)

Dalam at-Tafsirul Kabir li Al Quranil Karim, Ar-Razi menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan fitnah ialah kafir terhadap Allah swt. Adapun Penyebab penyebutan kafir dengan fitnah karena hal tersebut bisa menimbulkan kerusakan di dunia.

 Sementara itu, penyebab “kekafiran lebih besar bahayanya dibanding pembunuhan” ialah karena dosa besar hingga mendapat azab yang kekal itu akan melekat pada orang yang kufur, sedangkan pembunuhan tidak demikian. Dikatakan pula bahwa kekafiran bisa mengeluarkan orang dari kesatuan umat, sedang pembunuhan tidak demikian. (ar-Razi, at-Tafsirul Kabir li Al Quranil Karim juz 5)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan

Fitnah penyebab kerusakan

Berdasarkan tafsiran di atas, fitnah cenderung diartikan sebagai kemusyrikan atau kekufuran. Kemusyrikan sendiri lebih berbahaya dibanding pembunuhan, karena pembunuhan hanya berakibat pada kerusakan dunia. Sedangkan kemusyrikan atau kekufuran merusak diri dan orang lain, tidak hanya di dunia namun hingga akhirat.

Kalimat “fitnah lebih kejam dari pembunuhan” memang sering diucapkan oleh masyarakat Indonesia. Apalagi saat ingin mengingatkan akan bahayanya fitnah dalam pengertian kabar dusta yang bisa merugikan orang yang difitnah. Tapi mungkin sebagian mereka belum mengetahui maksud dari lafal yang tertuang dalam surah Al-Baqarah ayat 191 tersebut.

Baca juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran

Meskipun secara bahasa sangat berbeda makna, fitnah dalam bahasa Indonesia masih berkaitan dengan makna fitnah menurut para mufassir, yakni perilaku yang menyebabkan kerusakan. Seperti halnya menyebarkan kabar tanpa tendensi kebenaran. Wallahu a’lam[]