Qiraat dan Tajwid
Pada trilogi tulisan berjudul Konsep Sunnah Muttaba‘ah, penulis pernah mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan prinsip talaki dalam pembelajaran Alquran. Singkatnya, setiap dalam pembacaan Alquran, yang dilakukan pada dasarnya adalah menghadirkan kembali bacaan Nabi saw., yang untuk mencapainya disusunlah ilmu qiraat dan ilmu tajwid sebagai pirantinya.
Qiraat (qira’ah) dapat didefinisikan sebagai salah satu cara yang dipilih oleh seorang imam yang membedakannya dengan imam yang lain dalam membaca Alquran. Qiraat lebih fokus kepada tata cara pengucapaan (nuthq) lafaz, kalimat, dan dialek.
Sedangkan tajwid secara sederhana dapat didefinisikan dengan melakukan pembacaan dengan memperindah lafal-lafalnya dan bebas dari penyelewengan. Inti pembahasan tajwid dapat diringkas pada empat komponen dasar, yakni tempat keluarnya huruf (makharij al-huruf), karakter dan perilaku bunyi huruf (shifah al-huruf), hukum-hukum yang timbul akibat pertemuan huruf-huruf (ahkam al-huruf), dan melatih lidah dalam pelafalan (riyadlah al-lisan).
Baik ilmu qiraat ataupun ilmu tajwid, semuanya menjadi manifestasi dari perintah tartil yang Allah sebutkan dalam Surah Al-Muzzammil [73] ayat 4,
وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلاً
“Bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.”
Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana perintah tartil tersebut diterapkan dalam konteks Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW)?
Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)
Konversi Sensorik Rungu Menuju Sensorik Netra
Pada tahun 2021, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) telah menyelesaikan penyusunan pedoman membaca Mushaf Alquran Isyarat. Di tahun berikutnya, LPMQ melakukan penyusunan Mushaf Alquran Isyarat yang diawali dari Juz ‘Amma. Dan pada tahun ini, Mushaf Alquran Isyarat secara resmi hadir dalam aplikasi Quran Kemenag.
Hal yang dilakukan oleh LPMQ di tahap awal ini merupakan upaya untuk menghadirkan mushaf Alquran yang terjangkau bagi para teman-teman tuli. Kehadiran Mushaf Alquran Isyarat ini juga diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi proses belajar membaca Alquran. Bahkan, dikutip dari salah satu berita yang ditulis dalam laman resmi LPMQ, Mushaf Alquran Isyarat merupakan satu-satunya dan yang pertama di dunia.
Dari hasil telaah singkat, penulis memahami bahwa Mushaf Alquran Isyarat merupakan upaya ‘visualisasi’ bunyi dan suara. Hal ini tak lain karena terdapat perbedaan yang mendasar pada model pembacaan komunitas tunarungu yang dipersepsi oleh sensorik netra (visual), bukan oleh sensorik rungu (auditoris). Hasil dari visualisasi tersebut terlihat dari konversi huruf-huruf hijaiah berikut dengan atribut harakatnya ke dalam model isyarat.
Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian II)
Metode Kitabah dan Tilawah
Dalam buku Pedoman Membaca Mushaf Al-Qur’an Bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara terbitan LPMQ, disebutkan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan komunitas tuli dalam membaca Alquran, oral atau verbal dan isyarat. Pendekatan isyarat sendiri terbagi menjadi dua metode, yakni kitabah atau tulisan dan tilawah atau bacaan.
Metode kitabah, sebagaimana juga disebutkan dalam buku Panduan Belajar Membaca Mushaf Al-Qur’an Isyarat terbitan LPMQ, merupakan sistem isyarat yang digunakan berdasarkan tulisan, yakni mengisyaratkan setiap huruf, harakat, dan tanda baca yang tertulis dalam mushaf. Acuannya adalah Mushaf Standar Indonesia (MSI).
Sedangkan metode tilawah adalah mengeja huruf perhuruf serta harakat dan tanda bacanya melalui isyarat gerakan jari dan tangan sesuai dengan cara melafalkannya, dengan mengikuti hukum tilawah dan tajwid yang mungkin untuk diisyaratkan. Metode tilawah ini hampir sama dengan metode kitabah hanya acuan output-nya yang lebih menekankan pada hukum tilawah dan tajwid sejauh itu mungkin diisyaratkan.
Di antara contoh konkrit dari perbedaan metode kitabah dan tilawah adalah isyarat huruf lam pada kata yang mengandung al syamsiyyah. Pada metode tilawah, huruf lam tidak muncul dalam pembacaan isyarat. Hal ini karena metode tilawah lebih menekankan hukum tilawah dan tajwid, dan sebagaimana diketahui huruf lam pada al syamsiyyah akan melebur dan diganti dengan huruf bertasydid yang jatuh setelahnya.
Perbedaan lainnya terlihat pada akhir ayat, yakni pada harakat huruf akhir. Metode kitabah akan mengisyaratkan huruf akhir tersebut sesuai dengan harakat aslinya, entah itu fatah, kasrah, atau dlammah. Sedangkan metode tilawah akan mengisyaratkannya dengan sukun sebagai ganti isyarat harakat aslinya.
Tartil dalam Metode Isyarat
Kembali pada pertanyaan penulis di awal, bagaimana tartil diterapkan dalam metode isyarat tersebut? Apabila merujuk pada makalah ‘Ali r.a sebelumnya yang menyebut tajwid dan mengetahui waqf sebagai arti tartil, serta dengan menelaah buku pedoman dan panduan membaca Alquran bagi komunitas tuli yang diterbitkan LPMQ, maka tartil dalam batas-batas tertentu sangat mungkin untuk dilakukan.
Tartil dimaksudkan seperti kejelasan dan konsistensi pendekatan serta metode pembacaan yang dipilih. Kejelasan dan konsistensi pendekatan dan metode ini sangat penting mengingat komponen-komponen dasar tajwid yang menjadi implikasi perbedaannya, seperti makhraj huruf (isyarat huruf) yang akan dipengaruhi oleh hukum bacaan (ahkam al-huruf) yang ada. Selain itu, tartil juga dapat dimaksudkan sebagai proses mengisyaratkan huruf, harakat, dan tanda baca secara jelas dan tidak tergesa-gesa, sehingga tidak terjadi kesalahan isyarat atau lahn.
Karena alasan tartil inilah, dalam berita yang juga ditulis pada laman resmi LPMQ disebutkan bahwa belajar membaca Alquran isyarat bagi komunitas tuli adalah sama dengan orang-orang yang mendengar pada umumnya, yakni harus dengan sanad, harus ada guru yang memandu untuk mengajarkannya. Artinya, tidak diperkenankan hanya bermodal telaah atas panduan dan pedoman yang tersedia.
Pertanyaannya kemudian, jika tartil dapat diterapkan ‘dalam batas tertentu’, maka apa saja kira-kira yang dapat dan yang tidak dapat diterapkan dalam model pembacaan isyarat ini? Wallahu a‘lam bi al-shawab.