Pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw dilakukan dengan dua cara utama, yaitu: menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalnya; dan merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis, seperti pelepah kurma dan kulit hewan. Jadi, ketika para sarjana muslim berbicara mengenai jam’ul Qur’an pada masa nabi, maka yang dimaksud adalah pengumpulan wahyu Al-Quran melalui dua cara tersebut.
Pada mulanya, bagian-bagian Al-Quran yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw dipelihara dalam ingatan beliau dan para sahabat. Setelah itu, setiap pengikut nabi secara massif menghafalkan Al-Quran. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab turut membantu proses pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi ini.
Nabi saw juga memotivasi pengikutnya untuk menghafal Al-Quran. Terdapat Sejumlah hadis menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Mana yang Lebih Utama, Membaca Al-Quran dengan Hafalan atau dengan Melihat Mushaf?
Dalam proses pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw, ada beberapa sahabat yang terkenal sebagai huffzahul Qur’an, yakni: Ubay bin Ka‘ab (w. 642 M), Mu‘adz bin Jabal (w. 639 M), Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid al-Anshari (w. 15H) Ali bin Abi Thalib, Sa‘d bin Ubaid (w.637 M), Abu al-Darda (w.652 M), dan Ubaid bin Mu‘awiyah. Utsman bin Affan, Tamim al-Dari (w. 660 M), Abdullah bin Mas‘ud (w. 625 M), Salim bin Ma‘qil (w. 633 M), Ubadah bin Shamit, Abu Ayyub (w. 672 M), dan Mujammi‘ bin Jariyah.
Tulisan Sebagai Mnemonic Bagi Penghafal Al-Quran
Jika kita menengok sejarah pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw, maka dapat ditemukan adanya upaya penulisan Al-Quran. Hanya saja, perekaman Al-Quran dalam bentuk tulisan selalu dipandang sebagai alat bantu untuk mengingat, bukan tujuan utama (Mnemonic). Jadi – sebelum ditulis – setiap unit-unit wahyu Al-Quran telah tersimpan seluruhnya dalam ingatan para sahabat.
Riwayat paling awal tentang pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan pada masa nabi saw bisa ditemukan dalam kisah keislaman Umar bin Khaththab, yakni empat tahun menjelang hijrahnya nabi ke Madinah. Dalam riwayat tersebut diterangkan bahwa beberapa muslim membaca surah Taha melalui perantara shahifah (lembaran). Bahkan keislaman Umar terjadi setelah ia membaca shahifah ini.
Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa sejak awal Islam di Mekah, telah ada usaha serius untuk menulis Al-Quran. Kesimpulan semacam ini mendapat justifikasi dari al-Quran sendiri. Nama-nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa Muhammad, seperti Al-Quran, al-kitab atau wahy, secara tersamar mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis.
Salah satu ayat Al-Quran yang turun pada periode Mekah juga telah menyiratkan perekaman wahyu-wahyu yang diterima Nabi secara tertulis, yakni surah al-Ankabut [29] ayat 48: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mempekerjakan sejumlah sekretaris untuk menuliskan wahyu (kuttab al-wahy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan wahyu adalah empat khalifah pertama, Mu‘awiyah (w. 680), Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas‘ud, Abu Musa al-Asy‘ari (w. 664), dan lain-lain. Syaikh Abu Abdullah az-Zanjani, salah satu sarjana Syi‘ah terkemuka abad ke-20, bahkan menyebut 34 nama sahabat Nabi yang ditugaskan mencatat wahyu.
Para sekretaris itu bertanggung jawab dalam penulisan Al-Quran secara langsung kepada nabi. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi saw menitahkan para sekretarisnya menempatkan bagian Al-Quran yang baru diwahyukan pada posisi tertentu dalam rangkaian wahyu terdahulu atau surah tertentu, sehingga susunan mushaf Al-Quran dianggap tauqifi atau berdasarkan petunjuk langsung nabi.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu.”
Imam al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zaid: “Kami biasa menyusun Al-Quran dari catatan-catatan kecil dengan disaksikan Rasulullah.” Banyak riwayat jenis ini yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab hadis. Riwayat-riwayat semacam itu pada dasarnya menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit wahyu atau penempatannya ke dalam bagian surah-surah Al-Quran dilakukan atas petunjuk Nabi Muhammad saw.
Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan telah dilakukan pada masa nabi saw. Bahkan, dalam kasus wahyu-wahyu Madaniyah yang memuat ketentuan-ketentuan hukum, pasti merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk segera merekamnya secara tertulis. Hanya saja ketika nabi wafat, Al-Quran belum dikumpulkan ke dalam suatu mushaf tunggal.
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw dilakukan dengan dua cara, yakni pengumpulan wahyu Al-Quran melalui hafalan dan pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan. Dua cara ini saling menguatkan antara satu sama lain dalam rangka menjaga otentisitas dan kesinambungan Al-Quran di dunia. Wallahu a’lam.