Beranda blog Halaman 516

Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

0
kebebasan beragama
kebebasan beragama

Bangsa Indonesia patut berbangga karena dapat harmonis dalam keberagaman suku hingga agama. Kelebihan inilah yang tidak banyak dimiliki oleh negara lain. Akan tetapi, lambat laun keharmonisan itu dihantui oleh tindakan intoleran, seperti pembubaran ritual peribadatan sampai izin pendirian sarana ibadah yang berbelit. Masalah ini dapat diatasi salah satunya dengan menggaungkan spirit kebebasan beragama ketika berelasi dengan orang lain.

Baca juga: Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Tafsir QS Al-Baqarah [2]:256, dalil kebebasan beragama

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Dalam tafsir al-Mizan, Husain Thabathaba’i menerangkan bahwa agama Islam meniadakan sikap paksaan untuk meyakini Islam itu sendiri. Hal ini dilandasi oleh kesadaran bahwa agama bisa dikatakan sebagai dasar pengetahuan dan pengalaman yang kemudian dijadikan sebagai acuan kepercayaaan.  Sikap memaksa justru akan menimbulkan rusaknya pondasi keimanan dan sikap keagamaannya. (Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan juz 2, hal 360)

Wahbah Zuhaili lebih merinci dalam menjelaskan ayat ini. Ia menyimpulkan bahwa ayat ini berbicara tentang larangan memaksa dalam beragama karena keimanan merupakan sebuah bentuk hidayah dan Tuhan memiliki otoritas penuh akan hal itu. Tiga hal yang disampaikan dari ayat tersebut ialah (1) larangan memaksa untuk beragama, (2) adanya aturang yang telah diberikan Tuhan, dan (3) konsekuensi dari memilih sebuah keyakinan. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir juz 3 hal 19)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran

Pandangan Wahbah az-Zuhaili

Menurut Wahbah, agama dalam konteks ini ialah ekspresi keyakinan hati akan agama yang dipeluk. Adapun kebebasan yang diberikan Tuhan dalam memilih agama tidak serta merta, melainkan juga memberikan konsekuensi logis yang harus diterima. Peringatan itu sangat jelas bahwa meyakini agama Islam hanya akan dapat dilakukan seseorang setelah mendapat petunjuk. Sementara, orang yang belum menyakininya, berarti ia masih berada dalam kesesatan dan kekufuran.

Melalui ayat ini, Wahbah yakin bahwa ajaran Islam tidak didasari atas kekerasan. Lebih-lebih mengangkat pedang karena agam ini didasarkan pada petunjuk, bukan kesesatan. Kebenaran agama ialah berdasar pada keyakinan sehingga itu tak akan bisa terjadi melalui paksaan. Kebebasan memilih menjadi modal titipan Tuhan yang dimiliki manusia yang sejatinya dilahirkan dalam keadaan merdeka.

Namun demikian, ia tidak meyakini pluralisme agama dalam arti semua agama berhak mendapatkan keselamatan kelak di akhirat. Sebab, konteks kebebasan di sini tidak bermakna bahwa semua agama di luar Islam ialah benar. Ia hanya mengakui bahwa toleransi antar agama ialah cara menghilangkan sikap memaksa dalam agama. Wahbah kemudian menegaskan bahwa kebenaran susungguhnya hanya berasal dari Allah. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir)

Baca juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Tentang kebebasan beragama

Melalui penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa Al Quran telah memberikan pedoman tentang kebebasan beragama sebagai konsekuensi logis bangsa yang majemuk. Kebebasan tersebut tidak hanya sekedar membebaskan keyakinan agama tertentu, namun juga memberikan hak menjalankan ibadah berdasar keyakinan masing-masing.

Keberadaan agama-agama lain memang tidak bisa dibantah sehingga yang perlu dilakukan ialah mengusahakan agar antar pemeluk agama tetap bisa hidup berdampingan. Saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda tanpa mencampurkan akidah merupakan sikap toleransi yang dilestarikan dalam ajaran Islam.

Kebebasan beragama merupakan suatu keniscayaan yang menurut Wahbah Zuhaili perlu disikapi lemah lembut tanpa paksaan. Sikap toleran terhadap ajaran lain menjadi dasar yang harus dimiliki. Tidak hanya didasarkan pada dalil-dalil. Nabi pun, juga menerapkan hal tersebut pada piagam Madinah.

Sikap toleransi antar umat beragama juga semestinya menjadi kesadaran tiap masyarakat, khususnya di Indonesia yang penuh keragaman ini. pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tidak bisa terelakkan dan harus dilestarikan. Sikap ini diharapkan bisa meminimalisir perilaku yang kontra produktif terhadap kerukunan antar agama seperti pembubaran peribadatan maupun pembongkaran tempat-tempat ibadah ajaran tertentu. Wallahu a’lam.

Bayi Menangis? Bacalah Do’a Ibu Maryam ini dalam Al-Quran

0
bayi menangis
bayi menangis

Fenomena bayi menangis saat dilahirkan menjadi peristiwa yang lumrah bagi kita. Tetapi, penyebab bayi menangis saat dilahirkan, mungkin masih jarang diketahui masyarakat luas. Lantas, apa alasan bayi menangis ketika lahir?

Berikut Al Quran memaparkan terkait bayi dilahirkan, dalam surat Ali ‘Imran Ayat 36:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

“Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari pada syaitan yang terkutuk”. (QS Ali ‘Imran ayat 36)

Baca juga: Hikmah Membaca Surat Maryam bagi Ibu Hamil

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 36

Pada kitab Tafsir Jalalain, karangan Jalaluddin As-Syuyuti menafsirkan surat Ali ‘Imran ayat 3 dengan berikut. Tatkala Ibu Maryam, istri ‘Imran melahirkan anaknya ternyata bayi itu perempuan. Padahal sebenarnya, ia mengharapkan anak laki-laki karena yang biasa dibaktikan itu hanyalah anak laki-laki. Ia kemudian merasa menyesal.

Maksud “Wahai (Tuhanku! Sesungguhnya aku melahirkan anak perempuan.” dan Allah lebih tahu) mengetahui (apa yang dilahirkannya), merupakan interupsi bagi berita ini; menurut satu qiraat dengan ta baris di depan: wadha`tu (“dan anak laki-laki tidaklah) seperti yang dimintanya itu (serupa dengan anak wanita) yang diberikan Tuhannya.

Sedangkan maksudnya untuk membaktikannya guna berkhidmat kepada agama. Sebagaimana diketahui, anak perempuan tidaklah tepat untuk keperluan itu disebabkan fisiknya lemah, auratnya, masa haid yang dialaminya dan lain-lain. (Sesungguhnya aku telah menamainya Maryam, kulindungkan dia serta anak-cucunya kepada-Mu dari setan yang terkutuk”) atau terusir.

Dari peristiwa tersebut, meskipun Ibu Maryam merasa menyesal, namun dia tetap berdoa untuk bayinya ketika lahir dari rahimnya.

Sesuai yang ditulis oleh  al-Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya yang berjudul Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr, bahwa Ibu Maryam Istri ‘Imran yang dijelaskan pada ayat di atas, ketika melahirkan anaknya, dia berdoa demikian:

بقول أم مريم زوجة عمران : [وإني أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم ] آل عمران 3/36. كما ذكر ذلك في الحديث، وإن إبليس جاء ليطعن فوقعت طعنته في الحجاب

“Sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada-Mu, untuk dia dan keturunannya, dari gangguan setan yang terkutuk” (QS. Ali ‘Imran [3]:36)

Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Kemudian pada hadis juga disebutkan bahwa bayi menangis karena ditampar setan. Berikut hadis yang ada pada kitab Musnad Shahih Muslim karangan Imam Muslim:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا نَخَسَهُ الشَّيْطَانُ، فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ نَخْسَةِ الشَّيْطَانِ، إِلَّا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ» ثُمَّ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: {وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ} آل عمران: 36

“Tidak ada seorang bayi yang terlahir tanpa mendapatkan tusukan dari setan sehingga bayi itu menangis keras karenanya kecuali putra Maryam dan ibunya” (HR. Muslim)

Baca juga: Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Bayi Menangis Karena Godaan Setan

Setelah melihat pemaparan Tafsir surat Ali ‘Imran ayat 36 serta hadisnya, bisa disimpulkan bahwa penyebab bayi menangis ketika dilahirkan adalah efek godaan setan. Maka, untuk menghindari hal tersebut, Sayyid Abdullah Al-Haddad menjelaskan bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan di telinga kanan si bayi yang baru lahir dan ikamah di telinga kirinya.

Hal ini dilakukan, agar bayi terhidar dari godaan setan yang terkutuk, serta terjaga fitrahnya yakni dalam naungan iman kepada Allah SWT.

Alangkah bagusnya jika orangtua juga mendoakan bayinya sesuai doa Ibu Maryam, ketika sang bayi baru dilahirkan. Doanya sesuai pada pemaparan di atas. Sebuah doa agar bayinya bisa terlindungi dari godaan setan, layaknya Siti Maryam yang terjaga dari godaan setan. Sehingga Siti Maryam ketika dilahirkan ibunya, ia tidak menangis sama sekali. Semoga kelak bayi kita ketika dilahirkan juga dilindungi oleh Allah SWT. Amin.

Wallahu a’lam.

 

Inilah 4 Macam Sebab Turunnya Al Quran

0
macam sebab turunnya Al Quran
macam sebab turunnya Al Quran

Mengetahui macam sebab nuzul penting untuk dapat mengelompokkan mana sebab yang turun untuk persoalan tertentu dan subjek tertentu. Karena itu, beberapa pakar Ilmu Al Quran membuat klasifikasi sebab turunnya Al Quran. Salah satunya, Ahmad Von Denffer. dalam bukunya yang berjudul Ulum al-Qur’an: an Introduction to the Sciences of the Qur’an, ia menyebutkan empat macam sebab yang melatari turunnya Al Quran. Berikut ini penjelasannya.

4 Macam Sebab Turunnya Al Quran

Respons suatu peristiwa

Macam pertama ini misalnya dapat kita jumpai dalam sebab turunnya Surat Al-Lahab berdasarkan hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Shahih Bukhari:

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أنه قال في سبب نزول سورة المسد: (صعِد النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الصَّفا ذاتَ يومٍ ، فقال: يا صَباحاه، فاجتمَعَتْ إليه قريشٌ، قالوا: ما لَك؟ قال: أرأيتُم لو أخبَرتُكم أنَّ العدُوَّ يُصَبِّحُكم أو يُمَسِّيكم، أما كنتُم تُصَدِّقونَني، قالوا: بلى، قال: فإني نذيرٌ لكم بينَ يدَي عذابٍ شديدٍ، فقال أبو لَهَبٍ: تَبًّا لك، ألهذا جمَعْتَنا؟ فأنزَل اللهُ: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ)

“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi pergi menuju al-Batha dan mendaki ke bukit. Sesampainya di puncak bukit, ia berseru: “Wahai Sabahah!”, tak lama kemudian, berkumpullah suku Quraish. Lalu, Nabi memberitahu: “Percayakah kalian bila saya berkata kalau nanti pagi atau malam seorang musuh akan menyerang kalian?”, lantas mereka menjawab: “Tidak”, Nabi menegaskan bahwa ia telah memberi peringatan tentang azab pedih yang akan menimpa kaum Quraish. Abu Lahab menimpali ucapan Nabi: “Hanya gara-gara ini kamu mengumpulkan kita semua?! Matilah kamu, Muhammad!”. Kemudian, Allah menurunkan ayat tabbat yada ‘Abi Lahabin wa tabb.”


Baca juga: Membaca Al-Quran Untuk Pamer, Simak Peringatan Nabi Berikut!


 Respons ibadah partikular

Kedua, sebagai respons terhadap ibadah spesifik. Misalnya  sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 158 dalam Safwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim karya Khalid ‘Abdurrahman al-‘Akk:

عن عُروةَ قالَ : قلتُ لعائشةَ ، أرأيتِ قَولَ اللَّهِ تعالى ( إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ) فما أرَى علَى أحدٍ شيئًا أن لا يطَّوَّفَ بِهِما ، قالَت عائشةُ : كلَّا لَو كانَ كما تقولُ : كانت فلا جُناحَ علَيهِ أن لا يطَّوَّفَ بِهِما إنَّما أُنْزِلَت هذِهِ الآيةُ في الأنصارِ كانوا يُهِلُّونَ لمَناةَ وَكانت مَناةُ حذوَ قُدَيْدٍ ، وَكانوا يتحرَّجونَ أن يطوفوا بينَ الصَّفا والمرْوَةِ ، فلمَّا جاءَ الإسلامُ سألوا رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ عن ذلِكَ فأنزلَ اللَّهُ تعالى إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair: saya bertanya kepada ‘Aisyah: “tahukah kamu firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 158? Saya merasa orang yang enggan melakukan sa’i tidak berdosa”.

Lalu, ‘Aisyah menjelaskan bahwa: “tidak, jikalau begitu, niscaya turun firman bahwa tidak berdosa bagi orang yang tidak mengelilinginya. Ayat tersebut turun saat masyarakat Anshar bertahlil untuk berhala Manat. Dan mereka berdosa ketika mengelilingi Shafa dan Marwa karena motif itu.

Kemudian, saat Islam datang mereka meminta kejelasan Nabi terkait legitimasi ibadah sa’i. Pasalnya, pada konteks Arab Jahili, mereka dilarang untuk sa’i karena diisi dengan pemujaan terhadap berhala. Kemudian ayat inna al-safa wa al-marwata min sha’a’irillah, turun guna menjelaskan pensyariatan sa’i.


Baca juga: Inilah Golongan yang Boleh Mengumpat dalam Al Quran


Jawaban dari pertanyaan Nabi

Seperti sebab turunnya surat Maryam ayat 64 dalam Shafwatul Bayan:

 عن ابن عباس قالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ لجبريلَ: ما يمنعُكَ أن تزورَنا أَكْثرَ مِمَّا تزورُنا؟ قالَ: فنزلت هذِهِ الآيةَ وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا إلى آخرِ الآيةِ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: Nabi bertanya kepada Jibril: “mengapa kau lebih sering tidak mengunjungi kami?”, lalu turunlah ayat 64 surat Maryam.

Jawaban dari pertanyaan orang banyak

Misalnya, sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 222 dalam kitab shafwatul Bayan.

عن أنس أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة منهم لم يؤاكلواها ولم يجامعوها في البيوت فسأل النبي صلى الله عليه وسلم فأنزل الله ويسألونك عن المحيض الأية

Diriwayatkan dari Anas bahwa dalam tradisi kaum Yahudi, perempuan yang sedang menstruasi dilarang makan bersama dan bersenggama. Kemudian, para sahabat menanyakan perihal ini kepada Nabi SAW. Lalu, Allah menurunkan ayat wa yas’aluunaka ‘anil mahid”

Wallahu a’lam[]

Inilah Perilaku Toleran Yang Harus Muslim Tunjukkan Menurut Al-Qur’an

0
Perilaku Toleran
Perilaku Toleran dalam Al-Quran

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa langkah awal dalam toleransi beragama adalah kesadaran akan keniscayaan perbedaan. Lalu yang kedua adalah menghilangkan prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain, terutama jika prasangka tersebut tidak dibarengi dengan bukti yang kuat. Pada bagian ketiga ini akan dijelaskan mengenai perilaku toleran yang harus ditunjukkan seorang muslim menurut Al-Qur’an.

Seorang muslim dalam kesehariannya seyogyanya menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam, seperti perilaku toleran, ramah, penuh kasih dan sebagainya. Karena ia merupakan agen yang secara langsung mempresentasikan Islam di mata masyarakat. Jika citranya baik, maka citra Islam di mata masyarakat akan baik pula, begitu juga sebaliknya. Karena seringkali masyarakat melihat wajah Islam hanya berdasarkan sikap dan sifat pemeluknya tanpa melihat secara langsung ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunah.

Dalam konteks kerukunan beragama, seorang muslim harus menunjukkan perilaku toleran. Perilaku ini tidak hanya menjadi sebuah tindakan formalitas dalam bermasyarakat saja, tetapi juga harus diresapi dan dihayati sebagai nilai substansial yang diajarkan Al-Qur’an kepada pembacanya. Dengan begitu, akan tercipta lingkungan masyarakat yang saling menghargai pendapat, kepercayaan dan agama orang lain secara sungguh-sungguh.

Berbuat baik terhadap semua manusia tanpa terkecuali

Umat Islam diperintahkan oleh Allah Swt untuk senantiasa berbuat baik kepada seluruh makhluk, tidak membedakan apakah itu hewan, tumbuhan ataupun manusia. Lebih jauh, Allah juga tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memusuhi Islam, karena perilaku baik adalah perbuatan yang bersifat universal dan bertujuan untuk kesejahteraan kehidupan manusia di Dunia. Perbuatan baik tanpa pandang bulu juga merupakan gambaran dari keadilan yang Allah Swt perintahkan.

Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman:

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9)


Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan


Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan informasi kebolehan bagi umat Islam untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, bahwa Dia tidak melarang umat Islam berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka, seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah manusia berbuat baik dan adil, karena Allah menyukai orang yang berbuat adil (Tafsir Al-Quran Al-Azhim [7]: 247).

Mengedepankan islah dalam kehidupan beragama

Tidak hanya berprilaku toleran dalam keadaan normal, umat Islam juga dituntut untuk menjadi penengah jika terjadi pertikaian di masyarakat (damai dan mendamaikan). Perilaku ishlah ini dapat digambarkan dengan tidak menjadi provokator kekacauan, menjadi pembawa pesan kedamaian dan menjadi perantara perdamaian dari dua kubu masyarakat yang bertikai. Hal ini jika dibawa ke dalam konteks kehidupan beragama masyarakat, berarti umat Islam harus menjadi penengah yang adil di antara kelompok Islam maupun non-muslim.

Berkenaan dengan ishlah Allah Swt berfirman, “Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49]: 9)

Memberikan orang lain kebebasan untuk menjalankan agamanya

Bentuk prilaku toleran selanjutnya adalah membiarkan orang lain menjalankan agamanya. Tindakan ini pernah dilakukan oleh nabi Saw di mana suatu hari datang enam puluh utusan Kristen Najran untuk menemui nabi dan kemudian beliau menyambut mereka di Masjid Nabawi. Uniknya, ketika waktu kebaktian tiba, mereka melakukan kebaktian di masjid. Para sahabat yang melihat hal tersebut awalnya ingin melarang mereka, tetapi kemudian nabi memerintahkan untuk membiarkan mereka, karena mereka tidak tahu bahwa itu adalah tempat Ibadah umat Islam (al-Tabaqat al-Kubra).

Tindakan nabi membiarkan para Kristen Najran melakukan kebaktian di atas adalah bentuk perilaku toleran nabi terhadap mereka sekalipun dilakukan di sekitar Masjid Nabawi. Dari tindakan tersebut, umat Islam dapat mengambil pelajaran bahwa sekalipun mereka mengetahui dan meyakini kebenaran agama Islam, bukan berarti mereka boleh melarang pemeluk agama lain menjalankan ajaran atau tuntunan agamanya. Artinya, semua orang berhak untuk menjalankan agama mereka masing-masing dan tidak perlu mencampur-adukannya.

Firman Allah Swt:

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ ٦

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6)


Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Qur’an


Menghargai Ajaran, Kepercayan dan Agama orang lain

Menghargai di sini bukan berarti umat Islam harus ikut menyembah atau mengagungkan agama atau Tuhan orang lain, tetapi bermakna tidak melakukan hal yang dapat mengganggu atau menyinggung ajaran, kepercayaan atau agama orang lain. Salah satu contoh konkritnya adalah dengan tidak mengolok-olok atau menghina ajaran dan sesembahan non-muslim, karena itu dapat menimbulkan pertikaian yang tidak berkesudahan sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-An’am [6]: 108 yang bermakna:

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” Wallahu a’lam.

Mengenal Ali Akbar: Penulis Blog Khazanah Mushaf Al Quran Nusantara

0
Ali Akbar (khazanah Mushaf Al Quran Nusantara)
Ali Akbar (khazanah Mushaf Al Quran Nusantara)

Berbicara mengenai platform digital mushaf Nusantara, tentu ada beberapa website yang bisa menjadi rujukan. Platform-platform ini bisa saja dikelola oleh lembaga maupun perorangan. Di ranah kelembagaan, website Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, jelaslah rujukan yang utama. Sedangkan di ranah perorangan, Blog Ali Akbar menjadi jawabannya.

Blog Ali Akbar bernama Khazanah Mushaf Al-Qur’an Nusantara. Blog yang telah dikelola sejak 2012 ini mengisi kajian mushaf di ruang digital yang mudah diakses. Kita bisa menggunakan blog ini sebagai pengantar kajian mushaf Nusantara. Sebelum mengakses, membaca mushaf asli atau memasuki penelitian yang sesungguhnya, blog ini bisa diandalkan.

Sebelum jauh mengetahui blog ini, alangkah baiknya kita mengetahui profil penulisnya terlebih dahulu.Khazanah Mushaf Al-Qur’an Nusantara

Latar Belakang Ali Akbar

Ali Akbar merupakan peneliti Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, Kementerian Agama sejak 2001. Background pendidikannya, S1 di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Kemudian ia melanjutkan magister dan doktoralnya di Universitas Indonesia. Karya tesis dan disertasinya secara spesifik mengkaji kodikologi dan kaligrafi manuskrip Al-Qur’an yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan lebih luas tentang manuskrip Al-Qur’an yang ada di Asia tenggara.

Ali Akbar juga seorang research fellow di Perpustakaan Nasional Singapura pada tahun 2019-2020 untuk meneliti korpus Al Quran litograf (mushaf cetak batu) Singapura tahun 1860-1870-an. Tercatat ia pernah memperoleh beberapa sponsor dari berbagai lembaga untuk melakukan dokumentasi dan penelitian mushaf Al Quran, naskah keagamaan, dan kaligrafi di sejumlah provinsi di Indonesia, juga Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, hingga Adelaide Australia, dan Istanbul Turki.

Dari berbagai kegiatan tersebut, ia pun menerbitkan hasil penelitiannya di berbagai jurnal, prosiding,  buku, hingga blog personalnya. Untuk penyebutan yang terakhir tadi, menjadi fokus bahasan tulisan ini.


Baca juga: Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara


Potret Blog Khazanah Mushaf Al Quran Nusantara

Blog Khazanah Mushaf al Quran Nusantara melalui  ini secara khusus dibuat untuk mengisi kajian sejarah dan seni mushaf Al Quran di Asia Tenggara. Menariknya, blog ini bersumber dari hasil observasi, dan catatan perjalanan sang penulis yang diabadikannya secara langsung. Banyak sekali mushaf monumental serta memiliki historisitas penting yang telah ia publikasikan.

Setidaknya ada empat tema umum yang Ali Akbar sajikan. Pertama kanal Dari Manuskrip ke Cetakan, kedua kanal Rupa-Rupa, ketiga kanal Koleksi Indonesia dan kanal Koleksi Luar Negeri.

Kanal pertama, Dari Manuskrip ke Cetakan berisi tentang 8 sub-kanal. Delapan itu terdiri dari mushaf tulis tangan yang berisi 41 artikel, mushaf cetakan awal yang berisi 19 artikel, mushaf cetakan 1933-1983 yang berisi 14 artikel. Kemudian mushaf cetakan 1984-2003 berisi 8 artikel, mushaf cetakan 2004 – sekarang berisi 7 artikel, mushaf indah kontemporer berisi 9 artikel, mushaf standar Indonesia berisi 15 artikel dan tradisi baca-tulis Qur’an Nusantara berisi 26 artikel.

Kanal kedua, Rupa-Rupa berisi 14 sub-kanal. Empat belas itu terdiri dari alas dan alat tulis yang berisi 5 artikel. Bibliografi berisi 7 artikel, catatan perjalanan berisi 8 artikel, iluminasi berisi 11 artikel. Sub-kanal Jangan langsung percaya berisi 12 artikel, jilidan berisi 1 artikel, kaligrafi berisi 9 artikel, kliping media massa berisi 3 artikel, mushaf dunia Islam berisi 5 artikel, para pengahfal Qur’an 1 artikel, para penyalin Qur’an 4 artikel, pentashihan 4 artikel, Qur’an kuno-kunoan 8 artikel dan rupa-rupa lainnya 13 artikel.

Kanal ketiga, koleksi Indonesia yang berisi tentang mushaf-mushaf yang ada di berbagai wilayah Indonesia. wilayah-wilayah itu seperti Aceh, Bali, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Riau, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Yogyakarta.


Baca juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i


Adapun kanal keempat, koleksi Luar Negeri berisi tentang artikel-artikel yang berkaitan dengan mushaf Nusantara di luar negeri. Negara-negara tersebut terdiri dari Australia, Belanda, Brunei Darussalam, India, Inggris, Malaysia, Prancis, Singapura, Thailand dan Turki.

Tentu tidak elok rasanya, jika hanya mendeskripsikan rubrik-kanal tersebut namun tidak menanggapinya. Salah satu alasan mengapa blog ini patut disebut sebagai platform kajian mushaf Nusantara yang otoritatif adalah kelengakapan informasi yang Ali Akbar sajikan. Artikel-artikel yang ditulis selalu dicantumkan sumber-sumber terkait. Sehingga memudahkan pembaca untuk terus menggali khazanah mushaf yang dibaca.

Kita ambil contoh salah satu artikel tentang Kaligrafi Qur’an Banten. Dalam artikel ini ada enam link yang disajikan, baik yang berkaitan dengan mushaf Banten maupun artikel ilmiah yang telah dipublikasikan dalam jurnal.


Baca juga: Rumah Tangga dan Perjuangan: Meneladani Peran Shalihah A. Wahid Hasyim


Dengan penyajian yang komplit, tak heran jika blog Ali Akbar ini dicantumkan oleh Annabel The Gallop dari The British Library sebagai platform mushaf yang berpengaruh. Hal ini dapat kita baca dalam artikel The Appreciation and Study of Qur’an Manuscripts from Southeast Asia: Past, Present, and Future yang diterbitkan oleh Jurnal Heritage of Nusantara tahun 2015.

Demikian pengenalan blog Ali Akbar, Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bi al-Shawab. 

Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?

0
Hukum membaca Alquran ketika haid
Hukum membaca Alquran ketika haid

Pembahasan tentang perempuan memang selalu menarik untuk dikaji. Salah satu alasannya adalah karena perempuan memiliki kondisi biologis khusus yang hanya dialami oleh perempuan. Sebagai contoh adalah haid atau menstruasi. Pengalaman biologis ini jelas akan berdampak pada beberapa hal, utamanya tentang hukum melaksanakan ibadah, boleh atau tidak. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dibahas tentang hukum membaca Al-Quran ketika haid, bolehkah atau malah sebaliknya?

Di beberapa literatur fiqh dijelaskan bahwa perempuan yang haid dilarang melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat, puasa, tawaf, menyentuh mushaf dan membaca Al-Quran. Namun di lapangan, masih banyak didapati para perempuan tetap membaca Al-Quran saat haid meski mereka tidak menyentuh mushaf, baik karena rutinitas maupun alasan mulazamatul ibadah. Ingin tetap lanjut beribadah, tetapi kawatir melanggar aturan agama. Lantas bagaimana hukum membaca Al-Quran ketika haid tersebut?

Dalam Al-Quran dijelaskan,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ  قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kondisi sakit.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)


Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?


Secara eksplisit, ayat tersebut tidak menjelaskan hukum membaca Al-Quan ketika haid. Namun, bisa dipahami bahwa perempuan haid sedang menanggung hadas besar, ini dapat dilihat dari larangannya, yaitu tidak boleh untuk digauli. Terkait ayat ini, As-Shabuni dalam tafsirnya menulis sub-bab tentang larangan bagi perempuan yang sedang haid dengan judul “Apa saja yang diharamkan bagi perempuan haid?”

Ia kemudian menjelaskan seperti berikut “Ulama bersepakat bahwa perempuan yang haid diharamkan baginya shalat, puasa, tawaf, masuk masjid, menyentuh mushaf, membaca Al-Quran, dan tidak halal bagi suaminya untuk mendekatinya sampai ia suci. Hukum-hukum ini dijelaskan secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Dalil-dalilnya jelas, serta terdapat penjelasan hukum-hukum lain yang tidak kucantumkan di sini, sebab pengambilan hukumnya tidak berasal dari ayat di atas.”

Ada hadis Rasulullah yang mengisahkan menstruasinya Siti Aisyah ketika berhaji. Berikut terjemahannya,

“Kami keluar bersama Nabi SAW, dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi SAW, masuk dan menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya “Apa yang membuatmu menangis?” Aku Jawab “Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji” Nabi SAW berkata: ” Barangkali kamu mengalami haid?” Aku jawab “Benar”. Beliau pun bersabda: “Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan untuk putri-putri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali tawaf di ka’bah hingga kamu suci”. (HR. Al-Bukhari)

Untuk hadis di atas, al-Bukhari dalam kitab Sahihnya membuat bab yang berjudul “Perempuan haid mengerjakan seluruh manasik haji kecuali tawaf.” Menanggapi hadits tersebut, Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan dalam kitabnya Fathul Bari, bahwa hadits riwayat Aisyah tersebut adalah sebagai dalil bahwa hukum membaca Al-Quran ketika haid itu diperbolehkan. Sebab, dalam manasik haji yang dikecualikan oleh Nabi SAW adalah tawaf.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Shalat, Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?


Beliau mengecualikan tawaf karena disamakan dengan shalat, sedangkan dalam manasik terdapat pula dzikir, talbiyah dan doa. Jika larangan membaca Al-Quran bagi perempuan haid adalah karena dzikir kepada Allah, maka tidak ada bedanya antara dzikir dengan Al-Quran dan dzikir ketika melaksanakan ibadah haji.

Sedangkan menurut mayoritas ulama, hukum membaca Al-Quran ketika haid adalah haram. Hal ini berdasarkan hadis riwayat at-Tirmidzi yang berbunyi:

(لاَ تَقْرَأُ الْحَيْضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْأَنِ (رواه الترمذي

“Perempuan haid dan orang yang junub tidak diperbolehkan membaca sesuatupun dari Alquran.” (HR. At-Tirmidzi)

Bahkan, mazhab Syafi’i mengharamkan perempuan haid membaca Al-Quran walau hanya sebagian ayat. Tujuannya adalah agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan Al-Quran. Namun demikian, ada yang memperbolehkan membaca ayat Al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan syarat tidak meniatkan untuk membaca Al-Quran, melainkan sebagai dzikir.

Dzikir yang dimaksud di sini adalah bacaan yang sudah rutin dibaca di waktu-waktu tertentu. Ada pula yang berpendapat boleh membaca Al-Quran sebatas dalam hati tanpa menggerakkan bibir terlebih bersuara. Keterangan ini dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya


Hukum membaca Al-Quran ketika haid memang ada perbedaan, masing-masing mempunyai argumentasi berlandaskan hadis Nabi. Silahkan tentukan sendiri, pendapat mana yang akan anda gunakan.

Wallahu A’lam.

Surat As-Syura Ayat 38, Dalil Demokrasi dalam Al Quran

0
Dalil Demokrasi
Dalil Demokrasi credit: blogs.iadb.org

Demokrasi merupakan sistem yang banyak diterapkan berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Tetapi, di kalangan Muslim, demokrasi masih menjadi sistem yang diperdebatkan. Golongan yang menolak sistem tersebut beralasan bahwa demokrasi merupakan thaghut dan tidak ada dalilnya. Padahal, ada dalil demokrasi dalam Al Quran.  berikut penjelasannya.

Tafsir Surat As-Syura ayat 38, dalil demokrasi

Penolakan terhadap sistem demokrasi pada umumnya karena kata “demokrasi” asing dalam ajaran Islam. Cikal bakal sistem itu lahir dari Eropa. Namun, sebagian lain yang menganggap bahwa demokrasi masih selaras dengan ajaran Islam juga tidak sedikit. Mereka yang mendukung sistem tersebut menyandarkan pada surat as-Syura (42):38 yakni:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusa mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka”

Quraish Shihab menerangkan bahwa makna شُورَى ialah mengambil pendapat yang paling baik dengan mengumpulkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Segala urusan yang berkaitan dengan kepentingan kelompok selalu diputuskan dengan musyawarah sehingga tidak ada yang bersifat otoriter dan memaksakan kehendak.(Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, juz 12)

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, makna ayat tersebut selain berbicara perihal orang-orang yang menjalakan perintah ibadah juga berbicara tentang perintah musyawarah. Makna musyawarah bisa diartikan sebagai proses tukar gagasan untuk menetapkan pendapat yang paling baik dan benar. Wahbah Zuhaili menambahkan bahwa melakukan musyawarah menghilangkan sifat keegoisan. Hal tersebut sangat diperlukan guna mendapatkan penyelesaian yang baik. (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz 25, hal 25)

Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Segala permasalahan, baik bersifat umum maupun khusus selayaknya diselesaikan dengan musyawarah. Beberapa contoh persoalan umum yang dicontohkan Wahbah Zuhaili ialah seperti pengangkatan pemimpin, tata pemerintahan, hukum negara dan lain sebagainya. Semua persoalan tersebut bisa dilakukan dengan musyawarah (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wasith, juz 3, hal 2342)

Bagi Wahbah Zuhaili, penamaan surat as-Syura menunjukan bahwa kaum mukmin harus bermusyawarah dalam berbagai hal termasuk dalam urusan politik.

Baca juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Konsep demokrasi

Demokrasi merupaka suatu model sistem pemerintahan yang cukup banyak negara yang menerapkannya. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang paing baik karena menjunjung tinggi semangat kebebasan dan kesetaraan yang mana itu sulit terjadi pada sistem lain seperti monarki.

Abu bakar Ebyhara menjelaskan dalam Pengantar Ilmu Politik bahwa demokrasi diyakini sudah ada sejak era Yunani kuno. Sedangkan arti demokrasi secara bahasa ialah “pemerintahan rakyat”. Ia juga mengutip ucapan Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ucapan inilah yang kemudian dikenal hampir di berbagai belahan dunia

Perlu diketahui bahwa demokrasi bukanlah tujuan, melainkan sebuah proses yang perjalannanya sangat dinamis dan terus mengalami perkembangan. Proses demokrasi akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mengawal demokrasi guna bisa menuju ke arah yang lebih baik.

Baca juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Musyawarah sebagai nilai demokrasi

Meskipun kata “demokrasi” sukar ditemukan dalam ajaran Islam. Namun jika kita menghayati nilai-nilai yang terkandung pada sistem demokrasi, justru akan ditemukan nilai-nilai ajaran Islam khususnya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Titik temu antara Islam dengan demokrasi terletak pada nilai-nilai etis yang sama. Salah satu ajaran Islam yang terkandung dalam konsep demokrasi ialah musyawarah.

Abdullah Saeed menjelaskan dalam bukunya bahwa konsep syura telah mengalami re-interpretasi dari konteks masa lalu ke masa kini. Karena demokrasi baru terkenal di abad ke-20, maka kemudian pemaknaan syura diperluas hingga mirip dengan demokrasi.(Abdullah Saeed, al-Quran abad 21: tafsir Kontekstual)

Musyawarah menjadi satu dari beberapa pilar demokrasi. Dalam demokrasi, semua pendapat bisa tersampaikan meskipun pendapat tersebut bisa saling berlawanan. Oleh karenanya semua permasalahan tersebut bisa diatasi dengan musyawarah sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Adanya musyawarah dalam berbagai hal bertujuan agar bisa ditemukan kesepakatan dan ini pula yang dikehendaki dari demokrasi. Wallahu a’lam.

Hubungan Rumah Tangga dalam Tafsir Surat Al-Baqarah 187 dan Teladan Ny. Shalihah A. Wahid

0
rumah tangga dan perjuangan
Shalihah A Wahid Hasyim

Peran seorang istri dalam rumah tangga sangatlah penting untuk terciptanya keluarga yang harmonis. Berawal dari kehidupan keluarga, kedigdayaan suatu bangsa akan terbangun dengan baik. Nyai Shalihah A. Wahid Hasyim, menjadi satu bukti bahwa kehadiran seorang istri sangat berpengaruh terhadap dinamika rumah tangga dan perjuangan.

Selain menjadi pendamping setia perjuangan KH. A. Wahid Hasyim, ia juga meluangkan waktu untuk melayani tamu mertua dan membuka warung untuk meringankan kebutuan hidup keluarga, konsumennya adalah para santri Tebuireng. Sebagai istri seorang tokoh nasional, kehidupan Nyai Shalihah tidak pernah lepas dari suasana perjuangan. Di samping kiprahnya yang bersayap dalam sosial masyarakat, sebagai seorang istri, Nyai Shalihah ikut memainkan peran penting dalam menjalankan perang gerilya perjuangan suaminya.

Dikisahkan ketika suatu hari KH. Wahid Hasyim sedang dikejar Belanda dan datang membawa setumpuk dukumen rahasia. Nyai Shalihah segera mengambil lalu mendudukinya sembari mencuci, agar tidak curiga beliau rela berpura-pura menjadi babu.

Tak ayal, dalam Islam hubungan rumah tangga suami dan istri merupakan relasi yang saling melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Dalam Al-Quran dijelaskan al-Baqarah: 187

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Mereka adala pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka.

Sebagian Ulama menguraikan ayat ini sebagai hubungan pasangan suami-istri. Dalam relasinya, selalu ada keterkaitan dalam suatu pasangan untuk saling melengkapi, saling memenuhi kebutuhan, saling memahami, tidak ada kesenjangan diantara keduanya dan saling memberikan keteladanan teradap pasangan. Lebih utamanya pada kebersamaan antar anggotanya, hak yang seimbang sesuai norma agama dan kepatutan budaya, hak untuk tetap menjalankan kewajiban dan aktifitas diruang publik, tetap bersosial-masyarakat namun tidak melalaikan kebutuhan dalam keluarganya.

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Demikian yang dilakukan oleh Nyai Shalihah, disamping memiliki tanggung jawab domestik, beliau merupakan teladan perempuan sangat aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Perannya dalam mendukung perjuangan suami dalam mengembangkan NU dan mempertahankan kemerdekaan banyak tercatat.

Di antaranya pada Pemilu 1955, Nyai Shalihah berhasil mewakili NU menjadi anggota perempuan DPRD Jakarta, dan terpilih menjadi anggota DPR Gotong Royong di tahun 1958. Nyai Sholihah juga tercatat sebagai kepengurusan Yayasan Dana Bantuan (YDB) dan berkontribusi besar dalam mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasioanal Indonesia (IKPNI).

Tidak terhenti disini, Nyai Shalihah merupakan perempuan yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi NU, ditengah kegiatannya sebagai seorang istri, Nyai Shalihah aktif menghidupkan elemen sosial masyarakat melalui pengajian-pengajian muslimat yang kala itu bernama Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM). Dalam pengajiannya Nyai Shalihah memberi pemahaman ajaran-ajaran Islam berupa kandungan makna Al-Quran, baik tentang anjuran agama menunaikan ibadah shalat, ketauhidan dan pentingnya toleransi beragama.

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

Nyai Shalihah juga mengembangkan ranting-ranting NOM baru di Tebuireng, dan masih banyak lagi keterlibatan Nyai Shalihah dalam perjuangan bersama KH. Wahid Hasyim. Kesibukannya sebagai bu Nyai justru tidak melalaikan peran utamanya sebagai seorang ibu. Meski sering ditinggal pergi suaminya berjuang, pengasuhan dan pendidikan anak merupakan prioritas utama.

Sebagai seorang ibu beliau tidak pernah memberi jarak terhadap anak dan keluarganya, memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, kehangatan dan prinsip egaliter. beliau menghindari pekerjaan yang dapat mengurangi perhatiannya teradap pendidikan anak-anaknya. Demikianlah yang diupayakan oleh Nyai Shalihah terhadap rumah tangganya bersama KH. A. Wahid Hasyim. Tidak heran jika figur Nyai Shalihah merupakan seorang ulama perempuan yang patut diteladani.

Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

0
Al-Alusi
Karya Tafsir Al-Alusi

Memiliki nama lengkap Abu al-Tsana’ Syihabuddin al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi. Namanya sendiri merupakan penisbatan kepada daerah asal nenek moyangnya (Alus) yang berada di sekitar Sungai Eufrat yang membentang di antara Syam dan Baghdad. Ia lahir pada tahun 1217 H/ 1802 M di Karkh, Baghdad. Maka dari itu ada juga yang menambahkan al-Baghdadi di belakang namanya.

Al-Alusi dikenal sebagai syaikh al-ulama’ di Irak. Ia bahkan juga dijuluki sebagai salah satu dari tanda kekuasaan Allah (ayah min ayat Allah). Ia menguasai begitu banyak ilmu, sehingga ahli dalam keilmuan teks (manqul), logika (ma’qul) dan mampu membedakan serta menganalisis mana yang ashl dan furu’. Ia mempelajari ilmu dari banyak ulama terkemuka di zamannya. Diketahui bahwa dua di antara gurunya ialah ayahnya sendiri dan Syeikh Khalid al-Naqsabandi—seorang sufi dan ahli Tasawuf.

Saat berusia tiga belas tahun, Al-Alusi telah sibuk dalam dunia pendidikan (mengajar dan menulis). Ia mengajar di beberapa sekolah di kampungnya yang berdekatan dengan madrasah Syaikh Abdullah al-Aquli di Rusafa. Murid-muridnya berasal dari berbagai daerah baik jauh maupun dekat dari kampunganya. Dari madrasah tempatnya mengajar, banyak alumni-alumni yang menjadi orang besar di tempatnya masing-masing.


Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pendidik Harus Tahan Banting


Al-Alusi adalah seorang yang dermawan terhadap murid-muridnya. Ia gemar membantu menyediakan kelengkapan sandang, papan dan pangan mereka. Ia memberi tempat tinggal bagi murid-muridnya di lantai atas rumahnya sampai mereka mampu hidup mandiri. Kemuliaan sikap dan perilakunya ini patut ditiru oleh para pengajar lain.

Al-Alusi mampu menguasai beragam keilmuan dengan cepat dan menjadi ahli sebab ia memang dikenal sebagai seorang yang cerdas dan memiliki hafalan yang kuat. Bahkan ada satu makalah terkenal darinya, “tidak satupun yang kutitipkan pada otakku kemudian memperdayaku dan tidaklah aku mengundang pikiranku untuk menjawab suatu masalah kecuali ia mampu memberikan jawaban”.

Dalam sebuah catatan diketahui bahwa sejak tahun 1248 H, Al-Alusi merupakan mufti dari madzhab Hanafi (masih diperdebatkan). Namun di tahun 1263 tepatnya di bula Syawal, Ia melepas gelar muftinya dan mulai menyibukkan dirinya mengarang tafsir hingga selesai di tahun 1267 H. Dikatakan bahwa salah satu hal yang melatarbelakangi penulisan tafsirnya ialah ilham yang ia peroleh melalui mimpi. Saat umurnya kala itu sudah menginjak 24 tahun (Rajab, 1252 H) di mana Allah memerintahkannya untuk mempertemukan antara langit dan bumi (sebuah isyarat menulis tafsir).

Pasca menyelesaikan kitab tafsirnya, Al-Alusi bergegas ke Konstantinopel dan menunjukkan hasil karya tafsirnya kepada Sultan Abdul Majid Khan dan kemudian memperoleh apresiasi dan restu darinya. Lalu ia kembali ke Baghdad di tahun 1269 H. Belum ditemukan riwayat sejarah mengenai latarbelakang Al-Alusi menunjukkan karya tafsirnya pada Sultan selain memperoleh apresiasi dan restu. Mungkinkah Ia mengarang tafsir sebab mendapat mandat dari Sultan? Ini menjadi salah satu isu riset yang menarik untuk ditindaklanjuti.

Dalam catatan riwayat madzhab yang diikuti oleh Al-Alusi didapati bahwa ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang mufti madzhab Hanafi. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa ia tetap seorang pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam banyak masalah ia merujuk pada pandangan Abu Hanifah.


Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi


Al-Alusi juga merupakan seorang yang ahli mengenai ilmu ikhtilaf al-madzahib (perbandingan madzhab). Hal ini didapati dalam penulisan tafsirnya yang menjelaskan ayat-ayat hukum dengan menyebutkan berbagai pandangan madzhab beserta dalilnya tanpa bersikap fanatis terhadap salah satunya. Maka tidak heran jika ia kemudian lebih condong pada ijtihadnya sendiri.

Ruh al-Ma’ani yang menjadi nama dari karya tafsirnya merupakan pemberian dari perdana menteri Ali Ridha Pasha yang mengucapkannya secara spontan. Selain karya tafsirnya, Al-Alusi juga meninggalkan beberapa karya lain dalam beberapa bidang seperti Hasyiyah ‘ala al-Qathr dan Syarh al-Sulam fi Manthiq. Al-Alusi wafat di hari Jum’at, 25 Dzulqa’dah 1270 H dan dimakamkan bersampingan dengan makam keluarganya di pemakaman Syeikh Ma’ruf al-Karkh di Karkh, Baghdad.

Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jumat

0
keutamaan membaca surat al-Kahfi
keutamaan membaca surat al-Kahfi/wartakota

Hari Jumat selain sebagai hari raya umat Islam, juga menjadi momentum untuk memperbanyak ibadah sunnah. Membaca Surat Al-Kahfi merupakan salah satu amaliyah yang sunnah dilakukan di hari ini. Berikut ini keutamaan membaca surat Al-Kahfi di hari jumat.

Beberapa keutamaan membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jumat.

Membuka pintu hidayah dan menghapus dosa

Surat al-Kahfi ibarat cahaya yang menerangi umat Islam dalam perjalanannya menemukan hidayah (petunjuk). Muslim yang membaca surat ini akan dijaga dari maksiat dan dosa. Ia juga akan ditunjukkan jalan yang benar. Pengertian ini berdasarkan hadis riwayat Abdullah bin Umar ra. dalam kitab Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:

عن عبدالله بن عمررضي الله عنه أنّ النبيّ عليه الصلاة والسلام قال: (مَن قرَأَ سورةَ الكَهفِ يومَ الجمُعةِ سطَعَ له نورٌ من تحتِ قَدَمِه إلى عَنانِ السماءِ يُضيءُ به يومَ القيامةِ، وغُفِرَ له ما بينَ الجمُعَتَينِ)

“Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra. bahwa Nabi SAW. bersabda: “barangsiapa membaca Surat al-Kahfi di Hari Jumat, maka terpancarlah sinar dari dirinya sampai langit, yang akan menyinarinya kelak di hari kiamat. Dan, diampuni dosa-dosanya di antara dua jumat”


Baca juga: Inilah Alasan Mengapa Umat Islam Harus Mengenal Rasulullah SAW


Selamat dari fitnah Dajjal

Termasuk dari keutamaan membaca surat al-Kahfi ialah menjaga pembaca dari tipudaya Dajjal. Seorang muslim akan mendapatkan keutaman ini jika menghafal sepuluh ayat pertama. Keutamaan ini berlandaskan berbagai hadis, di antaranya riwayat Abu Darda’ dalam Sahih Muslim:

عن أبي الدرداء رضي الله عنه أنّ النبيّ عليه الصلاة والسلام قال: (مَن حَفِظَ عَشْرَ آياتٍ مِن أوَّلِ سُورَةِ الكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ)

“Diriwayatkan dari Abu Darda’ ra. bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa menghafal sepuluh ayat pertama surat al-Kahfi, maka ia terjaga dari fitnah Dajjal”

Imam Isma’il al-Ajluni dalam Kasyful Khafa’ menjelaskan bahwa maksud hadis ini ialah orang yang menghafal dan merenungi makna 10 ayat pertama surat al-Kahfi.

Mengapa sepuluh ayat pertama? Menurut al-‘Ajluni karena ayat-ayat ini menyimpan keajaiban dan pertanda. Maka, siapa pun yang memahaminya, ia tak kan teperdaya dengan tipu daya Dajjal dan sabar atasnya. Inilah yang menyebabkan ia selamat dari fitnah Dajjal.

Sementara, menurut suatu pendapat, keutamaan ini bagi orang yang menghafal sepuluh ayat terakhir Surat al-Kahfi. Berdasarkan hadis riwayat Abu Dardar yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih Ibnu Hibban:

مَن قرَأ عَشْرَ آياتٍ مِن آخِرِ الكهفِ عُصِم مِن الدَّجَّالِ

“Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surat al-Kahfi, maka ia terjaga dari fitnah Dajjal”

Meski terkesan klise, keutamaan-keutamaan tersebut jangan disepelekan. Sejatinya, keutamaan itu mencerminkan fungsi Al Quran sebagai petunjuk (hidayah) dan penolong (syafaat), sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Isra’ ayat 9 dan hadis Nabi:

إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”


اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

“Bacalah Al Quran, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada pembacanya” (HR. Muslim, Shahih Muslim)

Keutamaan lain membaca Surat al-Kahfi di Hari Jumat ialah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, dengan membaca ayatnya di hari yang mulia. Di sisi lain, juga memberi pelajaran bagi pembaca berupa ibrah dari kisah umat terdahulu, serta mengajarkan untuk mensalehkan diri, karena pertolongan-Nya hanya untuk orang yang diridai-Nya, yakni orang-orang yang saleh.


Baca juga: Inilah Golongan yang Boleh Mengumpat dalam Al Quran


Waktu terbaik membaca Surat Al-Kahfi di Hari Jumat

Setelah mengetahui keutamaan membaca surat Al-Kahfi di Hari Jumat, satu hal yang penting lagi adalah waktu terbaik untuk membacanya. Nabi SAW pernah bersabda tentang waktu afdhal membaca surat ini di hari Jumat:  

عن أبي سعيد الخدري قال، قال رسول الله صلى الله عله وسلم :من قرأ سورة الكهف ليلة الجمعة أضاء له من النور فيما بينه وبين البيت العتيق

“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa membaca surat al-Kahfi di Malam Jumat, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dirinya dan ka’bah” (HR. Muslim)

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين.

“Dari Nabi SAW, ia bersabda: “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi di Hari Jumat, maka Allah akan menyinarinya dengan cahaya di antara dua Jumat””(HR. al-Hakim dan Baihaqi)

Dua hadis itu menyebutkan dua waktu membaca surat al-Kahfi, yakni Malam Jumat dan Hari Jumat. Sehingga, waktu terbaik untuk membacanya ialah antara Kamis Malam selepas Maghrib hingga Jumat sebelum petang. Wallahu a’lam[]