Beranda blog Halaman 515

Tafsir Surat Taha Ayat 29-35: Diangkatnya Harun Menjadi Nabi Atas Permintaan Nabi Musa

0
nabi harun
nabi harun

Selain kedua putra Nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ishaq dan Nabi Ismail, juga terdapat utusan Allah yang memiliki kaitan saudara, yakni Nabi Musa dan Nabi Harun. Karena Nabi Musa dan Nabi Harun ditugaskan bersama dan kepada kaum yang sama, maka kisah di antara keduanya tak jauh berbeda.

Akan tetapi terdapat riwayat berbeda berkenaan dengan diangkatnya Nabi Harun sebagai nabi. Ada yang menyebutkan bahwa Nabi Harun dan Nabi Musa diangkat sebagai nabi secara bersamaan. Ada juga yang menyebutkan bahwa Nabi Harun diangkat sebagai nabi atas permohonan atau proposal Nabi Musa kepada Allah swt sebagaimana doa Nabi Musa yang terdapat dalam surat Taha [20] ayat 29-35

وَٱجۡعَل لِّی وَزِیرࣰا مِّنۡ أَهۡلِی (٢٩) هَـٰرُونَ أَخِی (٣٠) ٱشۡدُدۡ بِهِۦۤ أَزۡرِی (٣١) وَأَشۡرِكۡهُ فِیۤ أَمۡرِی (٣٢)  كَیۡ نُسَبِّحَكَ كَثِیرࣰا (٣٣) وَنَذۡكُرَكَ كَثِیرًا (٣٤) إِنَّكَ كُنتَ بِنَا بَصِیرࣰا (٣٥)

“…dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (29) yaitu Harun, saudaraku, (30) teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, (31) dan jadikanlah dia teman dalam urusanku, (32) agar kami banyak bertasbih kepada-Mu, (33) dan banyak mengingat-Mu, (34) sesungguhnya Engkau Maha Melihat (keadaan) kami. (35)” [Q.S. Taha (20): 29-35]

Diangkatnya Harun Sebagai Nabi

Merujuk Tafsir Ibnu Katsir, terdapat dua versi cerita berkenaan dengan permintaan Nabi Musa kepada Allah swt., supaya saudaranya: Nabi Harun, diangkat menjadi nabi. Versi pertama ialah cerita yang bersumber dari Sayyidah Aisyah, tatkala beliau menjumpai sekelompok lelaki di suatu pedesaan yang dilewati ketika berangkat umrah.

Baca juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud

Ketika Sayyidah Aisyah sedang istirahat dari perjalanannya, beliau mendengar pertanyaan seorang lelaki kepada temannya, “Siapakah orang di dunia yang paling bermanfaat bagi saudaranya?” Teman-teman dari lelaki itu pun kompak menjawab, “Saya tidak tahu.” Menyambung jawaban tersebut, lelaki yang bertanya tadi kemudian bersumpah di hadapan kawan-kawannya, bahwa ia mengetahui siapa lelaki yang paling bermanfaat bagi saudaranya.

Mendengar perkataan yang disertai sumpah, Sayyidah Aisyah pun bergumam, “Menimbang sumpah lelaki itu, yang tak menggunakan kata insyaallah, pasti ia benar-benar mengetahui siapa orang yang dimaksud paling bermanfaat bagi saudaranya.” Tidak lama berselang, lelaki itu melanjutkan perkataannya, “Dia adalah Nabi Musa, ketika memohon kepada Allah Swt., supaya saudaranya diangkat sebagai nabi.”

Seketika Sayyidah Aisyah membenarkan ucapan lelaki itu, dan disertai dengan sumpahnya, “Demi Allah, dia benar!” Berdasarkan riwayat di atas, sehingga kemudian disimpulkan bahwasanya Harun diangkat sebagai nabi atas permohonan Nabi Musa.

Melanjutkan tashdiq-nya, Sayyidah Aisyah menuturkan bahwa, karena permohonan itulah, Allah memuji sikap Nabi Musa, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ahzab [33] ayat 69.

وَكَانَ عِندَ ٱللَّهِ وَجِیهࣰا

“Dan dia (Musa) seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” [Q.S. al-Ahzab (33): 69]

Baca juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran

Selain riwayat Sayyidah Aisyah di atas, pendapat berbeda juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya Harun diangkat Allah swt. sebagai nabi bersamaan dengan diangankatnya Nabi Musa menjadi nabi. Sehingga dapat dimengerti bahwa Harun diangkat menjadi nabi bukan atas permohonan Nabi Musa.

Tafsir Surah Taha Ayat 29-35

Ayat 29-35 dalam surat Taha merupakan lanjutan dari doa Nabi Musa pada ayat sebelumnya, ayat 25-28, yaitu doa “rabbisyrahli shadri, wa yassirli amri, wahlul ‘uqdatan min lisani, yafqahu qauli.” Seutas doa yang sangat masyhur di telingan kaum muslimin. Selanjutnya, Nabi Musa memohon kepada Allah supaya ada seorang dari keluarganya yang membantu beliau. Seseorang dari keluarga yang dimaksud ialah saudara beliau sendiri, yakni Nabi Harun.

Menurut Imam Ahmad ash-Shawi, seperti yang disebutkan dalam Hasyiyah ash-Shawi, permohonan Nabi Musa kepada Allah yang dikaitkan saudaranya, Nabi Harun, ketika diringkas terdapat tiga permohonan. Ketiganya ialah; jadikanlah (ij’al), kuatkanlah (usydud), dan jadikanlah teman (asyrik).

Pertama, dengan redaksi ij’al, Nabi Musa memohon kepada Allah supaya Nabi Harun dijadikan sebagai orang yang membantu (wazir) beliau. Kedua, dengan redaksi usydud, Nabi Musa memohon kepada Allah supaya diteguhkan kekuatan beliau dengan perantara Nabi Harun.

Baca juga: Fashabrun Jamil, Kisah Kebijaksanaan Sang Ayah Saat Ditipu Anak-Anaknya

Penafsiran tersebut juga diungkapkapkan oleh Imam ath-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Ketiga, dengan redaksi asyrik, Nabi Musa memohon kepada Allah supaya Nabi Harun dapat menjadi teman (penafsiran Ibnu Katsir: teman musyawarah) bagi beliau ketika menghadapi berbagai permasalahan yang pelik. Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir, Syekh Fakhruddin ar-Razi memberikan dua kemungkinan alasan mengapa Nabi Musa memohon supaya diberikan pembantu (wazir).

Pertama, karena Nabi Musa khawatir apabila dirinya tak cukup mampu menyangga perintah Allah yang dibebankan kepada beliau. Kedua, karena beliau meyakini bahwa tolong menolong dalam urusan agama dan memanifestasikan ajaran agama, yang disertai dengan cinta kasih, merupakan suatu keistimewaan yang agung dalam upaya mengajak menuju jalan Allah swt.

Mengakhiri rentetan doanya, Nabi Musa kemudian menyebutkan tujuan beliau yang disandarkan kepada Allah Swt., yaitu supaya senantiasa menyucikan-Nya dan mengingat-Nya. Nabi Musa juga mengungkapkan keyakinan beliau bahwa, Allah melihat keadaan hamba-Nya. Sehingga–menurut Imam Ibnu Katsir–pilihan dan pemberian Allah akan kenabian, serta diutusnya beliau untuk menghadapi Fir’aun, tetaplah memiliki hak atas segala pujian. Wallahu a’lam bish shawab

Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

0
apakah khamr itu najis?
apakah khamr itu najis?

Khamr merupakan sesuatu yang diharamkan oleh Islam untuk dikonsumsi karena pengaruhnya yang memabukkan. Dampak dari pengaruh tersebut tidak hanya berimbas pada akal, tetapi juga pada ibadah. Adapun yang menjadi pertanyaan adalah, selain haram untuk dikonsumsi, apakah khamr itu najis?

Keharaman minum khamr dijelaskan bersama perbuatan yang diharamkan lainnya, seperti berjudi dan mengundi nasib. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk berhala), mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)

Dalam tafsir Rawai’ul Bayan dijelaskan bahwa khamr tidak hanya berupa air perasan anggur atau kurma, tetapi juga berlaku untuk segala jenis minuman yang mempunyai potensi untuk membahayakan atau merusak akal sehat. Pendapat ini yang kemudian disepakati oleh mayoritas ulama, selain mazhab Hanafi.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?


Dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah sabda Baginda Nabi saw yang berbunyi:

(كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرًا وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم

Artinya: “Setiap yang memabukkan itu adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.” (HR. Muslim)

Sedangkan menurut Hanafiyah, khamr adalah nama khusus bagi air anggur yang kemudian difermentasi. Sehingga, minuman lain yang tidak berbahan dasar anggur tidak dinamakan khamr meskipun diharamkan oleh agama.

Terlepas dari perbedaan definisi tentang khamr di atas, di samping bahasan tentang keharamannya, status khamr yang ditanyakan berikutnya adalah apakah khamr itu najis?

Al-Shabuni menjelaskan, bahwa al-Muzanni dari mazhab Syafi’i dan sebagian ahli fiqh muta’akhkhirin mazhab Hanafi berpendapat bahwa khamr itu suci, sedangkan meminumnya berhukum haram. Keharaman yang melekat pada khamr, tidak serta merta menjadikannya najis. Sebab, banyak hal yang diharamkan oleh agama namun hukumnya tetap suci. As-Syaukani juga menjelaskan bahwa jika status najis bagi khamr itu tidak didasari oleh dalil yang kuat. Ia menafsiri kata ‘rijsun’ di Al-Maidah ayat 90 ini sebagai haram, bukan najis.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks


Pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) adalah khamr tidak hanya haram, tetapi juga najis berdasarkan ayat di atas. Sebab, arti ‘rijsun’ menurut bahasa adalah al-qadzaru wa an-najasatu yakni kotoran dan najis. Tidak hanya itu, dalil bahwa khamr itu najis juga berdasarkan sebuah riwayat tentang beberapa sahabat yang mengeluhkan penduduk daerahnya yang mayoritas ahli kitab. Kebiasaan penduduk tersebut adalah makan daging babi dan minum khamr, sehingga para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal tindakan yang harus diambil terhadap bejana dan panci ahli kitab. Nabi bersabda:

(اِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فَارْحُضُوْهَا وَاطْبَخُوا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا (رواه احمد

Artinya: “Jika kalian tidak mendapatkan yang selainnya, maka cucilah lalu masaklah dengannya dan minumlah.” (HR. Ahmad)

Berdasarkan perintah Nabi untuk mencuci, maka terdapat petunjuk jika wadah-wadah yang mereka gunakan untuk minum dan makan itu hukumnya najis. Sebab, jika suci tentunya Rasulllah tidak akan memerintahnya untuk dicuci terlebih dahulu agar bisa digunakan oleh para sahabat.

Penjelasan ayat di atas yang menyebut khamr sebagai ‘rijsun’ dengan arti najis merupakan perbandingan dari firman Allah lain yang berbunyi:

عٰلِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَّاِسْتَبْرَقٌۖ وَّحُلُّوْٓا اَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍۚ وَسَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا

Artinya: Mereka berpakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan memakai gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih (dan suci). (QS. Al-Insan: 21)


Baca Juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi


Ayat tersebut menjelaskan tentang salah satu nikmat yang Allah berikan untuk ahli surga kelak. Penafsiran kata ‘syaraban’ yang berarti minuman, menurut as-Syinqithi adalah khamr. Khamr jadi hidangan penduduk surga? Khamr di akhirat halal diminum serta suci. Ini disebabkan bahwa minuman khamr di dunia itu belum tentu sama dengan minuma khamr yang dilukiskan di akhirat ini. Selain itu, di akhirat memang berlaku aturan-aturan khusus yang berbeda dengan aturan kehidupan dunia. Adapun hukum khamr di akhirat tersebut berbanding terbalik dengan khamr di dunia. Jika di kehidupan dunia khamr itu najis dan haram, maka di akhirat khamr yang dihidangkan itu halal dan jelas tidak najis.

Wallahu A’lam

Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud

0
Kisah Nabi Shalih
Kisah Nabi Shalih

Tsamud adalah nama suatu kabilah yang dikenal sebagai umat Nabi Shalih. Dinamakan Tsamud karena diambil dari nama salah satu nenek moyang mereka yang bernama Tsamud, saudara Judais. Keduanya adalah anak Abir bin Iram bin Sam bin Nuh as. Mereka merupakan bangsa Arab al’Aribah, yakni penduduk asli dari Jazirah Arab yang tinggal di daerah bebatuan antara Hijaz dan Tabuk.

Periode kehidupan kaum Tsamud adalah setelah priode kehidupan kaum ‘Ad. Disebutkan bahwa kaum Tsamud memiliki kebiasaan peribadahan yang sama dengan kaum ‘Ad, yakni menyembah berhala. Karena alasan inilah kemudian Allah mengutus seorang nabi yang berasal dari kalangan mereka, yaitu seorang hamba, nabi dan Rasul Allah Swt: Shalih as.

Nabi Shalih as merupakan keturunan generasi kesembilan dari Nabi Nuh as. Silsilah lengkap beliau adalah Shalih bin ‘Ubaid bin Masih bin ‘Ubaid bin Hajir bin Tsamud bin Abir bin Iram bin Sam bin Nuh as. Beliau diperintahkan Allah untuk menyeru kaumnya kepada ketauhidan dan memerintahkan mereka untuk meninggalkan berhala-berhala yang selama ini disembah (Kisah Para Nabi dan Rasul: 163).

Kisah ini Allah sebutkan dalam QS. Hud [11]: 61, “Dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Dakwah nabi Shalih kemudian direspon secara negatif oleh mayoritas kaum Tsamud dan hanya sebagian dari mereka yang menerima dakwah tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menyakiti nabi Shalih, baik perkataan maupun perbuat. Mereka menuduh nabi Nuh telah menyeleweng dari ajaran nenek moyang, padahal ia adalah seseorang yang akan diharapkan menjadi pemuka kaum Tsamud karena kecerdasan dan kesempurnaan pribadinya.


Baca Juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran


Selanjutnya, mereka mempertanyakan keabsahan agama yang dibawa nabi Shalih. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.” (QS. Hud [11]: 62)

Nabi Shalih menjawab dan memverifikasi keabsahan agama yang dibawanya, “Wahai kaumku! Terangkanlah kepadaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapa yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya? Maka kamu hanya akan menambah kerugian kepadaku.” (QS. Hud [11]: 63)

Ini merupakan bentuk kelembutan nabi Shalih terhadap kaum Tsamud dalam berdialog sekalipun mereka telah meragukan keabsahan agama yang dibawanya. Beliau memberi pengertian dengan mengajak mereka berfikir secara filosofis tentang dampak yang akan mereka terima karena menolak beriman. Namun mereka malah berkata, “Sungguh, engkau hanyalah termasuk orang yang kena sihir. “ (QS. asy-Syu’ara [26]: 153)

Kemudian Allah mengeluarkan seekor unta betina dari sebongkah batu kepada kaum Tsamud sebagai bukti kebenaran dakwah nabi Shalih. Firman Allah, “…Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Ini (seekor) unta betina dari Allah sebagai tanda untukmu. Biarkanlah ia makan di bumi Allah, janganlah disakiti, nanti akibatnya kamu akan mendapatkan siksaan yang pedih.” (QS. al-A’raf [7]: 73)

Pada mulanya, kaum Tsamud terkesima dan percaya terhadap ajaran yang dibawa nabi Shalih pasca melihat bukti dan tandas kekuasaan Allah Swt. Mereka sepakat membiarkan unta betina tersebut hidup di tengah-tengah mereka dan mereka mau berbagi sumber air. Agar air dapat dinikmati secara adil, nabi Shalih kemudian membagi waktu pengambilannya. Ia berkata, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 155)

Setelah kondisi seperti ini berlangsung lama, para pembesar Tsamud merasa bahwa unta betina tersebut mengganggu kepentingan mereka. Akibat hasutan-hasutan dan keserakan, mereka kemudian memutuskan untuk menyembelih unta tersebut agar kepentingan mereka tidak terusik. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.” (QS. al-A’raf [7]: 77)\

Mendengar tantangan kaumnya terhadap Allah Swt, nabi Shalih lantas menjawab, “Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud [11]: 65). Ketika nabi Shalih mengatakan hal itu, kaum Tsamud tidak percaya, bahkan mereka berniat untuk membunuh beliau beserta keluarganya melalui penyergapan tiba-tiba di malam hari. Namun Allah menggagalkan rencana mereka tersebut dengan cara melempari batu kepada para penyergap.


Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka


Ketika hari yang dijanjikan tiba, pada saat matahari terbit muncul suara kencang dari langit dan terjadi gempa bumi. Hal tersebut memporak-porandakan peradaban kaum Tsamud dan membuat nyawa-nyawa melayang. Tidak ada yang tersisa kecuali serpihan bangunan, dan kesunyian. Pada saat itu, penduduk Tsamud menjadi jasad-jasad tak bernyawa dan tak bergerak lagi. Hal ini terjadi akibat keingkaran dan pembangkangan yang mereka lakukan (Kisah Para Nabi dan Rasul: 163-180).

Kisah Nabi Shalih, unta dan kaum Tsamud di atas selain memberi pelajaran tentang akibat dari pembangkangan, kekufuran dan penentangan kepada Allah berupa azab yang pedih, itu juga memberikan isyarat pelestarian alam kepada pembaca Al-Qur’an. Unta betina adalah personifikasi dari bumi yang harus dilestarikan dan jangan diutak-atik dengan berbagai tindakan manusia yang dapat berakibat pada kerusakan.

Selanjutnya, pembagian waktu pengambilan air sumur juga merupakan gambaran peringatan langsung kepada manusia bahwa bumi dan seisinya tidak hanya diperuntukkan bagi mereka. Manusia harus bersinergi dengan alam, berbagi sumber daya tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan yang merupakan makhluk Allah Swt. Wallahu a’lam.

Kisah Khaulah binti Tsa’labah, Istri yang Berani Menggugat dalam Al-Quran

0
Khaulah Binti Tsa'labah
Khaulah Binti Tsa'labah

Salah satu problem relasi laki-laki dan perempuan yang belum terselesaiakan saat ini ialah kasus KDRT (kekerasan dalam Rumah tangga). Selain karena sikap suami yang keterlaluan, masih banyak yang mengira bahwa perempuan hanya dipandang sebagai objek dan tidak leluasa ruang geraknya. Padalah Al-Quran telah mengabadikan kisah seorang istri yang berani menggugat. Ini membuktikan bahwa Al-Quran memperhatikan semua manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Berikut ini kisah Khaulah binti Tsa’labah dalam tafsir Surat Al-Mujadalah ayat 1-2. 

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Surat Al-Mujadalah [58]:1-2

Kisah seorang perempuan yang menggugat ini menjadi sebab turunnya awal surah Al-Mujadalah. Adapun ayatnya berbunyi:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

 “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Kemudian ayat ke dua memperjelas kondisi yang dialami oleh perempuan tersebut sehingga berani menggugat, ayat tersebut yakni:

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

Pendapat Para Mufassir

Ayat pertama dari surah Al-Mujadalah ini turun berkenaan dengan masalah yang dihadapi Khaulah binti Tsa’labah yang ditinggal suaminya, Aus ibn Samit. Adapun sebab ‘Aus meninggalkan Khaulah adalah karena pernyataan zihar yang dilontarkan ‘Aus. Zihar adalah bentuk pernyataan dengan mengatakan “Kamu bagaikan tulang punggung ibuku” yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri.(Hasbi as-Shiddiqie, Tafsir al-Quran al-Majid, 4:283)

Ayat tersebut dibuka dengan lafad قَدْ سَمِعَ اللَّهُ yang menurut Wahbah Zuhaili merubakan bentuk majaz (perumpamaan) atas diterima dan dikabulkannya doa dari Khaulah. Selanjutnya Wahbah zuhaili juga menjelaskan bahwa Dzihar dalam tradisi arab memiliki makna talaq hingga memiliki konsekuensi keharaman untuk menggauli istrinya. Dzihar merupakan cara melakukan talak tanpa mengucapkan kata tersebut (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, 28:9)

Kisah Khaulah binti Tsa’labah

ia merupakan seorang istri dari ‘Aus bin Shamit dan memiliki julukan al-Mujadilah (sang penggugat). Gelar ini disematkan atas keberaniannya untuk meminta keadilan kepada rasullah SAW.

Kisah tersebut bermula dari pertengkaran antara mereka yang saling mengaku paling benar atas pendapatnya masing-masing hingga tidak ada yang mengalah. Saat emosi ‘Aus memuncak, terucaplah kata tang tidak mengenakan, Aus mengatakan “wahai Khaulah, engkau bagiku seperti punggung ibuku”. Khaulah yang mendengar ucapan itu tidak menyangka dan bagaikan petir yang menyambar. Ucapan itu berakibat pada hubungan keduanya, hingga tidak terikat lagi dalam pernikahan yang utuh.

Selang beberapa waktu, ‘Aus menyadari perkataannya dan meminta maaf pada istrinya dan menyadari kesalahannya. Tapi, dengan mata berkaca-kaca, Khaulah berkata “Jangan ‘Aus, Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, jangan lakukan itu kepadaku, karena ucapanmu itu, sekarang aku jadi haram bagimu”.

Lantas Khaulah meminta suaminya mengahadap Rasulullah SAW untuk menjelaskan perkara ini, namun ‘Aus menolak dengan alasan malu. Hingga pada akhirnya Khaulah sendiri yang menemui Rasulullah SAW.

Setelah menjelaskan duduk perkara yang ia alami kepada Rasulullah, Rasul memberikan jawaban; “Khaulah, menurutku engkau diharamkan atasnya”. Jawaban tersebut membuat tangis Khaulah menjadi-jadi, namun rasul meyakinkannya dengan perintah untuk menjauhi suaminya. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya Rasul meninggalkan Khaulah.

Mendengar jawaban Rasul, Khaulah dirundung kekalutan hingga ia berdoa; “Ya Allah, aku menangadu kepada-Mu tentang kesulitan dan penderitaanku jika aku bercarai dengannya. Ya Allah, turunkanlah melalui Nabi-Mu, suatu jalan keluar bagi kami”

Tidak lama kemudian, Rasul memanggil Khaulah dan menyampaikan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu perihal masalahnya dengan suaminya. Doa Khaulah benar-benar didengar oleh Allah dengan turunnya surat al-Mujadalah ayat 1-6. Turunnya ayat tersebut menjadikan rumah tangga Khaulah dan ‘Aus utuh kembali, meskipun Aus wajib membayar kafarat atas konsekuensi atas ucapan dziharnya.

Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Perempuan dalam Pandangan Al Quran

Menurut Quraish Shihab, pengaduan Khaulah kepada Nabi tidak lantas mendapat jawaban dari Nabi. Dalam sebuah riwayat, Nabi tidak langsung memutuskan hukum atas pengaduan tersebut. Nabi pun diminta oleh Khaulah untuk memohonkan penyelesaian masalah tersebut kepada Allah. Sehingga turunlah ayat di atas. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa perempuan mendapatkan kedudukan mulia dihadapan Allah. Doa yang ia mohonkan seketika terkabul dengan turunnya ayat tersebut.( M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. 14: 61)

Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Melalui kisah tersebut, kita bisa melihat bahwa perempuan bukanlah makhluk yang harus diam, pasrah dan diperlakukan sebagai objek. Sebaliknya, mereka juga punya hak yang setara terhadap lelaki. Bukti bahwa “suara perempuan bukanlah aurat” bisa dilihat dari diskusi langsung antara Khaulah dan rasulullah SAW. Khaulah mencontohkan bahwa meskipun belum menemukan solusi, putus asa bukanlah jalan terakhir. Ia justru meminta kepada Allah SWT sebagai bentuk usaha maksimal. Wallahu a’lam[]

 

Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?

0
Al-Quran sebagai Obat
Al-Quran sebagai Obat credit: almuheet.net

Pengetahuan soal Al-Quran sebagai obat atau syifa’ cukup populer di kalangan masyarakat. Bagaimana kita memahaminya? Tulisan ini akan mencoba mengurai ini dari pendekatan kebahasaan.

Kata “obat” yang ada di dalam bahasa Indonesia, jika diartikan ke dalam bahasa Arab, memiliki dua arti, yaitu dawaa’un (دواء) dan syifaa’un (شفاء). Kedua kata ini memiliki makna yang sangat berbeda. Mari kita perhatikan apakan perbedaan arti antara kedua kata itu.

Kata dawaa’un (دواء) berarti “obat.” Obat yang dapat menyembuhkan atau obat yang belum tentu dapat menyembuhkan. Obat yang diberikan oleh dokter untuk suatu penyakit yang Anda derita, dapat menyembuhkan dan mungkin tidak menyembuhkan. Sebab dokter itu memberikan obat kepada Anda berdasarkan diagnose dari dokter.

Obat yang Anda terima boleh jadi cocok dengan penyakit Anda. Jika demikian, maka sakit atau penyakit Anda bisa sembuh. Jika obat yang diberikan oleh dokter tidak cocok dengan penyakit Anda, maka obat itu tidak atau belum menyembuhkan penyakit Anda.

Oleh sebab itu, obat yang diberikan oleh dokter kepada Anda belum tentu menyembuhkan. Dokter hanya memberikan obat kepada Anda agar Anda sembuh. Sebab, dokter tidak dapat menyembuhkan. Yang menyembuhkan semua penyakit itu hanya Allah swt.

Oleh karena untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit itu, Anda harus berdoa dan memohon kepada Allah untuk kesembuhan Anda pada saat Anda meminum obat dari dokter. Melalui obat dari dokter itu, semoga Anda sembuh.

Lain halnya dengan syifaa’un (شفاء). Kata ini diartikan dengan kesembuhan, atau obat yang pasti dapat menyembuhkan. Penyakit yang disebuhkan oleh Al-Quran tidak hanya bersifat lahiriah, tetapi juga bersifat bathiniah. Al-Quran menjadi syifaa’un (شفاء), karena Al-Quran sebagai obat pasti dapat menyembuhkan.


Baca Juga: Kekhasan Al-Quran Sebagai Mukjizat Bagi Nabi Muhammad Saw


Segala sifat yang buruk yang ada di dalam diri anda, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, kegoncangan jiwa, kekacauan pikiran, dan segala macam penyakit rohani, adalah penyakit bagi diri Anda. Al-Quran sebagai obat menjadi yang pasti dapat menyembuhkan dari semua penyakit ini.

Allah swt telah menyatakan hal ini di dalam tiga ayat, yaitu QS. Yunus [10]: 57, Al-Isra’ [17]: 82, dan Fushshilat [41]: 44. Ayat di dalam surat Al-Isra’ [17]: 82 menyatakan:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Kalau Anda mengalami gangguan pikiran dan kejiwaan, maka bacalah Al-Quran. Insya Allah anda akan menjadi tenang karena Anda terobati dengan ayat itu. Bahkan, ada ulama yang menjadikan ayat-ayat tertentu sebagai obat. Ketika dia mengobati, dia membacakan ayat-ayat tertentu untuk suatu penyakit. Lalu penyakit yang diobati dengan ayat itu sembuh, biidznillah. Wallahu A’lam

Mengapa Mushaf Al Quran Pusaka Bergaya Turki dan Mesir, Bukan Bergaya Bombay (India)?

0
mushaf Al Quran Pusaka
mushaf Al Quran Pusaka

Mengapa Mushaf Al Quran Pusaka Bergaya Turki dan Mesir. Tapi sebelumnya, adakah di sini yang masih ingat kalau mushaf Al Quran yang kita gunakan untuk belajar mengaji dulu itu berhuruf tebal?. Mushaf dengan gaya huruf tebal ini dikenal dengan nama mushaf Bombay. Bombay atau Mumbai jelas menunjukkan sebuah lokasi yang ada di India, tempat di mana mushaf-mushaf seperti itu bermula di cetak.

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 sangat familiar dengan mushaf Bombay. Dalam berbagai penelitian menyebut bahwa salah satu penyebab maraknya mushaf Bombay di Indonesia, karena adanya percetakan litograf (cetakan batu) yang terinspirasi dari percetakan Al Quran di India. Terlebih pemilik percetakan litograf ini orang Palembang dan menyebarkannya di berbagai wilayah Indonesia. Percetakan itu milik Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah pada tahun 1854.

Dari salah satu alasan itu, tidak heran jika mushaf Bombay sangat dekat dengan masyarakat muslim Indonesia. Namun belakangan mushaf jenis ini semakin ditinggalkan, terkikis seiring hadirnya mushaf pojok.

Mushaf baru ini awalnya dipopulerkan oleh para penghafal Al Quran. Dalam sejarahnya, mushaf ini merupakan hasil reproduksi salah satu mushaf Turki kepunyaan KH M Arwani Amin Kudus pada tahun 1974. Karena dianggap memudahkan para penghafal Al Quran maka mushaf ini diperbanyak, dan akhirnya masyarakat umum pun lebih menyukai mushaf jenis ini.

Namun sebelum adanya mushaf pojok, ternyata mushaf Pusaka yang diresmikan pada tahun 1960 sudah menerapkan sistem waqaf pojok. Padahal mayoritas masyarakat masih menggunakan mushaf gaya Bombay. Bagaimana itu bisa terjadi?


Baca juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz


Karakteristik Mushaf Pusaka

Terkait kesejarahan, bisa kita baca artikel sebelumnya dengan judul “Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia” .

Sementara karakteristik fisik, Mushaf Pusaka cukup besar yakni 2 x 1 m. Mushaf yang ditulis Salim Fachry dengan goresan tangan ini dibagi menjadi tiga bagian, Juz 1-10, juz 11-20, dan juz 21 sampai 30. Ukuran kertasnya 100 x 75 cm dan ukuran kotak teksnya 80 x 50 cm. Kertas yang digunakan berjenis karton putih, meski saat ini berubah warnanya menjadi coklat. Sampul mushaf ini berasal dari papan kayu jati dengan ukiran ornamen khas dan tulisan Arab “layamussuhu illal muthahharuun”, Mashaf Republik Indonesia dan “tanzilun min rabbil ‘Alamiin”

Setiap juz dari mushaf ini terdiri dari 20 halaman, dan total halaman mencapai 604 halaman. Selain itu, terdapat juga halaman tambahan seperti 3 halaman doa khotmil Quran, 3 halaman keterangan penulis, 1 halaman lembar pentashihan dan 17 halaman deskripsi mushaf (ta’rif bihadzal mushaf) serta daftar isi.

Dalam keterangan (ta’rif bihadzal mushaf), Al Quran Pusaka ini ditulis berdasarkan Qiraat ‘Ashim riwayat Hafs. Penulisannya menggunakan khat naskhi dengan rasm Usmani. Total ayatnya berjumlah 6236 ayat mengikuti hitungan ahli Kuffah dari Abu Abdur Rahman dalam kitab Nadhimah az-Zuhri karya Imam As-Syatibi, Kitab Abu Qasim Umar bin Muhammad bin Abdul Kafi, dan kitab Tahqiq al Bayan karya Syekh Muhammad al-Mutawalli Mesir.


Baca juga: Mengenal Ali Akbar: Penulis Blog Khazanah Mushaf Al Quran Nusantara


Kemudian penamaan makkiyah dan madaniyyah merujuk pada kitab Abu Qasim serta berbagai kitab tafsir. Keterangan waqaf merujuk pada Syekh Muhammad bin Ali al-Husaini Mesir. Ayat-ayat sajdah merujuk pada kitab-kitab fiqih empat madzhab dan bacaan saktah merujuk pada riwayat Hafs thariq as-Syatibi.

Keterangan yang menjelaskan rujukan-rujukan tersebut sama persis dengan mushaf yang pada tahun 1957 dicetak di Mesir di bawah kepemimpinan Malik Faruq. Mushaf yang dicetak di Mesir ini, merupakan mushaf revisian dari mushaf cetakan tahun 1924 di bawah komando Malik Fuad.

Sayangnya, dari jumlah halaman, mushaf Pusaka tidak sama dengan jumlah halaman mushaf Mesir.  Mushaf Pusaka hanya 604 halaman sementara mushaf Mesir 827 halaman. Perihal jumlah halaman, mushaf Pusaka ternyata lebih cenderung mengikuti mushaf Turki.

Kita tak bisa secara langsung menyebut mushaf Pusaka merujuk pada satu saja antara mushaf Mesir dan Turki. Jika merujuk Mesir, jumlah halamannya berbeda. Kalau pun mengikuti mushaf Turki, rasm yang digunakan pun berbeda. Rata-rata mushaf Turki saat itu menggunakan rasm imla’i bukan rasm usmani. Dari uraian ini, nampaknya Salim Fachry melakukan elaborasi  dari mushaf kedua negara tersebut.


Baca juga: Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara


Tentu kreativitas Salim fachry juga sangat memengaruhi atas lahirnya mushaf Pusaka dengan gaya seperti itu. Karena penulis mushaf yang pernah menjadi Dekan Fakultas Tarbiyan UIN Jakarta ini mengenyam Pendidikan kaligrafi di Mesir. Tercatat ia sebagai alumni Madrasah Tahsīn el-Khuṭūt el-‘Arabiyah pada tahun 1930 dan Madrasah Tazhīb al-Khuṭūt pada tahun 1932.

Catatan terakhir, mengapa mushaf Pusaka jarang terdengar oleh masyarakat Indonesia dan tidak memiliki pengaruh terhadap mushaf Bombay? Karena mushaf ini dirawat sebagai mushaf monumen, bukan refrensi percetakan mushaf yang ada di kemudian hari.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

0
pandangan mata ketika shalat
pandangan mata ketika shalat

Shalat memiliki aturan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mengerjakannya, seperti menghilangkan hadas dan harus bersuci. Dua hal ini adalah aturan yang dilaksanakan sebelum shalat. Kemudian, ada juga aturan saat mengerjakan shalat, seperti tidak berbicara, tertawa, bergerak yang berlebihan sehingga membuat batal, dan menetapkan arah pandangan mata ketika shalat.

Saat shalat, seseorang tidak hanya berusaha membuat khusyu hatinya, akan tetapi juga diharuskan membuat khudhu’ (tenang) anggota tubuhnya, termasuk dalam hal ini adalah menjaga pandangan mata ketika shalat, ke depan atau ke tempat sujud?

Allah berfirman,

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Shalat, Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?


Ayat di atas, menjadi dasar syarat menghadap kiblat sebagai syarat sah nya shalat. Namun bagaimana dengan arah pandangan mata orang yang shalat? Dalam hal ini, Ulama terbagi pada dua pendapat, yaitu mata memandang ke depan dan mata mushalli (orang yang shalat) memandang ke tempat sujud.

Menurut Al-Qurthubi, ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa pandangan mata ketika shalat harus mengarah ke depan sebagaimana yang dipilih oleh mazhab Maliki. Demikian juga Ibn Al-‘Arabi. Ia berargumen bahwa jika orang yang shalat diharuskan mengarahkan pandangan ke depan, bukan ke tempat sujud. Sebab, mengarahkan pandangan ke arah tempat sujud saat posisi seseorang berdiri dianggap sebagai masyaqqah ‘azhimah (sangat sulit).

Berbeda dengan mayoritas ulama dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Mereka  berpendapat bahwa pandangan mata mushalli diarahkan pada tempat sujud. Ini berdasarkan sebuah riwayat Al-Hakim tentang Abu Hurairah yang bercerita tentang Rasulullah pernah shalat dengan mengangkat kepalanya ke langit. Kemudian turunlah surat al-Mukminun ayat 2 (terjemahannya, “dan orang-orang yang khusyu dalam shalat”), sehingga Rasulullah menundukkan kepalanya.

Siti Aisyah juga pernah meriwayatkan:

(دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا (رواه الحاكم

Artinya: “Rasulullah masuk ka’bah (untuk mengerjakan shalat) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya.” (HR. al-Hakim)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya


Lebih jelas, Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in-nya berkata:

“Disunahkan menetapkan pandangan mata kearah tempat sujud supaya lebih khusyu, sekalipun tunanetra, baik shalat dekat ka’bah, shalat di tempat gelap, ataupun shalat janazah. Namun, disunahkan mengarahkan pandangan mata ke jari telunjuk, terutama ketika mengangkat jari telunjuk saat tasyahud akhir, karena ada dalil shahih tentang kesunahan itu.”

Namun, terdapat pengecualian dalam keadaan tertentu, seperti orang yang shalat berjamaah. Ketika itu makmum merasa butuh untuk memperhatikan imamnya, maka memandang ke depan diperbolehkan. Jika orang tersebut statusnya sebagai imam atau munfarid (shalat sendirian), maka dianjurkan untuk mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud. Demikian keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam mengomentari hadis tersebut.

Jika arah pandangan mata ketika shalat ini menjadi pendukung kekhusyuan, maka pandangan mata ketika shalat tidak cukup hanya dengan menundukkan pandangan ke bawah atau ke tempat sujud, tetapi juga menunduk dengan dibarengi rasa penuh kerendahan dan kehinaan. Sebagaimana ayat Al-Quran berikut,

خَاشِعَةً اَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ  ۗذٰلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ

Pandangan mereka tertunduk ke bawah diliputi kehinaan. Itulah hari yang diancamkan kepada mereka. (QS. Al-Maarij [70]: 44)


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Itikaf, Waktu, Tempat dan Hukumnya


Merujuk pada dalil-dalil serta pendapat di atas, maka orang yang shalat dianjurkan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud, sejak ia takbiratul ihram hingga salam (kecuali saat tasyahud akhir) walau ia shalat di tempat gelap sekalipun. Anjuran ini bertujuan agar seseorang bisa melaksanakan shalat dengan fokus dan khusyu hatinya. Sebab, tidak pantas rasanya jika shalat pandangan seseorang melirik ke kanan dan kiri atau atas dan bawah. Hal tersebut terkesan bahwa tidak sopan ketika menghadap Allah. Namun demikian, tidak lupa pula menunduk ke tempat sujud ini hendaknya dibarengi dengan rasa penuh kerendahan dan kehinaan, karena hakikatnya manusia tidak punya apa-apa di hadapan Allah swt.

Wallahu A’lam

Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Al-Quran

0
sombong
sombong

Para pembaca yang budiman barangkali sudah tidak asing lagi dengan pernyataan bahwa orang yang memakai pakaian yang melewati mata kaki (Isbal) dikategorikan sebagai orang yang bersifat sombong. Cerita tersebut dapat kita temukan dalam riwayat Sebagaimana kutipan salah satu hadits dibawah ini.,

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء

“ Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: ‘ Allah tidak akan memandang orang yang menyeret pakaiannya karena sombong” (HR. Al-Bukhari)

Asbab al-wurud dari Hadits diatas mengarah pada kondisi masyarakat arab yang ketika itu para bangsawan dari pihak kerajaan dan para pembesar suku merasa bangga apabila pakaiannya terseret diatas tanah. Hal tersebut dianggap sebagai lambang kebesaran sekaligus peremehan pada pihak kesukuan yang lain. Hadits ini kemudian menjadi hujjah untuk menjustifikasi seseorang sebagai pribadi yang bersifat sombong.

Baca juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Padahal, Rasulullah Saw mendapat respon pertanyaan dari sahabat Abu Bakkar As-Siddiq, yang kebetulan pada saat itu ia menggunakan pakaian yang longgar sehingga pakaiannya sedikit terseret diatas tanah. Ketika hal itu ditanyakan kepada Rasulullah Saw, beliau bersabda,

لست ممن  يصنعه خيلاء

“..Kamu tidak melakukannya atas dasar kesombongan..”

Respon Rasulullah Saw ini menjadi penjelas kepada kita bahwa “sombong” yang dimaksud dalam hal berpakaian tersebut merujuk kepada niat berpakaian yang cenderung merasa bangga dan merasa lebih besar dari orang lain, sehingga walaupun pakaian Abu Bakar As-Siddiq masuk dalam kategori sombong, tetapi beliau tidak termasuk orang sombong seperti yang dimaksudkan Rasulullah Saw. Sifat sombong ini dijelaskan lagi oleh Rasulullah dalam sabda beliau,

“sesungguhnya diantara sifat cemburu itu ada yang disenangi Allah, dan ada pula yang dibenci Allah, dan diantara sifat sombong itu ada yang disenangi Allah, dan juga ada yang dibenci Allah. Kecemburuan yang disenangi Allah adalah kecemburuan dalam masalah riba, sedangkan kecemburuan yang dibenci oleh Allah adalah kecemburuan selain masalah riba. Dan kesombongan yang dicintai Allah adalah kesombongan seorang hamba terhadap dirinya karena Allah ketika dalam peperangan, dan kesombongannya dalam bersedekah. Sedangkan kesombongan yang dibenci oleh Allah adalah kesombongan dalam hal membanggakan (diri) dan menganggap (diri) besar” (HR. Sunan An-Nasa’i)

Baca juga: Viral Aksi Meludahi Al Quran, Ini Cara Pilih Sikap menurut Al Quran!

Setelah mengutip dua hadits diatas, coba  kita pahami bagaimana pemaknaan sombong menurut para ulama. Sombong dalam kata bahasa arab disebut al kibru yang berarti menghargai diri secara berlebihan, pongah, dan congkak. Sedangkan dalam pengertian secara istilah Al-Asfahani dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al kibru adalah menganggap dirinya lebih besar dari selainnya.

Sementara itu, imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, memaknai sombong sebagai suatu sifat yang ada dalam jiwa, yang tumbuh dari penglihatan nafsu, dan tampak dalam perbuatan lahir. Dalam Al-Qur’an disebutkan paling tidak ada dua kriteria yang paling urgen dari sifat sombong, yaitu.

Merasa lebih mulia daripada yang lain

Allah Swt berfirman

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ  اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS. Al-Baqarah:34)

Menurut As-Suyuti,  sujud yang dimaksud pada ayat diatas adalah bermakna menghormati dan memuliakan nabi Adam a.s, bukan berarti menghambakan diri. Sebab, sujud yang menghambakan diri adalah semata-mata hanya kepada Allah swt. Semua malaikat bersujud ketika diperintahkan oleh Allah, kecuali iblis yang tidak mau bersujud seraya berkata bahwa dia lebih mulia daripada Nabi Adam (As-Suyuti, 1990:20).

Dari penafsiran ini kita bisa mengartikan bahwa sombong adalah sifat dimana saat kita merasa lebih mulia, lebih terhormat daripada orang lain. Sebagaimana cerita para Raja dan pembesar suku arab pada masa Rasulullah Saw, yang melebihkan pakaiannya hingga terseret ke tanah untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih terhormat daripada orang lain. Dalam ayat lain Allah swt berfirman,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman : 18)

Baca juga: Tafsir Surat al-Ma’arij Ayat 19 – 21: Sifat Buruk Manusia

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, Ayat ini turun berkenaan dengan wasiat Luqman kepada anaknya agar jangan bersikap sombong serta jangan meremehkan orang lain dengan memalingkan wajah terhadap orang-orang yang berbicara dengannya.

Merasa paling benar daripada orang lain

Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an

ۨالَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِ اللّٰهِ بِغَيْرِ سُلْطٰنٍ اَتٰىهُمْۗ  كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ وَعِنْدَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۗ كَذٰلِكَ يَطْبَعُ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci hati setiap orang yang sombong dan berlaku sewenang-wenang”. (QS. Al-Ghafir: 35)

Menurut Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir, bahwa orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang menolak kebenaran dengan kebathilan serta memperdebatkan hujjah tanpa dalil, padahal hujjah yang diberikan kepada mereka berasal dari Allah Swt. Mereka bersikap sombong dan tidak mau mengikuti kebenaran.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

Di sisi lain, Kataالمتكبرpada ayat ini menurut Quraish Shihab bermakna bahwa Allah mengunci mati setiap hati mereka yang enggan menerima kebenaran, dan begitu pula Allah mengunci mati hati orang-orang yang sombong, arogan, sewenang-wenang dan otoriter, memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Sikap ini sering kita temukan pada orang-orang yang baru memahami sedikit dalil  lantas menganggap itulah yang paling benar sehingga tidak menerima pendapat selain kebenaran sebagaimana yang dia pahami.

Dari keterangan diatas, cukup jelas bahwa sombong yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dalam hadits pakaian Isbal seperti  yang telah kita kemukakan diatas, adalah bukan karena pakaiannya yang terseret atau melebihi mata kaki, tetapi sifat yang timbul ketika mengenakan pakaian tersebut, yakni merasa diri lebih tinggi daripada orang lain, sehingga merasa bangga bahkan merendahkan mereka.

Penulis meyakini, tak elok rasanya jika hanya karena melihat pakaian (isbal) orang lain lantas dengan gampangnya kita menjustifikasi orang itu bersifat sombong. Apalagi yang kita cap sebagai orang sombong itu adalah saudara kita yang masih seiman, sekeyakinan. Setega itukah kita memfitnah saudara muslim yang lain?

Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz

0
Bisri Mustofa
Tafsir Al-Ibriz Karya Kiai Bisri Mustofa

K.H Bisri Mustofa adalah sosok tokoh Indonesia yang multi-talenta. Beliau merupakan seorang kyai, budayawan, mubaligh, politisi, orator dan penulis yang produktif. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas dan menjadi referensi bagi santri dan tokoh negara hingga saat ini. Bahkan Kiai Sahal Mahfudh menyebut beliau sebagai sosok yang memukau pada zamannya.

Bisri Mustofa lahir di Rembang pada tahun 1914. Ia adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan KH. Zaenal Mustofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Pada awalnya ia diberi nama Mashadi, namun kemudian diganti dengan nama Bisri karena alasan tertentu. Kedua orang tua Bisri Mustofa dikenal sebagai orang yang taat dalam beragama (Martin van Bruinessen: 85).

Bisri  kecil hidup di dunia pesantren, karena ayahnya adalah seorang kiai. Pada umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah “Angka Loro” di Rembang, namun ia hanya sempat bersekolah di sana selama kurang lebih 1 tahun, karena diajak kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Dalam perjalanan tersebut ayahnya tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.

Pasca menunaikan haji, Bisri Mustofa pulang ke Indonesia beserta ibu dan saudaranya. Kemudian ia bersekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Namun tidak berselang lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kyai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Pemerintahan Belanda. Akhirnya ia kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” dan belajar di sana selama 4 tahun hingga mendapatkan sertifikat sekolah dasar.

Pada usia 10 tahun, Ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Selanjutnya ia juga menimba ilmu di pesantren Kasingan (tetangga persawahan) yang dipimpin oleh Kyai Cholil. Berkat latar belakangnya tersebut, Bisri Mustofa tumbuh menjadi pemuda yang taat beragama dan mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di dunia pesantren.

Di usia ke 20 tahun, Bisri Mustofa menikah dengan Ma’rufah, anak dari Kyai Cholil. Setahun setelah menikah, ia berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan beberapa anggota keluarganya di Rembang. Setelah melaksanakan haji, ia tidak langsung pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di sana untuk menuntut ilmu memperdalam ilmu agama.

Di Mekah Kyai Bisri berguru dengan beberapa guru, yakni (1) Syekh Baqir Yogyakarta tentang kitab Lubb al-Ushul, Umdât al-Abrâr, Tafsîr al-Kashshâf; (2) Syekh ‘Umar Hamdan al-Maghribî tentang Sahihain; (3) Syeikh ‘Alî Malîkî tentang kitab al-Ashbah wa al-Nadâ’ir dan al-Aqwâl al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin tentang Ibn Aqîl; (5) Syekh Hassan Massat kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; dan (6) KH. Abdullah Muhaimin tentang kitab Jam‘ al-Jawâmi.


Baca Juga: Mufasir Nusantara: Oemar Bakry asal Danau Singkarak


Setelah dua tahun menuntut ilmu, Bisri Mustofa kemudian pulang ke Kasingan, tepatnya pada tahun 1938 M atas permintaan Kyai Cholil yang mendesaknya untuk segera pulang ke tanah air. Berselang satu tahun kemudian, mertuanya tersebut meninggal dunia. Sejak saat itulah Bisri Mustofa menggantikan posisi mertuanya sebagai guru dan pemimpin pesantren Kasingan.

Selain sibuk mengajar, Bisri Mustofa juga aktif mengisi ceramah-ceramah keagamaan atau pengajian. Penampilan beliau di atas mimbar sangat mempesona dan berwibawa sehingga ia sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa tengah.

Bisri Mustofa wafat pada usia 63 tahun, yakni pada 16 Februari 1977 M. Selama hidupnya, beliau melalui 3 zaman pemerintahan, yakni zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno dan masa Orde Baru. Pada setiap zaman pemerintahan ia selalu aktif berpolitik, termasuk bergerak melawan pasukan Kolonial bersama para Kiai dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Ayah dari Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) ini meninggalkan warisan karya tulis berjumlah kurang lebih dari 54 judul kitab yang terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan, seperti ilmu tauhid, fikih, sejarah kebudayaan Islam, ilmu-ilmu kebahasaan Arab (nahwu, sharaf dan ilmu alat lainnya), hadis, akidah akhlak, dan lain sebagainya. Sebagian karya-karyanya ini ditulis dengan tujuan memberi pemahaman agama terhadap masyarakat awam.

Salah satu karya Bisri Mustofa paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz yang ditulis dalam Jawa Pegon. Tafsir ini diselesaikan dalam kurun waktu kurang lebih selama 4 tahun, yakni dari tahun 1956 hingga 28 Januari 1960, namun tidak menutup kemungkinan beliau sudah menulis jauh sebelum waktu tersebut. Kemudian tafsir ini diterbitkan oleh Menara Kudus pada tahun 1964 sebanyak 30 jilid.


Baca Juga: K.H Ahmad Sanusi: Sang Mufasir Asal Bumi Pasundan


Sistematika yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz adalah tartib mushafi yang digunakan umumnya oleh para mufasir. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, pertama-tama KH. Bisri Mustofa menulis redaksi ayat secara sempurna, kemudian diterjemahkan kata-per-kata ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan huruf Arab Pegon atau huruf Arab bahasa Jawa secara miring bersusun ke bawah lengkap dengan rujukan (dhomir) nya, bentuk seperti ini lebih dikenal dengan tulisan bermakna gandul.

Sedangkan Metode penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Ibriz adalah metode tahlili (analitis) yang memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat yang disertai dengan membahas munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut antara satu sama lain. Selain itu, tafsir ini juga memiliki corak tafsir kombinasi antara fiqih dan sufisme. Wallahu a’lam

Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

0
Tafsir Ekologi
Tafsir Ekologi

Tafsir ekologi menjadi salah satu terminologi baru dalam ranah kajian tafsir al-Qur’an. Kehadiran tafsir ekologi menjadi sebuah angin segar bagi aktivitas penafsiran dewasa ini. Sebab tafsir ekologi memberikan tawaran orientasi dan cara pandang baru dalam upaya mendekati al-Quran. Sebelum membahas lebih dalam, mari mengenal tafsir ekologi dari aspeknya yang paling sederhana yakni mengenai latarbelakang serta definisinya.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya tafsir ekologi ialah masalah keberlangsungan lingkungan hidup masih menjadi isu aktual pada abad ini (abad ke-21). Climate change dan environmental crisis menjadi salah satu isu yang sangat diperhatikan oleh dunia saat ini, sebab menyangkut keberlangsungan alam dan kehidupan manusia.

Krisis ekologi yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh kesalahan manusia dalam mengelola alam lingkungannya. Terjadinya bencana-bencana alam seperti misalnya banjir, krisis air bersih, tanah longsor dan kabut asap merupakan beberapa bencana alam yang terjadi akibat campur tangan usil manusia.


Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6


Namun sayangnya kehadiran isu ini belum mampu memberikan kesadaran bagi sebagian manusia, khususnya di Indonesia, yang justru masih hanyut dalam nuansa fiqh dan politisasi agama. Agama seakan terkesan hanya berbicara masalah halal-haram dan kepemimpinan maupun bentuk negara.

Isu ekologi juga masih terdengar asing dalam berbagai sumber-sumber primer Islam. Hal ini terlihat dari tafsir-tafsir klasik bahkan sampai kontemporer tidak banyak yang menjadikan isu ekologi menjadi salah satu pertimbangannya penafsirannya.

Bahkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an yang membahas tema ekologi juga tidak didapati penjelasan yang berbasis ekologis namun justru teologis, salah satunya didapati dalam mayoritas penafsiran ulama pada Q.S. al-Rum [30]: 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Pada ayat tersebut, mayoritas ulama memaknai bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut disebabkan oleh kekufuran manusia dalam aqidah. Maka segala bentuk kerusakan itu merupakan azab yang ditimpakan Tuhan karena perilaku kufur teologis umat manusia. Secara teologis, pemaknaan seperti ini baik untuk menguatkan aqidah. Namun tidak bisa menjangkau makna ekologis yang ada di dalamnya.

Maka melihat realita yang ada, menjadi sebuah kebutuhan untuk menghadirkan gagasan metodologi tafsir baru yang berorientasi ekologis, sehingga dapat mengambil pesan-pesan ekologis dalam al-Qur’an sekaligus menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperdulikan keberlangsungan lingkungan.

Atas landasan itulah lahir sebuah model penafsiran baru yang dinamai tafsir ekologi. Sebuah model penafsiran yang berorientasi pada kepentingan ekologis dan berupaya untuk menggali pesan-pesan ekologis dalam ayat al-Qur’an.


Baca Juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat


Selain memberikan sumbangsih bagi lahirnya produk penafsiran yang relevan dengan zaman—dalam  level teoretis, kehadiran tafsir ekologi juga diharapkan mampu mengambil peran dalam level praksis. Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Mustaqim, Guru Besar Tafsir UIN Sunan Kalijaga, bahwa pola pikir keagamaan yang didapatkan melalui interpretasi teks keagamaan berpengaruh besar bagi pola perilaku umat beragama.

Maka kajian tafsir ekologi merupakan salah satu solusi untuk mengisi pola pikir (mode of thought) umat Islam untuk lebih memperhatikan lingkungan sebagai bagian dari ajaran agama. Dengan begitu, masalah lingkungan yang telah terjadi dapat diperbaiki seiring membaiknya cara pandang manusia terhadap pentingnya keberlangsungan lingkungan. Wallahu a’lam.